Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan Batubara
Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan Batubara
Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan Batubara
OLEH
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa sebab atas segala rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya, makalah mengenai “Hukum Kehutanan dan Pertambangan” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Meskipun kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan
didalamnya.
Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat dan
edukasi mengenai Hukum Kehutanan dan Pertambangan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa
dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kemudian makalah kami ini dapat
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat. kami juga
yakin bahwa makalah kami jauh dari kata sempurna dan masih membutuhkan kritik serta saran
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembangunan industri pada sektor usaha bidang pertambangan batubara adalah suatu upaya
pemerintah dalam meningkatkan devisa negara dan bila ditinjau dari segi pola kehidupan
masyarakat sangat berhubungan langsung dengan peningkatan kebutuhan barang dan jasa,
pemakaian sumber-sumber energi, dan sumber daya alam. Penggunaan sumber daya alam secara
besarbesaran tanpa mengabaikan lingkungan dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif yang
terasa dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan
merupakan suatu upaya dan pendekatan dalam pemanfaatan sumber daya alam yaitu suatu
pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sebagaimana dikemukakan
oleh Hadi (2001) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan secara implisit juga
mengandung arti untuk memaksimalkan keuntungan pembangunan dengan tetap menjaga kualitas
sumber daya alam.Pengelolaan lingkungan bagi industri di bidang usaha tambang batubara
merupakan hal terpenting dari suatu kegiatan usaha yang harus dilakukan agar industri tetap
berjalan dan berkelanjutan. Pembangunan industri yang berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu
lingkungan (environment), ekonomi (economy) dan sosial/ kesempatan yang sama bagi semua
orang (equity) yang dikenal sebagai 3E. Aspek lingkungan tidak berdiri sendiri namun sangat
terkait dengan dua aspek lainnya. Dalam kegiatan internal industri, peluang untuk memadukan
aspek lingkungan dan ekonomi sangat besar, tergantung cara mengelola lingkungan dengan bijak
dan menguntungkan. Faktor sosial yang sebagian besar menyangkut masyarakat sekitar atau di
luar industri juga sangat terkait dalam pengelolaan lingkungan.
Kaitan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial dalam kegiatan industri tambang batubara
merupakan hal pokok dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan keselamatan
masyarakat sekitar. Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan meningkatkan kualitas
kehidupan, dengan meminimalkan pemakaian sumber daya alam dan bahan-bahan beracun,
memperkecil timbulan limbah dan pencemar selama daur hidup produk sehingga tidak
mengorbankan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (Purwanto, 2005).
Menurut Syafrudin (2005) dampak pencemaran terhadap badan air yang dihasilkan dari limbah
industri, dapat diklasifikasikan sebagai berikut
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat diajukan pertanyaan:
Pasal 76UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”)
menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:
IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan
pertambangan sebagaimana diatur di atas.
Pasal 77 UU Minerba mengatur bahwasetiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk
memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. IUPK
Operasi Produksi ini akan diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang telah
memiliki data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur bahwa IUP diberikan oleh Menteri,
gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Dibagian ini penulis ingin memaparkan secara singkat tentang pengaturan yang dilakukan negara
terhadap tambang-tambang rakyat. Pembahasan akan dibagi atas periode Kolonial Belanda dengan
Periode Republik Indonesia. Gambaran kedua periode tersebut, secara tidak langsung memberikan
gambaran kepada kita tentang perbandingan kedua masa tersebut. Dalam perbandingan tersebut,
terdapat perbedaan dan kesamaan-kesamaan dan jika menganalisis sampai pada tataran paradigma
pengaturan tambang rakyat pada kedua zaman ini, maka pembahasan tentang hubungan
masyarakat adat dengan Negara dalam pengelolaan SDA yang dipaparkan diatas akan menjadi
relevan.
Pada tanggal 27 Juli 1896 Emile Leunardus van Rouveroy van Nicuwaal, Asisten Residen Tanah
Datar yang sekaligus sebagai pelaksana tugas notaris keresidenan tersebut dan daerah Vord Vander
Capellen kedatangan tamu. Tamu tersebut terdiri dari seorang pengusaha warganegara Belanda
bernama Pieter Jacobus Scuuring bersama-sama dan Djaar Gelar Sutan Pamuncak, wakil dari
pangulu-pangulu suku di Laras Silungkang dengan didampingi.
Kedua orang berlainan bangsa ini menginginkan perjanjian yang mereka buat didaftarkan di
notaris. Perjanjian tersebut berupa perjanjian antara Masyarakat Adat Kelarasan Silungkang
dengan Pieter Jacobus Scuuring tentang pengusahaan batubara yang terdapat diwilayah
masyarakat adat ini. Pokok perjanjiannya adalah:
Pada saat yang bersamaan, dibanyak tempat banyak bertumbuhan pertambangan rakyat.
Tetapi belum banyak pengaturan terhadap penambang rakyat tersebut. Perijinan
pertambangan rakyat diberikan oleh penguasa setempat dengan cakupan bahan galian
seperti timah, emas dan intan. Khusus mengenai tambang intan, pemerintah kolonial
Belanda mengeluarkan Ordonantie tanggal 25 Nopember 1923 Staatblats 1923 No. 565
yang mencabut Ordonantie tanggal 7 Juni 1900 Staatblats 1900 No. 174 . Pengaturan ini
memuat ketentuan diantaranya: Pertambangan intan tanpa konsesi di Martapura dan
Pelaihari hanya boleh dilakukan oleh penduduk setempat.
Bagi penambang yang menambang tanpa menggunakan mesin harus seijin residen dan
harus membayar f. 0, 5 per 6 bulan.
Bagi penambang yang menambang dengan menggunakan mesin harus memperoleh ijin
menyewa dari Residen dan dikenai ongkos sewa sebanyak f. 0,4 per meter per tahun.
Penambang juga diwajibkan membuat batas wilayahnya dengan biaya sendiri.
Bagi yang melakukan penambangan tanpa ijin dikenai hukuman kurungan 1 tahun dan
denda paling tinggi f. 100.
Pasal 33 UUD 1945 memberikan gambaran bagaimana Indonesia mengadopsi kedua paham ini
dan pasal 33 UUD 1945 memberikan landasan yuridis bagi Pasal 2 UU No. 5 tahun 1960 yang
berbicara bertama kali tentang konseptualisasi HMN dalam tingkatan yang lebih teknis dalam
pengelolaan SDA. Pasal 33 UUD 1945 memberikan penekanan pada penguasaan Negara terhadap
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sementara pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960
lebih memperjelas ruang lingkup HMN tersebut yaitu;
Dari semua ketentuan tersebut terdapat dapat ditarik catatan penting tentang kebijakan pemerintah
yaitu :
Akibat dari berbagai kebijakan terhadap pertambangan rakyat tersebut, banyak pertambangan-
pertambangan dilakukan tanpa ijin (PETI). Kepala dinas Pertambangan Kalimantan selatan
menyebutkan Sepanjang tahun 1997-2000, tambang rakyat di Kalimantan Selatan berkembang
334 penambang tanpa ijin yang tersebar di 238 lokasi, mencakup 236 ha dengan memakai alat
berat . Sedangkan di Sumatera Barat, Kodya Sawahlunto sampai dengan tahun 2000 terdapat 2500
orang penambang liar . Sementara itu di Jambi, dikecamatan Palepat Kab. Bungo sampai tahun
2001 terdapat kurang lebih 500 orang penambang tanpa ijin . Di Kalimantan Selatan sampai tahun
2001 terdapat 6000 orang penambang emas tanpa ijin. Khalid Muhammad menulis bahwa
Stigmatisasi PETI (Pertambangan Tanpa Ijin) juga diberikan bagi para penambang emas yang rata-
rata dilakukan dengan skala kecil dan oleh masyarakat setempat ataupun pendatang dari daerah
sekitar lokasi bahan tambang, yang tergiur untuk mengadu nasip pada bahan tambang itu. Akhir-
akhir ini berbagai perhatian tertuju pada para penambang emas skala kecil, karena jumlah mereka
dari tahun ke tahun meningkat. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Pengembangan
Teknologi Mineral (PPTM), saat ini terdapat 77.000 operasi penambangan kecil yang
menghasilkan hampir semua mineral untuk kegiatan industri yang bernilai sekitar US $ 58 juta
pertahun. Rendahnya jumlah penambang skala kecil yang mendapat ijin dari pemerintah lebih
disebabkan oleh persoalan birokrasi yang rumit dan bertele-tele dalam memperoleh ijin
penambangan . Selain masalah-masalah tersebut, kebijakan yang mendahulukan pemegang
kontrak pertambangan daripada penambang rakyat, juga menui konflik. Salah satu kasus yang
terjadi yaitu konflik antara masyarakat adat daya Siang dengan PT. Indo Muro Kencana di Kab.
Barito Utara Kalimantan Selatan. Diatas areal adat dan areal penmbangan daya Siang pemerintah
menerbitkan Kontrak Karya atas nama PT. Indo Muro Kencana yang 100% sahamnya dimiliki
oleh Aurora Gold asal Australia. Areal kontrak karya PT. Indo Muro Kencana ini tumpang tindih
dengan wilayah pertambangan rakyat dan areal kawasan adat lainnya. Menghadapi masalah-
masalah PETI ini, pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan Inpres RI No. 3 Tahun 2000 Tentang
Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin. Namun demikian pelaksanaan
Inpres ini mendapat reaksi yang keras karena praktek dilapangan yang tidak sepatutnya. Reaksi
keras berdatangan salah satunya dari WALHI dan JATAM dalam siaran persnya tanggal 8 Juni
2000 .
Dalam Nota Keuangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005
Republik Indonesia pemerintah menyebutkan ;
Persoalan yang masih belum dapat dituntaskan dan menjadi tantangan adalah kasus-kasus
pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya dimensi ekonomi, hukum dan sosial dari kasus PETI ini
membuat penanganannya harus hati-hati.
Salah satu sasaran pembangunan tahun 2006 adalah berkurangnya PETI dengan kegiatan-kegiatan
Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan rakyat yang berpotensi mencemari lingkungan
khususnya penggunaan bahan merkuri dan sianida dalam usaha pertambangan emas rakat
termasuk pertambangan tanpa ijin (PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai bahan pembantu pada
industri kecil.
Sangat menarik melihat salah satu sasaran pembangunan pertambangan pada tahun 1996 tersebut.
Dimata pemerintah, PETI yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat menjadi sebuah masalah
yang cukup besar yang menyebabkan menurunnya pendapatan negara. Tentu pencantuman PETI
sebagai salah satu sasaran pembangunan pertambangan akan menimbulkan dampak yang serius
terhadap pertambangan-pertambangan rakyat. Karena sebagian besar pertambangan rakyat dalam
operasinya tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah.
Jika kita melanjutkan penjelajahan, ada gelombang pertanyaan menyentak ketika membaca naskah
akademik RUU Minerba. Para penyusun naskah akademik ini mengkategorikan PETI yaitu PETI
versi baru dan PETI versi lama (tradisional). PETI versi baru dicirikan dengan adanya penyandang
dana (cukong) dan kadang-kadang oknum aparat sebagai backing, serta operasi dengan modus
operandi memperalat kalangan masyarakat bahwa menjadi “korban” pembangunan, ini, yang
didalamnya terlibat masyarakat pendatang, serta dibawah perlindungan backing ternyata menjadi
kekuatan yang dahsyat dalam menumbuhkan PETI versi baru. PETI ini menimbulkan masyalah
yaitu 1) merugikan negara, berupa kehilangan pendapatan negara dari sektor perpajakan, merusak
dan mencemari lingkungan, 3) melecehkan hukum. Masalah-masalah ini diikuti dengan masalah
lain yaitu, kecelakaan tambang, iklim usaha yang tidak kondusif, praktek percukongan,
premanisme dan prostitusi .
Terjadi generalisasi pandangan terhadap kedua jenis PETI (versi lama dan baru). Tidak ada
pembahasan lebih jauh terhadap PETI versi lama (tradisonal) yang sebagian besar adalah
penambang-penambang tradisi seperti yang diungkap pada bagian-bagian awal makalah ini.
Persoalan-persoalan yang timbul dan menghadapkan negara dengan penambang rakyat / PETI
versi lama (tradisonal) yang seringkali tergusur ketika wilayah penambangannya ditimpa oleh
kontrak-kontrak penambangan besar, seperti dilupakan. Sehingga dengan paradigma seperti ini,
maka perlakukan terhadap PETI versi baru dengan versi lama akan sama.
Dalam tingkatan tertinggi, terdapat upaya untuk mendorong wacana tentang HMN dan pengakuan
negara atas hak ulayat masyarakat adat kearah yang lebih menguntungkan pihak pertambangan.
UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dianggap oleh para pembuat naskah akdemik ini menjadi sebuah
hambatan bagi perkembangan pertambangan khususnya pengaturan Hak Mengusai Negara yang
tidak berarti dimiliki (penjelasan umum angka I), pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan
kedudukan sederajat hak atas tanah (Pasal 40) .
Jika dianalisa lebih mendalam, dari pokok-poko pemikiran yang tertuang dalam naskah akademik
RUU Minerba, terdapat upaya terselubung untuk semakin memperkuat kekuasaan negara atas
sumberdaya pertambangan. Terdapat keinginan untuk mendorong hak-hak pertambangan
memiliki posisi yang lebih tinggi dari hak-hak atas tanah, salah satunya hak ulayat. Akan tetapi
logika HMN yang ditawarkan oleh naskah akademi RUU minerba menjadi inkonsisten dengan
tawaran yang dimunculkan pada pasal pengusahaan sumberdaya mineral dan batubara.
Pembahasan ini akan relefan untuk menjawab pertanyaan mengapa negara bisa melakukan
kontrak-kontrak pertambangan yang menjadi ranahnya hukum private. Tetapi wacana ini justru
dijawab dengan mekanisme perinjinan .
Kampanye intensif tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh tambang rakyat, meskipun
mengandung beberapa kebenaran, sebaliknya kesan yang kuat muncul menunjukkan kurangnya
perhatian dan orientasi pembinaan terhadap mereka. Jika keseriusan pembinaan terhadap
pertambangan rakyat ada dan orientasi pengembangan pertambangan membuka kesempatan yang
luas dan setara terhadap penambangan rakyat, maka kita dapat belajar dari pengalaman negara-
negara lain seperti Bolivia dalam memperlakukan tambang emas rakyat. Untuk memperbaiki
kualitas lingkungan pada pertambangan emas rakyat skala kecil, pemerintah Bolivia mengadakan
perjanjian dengan pemerintah Swiss untuk menjalankan Program Manajemen Lingkungan Hidup
Terpadu Pada Usaha Pertambangan Skala Kecil (MEDMIN). Program ini dilaksanakan oleh
Dirjen Lingkungan Hidup, Politik dan Norma Kementerian Perencanaan dan Pembangunan
Berkesinambungan Bolivia. Medmin mengambangkan beberapa metode dalam pengolahan emas
dalam pengurangan emisi mercury dan telah berhasil menurunkan emisi mercury tersebut
sebanyak 5 ton per tahun .
Berangkat dari paparan-paparan diatas dan beberapa catatan penting yang muncul, dapat
ditawarkan beberapa alternatif solusi. Solusi ini akan dibagi atas dua yaitu solusi transisional dan
solusi utama. Solusi transisional adalah solusi untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk
lahirnya solusi utama bagaimana mengatur pertambangan di Indonesia.
D. Solusi Transisional
Perlu ada sebuah kebijakan yang memerintahkan evaluasi pemanfaatan sumberdaya alam
terutama pertambangan yang merupakan kekayaan bangsa. Evaluasi ini menyangkut
kebijakan-kebijakan yang pernah dibuat dan praktek yang terjadi dilapangan. Dengan itu
tentunya pembahasan RUU Minerba di DPR harus dihentikan terlebih dahulu.
Perlu mendata konflik dan mencari solusi konflik-konflik pertambangan yang berlangsung
sejak lama dan tidak terselesaikan, apakah itu konflik yang berakar dari klaim hak
kepemilikan ataupun konflik yang timbul dari dampak-dampak pertambangan.
Sesegera mungkin mendata dan mempersiapkan program pembinaan PETI yang disusun
secara partisipatif termasuk masalah pengendalian lingkungan hidup, dimana solusi dan
pendekatan terhadap penambang tradisional (versi lama) harus berbeda dengan PETI versi
baru .
Menangguhkan untuk sementara waktu pemberian kontrak-kontrak pertambangan baru
dan mengefektifkan kontrak-kontrak pertambangan yang sudah ada dengan memperketat
dan mempertinggi standar lingkungan hidup.
E. Solusi Utama
Setelah solusi-solusi transisional tersebut dapat dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu,
pada tahap selanjutnya barulah dapat dibangun solusi masalah utama yang akan menyentuh
masalah sesungguhnya dalam pengelolaan SDA termasuk tambang. Alternatif solusi
tersebut diantaranya
Mengubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan) yang semata
berparadigma ekonomi dan menurunkannya dalam rencana pengelolaan sumberda
alam yang komprehensif.
Pengakuan normatif terhadap pemilikan masyarakat adat atas sumberdaya alam
yang tersebar dalam berbagai peraturan perundangan, khususnya yang mengatur
tentang hak ulayat segera diturunkan pada ketentuan yang lebih operasional.
Membuat peraturan payung pengelolaan sumberdaya alam yang berisi prinsip-
prinsip pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Dalam pembuatan peraturan pertambangan perlu diadopsi prinsip Free, Prior,
Informed Consent (FPIC) . Prinsip-prinsip FPIC ini menjadi relevan untuk
mengurangi konflik-konflik yang akan terjadi. FPIC terkait empat unsur mendasar
yakni Free, Prior, Informed dan Consent yang berlaku secara kumulatif. Secara
definitif keempat hal dasar ini dapat diartikan sebagai berikut;
Free berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya
mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas masyakarat,
Prior artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerintah terlebih
dahulu harus mendapat ijin masyarakat,
Informed artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang
akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya dan
Consent artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri .
1. Kesimpulan
UU Minerba yang baru mengatur kebijakan DMO, yang berarti memprioritaskan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri dibandingkan ekspor. Sudah tentu hal ini menjadi perhatian bagi negara
– negara pengimpor batubara Indonesia, termasuk Jepang di dalamnya. Tetapi pemerintah
Indonesia menyatakan bahwa volume ekspor tidak akan mengalami kendala dalam beberapa waktu
ke depan, karena pertumbuhan konsumsi dalam negeri diperkirakan masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan produksi batubara nasional. Selain itu, pemerintah juga
mencanangkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26% sampai dengan tahun 2030 melalui tindakan
seperti pemakaian bio-fuel dan konversi ke energi panas bumi, meskipun kebijakan konkretnya
masih belum jelas. Dengan demikian, maka topik yang harus diperhatikan bersama adalah jumlah
kebutuhan energi dalam negeri Indonesia dan sumber energi yang memasoknya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-tambang-a-energi/2097-uu-
pertambangan-mineral-dan-batubara-uji-materiil-uu-minerba-molor-walhi-ancam-somasi-
mk.html
http://sanyata.blogspot.com/