Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Cerpen Kompas TH 2015

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 37

Seragam

written by tukan kliping//12 Agustus 2015

Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu
mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang
tiba-tiba.

Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk
masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan.
Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu
turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon
cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara
bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan
yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya
sebentar.

Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena
keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga
kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan
padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah
menyambanginya sejak itu.

”Jadi, apa yang membawamu kemari?”

”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah
keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”

Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata


obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.

Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami
dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di
ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya
lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia
daripada saya.

Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi
penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan
wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok.
Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan
besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan
yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa
menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang
mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat
perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.

Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya
langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang.
Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas
isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual
atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan
lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses
mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi
malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.

”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat.
Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan
terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak
pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi
ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.

”Tanggung,” jawabnya.

Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu
berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah
melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat
beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi
tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata
ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya
merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.

Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa
menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat
tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit
menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut,
atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi
yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-
tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.

Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor
jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah
saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi
sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah
membakar punggung saya!

”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya


untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya
rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-
nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak
sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak
karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya
pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung
hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian
kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh
saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara
kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat
dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri
kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan
pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari
sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi
rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang,
sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya
sempat pula kena tampar Ayah yang murka.

Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang


melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas
di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang
saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa
membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.

”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.

”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah
nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam
itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa
minggu.”

Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang
akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian
meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.

Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama
membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi
sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari
tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang
lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.

Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia
bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.

”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin
tua dia semakin tidak tahu diri.”

”Ulahnya?” Dia mengangguk.

”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling
berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal
usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia
tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya
kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu,
seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-
kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-
satunya.

”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore.
Ada kesungguhan dalam suaranya.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang
baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya.
Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong
saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab
yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.

Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang.
Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa
membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang
saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan
seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
Jingga Senja Kita

7 Desember 2015 11:35 Diperbarui: 7 Desember 2015 11:35 758 45 60

Namaku Jingga. Aku berusia 16 tahun. Ayahku sangat menyukai warna jingga. Jingga
yang ada pada senja. Sehingga ia menamaiku demikian. Tante Grace yang
memberitahuku. Aku memiliki saudari kembar. Namanya Senja. Ia lahir lima menit
setelahku. Perihal namanya itu, tante Grace juga memberitahunya. Katanya ibu kami
yang menyukai senja. Senja yang berwarna jingga.

Sejak kecil kami sudah dititipkan pada tante Grace. Orangtua kami meninggal dalam
sebuah kecelakaan mobil. Saat itu usia kami baru dua tahun. Tante Grace adalah adik
dari ayah kami. Tante Grace hidup sendiri. Ia bilang suaminya telah meninggal saat
kami belum dititipkan padanya. Namun tante Grace tak pernah menikah lagi. Ia juga tak
memiliki seorang anak. Mungkin karena itu ayah menitipkan kami padanya. Dengan
harapan kami juga bisa mengisi kekosongan hidupnya.

Tante Grace sangat sabar mengurus kami. Bagaimana tidak, mengurus dua anak kembar
seorang diri saja sudah begitu merepotkan. Apalagi mengurus anak kembar dengan
kondisi khusus seperti kami berdua.

***

Dari balik jendela rumah tante Grace. Tiap pagi aku selalu memandangi pohon-pohon
pinus yang tumbuh memagari halaman samping rumahnya. Di sana, di pucuk pohon itu,
aku biasa mendapati sepasang burung gelatik yang sedang menari-nari. Sang betina
akan meloncat-loncat berpindah dari dahan satu ke dahan lainnya. Sedangkan sang
jantan mengiringinya dengan nyanyian lagu cinta mereka.

Menjelang sore hujan biasanya akan turun. Rintiknya akan mengetuk-ngetuk kaca
jendela. Aku segera menempelkan telingaku padanya. Aku penasaran pada apa yang
sebenarnya sedang mereka katakan. Namun sebagaimana nyanyian burung gelatik di
pucuk pohon cemara itu. Sebenarnya aku juga tak pernah tahu bagaimana suara ketukan
rintik hujan pada kaca jendela. Aku sebenarnya tak dapat mendengar apapun. Karena
kedua telingaku tuli.
Sedangkan Senja, ia tak pernah menghampiri jendela seperti yang sering aku lakukan. Ia
paling senang duduk di atas sofa sambil mendengarkan tante Grace bercerita. Senja
memang terlihat lebih dekat dengan tante Grace dibanding aku. Selain karena memang
ia lebih manja. Ia juga tidak tuli seperti diriku.

Namun sayangnya Senja tak pernah tahu seberapa bulat mata dan mancung hidungya. Ia
juga tak pernah tahu bagaimana rupa wajah ayah dan ibu dari foto yang pernah
ditunjukan tante Grace pada kami. Karena Senja, adikku itu terlahir dengan kondisi
buta.

***

Suatu hari aku mendapati tante Grace sedang menangis di dalam kamarnya. Di
tangannya terdapat selembar foto. Air matanya begitu berderai. Aku tak sengaja
melihatnya dari ujung celah pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat.

Di sebuah lemari kecil tempatnya menyimpan buku-buku. Aku menemukan sebuah foto
yang tersimpan di dalam sebuah amplop berwarna putih. Di dalam amplop tersebut
terdapat juga selembar surat. Ternyata itu adalah foto kedua orangtua kami. Ayah
terlihat sedang merangkul ibu dengan mesra. Senyum mereka mengembang. Di
belakang mereka semburat senja berwarna jingga terlihat begitu indah melengkapi
kebahagiaan mereka.

Beberapa minggu kemudian. Setelah kami genap berusia 17 tahun. Tante Grace
mengirim kami ke sebuah panti. Sebelumnya Ia tak berkata apa-apa pada kami. Tante
Grace seolah mengusir kami begitu saja. Senja hatinya sangat terpukul. Di panti itu ia
hanya menangis sepanjang waktu. Ia tak mau beranjak dari tempat tidurnya. Ia bahkan
tak mau makan.

Aku berusaha menghiburnya. Aku berusaha menghilangkan kesedihannya. Namun


bahasa isyaratku tak pernah sampai padanya. Aku bahkan tak pernah bisa memanggil
namanya. Kami begitu dekat, namun kami seperti terpisah berpuluh-puluh kilometer
jauhnya. Kehadiranku bagi Senja hanyalah sebuah kesunyian yang lain. Kesunyian yang
semakin membuatnya bersedih.
Dalam keadaan setengah putus asa aku berlari menuju sebuah hutan kecil yang terletak
tak jauh di belakang panti. Kemudian aku menangis di antara pohon-pohon akasia. Aku
berharap mereka dapat mendengar tangisanku. Mendengar isi hatiku. Dan
menyampaikannya pada Senja yang sedang berbaring tak berdaya itu.

Tiba-tiba saja daun berjatuhan tersapu angin. Derai – derainya berbisik pada tangisanku.
Kemudian aku menuruti bisikannya. Aku berlari menuju bukit yang bersembunyi di
balik hutan itu. Aku berteriak pada awan-awan di sana. Dan kemudian mereka seolah
berbicara dalam hatiku “bawalah Senja pada hujan”

***

Aku menuntun langkah Senja. Aku menyandarkan kelemahan tubuhnya pada bahuku.
Aku mengajaknya ke atas bukit. Saat itu tepat matahari akan tenggelam. Aku
mendudukannya di atas rumput. Di ujung cakrawala semburat cahaya jingga mulai
menampakan dirinya. Aku menghadapkan senja padanya. Aku sejenak memandanginya.
Memandangi diri kami. Jingga dan senja. Hingga sesuatu yang aku tak mengerti terjadi.
Sebuah rintik hujan turun di antara cerahnya langit sore. Hujan itu membasahi tubuh
kami.

Perlahan Senja menegapkan dirinya. Hujan itu tiba-tiba saja mendera gendang
telinganya. Dalam rintiknya, aku seolah-olah mendengar suaraku sendiri. Suara yang
belum lama aku tangiskan pada hutan dan awan. Dan kini rintik hujan sedang
menyampaikan tangisanku itu padanya. Senja kemudian membentangkan tangannya.
Menghadapkan mukanya pada langit. Ia berusaha untuk menangkap tiap kata yang
hendak disampaikan oleh rintik hujan padanya.

Adikku,

Aku hanya ingin memberitahumu bahwa senja yang ada di ujung langit sana berwarna
jingga pekat. Tetapi bunga-bunga yang tumbuh di sekitar kaki kita berwarna
jingga kulit jeruk. Memang keduanya jingga, tetapi jingga yang berbeda, Adikku. [1]

Adikku, aku membaca dalam sebuah surat yang dititipkan bersama foto kedua orang
tua kita pada tante Grace dalam sebuah amplop berwarna putih. Di dalam surat itu
Ayah memohon padanya, agar ia mau membesarkan kita berdua sampai usia kita cukup
dewasa.

Adikku, ayah dan ibu tak pernah sempat memberikan nama pada kita. Jingga dan Senja
adalah nama pemberian tante Grace. Ia tahu bahwa ayah dan ibu sangat menyukai
senja yang berwarna jingga.

Adikku, selama lebih dari 17 tahun kita telah membuat luka hati tante Grace tak pernah
mengering. Ternyata tante Grace adalah istri ayah. Dan ibu kita, ia adalah seseorang
yang sebenarnya tak pernah diharapkan kehadirannya dalam hidup tante Grace.

Adikku, kumohon jangan pernah membenci tante Grace yang telah mengirim kita ke
panti ini dan kumohon berhentilah untuk menangis. Aku akan selalu menerangi gelap
harimu. Menjadi Jingga Senjamu. Jingga Senja Kita
Minum dari Cangkir Angkasa

8 Desember 2015 15:22 Diperbarui: 10 Januari 2016 13:45 632 19 29

Hari itu saya mendapati Angkasa menangis. Rupanya Vena pergi, atau mati, saya tidak
tahu, meski saya berharap yang ke dua. Tangannya bergetar, sambil menggenggam
secangkir teh panas. Titik-titik air matanya jatuh ke dalam teh, dan ia meminumnya
sendiri.

“Air matanya untuk apa? Agar tehnya manis? Atau agar tehnya menjelma menjadi
ramuan yang bisa memanggil Vena kembali?” tanya saya ragu-ragu.

Angkasa memandang saya dengan tatapan kosong. Mungkin ia merasa tersindir, atau
sedih, entahlah. Yang pasti Angkasa diam, tampaknya ia tidak mau bicara dengan saya.
Maka saya juga diam, dan pergi, meski dalam hati mengutuki Vena mati-matian

Saya tahu apa yang paling Angkasa kagumi dari Vena, rambut panjangnya yang
sepinggang. Warna rambut Vena hitam pekat, cantik sekali. Sama pekatnya dengan
mata bundarnya, dan sayangnya sama pekatnya juga dengan hatinya.

Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak sebelum pulang ke rumah. Saya


menghentikan langkah ketika membaca sebuah iklan yang tertulis di pintu kaca sebuah
toko, “DIJUAL: syampo pemanjang rambut, bisa memanjangkan rambut dengan cepat”.
Saya pun masuk ke toko itu, mengambil sebotol syampo pemanjang rambut itu,
kemudian membelinya.

Beberapa hari setelah mencoba syampo itu, saya bertanya kepada seorang kawan
apakah ada perpanjangan signifikan dari rambut saya yang selama ini panjangnya tidak
pernah melebihi bahu. Ia berkata tidak ada. Maka saya memutuskan akan meminum
syampo ajaib itu. Saya pernah mendengar bahwa segala sesuatu lebih baik jika
ditanamkan dari dalam.

Saya sendiri penasaran, seperti apa rasanya jika beberapa tetes syampo pemanjang
rambut dicampurkan ke dalam teh panas. Rasanya pasti tidak akan semanis ramuan air
mata Angkasa, namun apa salahnya jika rambut saya bisa bertambah panjang sampai
sepinggang kelak. Mungkin kelak Angkasa akan berhenti menangis. Mungkin kelak
Angkasa mau berbagi tehnya dengan saya, mungkin kelak teh Angkasa yang kami
minum bersama tidak bercampur dengan air matanya, melainkan air mata Vena.

***

Saya memutuskan untuk menghampiri Angkasa pada suatu sore. Saya membawa serta
syampo pemanjang rambut dan secangkir teh panas. Angkasa sedang duduk menikmati
tehnya ketika ia menyadari keberadaan saya.

“Luana?” sapanya spontan ketika melihat saya.

Angkasa tidak lagi menangis. Matanya kering. Namun saya bisa mendengar suara tetes-
tetes air mata di bagian lain dalam dirinya.

“Boleh ikut duduk?” tanya saya. Ia mengangguk.

Saya menuangkan syampo ajaib itu ke dalam teh saya. Angkasa memandangi apa yang
saya lakukan dengan heran.

“Apa yang kamu lakukan, Luana?” tanyanya. Ia tidak terdengar penasaran, saya cukup
tahu diri bahwa itu adalah pertanyaan basa-basi. Karena basa-basi, jadi tidak perlu ada
jawaban.

“Cheers?” saya mengangkat cangkir saya sambil memandang matanya.

Angkasa tertawa. Tawa pertama yang saya lihat sejak kepergian Vena. Ia mungkin
mengira saya tidak benar-benar ingin meminum campuran syampo pemanjang rambut
dan teh di cangkir saya. Maka Angkasa juga mengangkat cangkirnya.

“Cheers!” ujarnya, masih dengan tawa yang sama, tawa yang jika diperlihatkan kepada
bulan akan membuat sang bulan merasa bersalah karena selama ini selalu menganggap
dirinya lah yang paling cantik.

Cangkir kami bertemu. Ting!


Angkasa langsung menghabiskan isi cangkirnya, sementara saya meneguk isi cangkir
saya perlahan. Saya dapat melihat Angkasa terkejut karena saya benar-benar minum
dari cangkir saya.

“Luana! Luana! Hentikan!” serunya. Ia mengambil cangkir yang saya genggam. Ia


terlihat sangat khawatir.

“Kembalikan cangkirnya, Angkasa…” ujar saya. Saya tidak menyangka bahwa saya
masih hidup setelah meminum syampo, bahkan saya merasa lebih segar dari
sebelumnya.

“Luana, syamponya jangan diminum. Lebih baik kita berenang-renang di dalamnya,”


ucap Angkasa sambil menunjuk botol syampo pemanjang rambut.

“Apa?”

Angkasa membuka tutup syampo, kemudian menggenggam tangan saya. Ia membawa


saya masuk ke dalam botol syampo itu.

Aneh. Saya bisa bernafas di dalam cairan syampo. Samar-samar saya dapat melihat
malam datang dengan gaun panjangnya yang paling mewah, dan bintang-bintang kecil
yang cantik menari-nari di dalam botol syampo bersama kami.

Sayang sekali, semua itu tidak berlangsung lama, karena selanjutnya bintang-bintang
kecil mematung. Ujung botol yang sebelumnya terlihat dengan mudahnya karena
cahaya bulan yang mengintip malu-malu kini tidak lagi terlihat. Rupanya sebuah mata
sedang mengintip ke dalam botol syampo kami, mata cantik berwarna hitam pekat yang
selama ini selalu dipuja Angkasa.

Angkasa lupa saya, ia terbang ke arah mata pekat.

Saya berenang-renang sambil minum syampo.

***
Sepiring Mendoan di Atas Ranjang

17 Desember 2015 17:12 Diperbarui: 18 Desember 2015 14:11 1368 32 62

Suamiku kuanggap aneh saat seminggu setelah pernikahan, dulu itu. Masuk kamar
langsung membisikkan kalimat,”Siapkan mendoan untuk kita malam ini.”

“Mendoan?” tanyaku heran.

“Iya, mendoan. Kamu pasti bisa bikin mendoan, kan.”

Mencoba membahagiakan suami. Aku bergegas ke dapur, mengolah bumbu,


mencampurkannya dengan tepung beras dan sedikit terigu. Tidak ketinggalan
menambahi irisan daun bawang: untuk memberi aroma dan pernik hijau pada adonan
itu. “Sreng… sreng….sreng…..” Suara kolaborasi tempe tipis nan lebar berlumur
adonan berbumbu yang dicelup ke dalam minyak panas di wajan.

Malam itu akhirnya jadi malam mengesankan bagi kami, makan mendoan di atas
ranjang. Dan, setelah itu, suamiku mengajak bercinta untuk kali pertama.

Aku pikir, ia minta mendoan karena ingin saja pada saat itu. Ternyata tak begitu. Ini
menjadi seperti sebuah seremonial sebelum kami bercinta. “Bikin mendoan dulu,”
pintanya.

Karena selalu demikian, akhirnya sebagai istri, aku hafal. Maka aku tanya sebelum
masuk kamar,”Apa perlu bikin mendoan?”

Yang paling aku tidak mengerti, ia selalu menjawa: Ya, terhadap pertanyaanku tadi.
Kenapa di otaknya hanya ada satu kata “mendoan” sebelum tidur, pikirku.

Tapi sekali waktu aku menjawab berbeda,”Aku nggak mau bikin.”

Ia tanya,“Kenapa?”

Aku punya alasan,” Aku lagi datang bulan.”

Tapi dia bersikeras meminta mendoan. Ia bilang, dirinya juga lagi tak bergairah. Jadi tak
berpikir ke arah itu, ujarnya. Tapi, kendati sudah mendengar alasanku, ia tetap ingin
makan mendoan buatanku. Sebagai istri yang ingin berbakti pada suami, aku turuti.

Sebenarnya, di dalam hati aku mengharap jawaban seperti ini,”Oh, istriku. Baiklah
kalau sedang halangan. Aku akan keluar rumah sebentar, membeli martabak. Kamu mau
martabak kan? Manis atau telor. Apa dua-duanya?”
Terlalu. Suamiku tak bisa membaca pikiranku. Timbul pertanyaan,”Apakah lelaki
memang egois?”

***

Beberapa ibu di lingkungan RT yang kerap datang ke rumahku selalu aku suguhi
mendoan. Ini makanan khas masyarakat Banyumas. Jika ada perempuan Banyumas
yang tidak bisa membuat mendoan, sungguh, mereka diragukan kebanyumasannya. Ini
kasak-kusuk yang sering mampir ke telingaku.

Maka dari itu, untuk membuktkan kebanyumasanku, aku sering membuat mendoan
untuk para tamu. “Enak Jeng. Boleh minta untuk yang di rumah,” Bu RT pernah bicara
begitu. Aku bangga dipuji, dan tidak ada salahnya berbagi makanan. Bukankah tangan
di atas lebih mulia?

Dari bibir Bu RT ini, rasa mendoanku mulai dikenal di kalangan RT, termasuk oleh para
Bapak. Walhasil, bapak-bapak minta pada istrinya untuk dibuatkan mendoan. Saat
arisan akhir pekan, pada suatu bulan, ibu RT meminta aku untuk demo bikin mendoan.

“Lo, kan mudah sekali, ibu-ibu?” Kataku di hadapan mereka.

“Sudah aku coba, Jeng. Tapi Bapak bilang, belum pas di lidah,” jelas Bu RT.

Pada saat yang telah disepakati, ibu-ibu satu RT mengadakan latihan membuat
mendoan. Akulah trainnernya. Duh, bangganya. Hasilnya mengagumkan. Dan sekarang,
semua sudah memiliki resep yang top markotop untuk membuat suami memujinya.

Tanpa dinyana, suamiku sering berkunjung ke banyak tetangga. Suguhannya mendoan.


Dari ujung barat ke timur. Dari belahan utara sampai selatan. Tidak ada yang beda.
Semua yang ada di meja tamu berupa piring yang terisi mendoan. Rasanya sama.
Setidaknya nyaris sama, kata suamiku berkisah pada suatu sore yang senjanya tidak
terlalu memerah.

Seiring waktu, terjadilah perubahan perilaku suamiku. Dia sudah tidak lagi memintaku
untuk membuat mendoan menjelang tidur. Yang aku sebut: sepiring mendoan di atas
ranjang. Sebenarnya aku senang, ini meringankan tugasku sebagai istri. Tidak
direpotkan. Masak sih, beranjak ke tempat tidur mesti makan mendoan bersama.

Namun sayang, semenjak itu suamiku mulai jarang mengajakku bercinta. Sungguh
aneh. Apalagi jika aku yang meminta, selalu saja ada alasan. Misalnya: besok mau
berangkat kantor gasik atau apa nggak ada urusan lain, dan seterusnya. Ah, ia tak
semenggebu dulu lagi.
Aku mulai curiga padanya. Ada apa dibalik semua ini. Aku tanya padanya baik-baik.
“Kenapa aku sebagai istri sudah mulai diabakan?”
Dan dia terus terang. “Mendoanmu hambar. Tidak seistimewa dulu.”

Aku gelagapan dengan jawabannya. “Mendoanmu tak ada bedanya dengan buatan ibu-
ibu di RT sini,” lanjutnya.

Suamiku memang tidak tahu, bahwasannya akulah yang mengajari mereka cara
membuat mendoan yang baik dan benar. Yang enak dan membikin ketagihan.

“Karena rasa mendoanmu yang berubah menjadi hambar, rasa bercintaku pun kena
imbasnya,” kilah suamiku dengan nada pilu.

Apa boleh buat, aku akhirnya terus terang kepadanya bahwa akulah yang membuat ibu-
ibu di sini menjadi pintar membuat mendoan. Ia tersentak. Wajahnya memerah.
Matanya menyorot tajam kepadaku. Entah karena aku kaget dengan reaksinya, aku
seolah melihat ada dua cula menonjol di atas kepalanya.

“Kenapa kau bagikan rahasiamu. Itu hak paten yang diperuntukkan untuk suamimu.
Sesuatu yang eksklusif. Aku kasih tahu ya…. Para Bapak di RT sini cerita kepadaku,
betapa gairah cinta pada istrinya begitu menggebu setelah makan mendoan yang dibuat
istri mereka. Sedangkan mereka tak bercerita bahwa kamulah yang mengajari. Jadi,
resepmu itu punya daya magis yang luar biasa.”

“Bagus dong kalau begitu,” aku berucap membela diri.

“Bagus bagaimana. Justru karena itu, resep mendoanmu menjadi 'generik' untukku. Aku
yang kena dampaknya. Tahu!”

Aku tak menyangka akan sejauh ini. Hanya urusan mendoan sudah melimbungkan
harmoni rumah tangga.

“Tapi niatku kan baik pada mereka. Bagi ibu-ibu itu.”

“Baik bagaimana maksudmu?”

“Ya, baik dong. Membagi ilmu 'kan baik. Apalagi jelas ada manfaatnya. Kita dapat
pahala yang tiada putus walau kita sudah mati. Betapa senangnya punya istri seperti
aku. Masak nggak mengerti urusan seperti ini.”

“Aku bukannya tidak mengerti!” Ia tampak geram. “Tapi pikirkan, mana yang lebih
didahulukan, membagi ilmu atau membahagiakan suami. Justru karena kamu membagi
ilmu, akhirnya aku yang dikorbankan. Bayangkan!”
Sekali ini aku tertegun. Terdiam kaku. Belum bisa memberi jawaban yang membuatnya
memahami sudut pandangku. Tapi aku pun merasa kasihan, dengan kenyataan yang kini
dihadapi suamiku yang gairah bercintanya mengambang. Aku cemas, jika suatu hari
malah menghilang. Atau lebih tragis, dia tergoda perempuan di luar sana.

Aku mulai berpikir memecahkan situasi ini. Dengan berat hati, aku minta izin pulang
dua hari ke kampung. Suamiku menyetujui, tanpa banyak pertanyaan,”Salam buat
Bapak ibu.”

Setelah sampai di kampung, aku “ngeluyur” bersepeda. Aku cari warung mendoan yang
paling enak, paling laris dan paling terkenal. Semua masih ingat aku, ini benar-benar
menguntungkan. Sampai akhirnya aku menemukan resep membuat mendoan yang
sangat super istimewa.

Tanpa banyak cerita kepada penghuni rumah di kampung, resep itu aku praktekan.
Akulah orang yang pertama merasakan resep ini. “Eureka!” batinku.

Seisi rumah mencicipi. Aku pandangi reaksinya. Semua menampakkan perubahan yang
sangat signifikan. Gairah hidup menyala. Yang tadi tiduran, sekarang mengambil sapu
membersihkan rumah. Yang mengeluh dingin, seketika mengambil handuk menuju
kamar mandi. Keponakanku yang tengah mengantuk, matanya melebar, ia ambil buku
dan membaca, katanya besok mau Ulangan akhir Semester. Semua terjadi setelah
makan mendoan resep terbaru.

Sampailah aku kembali berkumpul dengan suami.

Malam berselimut sunyi. Aku menuju dapur dan mempersiapkan segala sesuatunya.
“Membuat mendoan,” jawabku pada suamiku saat dia bertanya dari kejauhan. “Mau
bikin apa?”

Sepiring mendoan aku bawa ke kamar. Seperti biasa, ditaruh di atas ranjang. Suamiku
masih enggan. Masih “aras-arasan” mengambil. Aku memilih memulai makan. “Ayo
dong, jangan cuma aku yang makan. Kita sepiring berdua. Tidakkah kamu rindu
suasana yang seperti ini?

Akhirnya ia berkenan mengambil satu. Memakan habis. Mengambil satu lagi dan habis.
Ia mulai menampakkan perubahan. Kepalanya manggut-manggut. “Luar biasa, enak
banget. Suwer!”

Aku hanya memandanginya sembari tersenyum. Aku sudah berkomitmen dengan si


pemberi resep mendoan itu, untuk tidak membocorkan kepada siapapun, termasuk
suamiku sekalipun. Maka dalam cerita ini, aku mohon maaf, aku tidak juga akan
menceritakan rahasia resep itu. Menjaga komitmen adalah sesuatu yang berharga, jika
ingin dihargai. Itu prinsip sederhanaku.
Mmm, yang ditunggu terbukti. Suamiku langsung mengajak bercinta. Gairahnya sudah
membumbung sampai ke langit-langit kamar. Apa mau dikata, malam itu menjadi
penuh debaran. Diriku seperti menjadi “korban” oleh suamiku sendiri. Aku laksana
perahu yang terombang-ambing oleh gelombang tsunami.

Setelah itu. “Zzzzzzzzzt……….zzzzzzt…….zzzzzzzt…..” Suamiku tertidur pulas.

Aku tergelak. Hatiku berbingar-bingar, merasakan kembalinya nuansa cinta sebagai


sepasang suami istri.
Kaki Tangan

16 Desember 2015 08:19 Diperbarui: 16 Desember 2015 10:20 184 20 28

Burung besi ini sebentar lagi membawa rinduku menyapamu, menyapa masa lalu kita.

Masa lalu yang tumbuh terseok di halaman depan sebuah kos-kosan berlantai papan.
Kos-kosan yang menemani melewati malam dan siang dengan makan di selembar daun
pisang, dari duit yang dikumpulkan bersama. Melewati malam dan siang dengan gitar
dan kisah-kisah kesaksian, meyakini pilihan dan menjaga harapan. Waktu dan
kesibukan tiada boleh mendinginkan persaudaraan.

Empat jam berlalu, akhirnya aku melihat puncak Gamalama itu. Ah, tanah rempah-
rempah yang menjadi lokasi sejarah pertikaian bangsa-bangsa Eropa. Tanah rempah-
rempah yang menjadi saksi dari perjuangan dan pengkhianatan. Tanah rempah-rempah
yang juga pernah bersimpah darah dari perang saudara ketika penjajah sudah pulang ke
rumah.

“Ceritakan tentang kemiskinan Jakarta,” pintamu sesudah jabat tangan hangat. Matahari
sedang naik setengah putaran.

Aku diam sebentar. Melihat posturku yang kini sedikit gondrong dengan perut pelan-
pelan membuncit, mungkinkah kau berpikir aku sedang bergelimang mapan?

“Aku belajar hidup disana..bukan sedang belajar ka..”

“Ya, aku mengatakan itu jika ada yang bertanya dimana dan sedang apa dirimu.”
potongmu lekas-lekas.

Haaah. Syukurlah.

“Kemiskinan Jakarta telah membanting banyak dari cara pandangku. Ia tidak


membuangnya, ia memperbaikinya. Ia melengkapi gambarku tentang hidup bertahan
sebagai manusia pinggiran.”

Lalu ceritaku mengalir ke perjumpaan-perjumpaan yang mengharukan. Tentang orang-


orang tua yang bingung melihat kemajuan. Tentang anak-anak muda yang bingung
dengan kenyataan. Tentang perempuan-perempuan yang merawat generasi dari jajanan
berbahaya. Tentang tanah dan pekuburan yang tumbuh menjadi supermall dimana suka.
Tentang tangan-tangan yang masih berjalan dan tak henti mengawetkan penaklukan
demi keuntungan.

“Seharusnya aku menyiapkan ruang berdiskusi, agar kau boleh berbagi kesaksian
dengan generasi yang hari ini hilir mudik di kampus.”

“Aku tidak ingin. Sudah tidak tertarik.”

Dan kau diam. Aku meneguk kopi hitam.

Kau membakar tembakau, aku menghirup gundah dari setiap kepul asapnya.

“Generasi memang sudah jauh berbeda.” Ah, kau terlihat lebih senja, hahaha.

“Membaca buku disangkanya membaca kenyataan. Baru melihat daun, diyakininya


sedang melihat hutan. Baru menikmati hujan, dipikirnya sedang memaknai lautan.
Keseharian juga jauh dari gunung dan laut, tak kenal kebun dan perahu nelayan.”

Kau sudah mulai merenung.

Jika sudah begini, mulailah aku menatap lantai semen yang pecah dimana-mana.

“Mereka yang dulu sering di sini, makan tidur dan berdiskusi, kini sudah menyebrang
kemana-mana. Ada yang masih ingat siapa aku, ada yang sudah lupa, ada yang bahkan
kini menyerangku. Aku bahagia, mereka sudah menemukan dunianya. Aku senang
pernah berada bersama masa-masa pencaharian mereka walau kini yang tersisa
hanyalah lupa, bahkan untuk membelikan sebungkus tembakau buatku.”

Kau menyesali pernah punya murid yang kini lupa dan menjadi durhaka?

“Hei, jangan jauh menduga, aku tidak mengutuk kemiskinanku. Aku pernah lebih
sengsara dari ini bukan?”

“Kau tahu aku bisa kaya, lebih melimpah dari yang kau bayangkan bukan?”

Ya, aku tahu itu.


“Tapi itu dengan menghancurkan semua kerja baik yang aku susun bertahun-tahun.
Hanya untuk tampil mentereng dan wah, haruskah menghancurkan semua kebahagiaan
kecil yang merawat keyakinanku?”

Hening. Segala menjadi bening.

“Apa yang kau cemaskan?”

“Kehancuran pelan-pelan. Sebuah kehancuran yang rapi, lembut, tersembunyi.


Kehancuran yang dikerjakan kaum intelegensia dan disembunyikan media massa.”

“Sebab apa?,”tanyaku. Gundahmu berkata-kata juga akhirnya.

“Bukan karena letupan gunung Gamalama. Bukan karena gempa dan gelombang
tsunami. Ini kehancuran yang berjalan karena operasi-operasi canggih yang mengapling
sumberdaya alam, menarik surplusnya, menciptakan keterbelahan pro kontra warganya,
dan tertawa sinis di balik panggung pertunjukan konflik dan polemik. Kekuatan-
kekuatan trans-nasional itu sudah selesai membuat peta, mereka sedang mencari pintu
masuknya, sedang membentuk unit-unit marsosenya.”

Sejarah berulang. Petaka terbayang. Kau pasti bertahan seperti yang pernah.

“Mari kita makan, sebelum hal indah ini tinggal kenangan.”

Ada nasi putih dan ikan asin serta sambal colo-colo kegemaran sejak zaman kos-kosan
dulu di meja kayu dengan taplak yang telah sobek di tengahnya.

..Segera balik ke hotel, harus ketemu ring satu Bupati, ada “mangga” yang harus
diantarkan. Segera, demi mempercepat ijin eksekusi kampung yang menolak tambang
kita...

Sms itu masuk ke hape lawasku. Aku menatapmu.

Guruku, kau sedang berbagi gelisah dengan marsose baru.

***
Cinta dan Angan: Mimpi Bertemu Sapardi

22 Desember 2015 22:28 Diperbarui: 22 Desember 2015 23:03 311 7 10

Jika dalam mencintai, Sapardi, ingin menjadi sederhana seperti isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Boleh jadi, semua orang iri
kepadanya. Anda boleh berbangga, Pak Tua. Saya menunduk takzim dengan setengah
membuka topi kepala untukmu. Tapi tunggu, saya juga tak mau kalah—untuk mencintai
kekasih saya. Keinginannya tidaklah muluk. Jika dianalogikan seperti makan, tidaklah
perlu empat sehat lima sempurna dan satu gelas susu sapi hangat sebagai pelengkap.
Cukup seperti makan nasi dan lauknya kerupuk. Sederhana, bukan? Ya, dengan kata
imbuhan ‘sangat’ kamu pasti berkata demikian. Keinginan saya ialah dicintainya
dengan angan. Saya mencintainya diam-diam dan ia mencintai saya dalam-dalam.

Sebelum malam diselimuti dengkur, kita sama-sama merapalkan doa. Supaya di alam
mimpi sana kita bisa sanggup bersua. Dan dengan tangan lentik Tuhan yang diam-diam
pula meng-ijabah doa kita; mempertemukan ia dan saya, tentunya. Tolong amin-kan doa
saya Pak Tua. Bukankah, kita sebagai hambaNya yang setia dan doa yang paling
terijabah adalah doa yang suka diam-diam. Lagipula di alam mimpi semuanya bisa saja
terjadi. Sehingga yang terjadi adalah saya memimpikanmu, bukannya ia. Tentu saja itu
terdengar keliru. Padahal saya sama sekali tak memikirkanmu di alam nyata. Mungkin
kamu meng-aminkan doanya hanya setengah saja. Atau tidak sama sekali. Tak apa.

Kamu duduk bersila di tempat itu dan terlihat sangat khusyuk, macam tokoh dalam
cerpenmu: Meditasi Sunan Kalijaga. Namun tanganmu tengadah ke atas, barangkali
berdoa. Saya menunggumu selesai berdoa. Entah apa dan siapa yang kamu doakan
sehingga begitu lama. Saya menunggumu. Hanya itu. Saya menunggumu dan kesal dan
menghampirimu dan bertanya, “Apa sudah selesai, Pak Tua?” Kamu diam saja.

Tanpa diminta memulai, saya ajukan pertanyaan kedua, “Sapardi yang saya cintai—
setelah kekasih saya tentunya, bolehkah saya bertanya: lebih spektakuler mana antara
kekuatan mantra kata-kata dengan doa?”
Kamu masih diam saja. Tidak bergerak atau pun beranjak. Bersyukurlah ia yang dicintai
Pak Tua ini. Yang tak henti-hentinya didoakan keselamatannya. Meskipun saya sedikit
ngeri membayangkan rasanya bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya.

“Baiklah,” kata saya pelan dan menambahkan, akan menunggunya di sini sampai ia
selesai berdoa. Saya harus mendapatkan jawaban itu, kata saya dalam hati, apapun yang
terjadi.

Di dalam mimpi itu saya menunggunya tak jauh; sepelemparan batu, dari tempatnya
bersemedi dan berdoa. Sambil berbaring. Karena begitu lama akhirnya saya jatuh
tertidur. Dan bermimipi. Dan mimpi itu ialah bunga tidur. Dan ia ialah kupu-kupu. Dan
saya adalah bunga yang tafakur menunggu. Selalu.

Akan namun, tak tahu masanya, kapan semuanya menjelma menjadi indah. Menjadi
nyata. Nasi dan krupuk saja, memanglah tidak seenak yang saya kira. Mencintai dengan
angan, tak lain ialah mereka yang menanam bunga, memupuk bunga tanpa berani
memetik hasil penennya. Barangkali saya memang tidak mempunyai kehendak memetik
bunga itu, selain memandangnya dari jauh. Selain berdoa sebelum tidur ditengah malam
dan mencintainya dalam angan.
Rasi Rindu Mimpi dan Kupu-kupu

17 November 2015 00:15 Diperbarui: 17 November 2015 00:19 282 3 2

: Lis...

Barangkali dengan ‘mengetahui’ apa yang terjadi semua hal dapat ‘diketahui’. Seperti
halnya rasi. Mereka percaya, letak bintang di angkasa raya mempengaruhi kehidupan
manusia di bawahnya.

Aku tak ingin menyangkal, sebab aku yakin. Kamu akan berkata setuju padaku; ini
terlalu berlebihan. Namun yang terjadi sesungguhnya adalah aku ingin mengetahui:
bagaimana kesehatanmu, kisah asmaramu atau hari-hari burukmu. Sungguh, kamu tak
perlu menebak. Inilah aku yang masih sama: membeku dan rindu.

Suatu kali aku katakan pada mereka: bahwa rindu itu tidak ada, kamu hanya berusaha
nampak kehilangan, sehingga kamu mengira satu-satunya cara mengulang ialah
dengan jalan mengenang yang hilang. Aku tahu, aku telah menipu mereka. Dan aku
menyesal. Terlebih aku sendiri beralasan tentang ‘kehilangan’. Tapi barangkali mereka
pernah merasa kehilangan. Dan mereka pikir, cukup masuk akal. Atau justru aku
sebenarnya telah menipu diriku sendiri. Sebab kata ‘kehilangan’ ialah sesuatu yang
pernah kita ‘miliki’ lalu telah ‘tak termilki’ lagi .

Aku memang merasa kehilangan dirimu. Tapi tenang, kamu akan tetap ada. Hanya saja
mungkin dalam bentuk lain seperti sajak, prosa atau puisi. Dan kamu tahu, yang
membuatku sedih justru tak bisa mengulang yang telah hilang selain dalam sajak, prosa
atau puisi itu sendiri. Sebab, kupikir, kamu tak pernah merasa ‘memiliki’ jadi kata
‘kehilangan’ ialah sepenuhnya milikku sendiri.

Tapi, Lis....

Aku tak pernah begitu benar-benar yakin. Adapun yang bisa aku yakini ialah satu hal:
cinta memang aneh. Aku mengamini hal itu. Pun cara kita bertemu di alam mimpi. Aku
rasa ini bukan aneh lagi melainkan ganjil. Tapi aku ‘cinta’ kamu, maka jelas sekali ini
adalah hal yang sangat wajar.

Di sebuah taman di dalam mimpi itu, kamu mondar-mandir saja terengah-engah ingin
menangkap kupu-kupu, ingin menangkapku. Di atas putik-putik bunga aku melihatmu
mengatur nafasmu, menyeka keringatmu dan kelelahanmu. Melihatmu hampir
menyerah aku pun tak tega dan berinisiatif menghampirimu. Mengepaklah kedua sayap-
sayapku menutup-membuka dan pada akhirnya aku mendarat tepat di ujung hidungmu.
Kamu tak berkutik, sebab kaki-kaki kecilku mematok urat-urat sarafmu, barangkali.
Kamu melihatku. Aku grogi. Senyum pertamamu pun merekah seperti bunga water-
lily di awal musim semi. Kita sepakat untuk saling tatap dalam waktu yang cukup lama,
ketika itulah mata kita saling melekat. Aku serasa bercermin di dalam kedua matamu
yang bening. Mesti sebenarnya aku merasa terancam (kamu mungkin pernah mendengar
cerita jika pandangan seseorang—khususnya pandangan pertama, bisa membunuh).
Tapi entah kenapa, yang terjadi aku justru diam. Pikirku, mati pun aku mau, asal di
tanganmu. Lagi pula 91% aku yakin kau tak akan membunuhku. Sisanya, aku percaya,
kau tak akan membunuhku.

Kamu masih tetap tersenyum manis macam madu dan nampak nyaman, seolah baru saja
menemukan cinta sejatinya. Buru-buru aku menghisap senyummu dalam kepalaku. Ini
adalah moment bersejarah, sebab tak semua orang memiliki senyum semanis dirimu.
Sejujurnya, aku ingin menghisap semua itu. Namun yang kurasakan justru tambah
grogi, salah tingkah dan pada akhirnya akupun mengepakan lagi sayap-sayap, mencoba
menjauh.

Aku hinggap pada sebuah ranting berlumut dengan denyut jantung secepat-cepatnya.
Aku yakin aku tengah jatuh cinta. Apa kamu juga merasakannya? Kamu percaya jatuh
cinta pada pandangan pertama? Aku sangat percaya.

Itu adalah awal kita bertemu. Selanjutnya tidurku menjelma mimpi-mimpi buruk.

Aku tetaplah kupu-kupu, tetap sama di mimpi itu, bedanya aku sendiri saja. Kamu entah
di mana? Di taman lain mungkin, bermimpi bertemu dengan kupu-kupu yang lebih
indah dariku mungkin, atau sebenarnya selama ini kamu benar-benar mencariku tapi
yang kamu alami justru tak pernah memimpikanku.

Lis,

Barangkali aku ini ialah Chuang-tzu, yang bermimpi bahwa aku seekor kupu-kupu, atau
apakah aku seekor kupu-kupu yang bermimpi bahwa aku adalah Chuang-tzu.

Aku sedih mengatakan ini, tapi aku merindukanmu...


Melihatmu, Melihat Suamiku

22 Desember 2015 15:43 Diperbarui: 22 Desember 2015 18:34 1064 44 50

Aku melihatmu. Keluar dari rahimku. Darahku melekat pada kulitmu yang putih. Kau
menangis, berteriak-teriak sekuat tenaga, sampai pada akhirnya mereka –yang
mengelilingimu– tertawa.

Aku melihat suamiku. Teteskan air mata. Mendekatiku. Berbisik, “Syukur kepada
Tuhan, anak kita telah lahir.” Aku tahu bahwa suamiku ingin sekali memelukmu,
namun pria tua yang disebut dokter itu menghalanginya.

Aku melihatmu. Berontak ketika para wanita berpakaian putih bersihkan tubuhmu. Kau
cantik sekali, terlebih saat selimut merah muda membungkus tubuhmu. Aku melihat
sekilas binar-binar matamu.

Aku melihat suamiku. Bertengkar dengan dokter yang bawamu menjauh dariku.
Suamiku tertunduk, dokter itu lenyapkanmu dari pandangku. Aku tak mengerti.

Aku melihatmu. Berlari-lari kecil dengan jepit kupu-kupu di kepala. Kau injak-injak
rumput hijau muda, mainkan melati-melati yang baru mekar semalam. Matamu itu,
mirip mata ayahmu.

Aku melihat suamiku. Seorang pengangguran. Duduk di atas motor bututnya. Nyalakan
cerutu. Jika terlalu lama kumelihatmu di sini, ia akan marah. Biasanya lima pukulan
akan ia daratkan pada wajahku.

Aku melihatmu. Begitu bahagia. Kau berikan peluk dan ciummu pada mereka yang kau
panggil: Mama-Papa. Aku pantas iri, sebab aku ibumu. Yang melahirkanmu dari
rahimku.

Aku melihat suamiku. Tertawa terbahak. Bangunkan tetangga tengah malam. Mabuk.
Kataku tak didengarnya, hanya tangan-tangan kalap itu yang berbicara. Aku pasrah
dalam doa yang entah menguap kemana.
*

Aku melihatmu. Berambut hitam sepinggang. Terkepang di antara bunga warna-warni.


Kau bersujud, meminta restu, bukan padaku. Tak kurasa waktu berjalan secepat ini.
Buatmu dewasa lalu menikah.

Aku melihat suamiku. Beku. Terbujur kaku. Aku lelah dipukul di malam. Setiap hari.
Tak salah aku membuatnya mati. Ya, mati. Hahaha.

Aku melihatmu. Kau tatapku. Aku tersenyum. Kau abaikan. Pedih.

Aku melihat diriku sendiri. Di bawa polisi. Ditidurkan di balik jeruji besi. Kubisikkan
pada yang bertubuh tambun, “Ingatkah kau bahwa sekarang adalah hari ibu? Maukah
kau memelukku?”
Melihatmu dari Balik Jendela

7 Desember 2015 15:08 Diperbarui: 7 Desember 2015 15:23 1336 55 124

Aku melihatmu dari balik jendela. Kau bermain hujan dengan riangnya. Rambutmu
basah, juga wajahmu. Butir-butir air hujan menerjang bulu matamu, melewati
hidungmu, juga setiap lekuk bibirmu. Hujan menyentuhmu begitu bebasnya dan
mendekapmu dengan dinginnya.

Aku melihatmu dari balik jendela. Kau bermain hujan dengan bergandeng tangan.
Tangan seorang gadis. Rambutmu basah, gadis itu mengusir air yang berjatuhan di atas
kepalamu. Jemarinya menyentuh wajahmu, bulu matamu, hidungmu, dan
mengakhirinya dengan sebuah kecupan pada bibirmu. Dia menyentuhmu begitu
bebasnya dan mendekapmu dengan kedua tangannya.

Aku melihatmu dari balik jendela. Menahan air mata. Menahan rasa cemburu yang
begitu hebatnya. Menahan kemarahan yang hampir menampar kekasihmu. Kau tak
pernah tahu betapa aku ingin memilikimu seutuhnya, seperti dulu.

Tubuhku lemas melihatmu bermesraan dengan kekasihmu di tengah hujan. Kau dan
kekasihmu menari-nari, melompat-lompat, juga berteriak-teriak gembira. Sedangkan
aku di sini, membisu dalam tangis, mengeluarkan hujan dari kedua mataku.

Aku tak ingin lagi melihatmu dari balik jendela, dan bersembunyi di bawah meja adalah
pilihan terbaik. Di dalam kegelapan, kudapati senyum dan tawamu. Tiba-tiba rasa
hangat mengalir dalam darahku, seperti saat kau memelukku untuk pertama kali. Harus
kuakui bahwa aku rindu padamu.

Ada sesuatu yang berkilau di bawah meja. Aku mengambilnya. Sebuah kotak emas
pemberian ibu setahun lalu, tepat saat kau nyatakan cintamu padaku. Kotak
permohonan. Aku membersihkan kotak itu dari debu, menggenggamnya, lalu
mengucapkan permohonan.

“Aku ingin menjadi hujan!”

Kotak terbuka dan bersinar. Tubuhku menjadi ringan dan sepertinya sedang melayang.
Kotak itu menghisapku dan memuntahkanku pada awan-awan kelabu. Awan-awan itu
mengajakku berkeliling kemudian berhenti tepat di atas kedua manusia yang sedang
menari-nari, melompat-lompat dan berteriak-teriak gembira di tengah hujan.

“Hai, hujan baru. Turunlah!”

Awan-awan kelabu memintaku untuk segera turun. Aku melompat, aku melayang, tepat
di atas kepalamu. Aku jatuh pada rambutmu yang hitam, menerobos bulu matamu,
menyentuh hidungmu, dan mencumbui bibirmu. Kau terdiam seketika, lalu
menyentuhku dengan tanganmu. Kau palingkan wajah dari kekasihmu kemudian
menatap rumahku.

Kau mengambil setangkai mawar dari saku belakang celanamu, lalu menyematkannya
pada sela-sela pagar kayu rumahku. Aku sempat menduga sebelumnya bahwa kau akan
berikan mawar itu untuk kekasihmu. Ternyata aku salah.

“Mas, apa kau masih merindukannya?

Pertanyaan yang sungguh lucu, baru saja keluar dari bibir kekasihmu. Aku tahu, bahwa
sesungguhnya kekasihmu tak izinkan kau berlama-lama untuk merinduiku.

“Tentu saja, bahkan aku masih sangat mencintainya. Sebelum kehadiramu, kami akan
menikah.”

Ya, kau benar! Katakan pada kekasihmu bahwa perpisahanku denganmu adalah karena
kebodohannya. Andai kekasihmu tak pernah dilahirkan, maka aku tak akan menjadi
hujan.

“Maafkan aku, Mas.”

Bolehkah aku menampar kekasihmu, Mas? Bolehkah aku menyakitinya hingga rasa
sakit yang kurasa tersalurkan dengan benar ke ruang hatinya? Bolehkah aku
melakukannya, Mas?

“Tidak ada yang bisa melawan takdir. Aku hanya menghindari tubuhmu yang terjatuh
dari sepeda malam itu, sehingga mobil kami lepas kendali kemudian menghantam
pohon besar yang mengakibatkan kekasihku pergi.”
Makarios

30 Juli 2015 11:28 Diperbarui: 11 Agustus 2015 23:25 1169 37 62

Kesepian banjiri mata ayumu. Senyum getir buatku teriris. Belukar berduri singkirkan
riang hatimu. Aku bisa melihatnya. Sorot mata kebencian kau lahirkan untukku.
Haruskah aku yang menanggungnya, di mana ini kali pertama kita bertatap muka?

“Maaf, Nona. Mengapa kau menatap benci diriku? Aku hanya ingin membeli sepotong
kue di tokomu. Ini tokomu bukan?”

Perempuan itu diam. Aku diacuhkan. Bukankah pembeli itu adalah raja?

“Aku terjebak hujan. Karena tak sanggup menahan lapar, kuputuskan untuk masuk ke
toko kuemu. Oh, aku tahu! Kau marah padaku karena pot mawarmu tersenggol olehku?
Aku akan menggantinya besok.”

Aku ingin lihat bibirnya sekali lagi, siapa tahu benang-benang halus telah menyulamnya
sehingga tak satu katapun ia keluarkan untukku. Sejujurnya, aku benci diperlakukan
begini. Apa sebaiknya aku pergi saja? Ah, tidak.

Tanpa melihatku, ia turunkan kue-kue yang belum sempat kubeli dari rak. Ia begitu
cepat membersihkannya lalu membawanya ke dapur. Andai kau jadi aku, kau pasti akan
mengamuk atau bahkan sudah berada di rumah sedari tadi.

“Kau akan menutup tokomu? Sisakan sepotong kue untuk kubeli. Aku akan
membayarnya sepuluh kali lipat jika kau mau.”
“Aku tak butuh uang. Pergilah!”

Apa? Tak butuh uang? Lalu mengapa ia membuka toko? Aneh. Lebih aneh lagi ketika
ia berani mengusirku, pembelinya. Sama halnya satu tamparan telah mendarat pada
pipiku. Bagus!

“Kau ini perempuan aneh!”

“Lebih aneh lagi dirimu!”

“Kau baru saja mengusirku!”

“Kau memang pantas untuk diusir!”

“Untuk apa kau membuka toko jika tidak untuk menjual kuemu?”

“Aku tidak menjualnya!”

Hahaha… Ini lelucon yang aneh. Apa yang ia katakan tak mampu kucerna dengan akal
sehat. Mungkin perempuan itu sedang mabuk. Ya, mabuk oleh kesepiannya. Mana
mungkin ia mabuk oleh anggur? Sebab ia hanya penyedia kue, bukan anggur. Itu yang
kulihat.

“Kuberikan kue secara gratis bagi para perempuan yang membutuhkannya. Jika tidak,
mereka bisa abaikan tempat ini atau menghilangkan memorinya tentang rasa kueku.
Biasanya kebahagiaan akan membuat mereka melupakanku.”

“Kue apa yang kau buat?”

“Bukankah kau telah melihatnya? Makarios. Rasanya seperti ketika kau tertawa
terbahak.”

“Lantas, mengapa kau tak menghabiskan semua kuemu agar kau bisa bahagia hingga
tertawa terbahak?”

“Aku tak bisa melakukannya. Menghabiskannya akan menjadi percuma sebab takkan
pernah kembalikan anakku.”
“Anakmu?”

“Anakku telah mati. Mati oleh tangan lelaki. Suamiku mencekiknya, sebelum dokter
memvonisnya gila.”

Aku bisa rasakan pahit hatinya. Luka yang tak mungkin bisa disembuhkan dengan
ribuan Makarios. Masih tentang sebuah kehilangan, namun kali ini yang tak
terikhlaskan.

“Apa yang bisa aku lakukan untukmu?”

“Buat aku menjadi Makarios. Buat aku menjadi bahagia.”

“Caranya?”

“Pergilah.”
Yang Tersisa Dari Kita Hanyalah Koteka

29 Desember 2015 11:48 Diperbarui: 29 Desember 2015 23:48 1149 22 21

Berada dalam lambung pesawat selama tiga jam tentu akan menjadi waktu yang
membosankan jika hanya dipergunakan sekedar melihat bentangan cakrawala yang
dipenuhi gugusan kapas-kapas putih hasil reaksi alam.

Namun apalah arti dari penerbangan tiga jam, jika sesudahnya ia akan bisa mendekap
erat lagi pemilik hatinya, setelah tigabelas bulan tak bersua. Seorang Dokter umum yang
lebih memilih bertugas di pedalaman Pulau Irian Jaya, tepatnya di Wamena, daripada
menerima tawaran beasiswa S2 ke Belanda.

Intrusksi dari awak pesawat membangunkan lelapnya yang hanya sekedar basabasi,
demi meringankan netra yang hampir tiga jam dipaksanya melahap novel sebanyak 742
halaman. Ia melipat seadanya syal yang sebelumnya melilit di lehernya, memasukan
novel tebalnya, membetulkan ujung-ujung jilbabnya. Sedikit mengucek-ngucek
matanya, memastikan bahwa tak ada kotoran tertinggal di sana.

Dan, waktu pendaratan telah tiba.

Setelah beberapa kali guncangan, akhirnya kaki sang burung besi menapakan kakinya di
pulau yang mendapat julukan, Mutiara Hitam.
“Sayang...”Gumamnya dengan dada berdegup kencang.

Rasa rindu pada kekasihnya meledak-ledak. Bak rahim seorang ibu menjelang kelahiran
anaknya. Otot-otot dalam perutnya berkontraksi tiada henti.
Pesawat telah berhenti dengan sempurna di Bandara Sentani, Jayapura, namun bukan
berarti pertemuan manis yang diimpikan akan segera terwujud. Ia masih harus
menunggu transit selama kurang lebih empat jam lagi, kemudian melanjutkan
penerbangan menggunakan pesawat perintis berkapasitas 41 orang, selama tiga puluh
lima menit menuju Wamena. Barulah, pertemuan manis itu akan tercipta.

*
Pesawat landing dengan sedikit oleng. Melakukan perjalanan tanpa bagasi
memudahkannya untuk segera turun dari pesawat.
“Terima kasih” sapa sang pramugari sebagai ucapan selamat jalan.

Sepasang kaki yang menggenakan boot warna coklat tua, melangkah tergesa. Agak
berlari, ia menuju lorong kedatangan. Berhenti sejenak, dan “Kotekaaaaa...Koteka...”
setengah menjerit, bibirnya yang tanpa polesan lipstik berteriak, tangannya kananya
melambai-lambai pada seseorang.
Lambainnya berbalas. Seorang lelaki, dengan fisik tinggi besar, berjalan tergesa
menujunya.

“Koteka..” katanya sambil memeluknya erat. Airmatanya turun mengerimis, dadanya


begitu kencang berdegup. Tak ada kata-kata keluar dari keduanya. Hanya bahasa tubuh
serupa dekapan menggambarkan betapa ada sekumpulan anak-anak rindu tengah
meloncat riang gembira.

Empat hari berlalu, sejak kedatangannya di Wamena. Hampir setiap hari, Dylan
membawakan Siti, Papeda. Bubur sagu khas daerah Papua. Sejujurnya Siti tidak pernah
–tepatnya, belum- menyukai jenis makanan ini, namun demi menyenangkan Dylan, Siti
berusaha menikmatinya.

“Dylan.” Siti memanggil kekasihnya yang pagi itu tengah bersiap-siap menuju ke
tempat praktiknya, namun entah karena tidak mendengar panggilan Siti, Dylan tidak
menyahut panggilan tersebut.

“Kotekaaaaa” Kali ini Siti setengah berteriak. “Aku ikut ya ke tempat praktikmu”
pintanya manja.

Dylan menoleh, “Apa, Bakpao” katanya. Membalas panggilan Koteka dari dengan
Bakpao. “Boleh, asal jangan kaget aja kalau seharian bakal liat yang ‘gandul-
gandul’...yang seperti di foto itu” Dylan menanggapi permintaan Siti dengan jawaban
bernada usil

Siti hanya melenggos. Kemudian berlalu masuk ke kamar berganti pakaian.


Panggilan keduanya bermula, saat awal-awal Dylan berada di Papua, entah ide
darimana Dylan mengirimi Siti sebuah potret dirinya yang tengah menggenakan
Koteka. Siti menjerit kaget, saat melihat potret tersebut, bagaimana tidak menjerit jika
Siti harus melihat sesuatu yang selama ini ditutup rapat oleh Dylan.

Namun, sebelum potret tersebut sampai di surelnya, Dylan kerap menceritakan tentang
budaya rakyat Papua. Khususnya tentang koteka, pakaian khasnya.
Awalnya menjadi perbicangan yang menggelikan bagi Siti, ketika Dylan membicarakan
koteka, namun semakin banyak cerita bergulir tentang budaya Papua, ada semacam
ketertarikan dalam diri Siti untuk menggali lebih banyak lagi. Harapannya, semakin
dirinya banyak tahu maka dirinya akan semakin memahami alasan Dylan “Hijrah” ke
pedalaman.

Sementara nama “Bakpao” merupakan panggilan Dylan untuk Siti, yang berpipi
tembem.

Menurut Dylan, masyarakat asli Papua adalah masyarakat pengguna celana dalam yang
dikenal dengan nama Koteka. Pada situs wikipedia, koteka dalam budaya penduduk asli
Papua dimaknai sebagai pakaian penutup kemaluan laki-laki.

Berdasarkan hal tersebut, definisi penuh kontroversi muncul, manakah yang lebih sesuai
dengan pemahaman umum bahwa sebenarnya koteka adalah celana dalam. Sebab bagi
masyarakat asli Papua, koteka dimaknai sebagai pakaian bukan sebagai celana dalam.
Meskipun koteka memiliki fungsi yang sama dengan celana dalam, yaitu menutup
kemaluan laki-laki.

Menurut Dylan lagi, manusia jaman sekarang cenderung tidak mau melihat dan belajar
lebih jauh, bahkan urusan celana dalam pun hanya dianggap sebagai sesuatu yang
sangat biasa. Padahal jika benar-benar mau merefleksikan peradaban manusia, perkara
celana dalam bisa dikategorikan sebagai salahsatu peradaban manusia.

Adapun koteka sendiri, sebenarnya berasal dari jenis tumbuhan yang mirip mentimun.
Hanya saja buah koteka lebih panjang. Selain itu, koteka bisa dibuat dari kulit labu yang
kecil dan besar. Kulit buah tersebut digunakan setelah cukup tua dan kulitnya mengeras.
Orang-orang asli Papua yang disebut golongan Mee, menamai bahan pembuat koteka
dengan istilah bobbe. Biasanya bobbe ditanam di kebun atau halaman rumah mereka.

Dan dari penuturan Dylan, Siti akhirnya menjadi tahu jika ukuran dan bentuk koteka tak
berkaitan dengan status pemakaiannya. Perihal ukuran koteka yang akan dipakai,
disesuaikan dengan aktivitas yang hendak dijalankan si pengguna.

Pada umumnya koteka yang pendek digunakan ketika tengah bekerja. Sedangkan
koteka yang panjang dan dilengkapi dengan hiasan dikenakan dalam upacara adat.

“Dylan, pulang, yuk.“ Ajak Siti di suatu pagi, pada hari ke sembilan kunjungannya di
Wamena. “Kamu, akan sampai kapan di sini. Lalu bagaimana dengan hubungan kita?
Bukankah akhir tahun ini memasuki tahun ke 6. Ehm, tidak pernah berpikir untuk
‘mengikat’ kisah kita dalam simpul yang semestinya” ucap Siti dengan sangat lembut
dan dengan nada hati-hati, seolah nada suara yang tinggi akan memecahkan genderang
telinga milik Dylan.

Dylan, menghentikan suapan bubur sagunya, nafasnya kini terdengar agak berat. Siti
menatapnya dengan sedikit rasa bersalah, merasa telah merusak suasana sarapan pagi
ini.

“Siti, memilikimu adalah obsesiku. Namun, dengan kondisiku yang seperti ini, aku
khawatir tidak bisa menjanjikan apapun yang layak untukmu. Berapa sih gaji dokter
umum yang dinas di pedalaman terpencil seperti aku ?” katanya sambil meraih tangan
Siti, mengenggamnya erat. Namun matanya tidak melihat ke arah Siti. Matanya tajam
lurus ke depan. Memandang dataran tinggi Wamena yang selalu berudara dingin,
sesekali halimun turun menyapa para penduduknya.

“Kau pun tahu, kadang penduduk sini hanya membayarku dengan sagu dan sayur ikan.”

Sejujurnya Siti tidak suka dengan apa yang barusan didengarnya. Namun Siti telah 6
tahun mengenal Dylan. Lelaki yang menurut Siti terlalu over idealis. Dylan kerap
melakukan hal-hal yang sebenarnya mengorbankan kepentingan dan dirinya sendiri.
Namun, siapa yang bisa membuat Dylan beranjak dari ideliasmenya.

Kadang Siti berpikir, mungkin kekasihnya tersebut terlalu banyak melahap buku-buku
Karl Max atau Socrates atau Plato atau entahlah.
Siti terdiam. Begitu pun Dylan, keduanya memilih diam daripada harus melanjutkan
perdebatan yang sama, namun tidak pernah terselesaikan dengan memuaskan. Bahkan
sebuah solusi pun tidak pernah ditemukan.

“Koteka, lusa aku akan kembali ke Balikpapan.” Ucap Siti lirih. Ada nada putus asa di
sana. “Dan kau tahu, jika aku tak kembali bersamamu, maka perjodohan yang
direncanakan Papi Mami harus aku terima.” Katanya getir.

Siti menyandarkan kepalanya pada bahu Dylan. Airmatanya menderas. Dirinya tahu,
penjelasan Dylan tadi merupakan sebuah ucapan “Pulanglah. Terimalah perjodohan dari
Papi Mamimu”

“Maafkan aku, “ Dylan bergumam tidak kalah getir. “Ijinkan aku mengabdi pada
negeriku dengan caraku. Ku pastikan, hati dan seluruh rinduku bergeming. Hanya
padamu. Hanya untukmu. Kepadamu saja.”

Malam terahkir di Wamena, membuat Siti tak bisa sedikit pun memejamkan matanya.
Perasaannya tercampur dengan berbagai emosi.
Begitupun dengan Dylan, gundahnya setinggi Gunung Jayawijaya. Menghadapi
kenyataan, saat Siti kembali ke Balikpapan, maka itu artinya Siti akan dimiliki
seseorang laki-laki yang bukan dirinya.

“Sulitnya mensejajarkan perasaan cinta dengan sebuah idealis” gumamnya sambil


menghembuskan nafasnya sekeras mungkin.

*
“Ini buatmu. Simpan baik-baik ya. Jangan membayangkan apapun. Cukup bayangkan
perjuanganku di sini.” Ucap Dylan sambil menyerahkan sebuah koteka berukuran agak
besar dan tinggi.

Siti hanya mengangguk. Tak ada ucapan selamat jalan apalagi selamat tinggal.
Tubuhnya langsung berputar, berjalan menuju ruang tunggu. Tak ingin dirinya menoleh
ke belakang.

Langkahnya begitu lemas, sementara tangan kirinya menenteng sebuah koteka. Tangan
kanannya melambai pada Dylan. Melambai tanpa melihat apalagi menatap Dylan.

“Kini, yang tersisa darimu hanyalah koteka ini.” Lirihnya.

***

Anda mungkin juga menyukai