Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Propaganda Politik Sebagai Bagian Dari Komunikasi Politik

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

Propaganda Politik Sebagai Bagian Dari Komunikasi

Politik
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diantara pembahasan yang menonjol dalam mempelajariKomunikasi Politik adalah
menyangkut isi pesan atau media penyampaian. Bahasan ini sama pentingnya dari bahasan
komunikator, media, khalayak dan efek komunikasi politik. Dalam beberapa literatur
disebutkan bahwa, inti komunikasi politik adalah komunikasi yang di arahkan kepada
pencapaian suatu yang berpengaruh. Urgensinya dalam suatu sistem politik tak diragukan
lagi, karena komunikasi politik terjadi saat keseluruhan fungsi dari sistem politik lainnya
dijalankan dan di terapkan.
Tulisan ini, berupaya mengkolaborasikan masalah pesan politik terutama yang ada
kaitannya dengan aktivitas persuasi. Fokus bahasan berkaitan dengan propaganda sebagai
salah satu pendekatan persuasi yang sangat populer dan banyak dilakukan oleh komunikator
politik sejak dahulu hingga saat ini. Karena dalam perkembangannya media massa banyak
digunakan sebagai medium penyampaian pesan yang sangat diminati, maka bahasan ini
secara spesifik mengamati propaganda politik melalui media massa. Teori agenda setting
dipergunakan sebagai pilihan kerangka analisa dengan pertimbangan relevan dengan
substansi pembahasan. Untuk melengkapi bahasan, juga akan dikemukan kritik terhadap
beberapa konsepsi pokok teori tersebut.
Propaganda dalam politik memainkan peran yang sangat penting karena merupakan
satu diantara pendekatan persuasi politik selain periklanan dan retorika. Dalam
praktiknya,propaganda mengkolaborasikan pesan politik guna mendapatkan pengaruh secara
persuasif. Biasanya digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang terorganisir yang ingin
menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan individu-individu masyarakat yang
dipersatukan melalui manipulasi psikologis.Sementara itu, tak dapat dipungkiri bahwa
hampir seluruh pendekatan persuasi kepada khalayak di era informasi ini menempatkan
media massa sebagai instrumen saluran yang mesti digunakan. Media massa mempengaruhi
persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting. Dalam perspektif teori agenda setting,
propaganda akan berjalan efektif, jika ada upaya pengemasan pesan dalam prioritas isi media.
Isi pesan inilah yang menjadi tawaran dalam mempengaruhi cara berpikir kalayak.
Prinsipnyasebenarnya “to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak
tentang apa yang dianggap penting.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Pengertian Komunikasi Politik
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi
yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan
kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah
ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa
dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah
dilakukan oleh siapa saja misalkanmahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan
seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagaiNeologisme, yakni
ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
1.2.2 Pesan Politik
Dalam film the king speech pesan politik yang dapat kita peroleh adalah seorang
pemimpin itu harus bias menyampaikan pesan politiknya dengan benar dan mampu mebuat
pendengarnya dengan baik agar dapat berpartisipasi terhadap pesan yangdisampaikanya.
1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
1. Untuk menambah pengetahuan ilmu politik,
2. Untuk melatih menyusun makalah,
3. Untuk menambah wawasan yang lebih luas tentangpropaganda politik dan komunikasi
politik.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Propaganda


Propaganda dari bahasa Latin modern (propagare) yang berarti mengembangkan atau
memekarkan adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan
kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi secara objektif, tetapi
memberikan informasi yang dirancang untuk mempengaruhi pihak yang mendengar atau
melihatnya. Propaganda kadang kala menyampaikan pesan yang benar, namun seringkali menyesatkan dimana
umumnya isi propaganda hanya menyampaikan fakta-fakta pilihan yang dapat menghasilkan pengaruh
tertentu, atau lebih menghasilkan reaksi emosional daripada reaksi rasional. Tujuannya adalah untuk mengubah
pikiran kognitif narasi subjek dalam kelompok sasaran untuk kepentingan tertentu.
Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi
alam pikiran atau kognisi, dan memengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang
dikehendaki pelaku propaganda. Sebagai komunikasi yang memiliki satu ke banyak orang (one-to-many),
propaganda memisahkan komunikator dari komunikannya. Namun menurut Ellul, komunikator dalam
propaganda sebenarnya merupakan wakil dari organisasi yang berusaha melakukan pengontrolan terhadap
masyarakat komunikannya. Sehingga dapat disimpulkan, komunikator dalam propaganda adalah seorang yang
ahli dalam teknik penguasaan atau kontrol sosial. Dengan berbagai macam teknis, setiap penguasa negara atau
yang bercita-cita menjadi penguasa negara harus mempergunakan propaganda sebagai suatu mekanisme alat
kontrol sosial.
Propaganda adalah usaha yang di lakukan dengan sengaja dan sistematis, untuk membentuk persepsi,
memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan untuk mendapatkan reaksi yang diinginkan penyebar
propaganda.

2.1.1 Tipologi Propaganda

Propagandis mencoba untuk mengarahkan opini publik untuk mengubah tindakan dan
harapan dari target individu. Yang membedakan propaganda dari bentuk-bentuk lain dari
rekomendasi adalah kemauan dari propagandis untuk membentuk pengetahuan dari orang-
orang dengan cara apapun yang pengalihan atau kebingungan. Propaganda adalah senjata
yang ampuh untuk merendahkan musuh dan menghasut kebencian terhadap kelompok
tertentu, mengendalikan representasi bahwa itu adalah pendapat dimanipulasi. Metode
propaganda termasuk kegagalan untuk tuduhan palsu.
Propaganda dapat digolongkan menurut sumbernya:
1. Propaganda putih, berasal dari sumber yang dapat diidentifikasi secara terbuka.
2. Propaganda hitam, berasal dari sumber yang dianggap ramah akan tetapi sebenar - benarnya
bermusuhan.
3. Propaganda abu-abu, berasal dari sumber yang dianggap netral tapi sebenarnya bermusuhan.
Propaganda telah berkembang dalam perang psikologis di mana
propaganda menemukan ekstensinya.
1. propaganda politik yaitu melibatkan usaha pemerintah, partai atau golongan untuk
pencapaian tujuan strategis dan taktis.
2. propaganda sosiologi yaitu melakukan perembesan budaya kemudian masuk ke dalam lembaga - lembaga
ekonomi, sosial dan politik.

2.1.2 Macam-Macam Definisi Propaganda


Dalam Everyman's encyclopedia, propaganda merupakan suatu seni untuk
menyebarkan dan meyakinkan suatu kepercayaanpengetahuan, khususnya kepercayaan
agama atau politik.
Jacques Ellul, mendefinisikan propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh
suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam
tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, di persatukan secara
psikologis dan tergabungkan di dalam suatu kumpulan atau organisasi. Bagi Ellul,
propaganda memang erat kaitannya dengan organisasi dan tindakan, yang tanpa propaganda
praktis tidak ada.
Leonard W. Dobb, sebagai pakar opini publik, menyatakan bahwa propaganda
merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh individu-individu yang berkepentingan untuk
mengontrol sikap kelompok termasuk dengan cara menggunakan sugesti, sehingga berakibat
menjadi kontrol terhadap kegiatan kelompok tersebut.
Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler, mengatakan "Sebarkan
kebohongan berulang - ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat
publik menjadi percaya." Tentang kebohongan ini, Goebbels juga mengajarkan bahwa
kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja.

2.1.3 Komponen Propaganda


1. Pihak yang menyebarkan pesan, berupa komunikator, atau orang
yang dilembagakan/lembaga yang menyampaikan pesan dengan isi dan tujuan tertentu.
2. Komunikan atau target penerima pesan yang diharapkan menerima pesan dan kemudian
melakukan sesuatu sesuai pola yang ditentukan oleh komunikator.
3. Pesan tertentu yang telah dirumuskan sedemikian rupa agar mencapai tujuannya dengan
efektif.
4. Sarana atau medium yang tepat dan sesuai atau serasi dengan situasi dari komunikan.
5. Kebijaksanaan atau politik propaganda yang menentukan isi dan tujuan yang hendak dicapai.
6. Dilakukan secara terus menerus.
7. Terdapat proses penyampaian gagasan, ide/kepercayaan, atau doktrin.
8. Mempunyai tujuan untuk mengubah opini, sikap, dan perilaku individu/kelompok, dengan
teknik - teknik memengaruhi.
9. Kondisi dan situasi yang memungkinkan dilakukannya kegiatan propaganda
yang bersangkutan.
10. Menggunakan cara sistematis prosedural dan perencanaan.

2.2.4 Propaganda Sebagai Pendekatan Persuasi Politik Konseptualisasi


Menurut Dan Nimmo ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda,
periklanan dan retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposif),
disengaja (intensional) dan melibatkan pengaruh terdiri atas hubungan timbal balik antara
orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi,
kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki kekhususan
yang membedakan satu dengan lainnya.
Banyak ahli mendefinisikan persuasi, salah satunya adalah Erwin P.Bettinghaus. Menurut dia, persuasi
tidak lain adalah usaha yang di sadari untukmengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi
pesan. Bisa saja, banyak definisi yang dikemukakan, tapi diantara karakteristik umumnya persuasi selalu
melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya juga dialektis dan merupakan proses timbal balik. Dalam hal ini
dengan sengaja atau tidak menimbulkan perasaan responsif pada orang lain. Selain itu, dia juga bercirikan
kemungkinan.
Dari ketiga pendekatan persuasi seperti disebut di atas, propaganda memiliki catatan konseptual dan
histroris yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Elluldalam Dan Nimmo, propaganda sebagai komunikasi
yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif
dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui
manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Istilah propaganda ini dapat ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV
yang membentuk suatu komisi para kardinal,Congregatio de propaganda Fide,
untuk menumbuhkan keimanan kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Namun
padaperkembangannya, propaganda meluas ke wilayah politik, yakni
di peruntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya kekuasaan. Praktek
propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler. Dengan manipulasi lambang dan
oratori yang penuh emosi, Hitler membangkitkan rasa identifikasi, komitmen dan
kesetiaan khalayak. Kata-kata yang sangat populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich, ein
Fuhrer”.
Ellul membuat tipologi propaganda yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda
politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui himbauan-himbauan
khas berjangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan
berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya
berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui
propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi
umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa
orang yang dianggap sebagai penyimpang (deviants).
Berkaitan dengan konsepsi ini dikenal adanya propaganda agitasi dan propaganda
integrasi. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar
bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita
dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara propaganda integrasi
menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda
ini orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud
dalam waktu bertahun-tahun.

2.3.5 Propaganda Vertikal (Satu Kepada Banyak)


Propaganda dalam realitasnya mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang
pertama adalah representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara
propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari
pemimpin kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi
interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa.Kalau dulu
komunikasi satu-kepada-banyak mungkin diwakili oleh propagandis-propagandis lewat
pidato-pidato keliling di depan kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal ini lebih sering
dilakukan melalui media massa.

Ada beberapa hal pokok yang biasa dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya
Dan Nimmo mengulas ada 7 teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata,
tindakan dan logika untuk tujuan persuasif sebagai berikut :

1. Name calling, memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan agarorang
menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan sebagai
penjahat.
2. Glittering generalities, menggunakan kata yang baik untuk melukiskan sesuatu agar
mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Misal AS menyebut
operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai Operasi Keadilan Tak Terhingga,
dengan misi Hukum Tanpa Batas begitu juga saat merencanakan serangan ke Irak, AS
menyebutnya sebagai misi kemanusiaan untuk membebaskan manusia dari teror senjata
pemusnah massal.
3. Transfer, yakni mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang otoritas, misalnya Pilih
Kembali Mega di Pemilu 2004.
4. Testimonial, memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan
atau meremehkan suatu maksud. Kita mengenalnya dalam dukunganpolitik oleh surat kabar,
tokoh terkenal dan lain-lain.
5. Plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya
dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang dari anda, hanya rakyat
biasa”.
6. Card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak
logis dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata pembunuhan
terhadap pemimpin kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai kita.
7. Bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran tujuan
sehingga setiap orang akan turut naik. Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan
propaganda, semakin menemukan momentumnya seiring dengan berkembangnya media
massa. Orde Baru misalnya, secara terus menerus memanfaatkan TVRI sebagai ideological
state aparatus. Dengan mengusung propaganda “pembangunan”, dalam waktu yang relatif
lama mampu bertahan melakukan korporasi terhadap hampir segenap lapisan masyarakat.

2.2 Pengertian Komunikasi


Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi olehseseorang atau beberapa
orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat untukmenciptakan dan
menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungandan orang lain. Pada umumnya, komunikasi
dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat di mengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak
ada bahasa verbalyang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan
menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala,
mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.

2.2.1 Proses Komunikasi


Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti berikut. Komunikator
(sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang
yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bias berupa informasi dalam bentuk bahasaataupun lewat simbol-
simbol yang bisa dimengerti kedua pihak. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media
atau saluran baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung
melalui telepon, surat, e-mail, atau media lainnya. Media (channel) alat yang menjadi penyampai pesan dari
komunikator ke komunikan. Komunikan (receiver) menerima pesan yang disampaikan dan menerjemahkan isi
pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh komunikan itu sendiri. Komunikan (receiver)
memberikan umpan balik (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia
mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim.

2.2.2 Model - Model Komunikasi

Dari berbagai model komunikasi yang sudah ada, di sini akan dibahas tiga model paling utama, serta
akan dibicarakan pendekatan yang mendasarinya dan bagaimana komunikasi dikonseptualisasikan dalam
perkembangannya.
Pertama, model komunikasi ini dikemukakan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver pada tahun
1949 dalam buku The Mathematical of Communication. Mereka mendeskripsikan komunikasi sebagai proses
linear karena tertarik pada teknologi radio dan telepon dan ingin mengembangkan suatu model yang dapat
menjelaskan bagaimana informasi melewati berbagai saluran (channel). Hasilnya adalah konseptualisasi dari
komunikasi linear (linearcommunication model). Pendekatan ini terdiri atas beberapa elemen kuncisumber
(source), pesan (message) dan penerima (receiver). Model linear berasumsi bahwa seseorang
hanyalah pengirim atau penerima. Tentu saja hal ini merupakan pandangan yang sangat sempit terhadap
partisipan-partisipan dalam proses komunikasi.
Kedua, model interaksional dikembangkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1954 yang menekankan
pada proses komunikasi dua arah di antara para komunikator. Dengan kata lain, komunikasi berlangsung dua
arah dari pengirim dan kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan
bahwa komunikasi selalu berlangsung. Para peserta komunikasi menurut model interaksional adalah orang-
orang yang mengembangkan potensi manusiawinya melalui interaksi sosial, tepatnya melalui pengambilan peran
orang lain. Patut dicatat bahwa model ini menempatkan sumber dan penerima mempunyai kedudukan yang
sederajat. Satu elemen yang penting bagi model interkasional adalah umpan balik (feedback), atau tanggapan
terhadap suatu pesan.
Ketiga, model komunikasi transaksional dikembangkan oleh Barnlund pada tahun 1970. Model ini
menggaris bawahi pengiriman dan penerimaan pesan yang berlangsung secara terus-menerus dalam sebuah
episode komunikasi. Komunikasi bersifat transaksional adalah proses kooperatifpengirim dan penerima sama-
sama bertanggung jawab terhadap dampak dan efektivitas komunikasi yang terjadi. Model transaksional
berasumsi bahwa saat kita terus menerus mengirimkan dan menerima pesan, kita berurusan baik dengan
elemen verbal dan nonverbal.

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi

Pertama, Latar belakang budaya. Interpretasi suatu pesan akan terbentuk

dari pola pikir seseorang melalui kebiasaannya, sehingga semakin sama latar

belakang budaya antara komunikator dengan komunikan maka komunikasi semakin

efektif. Kedua, Ikatan kelompok atau group. Nilai-nilai yang dianut oleh suatu

kelompok sangat mempengaruhi cara mengamati pesan. Ketiga, Harapan.Harapan


mempengaruhi penerimaan pesan sehingga dapat menerima pesan sesuai dengan

yang diharapkan.Keempat,Pendidikan. Semakin tinggi pendidikan akan semakin

kompleks sudut pandang dalam menyikapi isi pesan yang

disampaikan. Kelima, situasi. Perilaku manusia dipengaruhi oleh

lingkungan/situasi. Dahulu orang lebih mudah memberikan definisi tentang ilmu

daripada sekarang. Dulu defenisi ilmu bergantung pada sistem filsafatyang

dianutnya. Sekarang ilmu memperoleh posisi yang bebas dan mandiri.

2.3 Komunikasi Politik Dalam Media Massa (Pers)


Pers memiliki latar belakang sejarah yang erat berhubungan dengan pergerakan
nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan dengan itu juga
dapatmemperjuangkan untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya. Meski posisi dan peranan
pers mengalami pergeseran sesuai dengan perkembangan sejarah negara dan sistem
politiknya, namun pers Indonesia memiliki karakter yang konstan, yakni komitmen sosial-
politik yang kuat.
Media massa umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana sistem itu
hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk pada sistem politik yang ada. Dengan kata
lain, sistem pers merupakan subsistem dari sistem politik yang ada. Maka dalam setiap
liputan pemberitaan dengan sendirinya akan memperhatikan keterikatan tersebut. Indonesia
saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan bertanggung jawab. Konsep ini
mengacu keteori Pers Tanggung Jawab Sosial. Asumsi utama teori ini adalah bahwa
kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus
bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi
massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggung jawab
pada pemerintah. Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pers yang kritis dan mencoba
menjalankan kontrol sosial. Ada rambu-rambu yang tidak tertulis, yang tidak bisa dilanggar.
Misalnya sulit dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat
isue tuduhan korupsi/kolusi/monopoli terhadap Presiden atau keluarganya. Padahal di negara
demokratis, pemberitaan kritis adalah biasa saja dan jabatan Presiden bukan jabatan suci yang
tak bisa disentuh. Namun jika rambu-rambu itu bisa diterima,bahkan batas-batas rambu itu
sendiri tidak pernah jelas, bisa mulur-mungkret tergantung selera penguasa. Di era regim
Orde Baru ini, ketika suatu penerbitan dianggap pemberitaannya bertentangan dengan
pembangunan, menghadapi risiko di breidel.
Pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang berkali-kali dilakukan
regim Orde Baru, hakekatnya adalah sama dengan pembreidelan, karena itu dilakukan atas
alasan isi pemberitaan. Padahal UU Pokok Pers tegas mengatakan tidak ada pembreidelan.
SIUPP seharusnya hanya berkaitan dengan faktor ekonomis/usaha, bukan isi berita. Di
Indonesia, kalau kita bicara tentang "kebebasan pers", maka kita kenal sebutan "Pers
Pancasila". Di sini akan terlihat, bagaimana Pancasila diobral dan dijadikan dalih untuk
melegitimasi berbagai tindakan dan praktek pembatasan kebebasan pers. Sidang Pleno XXV
Dewan Pers (Desember 1984) merumuskan Pers Pancasila sebagai berikut, “Pers Indonesia
adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan
pada nilai - nilai Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945”.
Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan
bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan
objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Kalau mengacu buku
Sistem Pers Indonesia (Atmadi:1985), disebutkan akar dari sistem kebebasan pers Indonesia
adalah landasan idiil, ialah Pancasila, dengan landasan konstitusional, UUD 1945. Kemudian
disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan. Bentuk dan
isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi pembangunan. Kepentingan pers
nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Inilah yang disebut pers
pembangunan, model yang juga banyak diterapkan di negara sedang berkembang
lainnya. Meski sepintas kedengarannya juga masih bagus, implikasinya adalah karena
pembangunan dianggap sudah merupakan program regim Orde Baru, maka pers harus
mendukung pemerintah Orde Baru. Pers sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang
isinya bisa ditafsirkan tidak sejalan atau bertentangan dengan posisi pemerintah. Lalu siapa
yang berhak menafsirkan bahwa isi pemberitaan pers itu bertentangan atau tidak bertentangan
dengan pembangunan? Dalam prakteknya, itu ditentukan oleh pemerintah sendiri. Dan karena
pemerintah sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan sosial-politik, ini sangat
membuka peluang bagi penyelewengan dan pembatasan kebebasan pers. Pemerintah
(Deppen) bertindak sebagai jaksa, hakim dan sekaligus algojo, dalam membungkam pers
yang dianggap melanggar batas.
Manfaat Keberadaan Komunikasi Politik mengenai apa arti dan manfaatnya
komunikasi politik dalam tatanan kehidupan politik sehari hari maka seharusnya masyarakat
sudah menangkap dengan jelas keberadaan model-model komunikasi yang ditimbulkan
dalam perpolitikan, peran komunikasi memegang peran penting dalam mengupayakan
kepekaaan setiap kejadian politik yang berlangsung dewasa ini. Setelah kita memahami
apakah komunikasi dan dan definisi politik maka kita secara tidak langsung akan memahami
pola hubungan komunikasi yang terjadi didalamnya. Secara umum juga dijelaskan bagaimana
komunikasi politik muncul sebagai suatu bidang studi yang mencoba untuk berdiri
sendiri. Dalam memahami makalah ini di perkenalkan juga berbagai pendekatan teoritik
maupun metodologis yang mampu menjelaskan komunikasi politik sebagai suatu suatu
disiplin ilmu.Secara operasional komunikasi politik ini juga memberikan contoh konkrit
dalam interaksi komunikasi maupun politik, baik dalam lingkup nasional, regional, maupun
internasional. Oleh karena itu pembahasan juga akan menyentuh disiplin lain secara terbatas,
seperti komunikasi internasional, hubungan internasional, maupun dalam lingkup
international political communication. Sementara bidang-bidang lain yang relatif dianggap
baru seperti ekonomi politik media, teknologi media dibahas secara terbatas.Dalam substansi
operasionalnya akan dibahas mengenai batasan komunikasi politik, baik dalam arti sempit
maupun dalam arti luas. Kemudian akan dibahas juga secara mendalam komunikasi
persuasive dalam komunikasi politik seperti bahasa politik, retorik politik, iklan politik
propaganda dan debat politik, sampai kepada sosialisasi politik, kampanye politik, pendapat
umum dan lainnya kesemuanya dikaitkan dengan peran komunikasi sebagai komponen yang
dominan. Ketika kita berbicara masalah komunikasi politik maka kita mau tidak mau akan
berbicara masalah komunikasi dan politik, dan akan berbicara masalah komponen dan segala
sesuatunya yang terdapat didalamnya. Mata rantai disiplin ilmu kemudian akan nampak
bahwa komunikasi politik juga berhubungan dengan masalah sosial, budaya, agama dan lain
sebagainya. Sehingga jelas bahwa disini komunikasi politik membelikan peluang untuk para
praktisi mempelajarinya guna memperkaya keilmuan dan mempertajam daya analisis.
2.4 Media Massa Sebagai Saluran Propaganda Politik
Kalau merujuk kepada pendapat Blumler dan Gurevitch, ada empat komponen yang
perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik. Pertama, institusi politik
dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Kedua, institusi media denganaspek-aspek
komunikasi politiknya. Ketiga, orientasi khalayak terhadap komunikasi politik.
Keempat, aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik. Pendapat hampir
senada dikemukakan Suryadi, menurutnya sistem komunikasi politik terdiri dari elit politik,
media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat kita temui posisi penting media
dalam propaganda politik. Setiap persuasi politik yang mencoba memanipulasi psikologis
khalayak sekarang ini, sangatmempertimbangkan peranan media massa.

2.5 Urgensi Media Massa


Untuk memperkuat argumen bahwa media sangat penting dalam proses propaganda politik, baiknya
kita memahami dulu karakteristik media massa. Media massa merupakan jenis media yang ditunjukan kepada
sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan yang sama dapat diterima
secara serentak dan sesaat.
Perkataan dapat menjadi sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S. Tan, komunikator dalam
media massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya
secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah dengan daya jangkau yang
relatif luas dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan
pendapat Cassata dan Asante,seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat, bila arus komunikasi massa ini
hanyadikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif.Sebaliknya bila khalayak
dapat mengatur arus informasi, siatusi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif.
Dalam konteks era informasi sekarang ini, institusi media massa seperti televisidan surat kabar
dipercaya memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan
secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan makna tentang realitas adadan pengalaman dalam
kehidupan, bias ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses oleh anggota
masyarakat secara luas.Tentu saja dalam perkembangnnya, banyak pihak yang terlibat dalampemanfaatan
media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state),
pasar (market), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group) dan lain-
lain. Menurut Denis Mc. Quail, terdapat cirri-ciri khusus media massa antara lain:
Pertama memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan dan
budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. Dalam
konteks propaganda, kerja produksi dan distribusi ini akan efektif untuk wujud informasi, pandangan dan budaya
sesuai dengan yang diharapkan propagandis.
Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain
dari pengirim ke penerima dan dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Dalam
konteks propaganda sangat urgen dalam proses pengidentifikasian diri khalayak sebagai
anggota kelompok, entah itu partisan partai, anggota ideologi tertentu atau dalam
nasionalisme sebuah negara.
Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan
publik. Ini dalam konteks propaganda merupakan suatu hal yang strategis, karena tujuan dari
persuasinya ini juga adalah manipulasi psikologi khalayak.
Keempat partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakekatnya bersifat
sukarela, tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Ini relevan dengan sifat persuasi
yang bukan berupa pembicaraan kekuasaan, bukan ancaman yang mengatakan jika anda
melakukan (tidak melakukan ) X, maka saya akan melakukan Y. Menurut Dan Nimmo
mengutip Harold D. Lasswell, pembicaraan kekuasaan lebih dekat kepada kekerasan dan
ancaman ketimbang kepada persuasi. Persuasi juga bukan pembicaraan kewenangan atau
autoritas yang memerintahkan “lakukan X ”. Namun, persuasi merupakan pembicaraan
pengaruh yang bercirikan kemungkinan (jika anda melakukan X, maka anda akan melakukan
Y), di identifikasi melalui saling memberi dan menerima diantara pihak-pihak yang terlibat,
meskipun dalam kenyataannya tidak sesederhana itu.
Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya
pada imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan. Ini merupakan tuntutan yang
seringkali mengarahkan media massa untuk lebih menonjolkan aspek komersialnya.
Keenam meskipun media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini
selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian
media. Dalam konteks propaganda, media massa menjadikan dirinya sebagai medium pesan
politik sehingga kenyataannya kekuasaan dan pengaruh secara terus-menerus diproduksi dan
di distribusikan oleh media massa.

2.6 Pembentukan Citra Politik


Media massa yang bekerja untuk menyampaikan informasi dapat membentuk, mempertahankan atau
mendefinisikan citra. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi atau sering orang
mengatakannya sebagai realitas tangan kedua (secondhand reality). TV maupun surat kabar memilih tokoh atau
beritatertentu dengan mengesampingkan tokoh dan berita lainnya. Seringkali khalayakcenderung memperoleh
informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Akhirnya, kita membentuk citra
tentang lingkungan social kita berdasarkan realitas kedua yang di tampilkan media massa.
Lee Loevinger dalam Jalaluddin Rakhmat mengemukakan teori komunikasi yang disebut Reflective-
Projektive Theory. Teori ini beranggapan bahwa media massa mencerminkan suatu citra yang
ambigu, menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam sehingga pada media massa setiap orang
memproyeksikan atau melihat citranya pada penyajian media massa. Pengaruh media massa terasa lebih kuat
lagikarena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.
Mengenai masalah ini Michael Schudson menyebutkan, news (berita) merupakan bagian dari latar belakang
melalui apa masyarakat berpikir. Dia juga menegaskan Institusi berita sebagai aktor sosial ekonomi yang
memiliki pengaruh sangat besar. Media merupakan suatu sebab terjadinya pendistribusian informasi dengan
memilih konsumen yang visible dan terukur.
Saat media memberi publik suatu item berita, dengan sendirinya mereka memberikan
legitimasi publik. Media massa membawa persoalan citra ini ke dalam forum publik, dimana
hal ini dapat di diskusikan oleh khalayak secara umum. Citra yang dibangun tentu saja bukan
sesuatu yang alami, melainkan hasil penyeleksian media melalui political framing (politik
pengemasan).
Propaganda politik melalui media massa sebenarnya merupakan upaya mengemas isu,
tujuan, pengaruh, dan kekuasaan politik dengan memanipulasi psikologi khalayak. Begitu
urgennya media, sehingga Cater sebagaimana dikutip Bartholomew H Sparrow, menyebutnya
sebagai institusi kekuatan keempat dalam suatu pemerintahan atau The Fourth Branch of
Government.
Dalam pelaksanaannya, propaganda di media massa juga tidak bisa
mengenyampingkan beberapa hal yang dikenal dalam rumusan Pamela Shoemaker dan
Stephen D. Reese sebagai modelHierarchy Of Influence. Kalau dideskripsikan mengikuti cara
pandang model hierarchy of influence, sekurang-kurangnya ada lima hal yang mempengaruhi
berita media termasuk di dalamnya isi propaganda yakni :
1. Pengaruh individu-individu pekerja media seperti karakteristik pekerja media, latarbelakang
personal dan profesional wartawan.
2. Pengaruh rutinitas media seperti tengat waktu (deadline), keterbatasan tempat (space) dan
lain-lain.
3. Pengaruh organisasional antara lain kepemilikan modal (ownership), orientasi perusahaan,
visi dan misi, budaya organisasi dan lain-lain.
4. Pengaruh dari luar organisasi media seperti dari partai politik atau pemerintah yang
melakukan propaganda.
5. Pengaruh ideologi yang merupakan sebuah pengaruh paling menyeluruh dari semua
pengaruh yang ada. Di sini ideologi dimaknai sebagai suatu kekuatan yang mampu
membentuk kohesivitas kelompok.
Dengan pengaruh dari kelima faktor tadi, propaganda bisa efektif atau tidak sangat
tergantung pada kemampuan untuk memanfaatkan media massa secara efektif. Tentu saja,
dalam hal ini harus dibarengi dengan pemahaman propagandis terhadap karakteristik media
massa yang dipakai. Tidak semua mediaefektif menjadi medium propaganda dalam suatu
konteks tempat dan kepentingan tertentu.

2.7 Prinsip Propaganda Dalam Media Massa


Tentu saja untuk mengefektifkan propaganda politik di media massa juga sangat perlu
memperhatikan beberapa prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari riset mengeni pengaruh
komunikator dalam keberhasilan usaha persuasive adalah sebagai berikut :
Pertama, status komunikator. Artinya setiap peran membawa status atau prestise
tersendiri. Secara umum, semakin tinggi posisi atau status seseorang di tengah masyarakat,
makan akan semakin mampu dia melakukan persuasi. Dengan demikian pemilihan
propagandis terutama dalam media massa yang diorientasikan mencapai khalayak yang
heterogen membutuhkan mereka yang punya status kuat. Misalnya saat pada massa Orde
Baru, Soeharto merupakan propagandis konsep developmentalism, sementara era Orde Lama
Soekarno menjadi propagandis dari tujuan revolusi.
Kedua, kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda mempersepsi para komunikator
dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi bahwa propagandis itu memiliki
keahlian, dapat dipercaya dan memiliki otoritas, mereka menganggap bahwa komunikator itu
kredibel. Memang pada perkembangannya, khalayak media dalam menerima pesan juga
membedakan antara apa yang dikatakan dengan kredibiltas sumbernya.
Ketiga, daya tarik komunikator. Hal ini meningkatkan daya tarik persuasif. Hal ini
terutama berlaku pada homofili, yakni tingkat kesamaan usia, latarbelakang dan lain-
lain seperti dipersepsi orang. Persuasi itu sebagian besar berhasil bila orang mempersepsi
komunikator seperti dirinya sendiri secara gamblang.
Karena persuasi dalam hal ini propaganda politik merupakan upaya penyebaran
informasi dan pengaruh satu-kepada-banyak maka instrumen teknologi yang
dapatmenyebarkan pesan kepada angota kelompok merupakan hal yang
tepat dilakukan. Salah seorang ahli propaganda Goebbels, dalam memikirkan strategi
kampanye persuasifnya membedakan antarahaltung dengan Stimmung. Hal
tung merupakan upaya mempengaruhi prilaku, sikap dan perbuatan orang.
Sementarastimmung merupakan morel mereka, penerimaan dan retensi imbauan persuasif.
Berbagai pesan propagandis berhubungan dengan efektif tidaknya dua hal. Pertama isi pesan, hal ini
menyangkut model pilihan isi yang dikemukakan dalam propaganda di media massa. Bisa jadi isi yang
mengancam orang (isi membangkitkanrasa takut) akan mempersuasi kalayak dalam kondisi tertentu. Kedua
struktur pesan, bisa jadi karena media yang dipakai adalah media massa yang memiliki keterbatasan waktu atau
tempat menyebabkan penyusunan struktur pesan yang efektif dan efesien. Namun terlepas dari segala
keterbatasan waktu dan tempat, propaganda di media massa bisa dilakukan secara terus-menerus sehingga
menjadi suatu terpaan (exposure). Misalnya, propaganda AS melawan terorisme disampaikan lewat media-media
global yang berpengaruh secara internasional. Misalnya CNN, NBC, VOA, FOX dan lain-lain. Hal itu juga
dilakukan dengan membuat agenda setting di media-mediaseluruh dunia, mengukuhkan (reinforcement) kalau
terorisme itu memangpenggeraknya adalah orang-orang Timur Tengah dan penganut Islam.
2.8 Analisa Perspektif Agenda Setting Theory
Berbicara perspektif agenda setting theory sebenarnya merupakan model efek moderat. Ini
dikembangkan oleh Maxwell E. Mc.Comb dan Donald L Shaw. Menurut Jalaluddin Rakhmat perspektif ini
menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi dengan fokus penelitian yang telah bergeser. Dari efek
pada sikap dan pendapa tbergeser kepada efek pada kesadaran dan pengetahuan atau dari afektif ke
kognitif. Prinsipnya sebenarnya “to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa
yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan petunjuk
tentang mana isue yang lebih penting. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan
positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak
kepada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula
oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Propaganda politik di media massa seperti model yang kita bahas sebelumnya tentunya tidak lepas dari
pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry point bahasan agenda setting. Propagandis yang hendak
menggunakan media massa sebagai medium penyampaian pesan politik sudah seharusnya
memahami masalah efek ini. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan (subsequent
effects). Efek langsung ini berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak
(pengenalan), dari semua issues, mana yang dianggap paling penting menurut
khalayak (salience),bagaimana issues itu diranking oleh responden dan apakah rangkingnya itu sesuai dengan
rangking media. Efek lanjutan berupa persepsi pengetahuantentang peristiwa tertentu atau tindakan seperti
memilih kontestan pemilu atau melakukan aksi protes. Pada kenyataannya menurut perspektif teoriagenda
setting, media massa menyaring artikel, berita atau acara yang disiarkannya.Secara selektif, “gatekeepers”
seperti penyunting, redaksi bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana
yang harus disembunyikan.
Yang menarik dicermati, karena pembicara, pemirsa dan pendengarmemperoleh kebanyakan informasi
melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (publik agenda). Agenda
masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan
dan bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yangtengah menarik
perhatian masyarakat (community salience). Masyarakat tentunya memiliki hak untuk tahu (right to know) yang
akhirnya menjadikan suatu issue atau peristiwa menjadi public sought (permintaan publik) akan informasi
tentang isu atau peristiwa tersebut. Media dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya memilih,
mengemas dan akhirnya mendistribusiakan kepada khalayak kalau sesuatu itu penting.
Relevan dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing). Membuat frame berarti
menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol. Esensinya adalah
saat prosesdilakukannya dengan berbagai cara antaralain, penempatan (kontekstualisasi), pengulangan,
asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi dan lain - lain. Framing merupakan cara bercerita yang
menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa - peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana.
Sebuah upaya persuasif dalam kemasan propaganda politik di media massa dari
perspektif agenda setting tentunya harus memperhatikan bebepara hal pokok. Pertama,
struktur makro, artinya makna umum dari suatu tampilan propaganda di media yang dapat
diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Kedua, super struktur, yang
merupakan struktur propaganda yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana
bagian - bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan kepada khalayak tersusun secara
utuh.
Pertama, struktur mikro ini merupakan propaganda yang dapat diamati melalui bagian
kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata,
kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian.
Hal-hal yang diamati dalam struktur mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana
bentuk susunan kalimat yang dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang dipakai
dalam teks berita, danretoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan itu dilakukan.
Propaganda dalam media massa tentu saja berbeda dengan propaganda yang dilakukan lewat
model rapat akbar partai dan ceramah di lapangan. Propaganda di media sangat dibatasi
dengan waktu atau space yang disediakan. Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi
hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi
orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang
dipikirkan orang.Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang
anggap penting. Bila AS secara terus menerus memberilabel Irak, Saddam Husein, Osama bin
Laden sebagai biang teroris maka lambat laun khalayak internasional bisa mempengaruhi
konstruk berpikir khalayak internasional mengenai teroris. Begitu juga saat pemerintah
Megawati selalu mempersuasi BangsaIndonesia kalau Abu Bakar Baasyir dan Jamah
Islamiyah sebagaiorang dan kelompok membahayakan, maka kemungkinan besar hal ini
berpengaruh pada carab erpikir masyarakat. Samaberpengaruhnya saat media selalu
menampilkan tokoh tertentu, maka orang tersebut cenderung akan dianggap tokoh penting.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa agenda setting ini merupakan upaya memperbaharui kembali
penelitian tentang efek perkasa media yang sebelumnya dibangun model jarum hipodermik yang sering juga
disebut “bullet theory”. Dalam konteks propaganda di media massa dengan model ini diasumsikan kalau
komponen - komponen komunikator, pesan dan media amat perkasa dalam mempengaruhi komunikan.Pesan
propaganda disuntikanlangsung ke dalam jiwa komunikan yang dianggap pasif menerima brondongan pesan-
pesan. Pada umumnya propaganda kalau menggunakan model ini bersifat linier dan satu arah.
Sementara kalau menggunakan model Uses and Gratification justru kontras dengan jarum hipodermik.
Model ini tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak diangap secara aktif
menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan. Karena penggunaan media hanyalah salah satu cara untuk
memenuhi kebutuhan psikologis, efek media dianggap sebagai situasi ketika kebutuhan itu terpenuhi. Pendirinya
antara lain Katz, Blumler dan Gurevitch. Dari perspektif teori ini berarti propaganda lewat media hanya menjadi
salah satu alternatif bagi khalayak dalam memenuhi kebutuhannya. Kalau khalayak media tersebut tidak
membutuhkannya maka dengan sendirinya propaganda yang dilakukan tidak akan efektif.
Agenda setting lahir secara lebih moderat, model ini mengasumsikan adanya
hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan
perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan tersebut. Singkatnya apa yang dianggap
penting oleh media, akan dianggap penting pula masyarakat dan apa yang dilupakan media
akan dilupakan juga oleh publik. Dengan demikian propaganda melalui media massa akan
efektif, kalau ada upaya mengemas pesan propaganda dalam prioritas isi pesan media. Isi
pesan inilah yang menjadi tawaran dalam mempengaruhi cara berpikir kalayak. Menganalisa
propaganda melalui media massa dari perspektif agenda setting, memunculkan beberapa
kritik yang perlu dikemukakan.
Pertama, membagi tipologi propaganda menjadi propaganda politik dan propaganda
sosiologi terlalu menyederhanakan masalah terutama dalam tipologi waktunya. Dalam
tipologi Ellul (1951) tersebut, propaganda politik melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai
atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis dan taktis. Ia beroperasi
melalui himbauan-himbauan khas berjangka pendek. Padahal dalam perspektif agenda setting
yang dipengaruhi oleh media massa itu adalah pengetahuan khalayak. Sesuatu dianggap
penting oleh khalayak kalau secara terus menerus ditampilkan dalam media massa. Ini artinya
memerlukan suatu framing waktu dan framing isu dalam suatu kurun waktu tertentu,
sehingga mempengaruhi konstruksi berpikir masyarakat terhadap isu tersebut.
Kedua, salah satu karaketristik propaganda seperti disebutkan Dan Nimmo terdiri atas
hubungan timbal balik antar orang-orang bukan satu mendikte yang lain-dan semuanya
menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayan, nilai dan pengharapan
pribadi. Peruasi disebutkan sebagai proses yang dialektis, baik persuader maupun yang
dipersuasi sama-sama responsif. Hanya masalahnya, bagaimana dalam konteks media massa
yang memiliki karakter delayed feedback. Seringkali proses dialektis tidak bisa terwujud
secara baik dalam propaganda politik di media massa. Pesan politik baik permintaan
dukungan, isu atau kejadian politik yang dikemas menjadi prioritas media, memanipulasi
aspek psikologis massa. Secara real dalam masyarakat yang daya kritisismenya rendah seperti
di banyak kasus negara-negara berkembang, propaganda tidak banyak memberi ruang untuk
dialektis.
Ketiga, kita juga perlu mengkritisi perspektif agenda setting dalam menganalisa
propaganda politik di media massa. Agenda setting memandang media massa melakukan ”to
tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap
penting. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan, apakah penilaian khalayak tentang suatu isu
atau pesan propaganda yang dianggap penting itu karena penonjolan yang dilakukan oleh
media atau karena faktor-faktor lain. Karena dalam realitasnya, seringkali carapandang
seseorang mengenai pemahaman terhadap pesan politik, sebelumnya sudah terbentuk melalui
pengaruh interpersonal, melalui interaksi di organisasi, dalam norma kelompok atau melalui
pemuka pendapat melalui jalinan komunikasi two-step flow-communication.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat kita simpulkan beberapa hal penting yang dapat menjadi
bahan pembelajaran. Propaganda merupakan salah satu pendekatan dalam persuasi politik,
selain retorika dan periklanan. Secara sederhana propaganda didefinisikan sebagai
komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan
partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-
individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di
dalam suatu organisasi.
Karena kaitannya dengan karakteristik propaganda sebagai transmisi pesan
satu - kepada - banyak, maka media massa menjadi medium pesan yang sangat efektif untuk
digunakan. Melalui upaya manipulasi psikologis, propaganda berupaya menyatukan khalayak
ke dalam suatu organisasi atau tujuan propagandis. Hanya saja, dalam perspektif teori agenda
setting, media massa dalam mengemas propaganda politik dipandang tidak seperkasa bullet
theory yang memandang khalayak sangat pasif. Namun demikian, media dipandang berperan
dalam menonjolkan pesan propaganda tertentu, untuk menjadi hal yang penting atau
dianggap penting oleh khalayak.

3.2 Saran
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi(pesan, ide, gagasan) dari
satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal
yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat
dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-
gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala,
mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal.
Dalam makalah ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa betapa
pentingnya berkomunikasi dengan baik, agar orang yang mendengarkan kita berkomunikasi
dapat menerima pesan yang kita sampaikan, dan dapt berpartisipasi dalam pesan yang
disampaikan.

Anda mungkin juga menyukai