Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Kel.7 Fiqh Siyasah

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 23

SIYASAH HARBIYAH

Disusun Oleh :

Muhammad Habibi Rahmat (12020116781)


Maulia Sekar Wardani (12020125772)

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2023

1
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata‟ala yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
NYA tentu kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Sholawat serta salam semoga terlipahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi
wasallam.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wata‟ala atas limpahan
nikmat sehat-NYA baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas individu dari mata kuliah “Fiqh
Siyasah”. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan dalam makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terkhususnya kepada
teman-teman yang telah membantu saya dalam menulis makalah ini. Demikian semoga
makalah ini dapat bermanfaat.Terima kasih.

Pekanbaru, 14 Mei 2023

Penulis

iii ii
Daftar Isi
Kata Pengantar ........................................................................................................ i
Daftar isi ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Siyasah Harbiyah ........................................................................ 3
B. Dasar Pensyari’atan dan tujuan Qital dalam Islam ................................... 3
C. Hubungan Qital dan Jihad ............................................................................ 6
D. Perdamaian dalam Islam ............................................................................... 9
E. Suaka politik ................................................................................................... 16

BAB III PENUTUP .............................................................................. .................. 18


DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam peradaban manusia, tidak terlepas dari perbuatan yang menciptakan hukum
dan peraturan. Perbuatan tersebut sangat berguna dalam peraturan dan tingkah laku
manusia sehari-hari. Hal inilah yang membuat seorang manusia akan berarti dalam
kehidupannya. Perbuatan yang menciptakan hukum ini, memerlukan sebuah lembaga
atau tempat untuk menciptakan hal itu.
Tempat dan lembaga tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan disebut daerah.
Secara mendasar daerah inilah yang memerlukan akan hukum dan perbuatan hukum.
Apabila kedua hal tersebut ada didalam daerah itu, maka daerah tersebut akan teratur dan
tentram.
Sedangkan cara penfaplikasian dari hukum dan peraturan hukum, menerlukan
sebuah kendaraan yang sangat penting. Kepentingan ini berguna dalam hal pengaturan
daerah tersebut. Hal yang dimaksud adalah politik. Dalam kajian teoritis umum, politik
adalah sebuah teori dan cara untuk mengatur dalam daerah, yang bersifat munuju sebuah
ketatanegaraan yang aman dan damai. Perkembangan politik ini sudah lama berkembang,
sejak kerajaan Yunani dan Romawi sampai saat ini. Perkembangan politik initidak
pernah habis dibahas.
Dalam perjalanan sejarah, politik terbagi bermacam-macam, ada yang bercorak
Monarchi, Oligarki, Republik, dan lain sebaginya. Semua corak tersebut diterima secara
umum dan banyak negara yang menganutnya.
Bukan hanya politik secara umum saja yang ada, melainkan dalam Islampun
politik juga ada. Hal ini dapat kita lihat dalam kajian Fiqh Siyasah. Dan kajian inilah
yang berlandaskan Al-Quran dan Hadist.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Siyasah Harbiyah?
2. Bagaimana pensyari‟atan dan tujuan Qital dalam Islam ?
3. Apa hubungan Qital dan Jihad ?
4. Bagaimana perbadamaian dalam Islam?
5. Bagaimana suaka politik?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Siyasah Harbiyah
2. Untuk mengetahui pensyari‟atan dan tujuan Qital dalam Islam
3. Untuk mengetahui hubungan Qital dan Jihad
4. Untuk mengetahui perbadamaian dalam Islam
5. Untuk mengetahui suaka politik

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Siyasah Harbiyah


fiqh siyasah harbiyah yaitu siyasah yang mengatur tentang peperangan dan aspek-
aspek yang berhubungan dengannya, seperti perdamaian. Secara garis besar fikih siyasah
harbiyah meliputi pengertian dan ruang lingkup pembahasannya, arti, tujuan, dan
macam-macam peperangan dalam islam, kaidaih- kaidah peperangan dalam islam,
masalah mobilisasi umum, hak- hak dan jaminan keamanan serta perlakuan dalam
peperangan, tawanan perang, harta peperangan, dan mengakhiri peperangan menuju
perdamaian.1
B. Dasar pensyari’atan dan tujuan Qital dalam dalam Islam
Qital berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan dengan perang. 2 Dalam bahasa
Indonesia perang berarti permusuhan antara dua negara, bangsa, suku, dan sebagainya.
Perang juga berarti pertempuran bersenjata antara dua pasukan.3 Selain qital (killing),
terdapat beberapa kata lain yang berarti perang seperti harb (war), sira‟ah (combat),
marakah (battle), jihad (crusade), ghazwah (agretion) dan sebagainya. Pemilihan kata
qitâl didasarkan pada penggunaannya yang lebih signifikan dalam Al-Qur‟an.
Qital seakar dengan kata qatl yang tersusun dari huruf, qaf, tha, dan lam, yang
mempunyai arti dasar penundukan/penaklukan dan pembunuhan (idzlal wa imatah).4
Menurut al-Raghib al-Isfahani qatl berarti menghilangkan nyawa dari badan (izalah al-
ruh „an aljasad).5 Dapat pula berarti berkelahi, bertengkar, dan saling memaki. Qatl
kadangkala digunakan juga secara konotatif (kiasan) seperti bermalas-malasan (qatl al-
waqt), mempelajari dengan seksama (qatalahu bahtsan).6
Sementara al-Qur‟an juga menggunakannya dengan arti mengetahui dan melaknat,
seperti firman Allah Swt.:

1
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
Masyarakat, 1994), h. 40-41
2
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‟Ashriy: Kamus Kontemporer ArabIndonesia,
(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1998), cet. ke-3, h. 1418
3
Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.
668
4
Ahmad ibn Faris, al-Mu‟jam al-Maqayis al-Lughagh, (Kairo: Dâr al-Fikr, t.th), juz 5, h. 56.
5
Ar-Raghib al-Isfahaniy, al-Mufradat fi Gharib Al-Qur‟an, Edisi Sayyid Kaylani, (Mesir: Musthafa al-
Bab al-Halabi, t.th.), h. 393
6
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar, al-‟Ashriy: Kamus Kontemporer Arab Indonesia, h. 1418

3
ًُ‫اختَلَفُ ْىا ِف ْي ًِ لَ ِف ْي ش ٍَّّك ِ ّم ْى‬ ُ ‫صلَب ُْىيُ َو ٰل ِك ْه‬
ْ َ‫ش ِبًَّ لَ ُه ْم َۗوا َِّن الَّ ِذيْه‬ َ ‫َو َما قَتَلُ ْىيُ َو َما‬
"....Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali
mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu
adalah Isa". QS. an-Nisa [4]: 157
‫قَاتَلَ ُه ُم ه‬
َ‫ّٰللاُ ۚ اَوهً يُؤْ فَ ُك ْىن‬
"... Mereka dilaknat Allah, bagaimana mereka sampai berpaling?" QS. al-Taubah
[9]: 30
Keragaman makna qatl tersebut semuanya dapat dikembalikan ke makna asalnya
yaitu penaklukan (idzlal) dan pembunuhan (imatah). Adapun Qital yang berbentuk
mashdar dari fi‟il mazid (kata kerja dengan tambahan huruf) berarti membunuh dan
menaklukkan. Meskipun dalam praktek keduanya tidak mesti saling terbunuh, namun
esensi dari tindakan tersebut adalah untuk menaklukkan lawan. Jika lawan telah
takluk/menyerah berarti qital telah dimenangkan dan harus segera dihentikan. Tetapi jika
keduanya belum ada yang keluar sebagai pemenang, lalu memutuskan untuk berdamai
maka Qital harus dihentikan.
Dalam hal ini, Qital kontras dengan shulh (perdamaian). Qital lebih populer
diartikan perang dan dalam penggunaannya kadang disamakan dengan harb, ghazwah,
dan jihad.7 Qital beserta seluruh kata yang seakar dengannya muncul dalam AlQur‟an
sebanyak 170 kali.8 Bila kita melacak penggunaan dari akar kata q-t-l beserta seluruh
derivasinya, maka ditemukan dua bentuk utama yaitu dalam bentuk mujarrad (asli tanpa
tambahan huruf) dan mazid (dengan tambahan huruf).
Dalam bentuk mujarrad seperti pada kata qatala dan derivasinya muncul sebanyak
98 kali. Sedangkan dalam bentuk mazid muncul sebanyak 72 kali, dengan rincian
qatala/qital 67 kali, iqtatala 4 kali, dan qattala 1 kali. Untuk kata qitâl sendiri berikut
derivasinya ditemukan dalam bentuk fi‟il madhi 11 kali, fi‟il mudhari 26 kali, fi‟il amr
14 kali. Sedangkan dalam bentuk majhûl (pasif) muncul 3 kali dan bentuk mashdar
sebanyak 13 kali.
Secara garis besar Al-Qur‟an menggunakan kata ini untuk menunjukkan 4 makna
yaitu: membunuh, berperang, pernyataan celaka, dan laknat oleh Allah dan mengetahui
sesuatu dengan yakin. Jumlah tersebut tersebar dalam 130 ayat. Sedangkan yang
berbicara tentang perang berjumlah 47 ayat. Makna berperang dan membunuh

7
A. Hafizh Dasuki, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Juz V, h. 316
8
Al-Baqi‟. Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh AI-Qur‟an, h. 243-244.

4
merupakan makna yang paling populer dari yang lainnya. Selanjutnya makna inilah yang
akan dibahas dalam kajian ini. Perang menggambarkan adanya tindakan kekerasan untuk
menghentikan atau melawan sesuatu yang tidak bisa dihentikan lagi dengan upaya
diplomasi.
Perang merupakan upaya terakhir dan maksimal untuk mencegah sesuatu. Sampai
di sini dapat dipahami bahwa segala bentuk tindakan tegas untuk menaklukkan sesuatu
tercakup oleh kata qitâl. Hal tersebut dapat kita lihat misalnya dari ayat berikut:
‫َت اِحْ ٰدى ُه َما َعلًَ ْاْلُ ْخ ٰري فَقَا ِتلُىا الَّ ِت ْي تَ ْب ِغ ْي َحتهً تَ ِف ۤ ْي َء ا ٰ ِٰٓلً اَ ْم ِر‬
ْ ‫ص ِل ُح ْىا َب ْيىَ ُه َم ۚا فَا ْۢ ِْن َبغ‬
ْ َ ‫ط ۤا ِٕىفَ ٰت ِه ِمهَ ْال ُمؤْ ِم ِىيْهَ ا ْقتَتَلُ ْىا َفا‬
َ ‫َوا ِْن‬
ِ ‫ّٰللاَ ي ُِحبُّ ْال ُم ْقس‬
َ‫ِطيْه‬ ُ ‫ص ِل ُح ْىا بَ ْيىَ ُه َما بِ ْال َعدْ ِل َواَ ْق ِس‬
‫ط ْىا ۗا َِّن ه‬ ْ ‫ّٰللاِ ۖفَا ِْن فَ ۤا َء‬
ْ َ ‫ت فَا‬ ‫ه‬
"Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap
yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali
pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut
keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orangorang
yang berlaku adil". QS. al-Hujurat [49]: 9.
M. Quraish Shihab ketika mengulas ayat ini menegaskan bahwa penggunaan in di
awal kalimat menunjukkan bahwa pertikaian antar kelompok kaum mu‟min adalah
sesuatu yang sangat jarang terjadi. Dan tindakan memerangi kelompok yang melampaui
batas adalah suatu tindakan yang terlampau besar. Sehingga ia memaknai perintah
faqâtilu dengan tindaklah bukan perangilah.9 Terlihat bahwa qital merupakan kata yang
memiliki makna yang luas. Tetapi semuanya tidak terlepas dari makna dasarnya yaitu
penaklukan (idzlal). Seyogyanya tindakan penaklukan dapat diminimalisir dan
proporsional.
Sampai di sini dapat ditarik sebuah asumsi bahwa segala tindakan tegas untuk
menaklukkan sesuatu yang agresif dapat dikategorikan qital, meskipun makna qitâl
sendiri lebih luas dari itu. Rentang waktu tersebut ayat-ayat qital banyak mewarnai
wahyu yang turun periode Madinah, sehingga jumhur ulama merumuskan bahwa ayat-
ayat yang di dalamnya berbicara tentang perang termasuk Madaniyah.
Mahmud Syalthut menyebutkan bahwa diantara tujuan dari surah-surah Madaniyah
adalah: Pertama, mengatur segala urusan kaum muslimin dengan menentukan syariat
bagi mereka dengan memandang bahwa mereka sebagai umat yang mandiri, yang
mempunyai eksistensi dan jalan hidup tersendiri. Kedua, membimbing mereka dalam

9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Juz 13, h. 243-244.

5
menyanggah penduduk negeri tetangga mengenai perkara-perkara yang berhubungan
dengan aqidah dan hukum-hukum dan petunjuk bermuamalah bersama mereka dalam
masalah-masalah khusus seperti perang dan damai.10
Manna‟ Khalîl al-Qaththân secara lebih rinci menyebutkan bahwa ayat- ayat
Madaniyah berisi ajaran-ajaran tentang ibadah, muamalah, hubungan sosial, perang, dan
damai, seruan terhadap Ahli Kitab dan prilaku orang-orang munafik.11 Hampir separuh
surah Madaniyah mengandung ayat-ayat qitâl. Ayat-ayat tersebut meliputi berbagai
problematika seputar perang dan damai seperti, tujuan, sasaran, respon atas perintah
qitâl, petunjuk, taktik dan strategi, aturan, keringanan, kisah perang dan damai, imbalan
(pahala), pertolongan (nashr) Allah atau yang diistilahkan dengan madad, serta batasan
dan etikanya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa qital termasuk persoalan yang
dibahas Al-Qur‟an secara gamblang dan mendetail.
C. Hubungan Qital dan Jihad
Selain qitâl terdapat beberapa term yang digunakan Al-Qur‟an untuk menunjukkan
makna perang. Term-term tersebut dalam jumlah yang signifikan sangat penting
diungkap. Selain dengan asumsi adanya relevansi makna, juga dimaksudkan untuk
melengkapi data guna mendapatkan kesimpulan yang utuh dan lengkap.
Jihad merupakan kata yang sangat sensitif karena adanya reduksi pemahaman atas
maknanya. Jihad diidentikkan bahkan kadang disamakan dengan perang. Pemahaman
demikian tidak terlepas dari pengaruh penulis Eropa yang rnengintroduksi jihad dengan
istilah The Holy War (perang suci). Suatu terjemahan yang tidak dikenal dalam
kepustakaan Islam sebelumnya, melainkan diambil dari sejarah Eropa sendiri yang
memahami istilah ini sebagai perang karena alasan keagamaan. Memang dalam Al-
Qur‟an dan hadis, jihad adalah perjuangan dengan motif dan tujuan keagamaan. Tetapi di
dalamnya tidak terkandung pengertian perang suci sebagaimana dipahami dalam konteks
sejarah Barat, apalagi identik dengan pengertian itu.12
Kata jihad berasal dari akar kata jim, ha dan dal yang pada dasarnya mengandung
arti kesulitan dan yang memiliki kedekatan makna dengannya (al-masyaqqah wa mâ
yuqârib bih).13 Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti letih atau sukar dan

10
Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur‟an al-Karim: Pendekatan Syaltut dalam Menggali Esensi AlQur‟an,
terj. Herry Noer Ali, (Bandung: CV. Diponegoro, 1990), juz 3, h. 647.
11
Manna‟ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an, terj. Mudzakkir AS., (Jakarta: Litera
Antar Nusa, 2000), h. 87
12
M. Dawam Rahardjo, Ensinklopedi Al-Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h.
511.
13
Ahmad ibn Faris, al-Mu‟jam al-Maqâyis al-Lughah, Juz I, h. 486

6
kemampuan. Jahd juga berarti kesulitan, puncak masalah, kesungguhan dan ujian berat
(almasyaqqah wa al-ghayah wa al jadd wa al-imtihan). Ia juga bisa terambil dari kata
juhd yang berarti kemampuan, kekuasaan, dan pengorbanan (ath-thaqah wa al-wus wa
al-badzl).14 Tampak bahwa jihad merupakan kata yang bermakna luas. Secara leksikal
jihad dapat diartikan sebagai upaya yang sulit, membutuhkan pengorbanan, dan
pengerahan segenap kemampuan yang dimiliki untuk mencapai suatu tujuan. Kata jihad
dan kata yang seakar dengannya muncul 41 kali dalam AlQur‟an.15
Dalam konteks perjuangan terdapat 28 ayat, 4 ayat turun pada periode Mekah dan
24 lainnya turun pada periode Madinah. Ayat-ayat jihad periode Makkiyah digunakan
dalam konteks perjuangan dengan menggunakan Al-Qur‟an untuk mengajak kaum
musyrik Quraisy mengikuti ajaran Islam dengan argumentasi logis (QS. al-Furqân [25]:
52). Selain makna perjuangan, ayat-ayat jihad periode Makkiyah juga berarti paksaan
mempersekutukan Allah (QS. al-„Ankabût [29]: 8 dan QS. Luqmân [31]: 15),
kesungguhan dalam bersumpah dan sabar dalam menghadapi cobaan. Tak satu pun yang
berarti perjuangan dalam bentuk perang.
Jihad dalam konteks Makkiyah adalah jihad dengan kesabaran, ketabahan
menghadapi ujian fisik, dan mental dari musyrik Quraisy dengan menggunakan
argumentasi logis dan logika Al-Qur‟an. Ayat-ayat jihad periode Madinah
memperkenalkan makna baru yaitu perjuangan secara konfrontatif dengan melakukan
kontak fisik (perang). Ayat -ayat jihad periode ini turun seputar masa turunnya ayat
tentang perintah berperang (Qitâl). Ayat jihad dengan aksentuasi perang banyak
ditemukan dalam ayatayat Madaniyah, khususnya ketika berbicara tentang perang.
Tampak bahwa perang adalah bagian dari jihad. Dalam istilah Nabi, perang adalah jihâd
ashghar (perjuangan yang lebih kecil), sementara perang melawan hawa nafsu disebut
jihâd akbar (perjuangan yang lebih besar). Selain makna perang, Al-Qur‟an masih
menggunakannya dalam konteks paksaan, ujian keimanan, dan keseriusan dalam
bersumpah.
Menurut ar-Raghib al-Isfahaniy, jihad dalam Al-Qur‟an memiliki 3 arti: Pertama;
berjuang melawan musuh yang nyata; Kedua, berjuang melawan setan; Ketiga, berjuang
melawan nafsu. Sementara itu Ibnu Qayyim membagi musuh nyata dengan orang kafir
dan munafik. Dari kedua ulama tersebut dan sesuai pengertian etimologisnya maka jihad
berarti: menggunakan, mengeluarkan tenaga, daya upaya atau kekuatan untuk melawan

14
Ar-Raghib al-Isfahaniy, al-Mufradat fi Gharib Al-Qur‟an, (Kairo: Dar al-Fikr, t.th), h. 99
15
Al-Baqi‟, Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh AI-Qur‟an, h. 232-233

7
suatu obyek yang tercela dalam rangka menegakkan agama Allah. Obyek itu adalah
musuh yang nyata, setan, dan nafsu.16
Perang merupakan arti khusus dari jihad yang mempunyai pengertian urnum.
Menurut Muhammad Izzah Darwazah, pengertian khusus ini lebih banyak digunakan Al-
Qur‟an dari pengertian umumnya. Jihad khusus (perang) biasanya diikuti frase fi
sabilillah dan bi amwalihim wa anfusihim.17 Hal ini menunjukkan bahwa perang harus
senantiasa berada dalam koridor sabîlillâh. Secara umnm sabîlillâh dapat diartikan segala
yang ma‟ruf dan mencegah yang munkar. Sedangkan penggunaan frase bi amwalihim wa
anfusihim (dengan harta dan jiwa). Menunjukkan bahwa yang dituntut dalam perang
adalah segala kesanggupan yang dimiliki, berupa harta, pengetahuan bahkan nyawa
sekalipun. Sebagai bentuk perjuangan total demi tegaknya agama Allah. Hal ini
menjadikan jihad sebagai spirit umat Islam yang luar biasa. Jika spirit ini dibawa ke
medan perang, maka akan muncul semangat pengorbanan hingga ke titik darah
penghabisan.
Demikian bahwa jihad adalah kata yang bermakna luas yaitu perjuangan.
Perjuangan yang menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan melawan
musuh yang nyata, pengaruh setan dan segala nafsu tercela. Sehingga sebagaimana arti
etimologinya, jihad adalah puncak kepayahan setelah mengerahkan dan mengorbankan
seluruh kemampuan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Qital (perang) adalah
bagian dari jihad. Qital adalah makna khusus dari jihad yang memiliki makna luas yakni
perjuangan total yang meliputi seluruh aspek kehidupan untuk terwujudnya misi Islam
yang sejati. Makna perang fisik atau mengangkat senjata terhadap para pembangkang
Islam hanyalah salah satu manifestasi jihad yang diperintahkan.
Jihad dalam bentuk ini menjadi sangat sentral di masa Nabi, khususnya setelah
beliau hijrah ke Madinah. Upaya untuk menghilangkan dan memberantas kejahatan
adalah bagian dari makna jihad. Jihad terhadap kekufuran sebagai induk segala kejahatan
mesti diupayakan secara terus menerus. Perintah jihad terhadap orang-orang kafir tentu
saja dapat meliputi semua bentuk jihad seperti perang, maupun perjuangan moral dan
spiritual khususnya dalam upaya membendung pengaruh-pengaruh jahat mereka.18

16
A. Hafizh Dasuki, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1996), juz 5,
h. 1397.
17
al-Bâqi‟, op. Cit
18
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur‟an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan
T‟afsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 218.

8
Namun, ketika memerintahkan perang untuk pertama kalinya, secara tegas Al-
Qur‟an menggunakan kata Qital bukan dengan kata jihad, seperti qatilu (QS. al-Baqarah
[2]): 190, 193), uqtulu (QS. alBaqarah [2]: 191) atau menggunakan kata-kata harb (QS.
al-Baqarah [2]: 279). Fakta ini dengan jelas membuktikan perlunya membedakan antara
makna jihad dengan perang (Qital, harb) atau setidaknya perlu memahami jihad secara
lebih luas bukan sebatas perang fisik sebagaimana sering dipahami oleh orangorang yang
kurang paham terhadap konsep jihad maupun Qital.

D. Perdamaian Dalam Islam

Nilai-nilai perdamaian pada hakikatnya banyak termaktub dalam al-Qur‟an dan


juga secara jelas diindikasikan dalam berbagai riwayat hadis Nabi. Tidak ada satu ayat
pun dalam al-Qur‟an, dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan semangat
kebencian, permusuhan, pertentangan, atau segala bentuk perilaku dalam Islam,
perdamaian nmerupakan hak asasi, karena terkaiterat dengan watak Islam. Menurut
Qutb, watak perdamaian dalam islam bertitik tolak pada universalitas Islam tentang
alam, kehidupan, dan manusia. Hubungan ketiga unsur tersebut menjadi titik tolak
membangun perdamaian.

Perdamaian yang mampu menciptakan ketenangan tidak hanya bagi individu


manusia tetapi ketenangan keseluruhan, kestabilan alam memberikan ketenangan
terhadap manusia dalam menjalani kehidupan. Alam merupakan unsure utama
perdamaian, alam memiliki keterpaduan antara masing-masing bagiannya mulai benda-
benda bernyawa maupun yang tidak benyawa.

Perdamaian juga bukan sekedar untuk mencegah konflik dan peperangan. Tetapi
untuk mewujudkan ketenangan. Membangun perdamaian butuh banyak materi.
Perdamaian tidak akan mampu berdirisendiri tanpa ditopang bagian-bagian yang lain.
Berdasarkan penelitian, Qutb sebenarnya menawarkan mega proyek perdamaian dalam
perspektif islam. Menurut Qutb, membangun perdamaian merupakan upaya transformasi
sebagaimana infestasi prinsip-prinsip kemerdekaan, keadilan, dan keamanan dalam
kehidupan. Perdamaian bukan sekedar mencegah meresolusi konflik dan peperangan.

9
Akan tetapi, upaya menciptakan ketenangan dan keamanan dalam jiwa. Perdamaian
tanpa efek ketenangan batin bukanlah perdamaian sejati.19

Upaya Islam dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia Islam menjadikan dialog antar
kelompok yang saling berbeda dan berselisih sebagai sebuah keharusan dan realitas yang
berpijak pada asas dialog dan perbincangan yang baik. Allah Swt. Berfirman:

“Janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, kecuali dengan cara yang terbaik!” (Q.S.
Al-Ankabut: 46)

Islam menegaskan pengharaman menumpahkan darah, mengambil harta orang lain


danmenodai kehormatan orang. Sebagaimana Islam juga menegaskan kewajiban
menjagabangsa dan negara. Hal ini merupakan perkara wajib dalam pandangan semua
agama.Allah SWT berfirman:

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah
membunuh manusia seluruhnya dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusiasemuanya. dan
Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”

Islam menjadikan bentuk hubungan antarbangsa adalah saling melengkapi,


salingmemahami dan saling mengenal bukan perseteruan dan peperangan. Allah
SWT,berfirman,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-lakidan


seorang perempuan; dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku,
supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)

19
Imam Taufiq, Peace Building dalam Al-Qur‟an, (Semarang: IAIN Walisongo Semarang), h. 39

10
Islam menekankan upaya menjaga stabilitas keamanan sosial dalam masyarakat.
Karenastabilitas keamanan dalam masyarakat akan mewujudkan stabilitas keamanan
dunia.Allah Swt. telah menganugerahkan kemikmatan ini kepada bangsa Quraisy;
sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka
hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah), Yang telah memberi
makanmereka (sehingga tidak merasa lapar) dan mengamankan mereka dari rasa
takut.” (Q.S.Quraisy: 1-4)

Islam menjamin kebebasan dalam memeluk suatu keyakinan. Tidak ada paksaan
atasseseorang untuk memeluk sebuah kepercayaan atau mazhab. Allah Swt. berfirman,

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sungguh telah jelas jalan
yang benar dari pada jalan yang sesat”. (Q.S. Al-Baqarah: 256)

Islam juga menegaskan bahwa dakwah harus dilakukan dengan penuh hikmah
dannasehat yang baik, jauh dari pernyataan yang kasar, tekanan dan kekerasan. Allah
SWT berfirman,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang
baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik!” (Q.S. Ali- Imron:179).

Allah SWT juga berfirman,

“Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari seketarmu.” (Q.S. Al-Ali- Imron:159)

Islam menjadikan hubungan aman dan damai sebagai bentuk dasar hubungan
antarbangsa, sedangkan perang hanyalah pengecualian. Allah Swt. berfirman,

“Janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka


memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka
perangilah mereka!” (Q.S. Al-Baqarah:191).8.

Islam mensyariatkan kesepakatan-kesepakatan dan perjanjian yang bisa mengatur


hubungan antar bangsa, serta mewajibkan komitmen terhadap perjanjian tersebut.
AllahSWT, berfirman:

11
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian itu!” (Q.S Al-
Maidah: 1)

Islam menentukan hukuman terberat dan memberikan kecaman sangat keras bagi
orang merusak perdamaian dan keamanan. Dalam hal ini, Islam mensyariatkan hukuman
atas tindakan kriminalitas yang mengancam keamanan dan perdamaian, seperti:
hukuman pencurian, perzinahan, penjarahan dan lainnya. Allah SWT, berfirman:

“Sesungguhnya balasan (hukuman) orangorang yang memerangi Allah dan Rasul-


Nya, serta membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh, atau disalib, atau
dipotong tangan dankaki mereka dengan bertimbal balik, atau dideportasi dari negeri
(tempat kediaman mereka). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
di dunia; dan diakhirat, mereka akan mendapatkan siksa yang besar.” (Q.S Al-Maidah:
33)

E. Suaka Politik
Pengungsi atau pencari suaka merupakan sekelompok orang yang rentan terhadap
perlakuan yang tidak manusiawi di negara asalnya. Kehadiran pengungsi atau pencari
suakake negara lain tentu bukan atas kehendak diri pribadi melainkan karena
keterpaksaan yang meharuskan untuk meninggalkan negaranya dikarenakan tidak adanya
jaminan keselamatan dari negaranya. Kondisi yang demikian tidak menutup
kemungkinan akan sangat rentan terjadinya pelanggaran HAM.20
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak mutlak yang di berikan Tuhan dan
melekat kepada setiap manusia sejak di dalam kandungan dan merupakan hak yang
fundamental yang tidak dapat dicabut dari setiap umat manusia.21 Maka dari itu perlu
adanya suatu ketentuan hukum sebagai bentuk upaya perlindungan dan pengakuan bagi
pencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain. Perlindungan
hukum kepada pencari suaka dapat diberikan oleh negara yang dituju kepada pencari
suaka apabila memenuhi persyaratan kualifikasi pencari suaka. Menurut Ahmad Abu Al

20
Lin Karita Sakharina Kadarudin, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Perbedaan Istilah
Pencari Suaka Pengungsi dalam Negeri, (Yogyakarta : Deeppublish, 2017), h. 171.
21
Mujaid Kumkelo, Fiqh HAM, Ortodoksi dan Liberalism Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Malang :
Setara Pers 2015), h. 45.

12
wafa‟ bahwa ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengungsi atau pencari
suaka untuk memperoleh suaka politik dari negara yang dituju.22
Berikut penjabaran terkait ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh
pengungsi atau pencari suaka demi memperoleh suaka politik.
1. Persyaratan memperoleh suaka politik
Dalam fikih siyasah, suaka politik dapat diberikan kepada pengungsi atau
pencari suaka selama memenuhi beberapa syarat berikut:
a. Pencari suaka berada di negara Islam atau di wilayah yang tunduk kepada
negara Islam.
Negara Islam yang dimaksud disini yaitu wilayah-wilayah atau negara
yang menerapkan syariat Islam dan seluruh penduduknya, baik beragama Islam
maupun non-Islam akan tetapi berada dalam perlindungan hukum yang
berlandaskan pada syariat Islam. Menurut Abu Hanifah ada tiga indikator yang
dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengidentifikasi Negara Islam,
Pertama; aturan-aturan hukum yang diterapkan bersumber dari syariat, Kedua;
memiliki hubungan yang baik dengan negara-negara Islam lainnya, ketiga;
warga negaranya baik muslim maupun non muslim dilindungi atas dasar ajaran
Islam.23 Adapun ulama kalangan Maliki menyatakan bahwa negara Islam
merupakan negara yang menerapkan aturan Islam dalam sistem hukumnya.24
Sedangkan ulama kalangan mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa negara Islam
yaitu negara yang memberi peluang kepada penduduknya untuk menerapkan
syariat Islam. Sebaliknya ulama mazhab Hanbali mengemukakan bahwa negara
Islam adalah setiap negara yang sistem hukumnya didominasi oleh syariat
Islam.25
b. Motif mendapatkan suaka politik. Suaka politik hanya diberikan kepada orang
yang sengaja ingin mencari perlindungan politik dari negara yang ditujunya dan
bersedia mengajukan diri menjadi warga negara yang dituju.

22
Ahmad Abu-al Wafa, Hak-Hak Pencari Suaka dalam Syariat Islam dan Hukum Internasional,alih
bahasa Asnawi dkk, (Jakarta: Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia dan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 27.
23
Al-kasaniy, Abu Bakr Mas‟ud, Bada‟i al-Shana‟i fi Tartib al-Syara‟i, (Beirut : Dar Ihya‟i al-turats
al-Islamy, 2000) , jilid IV, h. 12.
24
Ibn Rusyd, Abu al-Walid, al-Muqaddamat al-Mumahhadat, (Qatar : Dar al-Turats al-Islamy, 1987),
Jilid II, h. 153.
25
Ibn Muflih Al-Hanbaly, al-Adab al-Syari‟yyah wa al-Minah al-Mar‟iyyah, (Riyadh: Maktabah al-
Haditsah, 1971)Jilid I, h. 213.

13
c. Pencari suaka tidak mendapatkan lagi perlindungan dari negara asal dan
menolak tawaran perlindungan dari negara asal.
d. Pemberian suaka tidak merugikan negara yang menjadi tujuan, seperti seseorang
yang meminta suaka akhirnya menjadi mata-mata bagi negara asalnya.26
2. Etika Negara Tujuan Terhadap Pencari Suaka politik
Negara yang memberikan suaka politik kepada pencari suaka harus
mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur‟an Surat Al-Hasyr
ayat 9. Ada empat nilaidasar yang harus diterapkan oleh negara pemberi kuasa
politik kepada pencari suaka, yaitu:27
a. Negara pemberi suaka harus bersikap senang dan gembira terhadap para pencari
suaka dan dapat memperlakukan pencari suakasecara baik.
b. Memperhatikan segala kebutuhan hidup pencari suaka secara layak dan
diprioritaskan.
c. Memperlakukan setiap pencari suaka secara setara atau sama tanpa membeda-
bedakan satu sama lain, baik berdasarkan pertimbangan ras, kekayaan, agama,
atau yang lainnya.
d. Terlarang bagi negara yang dituju untuk memberikan penolakan pemberian
suaka kepadapara pemohon suaka dari negara-negara yang terkena krisis dan
kelaparan.
3. Prinsip-prinsip Suaka Politik
a. Larangan Pemulangan
Dilarang bagi sebuah negara untuk memulangkan pencari suaka ke negara
asalnya selama situasi dan kondisi dinegara asalnya dapat mengancam jiwa
pencari suaka. Larangan pemulangan ke negara asalnya karena terancam
keselamatan jiwanya.
b. Larangan menangkap dan memenjarakan pencari suaka yang masuk ke negara
tujuan secara ilegal.
Hukum asal tinggal disuatu negara bagi warga asing tanpa izin yang resmi
adalah dilarang. Larangan tinggal disuatu negara tanpa izin yang resmi tidak
berlaku bagi pencari suaka, hal ini dikarenakan kedatangan pencari suaka
kenegara yang dituju akibat ancaman keselamatan jiwa pencari suaka di negara

26
Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam, (Siyasah Dauliyah), (Bandung: 2015), h. 224-
225.
27
ibid., h.226.

14
asalnya. Menurut Ahmad Abu Al-wafater dapat empat jenis manusia yang
diperbolehkan masuk ke suatu negara tanpa izin (visa) untuk tinggal:28
1) Duta besar dan pedagang.
2) Orang yang menurut kebiasaan harus dibebaskan.
3) Seorang yang diutus khusus oleh satu negara (delegasi)
4) Orang yang meminta perlindungan keamanan dan keselamatan.
c. Larangan melakukan diskriminasi
Suaka politik harus diberikan oleh negarakepada setiap pencari suaka
yang memintanya tanpa harus membeda-bedakan agama, kebangsaan, status
ekonomi, jenis kelamin, atau status yang lainnya. Perbedaan merupakan
kudratullah yang secara sengaja diciptakan oleh Allah akan tetapi bukan untuk
membeda-bedakan, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur‟an Surat Ar-Rum ayat
22.
d. Fleksibilitas
Aturan hukum suaka politik sifatnya fleksibel dan sangat dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi. Sehubungan dengan itu, kaidah hukum taghayyur al-ahkam
bi taghayyur al-zaman (perubahan hukum akibat perubahan kondisi) menjadi
landasan hukum bagi negara tujuan dalam memperlakukan pencari suaka
politik. Selain itu,hadis nabi yang menyatakan, “kalian lebih tahu urusan dunia
kalian”, harus dijadikansebagai landasan dalammengatur pencari suaka.29
4. Macam-macam Suaka
a. Suaka Agama
Suaka agama yaitu memberikan perlindungan kepada setiap orang yang
memasuki tempat-tempat keagamaan atau suci. Dalam fikih siyasah suaka
agama hanya diberikan dalam dua bentuk suaka yaitu suaka untuk
mendengarkan Al-Qur‟an dan memasuki Masjid Suci Mekkah.
b. Suaka Teritorial
1) Pemberian Suaka oleh Negara Otoritas
Setiap negara memiliki kewenangan untuk memberikan suaka di
wilayahnya masing-masing. Suaka hanya diberikan kepada pencari suaka
yang telah mengajukan suaka kepada Negara tujuan atas pertimbangan
keselamatan jiwa dan keamanan. Negara tujuan memiliki wewenang untuk
28
hmad Abu-al Wafa, op. Cit, h. 50.
29
Ija Suntana, op. Cit, h.227-228

15
melindungi pencari suaka dan menahannya dari permintaan pengembalian
oleh negara asal.
2) Pemberian Suaka oleh Individu
Pemberian suaka dapat diberikan oleh seorang individu, hal ini sesuai
dengan salah satu hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, yang artinya: Orang-orang muslim itu setara dalam darah. Orang
yang paling rendah sekalipun dapat memberi jaminan kemanan dan mereka
memberi suaka, serta bersatu melawan musuh.
c. Pemberian Suaka Kepada Sandera
Seorang sandera memiliki hak untuk mendapatkan suaka politik, apabila
menyatakan diri berafiliasi dengan pihak yang menyanderanya dan negara
berkewajiban memberinya. Seorang sandera yang akan dibunuh oleh negara
asalnya tidak boleh dikembalikan ke negara asalnya. Dalam hal ini, meskipun
sandera memohon untuk dikembalikan kenegara asalnya, akan tetapi nyawanya
menjadi terancam di negaranya sendiri maka pengembalian sandera ke negara
asal juga dilarang.
d. Pemberian Suaka Kepada Imigran
Orang yang melakukan imigrasi ke suatu negara dengan tujuan untuk
mendapatkan suaka maka wajib diberi suaka. Berikut beberapa aturan dalam
fikih siyasah terkait suaka untuk imigran yaitu:
1) Dilindungi sisi keamanan keimanannya
2) Imigrasi yang disebabkan oleh intimidasi negara asal harus memperoleh
suaka prioritas
3) Ekstradisi imigran boleh dilakukan apabila di negara asal dipastikan
terjamin keamanannya.
e. Suaka untuk Korban Konflik Senjata di Negara Asal
Suaka diberikan kepada siapa saja yang mengajukan akibat peperangan di
negara asalnya dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Konflik bersenjata mengakibatkan warga mengungsi
2) Suaka tidak diberikan kepada pihak yang terlibat konflik.
3) Korban konflik tidak mengajukan perpindahan tempat.
4) Korban konflik segera dipulangkan ke negara asal setelah konflik senjata
berakhir

16
Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa seiring dengan maraknya pencari
suaka saat ini kenegara lain besar kemungkinan bagi pencari suaka akan mendapatkan
suaka politik dari negara yang dituju apabila ketentuan yang berlaku dalam fikih siyasah
dijadikan sebagai suatu aturan dalam dunia internasional. Hal ini dikarenakan ketentuan
yang berlaku bagi pencari suaka dalam siyasah kharijiyyah tidaklah jauh berbeda dengan
katentuan aturan suaka politik yang berlaku pada taraf internasional saat ini. Terlebih
lagidi dalam ketentuan suaka politik siyasah kharijiyyah mengandung nilai-nilai
kemaslahatan umat manusia yang merupakan perwujudan dari konsep harasah ad-din wa
siyasah ad-dunya (menjaga agama dan mengatur dunia).

Suaka politik yang berlandaskan pada kemaslahatan umat manusia merupakan


esensi dari mensejahterakan masyarakat dunia yang merupakan salah satu hal yang
digaungkan dunia internasional saat ini. Salah satu cara untuk mewujudkan kesejahteraan
pencari suaka politik dan masyarakat dunia pada umumnya yaitu dengan membangun
sistem politik internasional yang baik yang berazaskan pada nilai-nilai kemaslahatan
umat manusia. Inilah paradigma politik international yang mendapat menjawab
kebutuhan masyarakat dunia saat ini.

17
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Siyasah harbiyah yaitu siyasah yang mengatur tentang peperangan dan aspek-aspek yang
berhubungan dengannya, seperti perdamaian.
2. Qital adalah istilah yang digunakan Al-Qur‟an untuk menunjukkan makna perang. Selain
makna perang, Al-Qur‟an juga menggunakan untuk beberapa makna seperti membunuh,
menindak dengan tegas, kutukan, dan pengetahuan yang pasti. Perang dan membunuh
adalah dua makna paling populer yang digunakan Al-Qur‟an. Qital bermakna suatu
tindakan tegas untuk menghentikan atau memberi hukuman kepada kekuatan yang
agresif-destruktif. Hakikat perang demikian adalah sesuai dengan makna dasar dari qital
yaitu menaklukkan (idzlal), suatu makna yang tidak mengesankan adanya penindasan,
melampaui batas, atau tindakan zalim. Tindakan tegas apapun yang dipilih mesti selalu
disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Membunuh adalah tindakan maksimal dalam
suatu peperangan.
3. Prinsip qital adalah fi sabilillah, yaitu harus senantiasa dalam koridor koridor yang
ditetapkan Allah. Dimulai dari motivasi (niat) hingga tujuan harus selalu dalam koridor
yang diridhai Allah Swt. Adapun bentuk perang defensif yang dibolehkan adalah;
melawan agresi, menghilangkan fitnah terhadap agama dan membebaskan kaum
mustadh‟afun. Qital merupakan suatu bentuk ujian keimanan sama halnya dengan jihad,
untuk menguji dan memilah orang-orang mukmin sejati, mukmin yang masih lemah
imannya, dan mana orang munafik. Dengan ujian tersebut akan muncul
pertanggungjawaban terhadap iman dalam hati.
4. Upaya Islam dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia Islam menjadikan dialog antar
kelompok yang saling berbeda dan berselisih sebagai sebuah keharusan dan realitas yang
berpijak pada asas dialog dan perbincangan yang baik.
5. Perlindungan hukum kepada pencari suaka dapat diberikan oleh negara yang dituju
kepada pencari suaka apabila memenuhi persyaratan kualifikasi pencari suaka. Menurut
Ahmad Abu Al-wafa‟ bahwa ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh
pengungsi atau pencari suaka untuk memperoleh suaka politik dari negara yang dituju

18
Daftar Pustaka

Ahmad ibn Faris, al-Mu‟jam al-Maqâyis al-Lughah, Juz I

Ahmad ibn Faris, al-Mu‟jam al-Maqayis al-Lughagh, Kairo: Dâr al-Fikr, t.th

Ar-Raghib al-Isfahaniy, al-Mufradat fi Gharib Al-Qur‟an, Edisi Sayyid Kaylani, (Mesir:


Musthafa al-Bab al-Halabi, t.th.

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar, al-‟Ashriy: Kamus Kontemporer Arab Indonesia

A. Hafizh Dasuki, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Juz V

Al-Baqi‟. Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh AI-Qur‟an

Ar-Raghib al-Isfahaniy, al-Mufradat fi Gharib Al-Qur‟an, Kairo: Dar al-Fikr, t.th

Al-Baqi‟, Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh AI-Qur‟an

A. Hafizh Dasuki, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, juz 5, Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve,
1996

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‟Ashriy: Kamus Kontemporer ArabIndonesia, cet.
ke-3, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1998

Ahmad Abu-al Wafa, Hak-Hak Pencari Suaka dalam Syariat Islam dan Hukum
Internasional,alih bahasa Asnawi dkk, Jakarta: Kantor Perwakilan UNHCR di
Indonesia dan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2011

Al-kasaniy, Abu Bakr Mas‟ud, Bada‟i al-Shana‟i fi Tartib al-Syara‟i, jilid IV, Beirut : Dar
Ihya‟i al-turats al-Islamy, 2000

Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur‟an: Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan T‟afsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991

Ibn Rusyd, Abu al-Walid, al-Muqaddamat al-Mumahhadat, Jilid II, Qatar : Dar al-Turats al-
Islamy, 1987

Ibn Muflih Al-Hanbaly, al-Adab al-Syari‟yyah wa al-Minah al-Mar‟iyyah, Jilid I, Riyadh:


Maktabah al-Haditsah, 1971

Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam, (Siyasah Dauliyah), Bandung: 2015

Imam Taufiq, Peace Building dalam Al-Qur‟an, Semarang: IAIN Walisongo Semarang

J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Lembaga Studi
Islam dan Masyarakat, 1994

Lin Karita Sakharina Kadarudin, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Perbedaan


Istilah Pencari Suaka Pengungsi dalam Negeri, Yogyakarta : Deeppublish, 2017

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Juz 13

19
Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur‟an al-Karim: Pendekatan Syaltut dalam Menggali Esensi
AlQur‟an, terj. Herry Noer Ali, juz 3, Bandung: CV. Diponegoro, 1990

Manna‟ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an, terj. Mudzakkir AS., Jakarta:
Litera Antar Nusa, 2000

M. Dawam Rahardjo, Ensinklopedi Al-Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep


Kunci

Mujaid Kumkelo, Fiqh HAM, Ortodoksi dan Liberalism Hak Asasi Manusia dalam Islam,
Malang : Setara Pers 2015

Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1988

20

Anda mungkin juga menyukai