Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Sinopsis Drama Nyonya

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

1.

Sinopsis Drama Nyonya-Nyonya

Seorang Tuan pedagang barang antik sedang berdiri di teras depan rumah seorang Nyonya sambil
menggerutu sendiri tentang cuaca, keadaan dirinya, dan tentang perilaku orang-orang terhadap
dirinya.Nyonya tersebut mengomel karena Tuan berdiri di terasnya. Ia khawatir keberadaan Tuan di teras
rumahnya akan menimbulkan pandangan negatif dari masyarakat. Ia juga mengusir Tuan agar lekas pergi
dari teras rumahnya.Tuan mengelak kekhawatiran Nyonya dengan mengemukakan banyak alasan.
Akhirnya Tuan membeli empat buah marmer tempat dia berdiri agar ia bisa bebas berdiri di sana tanpa
didesak-desak untuk pergi oleh Nyonya. Kemudian Ponakan A—keponakan suami Nyonya—datang
menagih uang hasil penjualan tanah pusaka. Tanah pusaka milik keluarga mereka telah diserahkan kepada
Datuk, suami Nyonya, untuk dijual, namun uang hasil penjualannya tidak dibagi-bagikan kepada
keponkan-keponakannya. Karena itu Ponakan A menuntut bagi hasil. Ia juga mencurigai Nyonya
menggunakan harta pusaka itu untuk membangun rumahnya yang mewah. Namun Nyonya mengelak
semua tuduhan itu. Ponakan A juga menuduh bahwa penyakit kanker lidah yang kini diderita Datuknya
adalah karena kutukan nenek moyang, karena Datuknya telah berani memakan uang penjualan tanah
pusaka. Menurutnya, orang yang memakan harta tanah pusaka dan berlaku tidak adil dalam pembagian
warisan pasti akan mendapat penyakit yang aneh-aneh.
Ponakan A tetap bersikukuh bahwa Nyonya menyimpan uang penjualan tanah pusaka itu di rumahnya.
Hal itu membuat Nyonya marah. Ponakan A kemudian mengeluarkan pisau dari dalam tasnya dan
mengancam Nyonya agar memberikan uang. Nyonya kemudian memberikan uang hasil penjualan empat
buah mermernya kepada Ponakan A. Terjadilah rebutan pisau, namun akhirnya Ponakan A dapat merebut
pisau itu kembali dari tangan Nyonya dan membawa uangnya pergi.Nyonya yang tidak berhasil mengejar
Ponakan A kembali ke ruang tamu dan terkejut mendapati Tuan sudah duduk enak-enakan duduk di kursi
ruang tamunya. Ia marah karena Tuan masuk dan duduk di ruang tamunya tanpa izin. Tuan membela diri
dengan berbagai macam alasan. Akhirnya Tuan membeli kursi ruang tamu Nyonya agar Nyonya tidak
mendesak-desaknya keluar dari ruang tamu.Istri Tuan kemudian datang sembari marah-marah. Ia
memarahi Tuan yang tak kunjung pulang, apalagi ketika ia mengetahui suaminya itu membeli sebuah
kursi bekas dengan harga yang menurutnya sangat mahal. Ia menyesalkan sikap Tuan yang menjual kursi
di rumahnya—sedangkan anak-anak mereka di rumah sangat menginginkan untuk memiliki kursi—tapi
malah membeli sebuah kursi bekas. Dua pasangan suami istri itu terus bertengkar dan pergi.
Ponakan B dan Ponakan C datang menemui Nyonya. Sama seperti Ponakan A, mereka juga menuntut
pembagian uang penjualan tanah pusaka. Mereka juga menuduh Nyonya seperti tuduhan Ponakan A.
Mereka mengancam Nyonya dengan surat pengakuan dari Datuk, yang berisi pernyataan bahwa uang
pusaka telah diserahkan kepada Nyonya. Tapi Nyonya mengelak, ia bersikukuh bahwa rumahnya adalah
hasil kerja kerasnya dan ibunya sendiri. Nyonya akhirnya memberikan sejumlah uang hasil penjualan
kursinya kepada Ponakan B dan Ponakan C. Uang itu segera dibagi jadi dua, tapi bagian Ponakan C lebih
besar. Ponakan B tidak terima, ia menuntut pembagian yang rata. Kemudian Ponakan A datang dengan
pisau terhunus. Ponakan A juga menuntut pembagian uang itu. Ia mengancam dengan pisau di tangannya.
Ponakan C tidak terima, ia juga mengeluarkan pisau yang lebih besar. Demikian juga dengan Ponakan B,
ia juga mengeluarkan piasu yang lebih besar lagi dari pisau Ponakan C.
Nyonya berteriak-teriak, mencegah agar mereka tidak berbunuhan. Ia ketakutan dan keluar.
Sepeninggalnya Nyonya, ketiga Ponakan lega dan saling bersalaman. Mereka juga tertawa cekikikan.
Ponakan A berkata bahwa dengan uang itu, mereka dapat membayar ongkos rumah sakit Datuknya
sehingga mereka tidak lagi dituduh sebagai orang yang tak tahu adat. Mereka kemudian berteriak tentang
kesetiaan mereka kepada Datuknya.Tuan datang dan segera duduk di kursi makan. Nyonya yang datang
tak berapa lama kemudian merasa terkejut. Mereka kembali beradu argumen. Akhirnya Tuan membeli
kursi makan tersebut. Ia membayar kursi itu separuh harga dan berjanji akan melunasi sisanya besok pagi.
Nyonya kemudian menyuruh Tuan keluar tapi Tuan marah karena sebagai pemilik kursi ia tidak mau
diusir. Akhirnya Tuan kemudian keluar juga, tapi ternyata ia lupa membawa tasnya. Ketika berbalik ingin
mengambil tas, ia mendengar Nyonya mengucapkan kalimat penyesalan karena Tuan datang terlalu pagi
sehingga ia tidak sempat gosok gigi. Tuan pun menggoda Nyonya, Nyonya kelabakan dan berlari ke
dalam. Tuan akhirnya keluar sambil bernyanyi-nyanyi senang.
Dari arah lain, ketiga ponakan masuk sambil meratap, menyesali nasib Datuknya yang dapat istri cantik
tetapi menyia-nyiakan suami. Tapi karena Nyonya tidak ada di rumah ketiganya kemudian pergi dengan
kecewa.Nyonya sedang berdandan di kamar. Ia duduk di kursi riasnya didiringi sebuah nyanyian dari tape
recorder. Tiba-tiba Tuan masuk. Nyonya terkejut sekali dan segera mematikan tape recordernya.
Nyonya memarahi Tuan yang seenaknya memasuki kamarnya. Tuan beralasan bahwa ia ingin melunasi
hutangnya. Ia mengeluarkan sejumlah uang tapi Nyonya tak peduli. Tuan kemudian menghitung uang itu
sambil duduk di atas tempat tidur. Matanya terpaku pada tubuh Nyonya yang sedang berdandan.Nyonya
menyuruh Tuan keluar tapi Tuan mengelak dengan berbagai alasan. Tuan malah menyuruh Nyonya
duduk di sampingnya. Nyonya menolak untuk duduk di samping Tuan. Ia menjual tempat tidur dan kursi
riasnya agar Tuan segera angkat kaki dari kamarnya. Tuan mulai menawar harga tempat tidur dan kursi
rias. Setelah menyerahkan uang, Tuan tak langsung pergi. Ia mengatakan bahwa kursi rias itu telah
menjadi miliknya, maka Nyonya tidak berhak menempati milik orang. Nyonya akhirnya berdiri. Di luar
kamar, ketiga ponakan datang sambil meratap tentang kemalangan Datuknya. Kemudian istri Tuan juga
datang dan ketiga ponakan itu pun berhenti meratap.Di dalam kamar, Tuan segera bangkit dan langsung
berjongkok di dekat kaki Nyonya. Tuan mengkhawatirkan lutut Nyonya yang bisa bengkak karena
kelamaan berdiri. Namun Nyonya tak peduli, ia tetap berdiri. Tuan mengatakan bahwa lutut Nyonya telah
bengkak. Nyonya melihat lututnya tapi tetap masa bodoh.Nyonya-nyonya di luar itu pun juga melihat
lututnya sendiri-sendiri.
Tuan mengatakan bahwa betis Nyonya mulai berdarah dan memegang kaki Nyonya. Nyonya menyuruh
Tuan untuk melepaskan tanganya. Namun Tuan tidak mau. Nyonya kemudian menjual tumitnya agar
Tuan tidak lagi memegang kakinya. Tuan mulai menawar, tapi Nyonya meminta harganya naik. Dan
setiap Nyonya meminta kenaikan harga, pegangan Tuan naik ke atas.Nyonya kemudian berteriak
tertahan, dan nyonya-nyonya yang berada di luar kamar ikut berteriak. Nyonya dan Tuan segera sadar
bahwa ada orang lain di teras. Keduanya tersentak dan saling berusaha melarikan diri, tapi tidak tahu mau
lari ke mana. Akhirnya, mereka berangkulan dan saling melepaskan lagi, kemudian berangkulan
lagi.Nyonya-nyonya di luar mengintip dan tercengang. Mereka marah dan mengejar Tuan dan Nyonya ke
dalam sambil menghunus pisau masing-masing. Istri Tuan kemudian datang tergesa dan ketika melihat
Tuan dan Nyonya berpelukan, ia kemudian pingsan.

Apresiasi Drama Nyonya-Nyonya

Tema
Dalam drama ini tema yang diangkat oleh pengarang adalah menjaga nama baik. Nyonya pada drama ini
selalu menghindar terhadap tindakan yang dapat mencemarkan nama baiknya. Dia tidak ingin nama
baiknya tercemar karena ada seoranng pria yang masuk ke dalam rumahnya, sedangkan rumahnya kosong
tidak ada orang tua ataupun suaminya.
NYONYA
Tuan mengira teras rumahku ini halte bus!? Tak useh ye! Ayo pergi! jangan berdiri di situ! Pergi! namaku
tidak boleh cacat di mata umum. Berapa kali harus kukatakan pada Tuan! Namaku, namaku! Apa semua
pedagang barang antic selalu tuli!?

Latar
Latar dalam drama ini sangat terlihat sekali. Setiap babak berbeda latar tempatnya dan setiap nama babak
mencirikan latar tempat drama ini.
Babak kesatu "Di Teras"
NYONYA (Mematikan Tape Recorder dan datang dengan berang menemui Tuan)
Bagus sekali, Tuan! Bagus. Tenu Tuan sudah menyusun alas an pula untuk dapat berdiri di teras rumahku
ini. Hari telah malam, taksi tidak ada yang lewat, ramalan TV meleset dan sebagainya, dan sebagainya!
Apa kata orang-orang itu nanti, kalau mereka melihat Tuan terus berdiri di sini. Kalau disangka Tuan
sedang bermain drama ya…. Mungkin tidak apa-apa. Tapi, kalau mereka menyangka Tuan sedang
mengintai saya yang sedang berdandan di kamar kan susah. Ekor persoalannya, Tuan. Ekornya.
Babak kedua "Di Ruang Tamu"
TUAN DATANG DAN LANGSUNG DUDUK DI KURSI. DIA DUDUK DENGAN SANGAT ENAK.
SEMENTARA ITU, NYONYA DATANG TERENGAH-ENGAH. DIA KESAL SEKALI KARENA
TIDAK BERHASIL MENGEJAR PONAKAN A. DIA TERKEJUT MELIHAT TUAN SUDAH
DUDUK DI RUANG TAMU. LALU, SEMUA KEKESALANNYA ITU DILAMPIASKANNYA PADA
TUAN.
Babak ketiga "Di Ruang Makan"
TUAN DATANG DAN SEGERA DUDUK DENGAN ENAKNYA DI ATAS KURSI MAKAN,
DIIRINGI LAGU YANG LUCU DARI TAPE RECORDER. NYONYA DATANG DAN TERKEJUT
MELIHAT TUAN TELAH DUDUK DI RUANG MAKAN.
Babak keempat, “Di Dalam Kamar”
NYONYA BERDANDAN DI DALAM KAMAR, DIIRINGI SEBUAH NYANYIAN DARI TAPE
RECORDER. TIBA-TIBA TUAN MASUK. NYONYA TERKEJUT SEKALI DAN SEGERA
MEMATIKAN TAPE RECORDERNYA.
Latar sosial dan budaya dalam drama ini adalah budaya Minang yang cukup kental, terlihat dari dialog
antartokoh.
NYONYA
Kenapa datang tergesa? Kamu dari rumah sakit? Apa Datuk (kakek) mu memerlukan sesuatu? Apa dokter
mengatakan Datukmu akan dioperasi? Katakan cepat. Saya cemas sekali dengan kedatanganmu yang tiba-
tiba begini.
dan
BERTIGA (Berteriak lebih keras setelah menyimpan pisau kedalam tas)
Kamilah pewaris adat negeri ini! Tak lekang dek panas! Tak lapuk dek hujan! (Lalu keluar sambil
bergoyang pinggul) Ekornya…. Ekornya…. Ekornya…..

Alur
Drama Nyonya-Nyonya karya Wisran Hadi ini hanya memiliki satu alur saja, yaitu alur maju. Drama ini
terdiri dri dari empat babak. Dari setiap babak ke babak berikutnya merupakan kelanjutan cerita dari
babak sebelumnya. Kejadian yang terjadi pada babak kedua juga sebagai sebab-akibat dari kejadian di
babak pertama, begitu seterusnya.
Babak kesatu, “Di Teras”, menceritakan Nyonya yag terganggu karena Tuan tidak juga pergi dari depan
tersanya. Nyonya merasa nama baiknya akan tercemar dengan mengatakan “ Nama baikku Tuan. Nama
baikku nanti rusak,” karena Tuan tak juga pergi dari depan rumahnya. Hingga akhirnya tuan membeli
marmer tempatnya berdiri agar tidak lagi diusir oleh Nyonya. Marmer milik Nyonya terpaksa haus dijual
karena adanya tawar-menawar harga mermer dan nyonya tidak bisa menggagalkan transaksi jika tak mau
diadukan ke pengadilan yang dapat membuat nama baikya tercemar.
Di babak kesatu ini juga terdapat adegan dialog antara Nyonya dengan Ponakan A. pembicaraan mereka
membahas warisan tanah pusaka yang dijual kakek Ponakan A yang juga suami dari Nyonya. Ponakan A
menganggap bahwa uang hasil penjualan tanah pusaka yang dijanjikan kakeknya akan dibagikan ke cucu-
cucunya ada pada Nyonya. Nyonya tidak mengakuinya hingga akhirnya Ponakan A menodongkan pisau
ke arah Nyonya. Nyonya pun terpaska mengakui dan memberikan uang kepada Ponakan A karena
takutnya nama baiknya tercemar.
Di babak kedua, “Di Ruang Tamu”, terjadi lagi kejadian seperti pada babak satu yaitu adanya transaksi
jual beli kursi tamu, juga dengan alasan agar Tuan segera pergi dari rumahnya karena masalah nama baik.
Disini uang hasil penjualan kursi tamu diberikan pada Ponakan B dan Ponakan C karena Nyonya tidak
ingin nama baiknya tercemar.
Di babak ketiga, "Di Ruang Makan", terjadi pula adanya transaksi jual beli kursi makan, dengan alasan
yang tetap sama, yaitu agar tuan segera pergi dari Ruang makan. Begitu selanjutnya hingga ke babak
empat. Dari tempat tidur yang dijual hingga lutut Nyonya pun ingin di jual.

Amanat
Amanat yang ingin disampaikan pada drama ini salah satunya adalah juga menjaga nama baik karena kita
merupakan makhluk sosial. Selain itu, sifat serakah itu tidak baik karena keserakahan terhadap harta akan
menimbulkan perselisihan. Sesama anggota keluarga seharusnya hidup rukun.

Tokoh dan Penokohan


Nyonya adalah seorang tokoh yang memiliki seorang ibu yang tidak dijelaskan dalam ceritanya. Nyonya
juga memiliki seorang suami yang sedang dirawat di rumah sakit sehingga dirinya tinggal sendirian di
rumah. Nyonya sangat menjaga nama baiknya dengan mengatakan “Ekornya, ekornya…”.
NYONYA
Kejam atau tidak, yang penting aku harus menjaga nama baikku. Coba Tuan piker. Ibuku sedang ada di
rumah sakit. Bila seorang istri sendirian lalu didatangi lelaki, Tuan tentu tahu ekornya, bukan?
Tuan adalah tokoh yang hampir selalu mendampingi Nyonya dari setiap inti cerita drama ini. Mempunyai
seorang istri dan anak yang suka bermain dengan kursi. Tuan mempunyai watak yang keras dan tidak
mau kalah.
TUAN
Sabar sedikit Nyonya. Taksinya! Taksinya belum ada yang lewat.
dan
TUAN
Tunggu sebentar, Nyonya. Saya memang akan pergi juga.
Ponakan A adalah kemenakan suami nyonya. Ponakan A ini mempunyai sifat mau enak sendiri dan tidak
ingin ada seorang pun yang menudingnya tidak berbakti pada Datuknya. Ponakan A ingin membuktikan
bahwa sampai sekarang sebagai kemenakan, dirinya masih setia dan hormat pada Datuknya.
Ponakan B adalah kemenakan suami nyonya. Ponakan B ini mempunyai sifat mau enak sendiri dan tidak
ingin ada seorang pun yang menudingnya tidak berbakti pada Datuknya. Ponakan B ingin membuktikan
bahwa sampai sekarang sebagai kemenakan, dirinya masih setia dan hormat pada Datuknya.
Ponakan C adalah kemenakan suami nyonya. Ponakan C ini mempunyai sifat mau enak sendiri dan tidak
ingin ada seorang pun yang menudingnya tidak berbakti pada Datuknya. Ponakan B ingin membuktikan
bahwa sampai sekarang sebagai kemenakan, dirinya masih setia dan hormat pada Datuknya.
NYONYA
Kata suamiku, kemenakan sekarang hanya tahu enaknya saja. tidak ada lagi kemenakan yang mau
merawat Datuknya, kalau tidak ada maksud-maksud tertentu. Katanya lagi, kalau tidak ada berada,
masakan tempua bersarang rendah!
Istri adalah istri dari Tuan. Istri ini memiliki sifat yang hampir sama seperti Tuan yakni berwatak keras
dan tidak mau kalah.
ISTRI
Kau selalu saja menunda keperluan mereka akan kursi. Aku akan panggil becak!
dan
ISTRI
Yang penting anak-anak kita, bukan harga kursi. (Pergi keluar) becak. Becak. Bawa kursi saya.

Nilai Sosial-Budaya
Di dalam drama ini terdapat nilai-nilai sosial terkait dengan budaya dalam masyrakat. Budaya ketimuran
terdapat dalam drama ini, seperti seorang istri yang tidak diperkenankan membawa masuk laki-laki lain
ke dalam rumah jika tidak ada suaminya. Kepatuhan seorang istri dalam menjaga nama baiknya dan
suaminya adalah budaya Indonesia atau ketimuran.
NYONYA
Tuan mengira teras rumahku ini halte bus!? Tak useh ye! Ayo pergi! jangan berdiri di situ! Pergi! namaku
tidak boleh cacat di mata umum. Berapa kali harus kukatakan pada Tuan! Namaku, namaku! Apa semua
pedagang barang antic selalu tuli!?
dan
NYONYA
Kejam atau tidak, yang penting aku harus menjaga nama baikku. Coba Tuan piker. Ibuku sedang ada di
rumah sakit. Bila seorang istri sendirian lalu didatangi lelaki, Tuan tentu tahu ekornya, bukan?
Selain nilai ketimuran yang ada pada drama, persoalan di dalam masyarakat adalah terkait dengan sifat
matrealis ibu-ibu sekarang. Setiap kali adegan dialog antara Nyonya dan Tuan, pasti ada transaksi jua;-
beli barang. Nyonya pun menginginkannya, terlihat ketika di saat dia menerima uang dari Tuan.
NYONYA (Menerima uang itu dengan gugup)
Ya Tuhan (mencium uang itu beberapa kali) Jadi, Tuan tidak akan mengatakannya pada siapa pun juga,
bukan?
2. Sinopsis Novel Presiden

Sebuah novel tentang cerita masyarakat minang, dengan adat istiadat yang kental menjadikan novel ini
memenangi penghargaan DKJ 2010.

Berawal dari cerita keluarga minang yang berbelit-belit, Wisran Hadi memulai semuanya. Sastrawan dari
Minang ini sangat apik meramu latar dan konflik, mungin karena dia bercerita tentang daerahnya atau
mungkin juga malah karena dia sedang bercerita tentang dirinya sendiri jadi novel ini benar-benar hidup.

Wisran Hadi memanggil pembacanya dengan sebutan Bung. Pembaca diajak untuk masuk dalam cerita
dan terlibat konflik secara langsung. Persoalan bermula dari Rumah Bagonjong, rumah adat yang masih
berdiri, rumah yang dituakan tempat semua sejarah tersimpan. Ketika daerah sekitarnya sudah berubah
menjadi daerah elit perumahan dan pembangunan hotel-hotel, maka Rumah Bagonjong tetap tegak
berdiri. Wisran Hadi dalam novel ini banyak mengkritisi pemerintah, keadaan, semua hal, gaya bercerita
yang satire membuat pembaca merah padam entah karena malu karena tersentil dengan beberapa
kalimatnya, ataupun karena marah. Seperti pada hal 21 Wisran menulis “Di sinilah uniknya hidup itu,
Bung. Kita tidak pernah punya pengetahuan yang cukup tentang diri, orang-orang sekeliling, masyarakat,
dan mungkin bangsa kita sendiri. Kita cuma punya pengetahuan yang sedikit tentang mereka, tetapi
sayangnya, dengan yang sedikit itu kita sudah mengganggap tahu segalanya”.

Persiden adalah nama mall di sebuah persimpangan. Tempat bertemu segala manusia dari setiap penjuru.
Menjadi patokan waktu dan arah mata angin. Tempat semua hidup dan bergerak. Wisran seperti sengaja
menyentil para pembaca melalui persimpangan, bahwa semua hal mempunyai titik inti, titik temu,
kemanapun kamu pergi maka kamu akan menuju arah yang sama.

Rumah Bagonjong adalah inti dari konflik novel presiden ini. Melati generasi penerus rumah Bagonjong
ternyata telah melanggar adat, hamil di luar nikah yang merupakan aib dan bisa berakibat fatal bagi
kelangsungan keturunan rumah Bagonjong. Di satu sisi adat yang masih dijunjung tinggi seperti pengikat
yang mematikan, hanya karena adat semua menjadi serba salah, serba tidak tepat. Adat yang luhur di
tengah kehidupan yang semakin maju dan berubah ini hanyalah aturan lisan yang membuat mati langkah.
Melati berontak, tapi paman-pamannya tak mau diam. Pamannya berusaha menyelamatkan Melati agar
tidak menderita berkepanjangan akibat karma karena telah melanggar adat. Di lain pihak, yang menurut
paman-pamannya baik belum tentu itu yang terbaik bagi Melati.

Di bagian akhir cerita, Wisran mengajak pembaca berputar-putar dalam tulisannya. Pengandaian-
pengandaian yang terlalu banyak membuat novel ini bosan dibaca di bagian akhir.

Buku ini menjadi salah satu buku referensi tentang budaya minang yang layak di baca.

3. Sinopsis Cerpen
Oleng Karya Wisran Hadi
Pagi itu Guru Kito berdiri di pinggir lapang sambil melecut-lecutkan lidi ke kakinya
sendiri. Itulah tanda bahwa dia marah karena ada murid yang melanggar peraturan
perguruan. Murid-muridpun sudah tahu akan tanda itu. Mereka harus berkumpul dan
tentulah akan ada hukuman yang dijatuhkan. Setiap murid punya dugaan bermacam-
macam ter hadap hukuman atau siapa yang akan dihukum. Mungkin saja Guru Kito akan
menjatuhkan hukuman kepada Kaje, karena kemarin sore tidak masuk dalam pelajaran
bahasa Inggris. Mungkin juga Oon dan
Kawe karena keduanya kedapatan merokok di belakang asrama. Bisa jadi juga Ismet,
karena tidak ikut bersembahyang kemarin. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi.
Setelah lonceng dipukul 5 kali oleh Ivan yang menjadi piket penjaga waktu, semua murid
bergegas datang ke lapangan, tempat biasanya mereka dikumpulkan menerima pe rintah,
pengumuman-pengumuman, tegur an, hukuman, serta berita-berita gembira dan ber bagai
kelucuan yang terjadi. Lapangan itu merupakan tempat bagi persoalan bermuara.
"Malapetaka," bisik Kawe kepada Oon sambil berjalan bergegas menuruni jalan di
pinggir kolam."Ya, bagaimana lagi. Memang salah kita. Kita harus menerima hukuman."
jawab Oon pasrah. "Apa Daroji benar-benar telah menguburkan bulunya?" tanya Kawe.
"Entahlah," jawab Oon menggelengkan kepala."Mungkin Guru Kito menjumpai bulunya
kemarin sore. Itulah sebab kita dikumpulkan pagi ini," kata Kawe menyesal. "Celaka,
mana Daroji?" tanya Oon. "Itu. Lihat, dia pura-pura tidak bersalah saja dan berlari-lari
kecil karena merasa dilihat Guru Kito. Ambil muka. Nanti dapat muka beruk, baru tahu
dia." jawab Kawe sambil menunjuk ke arah Daroji yang bergegas menaiki tebing menuju
lapangan. Semua murid sekarang sudah ber kumpul. Mereka berbaris dan diam me
nunggu apa yang akan terjadi. Guru-guru pun sudah berdiri
dengan tertib. Guru Kito memerhatikan setiap murid lalu berjalan ke depan barisan
mereka sambil tersenyum."Kalian pernah mendengar cerita Cindua Mato?" tanya Guru
Kito dengan ramah sekali. "Sebuah cerita rakyat Minangkabau yang sangat terkenal.
Kisah seorang raja perempuan yang mempunyai binatang piaraan yang sangat keramat?"
tanyanya. "Belum Guru," jawab beberapa murid tidak serempak.
"O, pantas kalian tidak tahu apa itu kinantan. Kinantan adalah nama seekor ayam
jantan ke ramat piaraan raja perem pu an itu. Diperguruan kita juga banyak kinantan.
Malam kemarin salah seekor kinantan terbang entah ke mana. Mungkin terbang dengan
ke kedai di seberang sana, kemudian berganti dengan sebungkus rokok atau mungkin
menyuruk ke dalam perut manusia," lanjut Guru Kito. Beberapa murid tertawa. "Ayam
jantan putih itu hilang, Guru?" tanya
Daroji lantang. Semua memandang Daroji. Daroji dengan tenang tersenyum membalas
pandangan kawankawannya. Guru Kito memandang sesaat kepada
"Pahit? Aneh juga ya. Goreng ayam terasa pahit. Apa waktu itu kamu tidak sakit perut
Daroji?" tanya Guru Kito lagi. Semua murid meledak tawanya. Daroji pucat pasi karena
Guru Kito langsung menudingnya. "Kalau saya tanya siapa yang telah mencuri kinantan
itu dan meng goreng nya tengah malam, pasti semuanya tidak ada yang mengaku. Ya,
kan? Sebab, kalau pencuri mau mengaku, pasti semua penjara yang ada di dunia ini akan
penuh dengan pencuri. Jadi, saya tidak akan menanyakan siapa pencuri nya," kata Guru
Kito. "Saya meng umum kan, jika sampai besok pagi tidak seorang pun yang mau
mengaku, siapa yang mencuri kinantan itu, semuanya dihukum. Karena kalian semua
telah berse pakat dengan
pencuri untuk tidak mengaku, hukumannya adalah me ngerja kan sawah kita dlereng
bukit sebelah sana sampai dengan selesai ditanami benih," kata Guru Kito sambil
menunjuk ke arah persawahan. Semua murid bergumam dan ngeri, karena mereka tahu
sawah itu banyak lintahnya. Setelah apel pagi itu dibubarkan, semua
murid pergi ke kelas. Sepanjang jalan mereka saling berbisik dan saling tuduh. Mereka
yang terlibat dalam pencurian mengadakan diskusi kilat di bawah batang durian.
Membicarakan apakah mereka akan mengaku bersama-sama atau menunjuk salah
seorang saja sebagai wakil mereka. Akhirnya mereka sepakat tidak mengaku walau
apapun hukum an yang akan dijatuhkan. Namun malamnya, Sasmita diam-diam menemui
Guru Kito dan memberitahu bahwa yang mencuri Kinantan itu adalah Kawe, Oon
bersama kawan-kawannya yang lain, sedangkan
yang men jadi otak pen curiannya Daroji. Besoknya Guru Kito kembali me ngumpul-kan
murid-murid seperti kemarin. Setelah semuanya lengkap hadir, Guru Kito maju ketengah
dengan berang. "Sekarang saya sudah tahu yang men curi
Kinantan itu. Para pencuri dan pemakan ayam curian akan dihukum berat," kata Guru
Kito dengan keras. Murid-murid heboh dan saling ber pandangan.Daroji."Bolehkah
seekor ayam dimakan?" Tanya Guru Kito."Tentu saja boleh, Guru." jawab murid-
murid."Enakkah kalau daging kinantan digoreng tengah malam?" tanya Guru Kito lagi,
muridmurid tertawa."Enak sekali, Guru," jawab murid sambil memandang ke arah
Daroji. Daroji seakan tidak memerhatikan mereka."Kalau ayam itu ayam curian, apakah
juga enak dimakan?" "Pahit Guru," jawab Daroji tiba-tiba. Semua menoleh kepada
Daroji. "Sasmita, ke depan." kata Guru Kito setelah heboh murid-murid mereda. Semua
diam. Sasmita maju ke depan barisan."Kau tahu kenapa dipanggil ke depan?" "Tidak,
Guru Kito.""Berbalik. Lihat teman-temanmu." Sasmita patuh. Kini dia berdiri
menghadap kawankawannya dan membelakangi Guru Kito. Semua
murid berbisik dan gelisah. "Guru Kito. Boleh saya bertanya?" Kawe bertanya. "Apa?"
balas Guru Kito."Kenapa Sasmita yang dihukum. Apakah memang terbukti dia
mencuri?" "Bagus, jadi kamu membela temanmu ini, ya?" "Ya, Guru. Guru Kito harus
me lakukan penyelidikan lebih dulu, siapa sebenarnya yang bersalah." "Apa kamu mau
membela seorang pengkhianat?" Murid-murid terkejut dan saling berhanya mau
menyelamatkan dirinya sendiri, dia akan lebih berbahaya daripada seorang pencuri ayam.
Jika ia jadi pemimpin bangsa ini kelak, dia juga akan mudah mengkhianati bangsanya
untuk kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri. Jika ia jadi imam kelak, dia akan
mudah pula mengkhianati jemaahnya. Jadi, paham kalian kenapa seorang pengkhianat
harus dihukum berat?" "Paham Guru," jawab murid-murid lesu. Menggigil tubuh Sasmita
mendengar nya. Murid-murid yang lain menundukkan muka, sedih,karena Sasmita yang
selama ini mereka kenal sebagai anak yang rajin dan pandai kini dituduh sebagai peng
khianat hanya karena seekor ayam. Emridha, guru muda yang baru sebulan mengajar di
perguruan itu ge lisah. Dia tidak setuju dengan putusan Guru Kito, tapi tidak berani
memrotes apalagi di tengah murid-murid dan guru-guru yang lain. Sebagai guru baru,
Emridha tidak merasa pantas untuk
memrotes begitu saja. Sasmita harus melaksanakan hukuman. Dengan berat hati
disandang nya cangkul menuju sawah di lereng bukit itu. Dia harus mencangkul
seminggu lamanya. Namun, ketika Sasmita menuju sawah. Emridha memberani kan diri
juga menemui Guru Kito. "Bagaimana Emridha, ada yang mau ditanyakan?" tanya Guru
Kito tersenyum, seakan tahu yang hendak dikatakan Emridha. Emridha mengangguk.
"Kau tidak sampai hati menerima hukuman yang begitu berat buat Sasmita?" tanya Guru
Kito lagi. Emridha mengganguk. "Itu
belum apa-apa Emridha. Orang pandai kalau berkhianat lebih buruk akibatnya daripada
seorang pencuri. Perguruan kita ini hancur karena pengkhianatan. Negara kita porak-
poranda karena pemimpin-pemimpinnya berkhianat kepada rakyatnya sendiri." Emridha
mengangguk dan terus mengikuti Guru Kito. Setelah sampai di bawah pohon mahoni
yang rimbun, Guru Kito me lanjutkan pembicaraannya sambil melihat seorang guru lain
bersama beberapa murid mulai menyambit rumput di bawah kolam.bisik. Mereka terkejut
karena tidak tahu apa maksud Guru Kito. "Sasmita malam tadi datang ke tempatku dan
mengadukan siapa yang mencuri kinantan itu." "Kurang ajar." teriak murid-murid. "Nah,
kalian saja benci kalau seorang temanmu berkhianat. Begitu juga Guru, begitu juga orang
lain, begitu juga bangsa kita. Betapapun pandai dan pintarnya seseorang, tapi jika di
dalam dirinya sudah bersarang sifat khianat,"Lihat mereka, Emridha. Begitu cara kita di
sini mengajarkan agama. Ambil sabit, pangkas rumput, bersihkan alam sekeliling.
Membersihkan lingkungan adalah ajaran agama. Dalam ajaran agama kita tidak perlu
banyak bicara, tetapi harus banyak mem berikan contoh." "Guru Kito." kata Emridha
mem beranikan diri. “Perguruan ini kan sebuah perguruan agama, sebagaimana juga
pondok pesantren. Perguruan ini kan bukan perguruan politik.” "Itulah bedanya
perguruan di sini dengan pondok pesantren yang pernah kau masuki. Di pondok
pesantren orang belajar agama, di
perguruan ini kita membentuk pribadi muslim. Buat apa pengetahuan agama segudang,
tapi tidak punya sikap dan kepribadian sebagai seorang yang ber agama? Kau lihat
keadaan masyarakat kita saat ini. Semua orang mengaku dirinya orang-orang beragama,
tapi kelakuan dan per buatannya tidak mencer minkan bahwa mereka orang-orang
beragama." "Tapi apakah Sasmita juga mengerti dengan semua yang Guru Kito katakan
itu?" "Dia harus dapat memahami semua,
murid harus memahami. Begitu juga guru-guru yang lainnya."

4. Puisi
Oleh : Wisran Hadi
Dari Tanah Tepi
(Nukilan Bagian Keenam)

Ya Allah
Ajarkan aku
Menyusun kata
Dalam do’a

Katanya pasrah
Sewaktu dahinya
Menyentuh
Pasir arafah

1994
(Padang)

Anda mungkin juga menyukai