Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Analisis Naskah Drama

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

1

ANALISIS NASKAH DRAMA

“MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

1. Pengantar
Seno Gumira Ajidarma adalah salah satu penulis Indonesia yang produktif. Ia telah
menghasilkan puluhan cerpen yang dimuat di beberapa media massa. Seno yang
memulai kariernya sebagai penulis pada usia 17 tahun ini telah menghasilkan banyak
karya sastra dan cerpennya seperti Pelajaran Mengarang terpilih sebagai cerpen terbaik
Kompas 1993. Buku kumpulan cerpennya, antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak
Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah
Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Karya lain berupa novel
Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987, Seno mendapat Sea Write
Award. Berkat cerpennya Saksi Mata, Seno memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary,
1997[1]. Meskipun tidak banyak karya yang dihasilkan Seno dalam hal menulis naskah
drama, tetapi salah satu karyanya, yaitu Mangapa Kau Culik Anak Kami, patut
mendapatkan apresiasi yang besar.
Lakon “Mengapa Kau Culik Anak Kami” adalah karya Seno yang ditulis pada tahun
2001 dan telah dipentaskan di beberapa tempat. Lakon ini menjadi menarik karena tidak
saja berhasil mengangkat tema yang pada zamannya sedang hangat-hangatnya,
melainkan juga bisa menulis ulang sejarah dengan versinya sendiri. Oleh karena itu, lakon
ini seakan meneguhkan jika kebenaran dalam kesusasteraan adalah sebuah perlawanan
bagi historisisme, sejarah yang hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaan.

2. Teori Sosiologi Sastra Hegemoni Gramsci

Sebuah karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila


dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan dan peradaban yang telah dihasilkannya;
gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik
penulisannya; setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu
moral, begitu yang pernah disampaikan oleh Grebstein, seorang kritikus sosio-kultural.
(Damono dalam Cahyanigrum, 2014: 120).
2

Teks drama merupakan media pertarungan ideologi. Seperti yang dikemukakan Faruk
(1994: 74) bahwa karya sastra merupakan ajang pertarungan bagi pembentukan blok
historis secara hegemonik. Sebagai ideologi, karya sastra seperti halnya filsafat yang
berfungsi sebagai pemeliharaan, persatuan blok sosial yang menyeluruh, sebagai alat
pemersatu antara kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan. Akan
tetapi pada saat yang bersamaan juga menjadi ajang pertarungan tindakan kolektif bagi
kelompok subordinat untuk melakukan perlawanan atau couter-hegemoni terhadap
kelompok yang mendominasi. Sebagaimana gerakan pemersatu, gerakan perlawanan ini
merupakan tindakan politik dan merupakan usaha kelompok subordinat untuk menolak
unsur-unsur ideologis yang datang dari luar kelompoknya sendiri.

Teori Hegemoni Gramsci merupakan penyempurnaan teori kelas Marx yang belum
berhasil merumuskan teori politik yang memadai (Sugiono dalam Cahyaningrum, 2014:
121). Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah adanya sistem kelas. Selain itu,
dalam kelas-kelas tersebut anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di
bawahnya, dengan cara kekerasan maupun persuasi (Simon, 2001: 19-20). Titik awal
konsep Gramsci tentang Hegemoni adalah adanya sistem kelas. Kelas disini merupakan
bentuk kelas sosial pada masyarakat.

Kelas sosial menurut Gramsci terdapat dua jenis, yaitu kelas Kapital adalah kelas yang
memiliki alat produksi dan menguasai kelas buruh, dan kelas Buruh adalah kelas yang
tidak memiliki alat produksi dan dikuasai oleh kaum kapital. Kelas kapital dalam
menguasai kaum buruh tidak hanya menggunakan cara kekerasan melainkan melalui cara
hegemoni, seperti dijelaskan di atas, dengan cara halus atau pada zamannya cara ini
dilakukan melalui kegiatan belajar-mengajar yang secara tidak langsung mengajarkan
secara eksplisit atau memaksa secara implisit untuk tidak melawan kaum kapital.

3. Tokoh-tokoh dalam Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami”: Sebuha Representasi
Sosial Masyarakat di Indonesia Tahun 1990-an

Karya sastra merupakan gambaran yang dihasilkan dari imajinasi mengenai kehidupan
yang disampaikan melalui bahasa. Sastra bukan sebuah “fisik” atau “pikiran” melainkan
suatu fenomena. Fenomena disini merupakan suatu hal yang bisa saja telah dan atau
3

sedang terjadi, kemudian direpresentasikan oleh pengarang yang mengalami fenomena


tersebut melalui bahasa.

Imajinasi yang menjadi dasar penciptaan teks-teks fiskional tetap mempunyai


hubungan dengan semesta (Hasanuddin dalam Cahyanigrum, 2014: 127). Oleh karena itu,
sering ditemukan adanya hubungan antara masalah yang ada dalam teks drama dan
masalah yang ada dalam kehidupan. Drama merupakan suatu hasil dari proses kreativitas
pengarang yang merespons realitas objek dan mengolah dengan unsur imajinasinya.

Berkaitan dengan yang sudah dijelaskan di atas, banyak pengarang dalam


menciptakan karya sastranya memasukan kritik, ideologi, atau pesan-pesan sosial. Begitu
juga dengan drama, memberikan kritik sosial dalam cerita, baik pada alur, latar, tokoh,
ataupun dialog antar tokoh yang secara implisit maupun eksplisit diungkapkan oleh
pengarang dalam menyampaikan kritik, ideologi, atau pesan-pesan sosial pengarang. Hal
ini akan sangat berpengaruh bagi pembaca karya sastra tersebut, bahkan berperan besar
dalam mengubah pola kebiasaan di masyarakat, baik gaya hidup masyarakatnya maupun
pola pikir yang berkembang di masyarakat.

Tulisan ini akan membahas representasi sosial dan pertempuran ideologi tokoh-tokoh
yang terdapat dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami” karya Seno Gumira
Ajidarma. Kajian terhadap drama ini akan membahas fenomena sosial yang terjadi pada
masyarakat di kota besar di Indonesia pada tahun 1990-an. Masyarakat di sini adalah
masyarakat yang menjadi korban dari peristiwa penculikan aktivis di era Orde Baru-
Soeharto, yang terekam dalam drama ini adalah Ibu dari korban penculikan, Bapak dari
korban penculikan, dan tokoh-tokoh yang hanya disebutkan di dalam dialog antara Bapak
dan Ibu, yaitu Anak dari Bapak dan Ibu, pembantu, pemimpin atau yang memberikan
tugas penculikan tersebut.

Tokoh-tokoh tersebut digambarkan mengalami berbagai dinamika sosial dan


benturan ideologi masyarakat pada masa orde baru yang rentan terhadap tindakan
kekerasan fisik, kekuasaa, ekonomi, dan sistem sosial yang ada di kota-kota besar. Teori
yang dipakai untuk menjelaskan fenomena representasi sosial masyarakat pada masa
orde baru dalam tokoh-tokoh drama Seno Gumira ini adalah teori hegemoni Gramsci.
4

Teori hegemoni Gramsci dianggap mampu menjawab berbagai permasalahan yang


ada dalam pendekatan sosiologi sastra. Melalui metodenya, hegemoni menjawab
permasalahan sosiologi pengarang yang berperan dalam penciptaan karya. Hegemoni
juga menjawab permasalahan dengan pendekatan sosiologi sastra. Hal itu karena sastra
dalam konteks hegemoni menjadi medan pertarungan ideologi yang dimiliki pengarang.
Teori hegemoni membuktikan jika teks drama selain menjadi medan pertarungan ideologi
pengarangnya juga memproduksi ideologi sehingga mampu mempengaruhi pembacanya.
Pencapaian teks drama dengan mempengaruhi pembacanya ini menunjukkan fungsi
sosial sastra yang tidak hanya berguna untuk pengarang tetapi juga berguna bagi pembaca
karya tersebut.

“Mengapa Kau Culik Anak Kami” merupakan drama yang terdiri atas tiga babak.
Drama yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma pada tahun 1999 ini adalah drama yang
pementasannya mampu membawa emosi para penonton masuk ke dalam cerita. Drama
ini sangat keras mengkritik fenomena sosial pada masa orde baru. Masyarakat yang
menjadi korban peristiwa penculikan aktivis di era Orde Baru-Soeharto dianggap rentan
terhadap benturan ideologi dan represi sistem sosial dan politik yang dibangun pada masa
orde baru. Sebagai contoh, dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami” menampilkan
tokoh-tokoh yang mengalami pergolakan ideologi dan emosi dalam diri masing-masing
tokoh yang menjadi sebagai salah satu korban peristiwa penculikan aktivis di era Orde
Baru-Soeharto.

Kehidupan tokoh-tokoh dalam drama digambarkan sebagai masyarakat sederhana di


suatu kota besar yang mengalami kejadian tidak menyenangkan berupa penculikan anak
semata wayangnya. Mereka hanya bisa berharap tanpa sebuah kepastian dengan
peristiwa penculikan yang dialami anaknya, akankah anaknya kembali atau tidak, apakah
anaknya masih hidup atau tidak. Pertentangan ideologi yang terdapat dalam drama
digambarkan melalui dialog antara Ibu dan Bapak sebagai kelas buruh atau kelas yang
dikuasai dan tidak memiliki senjata dengan kelas kapital atau kelas yang menguasai dan
memiliki senjata adalah tokoh-tokoh yang disebutkan di dalam dialog, yaitu pemimpin
negara, dan bawahannya.

Drama yang hanya terdiri dari dua tokoh ini terdapat tiga babak yang masing-masing
babak menggambarkan satu per satu ideologi yang dimiliki tokoh-tokoh dalam drama. Di
5

awal pada babak pertama, penonton dibawa ke dalam suasana yang membingungkan
mengenai apa yang sebenarnya dipikirkan oleh tokoh Bapak, melupakan sesuatu yang
sebenarnya tidak akan pernah bisa ia lupakan sedetik pun. Kemudian cerita terus berjalan
sampai tokoh Ibu yang menggambarkan kejadian menyeramkan yang ia alami saat muda,
saat pembantaian pada masanya. Perselisihan dan perseteruan ideologi mulai tergambar
pada saat itu, saat Ibu mengingat masa lalu yang menyeramkan yang dilakukan aparat
terhadap penduduk sipil di era baru.

Pada babak kedua, dialog antara Bapak dan Ibu berlanjut sampai membicarakan si
mbok yang sudah tidak lagi bekerja di tempatya, dulu sering kali si mbok melakukan ritual
untuk mengenang dan mendoakan para korban pembataian, hal ini merupakan bentuk
yang bisa dilakukan oleh kelas buruh karena tidak ada kekuatan melawan. Kemudian,
cerita berlanjut sampai Bapak mencoba menerka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
para oknum pemerintah dengan menggambarkan dengan detail apa-apa saja yang
dilakukan, dikenakan bahkan dirasakan. Gambaran yang dihasilkan melalui terkaan tokoh
Bapak mengenai oknum pemerintah menggambarkan kelas kapital, atau kelas yang
mampu menguasai orang lain dan memiliki alat produksi yang pada drama digambarkan
sebagai bawahan yang melakukan penculikan tersebut.

Kemudian pada babak terakhir drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami” digambarkan
ketidakmampuan tokoh Bapak dan Ibu berbuat sesuatu sebagai kelas buruh yang dikuasai
atau kelas kapitalis untuk menemui kejelasan atas anaknya, ataukah anaknya masih hidup
atau tidak, sehingga hanya bisa menunggu suatu hal yang tidak pasti. Tulisan ini pada poin
berikutnya membahas persoalan hegemoni melalui presentasi pertarungan ideologi
melalui analisis tokoh-tokoh dalam drama ini.

4. Negosiasi Ideologi

Ideologi yang dominan dalam lakon “Mengapa Kau Culik Anak Kami” adalah ideologi
liberalisme dan demokrasi. Tokoh Bapak dan Ibu yang ada dalam drama “Mengapa Kau
Culik Anak Kami” menjadi aktor intelektual, dan kedua tokoh ini muncul sebagai sosok
yang dominan sehingga kedua tokoh saling memepengaruhi dan dipengaruhi. Di sisi lain
ada beberapa tokoh yang muncul dan di dalam dialog. Tokoh-tokoh yang hanya terdapat
6

dalam dialog antara tokoh Bapak dan tokoh Ibu, mampu memunculkan ideologi masing-
masing, meskipun tidak dominan.

Setelah mengetahui ideologi dan aktor intelektual dalam teks drama ini, langkah
selanjutnya adalah merunut ideologi-ideologi yang ada dalam teks drama “Mengapa Kau
Culik Anak Kami” hingga tercapai kesepakatan. Tokoh dalam teks drama yang telah
mencapai kesepakatan inilah yang akan mempresentasikan pesan atau ideologi yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembacanya.

4.1. Urutan Peristiwa “Mengapa Kau Culik Anak Kami”

Dimulai dengan penggambaran suasana yang sunyi, Bapak menonton televisi dan Ibu
sibuk membaca buku, tidak ada percakapan sampai Bapak merasa bosan karena hanya
memencet-mencet tombol remote saja. Suasana semakin sepi karena suara televisi
menghilang, dimatikan. Tidak lama kemudian Bapak penasaran dengan kegiatan Ibu.
Bapak yang mulai menanyai ini-itu mengenai apa yang dibaca Ibu sampai akhirnya Ibu
terusik dan mulai percakapan antara Bapak dan Ibu sampai merujuk ke dalam inti cerita,
namun masih mengambang.

Dalam drama tersebut digambarkan Bapak lupa atau seolah-olah lupa sehingga Ibu
berusaha mengingatkan Bapak dengan hal-hal yang memungkinkan Bapak mampu
mengingatnya. Kejadian yang sepertinya tidak akan ia lupakan sama sekali namun dalam
drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami” ini digambarkan sedemikian rupa. Ibu mulai
mengenang kejadian kelam yang ia alami di masa lalu dengan menggambarkan kejadian
sadis yang ia lihat semasa sekolah dulu sampai akhirnya Bapak mengaku bahwa tidak akan
melupakan apa yang terjadi dengan anaknya, Satria. Satria menjadi korban penculikan
aktivis di era Orde Baru-Soeharto yang tidak mungkin ia lupakan. Tidak mudah bagi Bapak
untuk melupakan saat dimana orang-orang sekitar baik tetangga, rekan kerja, bahkan
saudara yang lebih memilih menjauhi mereka karena tidak ingin mengambil risiko, saat
dimana mereka merasa kesulitan namun tidak ada yang membantu.

Pada babak kedua, setelah ingatan Bapak semakin jelas dengan yang dialami anaknya,
Ibu memanggil-manggil si mbok. Ibu lupa, padahal sudah lama si mbok melakukan
semacam ritual setiap malam Jumat kliwon pergi ke kali membakar kemenyan. Ritual yang
7

dilakukan si mbok sebagai bentuk penghormatan bagi teman-teman ludruknya dulu yang
telah menjadi korban pembantaian, Bapak menggambarkan dengan sangat detail tentang
ritual Jumat kliwon yang dilakukan si mbok, bagaimana situasi saat setelah pembantaian
itu terjadi sehingga membuat air di kali berubah menjadi warna merah dan permukaan kali
dipenuhi mayat-mayat, ritual yang sebelumnya dilakukan si mbok di kali Madiun, sekarang
di kali Ciliwung. Sebenarnya cerita itu didapatkan Bapak dari Ibu, tetapi Ibu benar-benar
lupa dengan ritual si mbok atau pura-pura lupa.

Pembahasan obrolan yang dilakukan Bapak dan Ibu berlanjut. Bapak penasaran
dengan gagasan, darimana datangnya gagasan hingga membuat kejadian di masa lalu yang
kelam itu bisa terjadi. Hal tersebut merupakan stimulasi yang dibuat pengarang untuk
memicu pembahasan selanjutnya. Bapak mulai menerka bagaimana gagasan jahat itu
dibuat. Bapak menggambarkan pemain-pemain yang berada di belakang kejadian
penculikan dan pembunuhan itu. Dengan detail Bapak coba membayangkan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Ibu seperti, bagaimana ruangannya, apa gelas yang
digunakan, apakah terdengar suara helikopter atau tidak, dan jawaban-jawaban yang
diberikan Bapak kepada Ibu dalam teks drama secara eksplisit menggambarkan bagaimana
kejadian yang sebenarnya.

Selanjutnya babak ketiga atau babak terakhir, babak ini digambarkan sudah jam dua
belas malam, tetapi tokoh Bapak dan tokoh Ibu tidak bisa tidur karena terus memikirkan
anaknya, Satria. Bapak dan Ibu membayangkan kembali tingkah laku Satria sehari-hari,
Satria yang berbadan kurus yang lebih suka memakai kaos oblong, Melihat tempat
tidurnya, kaset dan CD nya, gitar, tustel, celana dan kaos oblong bergelantungan. Anak
tunggalnya yang kurus dan sakit-sakitan tapi memiliki pemikiran yang tajam. Mengenang
semua itu membuat Ibu tak kuasa menahan tangis. Hari semakin larut, mereka lelah
namun tidak bisa tidur. Mereka terus memikirkan anak tunggalnya, membayangkan
apakah anaknya, Satria masih hidup atau tidak. Siksaan macam apa yang anaknya terima
karena telah berani mengkritisi pemerintah pada saat itu. Bertanya ntah pada siapa,
mengapa anak mereka diculik? Sampai akhirnya tubuh mereka terkulai bagai orang mati,
tapi mereka tidak mati. Mereka hanya capai sekali.

4.2. Tokoh dan Negosiasi Ideologi


8

Dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami” terdapat dua tokoh. Kedua tokoh
tersebut sama-sama tidak memiliki sifat yang dominan. Dialog antara Bapak dan Ibu
menjadi aktor intelektual, yaitu aktor yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Ideologi
yang dimiliki Bapak dan Ibu, yaitu liberalisme dan demokrasi. Ideologi liberalisme yang
dimiliki keduanya ditunjukkan pada lakon babak ketiga karena tidak memberikan batasan
bagi anaknya, Satria, saat memilih menjadi aktivis.

IBU:
Tahun belakangan ia sering tidak pulang, tapi paling lama juga dua- tiga hari, itu pun
selalu menelpon ke rumah. Sibuk rapat katanya. Atau demo ini-itu. Aku selalu
menyediakan vitamin karena tubuhnya kurus begitu. Tapi semangatnya itu pak,
kalau sudah ngomong, waduh, matanya berapi-api. Aku tahu dia bisa bertahan
dalam penderitaan.
Hal ini tentunya mengindikasikan tokoh Bapak dan tokoh Ibu juga memiliki ideologi
demokrasi, dimana setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya, menyampaikan apa
yang dipikirkan dan dirasakan, seperti apa yang dilakukan Satria, anak tunggalnya.
Meskipun, dengan ideologi yang dimiliki keduanya tersebut menjadi faktor penyebab
anaknya diculik.

Tokoh lain yang berada di dalam lakon “Mengapa Kau Culik Anak Kami” adalah
anak dari tokoh Bapak dan tokoh Ibu. Meskipun tokoh Satria muncul melalui dialog,
ideologi yang ia miliki bisa terlihat jelas. Ideologi yang dimiliki Satria adalah Patriotisme
dan Anarkisme, dia berani menyampaikan pendapat dan pemikirannya yang dianggap
benar, walaupun risiko yang akan dihadapinya bisa kematian. Hal ini ditunjukkan pada
dialog antara Bapak dan Ibu di babak kedua.

IBU:
Yang namanya kritis itu, di zaman apapun, di Negara manapun selalu berguna.
Kenapa dianggap berbahaya?

BAPAK:
Pada dasarnya sikap kritis memang berguna untuk Negara, tapi yang menganggap
berbahaya ini sebetulnya bukan Negara, melainkan orang-orang yang me-ra-sa di-ri-
nya adalah Negara!

IBU:
Mati aku!
9

BAPAK:
Mati. Ya, mati. Di negeri ini ada orang-orang yang merasa berhak memutuskan mati
hidupnya orang lain.

IBU:
Maka mereka menculiknya.

BAPAK:
Yah, merasa berhal menculiknya.

IBU:
Mempunyai hak untuk menculik

BAPAK:
Hak culik. Itu namanya. Hak culik.

Melalui dialog yang terdapat pada babak kedua, pembaca dapat mengetahui
dengan jelas ideologi yang digunakan oleh pemerintah pada masa orde baru, yaitu fasisme
dan hedonisme. Ideologi fasisme tersebut bisa dilihat dari dialog antara Ibu dan Bapak di
bawah ini.

BAPAK:
Kita lihat saja nanti. Mereka membicarakan nama-nama itu satu persatu. Dari setiap
nama ditentukan, apakah dia berbahaya atau tidak.

IBU:
Atas dasar apa?

BAPAK:
Berbahaya bagi Negara atau tidak

IBU:
Apa yang dimaksud berbahaya untuk Negara?

BAPAK:
Kritis. Kritis itu berbahaya bagi Negara.

IBU:
Lho, kritis itu berguna untuk Negara.

BAPAK:
Jangan bilang sama aku, bilang sama mereka.
10

Dalam adegan tersebut pemerintah pada masa itu yang mengganggap orang yang
kritis sebagai suatu ancaman, ancaman bagi pemimpin dan pemerintahan yang pada saat
itu menjabat. Sehingga, pemimpin dan pemerintah pada masa itu dianggap memiliki
ideologi fasisme karena ingin memiliki pemerintahan yang otoriter, yaitu pemerintah yag
ingin berkuasa sendiri dan bersikap sewenang-wenang terhadap masyarakat.

BAPAK
Penduduk pinggir kali, kere-kere itu, menunggu mayat-mayat yang lewat. Mereka
menggaet mayatmayat dengan bamboo yang diberi pengait di ujungnya. Mereka
geret mayat-mayat itu ke tepian, lantas mereka jarah.

IBU
Bapak ingat semuanya. Padahal itu ceritaku.

BAPAK
Penduduk mengambil arloji, ikat pinggang, cincin dan akhirnya menjebol gigi emas
dari mayat-mayat itu.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa masyarakat melakukan itu memiliki ideologi


hedonisme, yaitu menganggap kenikmatan materi sebagai tujuan utama hidup.
Dari uraian di atas, diketahui melalui tokoh Bapak dan Ibu terjadi negosisasi ideologi.
Ideologi yang secara dominan bernegosiasi dan mempengaruhi alur cerita secara
langsung adalah ideologi liberalisme, demokrasi. Kedua ideologi yang bernegosiasi ini
membentuk suatu kesepakatan yakni keinginan untuk mendapatkan hak untuk bersuara,
mengeluarkan pendapat mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan pada masa
pemerintahan saat itu. Proses negosiasi yang akhirnya menimbulkan korban jiwa, bahkan
anak tunggalnya sendiri.

5. Hubungan “Mengapa Kau Culik Anak Kami” dan pengarang

Ideologi-ideologi yang dimiliki Seno Gumira akan menentukan ideologi mana yang
akan lebih dominan dari ideologi yang lain. Hal itu akan terjadi baik disadari secara
langsung ataupun tidak langsung oleh pengarang. Bukanlah hal yang mudah untuk tidak
memasukan ideologi yang dipegang teguh oleh pengarang pada tulisannya. Untuk
mengetahui secara detail ideologi apa yag dominan yang terdapat pada lakon “Mengapa
Kau Culik Anak Kami” adalah dengan menelusuri ideologi yang dimiliki pengarang dari ia
kecil sampai akhirya menulis karya tersebut.
11

Melalui tahap negosiasi ideologi pengarang dengan teks yang ditulisnya, akan
diketahui pesan atau ideologi apa yang ingin disampaikan Seno Gumira kepada pembaca
karya-karyanya terutama teks drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami”. Dengan
diketahuinya ideologi yang disampaikan oleh Seno, akan diketahui efek dari teks drama
“Mengapa Kau Culik Anak Kami” terhadap pembacanya.

5.1. Seno Gumira dan Keluarga


Seno Gumira Ajidarma adalah putra dari Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, seorang
guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada di Boston, 19 Juni 1958. Tapi, lain
ayah, lain pula si anak. Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang dengan pemikiran sang
ayah.
Setelah lulus SMP, Seno tidak mau melanjutkan sekolah. Terpengaruh cerita
petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl
May, dia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru,
menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada
bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera. Sampai
akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, dia meminta uang
kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, Seno pulang dan
meneruskan sekolah.
Ketika SMA, ia sengaja memilih SMA Kolese De Britto yang boleh tidak pakai
seragam. Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di
lingkungan elite perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi,
komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro.Dia juga ikut
teater Alam pimpinan Azwar A.N selama 2 tahun.
Tertarik puisi-puisi karya Remy Sylado di majalah Aktuil Bandung, Seno pun
mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Teman-teman Seno mengatakan Seno sebagai
penyair kontemporer. Seno tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah
sastra Horison.Kemudian Seno menulis cerpen dan esai tentang teater.
Pada usia 19 tahun, Seno bekerja sebagai wartawan, menikah, dan pada tahun itu
juga Seno masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan sinematografi. Dia menjadi seniman
karena terinspirasi oleh Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut
boleh gondrong.[2]
12

5.2. Seno Gumira dan Kesenian

Begitu lama ia merasa berada dalam keterbatasan yang membuatnya berpikir


bahwa pemahaman ”yang benar” itu ada. Keterbatasan semacam itu membuat Seno
Gumira Adji Darma (47) menabrak-nabrak dan menghayati pengalaman orang buta
yang merayap dalam kegelapan. Padahal, ketika matanya terbuka, ternyata dunia
memang gelap.

Jalan ilmu pengetahuan terstruktur membukakan kesadaran bahwa realitas


”yang benar” adalah konvensi, kesepakatan; bahwa yang bernama ”realitas”
sebenarnya merupakan konstruksi sosial-historis.

”Upacara dalam hidup sudah kutuntaskan pada usia 20 tahun. Aku tak punya
target lagi setelah itu,” tambahnya. ”Semua kujalani dengan ringan.” Ia terus
membaca, menulis, melanjutkan kerja jurnalistiknya. ”Jadi tukang,” katanya. Tukang?
”Ya,” sergahnya. ”Bukan robot. Untuk jadi tukang keterampilan saja tak cukup. Ada
pergulatan intens. Tukang kayu harus kenal kayu secara personal. Petani harus kenal
cuaca, tanah, air, benih, secara personal.” Keangkuhan para intelektuallah yang
membuat derajat tukang direndahkan. Padahal, menurut Seno di dalam
”pertukangan” ada perfection. Di dalam kesempurnaan ada penghayatan, ada
pengetahuan yang mendukungnya.[3]

6. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Seno Gumira menganut ideologi
demokrasi dan liberalisme. Latar belakang SGA sebagai seorang jurnalis lah yang
menuntutnya untuk “berbicara”. Ketika reportase dan investigasi seorang jurnalis tidak
bisa diterbitkan karena represi sebuah rezim politik, maka fiksi dapat menjadi jalan
keluar. Menurut SGA, kesusasteraan hidup di dalam pikiran. Di dalam sejarah
kemanusiaan yang panjang, kebenaran dalam sastra akhirnya menjulang dengan
sendirinya, di tengah hiruk pikuk macam apa pun yang diprogram secara terperinci lewat
media komunikasi massa.[4]
13

7. Daftar Pustaka

Dewojati, Cahyaningrum. 2014. Drama-drama Indonesia Kajian Multiperspektif.


Yogyakarta: Aksara Indonesia.

8. Sumber Acuan Lain


[1] dan [2] Lihat Wikipedia, Biografi Seno Gumira, URL:

http://id.wikipedia.org/wiki/Seno_Gumira_Ajidarma/ . Dilihat 3 Juni 2014

[3] Lihat Maria Hartiningsih, Transformasi Seno Gumira, URL: http://belesti-


siluet.blogspot.com/2011/04/biografi-seno-gumira-adjidarma.html . Dilihat 3 Juni
2014

[4] Lihat Sindikatpecurijeruk, Seno Gumira, Pendekar Sastra Indonesia, URL:


http://sindikatpencurijeruk.wordpress.com/2012/05/26/seno-gumira-ajidarma-
pendekar-sastra-indonesia/ . Dilihat 26 Mei 2014

Anda mungkin juga menyukai