6 PDF
6 PDF
6 PDF
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
oktaviona.kh@mail.ugm.ac.id
ABSTRAK
Sapi adalah hewan pemamah biak dan tidak cuma punya satu lambung, melainkan
sebuah sistem pra-pencernaan dengan lambung belakang, rumen dan lain-lain.
Pengolahan makanan secara mikrobiologis terjadi dalam rumen. Bakteri dalam rumen,
menghasilkan berbagai jenis produk seperti misalnya gas methan. Satu kilogram methan
memiliki bahaya untuk iklim berlipat ganda daripada gas CO2. Jika emisi gas methan dari
sapi dapat direduksi, dampaknya akan sangat positif untuk iklim bumi. Akhir-akhir ini kita
sering mendengar tentang pengolahan feses ternak, terutama sapi sebagai bahan biogas.
Biogas sendiri merupakan gas yang dihasilkan dari aktivitas biologi dalam proses
fermentasi anaerob. Biogas menghasilkan gas bio yang merupakan campuran gas
methan, NOx, H₂ dan CO₂ sebagai hasil perombakan limbah organik secara anaerob
didalam digester atau reaktor. Biogas dapat menjadi pilihan dalam pengelolaan limbah gas
dari perternakan dan dapat sebagai sumber energi terbarukan yang mudah diaplikasikan.
Kata kunci : sapi, feses, methan, biogas, gas bio, digester, energi terbarukan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mempunyai potensi yang baik di bidang peternakan, namun selama ini belum
dikembangkan sepenuhnya. Hal ini disebabkan sebagian besar peternakan di Indonesia adalah
peternakan yang bersifat tradisonal, termasuk dalam pengolahan hasil dan limbahnya belum
tersentuh teknologi. Peternak biasanya menumpuk feses sebelum membuang atau membawanya ke
sawah.
Peternakan merupakan penyumbang gas emisi rumah kaca yang tinggi pada sector pertanian.
Presentase kerusakan yang dibuat sekitar 35% hingga 40% (Puspitasari, 2015). Hal tersebut berasal
dari limbah kotoran sapi yang mengandung gas methan (CH₄) dan karbon dioksida (CO₂). apbila
hak tersebut tidak segera diatasi akan semakin memperparah pemanasan global yang terjadi.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu adanya teknologi tepat guna yang dapat
memanfaatkan limbah sehingga dapat mengurangi pencemaran terhadap lingkungan sekaligus
menjadi sumber energi terbarukan yang dapat mengatasi permasalahan energi.
METODE
Dalam pengolahan biogas memerlukan digesti anaerobi. Dalam proses tersebut terdapat reaksi
biokimia dalam produksi gas bio. Pada umunya, digesti anaerobik terjadi dalam tiga fase menurut
Polprasert (1995) serta Tchobanoglous dan Burton (1992).
55
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
HASIL
Biogas akan sangat bermanfaat dalam pengelolaan limbah peternakan. Selain limbah gas
methan dapat mengurangi limbah padat yang berupa kotoran. Dengan penerapan system seperti
reaktor biogas pada Gambar 1.0 didapatkan hasil berupa biogas dan kompos organik siap pakai.
Apabila pemanfaatan dengan skala rumah tangga dapat digunakan sebagai sumber listrik dan
kompor pada daerah terpencil di Indonesia. Dengan adanya banyak manfaat serta Indonesia
memiliki potensi yang besar, biogas benar-benar dapat realisasikan. Apabila di Indonesia
mengembangkan digester dengan model atau jenis fixed dome akan lebih efektif dan menghemat
banyak biaya.
PEMBAHASAN
Indonesia memiliki banyak kota yang menjadi pusat peternakan terutama yang memiliki
dataran tinggi karena suhu serta lingkungan yang sangat pas untuk sapi. Dapat diambil contoh yaitu
Yogyakarta. Peternakan di Yogyakarta didominasi pada daerah Cangkriman dan Turi. Hal ini
karena suhu udara yang baik karena mulai masuk dataran tinggi serta tidak terlalu jauh dari kota. Sapi
disana memiliki rata-rata bobot hidup sekitar 635 kg baik itu sapi perah maupun sapi pootng.
Menurut Triatmojo (2016) Sapi dengan bobot hidup 635 kg setiap harinya dapat mengelurkan
kotoran sebanyak 50,8 kg dengan padata total (TS) sekitar 10% sampai 15% dari massa kotoran
awal dan padatan reaktor sebesar 8% sampai 10% dari massa kotoran awal. Padatan total (TS)
merupakan komponen terpenting yang berperan untuk menghasilkan biogas dan di dalam padatan
total terdapat padatan reaktor (VS). Spesifikasi kotoran sapi dengan bobot 635 kg dapat dilihat pada
Tabel 1.0.
56
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
Tabel 2.1. Jumlah sapi yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(http://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar/cetak/171-peternakan)
Penyebab banyaknya gas methan yang terkandung dalam sapi dapat dipengaruhi oleh jenis
rerumputan yang diberikan. Apabila kita ambil data jumlah gas methan yang ada dalam setiap feses
dengan satuan ppm (parts per million). Tidak banyak perbedaan signnifikan yang ada pada setiap
jenis rerumputan yang diberikan. Dalam semnggu dapat diambil rata- rata gas methan yang ada
pada 1kg feses sapi sekitar 13.000 mg dan dalam sebulan dapat mengasilkan gas methan sekitar
50.000 mg per 1kg feses (Tabel 2.2).
yang dihasilkan dalam 1 mingu dengan satuan ppm (Puspitasari dkk., 2015)
57
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
Gas Bio
Gasbio adalah campuran gas methan, NOx, H₂ dan CO₂ sebagai hasil perombakan limbah reaktor
secara anaerob didalam digester atau reaktor oleh campuran berbagai kelompok mikroorganisme di
antaranya adalah bakteri hidrolitik atau fermentasi, bakteri penghasil asetat dan bakteri
metanogenik. Gas yang terbentuk selama digesti anaerobik adalah CH₄ 65%-70%, CO₂ 25%-30%,
dan sejumlah kecil N₂, H₂, H₂S, H₂O, dan gas lainnya. (Tchobanoglous dan Burton, 1992)
Tujuan Digesti Anaerobik
Digesti anaerobik bertujuan untuk memproduksi gas metan sebgai sumber energi, menstabilkan
limbah organik, reklamasi nutrient dan inaktivasi organisme pathogen. Reaksi biologi selama
digesti anaerobikdi dalam digester gas bio menurunkan kandungan bahan reaktor 30% sampai 60%
dan memproduksi sludge yang stabil yang dapat digunakan sebagai pupuk ataupun pembenah tanah.
Limbah reaktor masih terdapat N, P dan K tetapi dalam bentuk senyawa 4eactor sukar diambil oleh
tanaman. Digesti reaktor limbah diuraikan menjadi asam-asam 4eactor sederhana (asam format,
asetat, butirat, dan propionate), gas CH₄, CO₂, H₂ dan NO₂, NH₃, H₂S serta biomasa mikrobia. NH₃
oleh bakteri mitrifikasi diubah menjadi nitrit dan nitrat sehingga dapat digunakan oleh tanaman.
Digesti 4eactor4u tidak menghancurkan nutrient di dalam limbah reaktor tetpi menguraikan dan
mentranformasi menjadi bentuk yang lebih tersedia bagi tanaman. Aplikasi slurry ke dalam tanah
memperbaiki sifat fisik tanah dan meningkatkan kesuburan tanah. Digesti anaerob pada jangka
waktu yang cukup lama (15 sampai 50 hari) cukup untuk menginaktifkan beberapa bakteri, protozoa,
virus, dan telur cacing, sehingga pemakaian slurry tidak lagi membahayakan tanaman dan
lingkungannya. (Polprasert, 1995)
Reaksi Biokimia dalam Produksi Gasbio
Pada umumnya, digesti anaerobik terjadi dalam tiga fase menurut Polprasert (1995) serta
Tchobanoglous dan Burton (1992) (Gambar 2.0).
a. Pemecahan polimer (depolimerasi). Limbah oerganik tersusun dari polimer reaktor kompleks
seperti protein, lemak, karbohidrat (pati, pektin, sellulosa, hemiselulosa), dan lignin. Pada tahapan ini,
polimer reaktor di pecah oleh enzim ekstraselular yang dihasilkan oleh bakteri hidrolitik, produk yang
dihasilkan larut dalam air. Komponen reaktor sederhana yang larut dalam air digunakan oleh bakteri
pembentukan asam. Digesti pada fase ini mengubah protein menjadi asam amino, karbohidrat menjadi gula
sederhana, dan lemak menjadi asam lemak rantai reaktor. Laju hidrolisis tergantung pada jumlah subtract
yang tersedia dan konsentrasi bakteri serta factor lingkungan seperti suhu dan pH.
b. Pembentukan asam (asidogenesis). Komponen monomer yang dibebaskan dari reaksi hidrolitik pada
fase pertama (a) selanjutnya diubah menjadi asam asetat (CH₃COOH), H₂ dan CO₂ oleh bakteri pembentuk
asam laktat yang hidup pada kondisi pH 5,5 sampai 6,5. Metabolisme protein, lemak dan karbohidrat di
dalam sel mikroba menghasilkan asam-asam lemak volatile, terutama asam asestat, propionate, dan laktat.
Pemecahan karbohidrat menghasilkan CO₂, H₂O, methanol, dan reaktor sederhana.
c. Pembentukan methan (metanogenesis). Produk dari fase kedua (b) akhirnya diubah menjadi CH₄
dan hasil akhir lainnya oleh kelompok bakteri yang disebut metanogen. Bakteri metanogen ini merupakan
bakteri anaerob obligat dengan laju pertumbuhannya lebih lambat dari kedua kelompok bakteri sebelumnya
dan sangat sensitf terhadap perubahan lingkungan yang mendadak sehingga berpengaruh pada pertumbuhan
dan laju produksi gas. Bakteri metanogenik menggunakan asam laktat, methanol atau gas reaktor dan karbon
dioksida untuk menghasilkan gas methan. Asam asetat merupakan reaktor utama dan terpenting untuk
memproduksi gas methan, sekitar 70% gas methan dihasilkan dari asetat, dan sisanya (30%) dihasilkan dan
H₂ dan CO₂. Bakteri metanogenik tergantung pada fase 1 dan 2 karena kedua fase tersebut menyediakan
nutrigen bagi bakteri metanogenik.
58
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
Asam asetat,
Tahap
H₂, CO₂
metanogenes
Bahan
organik,
karbohidrat, Tahap hidrolisis
lemak, dan Methan, CO₂
Bakteri fermentasi
protein
Tahap asidogenis
Komponen Digester
Komponen biogas yang paling penting adalah gas methan, selain itu juga gas-gas lain yang
dihasilkan dalam ruangan yang disebut digester. Biogas yang dihasilkan oleh biodigester reaktor
besar terdiri dari 54% sampai 70% methan (CH₄), 27% sampai 35% karbon dioksida (CO₂),
nitrogen (N₂), hydrogen (H₂), 0,1% karbon monoksida (CO), 0,1% oksigen (O₂) dan reaktor sulfida
(H₂S). Pendapat lain, menyatakan bahwa biogas tersusun dari 81,1% gas methan yang dapat dilihat
lebih lengkapnya pada Tabel 2.0. Gas methan merupakan gas yang paling berbahaya karena dampak
yang ditimbulkan 21 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan karbon dioksida. Gas methan juga
dapat menimbulkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Oleh
karena itu, para ahli sering menuding peternakan adalah salah satu reaktor tersebar penyumbang
efek pemanasan global. (Triatmojo dkk., 2016)
Biogas memiliki berat lebih ringan jika dibandingkan dengan udara, dengan berat sekitar 20%
dan memiliki suhu pembakaran 650°C sampai 750°C, selain itu gas yang dihasilkan dari biogas
tidak menimbulkan bau dan tidak bewarna. Penggunaan biogas pada skala rumah tangga memiliki
efisiensi pembakaran sebesar 60% jika dibandingkan dengan penggunaan gas LPG karena nilai
kalor yang terkandung pada gas methan sebesar 20 MJ/m³biogas dapat dihasilkan pada hari ke 4
sampai 5 sesudah biogester terisi penuh, dan mencapai puncaknya pada hari ke 20 sampai 25. Akan
tetapi, perlu juga dipertimbangkan ketinggian lokasi pembuatan karena pada suhu dingin biasanya
bakteri bekerja dengan lambat. (Triatmojo dkk., 2016).
Tabel 2.3 Komposisi kandungan biogas di dalam digester (Triatmojo dkk., 2016)
Kandungan gas yang terbentuk di dalam digester reaktor besar berupa gas methan yang
bergerak penting sebagai bahan bakar pengganti gas LPG dan bensin. Gas lain terbentuk di dalam
digester adalah H₂S jika ikut terbakar dan terbebas dari udara maka dapat teroksidasi oleh air
59
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
61
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
a. Fixed Dome
Tipe digester fixed dome dibuat pertama kali di Cina pada tahun 1930-an dan sering disebut
dengan reaktor kubah tetap. Jenis digester fixed dome memiliki dua bagian utama, yaitu digester
dan kubah tetap. Digester digunakan sebagai tempat fermentasi bahan organic dan sebagai tempat
bakteri pembentukan asam dan bakteri metanogen berkembang. Struktur bangunan yang dibuat
pada bagian ini harus kuat menahan gas dengan kedalaman tertentu menggunakan batu bata, beton,
atau batu. Bagian kedua, yaitu kubah, tetap dengan bentuk menyerupai kubah yang berfungsi
sebagai tempat pengumpul gas yang tidak bergerak (fixed) sehingga ketika gas hasil perombakan
bahan organik dialirkan akan tersimpan di dalam kubah ini. Digester ini juga memiliki volume tetap
sehingga produksi gas akan meningkatkan tekanan dalam reaktor (digester). Oleh karena itu, dalam
konstruksi ini gas yang terbentuk akan seger dialirkan ke pengumpul gas di luar reaktor (Gambar
2.3).
Produksi gas pada jenis digester ini dapat dilakukan dengan memasang indikator tekanan
sebagai alat untuk memantau produksi gas yang terjadi. Penggunaan tipe digester fixed dome ini
mempunyai banyak kelebihan, seperti tidak membutuhkan biaya konstruksi yang mahal, mudah
dikerjakan dan sederhana, material yang digunakan tidak mudah berkarat sehingga dapat bertahan
dalam waktu yang cukup lama, tidak terdapat bagian yang bergerak, serta menghemat tempat
karena dapat dibuat di dalam tanah. Kekurangan jenis digester ini apabila terjadi kebocoran gas
tidak dapat segera terdeteksi karena bagian dalam reaktor tidak mudah terlihat dan memiliki pori-
pori agak besar. Selain itu, tekanan gas yang terbentuk sangat tinggi fluktuasinya dan suhu di dalam
digester rendah (Triatmojo dkk., 2016).
b. Floating Domes
Jenis digester floating dome sering juga disebut dengan digester kubah apung dan pertama kali
dibuat di India pada tahun 1937. Tipe digester ini memiliki bagian yang sama dengan tipe fixed
dome, hanya saja terdapat bagian pada konstruksi reaktor yang dapat bergerak untuk menyesuaikan
dengan kenaikan tekanan reaktor (Gambar 2.4). Peralatan yang dibuat sebagai tempat penampung
gas biasanya menggunakan drum yang dapat bergerak naik turun dan berfungsi sebagai tempat
penyimpan gas hasil dari perombakan bahan Organik. Pergerakan bagian reaktor ini juga menjadi
tanda telah dimulainya produksi gas dalam reaktor biogas. Pada reaktor jenis ini, pengumpul gas
berada dalam satu kesatuan dengan reaktor tersebut.
Keuntungan penggunaan jenis digester floating dome adalah tekanan gas yang dihasilkan di
62
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
dalam digester bersifat konstan (tetap) karena tempat penyimpanan gas berada pada posisi terapung
dan volume gas yang tersimpan dapat dilihat secara langsung. Kelemahan tipe digester ini adalah
sulitnya membuat konstruksi tampungan gas yang dapat bergerak sehingga membutuhkan
keterampilan khusus dan material yang diperlukan harus bersifat tahan terhadap korosif serta
membutuhkan biaya yang cukup mahal. Penggunaan drum sebagai tempat pengumpul gas menjadi
kendala karena mudah korosif sehingga memiliki umur yang lebih pendek jika dibandingkan
dengan menggunakan reaktor kubah tetap pada fixed dome.
(Triatmojo dkk., 2016)
63
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
64
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
Gambar 2.7 Reaktor biogas dengan sistem digester fixed-dome (Haryanto dkk., 2020)
Manfaat Biogas
Banyak manfaat positif yang dihasilkan dari biogas. Selain menjadi sumber energi terbarukan
maupun pengurang gas emisi, biogas memiliki manfaat lain di berbagai bidang. Sisa dari kotoran
yang digunakan dari proses biogas dapat dijadikan pupuk organik. Terdapat juga manfaat dari segi
teknisi.
1. Sumber energi terbarukan
Biogas adalah energi terbarukan karena dihasilkan dari biomasa. Substrat untuk proses biogas
dapat dikembangkan secara lokal dan murah seperti kotoran sapi, limbah pertanian, atau tanaman
energi. Biogas akan meningkatkan ketersediaan energi suatu daerah dan juga memberikan
kontribusi penting dalam penyelamatan sumber daya alam dan perlindungan terhadap lingkungan.
Pengembangan dan aplikasi sistem listrik biogas yang didasarkan pada potensi sumberdaya local
akan meningkatkan pasokan energi dan ketahanan energi daerah sehingga mengurangi
ketergantungan pada BBM (AlSeadi et al., 2008).
2. Mengurangi emisi GRK
Penggunaan bahan bakar fosil akan mengubah karbon yang telah tersimpan jutaan tahun di
dalam bumi, dan melepasnya ke dalam atmosfer sebagai CO2. Peningkatan konsentrasi CO2 di
atmosfer dapat menyebabkan pemanasan global karena CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca
(GRK). Pembakaran biogas juga menghasilkan CO2 ke atmosfer, tetapi secara keseluruhan netral
karena dipakai oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Daur ulang karbon dari biogas terjadi
dalam waktu yang sangat singkat. Emisi CH4 dan N2O (dinitrogen oksida) yang terjadi pada
timbunan dan aplikasi kotoran hewan juga dapat dikurangi melalui produksi biogas. Pontensi GRK
CH4 adalah
65
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
21 kali lebih tinggi dari CO2 dan untuk N2O 296 kali. Oleh karena itu, selain menggantikan BBM,
listrik biogas juga mengurangi emisi GRK (Chynoweth et al., 2001) sehingga dapat
menurunkan potensi pemanasan global (Mitianiec, 2012).
3. Sumber pupuk organik
Digester biogas tidak hanya menghasilkan energi. Lumpur yang keluar dari digester (dinamakan
digestat) merupakan pupuk yang sangat baik karena kaya nitrogen, fosfor, potasium dan unsur hara
mikro. Dibandingkan dengan kompos kotoran hewan yang tidak diolah, digestat lebih homogen,
memiliki nutrisi lebih tersedia, C/N rasio lebih baik, dan bau yang sudah jauh berkurang (Al-Seadi
et al., 2008).
66
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
biaya dan efisien jika dibandingkan dengan bentuk energi biomassa lainnya seperti gas sintetik dan
etanol (Chynoweth et al., 2001). Ditinjau dari harga bahan bakar, penggunaan biogas untuk
operasional mesin, cenderung lebih hemat karena diperoleh secara gratis dibandingkan penggunaan
dengan BBM dengan kisaran harga Rp 5.150˗11.500 setiap liternya.
KESIMPULAN
Indonesia memiliki potensi tinggi dalam bidang peternakan, terutama peternakan sapi. Tetapi
peternakan merupakan penyumbang gas emisi rumah kaca yang tinggi karena mengahasilkan gas
methan dari kotoran sapi. Untuk mengurasi gas emisi rumah kaca tersebut, biogas diharapkan dapat
menjadi solusi. Indonesia telah mengembangkan biogas sebangai pengolahan lanjut dari kotoran
sapi yang memiliki banyak sekali manfaat.
PENGHARGAAN
Atas rahmat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang senantia melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya. Bersyukur dapat menyelesaikan keseluruhan isi dari paper ini dengan
tepat waktu dan dimudahkan dalam mencari sumber serta topik yang ada. Tentunya kepada kedua
orang tua saya yang telah memberikan banyak fasilitas yang dapat saya manfaatkan. Terima kasih
kepada seorang teman yaitu Yasminun yang telah merekomendasikan lomba ini untuk saya ikuti
serta menjadi penasihat dalam penulisan paper ini. Serta teman-teman saya tercinta yang setia
menemani begadang dalam pengerjaan paper ini.
REFERENSI
http://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar/cetak/171-peternakan
Al-Seadi, T., Rutz, D., Prassl, H., Köttner, M., Finsterwalder, T., Volk, S., Janssen, R. (2008).
Biogas Handbook. University of Southern Denmark, Niels Bohrs Vej 9-10, DK-6700 Esbjerg,
Denmark.
Chandra, R., Takeuchi, H., Hasegawa, T. (2012). Methane production from lignocellulosic agricultural
crop wastes: a review in context to second generation of biofuel production. Renewable Sustainable
Energy Review, 16: 1462–1476.
Chynoweth, D.P., Owens, J.M., Legrand, R. (2001). Renewable methane from anaerobik digestion of
biomass. Renewable Energy, 22(3): 1–8.
Gate. (1999). Biogas Technology in India. Eschborn, Germany.
Haryanto, A., dkk. (2020). Pengembangan Listrik Tenaga Biogas Skala Rumah Tangga untuk Daerah
Terpencil di Indonesia. Teknik Biosistem, 8, 168-183.
10.29303/jrpb.v8i2.187
Kabir, H., Yegbemey, R.N., Bauer, S. (2013). Factors determinant of biogas adoption in Bangladesh. Renewable
Sustainable Energy Review, 28: 881–889.
Louie, H. (2018). Off-Grid Electrical Systems in Developing Countries. Springer International Publishing AG,
Switzerland: 53–82.
Mitianiec, W. (2012). Factors determining ignition and efficient combustion in modern engines
operating on gaseous fuels. Internal Combustion Engines (Lejda, K. and Woś, P., editors). InTech,
Janeza Trdine 9, Rijeka, Croatia: 3–34.
Polprasert, C. (1995). Waste Organic Recycle. New York: John Wiley and Sons Puspitasari, R.,
dkk. (2015). Produksi Gas Metana (CH4) dari Feses Sapi FH Laktasi
dengan Pakan Rumput Gajah dan Jerami Padi. Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 3(1); 40-45.
Siregar, H. (1998). Petunjuk Teknis Pemanfaatan ENceng Gondok untuk Bahan Bakar Biogas. Pusat
67
PROSIDING NASIONAL DAN CALL FOR PAPER BEM GEOGRAFI UMS ke-1
Oktaviona Kartikasari
Teknologi Biogas Sebagai Penanganan Limbah Gas Pada Industri Peternakan
Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran,
Bandung.
Stevens, R.J., dkk. (1989). Effect of Acidification with Sulphuric Acid on the Volatilization of Ammonia from
Cow and Pig Slurries. Cambridge Journal of Agriculture Science, 113, 389-395
Tchobanoglous, G., F. Burton. (1992). Wastewater Enginering: Treatmen, Disposal and Reuse. Toronto:
McGraw-Hill Inc
Triatmojo, S., dkk. (2016). Penangana Limbah Industri Peternakan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Warner, U., Stöhr, U., Hees, N. (1989). Biogas plants in animal husbandry.
GTZ (Gesellschaft für Technische Zusammen-arbeit), Eschborn I, Federal Republic of
Germany: 153 hal
68