Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-Buat Mhs Stiami PD - Cabe

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 85

1

BAB I

Dasar-Dasar Manajemen Perpajakan






1. Pendahuluan

Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses pembaharuan yang kontinyu dan
berkesinambungan untuk mencapai suatu keadaan yang dianggap lebih baik. Bagi negara Indonesia,
tujuan yang lebih besar yang diinginkan dari hasil pembangunan tersebut adalah untuk mewujudkan
tujuan nasional seperti tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menyebabkan
hingga kini bangsa Indonesia giat melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan itu
sendiri diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan, mengembangkan dan memanfaatkan
sumber daya yang tersedia, baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia, yang
hasilnya ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.

Pembangunan dilaksanakan melalui rangkaian investasi yang hanya dapat dilakukan dengan
dukungan dana yang besar. Dana pembangunan dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik
dari sektor pemerintah maupun dari swasta, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Salah satu sumber dana tersebut berasal dari pajak Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan
negara tersebut, pemerintah membutuhkan dana yang besar. Dana ini dapat diperoleh dari berbagai
sumber, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, baik dari sektor pemerintahan maupun dari
sektor swasta.

Bonanza minyak dan gas (Migas) yang memberikan kontribusi yang signifikan bagi
penerimaan negara di masa lalu tinggal menjadi suatu catatan historis, perkembangan
perekonomian Indonesia sejak terjadinya krisis moneter (krismon) tahun 1997 sampai saat ini
masih belum mantap. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan
negara, dengan menggenjot penerimaan dalam negeri khususnya yang bersumber dari
penerimaan pajak yang kini menjadi primadona penerimaan negara, dan oleh sebab itu, untuk
mengantisipasi keadaan tersebut di masa yang akan datang, Oleh karena itu, alternatif lain
untuk meningkatkan sumber penerimaan yang dapat diandalkan adalah penerimaan dari sektor non
migas, yaitu penerimaan-penerimaan pajak. Hal tersebut seperti tercantum dalam Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Segala pajak dan pungutan lainnya yang bersifat
memaksa digunakan untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.

Pajak harus lebih diberdayakan seiring dengan meningkatnya kegiatan sektor ril ditengah-
tengah masyarakat. Peranan pajak semakin besar dan semakin signifikan dalam menyumbang
penerimaan negara, hal ini dapat dilihat dari terus meningkatnya peranan pendapatan
pemerintah dari pajak dalam APBN, yang selanjutnya digunakan untuk membiayai
penyelenggaran pembangunan mau pun biaya rutin negara. Untuk itu perlu adanya
2

peningkatan kesadaran, dan kepedulian masyarakat untuk membayar pajak. Segala upaya dan
sasaran ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan pendapatan negara dari pajak
guna mencapai sasaran pembangunan ekonomi yang disusun dengan semangat kebersamaan
dan optimis, namun tetap dengan pertimbangan kondisi rill yang telah sedang akan dihadapi.

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan
dan peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat diharapkan dapat ikut berperan
aktif memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan Negara sesuai dengan
kemampuannya.

Semenjak reformasi perpajakan di negara kita dijalankan dengan dikeluarkannya undang-
undang perpajakan yang baru pada tahun 1983, sistem perpajakan yang dianut telah dirobah
dari sistem office assessment menjadi sistem self assessment (misalnya untuk Pajak
Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai). Dengan sistem ini wajib pajak memiliki hak dan
kewajiban baik dalam menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah kewajiban
perpajakannya. Hal ini akan terlaksana dengan baik apabila wajib pajak memenuhi peraturan
perpajakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dilihat dari kacamata pemerintah jika
pajak yang di bayar oleh wajib pajak lebih kecil dari yang seharusnya dibayar, maka
konsekuensinya pendapatan negara dari sektor pajak akan berkurang. Sebaliknya dari sisi
pengusaha atau wajib pajak, jika pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah yang semestinya
dibayar, maka konsekuensinya akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan atau wajib
pajak.

Setiap pengusaha salah satu tujuannya pasti untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang
saham atau investor dengan cara memaksimalkan nilai perusahaan dengan memperoleh laba
yang maksimum. Suatu perusahaan dapat mengungguli kinerja (performance) perusahaan lain
dengan implementasi strategi yang berbeda, yakni perusahaan itu dapat membuat produk
serupa dengan harga yang lebih rendah, atau membuat produk berbeda yang konsumen
bersedia membayar harga premi yang melampaui biaya untuk meng-create differensiasi
terhadap produk tersebut. Dua sumber keunggulan bersaing itu menentukan pendekatan
dikotomi terhadap strategi bisnis. Sasaran keunggulan biaya adalah menjadi pemimpin biaya
dalam industri. Bila perusahaan sudah bisa membangun posisi kepemimpinan biaya, maka
perusahaan dapat menggunakan keunggulan biayanya untuk mengalahkan kompetitornya
melalui persaingan harga. Di era globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung sekarang ini
dan tantangan di masa yang akan datang, dimana kompetitor bermunculan dari berbagai
manca negara yang menyajikan ragam produk subsitusi yang sangat menarik dan kompetitif,
maka untuk bisa survive di ajang kompetisi yang semakin tajam tersebut, tidak bisa dielakkan
lagi dimana perusahaan dituntut untuk menyesuaikan produksinya dengan membangun posisi
kepemimpinan biaya sebagai basis strategi bisnisnya.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pengusaha yaitu dengan meminimumkan beban
pajak dalam batas yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku, karena beban pajak merupakan salah satu faktor pengurang laba. Besarnya pajak
seperti kita ketahui tergantung pada besarnya penghasilan. Semakin besar penghasilan maka
semakin besar pula pajak yang terutang. Oleh karena itu perusahaan membutuhkan suatu
perencanaan pajak atau yang disebut dengan tax planning yang tepat agar perusahaan
3

membayar pajak dapat seefisien mungkin sepanjang hal tersebut masih sesuai dengan aturan
perpajakan.

Sebagai suatu beban, eksistensi pajak menimbulkan pro dan kontra. Kita bisa melihat
bagaimana pertentangan persepsi tentang pembebanan pajak dari para petinggi di Amerika
Serikat seperti tercermin pada dua pendapat berikut ini. Seorang hakim agung Amerika yang
bernama Oliver Wendell Holmes, Jr (1841-1935) mengatakan bahwa taxes are the price we
pay for civilization, sebaliknya hakim agung Amerika lain yang terkenal bernama John
Marshal (1755-1835) mengatakan: The power to tax is the power to destroy. Lain lagi Filosop
dan negarawan Benyamin Franklin berujar, bahwa didalam masyarakat manusia yang pasti
adalah kematian dan pajak (nothing is certain but tax and dead).

Namun naluri alamiah seorang manusia dari semenjak dulu hingga kapanpun juga akan
senantiasanya berusaha menghindarkan dari beban pajak itu dalam berbagai bentuk dan
manifestasinya, karena pajak itu adalah pungutan yang didasarkan pada pelaksanaan
perundang-undangan perpajakan secara benar dan bukan kontribusi yang sifatnya sekarela
(taxes are enforced extractions, not voluntary contributions) dan tanpa ada imbalan balas jasa
langsung dari pemerintah.

Fenomena yang kita jumpai dalam masyarakat dimanapun ia berada, kalau bisa tidak
membayar pajak sama sekali, akan tetapi tidak melanggar Undang-Undang, atau kalau tidak
bisa tidak membayar pajak sama sekali, apakah bisa dikurangi atau tidak, dengan tidak
melanggar Undang-Undang. Ini suatu hal yang sangat basic dari sifat dasar manusia, siapun
dia adanya dan apapun pangkat atau jabatannya yang selalu berusaha bertindak efisien dalam
seluruh kehidupan perseorangan maupun dalam siklus kehidupan bisnisnya sepanjang usia
perusahaan mulai dari sejak perusahaannya berdiri aktivitas manajemen sudah mulai, terus
dalam kegiatan operasional sehari-hari, dan dalam melakukan ekspansi atau reorganisasi/
penciutan usaha maupun pada saat perusahaannya dilikwidir. Bahkan hingga seseorang wajib
pajak yang sudah meninggal sekalipun, meskipun kewajiban pajak orang pribadinya sudah
berakhir, namun harta peninggalan/warisannya masih merupakan subjek pajak yang dikenakan
pajak. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri mengikuti status pewaris. Dalam
pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban
ahli waris yang berhak, tetapi bila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban
perpajakannya beralih kepada ahli waris.

Tidak seorangpun senang membayar pajak. Asumsi Leon Yudkin (Harnanto, 1994)
mempertegas hal tersebut :
1. Wajib pajak selalu berusaha untuk membayar pajak yang terhutang sekecil mungkin,
sepanjang hal itu dimungkinkan olah undang-undang.
2. Wajib pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak (tax evasion) yakni usaha
penghindaran pajak yang terutang secara illegal, sepanjang wajib pajak tersebut
mempunyai alasan yang meyakinkan bahwa kemungkinan besar mereka tidak akan
ditangkap dan yakin bahwa orang lainpun berbuat hal yang sama.

Asumsi ini dalam praktiknya bisa kita jumpai dan merupakan suatu kecenderungan yang sulit
diberantas karena sudah menyangkut aspek filosofis dan budaya individu atau wajib pajak.
4


Tax Planning adalah suatu peralatan dan sebagai suatu tahap awal dari manajemen perpajakan
(tax management) untuk menampung aspirasi yang berkembang dari sifat dasar manusia tadi.
Secara definitif tax management memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar tax
planning. Sebagai tax management pastilah tidak terlepas dari konsep management secara
umum yang merupakan upaya-upaya sistematis yang meliputi perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengendalian (controlling).
Semua fungsi-fungsi management tersebut diatas tercakup dalam tax management. Dengan
kata lain, manajemen perpajakan (tax management) merupakan segenap upaya untuk
mengimplementasikan fungsi-fungsi manajemen tersebut diatas agar dapat tercapai suatu
efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Dalam
melaksanakan fungsi tax management tersebut, tax planning merupakan tahap pertama dalam
urutan hierarkisnya, namun dalam praktek bisnis, istilah tax planning lebih poluler daripada
tax management itu sendiri. Dalam praktek, pendekatan yang dilakukan dalam implementasi
tax planning ini bersifat multidisipliner, sehingga wajarlah bila untuk menjadi seorang
perencana pajak yang baik (tax planner), harus memiliki wawasan & pengetahuan yang luas
dan selalu meng-update dirinya dengan ketentuan perpajakan yang berlaku termasuk setiap
perubahan-perubahannya dari waktu ke waktu.

Tidak ada yang salah dengan perencanaan pajak (tax planning) untuk menghindari pajak
asalkan menggunakan metode yang legal. Hakim Learned Hands di Amerika Serikat
menyatakan doktrin perencanaan pajak tahun 1947 ketika dia menulis:
Over and over again, courts have said there is nothing sinister in so arranging ones
affairs as to keep taxes as low as possible. Everybody does so, rich or poor, and all do
right, for nobody ower any public duty to pay more than the law demands:taxes are
enforced extractions, not voluntary contributions. Commissioner.v.Newman, 159
F.2d 848 (CA-2-1947). (Gerald E.Whittenburg & Marthe Altus-Buller : 1996).
Berulang-ulang kali, pengadilan telah mengatakan, bahwa tidak ada suatu ancaman
hukuman apapun yang dapat diberlakukan terhadap barang siapa yang melakukan
usaha untuk mengatur pengenaan pajaknya seminimal mungkin. Semua orang akan
berbuat hal yang sama, baik yang kaya maupun yang miskin, dan hal ini sesungguhnya
merupakan haknya untuk berbuat demikian karena tidak seorangpun berkewajiban
memenuhi kewajiban perpajakannya melebihi dari jumlah yang seharusnya menurut
ketentuan perundang-undangan perpajakan ..................
Ketika metode illegal digunakan untuk mengurangi kewajiban pajak, proses tersebut tidak
lagi dianggap sebagai tax planning, tetapi merupakan tax evasion.

Tax planning adalah suatu proses mengorganisasi usaha wajib pajak sedemikian rupa agar
hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak lainnya berada dalam jumlah minimal,
selama hal tersebut tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Yang harus dilakukan adalah menyiapkan semua data-data yang diperlukan dan format
penyajian data, memperhatian setiap pembayaran dan pelaporan pajak setiap masa pajak dan
setiap akhir tahun pajak, mengawasi rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan fiscal.
Setelah semua hal ini dilakukan dengan baik berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku
dan mengetahui pemahaman yang baik tentang keadaan perusahaan maka dari hal dapat
diterapkan suatu strategi manajemen perpajakan untuk perusahaan dalam memenuhi
kewajiban pajaknya seefisien mungkin dengan tetap mematuhi aturan-aturan pajak yang
5

berlaku. Hal lain yang perlu dilakukan untuk melaksanakan tax planning ini adalah mengatur
cash flow perusahaan sedemikian rupa atau seefektif mungkin dengan senantiasa
memperhatikan ketentuan perpajakan yang berlaku. Perlu adanya penghematan dalam
penggunaan dana seefisien mungkin dalam setiap kegiatan perusahaan yang berlangsung

Dalam buku ini penulis memasukkan beberapa artikel dari penulis sendiri yang sudah pernah
diterbitkan di majalah Indonesian Tax Review, dan majalah Bijak yang berkaitan dengan
terapan tax planning seperti Aspek Perpajakan Joint Operation/Konsorsium dan Kepastian
Hukumnya, Kajian Perpajakan Dalam Penyerahan Barang Di Luar Daerah Pabean, Implikasi
Perpajakan Pada Yayasan Pendidikan Dan Tax Planningnya Yang Masih Berlaku. Untuk Tax
Planning PPh Badan, beberapa strategi yang dapat diapplikasikan dalam melakukan tax
planning telah dikupas sebelumnya dalam artikel ini, dan untuk mengayakan pemikiran-
pemikiran yang berkembang dalam praktek dunia perpajakan yang nyata (in the real world of
taxation) yang dihadapkan pada para eksekutif di level middle management hingga top
management, penulis menambahkan beberapa terapan advis tax planning lainnya seperti
digambarkan di beberapa bab berikut ini.

Upaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan harus dibarengi dengan langkah-langkah
manajemen perpajakan secara baik. Manajemen perpajakan merupakan upaya-upaya
sistematis yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian di
bidang perpajakan untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan yang minimum. Jadi
manajemen perpajakan merupakan upaya-upaya untuk mengimplementasikan fungsi-fungsi
manajemen di atas agar dapat dicapai efektivitas dan efisiensi pelaksanaan hak dan kewajiban
perpajakan.

Sedangkan perencanaan perpajakan atau Tax Planning merupakan tahap awal untuk
melakukan analisis secara sistematis berbagai alternatif perlakuan perpajakan dengan tujuan
untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan yang minimum. Tax Planning merupakan
bagian dari manajemen perpajakan secara luas. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa istilah Tax
Planning lebih populer dibanding dengan istilah Tax Manajemen.

Perlunya manajemen perpajakan sebenarnya berangkat dari hal yang sangat mendasar dari
sifat manusia (manusiawi). Kalau bisa tidak membayar, mengapa harus membayar. Kalau
bisa membayar lebih kecil, mengapa harus membayar lebih besar. Namun semuanya harus
dilakukan dengan itikad baik dan dengan cara-cara yang tidak melanggar aturan perpajakan.
Tujuan utama dari manajemen perpajakan adalah untuk melaksanakan kewajiban perpajakan
dengan benar dan meminimalisasi beban pembayaran pajak untuk memaksimalkan
keuntungan. Perencanaan perpajakan tidak dimaksudkan untuk mengelak dari kewajiban
perpajakan (Tax Evasion) melalui cara-cara yang melanggar aturan perpajakan (break the
law). Namun demikian, dalam praktek sulit dibedakan antara cara-cara yang tidak melanggar
dan yang melanggar aturan perpajakan karena banyaknya peraturan perpajakan yang bisa
ditafsirkan berbeda.

Dalam melaksanakan kewajiban pajak sehari-hari secara optimal, terdapat beberapa unsur
penting yang perlu diketahui oleh setiap Wajib Pajak. Atau dengan kata lain pekerjaan
perpajakan yang harus dijalankan Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi :

6


1. Tax Compliance
Berhubungan dengan kegiatan-kegiatan untuk mematuhi aturan perpajakan, meliputi :
administrasi yang harus dilakukan, pembukuan, pemotongan/pemungutan pajak,
penyetoran, pelaporan, memberikan data untuk keperluan pemeriksaan pajak dan
sebagainya. Secara umum peraturan pajak akan dipatuhi oleh Wajib Pajak bila biaya untuk
mematuhinya (compliance cost) relatif murah.

2. Tax Planning
Merupakan rangkaian strategi untuk mengatur akuntansi dan keuangan perusahaan untuk
meminimalkan kewajiban perpajakan dengan cara-cara yang tidak melanggar peraturan
perpajakan (in legal way). Dalam arti yang lebih luas meliputi keseluruhan fungsi
manajemen perpajakan.

3. Tax Litigation
Merupakan usaha-usaha untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa pajak dengan
pihak lain, terutama kantor pajak. Sengketa pajak terjadi karena adanya perbedaan
penafsiran atas suatu ketentuan perpajakan atau atas masalah-masalah yang tidak ada
aturannya secara jelas antara Wajib Pajak dengan fiskus dalam pemeriksaan atau
penelitian pajak. Di Indonesia, tax litigation berhubungan dengan permohonan peninjauan
kembali untuk pembetulan/pembatalan surat ketetapan pajak, permohonan pengurangan
sanksi perpajakan, pengajuan keberatan, banding, gugatan dan cara-cara lain sesuai dengan
undang-undang.

4. Tax Research
Merupakan proses untuk mencari jawaban, solusi atau rekomendasi atas suatu
permasalahan perpajakan. Kegiatan yang dilakukan biasanya meliputi :

Menentukan fakta-fakta yang akan dianalisis,
Mengidentifikasi isu-isu pajak yang berkaitan dengan fakta-fakta tersebut,
Menentukan pihak-pihak yang dapat menjadi sumber data dan informasi,
Mengevaluasi data dan informasi yang diperoleh,
Mengembangkan dan merumuskan konklusi dan rekomendasi,
Mengkomunikasikan rekomendasi yang dibuat.

Jadi manajemen perpajakan merupakan bagian integral dari perencanaan strategis perusahaan
yang seharusnya sudah dimulai sebelum suatu usaha dimulai. Pelaksanaan manajemen
perpajakan harus ekonomis, efisien dan efektif.

Perencanaan perpajakan (tax planning) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
manajemen perpajakan. Tax planning dapat diterapkan ketika Wajib Pajak akan memulai
kegiatan usahanya sampai dengan penutupan usaha (likuidasi), jika ada. Perencanaan
peroajakan dimulai pada saat akan mendirikan perusahaan (pemilihan bentuk usaha,
pemilihan metode pembukuan, pemilihan lokasi usaha); saat menjalankan usaha (pemilihan
transaksi-transaksi yang akan dilakukan dalam kegiatan operasionalnya, pemilihan metode
7

akuntansi dan perpajakan, tanggung jawab terhadap stakeholders); saat akan menutup usaha
(restrukturisasi usaha/perusahaan, likuidasi, merger, pemekaran dan sebagainya).

Suatu perencanaan akan memiliki manfaat yang besar bila dapat dilaksanakan dengan baik
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu, perencanaan perpajakan dalam
pelaksanaannya membutuhkan personil yang berkualitas, perangkat kerja yang memadai dan
prosedur kerja yang tepat waktu, tepat jumlah dan tepat informasi.

Akuntansi Pajak merupakan salah satu dimensi akuntansi yang menyediakan informasi
sehubungan dengan aspek perpajakan tentang bisnis dan transaksi keuangan kepada mereka
yang ingin mengelola bisnis atau memperoleh informasi transaksi keuangan dan aspek
perpajakan dari suatu entitas akuntansi. Dari data akuntansi, para pengelola bisnis mendapat
bahan mengambil keputusan tentang perpajakan termasuk perencanaan pajak. Dalam Malaysia
Tax Work Book (1995), Farid Ahmad menyebutkan bahwa perencanaan pajak merupakan
serangkaian proses atau tindakan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk merekayasa
(reengineering) sumber-sumber penghasilan dan beban maupun transaksi lainnya dengan
tujuan meminimalisasi, menangguhkan, atau eliminasi beban pajak yang masih berada dalam
kerangka peraturan perundang-undangan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengusaha harus
memanfaatkan semua pengurang, pengecualian, pembebasan, kemudahan, dan kredit serta
fasilitas pajak yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan
(jurisprudensi), dan administrasi pajak. (Gunadi, 2009 : 279)

Strategi Pajak

Strategi yang dapat ditempuh untuk mengefisiensikan beban pajak secara legal yaitu :

1. Tax Saving
Tax saving adalah upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan alternatif
pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.

Contoh : pemberian natura kepada karyawan pada umumnya tidak diperkenankan untuk
dibebankan sebagai biaya dalam menghitung PPh badan. Pemberian natura tersebut dapat
diubah kebijakannya menjadi pemberian yang tidak dalam bentuk natura sehingga dapat
dikurangkan sebagai biaya, tetapi harus dimasukkan sebagai penghasilan karyawan.
Pengaruh dari perlakuan ini akan mengakibatkan PPh badan menjadi turun, tetapi PPh
Pasal 21 akan naik. Penurunan PPh badan akan lebih besar daripada kenaikan PPh Pasal
21 (dengan asumsi perusahaan memperoleh laba kena pajak di atas Rp 100 juta dan PPh
badan tidak bersifat final).

2. Tax Avoidance
Tax avoidance adalah upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari dari
pengenaan pajak dengan mengarahkan pada transaksi yang bukan obyek pajak.

Contoh : pada jenis perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan secara final, untuk
mengefisiensikan PPh Pasal 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan
semaksimal mungkin kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura, mengingat pemberian
natura pada perusahaan yang tidak terkena PPh final bukan merupakan obyek PPh Pasal
8

21. Misal pada saat perusahaan dalam kondisi rugi secara fiskal atau memiliki kompensasi
kerugian fiskal dalam jumlah yang relatif besar di tahun-tahun sebelumnya.

3. Penundaan pembayaran pajak
Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan tanpa melanggar peraturan yang
berlaku.

Contoh: untuk menunda pembayaran PPN dapat dilakukan dengan menunda penerbitan
Faktur Fajak sampai batas waktu yang diperkenankan khususnya atas penjualan kredit,
penjual dapat menerbitkan Faktur Pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan
penyerahan pajak.

4. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan
Wajib Pajak seringkali kurang mendapat informasi mengenai pembayaran yang dapat
dikreditkan. Sebagai contoh : PPh Pasal 22 atas pembelian solar dari Pertamina bersifat
final jika pembelinya perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran migas Tetapi jika
pembelinya bergerak di bidang pabrikan, maka PPh Pasal 22 tersebut dapat dikreditkan
dengan PPh badan. Pengkreditan ini lebih menguntungkan ketimbang dibebankan sebagai
biaya. Bila dibandingkan, maka keuntungan yang diperoleh adalah sebesar 75% dari nilai
pajak yang dikreditkan (asumsi laba kena pajak di atas Rp 100 juta). Bila dikreditkan,
maka seluruh jumlah pajak (100%) diklaim oleh Wajib Pajak. Akan tetapi bila dibebankan
sebagai biaya, maka dampak pengurangan pajaknya adalah hanya sebesar 25%-nya dan itu
pun diasumsikan dahwa biayanya merupakan deductible expenses.

5. Menghindari pemeriksaan pajak dengan cara menghindari lebih bayar
a. Mengajukan pengurangan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 ke KPP yang
bersangkutan, apabila berdasarkan estimasi diperkirakan dalam tahun pajak yang
bersangkutan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. Pengajuan tersebut dapat
dilakukan paling cepat 3 (tiga) bulan setelah berjalannya tahun pajak dan Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang
dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari PPh terutang yang menjadi dasar penghitungan
besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 (KEP-537/PJ./2000).

Pengajuan pengurangan pembayaran angsuran ini harus melampirkan :
Proyeksi perhitungan laba rugi tahun berialan,
Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan,
Proyeksi besarnya PPh badan yang terutang, yang ternyata akan terjadi kelebihan
pembayaran pajak, apabila besarnya angsuran tidak dikurangi.
Bukti-bukti pembayaran pajak yang sudah dilakukan.
b. Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 impor apabila perusahaan
melakukan impor Pengajuan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 harus
melampirkan :
Proyeksi impor setiap bulan dalam tahun yang bersangkutan,
Proyeksi perhitungan laba rugi tahun berjalan,
9

Proyeksi perhitungan PPh badan yang terutang dan angsuran PPh Pasal 25, serta
PPh Pasal 22 yang menunjukkan lebih bayar apabila dilakukan pembayaran PPh
Pasal 22,
Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan.

6. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku

Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara
menguasai peraturan perpajakan yang berlaku. Dalam buku ini akan dibahas pula
peraturan pokok perpajakan khususnya yang berbeda dengan kelaziman di bidang
akuntansi komersial.


2. Pengertian Manajemen Perpajakan (Tax Management)

Manajemen Perpajakan adalah usaha yang menyeluruh yang dilakukan oleh Tax Manager
dalam suatu perusahaan atau organisasi agar hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan
dari perusahaan atau organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan ekonomis,
sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi perusahaan.


3. Fungsi-Fungsi Manajemen Perpajakan

1. Tax Planning
Tax Planning adalah usaha-usaha yang mencakup perencanaan perpajakan agar pajak-
pajak yang dibayar oleh perusahaan paling efisien.
Tujuan Tax Planning yang paling utama adalah mencari berbagai celah kemungkinan yang
dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan yang
berlaku(loopholes), agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah minimal.

Dalam Tax Planning dikenal ada 3 macam cara/sistem yang dapat dilakukan oleh wajib
pajak untuk menekan jumlah beban pajak, yakni :

a. Tax Avoidance (Penghindaran Pajak)
b. Tax Evasion (Penyelundupan Pajak)
c. Tax Saving (Penghematan Pajak)

Kalau Tax Avoidance, strategi dan teknik penghindaran pajak dilakukan secara legal dan
aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku
dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-
kelemahan (grey area) yang terdapat dalam Undang-Undang & Peraturan Perpajakan itu
sendiri.

Sedangkan Tax Evasion adalah kebalikan dari Tax Avoidance, strategi dan teknik
penghindaran pajak dilakukan secara ilegal namun tidak aman bagi wajib pajak, dan cara
penyelundupan pajak ini bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dimana
10

metode dan teknik yang digunakan sebenarnya tidak dalam koridor Undang-Undang &
Peraturan Perpajakan itu sendiri. Cara yang ditempuh beresiko tinggi dan berpotensi
dikenakan sanksi pelanggaran hukum/tindak pidana fiskal atau kriminil. Oleh sebab itu,
sebagai seorang tax planner yang baik, cara tax evasion ini tidak direkomendir untuk
diapplikasikan.

Lain halnya dengan Tax Saving yang tidak lain merupakan suatu tindakan penghematan
pajak yang dilakukan oleh wajib pajak pajak dilakukan secara legal dan aman bagi wajib
pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Sebagai contoh, bila kita belanja teh botol di warung, tentu tidak akan ada pengenaan
Pajak Pembangunan (PPb) atas konsumsi teh botol tersebut, namun bila kita memesan teh
botol di Hotel/Restoran besar tentu akan dikenakan PPb-nya, yang jelas konsumen pasti
akan terbebani dengan beban pajak PPb (yang sebenarnya bisa dihindari) sebagai implikasi
perpajakannya.

2. Tax Administration/Tax Compliance
Tax Administration/tax compliance mencakup usaha-usaha untuk memenuhi kewajiban
administrasi perpajakan dengan cara mengitung pajak secara benar sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku, kepatuhan dalam membayar pajak dan melaporkan
secara pajak secara tepat waktu sesuai dengan deadline pembayaran dan pelaporan pajak
yang telah ditetapkan.

3. Tax Audit
Tax Audit mencakup strategi dalam menangani pemeriksaan pajak, menanggapi hasil
pemeriksaan pajak maupun strategi dalam mengajukan surat keberatan atau surat banding.

4. Other Tax Matters
Masalah perpajakan lainnya mencakup fungsi-fungsi lain yang berkaitan dengan
perpajakan, seperti mengkomunikasikan ketentuan-ketentuan sistem dan prosedur
perpajakan kepada pihak-pihak atau bagian-bagian lain dalam perusahaan seperti
penerbitan faktur penjualan standard yang berhubungan dengan PPN, pemotongan
withholding tax (PPh Ps. 23/26) yang berkaitan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi dan jasa profesi serta objek withholding tax lainnya, juga termasuk pelatihan
bagi staf yang berkaitan dengan masalah perpajakan dan sebagainya.


Tax planning atau tax management memiliki banyak pengertian karena pakar perpajakan,
praktisi perpajakan dan pengajar perpajakan mendefinisikannya menurut persepsi dan
pemahaman mereka masing-masing. Namun sebenarnya kita bisa menarik benang merahnya
untuk mengetahui apa sebenarnya tax planning atau tax management itu dan sejauh mana
ruang lingkupnya serta apa saja yang menjadi tujuannya, berikut ini kita dapat mengikuti
beberapa definisi dari tax planning atau tax management yang dikemukakan oleh beberapa
pakar perpajakan :

1. Menurut Dictionary of Tax Terms yang disusun oleh D. Larry CPA, Ph.D., Jack
P.Friedman,CPA, Ph.D. dan Susan B.Anders,CPA,M.S. (Barrons : 1994) :

11



Tax Planning is the systematic analysis of differing tax options aimed at the
minimization of tax liability in current and future tax periods.
Tax Planning adalah analisis yang dilakukan secara sistematis dari pembedaan
berbagai pilihan/opsi pajak yang ditujukan pada pengenaan kewajiban pajak yang
minimal pada masa pajak kini dan masa pajak yang akan datang.

2. Spitz & Barry dalam bukunya yang berjudul International Tax Planning, mengutarakan
bahwa :
Tax planning is arrangement of business and personal affairs in such a way as to
attract the lowest possible incidence of tax and pre arrangement of facts in the most
favored way.

3. Lyons Susan M dalam bukunya International Tax Glossary, mengutarakan bahwa :
Tax planning is arrangement of a persons business and/or private affairs in order to
minimize tax liability.
Perencanaan pajak adalah pengaturan yang dilakukan oleh barang siapa yang
melakukan usaha perorangan atau bisnis, yang tujuannya untuk meminimalisir
kewajiban pajaknya.

3. DR. Mohammad Zain dalam bukunya yang berjudul Manajemen Perpajakan
mendefinisikan, bahwa :
Secara garis besar perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi
usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang
pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi
yang paling minimal, sepanjang hal itu dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan maupun secara komersial.
Lebih lanjut ia juga menyebutkan, bahwa suatu perencanaan pajak yang tepat akan
menghasilkan beban pajak yang minimal yang merupakan hasil dari perbuatan
penghematan pajak dan/atau penghindaran pajak yang dapat diterima oleh fiskus dan
sama sekali bukan karena penyelundupan pajak yang tidak dapat diterima oleh fiskus
dan tidak akan ditolerir.

4. Menurut Ladiman Djaiz (1971) yang dikutip oleh Agustinus (2003), mengartikan
manajemen pajak sebagai berikut :
Tax management berarti melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian dan pengawasan mengenai perpajakan yang tujuannya adalah untuk
meningkatkan efisiensi dalam artian peningkatan laba atau penghasilan. (John
Hutagaol: 2007)

5. Sophar Lumbantoruan, dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Pajak, edisi revisi (1999)
juga mengemukakan secara umum, bahwa :
Manajemen Pajak adalah strategi untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar
tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh
laba dan likuiditas yang diharapkan.
12

Lebih lanjut diungkapkan, bahwa manajemen pajak tersebut bertujuan bukan untuk
mengelak membayar pajak, tetapi mengatur sehingga pajak yang dibayar tidak lebih
dari jumlah yang seharusnya.

6. Achmad Tjahyono dan Muhammad F Husein dalam bukunya berjudul Perpajakan, edisi
pertama (1997), mengemukakan bahwa :
Perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok
wajib pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun
pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang minimal, sepanjang hal ini
dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. John Hutagaol, dalam bukunya yang berjudul Perpajakan-Isu Isu Kontemporer (2007)
mengartikan :
Manajemen Perpajakan adalah proses perencanaan, implementasi serta pengendalian
kewajiban dan hak di bidang perpajakan sehingga pemenuhannya dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan,
bahwa:
Manajemen Perpajakan adalah upaya menyeluruh yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi maupun badan usaha melalui proses perencanaan, pelaksanaan
(implementasi) dan pengendalian kewajiban dan hak perpajakannya agar hal-hal yang
berhubungan dengan perpajakan dari orang pribadi, perusahaan atau organisasi
tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan efektif, sehingga dapat memberikan
kontribusi yang maksimum bagi perusahaan dalam artian peningkatan laba atau
penghasilan.
Sedangkan Tax planning adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak orang
pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai celah
kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan
perpajakan yang berlaku (loopholes), agar perusahaan dapat membayar pajak dalam
jumlah minimum.


4. Motivasi Tax Planning

Beberapa hal yang mempengaruhi perilaku wajib pajak untuk meminimumkan kewajiban
pembayaran pajaknya baik secara legal maupun ilegal, yang kita sebut dengan propensity of
dishonesty (diolah dari T.N.Srinivasan. Tax Evasion : A Model, dalam Journal of Public
Economics, 1973 :339-346)

adalah sebagai berikut :

1. Tingkat kerumitan suatu peraturan (Complexity of rule)
Makin rumit peraturan perpajakan yang ada, maka terdapat kecendrungan wajib pajak
untuk menghindarinya karena biaya untuk mematuhinya (compliance cost) menjadi tinggi.

2. Besarnya pajak yang dibayar (Tax required to pay) *
13

Makin besar jumlah pajak yang harus dibayar, maka akan semakin besar kecendrungan
wajib pajak untuk melakukan kecurangan dengan cara memperkecil jumlah pembayaran
pajaknya.

3. Biaya untuk negosiasi (Cost of bribe)
Disengaja atau tidak disengaja, kadang-kadang wajib pajak melakukan negosiasi-negosiasi
dan memberikan uang sogokan kepada fiskus dalam pelaksanaan hak dan kewajiban
perpajakannya. Makin tinggi uang sogokan yang mesti dibayar oleh wajib pajak, maka
akan semakin kecil kecendrungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran.

4. Resiko deteksi (Probability of detection)
Resiko deteksi ini berhubungan dengan tingkat probabilitas apakah pelanggaran ketentuan
perpajakan ini akan terdeteksi atau tidak. Makin rendah resiko deteksi, wajib pajak
memiliki kecendrungan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran ketentuan perpajakan.
Sebaliknya, bila suatu pelanggaran ketentuan perpajakan mudah diketahui, maka wajib
pajak akan memilih posisi konservatif dengan tidak melanggar aturan.

5. Besarnya denda (Size of penalty)
Makin berat sanksi perpajakan yang bisa dikenakan, maka Wajib Pajak akan cenderung
mengambil posisi konservatif dengan tidak melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku.
Sebaliknya makin ringan sanksi atau bahkan ketiadaan sanksi atas pelanggaran yang
dilakukan Wajib Pajak, maka kecenderungan melanggar akan lebih besar.

6. Moral masyarakat
Moral masyarakat ini akan memberikan warna tersendiri dalam menentukan kepatuhan
dan kesadaran masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk
memaksimalkan laba setelah pajak (after tax return) karena pajak itu mempengaruhi
pengambilan keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan
investasi melalui analisis yang cermat dan pemanfaatan peluang atau kesempatan yang ada
dalam ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan
yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama dengan memanfaatkan :
a. Perbedaan tarif pajak (tax rates)
b. Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak (tax base)
c. Loopholes, shelters, havens. (Erly Suandy, 2006 : 14)

Adanya perbedaan tarif pajak karena penerapan schedular taxation tarif yang diterapkan di
Indonesia (yang bisa kita temukan dalam UU PPh Tahun 1983/1994/2000) akan memotivasi
wajib pajak/perencana pajak mendesain tax planningnya sedemikian rupa pada besaran
penghasilan kena pajak dengan lapisan tarif yang paling rendah (low bracket), sebagaimana

____________________
1)
diolah dari T.N. Srinivasan, Tax Evasion: A Model, dalam Journal of Public Economics, 1973 : 339-
346.


14


diutarakan oleh Barry Bracewell-Milnes dalam bukunya The Economics of International Tax
Avoidance (1980), bahwa :

The heavier the burden, the stronger the motive and the wider the scope for tax
avoidance, since the tax payer may avoid the higher rates of tax while still remaining
liable to the lower.


5. Manfaat Perencanaan Pajak

Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari perencanaan pajak yang dilakukan secara
cermat. Beberapa manfaat yang dapat disebutkan adalah :
1. Penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan unsur biaya dapat dikurangi.
2. Mengatur aliran kas masuk dan keluar (cash flow), karena dengan perencanaan pajak yang
matang dapat diestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran
sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat.


6. Tujuan Perencanaan Pajak

Secara umum tujuan pokok yang ingin dicapai dari manajemen pajak/perencanaan pajak yang
baik adalah sebagai berikut :
1. Meminimalisir beban pajak yang terutang.
Tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut berupa usaha-
usaha mengefisiensikan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup pemajakan dan
tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
2. Memaksimumkan laba setelah pajak.
3. Meminimalkan terjadinya kejutan pajak (tax surprise) jika terjadi pemeriksaan pajak yang
dilakukan oleh fiskus
4. Memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar, efisien dan efektif sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku, antara lain meliputi :
a. Mematuhi segala ketentuan administratif, sehingga terhindar dari pengenaan sanksi-
sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana, seperti bunga, kenaikan,
denda, dan hukum kurungan atau penjara.
b. Melaksanakan secara efektif segala ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan pemasaran, pembelian, dan fungsi
keuangan, seperti pemotongan dan pemungutan pajak (PPh pasal 21, pasal 22, dan
pasal 23).






15

7. Persyaratan Tax Planning Yang Baik

Tax Management/Tax Planning yang baik mensyaratkan beberapa hal :
1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan.
Jadi rekayasa perpajakan yang didesain dan diimplementasikan bukan merupakan tax
evasion.
2. Secara bisnis masuk akal (reasonable).
Kewajaran melakukan transaksi bisnis tersebut harus berpegang kepada praktek
perdagangan yang sehat dan menggunakan standard arms length price, atau harga pasar
yang wajar yakni tingkat harga antara pembeli dan penjual independen, bebas melakukan
transaksi.
3. Didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (misalnya : Kontrak, Invoice,
Faktur Pajak, PO, DO, dsb.nya).
Kebenaran formal dan materiil dari suatu transaksi keuangan perusahaan dapat dibuktikan
dengan adanya kontrak perjanjian dengan pihak ketiga atau Purchase Order (PO) dari
pelanggan, bukti penyerahan barang/jasa (Delivery Order), Invoice, Faktur Pajak sebagai
bukti penagihannya serta pembukuannya (general ledger).


8. Kapan Dilaksanakan Tax Planning

Karena pajak itu melihat kepada subjeknya yang sudah terbebani sebagai wajib pajak (WP)
orang pribadi atau badan sejak awal misalnya perusahaan baru berdiri kemudian baru berjalan
tidak lama bubar. Jadi walaupun sudah bubar, pajaknya belum selesai. Maka planning-nya
dilakukan sepanjang usia perusahaan. Jadi pada saat berdiri, aktivitas manajemen sudah mulai,
banyak sekali tax management yang harus dilaksanakan. Pada saat perusahaan bubar atau pada
saat WP orang pribadi meninggal masih ada masalah pajaknya. Jadi pajak tidak habis karena
meninggal, karena warisan-warisan ini oleh fiskus masih diotak-atik.

9. Resistensi Pajak

Perlawanan terhadap pajak yang dilakukan oleh wajib pajak merupakan hambatan-hambatan
dalam pemungutan pajak baik yang disebabkan oleh kondisi negara dan rakyatnya maupun
disebabkan oleh usaha-usaha wajib pajak yang disadari ataupun tidak yang mempersulit
pemasukan pajak sebagai sumber penerimaan Negara.
Pada dasarnya ada dua bentuk perlawanan pajak yang dilakukan oleh Warga Negara menurut
R. Santoso Brotihardjo (1993:13-14), yakni :
1. Perlawanan Pasif : Perlawanan pasif meliputi hambatan-hambatan yang mempersukar
pemungutan pajak yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu Negara,
perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem dan cara pemungutan pajak itu
sendiri.
2. Perlawanan Aktif : Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak.

16

Dalam kaitannya dengan perlawanan aktif, ada beberapa modus yang biasanya digunakan
wajib pajak untuk menghindari pajak, yakni :
Tax avoidance (penghindaran pajak) adalah upaya penghindaran pajak dilakukan secara
legal dan aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-
kelemahan (grey area) yang terdapat dalam Undang-Undang & Peraturan Perpajakan itu
sendiri untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.

Tax evasion (Penggelapan/penyelundupan pajak) adalah upaya wajib pajak dengan
penghindaran pajak terutang secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang
sebenarnya, namun tidak aman bagi wajib pajak, dimana metode dan teknik yang
digunakan sebenarnya tidak dalam koridor Undang-Undang & Peraturan Perpajakan itu
sendiri. Cara yang ditempuh beresiko tinggi dan berpotensi dikenakan sanksi pelanggaran
hukum/tindak pidana fiskal atau kriminil. Oleh sebab itu, sebagai seorang tax planner yang
baik, cara tax evasion ini tidak direkomendir untuk diapplikasikan. Tax Evasion adalah
kebalikan dari Tax Avoidance.

Tax saving (penghematan pajak) adalah upaya wajib pajak mengelakkan utang pajaknya
dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk-produk yang ada pajak
pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang
dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan dengan demikian terhindar
dari pengenaan pajak penghasilan yang besar.
Sebagai contoh, bila kita belanja teh botol di warung, tentu tidak akan ada pengenaan
Pajak Pembangunan (PPb) atas konsumsi teh botol tersebut, namun bila kita memesan teh
botol di Hotel/Restoran besar tentu akan dikenakan PPb-nya, yang jelas konsumen pasti
akan terbebani dengan beban pajak PPb (yang sebenarnya bisa dihindari) sebagai implikasi
perpajakannya.

Dua cara yang dapat dilakukan oleh perencana pajak (tax planner) perusahaan adalah tax
saving dan tax avoidance karena perbuatan seperti itu tidak melanggar undang-undang. Ada
kemiripan antara tax saving dan tax avoidance ini. Namun, secara teoritis pengertiannya
berbeda. Tax saving adalah usaha memperkecil jumlah pajak yang tidak termasuk dalam ruang
lingkup pemajakan, sedangkan tax avoidance adalah usaha yang sama dengan cara
mengeksploitisir celah-celah yang terdapat dalam ketentuan peraturan erundang-undangan
perpajakan, dimana aparat perpajakan tidak dapat melakukan tindakan apa-apa. Pada
hakekatnya, tax avoidance merupakan perbuatan yang sifatnya mengurangi hutang pajak
secara ilegal dan bukan mengurangi kesanggupan/kewajiban wajib pajak melunasi pajak-
pajaknya namun harus diperhatikan bahwa tindakan tax avoidance diupayakan tidak
terperangkap dalam perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan tax evasion.







17

9. Cara-Cara Pengelakan Pajak

Ada enam cara pengelakan pajak yang biasanya terdapat dalam dunia usaha, yaitu :
1. Penggeseran pajak (tax shifting),
2. Kapitalisasi (capitalization),
3. Tranformasi (transformation),
4. Penyelundupan pajak (tax evasion),
5. Penghindaran pajak (tax avoidance), dan
6. Pengecualian pajak (tax exemption).
(Sophar Lumbantoruan,1999 : 489)

Penggeseran pajak (tax shifting) ialah pemindahan atau mentransfer beban pajak dari subyek
pajak kepada pihak lain, dengan demikian orang atau beban yang dikenakan pajak mungkin
sekali tidak menanggungnya.
Ada dua jenis penggeseran pajak yang sering dilakukan dalam pengelakan pajak :
1. Penggeseran Pajak Ke depan (Forward shifting)
Penggeseran ini terjadi apabila pabrikan mentransfer beban pajaknya kepada penyalur
utama, pedagang besar dan akhirnya kepada konsumen. Misalnya PPN. Penggeseran ini
mengakibatkan kenaikan harga sebesar pajak (PPN) yang dikenakan.
2. Penggeseran Pajak Ke Belakang (Backward shifting)
Penggeseran ini terjadi bilamana beban pajak ditransfer dari konsumen atau pembeli
melalui faktor distribusi kepada pabrikan. Penggeseran ini mengakibatkan pemotongan
harga jual sebesar pajak yang dikenakan kepadanya.

Kapitalisasi pajak adalah pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang
akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. Kapitalisasi ini sering terjadi jika pembeli harga
tetap seperti tanah atau gedung dibebani pajak balik nama, agar beban pajak tidak menjadi
tanggungan pembeli maka beban pajak dialihkan kepada penjual. Dengan demikian, harga beli
harta menjadi berkurang.
Kapitalisasi pajak ini dapat dikatakan salah satu bentuk penggalihan pajak ke belakang.

Transformasi adalah cara pengelakkan pajak dilakukan oleh pabrikan dengan cara
menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya. Cara ini biasanya dilakukan oleh
produsen sehingga kenaikan harga jual tidak menurunkan pangsa pasarnya, supaya
keuntungan perusahaan tidak berkurang maka beban pajak yang seharusnya dapat ditransfer
kepada konsumen dapat dikompensasikan dengan meningkatkan efisiensi perusahaan.
Pengelakan pajak terjadi dengan mengubah pajak (transformasi) ke dalam keuntungan yang
diperoleh melalui efisiensi produksi.

Tax avoidance menunjuk pada rekayasa tax affairs yang masih dalam bingkai ketentuan
perpajakan sedangkan tax evasion berada di luar bingkai peraturan perpajakan, seperti telah
diuraikan diatas.

Pengecualian Pajak (Tax exemption) adalah pengecualian pengenaan pajak yang diberikan
kepada perorangan atau badan berdasarkan Undang-undang pajak.
18

Ada beberapa pengecualian pengenaan pajak yang diberikan oleh Pemerintah sekarang ini,
misalnya :
PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2009 tentang PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja
Pada Kategori Usaha Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2001 yang dirubah ketiga kalinya dengan PP No.
7 Tahun 2007 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang
Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Pasal 3 Undang-undang PBB No. 12 Tahun 1985 yang dirobah dengan UU PBB No. 12
Tahun 1994 Tentang Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah
objek pajak yang :
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan,
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu,
merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu
hak,
c. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik,
d. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan

Selain karena adanya suatu kesengajaan untuk mengurangi atau tidak memenuhi kewajiban
perpajakannya, wajib pajak juga sering bertindak lalai dan baru disadari belakangan setelah
ada pemeriksaan fiskus. Kelalaian memenuhi kewajiban pajak yang harus dilakukan oleh
wajib pajak tidak saja terbatas pada kecurangan dan penggelapan dalam segala bentuknya,
namun menurut OLIVER OLDMAN (Harnanto, 1994) kelalaian wajib pajak juga meliputi
dalam hal :
1. Ketidaktahuan (ignorance), yakni wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu akan adanya
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut.
2. Kesalahan (error), yakni wajib pajak paham dan mengeri mengenai ketentuan peraturan
perundang-udangan perpajakan tapi salah dalam menghitung datanya.
3. Kesalahpahaman (misunderstanding), yakni wajib pajak salah menafsirkan ketentuan
pertaturan perundang-undangan perpajakan.
4. Kealpaan (negliance), yakni wajib pajak alpa untuk menyimpan buku beserta bukti-
buktinya secara lengkap.

Contoh tindakan yang termasuk kategori di atas adalah salah dalam pengisian SPT, tidak
menyampaikan SPT tepat waktu, tidak membayar pajak terutang tepat waktu, membayar
dengan cek kosong utang pajaknya.




19

11. Rambu-Rambu Dalam Penyusunan Tax Planning

Dalam strategi perpajakan kita sudah mengenal tentang tax avoidance dan tax evasion. Dalam
praktek di lapangan, kedua metode penghindaran pajak tersebut agak tipis perbedaannya,
sehingga pada awalnya didesain untuk melakukan tax avoidance namun kenyataannya bisa
terjebak melakukan tax evasion. Untuk menentukan legalitas tax management/tax planning
yang didesain, apakah legal (tax avoidance) atau illegal (tax evasion), maka rambu-rambu
yang dapat dipakai adalah ketentuan pidana Pasal 38, 39, 41, 41A, 41B dan 43 Undang-
undang KUP No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU KUP No. 7
Tahun 2007.


12. Tahapan Pokok Tax Planning

Agar tax plan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, Barry Spitz (1983 : 86)
mengemukakan urutan tahap-tahapan yang harus ditempuh dalam melakukan perencanaan
pajak, yakni :
1. Analysis of the existing data base (Analisis data base informasi yang ada)
2. Design of one or more possible tax plans (Membuat satu model atau lebih rencana
besarnya pajak)
3. Evaluating a tax plan (Evaluasi atas perencanaan pajak)
4. Debugging the tax plan (Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak)
5. Updating the tax plan (Memutakhirkan rencana pajak)

Tahapan pertama - merupakan tahap penganalisaan terhadap komponen-komponen yang
berbeda pengakuannya antara komersil dan fiskal dan menghitung seakurat mungkin
beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Analisa ini dilakukan dengan
mempertimbangkan masing-masing elemen pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun
secara total pajak yang nantinya akan dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling
efisien.
Data base yang harus dianalisa antara lain meliputi :
Dianalisa apakah terdapat kejanggalan atau komponen-komponen yang berbeda :
a. dalam Pembayaran dan Pelaporan Pajak bulanan PPh Psl. 21, PPh Badan, dan
PPN.
b. dalam Pemotongan dan Pelaporan Pajak bulanan (PPh Psl. 23/26), PPh Psl. 4(2),
c. dalam SPT Tahunan PPh Psl. 21 dan PPh Badan, dengan senantiasa
mengkaitkannya atau merekonsiliasikannya dengan pembukuan perusahaan.
Analisis implikasi fiskal atas suatu proyek yang sedang ditangani atau yang akan
datang.

Tahapan kedua - Setelah melakukan tahapan awal di atas, maka harus dibuat beberapa model
perencanaan pajak yang akan dilakukan. Pembuatan model-model perencanaan pajak
tersebut dimaksudkan sebagai alternatif untuk menentukan tax plan mana yang applicable
dan paling efisien dan efektif untuk diimplementasikan. Contohnya berikut ini :
Pemilihan bentuk usaha-pada saat seorang investor baru memulai suatu usaha, maka
dia akan memilih bentuk usaha apa saja yang bisa memberikan hasil akhir (net profit
20

after tax) yang lebih besar buat dia, apakah dalam bentuk Perseroan terbatas (PT),
Usaha Perorangan atau Firma/CV.
Bagi badan usaha yang telah go international atau perusahaan multinasional, treaty
shopping dapat dilakukan oleh para pengusaha dengan memanfaatkan mana tarif pajak
dan fasilitas perpajakan yang terdapat dalam berbagai tax treaty yang telah disetujui
oleh masing-masing Kepala Negara, yang lebih menguntungkan bagi para pengusaha
tersebut.

Tahapan ketiga - tahap evaluasi perencanaan pajak
Dalam tahapan ini evaluasi dilakukan sekaligus untuk melakukan pengendalian pajak
merupakan langkah akhir dalam manajemen pajak. Pengendalian pajak bertujuan untuk
memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah
direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Pengendalian
pajak dapat dilakukan melalui penelaahan pajak (tax review).

Dengan memperhatikan contoh di atas, pengendalian pajak dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Melakukan review atas pengkreditan Pajak Masukan apakah Faktur Pajak yang diterima
memenuhi syarat sebagai Faktur Pajak Standar.
b. Melakukan review apakah Faktur Pajak telah dibuat dan dilaporkan tepat waktu.
c. Melakukan review apakah retur yang telah dicatat dan dilaporkan telah benar, baik
secara formal maupun materi.

Dalam tahap evaluasi perencanaan pajak kita misalnya dapat mengimplementasikan
program Tax Diagnostic Review (TDR), semacam program untuk menangani kepatuhan
wajib pajak yang dapat disusun sendiri oleh Tax Manager atau Tax Consultant dari
masing-masing perusahaan. Setelah menetapkan alternatif mana yang akan digunakan,
maka perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan yang akan
diperoleh dari suatu perencanaan pajak.
Tujuan dilakukannya TDR adalah :
1) untuk mengetahui sejauh mana unit bisnis melakukan pemenuhan kewajiban
perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku
2) meminimalisasikan terjadinya transaksi yang dapat menimbulkan resiko permasalahan
perpajakan. Satu hal yang harus diperhatikan adalah adanya kemungkinan fiskus tidak
setuju dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan (deductible items) sehingga
nantinya akan merugikan perusahaan.
3) meminimalisasikan sanksi perpajakan yang diakibatkan kesalahan pencatatan yang
dilakukan oleh unit bisnis dan kemudian memperbaikinya
4) agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan yang sama pada waktu yang akan datang
5) mempersiapkan unit bisnis dalam menghadapi pemeriksaan yang dilakukan oleh
fiskus.

Tahapan keempat- Dalam konsep manajemen, pengawasan/pengendalian (controlling) itu
dapat dilakukan dengan dua cara, yakni pengawasan preventif dan pengawasan refresif.
Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (tax plan) adalah merupakan
bentuk pengawasan refresif. Perencanaan pajak yang telah diimplementasikan harus
dimonitor dan di-review terus dan dicari kelemahan dan kekurangannya. Terkadang ada
21

suatu hal yang menyebabkan suatu rencana pajak memiliki kekurangan, baik itu
disebabkan karena adanya perubahan peraturan perpajakan atau faktor lainnya sehingga
rencana pajak tersebut harus dikaji ulang kembali dan bila ditemukan kelemahan harus
segera dimodifikasi untuk keberhasilan tax plan tersebut agar rencana dan tindakan dapat
dilakukan tepat waktu. Penambahan biaya yang akan terjadi akibat adanya perubahan
rencana pajak tersebut harus dilihat dari perspektif ekonomisnya yakni bahwa benefit yang
diperoleh harus lebih besar dari cost yang dikeluarkan, atau kita bersikap konservatif
selama masih diperoleh penghematan pajak yang lebih besar dengan mengantisipasi
kerugian yang akan timbul pada tingkat kerugian yang minimum.

Tahapan kelima- Seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam ketentuan
perundang-undangan perpajakan, sehingga dalam melaksanakan perencanaan pajak perlu
memproyeksikan perubahan yang sedang terjadi saat ini dan saat yang akan datang dalam
tax plan yang sudah dibuat. Tax plan tersebut harus di-update terus dan dimutakhirkan
sesuai dengan ketentuan terkini sehingga sedini mungkin dapat diantisipasi akibat yang
merugikan dari adanya perubahan dan perkembangan yang terjadi. Dengan
memutakhirkan perencanaan pajak maka diharapkan perencanaan pajak yang sedang
berjalan tidak akan mengalami hambatan yang berarti.
Sebagai bahagian dari pemutakhiran tax plan tersebut, pengembangan rencana atau
perangkat tindakan dapat dilakukan misalnya mengadakan/mengintegrasikan sistem
informasi (information system) yang memadai dalam kaitannya dengan penyampaiannya
tax plan kepada para petugas yang memonitor implementasi tax plan tersebut dan juga
keefektifan pengendalian pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya yang terkait dengan
masalah-masalah perpajakan yang dicantumkan dalam setiap kontrak bisnis, sehingga
tidak terjadi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


13. Langkah-Langkah Praktis Yang Dapat
Dilakukan Dalam Perencanaan Pajak

Agar tax plan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, Langkah-langkah praktis yang
dapat dilakukan dalam melakukan perencanaan pajak, adalah sebagai berikut :
1. Mengusahakan agar terdapat penghasilan yang stabil untuk menghindarkan pengenaan
pajak dari kelas penghasilan yang tarifnya tinggi (top rate brackets)
2. Mempercepat atau menunda beberapa penghasilan dan biaya-biaya untuk memperoleh
keuntungan dari kemungkinan perubahan tarif pajak yang tinggi atau rendah, seperti
penangguhan pengenaan PPN, PPN yang ditanggung pemerintah dan seterusnya.
3. Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa wajib pajak, seperti
pembentukan group-group perusahaan.
4. Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan beberapa tahun untuk mencegah
penghasilan tersebut termasuk dalam kelas penghasilan yang tarifnya tinggi dan tunda
pembayaran pajaknya, seperti penjualan cicilan, kredit dan seterusnya.
5. Transformasikan penghasilan biasa menjadi capital gain jangka panjang
6. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan-ketentuan mengenai pengecualian
dari potongan-potongan
22

7. Mempergunakan uang dari hasil pembebasan pengenaan pajak untuk keperluan perluasan
perusahaan yang mendapatkan kemudahan-kemudahan.
8. Memilih bentuk usaha yang terbaik untuk operasional usaha
9. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sedemikian rupa sehingga dapat diatur
secara keseluruhan penggunaan tarif pajak, potensi menghasilkan, kerugian-kerugian dan
aset yang dapat dihapus. (Harnanto, 1994)


14. Perangkat Tax Planning

Pajak itu dianggap suatu beban dan orang menerima secara umum menjadi suatu kebenaran.
Dalam pengorganisasian dibuat perangkat-perangkat sedemikian rupa sehingga perencanaan
pajak dapat diadakan dengan baik. Perangkat-perangkatnya adalah :

1. Pemahaman Ketentuan Perpajakan

Agar planning bisa berhasil dengan baik, tax planning ini harus dikaitkan dengan kondisi
tax administration setempat. Bukan hanya Undang-undang saja tetapi juga di Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Pengadilan Pajak, Keputusan
Dirjen, Surat Edaran dan kadang-kadang ada private ruling/surat-surat kepada individu.
Semakin banyak yang dikuasai seorang tax planner, akan lebih efektif. Juga untuk
planning yang sifatnya pajak daerah/lokal tentu juga harus paham tentang berbagai
ketentuan pajak daerah.
Suatu hal yang agak menantang yaitu bahwa persyaratan pemahaman harus up to date,
semacam continuing profesional education. Para tax planner harus secara kontinyu
mengikuti profesional education, suatu updating pengetahuan baik dilakukan secara
internal maupun eksternal.

Mengetahui Tentang Tax Treaty
Kalau nasional sifatnya maka kita juga harus paham tax treaty. Dari berbagai treaty kalau
diperbandingkan, kalau orang berkata bahwa perbedaan pendapat itu merupakan rahmat,
tapi ini debatnya betul. Kalau untuk planning internasional, justru yang dicari adalah
perbedaan aturan, bukan kesamaannya. Jadi, yang perbedaan ini betul-betul rahmat untuk
para tax planner. Maka tiap treaty dicari perbedaan antara suatu treaty dengan treaty
lainnya. Jadi dicari perbedaannya, yang dieksploitir untuk keuntungan, untuk
meminimialisir beban pajak secara regional/global.
Perbedaan-perbedaan yang ada pada treaty sebetulnya sifatnya semacam national
distortion. Jadi Bagi tax planner ini menjadi suatu rahmat. Dia mengambil
manfaat/keuntungan dari national distortion tadi, dari berbagai treaty, tekhniknya
namanya adalah treaty shopping. Contoh treaty shopping, kalau bank-bank Singapura, dia
menerima bunga di Indonesia tidak dikenakan withholding tax. Maka orang Indonesia
barangkali dia berduyun-duyun memanfaatkan treaty shopping ke Singapura. Dia punya
teman, titip obligasinya misalnya pada teman yang di Bank, jadi seolah-olah membayar
bunganya ke bank sana padahal tidak, tapi hanya meminimialisir pajaknya saja.


23

2. Pengadministrasian/Dokumentasi Yang Baik

Dengan persyaratan pembukuan, penyelenggaraan pembukuan yang baik dan lengkap juga
merupakan suatu persyaratan untuk pengorganisasian suatu tax management yang baik.
Tapi dalam pembukuan itu sendiri juga bisa direkayasa/di-planningkan untuk
meminimalisir beban pajak. Karena dalam pembukuan ini ada berbagai macam opsi dalam
pajak. Opsi dalam pajak ini merupakan suatu masukkan untuk planning. Kalau tidak ada
opsi tidak ada planning, banyak opsi banyak planning. Sama juga dengan tidak ada treaty
kurang bagus, tapi kalau banyak treaty semakin banyak peluang karena banyak pilihan.
Dan kecenderungan negara itu secara politis dia akan memperbanyak treaty walaupun
mungkin efektifnya tidak ada. Apalagi yang negara besar, semakin banyak treaty-nya
semakin bagus dari segi politis/politik perpajakan, berarti bukan negara sembarangan,
terkenal karena banyak treaty-nya, dan semakin banyak juga investor yang akan datang
dari segi pajak.


3. Menjaga Hubungan dan Komunikasi Yang Baik

Menjaga hubungan baik dengan fiskus perlu terutama di negara berkembang. Kalau di
negara maju, hubungan yang proporsional saja. Kalau di negara berkembang bahwa
personal approach konon kabarnya sangat menentukan. Biasanya di negara berkembang
information itu sangat mahal karena banyak sekali informasi yang masih tertutup. Law
enforcement kadang-kadang masih merupakan barang yang sangat mahal. Selain itu
penting menjalin komunikasi dalam manajemen internal :

a. Komunikasi Dengan Kepala Divisi/Bagian
Sebagai bahagian dari tax plan, seorang tax manager harus mengkomunikasikan
ketentuan/prosedur perpajakan yang terkini kepada bagian-bagian lain dalam
perusahaan, seperti Bagian Penjualan, Pembelian, Akuntansi, Kepegawaian, dan
sebagainya. Masing-masing bagian diberikan suatu perangkat manual tax plan yang
hanya berkenaan dengan fungsi/aktivitas mereka masing-masing, agar supaya tidak
terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.

b. Komunikasi Dengan Top Management dan Asosiasi
Dalam melaksanakan tax plan tersebut, sangat dibutuhkan dukungan yang kuat dari top
management bukan sekedar lip service, kebijakan perpajakan yang diambil adalah juga
merupakan bahagian dari corporate policy perusahaan tersebut yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan oleh segenap jajaran manajemen mulai dari top management hingga ke
lower management karena ini berdampak pada pencapaian the bottom line dari kinerja
perusahaan yakni net profit after tax. Oleh sebab itu top management harus banyak
dilibatkan dengan keputusan pemilihan strategi perpajakan yang diambil agar
senantiasa sinkron dengan Master Plan perusahaan.
Sering terjadi dalam praktek, bahwa permasalahan pajak yang dihadapi oleh
perusahaan tersebut tidak bisa diselesaikan secara internal. Sebagai contoh, pada saat
keluarnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-178/PJ./2006 tentang tentang Jenis Jasa
Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto dimana diantaranya atas Jasa Freight Forwarding
dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 pada tarif 20%, maka para pengusaha perusahaan
24

kargo (Intl Freight Forwarder) secara kolektif mengajukan keberatan mereka atas
peraturan tentang pemotongan tersebut melalui Asosiasi mereka yakni Gefeksi untuk
memberikan pressure kepada Ditjen Pajak untuk merubah ruling mengenai masalah
yang bersangkutan, dan akhirnya usaha mereka berhasil dengan keluarnya Peraturan
Dirjen Pajak No. PER- 70/PJ/2007 merevisi PER-178/PJ./2006 yang menghilangkan
Jasa Freight Forwarding dari Objek pajak yang dipotong PPh Pasal 23.

c. Komunikasi Dengan Konsultan Pajak
Fungsi Konsultan Pajak adalah sebagai penyuluh dan sebagai jembatan antara Wajib
Pajak dengan fiskus, serta sebagai kuasa wajib pajak di Pengadilan Pajak, dll.
Keberadaan mereka harus dimanfaatkan seoptimal mungkin agar tujuan yang ingin
dicapai oleh perusahaan bisa berhasil dengan baik. Sebelum kita memilih konsultan
pajak, seyogiayanya kita sudah mengetahui kualifikasi mereka dan pengalaman
kesuksesan dalam menangani kasus-kasus yang serupa, agar pelaksanaannya bisa
berjalan mulus. Jangan sampai terjadi penunjukan konsultan pajak tersebut malah
memperburuk keadaan perusahaan dan malah menimbulkan beban pajak yang lebih
besar akibat kekurangpiawaian dari konsultan pajak tersebut. Hal ini banyak terjadi
dalam praktek, sewaktu perusahaan diperiksa oleh fiskus.

4. Implementasi Perencanaan Pajak

Pelaksanaan/implementasi perencanaan pajak termasuk staffing, maksudnya menentukan
orang-orangnya, tax planner atau konsultan pelaksana yang ditugasi pada saat closing
conference-nya menjelang tahap akhir dari proses pemeriksaan pajak diadakan.
Pelaksanaan ini tentu melihat pada optimalisasi perencanaan pajak sehingga apa yang
sudah digariskan dalam perencanaan tadi jangan sampai implementasinya tidak
proporsional sehingga hasilnya tidak bagus. Suatu transaksi yang sudah direkayasa
sedemikian rupa, harus betul-betul dilaksanakan seoptimal mungkin sesuai dengan
rencana sebagai bentuk responsibility tax accounting. Misalnya, kalau kewajiban
menyampaikan SPT Masa PPN pada tanggal 20, maka bila disampaikan lewat dari
tanggal 20 akan terkena denda sebesar Rp. 500.000,-. Kalau satu tahun terlambat terus,
dendanya menjadi Rp. 6 juta. Untuk bisa implementasi sesuai dengan yang direncanakan,
membutuhkan suatu kontrol.

Penulis disini memperkenalkan konsep different tax planning for different purpose
dalam arti bahwa dalam penyusunan tax planning tersebut tidak bisa di generalisir karena
kebutuhan untuk manajemen pajak dari berbagai perusahaan itu berbeda-beda, dan
dengan transaksinya juga bisa berbeda-beda. Misalnya, tax planning bisa dibuat untuk
keperluan penyusunan SPT Tahunan perusahaan, bisa juga dibuat untuk keperluan pada
saat perusahaan melakukan merger, joint operation dan sebagainya.

Jadi dalam tax management tidak bisa di generalisir bagaimana formulasinya tergantung
kepada event yang dihadapi untuk mem-planningkan perpajakannya, kadang-kadang
tergantung juga pada tempatnya dan behavior daripada tax administration. Bila KPP
dimana pejabat pajaknya mungkin cukup akomodatif tentu planningnya berbeda dengan
kalau dilingkungan yang para pejabat pajaknya agak agresif, yang terakhir ini mungkin
dihadapi dalam masalah penagihan pajak.
25

Dalam melakukan perencanaan pajak itu tidak ada suatu tax plan yang berlaku secara
permanen. Keahlian seorang tax planner hanya akan didapat bila secara kontinyu
mempelajari dan mendalami masalah-masalahnya serta melakukan penelitian, karena
perencanaan pajak itu sendiri pada hakikatnya merupakan hasil penelitian yang didesain
untuk suatu kejadian atau transaksi-transaksi yang akan terjadi. Dalam mendalami
masalah tersebut, seorang tax planner harus membuat pemetaan masalah (mapping)
dengan mengusahakan agar diperoleh data sebanyak mungkin yang relevan dengan
permasalahan tersebut untuk selanjutnya diteliti fakta yang relevan, kemudian disusun tax
planning-nya.


15. Strategi Tax Planning

1. Jurus Tax Planner

Pada umumnya seperti banyak kasus-kasus perpajakan yang terjadi belakangan ini, ada
empat cara/modus yang digunakan oleh wajib pajak dalam men-desain perencanaan
pembayaran pajaknya, cuma sayangnya sebahagian dilakukan dengan cara yang ilegal (tax
evasion), yakni :
a. Kalau bisa mereka tidak membayar pajak sama sekali, walaupun cara ini tidak
melanggar Undang-Undang Perpajakan. Cara ini tidak direkomendasikan karena
sebagai warga negara yang baik kita harus memahami bahwa negara kita saat ini
sedang membutuhkan dana dari setoran pajak untuk membiayai kelangsungan
pembangunan negeri ini.
b. Kalau tidak bisa tidak membayar pajak sama sekali, mereka akan mengurangi
membayar pajaknya dengan tidak melanggar UU Perpajakan. Umumnya mereka
memanfaatkan grea area dalam ketentuan perpajakan yang berlaku.
c. Kalau bisa digeser waktunya, yaitu daripada ia bayar sekarang, lebih baik membayar
tahun depan (forward shifting), jadi bunga (interest)nya mereka nikmati.
d. Kalau ketiga-tiganya tidak ketemu, maka baru mereka akan membayar pajaknya.

2. Secara Umum Konsepsi Tentang Tax Planning Diberikan Paling Kurang Pada
Tujuh Situasi :

a. Pada saat mempertimbangkan struktur bentuk usaha sebelum usaha dimulai
Contoh kongkritnya adalah sekarang tahun 2009, aturannya berbeda, tarifnya berbeda.
Sebelum mulai usaha, orang tentu akan mulai berpikir, apakah bentuk usahanya
perseorangan atau badan. Kalau usaha perseorangan dia kena tarif progresif, bila
estimasi penghasilannya Rp. 50 juta, maka dia kena tarif 5%, tapi bagi perorangan
berlaku ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp. 15.840.000,-
untuk WP sendiri dan Rp. 1.320.000,- untuk isterinya dan masing-masing anaknya
(max. 3 orang tanggungan). Kalau badan dia kena tarif tunggal 25% (tahun 2010) dan
tidak ada PTKP. Kemudian kalau sudah badan, dia akan berpikir lagi, apakah Firma
atau PT. Sebagai badan, penerapan tarif PPh nya sama untuk PT, Firma dan CV.
Firma pajaknya sama dengan CV tapi mungkin konsekuensi hukumnya berbeda.

26

Beda Firma dengan PT :
1. Pemiliknya kalau PT, laba setelah pajak kalau dibagi kepada para pemegang saham
WPOP harus membayar pajak dividen. Beda dengan Firma tidak perlu membayar
pajak dividen.
Pada Pasal 4 ayat 3 huruf i dan penjelasannya menyebutkan bahwa bagian laba
yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer (yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham), persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi,badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan
himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada
tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para
anggota badan tersebut bukan lagi merupakan Objek Pajak.
2. Ini hubungannya Non Taxable Income atas bagian laba yang diterima oleh para
anggota badan tersebut (persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi), dengan
demikian sesuai dengan prinsip taxability- deductibility maka gaji yang dibayarkan
kepada anggota firma/CV yang modalnya tidak terbagi atas saham, tidak dapat
dibiayakan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 1 huruf j. Kalau di PT. gaji
yang dibayarkan kepada pengurus yang juga merangkap sebagai pemegang saham
dapat dibiayakan selama penghasilannya di laporkan dalam SPT PPh Pasal 21.

Beda Orang Pribadi dengan Firma :
1. Orang pribadi tarif PPh-nya murah yakni 5 % hingga pendapatan Rp. 50 juta.
2. Mendapatkan PTKP.
3. Dua orang pribadi kalau terpisah, beban pajaknya akan kecil karena ada PTKP,
tarif pajak orang pribadinya yang lebih rendah dibandingkan kalau dia bergabung
dengan firma maka kemungkinan tarifnya lebih besar, dan beban pajaknya lebih
besar.
Pada negara yang mengenakan tarif progresif, suatu perusahaan besar walaupun
labanya banyak, dibandingkan dengan 10 perusahaan kecil, maka beban pajaknya akan
lebih besar perusahaan yang besar, karena kena tarif progresif. Berbeda dengan suatu
negara yang mengenakan tarif flat. Apakah sedikit tapi besar atau banyak tapi kecil-
kecil, tidak ada masalah. Karena income-nya di bracket seperti yang dikenakan pada
PPh Badan UU PPh Tahun 2000, maka dia akan menghindar dari progresif tax tarif di
lapisan tarif (bracket) yang tertinggi, hingga total tax burden akan lebih murah. Hal ini
bisa dirancang dengan melakukan penyebaran income pada beberapa perusahaan yang
lebih kecil dibandingkan dengan satu perusahaan yang besar yang kena dampak dari
progresifitas.

b. Pertimbangan Kembali Struktur Usaha

Perusahaan sudah jalan, tapi ada kemungkinan untuk dipertimbangkan kembali.
Misalnya perubahan Undang-Undang Pajak menyebabkan berkurangnya
optimalisasi struktur yang ada sekarang. Kalau perubahannya menjadi tambah
longgar itu tidak ada masalah, tetapi kalau kelonggarannya menciut umumnya
orang meributkan.
Contoh : Dalam UU PPh No. 17 Tahun 2000, kepemilikan saham di perusahaan
anak (subsidiary company) sekarang, untuk dapat bebas pajak dividen harus
27

kepemilikan sahamnya sekurang-kurangnya 25 % dari jumlah modal yang disetor
dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. Jadi kalau
semua yang punya saham 10 % yang satu lagi 15 %, supaya mereka bebas maka
harus merger atau harus rela sahamnya dititipkan. Kalau yang sekarang UU PPh
No. 36 Tahun 2008 yang berlakunya mulai tahun 2009, syarat harus mempunyai
usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut dihilangkan.
Ada salah satu anti avoidance yang biasanya dicantumkan di treaty, biasanya ini
idenya beneficial owner/pemilik manfaat. Jadi, mereka bisa saja menitipkan
sahamnya seolah-olah yang menerima itu satu perusahaan tapi nanti akan dilihat
secara transparan, siapa pemilik manfaat itu, apakah betul-betul mereka atau milik
orang lain.
Tentang time dimention juga dapat diperoleh sebagai suatu planning. Secara umum
penghematan pajak menganut prinsip the least and the latest, yaitu membayar
dalam jumlah seminimal mungkin dan pada waktu terakhir yang masih diizinkan
oleh ketentuan perpajakan yang berlaku. Ada perubahan peraturan-peraturan harus
dimanfaatkan secepatnya. Pada detik-detik terakhir tax planning itu sebelum
tanggal 31 Desember, maka pergunakan the last minutes tax planning.

c. Apabila Terjadi Perubahan Kepemilikan Perusahaan(Merger/Akuisisi)

Kalau terjadi perubahan kepemilikan perusahaan maka umumnya tax planner ini akan
mencoba untuk mencari mode transaksi yang tidak dikenakan pajak.
Kalau terjadi merger, tax planner akan mensyaratkan menggunakan nilai buku,
karena penggunaan nilai buku ini tidak menimbulkan capital gain yang merupakan
objek pajak penghasilan. Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan
nilai buku sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008
tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka
Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Permohonan izin Penggunaan
Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Merger atau Pemekaran Usaha
diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang
membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar, paling
lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif merger dilakukan. Untuk memenuhi
ketentuan formalnya, permohonan merger tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang
menerima pengalihan harta.
Kalau dengan penjualan saham mereka lewat BEJ dipungut pajak 0,1 %, maka dia
akan mencoba untuk tidak lewat BEJ.


d. Apabila perusahaan mempertimbangkan suatu transaksi/proyek/perolehan
assets dalam rangka meminimalkan beban pajak

Bisa transaksi import dan jual beli :
Kalau import dia akan berusaha agar barang-barangnya itu bebas bea masuk,
bebas PPh pasal 22, bebas PPN, dsb.
28

Transaksi penjualan tanah/bangunan, dia akan mencoba untuk memaksimalkan
penggunaan NJOPTKP agar BPHTB nya tidak kena, misalnya transaksi penjualan
tanah/bangunan dipecah-pecah.
Dalam perolehan aktiva kalau ini menyangkut fixed assets yang jumlahnya besar
dia akan mencoba memilih berbagai kemungkinan, apakah mungkin dia akan
membangun sendiri, meminjam, membeli, atau leasing (dengan hak opsi).
Pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam
Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya
Digunakan Sendiri atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 320/KMK.03/2002, yang bangunannya
diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200
m2 atau lebih dan bersifat permanen, maka PPN yang terutang atas kegiatan
membangun sendiri, jumlahnya ditetapkan sebesar 4% (yakni 10% x 40%) x
jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.
Jadi wajib pajak dapat menghemat pajak sebesar 6%.
Leasing (dengan hak opsi) ini kadang-kadang lebih untung daripada membeli
secara tunai dari sudut perpajakan. Kalau untuk capital leasing masa leasing
minimal 7 tahun untuk golongan bangunan. Yang 7 tahun sudah merupakan capital
leasing. Tapi kalau dia beli sendiri, disamping dia harus menyediakan semua
financingnya, maka dari segi depresiasi dia akan lebih lama dari pada capital
leasing. Jadi dalam 7 tahun, secara fiskal pembayaran leasing(dengan hak opsi)
yang dilakukan/terutang merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto. Dengan demikian maka selama 7 tahun itu secara fiskal perusahaan akan
kelihatan kurang baik, sehingga beban PPh-nya juga tidak banyak. Jadi ternyata
bahwa leasing(dengan hak opsi) itu lebih menguntungkan dari pada membeli aktiva
tetap secara tunai.

e. Apabila suatu perusahaan akan memperoleh penghasilan kena pajak
(PKP) yang cukup besar dalam satu tahun, maka dia cari jalan untuk
mengurangi beban pajak

Income atau obyek yang taxable, obyeknya apa saja dalam 1 tahun dia akan
kurangi. Artinya, dalam hal tarifnya adalah tarif progresif, kalau ada penghasilan
pengakuannya akan ditunda (deferred), atau akan mempercepat untuk pengakuan
biaya. Tapi kalau tarifnya flat, otomatis urgency-nya agak kurang untuk menunda
atau mempercepat. Kalau tarifnya flat, karena beban pajaknya sama, urgency
mempercepat atau menunda itu kadang-kadang melihat cash flow-nya. Kalau cash
flow-nya tidak terganggu tidak ada masalah, tapi kalau cash flow-nya terganggu,
mungkin dia sedang mengalokasikan sumber daya untuk keperluan yang lain maka
dia akan tunda pengakuannya.
Sebagai contoh lain, dengan Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008, ditetapkan
tarif PPh Badan sebesar 25% berlaku mulai Tahun 2010 sedangkan untuk Tahun
2009 tarif PPh Badan adalah sebesar 28%. Biasanya Tax Planner akan melihat
transaksi-transaksi penghasilan apa saja di penghujung Tahun 2009 yang dapat
digeser pengakuannya ke tahun 2010 untuk bisa menghemat selisih tarif PPh
sebesar 3% yang berarti akan mengurangi tax burden bagi perusahaan.
29

Profit itu tidak identik dengan cash available. Profit itu angka, tapi uang tidak
identik dengan profit. Jadi kalau profitnya besar belum tentu uangnya banyak.
Sebaliknya, kalau bisa meskipun profitnya kecil tetapi uangnya banyak artinya
cash flow-nya lancar.
Biaya akan diakui didalam Laporan Rugi/Laba apabila liability-nya sudah ada
walaupun belum dibayar. Maka untuk penghasilan, tax planner akan mencoba
untuk menggeser sedapat mungkin pengakuan pendapatannya. Sekaligus dia
berusaha akan averaging/meratakan penghasilan. Kalau ada expense akan dia
akrual, walaupun belum dibayarkan tapi seolah-olah bahwa billing-nya terjadi
sekarang.

f. Apabila terjadi perubahan keadaan individu WP (pensiun, perkawinan,
pisah)
Kalau pesangon dibayarkan sekaligus akan dikenakan PPh 10 % final. Tapi kalau
pensiun bulanan maka akan kecil-kecil jumlah pajaknya. Kalau dia dibayar bulanan
(lumpsum) akan kena pajak normal dan ada PTKP. Secara total apakah lebih
untung kalau dibayar lumpsum payment sekaligus, atau average setiap bulan?.
Namun aturan pensiunnya bagaimana, apakah boleh dibayar secara bulanan? Ini
harus dianalisis untuk melihat apakah perusahaan bisa menghemat pajak dari
penerapan salah satu alternatif cara pembayaran tersebut tanpa mengenyampingkan
aturan yang ada.
Kondisi married/tambah keluarga umumnya PTKP hanya diberikan/diberdayakan
critical time-nya pada awal tahun. Jadi kalau kawinnya dipertengahan tahun maka
sampai dengan akhir tahun dianggap sendiri. Kalau calon suami istri kedua-duanya
bekerja, pajaknya bagaimana. Kalau sama-sama kerja, suami istri mendapat PTKP
Rp. 15.840.000,- masing-masing, ditambah dengan Rp. 1.320.000,00 untuk
isterinya dan masing-masing anaknya (max. 3 orang tanggungan). Jadi pajak ini
pro dengan perkawinan. Kalau digabung ada progresifitas tarif. Jadi kalau
penghasilan suami isteri berdua digabung dan lebih dari Rp. 50 juta, maka akan
kena bracket yang besar. Jadi fenomenanya disini adanya tambahan Rp.
1.320.000,00 untuk PTKP isteri dan kemungkinan terkena taxable bracket yang
lapisan tinggi karena penghasilan yang digabung tersebut.

g. Apabila perusahaan/orang pribadi akan menjual aktiva atau perusahaan akan
bubar/orang pribadi almarhum
Kalau sampai meninggal belum dibagi maka tidak ada PTKP dan dikenakan tarif
progresif. Jadi sebelum almarhum lebih baik dibagi dulu karena akan mendapatkan
PTKP untuk masing-masing bagian dan tarifnya lebih murah.

3. Tax Planning Yang Masih Berlaku

Berikut ini ada beberapa trik yang perlu dipertimbangkan dalam membuat tax planning
perusahaan :



30

a. Maksimalkan Biaya-Biaya Yang Dapat dikurangkan
Seringkali petugas pembukuan menggunakan istilah yang kurang tepat untuk biaya-
biaya tertentu sehingga pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh fiskus biaya-biaya
tersebut tidak dapat dikurangkan. Contohnya : biaya promosi, biaya keamanan, biaya
pemasaran dibukukan dengan nama sumbangan. Berdasarkan UU PPh pasal 9 (1) g
sumbangan tidak diperkenankan dikurangkan sebagai biaya, maka dengan sendirinya
akan dikoreksi oleh fiskus. Biaya perjalanan dinas dibukukan sebagai biaya perjalanan
direksi yang mengesankan sebagai biaya liburan direksi. Tentunya ini juga akan
dikoreksi oleh fiskus. Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya rekreasi
pegawai. Ini juga akan dikoreksi karena tidak dianggap sebagai biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.


b. Merger Antara Perusahaan Yang Terus Menerus Rugi Dengan Perusahaan
Yang Laba
Didalam satu kelompok usaha, kadang-kadang terdapat perusahaan yang terus merugi
selama beberapa tahun sebelum menghasilkan laba, sedangkan di perusahaan lainnya
yang sejenis sudah menghasilkan laba. Dengan demikian secara kelompok,
perusahaan membayar PPh atas laba yang lebih besar dari laba sebenarnya.
Menurut Pasal 3 Per-Menkeu No. 43/PMK.03/2008, bila kedua perusahaan tersebut
digabungkan (Merger) dengan menggunakan nilai buku, tidak boleh
mengkompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan
diri/Wajib Pajak yang dilebur. Akumulasi kerugian perusahaan yang merugi tersebut
bisa dikompensasikan dengan selisih lebih atas penilaian kembali aktiva tetap hasil
revaluasi aktiva tetap yang dilakukan berdasarkan nilai pasar yang wajar, dan atas
selisih lebih setelah kompensasi kerugian tersebut dikenai PPh Final 10%.

c. Menunda Penghasilan
Misalnya buku perusahaan ditutup pada tanggal 31 Desember. Pada bulan Desember
tersebut terdapat lonjakan permintaan. Pajak atas laba atas lonjakan permintaan
tersebut sudah harus dibayar paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya.
Disamping itu angsuran PPh 25 tahun berikutnya otomatis akan menjadi lebih besar.
Bila memungkinkan pengusaha dapat melakukan pendekatan kepada konsumen agar
penyerahan barangnya dilakukan pada awal bulan Januari tahun berikutnya. Dengan
demikian pembayaran pajaknya dapat ditunda satu tahun.

d. Percepat Pembebanan Biaya
Pada akhir tahun fiscal sebaiknya dilakukan review untuk melihat apakah ada biaya-
biaya yang dapat segera dibebankan pada tahun ini. Misalnya biaya konsultan hukum,
konsultan pajak, auditor, dsb. Dengan demikian seperti halnya dengan penundaan
penghasilan akan dapat menunda pembayaran pajak setahun.


31

Contoh Trik Aplikasi

Dalam UU PPh yang baru (Pasal 6 ayat (1) huruf h - UU No. 36 Tahun 2008)
Peraturan mengenai piutang tak tertagih sebetulnya tidak ada perubahan yang
mendasar. Piutang nyata-nyata tak tertagih itu boleh dibiayakan asal memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut:
1) Telah dibiayakan dalam laporan laba rugi komersial;
2) WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP;
3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau ada perjanjian tertulis dengan
debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau ada pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan;
4) Syarat nomor 3 tidak berlaku bagi piutang debitur kecil yang dihapuskan
Sebagai tax planner harus mencari cara yang lebih mudah. Piutang tak tertagih diatur
dalam pasal 6 (1) UU PPh dimana disyaratkan kalau piutang tak tertagih jika ingin
dihapuskan syaratnya yang ada di pasal 6 (1) h UU PPh. Tapi di pasal 6 (1) d UU PPh
mengatakan Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan
semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Misalnya kita punya Lemari
kantor harga belinya Rp. 1 juta, sudah dipakai 1 tahun, sudah di depresiasikan
golongan 2 (tarif penyusutan 20% metode garis lurus). Sekarang tinggal nilai bukunya
80 % atau Rp. 800.000, bila kita jual dengan harga Rp. 400.000 sehingga rugi sebesar
Rp. 400.000, Sesuai Pasal 6 (1) h UU PPh, kerugian ini boleh dikurangkan sebagai
biaya (deductible) dalam SPT Tahunan PPh Badan.

Cara ini kita pergunakan untuk piutang tak tertagih, karena piutang itu juga
harta/aktiva. Sekarang ada sarana untuk menjual piutang ke perusahaan factoring.
Daripada kita susah-susah mengajukan ke pengadilan, bikin perjanjian susah, kita jual
saja ke factoring company. Misalnya Piutang kita sebesar 500 juta, kita menganggap
bahwa nagihnya paling hanya dapat 100 juta, maka 400 juta akan dihapuskan. Kita jual
saja yang 500 ini ke factoring company dengan harga mungkin 150 juta supaya
factoring company-nya juga dapat untung. Jadi kita juga bisa membiayakan sebesar
500 juta -150 juta = 350 juta. Ini cara hemat dan cepat.

e. Strategi Efisiensi Untuk Menekan Beban Pajak Perusahaan
Strategi perusahaan untuk efisiensi pajak dapat dilakukan dengan cara merekayasa
biaya-biaya yang berkaitan dengan pembayaran kepada karyawan, tapi ini tergantung
pada kondisi perusahaan sebagai berikut :
1). Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak dan pengenaan PPh
badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan
karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak
dapat dibebankan sebagai biaya. Jadi meskipun PPh Pasal 21 akan menjadi besar,
tetapi karena bisa dibiayakan sehingga dampaknya terhadap PPh Badan akan
menjadi lebih rendah. Sebaliknya kebijakannya akan berbeda dalam hal
32

perusahaan masih merugi, dimana pemberian dalam bentuk natura itu justru
harus diupayakan semaksimal mungkin karena bisa memperkecil PPh Pasal 21.
2). Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan PPh final, sebaiknya
memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan,
karena pemberian natura dan kenikmatan kepada karyawan tidak termasuk obyek
pajak PPh pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian dan kenikmatan
tersebut mempengaruhi besarnya PPh badan, karena PPh badan final dihitung
dari persentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan biaya-biaya.
Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan akan
menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh badan tetap nihil.

Lihat dalam tentang bahasan strategi efisiensi ini dapat dilihat dalam bab Tax
Planning PPh badan.

f. Hindari Beban Orang Lain Untuk Tidak Menjadi Beban Sendiri
Banyak kejadian dalam praktek bisnis internasional, perusahaan lokal terpaksa
menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban perusahaan luar negeri tersebut
karena tidak teliti memperhatikan klausul perpajakannya dalam kontrak perjanjian
tersebut. Hal ini dapat dihindarkan bila kita bisa memahami aspek perpajakan
internasional, seperti tentang Tax Treaty, Bentuk Usaha tetap (BUT), PPh Pasal 26.
Tentang PPN juga tidak diatur dalam perpajakan internasional. Misalnya atas
pembelian barang/jasa dari luar negeri, tetapi bila penyerahan barang/jasa kena
pajaknya dilakukan di dalam negeri (dalam daerah pabean Indonesia), maka atas
penyerahan barang/jasa kena pajak tersebut terutang PPN. Lalu siapa yang harus
menanggung PPN-nya, penjual atau pembeli, principal atau agen? Ini semuanya harus
dituangkan klausul-nya dalam kontrak perjanjian kedua belah pihak. (baca juga tulisan
penulis di majalah Indonesian Tax Review Vol II/edisi 19/2009 hal.40-49).

Beberapa Perangkat Fasilitas Perpajakan
Dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia khususnya UU Pajak Penghasilan serta
UU PPN & PPn BM, kita menjumpai beberapa perangkat fasilitas perpajakan seperti
tertera dibawah ini :
WP yang melakukan penanaman modal di bidang usaha tertentu dan atau di daerah
tertentu, dapat diberikan fasilitas (PP No. 1 Tahun 2007) :
a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5%
per tahun;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut :








33

================================================================
Kelompok Aktiva Tetap Masa Manfaat Tarif Penyusutan
Berwujud Met. Garis Met.Saldo
Lurus Menurun
================================================================
I. Bukan Bangunan:
Kelompok I 2 tahun 50% 100%
Kelompok II 4 tahun 25% 50%
Kelompok III 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok IV 10 tahun 10% 20%
II. Bangunan:
Permanen 10 tahun 10% -
Tidak Permanen 5 tahun 20% -

================================================================
c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar
Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan
d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari10
(sepuluh) tahun dengan ketentuan sebagai berikut:
1) tambahan 1 tahun: apabila penanaman modal baru pada bidang usaha yang diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a PP No. 1 Tahun 2007 (Lampiran 1) dilakukan di
kawasan industri dan kawasan berikat;
2) tambahan 1 tahun: apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500(lima ratus)
orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
3) tambahan 1 tahun: apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/
pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit
sebesar Rp. 10 miliar ;
4) tambahan 1 tahun: apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di
dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling
sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun;
dan/atau.
5) tambahan 1 tahun: apabila menggunakan bahan baku dan atau komponen hasil
produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun ke 4
(empat).
e. Sumbangan yang dapat dibiayakan meliputi sumbangan penanggulangan bencana
nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, biaya
pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan dan sumbangan
pembinaan olahraga (Pasal 6 ayat (1) huruf I, j, k, l dan m - UU PPh No. 36 Tahun
2008)
f. Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis
dibebaskan dari pengenaan PPN (PP No. 7 Tahun 2007).
g. Barang yang dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Berikat diberikan
penangguhan Bea Masuk; dan/atau tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor (Pasal
14 PP No. 32 Tahun 2009 Jo PP No. 2 Tahun 2009) .
h. Atas impor barang untuk keperluan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas
bumi yang diimpor oleh Kontraktor Bagi Hasil (production sharing contract) Minyak
34

dan Gas Bumi diberikan fasilitas pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka
Impor yakni PPN, PPn BM, dan PPh Pasal 22 Impor tidak dipungut (Pasal 2 Per
Menkeu No. 20/PMK.010/2005)
i. PPN tidak dipungut atas penyerahan avtur kepada maskapai penerbangan untuk
keperluan penerbangan internasional, sepanjang perjanjian pelayanan transportasi
udara mencantumkan asas timbal balik (Pasal 2 PP Nomor 26 Tahun 2005).
j. Bebas pajak (PPN, PPn BM, PPh pasal 22) untuk proyek pembangunan Pulau Bintan
dan kawasan pendukung sekitarnya (Pasal 1 PP No. 30 Tahun 1995).
k. Percepatan restitusi untuk WP patuh. Dari semula 1 tahun menjadi 1 bulan (PER-
1/PJ./2008).
Kesemuanya itu adalah merupakan cost driver (pemacu biaya) yang bisa menjadi
penyebab cost daripada produk perusahaan berbeda dengan pesaingnya dalam industri
tertentu.


Setelah melalui perdebatan yang ulet, akhirnya Undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008
disahkan antara lain dengan penambahan satu pasal yang baru, yakni Pasal 31E UU PPh No.
36 Tahun 2008, yang memfasilitasi wajib pajak badan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) dengan peredaran bruto sampai dengan Rp. 50 miliar mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf
b dan ayat (2a), yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp. 4,8 miliar.

Bagaimana pengusaha UMKM menyikapi ketentuan terkini tersebut dalam melakukan
perencanaan pajaknya agar tidak terbebani dengan beban pajak yang besar? Menjembatani
UMKM untuk masuk ke dalam sistem perpajakan dan menjadi bankable artinya dapat lebih
mudah memperoleh fasilitas kredit dari bank, tentu dengan memperhatikan bahwa Tax policy
tidak mencemari banking policy.


















35

BAB II

Strategi Penghematan Pajak
Melalui Pemilihan Bentuk Usaha





1. Pendahuluan
Persoalan ini sering dihadapi oleh penanam modal/investor baru yang ingin punya usaha tapi
bingung mau ditempatkan dimana dana investasinya itu, dari sekian banyak pilihan bentuk
bisnis mana yang harus dipilih sebagai wadah investasinya, belum lagi memikirkan jenis
kegiatan usaha atau portfolio investasinya apakah portfolio investasi sekuritas (seperti saham,
obligasi, reksadana), kegiatan perdagangan (commerce), kegiatan industry (industry) atau
kegiatan Jasa-Jasa (Service) yang tujuan akhirnya adalah mana alternatif investasi yang bisa
memberikan kontribusi profit yang paling besar dan tentunya dengan resiko investasi yang
paling rendah. Disini kita hanya mendiskusikan masalah pemilihan bentuk usaha terutama
dilihat dari aspek perpajakannya, dan bukan membahas tentang jenis usaha/investasi karena
yang terakhir ini masuk dalam ranah commercial business strategy.
Banyak pilihan bentuk usaha yang dapat dipertimbangkan oleh investor, namun itu semua
akan bermuara pada besarnya pajak yang akan dia tanggung kelak. Nah, disinilah
persoalannya, tingkat keuntungan bisa sama diantara bentuk usaha tersebut namun besarnya
pajak yang ditanggung bisa berbeda, selain pertimbangan aspek pengembangan usaha
(business development) dalam jangka panjang. Apalah artinya keuntungan yang diperoleh
dalam jangka pendek tetapi dengan jumlah pajak yang bisa diminimalkan tetapi terbentur
dengan batasan ruang gerak pengembangan pasar dan perluasan usahanya kedepan dan
jaringan bisnis yang sempit, belum lagi bila kita bicara tentang kepercayaan mitra bisnis (bank
dan supplier) terhadap badan usaha yang umumnya lebih senang bekerjasama dengan bisnis
yang berbadan hukum. Ketika kita bicara mengenai masalah permodalan, pihak Bank lebih
cendrung bekerja sama dengan badan usaha PT ketimbang usaha perseorangan, karena
misalnya perhitungan resiko manajemennya lebih tinggi pada usaha perseorangan.
Banyak alternatif yang akan pergunakan untuk menghindari pungutan pajak. Cara yang paling
gampang adalah dengan tidak melaporkan penghasilan yang kita terima, tapi tindakan ini
justru akan membuat kita sport jantung merasa dikejar terus oleh fiskus. Cara yang paling
elegan untuk menghindari pungutan pajak ini adalah dengan mencari cara meminimalkan
pembayaran pajak tanpa menabrak koridor peraturan perpajakan yang berlaku.
36

Dalam peraturan perpajakan, banyak celah hukum yang dapat kita manfaatkan untuk
meminimalkan beban pajak tanpa kita harus berhadapan langsung dengan aparat pajak dalam
pemeriksaan/penyidikan pajak, yaitu dengan cara merapikan tax management/tax planning
perusahaan. Tujuan perencanaan pajak yang baik adalah memberikan keuntungan yang
sebesar-besarnya kepada investor agar return on investment yang diperoleh semakin tinggi.
Strategi perencanaan pajak dapat dimulai dari awal berbisnis dengan melakukan setting up
bentuk usaha yang akan dipilih investor dalam menjalankan bisnisnya.
Diantara beberapa entitas hukum bisnis yang ada di Indonesia dan diakui oleh UU Perpajakan
kita adalah:
1. Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Yayasan
2. Persekutuan (Firma, CV, Kongsi)
3. Perseorangan

Dilihat dari aspek legalitasnya, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Yayasan adalah entitas
yang berbadan hukum (karena ada pengesahan pemerintah yakni Menteri Kehakiman/ Menteri
Hukum dan HAM atas akte pendirian dan anggaran dasarnya), sedangkan Persekutuan
(Firma, CV, Kongsi) dan Perseorangan tidak berbadan hukum.
Diluar itu terdapat banyak entitas bisnis lainnya yang kita kenal dalam lingkup hukum kita
seperti Joint Operation (KSO), Waralaba, BUT, namun disini kita akan membatasi
pembahasan dalam ketiga bentuk hukum entitas bisnis tersebut karena mengingat kebanyakan
pelaku binis Indonesia menggunakan ketiganya dalam menjalankan binsis mereka.
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan bentuk usaha (Mohammad
Zain, 2003 : 97), adalah :
1. Bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif pajak
penghasilan wajib pajak badan termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu.
2. Pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha maupun
penghasilan dari pembagian keuntungan (deviden) kepada para pemegang sahamnya
3. Kesempatan untuk menunda pengenaan pajak pada tarif pajak penghasilan lebih
kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak
penghasilan dan akumulasi penghasilan perusahaan.
4. Adanya ketentuanketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian)
dan kredit investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu.
5. Kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak atas
penghasilan personal holding company dan seterusnya.
6. Liberalisasi ketentuan-kententuan yang mengatur fringe benefit dan/atau payment in kind.



37

2. Usaha Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Perseroan Terbuka (Tbk) adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran
umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan di bidang pasar modal

Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang banyak
digunakan di Indonesia yang didirikan dengan payung hukum UU No. 40 tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas. Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk PT, berdasarkan akte
notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara RI dan diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.
Pada Pasal 97 UU tersebut secara eksplisit membedakan PT dengan badan hukum lainnya,
dimana dalam PT tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada Direksi bukan kepada
pemegang saham. Direksi adalah Organ Perseroan yang benwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan. Jadi selama Pemegang Saham
tidak merangkap sebagai pengurus perusahaan, maka dia tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban terhadap tindakan operasional perusahaan oleh pihak manapun.
Tanggung jawab pemegang saham terbatas pada nilai saham yang diambilnya.

Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, dalam hal badan maka Wajib Pajak diwakili oleh pengurus yang
bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang
terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa
mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas
pajak yang terutang tersebut. Mengenai tanggung jawab renteng ini dapat dijelaskan lebih
lanjut dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. 02/PJ.74/1990 dengan merujuk kepada ketentuan
dalam Pasal 32 ayat 2 UU No. 6 tahun 1983 yang telah dirubah terakhir kalinya dengan UU
No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.

Dalam ketentuan perpajakan sesuai pasal 17 UU Nomor 7 tahun 1983 yang telah diubah
terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pengenaan pajak
PT dikenakan pada level net income sebelum pembagian dividen perusahaan kepada
pemegang saham.
Ilustrasi perhitungan pajak perseroan-PT dapat kita lihat berikut ini:


Income Tahun 2011 Rp 2.000.000.000,-
COGS Rp 800.000.000,-
Gross Income Rp 1.200.000.000,-
Operating Expenses Rp 500.000.000,-
Net Income before tax Rp 700.000.000,-
Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000,-
Net Income after tax Rp. 525.000.000,-
38

Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen maka atas
pembagian tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar 10% (PPh Final untuk WPOP), sebagai
berikut:
Net Income before tax Rp 700.000.000,-
Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000,-
Net Income after tax Rp. 525.000.000,-
Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) Rp 52.500.000,-
Return yang diterima pemegang saham Rp 472.500.000,-
% Beban Pajak (total tax/net income) (Rp175.000.000,-+Rp52.500.000,-):
Rp.700.000.000 x100%=32.5%
Dengan demikian, secara totalitas investor WPOP akan terbebani dengan pajak keuntungan
yang diperoleh dari badan usaha PT tersebut sebesar 32.5%.

3. Usaha Persekutuan (CV, Firma, Kongsi)
Dalam literatur hukum, kita ketahui ada 3(tiga) macam perkumpulan yang bukan badan
hukum atau tidak termasuk kategori sebagai badan hukum, yaitu Persekutuan Perdata, Firma
dan CV. Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk firma (Fa), walaupun didirikan
dengan sebuah akte notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan
dalam Tambahan Berita Negara RI, tetapi tidak diperlukan adanya pengesahan dari
Kementerian Hukum dan HAM. Demikian pula halnya dengan pendirian sebuah CV, sama
halnya dengan pendirian sebuah Firma karena pada dasarnya CV juga merupakan firma
dengan bentuk khusus.
Oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur masalah Firma, CV dan persekutuan
Perdata, maka untuk persekutuan tersebut kita kembali kepada Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur masalah-masalah
tersebut. Misalnya mengenai pendirian Persekutuan (firma atau CV) diatur dalam pasal 1618
dan 1320 KUHPerdata dan juga terdapat dalam Pasal 22 KUHD.
Perbedaan persekutuan dengan PT adalah terletak pada tanggung jawab peseronya
(shareholder). Pasal 18 dan 19 buku 1 KUHD mengatur tanggung jawab renteng
pemilik/pesero terhadap semua operasional ataupun tuntutan dari pihak lain apabila terjadi
suatu perkara.
Apabila CV mempunyai banyak utang sehingga jatuh pailit, dan apabila harta benda CV tidak
mencukupi untuk pelunasan hutang-hutangnya, maka harta benda pribadi pesero pengurus
dapat dipertanggungjawabkan untuk melunasi hutang perusahaan. Sebaliknya harta benda para
Persero commanditaris (sleeping partner) tidak dapat diganggu gugat.
Pengaturan pajak CV diatur dalam pasal 6 dan Pasal 4 ayat 3 huruf i Undang-undang PPh.
Berbeda dengan PT, pengenaan pajak CV hanya dikenakan sekali pada level net income
39

perseroan. Ketika didistribusikan kepada pemegang saham tidak dikenakan pajak dividen lagi.
Kita lihat ilustrasi dibawah ini sesuai dengan data-data keuangan PT diatas.
Pasal 4 ayat 3 huruf i UU No. 7 Tahun 1983 yang telah dirobah terakhir kalinya dengan UU
No. 38 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menegaskan Yang dikecualikan dari objek
pajak yakni bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan
tersebut yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan,
yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para
anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.

Dengan asumsi yang sama seperti contoh pada tabel berikut ini, maka Ilustrasi perhitungan
pajak Firma/CV dapat kita lihat sebagai berikut :

Income Tahun 2011 Rp 2.000.000.000,-
COGS Rp 800.000.000,-
Gross Income Rp 1.200.000.000,-
Operating Expenses Rp 500.000.000,-
Net Income before tax Rp 700.000.000,-
Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000,-
Net Income after tax Rp. 525.000.000,-
Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen maka atas
pembagian tersebut tidak akan dikenakan pajak lagi sebagai berikut :
Net Income before tax Rp 700.000.000,-
Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000,-
Net Income after tax Rp. 525.000.000,-
Pajak Atas Dividen 0% Rp 0,-
Return yang diterima Shareholder Rp 525.000.000,-
% Beban Pajak (total tax/Net Income) (175 juta:700juta) x100%
= 25%
Dengan demikian, secara totalitas investor akan terbebani dengan pajak keuntungan yang
diperoleh dari badan usaha Firma/CV tersebut sebesar 25%. Bila dibandingkan dengan badan
usaha PT, Persentase beban pajak investor Firma/CV dengan payung hukum UU PPh No. 36
Tahun 2008 ternyata lebih rendah daripada PT., dimana badan usaha PT tersebut sebagaimana
diuraikan di halaman sebelumnya sebesar 32.5%, begitu juga secara nominal keuntungan
(return) yang diberikan kepada pemegang saham adalah lebih besar diterima oleh pemegang
saham Persekutuan (=Rp. 525 juta) dibandingkan dengan pemegang saham PT. (=Rp. 472.5
juta).

40

4. Usaha Perseorangan
Mayoritas penduduk Indonesia menjalankan usaha bisnisnya secara perseorangan, tidak mau
terikat dengan badan usaha yang lebih formal mengingat kesederhanaan pendiriannya tidak
perlu akte notaris dan flexibilitas kewajiban yang harus dipenuhi, namun tetap harus memiliki
NPWP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Bentuk badan usaha perseorangan dapat
berupa wartel, salon, rumah makan, usaha dagang (UD), waralaba, dan masih banyak lagi.
Ada beberapa perbedaan dalam menghitung pajak usaha antara pajak perseorangan dengan
pajak perseroan, antara lain :

- Dalam perhitungan pajak perseorangan, ada beberapa faktor pengurang seperti
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan biaya jabatan, yang dalam perhitungan pajak
perseroan faktor pengurang tersebut tidak ada dalam ketentuannya.

- Terdapat pembedaan tax rate dan lapisan penghasilan kena pajak (taxable income bracket)
antara PPh Perseorangan dengan Pajak Penghasilan Badan, dimana PPh Persorangan
menggunakan tarif progressif dari lapisan tarif 5% hingga tarif maksimum 30%,
sedangkan Pajak Penghasilan Badan ditetapkan tarif tunggal 25% (tarif 25% berlaku sejak
awal tahun 2010, sedangkan tahun 2009 tarifnya 28%).

Lapisan Penghasilan PPh Psl 21 Perseorangan
(UU PPh No. 36 Tahun 2008)
Tarif
Pajak
0 sampai dengan Rp 50.000.000 5%
Di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000 15%
Di atas Rp 250.000.000 s.d.Rp 500.000.000 25%
Di atas Rp 500.000.000 30%
Secara sederhana berikut ini kita membuat ilustrasi beban pajak yang harus ditanggung
investor WPOP dengan mengenakan pajak dengan tarif progresif seperti tabel diatas.
Income Tahun 2011 Rp 2.000.000.000,-
COGS Rp 800.000.000,-
Gross Income Rp 1.200.000.000,-
Operating Expenses Rp 500.000.000,-
Net Income before tax Rp 700.000.000,-
PTKP (Kawin 3 anak atau K/3) *) Rp 21.120.000,-
Taxable Income Rp 678.888.000,-
Tax : PPh Pasal 21 Rp 146.866.400,-
*) 15.840.000 + (4*1.320.000) = 21.120.000

41

Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen maka atas
pembagian tersebut tidak akan dikenakan pajak lagi, sebagai berikut:
Net Income before tax Rp 700.000.000,-
Tax : PPh Pasal 21 Rp 146.866.400,-
Income After Tax Rp 553.133.600,-
Pajak Atas Dividen 0% Rp 0,-
Return yang diterima Shareholder Rp 533.133.600,-
% Beban Pajak (total tax/Net Income) Rp. 146.866.400 : 700 juta x
100% = 20.98%

Perhitungan PPh Pasal 21 :
Penghasilan Kena Pajak 678.888.000

Biaya jabatan 5% 6.000.000


672.888.000
PPh Psl. 21 :

5% x 50.000.000 2.500.000

15% x 200.000.000 30.000.000

25% x 250.000.000 62.500.000

30% x 172.888.000 51.866.400

Total PPh Psl 21

146.866.400
Secara komparatif, beban pajak yang harus ditanggung oleh investor dari ketiga entitas binis
tersebut terlihat perbandingannya sebagai berikut:
PT. Persekutuan (Fa/CV) Perseorangan
Net Income Rp 2.000.000.000,- Rp 2.000.000.000,- Rp 2.000.000.000,-
Beban Pajak (Rp) Rp 253.750.000,- Rp 175.000.000,- Rp 146.866.400,-
Beban Pajak (%) 32.5%% 25 % 20.98%
Dari analisa yang dipaparkan diatas, ada beberapa hal penting yang perlu kita catatkan sebagai
berikut :
1. Beban pajak yang ditanggung oleh investor melalui persekutuan ternyata lebih kecil
daripada bentuk usaha PT.
2. Tetapi menjalankan bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat penghematan/
efisiensi pajak yang jauh lebih besar ketimbang bentuk badan usaha lainnya. Namun
demikian kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan atas pertimbangan ini
semata, harus juga memperhatikan pertimbangan lainnya.
3. Pemilihan salah satu entitas bisnis diatas dapat dijadikan referensi dalam pengambilan
keputusan oleh para investor untuk meminimalkan beban pajak. Namun demikian faktor
pajak bukan hanya satu-satunya pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih
banyak lagi variabel lainnya yang harus diperhatikan oleh investor.
4. Malah tidak jarang terjadi dalam prakteknya, investor yang konvensional lebih
mengandalkan instuisi (naluri) bisnisnya daripada perhitungan diatas kertas, menghindari
42

kompleksitas dalam pengambilan keputusan bermodalkan jam terbang pengalaman
bisnisnya (learning curve yang tinggi) yang sangat berharga sehingga dengan keyakinan
penuh ketika usaha itu dijalankan dengan membawa kiat dan alur pola pemikiran mereka
yang sederhana tersebut tetapi realistis terbukti bisa sukses hasilnya. Bagaimanapun juga,
pengelolaan bisnis secara modern harus dilakukan secara profesional tidak bisa semata-
mata mengandalkan instuisi bisnis, karena yang terakhir ini hanya dilakukan oleh pelaku
bisnis tertentu yang benar-benar sudah kawakan dan teruji dalam kancah bisnisnya selama
puluhan tahun.
5. Diantara sederetan pertimbangan lainnya dalam dalam pengambilan keputusan bisnis
secara modern, antara lain harus ikut diakomodasi masalah permodalan, advis
management risk, lingkungan hidup, tanggung jawab pesero bila terjadi klaim pihak
ketiga, business/market development, serta hak-hak dan kewajiban lainnya yang timbul
dari pemilihan bentuk usaha tersebut.

5. Usaha Koperasi

Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisasi pemanfaatan dan pendayagunaan sumber
saya ekonomi para anggotanya atas dasar prinsip-prinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi
untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada
umumnya, dengan demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru
perekonomian nasional (PSAK No. 27). (IAI, SAK Per 1 Juli 2009)


Koperasi adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang cukup banyak digunakan
di Indonesia yang didirikan dengan payung hukum UU No. 25 tahun 1992 Tentang
Perkoperasian. Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk Koperasi, berdasarkan akte
notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara RI serta diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam Koperasi tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada Pengurus bukan kepada
anggota koperasi. Pengurus Koperasi adalah Organ Koperasi yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan Koperasi untuk kepentingan Koperasi.

Ada beberapa macam jenis koperasi :
1. Koperasi Konsumen (misalnya koperasi warung serba ada atau supermarket)
2. Koperasi Produsen (misalnya koperasi Jasa Konsultasi)
3. Koperasi Simpan Pinjam
4. Koperasi Pemasaran


Perlakuan Perpajakan Perkoperasian

Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya koperasi dapat melakukan
kegiatan usaha di hampir semua bidang usaha, sehingga atas penghasilan koperasi yang
disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenakan tarif PPh
Badan, dengan tarif tunggal 28% (Th. 2008) dan tarif 25% (Th. 2009 dst.nya).

43


Insentif Pajak Bagi Koperasi

Pada dasarnya, apapun insentif pajak yang diberikan kepada badan usaha lainnya (PT, Fa, CV)
adalah juga berlaku bagi koperasi.
Beberapa Fasilitas Insentif pajak penghasilan dan yang dikecualikan dari pajak dalam UU PPh
No. 36 Tahun 2008 yang berlaku bagi Koperasi, antara lain :

a. Yang dikecualikan dari objek pajak berupa harta hibahan dan bantuan sumbangan kepada
koperasi, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 4 ayat 3 huruf a UU PPh No.
36 Tahun 2008).
b. Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi yang dibayarkan oleh Koperasi kepada anggotanya,
tidak dipotong PPh Pasal 23 (Pasal 23 ayat 4 huruf f UU PPh No. 36 Tahun 2008).
c. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat, deviden
berasal dari cadangan laba yang ditahan.
Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh No. 36 Tahun 2008:
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor;
d. Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2009 PPh tentang bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi, besarnya Pajak Penghasilan (Final)
adalah:
1. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan
Rp.240.000,00 per bulan; atau
2. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga
simpanan lebih dari Rp. 240.000,00 per bulan.
e. Tarif baru bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Insentif ini khusus untuk UMKM berbadan hukum yang memiliki omzet dibawah Rp. 4,84
juta per tahun atau Rp. 400 juta per bulan. Diberikan Insentif Pemotongan Tarif PPh
sebesar 50% dari Tarif Pajak Normal sebesar 25% oleh pemerintah.
f. Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun 2008 Tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha tertentu Dan Atau
Di Daerah-Daerah Tertentu.


44

Kegiatan Usaha Koperasi Yang Mendapatkan Perlakuan Khusus

Ada beberapa beberapa kegiatan usaha koperasi yang mendapatkan perlakuan khusus :

1. Koperasi yang menanamkam modalnya di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di
daerah-daerah tertentu (mendapatkan Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal
Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun 2008).

2. Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak
Penjualan atas Impor Kendaraan Bermotor Jenis Sedan untuk dipergunakan dalam usaha
Pertaksian oleh Koperasi Pengemudi Taksi mengatur Bea Masuk yang dibebaskan serta
PPN dan PPn BM yang Ditanggung Pemerintah berlaku sepanjang kendaraan bermotor
jenis sedan yang bersangkutan digunakan dalam usaha pertaksian sekurang-kurangnya
lima tahun sejak tanggal dikeluarkannya STNK (Keputusan Presiden RI Nomor 30 Tahun
1986 dan Nomor 28 Tahun 1987 Jo. Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1995).

3. Pondok Boro yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah bangunan
sederhana, berupa bangunan bertingkat atau tidak bertingkat, yang dibangun dan dibiayai
oleh perorangan atau koperasi buruh atau koperasi karyawan yang diperuntukkan bagi para
buruh tidak tetap atau para pekerja sektor informal berpenghasilan rendah dengan biaya
sewa yang disepakati, yang tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak diperoleh (Peraturan Menkeu No. 36/PMK.03/2007).

Dalam ketentuan perpajakan sesuai pasal 17 UU Nomor 7 tahun 1983 yang telah diubah
terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pengenaan pajak
koperasi dikenakan pada level net income sebelum pembagian SHU perusahaan kepada
anggota koperasi.
Ilustrasi perhitungan pajak koperasi dapat kita lihat dalam tabel berikut ini:

Income Tahun 2011 Rp 2.000.000.000,-
COGS Rp 800.000.000,-
Gross Income Rp 1.200.000.000,-
Operating Expenses Rp 500.000.000,-
Net Income before tax Rp 700.000.000,-
Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000,-
Net Income after tax Rp. 525.000.000,-


6. Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan)

Karakteristik organisasi/lembaga nirlaba berbeda dengan organisasi bisnis. Perbedaan utama
yang mendasar terletak pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk
melakukan berbagai aktivitas operasinya. Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari
sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun
dari organisasi tersebut. ( IAI, SAK Per 1 Juli 2009)
45


Yayasan adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang cukup banyak digunakan
di Indonesia yang didirikan dengan payung hukum UU No. 16 tahun 2001 Tentang Yayasan.
Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk Yayasan, berdasarkan akte notaris yang
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara RI serta diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Pada
Dalam Yayasan tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada Pengurus. Pengurus Yayasan
adalah Organ Yayasan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Bahkan setiap pengurus bertanggung jawab
penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar yang mengakibatkan kerugian yayasan atau pihak ketiga
(pasal 35 ayat 3).

Ada beberapa macam jenis Yayasan, diantaranya:
1. Yayasan Pendidikan (dari TK hingga Universitas)
2. Yayasan Keagamaan dan Sosial lainnya (Mis : Yayasan mesjid, Yayasan Panti
AsuhanYatim Piatu)
3. Yayasan Kesehatan (Mis : Poliklinik, Rumah sakit)
4. Yayasan bidang penelitian dan pengembangan (Misalnya Yayasan Lembaga Konsumen)


Perlakuan Perpajakan Yayasan

Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya Yayasan dapat melakukan
kegiatan usaha di hampir semua bidang usaha, sehingga atas penghasilan Yayasan yang
disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenakan tarif PPh
Badan, dengan tarif tunggal 28% (Th. 2008) dan tarif 25% (Th. 2009 dst.nya).
Pengakuan penghasilan maupun biaya pada yayasan sama dengan badan usaha lainnya.

Namun demikian ada beberapa kegiatan usaha Yayasan yang mendapat perlakuan khusus
seperti diuraikan berikut ini.


Kegiatan Usaha Yayasan Yang Mendapatkan Perlakuan Khusus

Ada beberapa beberapa kegiatan usaha yayasan yang mendapatkan perlakuan khusus :

1. Yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Dan Cukai dengan mengajukan
permohonan untuk dapat ditetapkan sebagai badan/lembaga yang mendapatkan fasilitas
pembebasan bea masuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
144/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Bea Masuk Dan Cukai Atas Impor Barang
Kiriman Hadiah Untuk Keperluan Ibadah Umum, Amal, Sosial dan Kebudayaan
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.04/2006, sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.04/2006). Dalam hal
ini Yayasan dapat mengajukan sebagai Badan untuk memperoleh fasilitas tsb. setiap saat
dibutuhkan.
46


2. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yakni orang pribadi yang
melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan (PER- 30/PJ/2009
dan SE-48/PJ./2009).

3. Yayasan Keagamaan dan Sosial lainnya
Sesuai Pasal 2 UU Pajak penghasilan, jenis Yayasan ini tetap digolongkan sebagai subjek
pajak penghasilan. Untuk objek pajaknya terbagi dua, sesuai orientasi bidang usaha
Yayasan. Bila Yayasannya bermotifkan keuntungan (misalnya Yayasan Universitas), maka
atas penerimaannya merupakan objek pajak penghasilan, namun sebaliknya bila
penerimaan Yayasan bukan objek pajak penghasilan (misalnya sumbangan untuk panti
asuhan yatim piatu), maka atas penerimaan tersebut tidak terutang PPh.

Sebagaimana dengan badan usaha lainnya, Yayasan juga harus melaksanakan kewajiban
pemotongan Pajak Penghasilan dalam hal Yayasan tersebut melakukan transaksi
pembayaran berbagai jasa seperti sewa, deviden, royalti, gaji karyawan.
4. Peraturan Dirjen Pajak No. PER 44/PJ./2009 tentang pelaksanaan pengakuan Sisa Lebih
yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang dikecualikan dari objek
pajak penghasilan. Yayasan pendidikan diperkenankan untuk mengakui dana
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari Sisa Lebih.
Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan
selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan
pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.

Badan atau lembaga nirlaba wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik
sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.
Pemberitahuan disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama
sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut.

Apabila setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun badan atau lembaga nirlaba tidak
menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan
dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya.

47

BAB III

Tax Planning PPh Pasal 21/26







1. Pendahuluan

Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21,
adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Bila penerima penghasilan tersebut adalah WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri
(SPDN), maka akan dikenai PPh Pasal 21, sedangkan bila Penerima Penghasilan tersebut
adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) selain Bentuk
Usaha tetap (BUT) akan dikenai PPh Pasal 26.

Dengan berlakunya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh Tahun 2008)
yang mulai berlaku tahun 2009, ketentuan pelaksanaan PPh Pasal 21 kemudian diubah dan
disesuaikan dengan Undang-Undang yang baru tersebut. Adapun beberapa dasar hukum
pengenaan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku tahun 2009 ini adalah :

1. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
2. UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (PPh);
3. PMK Nomor: 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiun.
4. PMK Nomor: 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas
Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
5. PMK Nomor: 254/PMK. 03/2008 tentang Penetapan Bagian penghasilan Sehubungan
Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Marian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap
Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
6. PER-Dirjen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/ Atau Pajak Penghasilan Pasal
26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi, yang kemudian
direvisi dengan PER-Dirjen Pajak Nomor: 57/PJ/2009.

48

2. Pemotong PPh Pasal 21

Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, meliputi:

1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan baik merupakan pusat maupun
cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas pada
Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau
lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
3. Dana pensiun badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar;

a. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri,
termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan
atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
b. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan
jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
c. honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;

5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional
dan internasional perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam
bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu
kegiatan;


3. Subyek Pemotongan PPh Pasal 21/26

Subjek Pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26 atau disebut Subjek Pemotongan
adalah orang pribadi yang menerima/memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jabatan, jasa atau kegiatan, yang meliputi :

a) Pegawai;
b) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
c) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa atau kegiatan, antara lain meliputi:

49

1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pulukis, dan seniman lainnya;
3. Olahragawan;
4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitiaan;
7. Agen iklan;
8. Pengawas atau pengelola proyek;
9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. Petugas penjaga barang dagangan;
11. Petugas dinas luar asuransi;
12. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya;
d. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:
1. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
4. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
5. Peserta kegiatan lainnya.


4. Obyek PPh Pasal 21

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, adalah:

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur; penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima
pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
2. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan
dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
4. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
5. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan
imbalan sejenis dengan nama apapun.
50

6. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. Bukan Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (deemed tax); atau
c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).


5. Non Obyek PPh Pasal 21

Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :

1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,
kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan asuransi beasiswa;
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind), kecuali natura dan
kenikmatan yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, atau diberikan oleh WP yang
dikenakan PPh Final atau dikenakan PPh berdasarkan Norma Penghitungan Khusus
(deemed profit).
3. luran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara
jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang
berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I UU PPh 2008.
Sesuai dengan PMK No.246/PMK.03/2008, penghasilan berupa beasiswa yang diterima
atau diperoleh dari WNI dari WP pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di
dalam negeri pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi
dikecualikan dari objek PPh, sepanjang penerima beasiswa tidak mempunyai hubungan
istimewa dengan pemilik, komisaris, direktur, atau pengurus dari Wajib Pajak pemberi
beasiswa.
6. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja;
Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja adalah pajak yang terutang atas penghasilan
karyawan tetap; menjadi beban/dibayarkan oleh pemberi kerja sehingga termasuk
kenikmatan. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja berbeda dengan pemberian
Tunjangan Pajak.








51

6. Kebijakan/Metode Pemotongan PPh Pasal 21

Dilihat dari siapa yang menanggung beban, maka kebijakan/metode pemotongan PPh Pasal 21
dapat dipilih oleh Wajib Pajak, yaitu :

1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)

Metode ini lazimnya disebut Metode Gross. Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang
terutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri sehingga benar-benar mengurangi
penghasilan. Istilah yang sering digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh
perusahaan.

2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)

Metode ini lazimnya disebut Metode Net. Dalam hal ini, jumlah PPh Pasal 21 yang
terutang akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang
diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena
perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh Pasal 21. Penghitungan PPh Pasal 21
tersebut tidak dilakukan dengan cara gross up. PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan
tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan karena tidak
dimasukkan sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.

3. PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjang)

Metode ini lazimnya disebut Metode Gross Up. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk
Tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah penghasilan karyawan dan
kemudian baru dikenakan PPh Pasal 21. Dalam hal ini penghitungan PPh dilakukan
dengan cara gross up di mana besarnya tunjangan pajak sama dengan jumlah PPh
Pasal 21 terutang untuk masing-masing karyawan.

Sepintas lalu kebijakan PPh Pasal 21 jenis ini akan terlihat memberatkan perusahaan
karena jumlah penghasilan karyawan akan bertambah besar sebagai akibat dari
penambahan tunjangan pajak. Namun demikian beban perusahaan tersebut akan
tereliminasi karena PPh Pasal 21-nya dapat dibiayakan.

Di samping memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama dengan PPh terutang
untuk masing-masing karyawan (metode gross up), perusahaan juga bisa memberikan
tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya berbeda dengan PPh terutang.

Dalam hal besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada tunjangan PPh Pasal
21, maka kekurangannya bisa ditanggung karyawan (dipotong) dari karyawan atau
ditanggung perusahaan. Jika kekurangannya ditanggung oleh perusahaan, maka perlakuan
perpajakannya menjadi non deductible expenses.



52


7. Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21

1. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) :

a. Penghasilan Kena Pajak, beriaku bagi :
1. Pegawai Tetap



2. Penerima Pensiun Berkala



3. Pegawai Tidak Tetap
Pegawai tidak tetap yang dibayarkan bulanan, atau pegawai tidak tetap lainnya yang
jumlah kumulatif penghasilan yang diterima sebulan melebihi PTKP sebulan untuk diri
wajib pajak sendiri/TKO (dalam hal ini sesuai UU PPh adalah Rp 1.320.000,-).



4. Bukan Pegawai, meliputi :
- Distributor MLM atau direct selling.
- Petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus pegawai.
- Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai.
- Penerirna penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan dari
Pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender.



Catatan penerapan :
Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) PMK No. 252/PMK.03/2008, Tarif psl 17 diterapkan atas
jumlah kumulatif penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh bukan pegawai,
yang dihitung setiap bulan.

b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh
Pasal 21 sesuai Pasal 21 ayat (4) UU PPh, yang berlaku bagi :

pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, mingguan, upah satuan, atau upah
borongan sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam satu bulan belum melebihi
PTKP sebulan untuk diri WP sendiri /TKO (dalam hal ini sesuai UU PPh adalah Rp
1.320.000,-).




Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Biaya Jabatan - PTKP
Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Biaya Pensiun - PTKP
Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - PTKP
Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - PTKP yang dihitung bulanan
Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Batasan Pasal 21 ayat (4)
53


Catatan :
1. Batasan Penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan sesuai Pasal 21 (4) adalah Rp
150.000,-sehari.
2. Jika jumlah kumulatif dalam sebulan sudah melebihi Rp 1.320.000,-, maka
pengurangannya adalah PTKP sebenarnya.

c. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan lainnya.

2. Pengurangan Yang Diperbolehkan

a. Biaya Jabatan
Pengurangan ini diperbolehkan tanpa memandang apakah yang bersangkutan memiliki jabatan
atau tidak. Hanya boleh dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap karena dianggap
sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari
pekerjaan/jabatannya.
Berdasarkan Per-Menkeu No. 252/PMK/2009, besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) UU PPh Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 ditetapkan sebesar 5%
(lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah)
setahun atau Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.

Penerapan biaya jabatan maksimal dalam penghitunyan PPh Pasal 21 berdasarkan atas Jumlah
bulan kerja/perolehan yang sebenarnya dari pegawai yang bersangkutan.

b. Biaya Pensiun
Hanya boleh dikurangkan dan Penghasilan Bruto seorang Pensiunan berupa uang pensiun
yang dibayarkan secara berkala (bulanan) karena dianggap sebagai biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara uang pensiun.

Berdasarkan Per-Menkeu No. 252/PMK/2009, besarnya biaya pensiun yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi
pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) UU PPh Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 ditetapkan
sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta
empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.

Biaya pensiun yang boleh diperhitungkan dalam perhitungan PPh Pasal 21 pensiunan adalah
berdasarkan bulan perolehan yang sebenarnya. Artinya, batas maksimal biaya pensiun
dihitung berdasarkan bulan perolehan pensiun pada tahun pajak yang bersangkutan.

c. luran yang terkait dengan gaji
Yaitu yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangun hari tua atau jaminan hari tua yang
dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

54

Catatan :

Pengurangan penghasilan bruto berupa iuran pensiun dan iuran JHT yang ditanggung atau
dibayar sendiri oleh karyawan biasanya hanya diperuntukkan bagi Pegawai Tetap, dengan
ketentuan :
1. Iuran pensiun yang terikat gaji dan dibayarkan kepada dana psnsiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan,
2. Iuran THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek.

luran pensiun atau THT/JHT, sebagian ditanggung oleh Pemberi Kerja, dan sebagian lagi
dibayar sendiri oleh karyawan. Yang diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto
karyawan dalam perhitungan PPh Pasal 21 hanya bagian yang dibayar sendiri oleh karyawan.

d. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam penghitungan PPh Pasal 21 merupakan batasan
penghasilan yang tidak dikenakan pajak bagi orang pribadi yang berstatus sebagai pegawai,
baik pegawai tetap, termasuk pensiunan; pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai;
termasuk juga pegawai harian lepas dan distributor multilevel marketing/direct selling maupun
kegiatan yang sejenisnya, dengan ketentuan yang berbeda-beda.

Besaran PTKP Untuk Tahun Pajak 2009

Penerima PTKP Setahun Sebulan
untuk pegawai yang bersangkutan Rp 15.840.000,- Rp 1.320.000,-
tambahan untuk pegawai yang kawin Rp 1.320.000,- Rp 110.000,-
tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta
anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 (tiga) orang
Rp 1.320.000,- Rp 110.000,-

Tarif Pajak
Tarif Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009 :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Tarif Non NPWP
sampai denyan Rp 50.000.000,- 5% 120% x 5% = 6%
di atas Rp 50.000.000,- s/d Rp 250. 000.000,- 15% 120% x 15% = 18%
di atas Rp 250.000.000,- s/d Rp 500.000.000,- 25% 120% x 25% = 30%
di atas Rp 500.000.000,- 30% 120% x 30% = 36%


Catatan :
Mulai 1 Januari 2009, sesuai dengan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh 2008, Wajib Pajak orang
pribadi yang tidak mempunyai NPWP akan dikenakan tarif pajak lebih tinggi sebesar 20%
dari tarif normal yang berlaku.


55

Penghitungan PPh Pasal 21 bersifat final
Penghitungan PPh Pasal 21 bersifat final dikenakan kepada :
a. Penerima uang pesangon, uang tebusan pensiun, THT, atau JHT yang dibayar sekaligus
(PP No.149 Tahun 2000)
Pesangon/tebusan pensiun, THT sampai Rp 25 juta tidak dikenakan PPh Pasal 21.
Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 25 juta s.d. Rp 50 juta dikenakan tarif 5%.
Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 50 juta s.d. Rp 100 juta dikenakan tarif
10%.
Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 100 juta s.d. Rp 200 juta dikenakan tarif
15%.
Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 200 juta dikenakan tarif 25%.

b. Honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh Pejabat Negara,
PNS, anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau
Keuangan Daerah, kecuali yang dibayarkan kepada PNS golongan II d ke bawah dan
anggota TNI/POLRI berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau Ajun Inspektur
Tingkat Satu ke bawah.

Penghitungannya dilakukan dengan menerapkan tarif 15% x penghasilan bruto.

Catatan :

Ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai pengenaan PPh Pasal 21 Final atas uang
pesangon dan honorarium untuk PNS masih menunggu PP dan PMK-nya.

Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi WP Luar Negeri
Dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20 % x Penghasilan bruto, kecuali bila ada tax treaty
dengan negara yang bersangkutan maka tarif berdasarkan tax treaty itulah yang
dipedomani.


8. Rekonsiliasi Obyek PPh Pasal 21

Untuk meyakinkan bahwa atas seluruh obyek PPh Pasal 21 telah dipotong pajaknya, maka
perlu dilakukan rekonsiliasi antara data laporan keuangan baik yang berasal dari akun neraca
maupun akun biaya. Jika penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan oleh bagian SDM, maka
rekonsiliasi juga harus dilakukan untuk data SDM dengan data SDM (seperti data payroll)
dengan data yang ada di bagian akuntansi/keuangan (seperti data ledger/buku besar).
Rekonsiliasi ini sangat berguna dalam rangka pelaksanaan pengendalian dan pembuktian
bahwa seluruh obyek PPh Pasal 21 telah dipotong PPh-nya. Hal semacam ini akan
memudahkan Wajib Pajak ketika diperiksa oleh Petugas Pajak di kemudian hari.

Dalam hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip umum, yaitu
Taxability-Deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable income (penghasilan yang
Objek PPh), maka di perusahaan menjadi deductible expense (biaya) atau sebaliknya jika di
karyawan merupakan non taxable income (bukan penghasilan yang bukan Objek PPh), maka
56

di perusahaan menjadi non deductible expense (bukan biaya). Perlakuan ini bergantung pada
kebijakan yang ditempuh oleh perusahaan. Dengan prinsip tersebut akan senantiasa terdapat
pihak yang dikenakan pajak, apakah di karyawan dalam bentuk PPh Pasal 21 atau di
perusahaan dalam bentuk PPh badan.

Namun demikian, terdapat beberapa penyimpangan dari prinsip umum tersebut bila diatur
secara khusus oleh ketentuan perpajakan. Misalnya terdapat pembayaran kepada karyawan
yang bersifat non taxable, tetapi bagi perusahaan tetap merupakan deductible expense atau
terdapat pembayaran kepada karyawan yang bersifat taxable, tetapi di perusahaan bersifat non
deductible expense.


9. Taxability dan Deductibility Objek PPh Pasal 21

Strategi Memaksimalkan Pengurangan (Maximizing Deductions)

Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos apa-apa saja
yang dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak
penghasilan) dan pos apa-apa saja yang dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan
bruto), yang mekanismenya jika pada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan
dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan
penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya bila pada pihak karyawan pemberian
imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja
tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).

Prinsip Taxability Deductibility merupakan prinsip dasar yang lazim dipakai dalam
perencanaan pajak, yang pada umumnya mengubah/menkonversikan penghasilan yang
merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang tidak objek pajak atau sebaliknya
mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan
konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan/konversi tersebut.
Apakah perubahan jumlah pajak terutang akan menjadi lebih besar atau lebih kecil atau sama
dengan jumlah pajak terutang akibat koreksi fiskal, apabila dilakukan pengubahan tersebut,
tentunya harus dipertimbangkan mana alternatif yang lebih menguntungkan perusahaan,.

Jika kondisi keuangan perusahaan dalam keadaan baik dan kinerja perusahaan menghasilkan
laba besar, maka salah satu alternatif yang direkomendasikan adalah dengan mengkaji mana
yang lebih menguntungkan antara memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk
tunjangan (uang) atau dalam natura (benefit in kind).

Prinsip Taxability-Deductibility Mengenai Imbalan (Natura/Uang)
Jenis Imbalan Perlakuan Biaya Bagi
Perusahaan/Pemberi Kerja
Perlakuan PPh Ps. 21
Bagi Penerima
Imbalan dalam bentuk uang Deductible Taxable
Imbalan dalam bentuk natura Non Deductible Non Taxable
57



Sebagai penjabaran pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind) kepada
para pegawai diberikan contoh sebagai berikut :

Dalam tahun 2010, PT. ABx menyediakan dokter dan pemberian obat-obatan dengan cuma-
cuma untuk pemeliharaan kesehatan para pegawainya sebanyak 1.000 orang, termasuk ongkos
melahirkan berjumlah Rp 360 juta setahun atau rata-rata biaya untuk pemeliharaan kesehatan
setiap pegawai setiap bulannya berjumlah (1/12 x 360 juta) : 1000 = Rp 30.000 atau sama
dengan Rp 1.000 per orang per hari. Upah rata-rata pegawainya diasumsikan masih sebatas
UMR.

- Sebelum tax planning : Berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan, benefit
in kind (seperti biaya berobat ke dokter dan obat) sebesar Rp. 360 juta bukan merupakan
objek pajak penghasilan (non taxable), sehingga tidak bisa dipajaki atas penghasilan
tersebut. Sebaliknya, dari sudut pandangan perusahaan yang mengeluarkan biaya tersebut,
secara komersial merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan,
tetapi secara fiskal (pasal 9 ayat 1 huruf e. UU PPh) merupakan biaya yang tidak boleh
dikurangkan (non deductible), sehingga harus dilakukan koreksi fiskal.

Konsekuensinya : Oleh karena biaya tersebut merupakan biaya fiskal yang tidak boleh
dikurangkan, maka akibat koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak, menimbulkan
tambahan pajak (PPh Badan) tahun 2010 sebesar : 25% % x Rp 360 juta = Rp 90 juta.

- Sesudah tax planning : Dengan mengubah pemberian dalam bentuk natura dan
kenikmatan (seperti dokter dan obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang), maka secara
fiskal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan kesehatan yang diberikan dalam bentuk
uang tersebut merupakan penghasilan yang dipajaki (taxable) dan dilain pihak berdasarkan
pasal 6 ayat 1 huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto perusahaan (deductible).

Solusi yang dianjurkan : untuk menghindarkan koreksi fiskal tersebut, PT. ABx
memberikan tunjangan kesehatan (tunai) sebagai pengganti daripada penyediaan dokter
dan pemberian obat dengan cuma-cuma tersebut, yang akan menambah penghasilan
pegawai yang bersangkutan yang akan dipajaki (taxable) sebesar Rp 360 juta sedangkan
dilain pihak bagi jumlah tersebut merupakan biaya yang boleh dikurangkan (deductible).

Pajak penghasilan yang dapat dihemat akibat dilakukan perubahan tersebut adalah
sebesar 25 % x Rp 360 juta = Rp. 90 juta.
Sedangkan dampak pajak (PPh Pasal 21) bagi pegawai yang bersangkutan, akibat
penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan diganti dengan tunjangan kesehatan yang
merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan, praktis tidak ada beban tambahan
pajak, karena penghasilannya (asumsi masih sebatas UMR) masih dibawah Penghasilan
Tidak Kena Pajak.

Di satu sisi, ditinjau dari segi komersial, biaya fiskal yang besar tersebut tampaknya seperti
suatu pemborosan/inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan kesehatan (tunai),
58

namun harus pula diperhatikan bahwa kebijakan tersebut akan berdampak pada laba sebelum
pajaknya akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya beban PPh Badan yang terutang pun akan
menjadi lebih kecil. Namun yang lebih penting harus diperhatikan bahwa strategi perpajakan
bukanlah satu-satunya alat untuk pengambilan keputusan, jangan sampai strategi perpajakan
ini menghambat strategi komersial lainnya tetapi harus saling sinergis satu sama lainnya untuk
mencapai tujuan perusahaan.

Untuk menyakinkan bahwa objek pajak penghasilan pasal 21 telah dipotong pajaknya, berikut
daftar transaksi yang berhubungan dengan prinsip Taxability-Deductibility, yakni mana yang
menjadi objek pajak maupun bukan objek pajak baik bagi karyawan maupun perusahaan.

Tabel III-1
DAFTAR OBYEK DAN TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

NO. OBYEK PAJAK TARIF SIFAT
I. PPh Pasal 21
1. Penghasilan yang Diterima oleh Pegawai Tetap Pasal 17
UU PPh
PKP = PB (BJ + IP) PTKP
2. Uang Pensiun Bulanan yang Diterima Pensiunan Pasal 17
UU PPh
PKP = (PB BP) PTKP
3. Pegawai Tidak Tetap yg Penghasilannya Dibayar Pasal 17
UU PPh
PKP = (PB Disetahunkan PTKP
Setahun)

secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yg
diterima dlm satu bln kalender telah melebihi
Rp.1.320.000.


4. Upah yang Diterima oleh tenaga kerja lepas berupa
Upah harian/mingguan/satuan/borongan
dan uang saku harian :
a. Upah/Uang Saku Harian atau Rata2 Upah/Uang
Saku Tidak > Rp150.000 dan jumlah kumulatif dlm
0% Tidak Terutang PPh Pasal 21
satu bulan kalender tidak > Rp. 1.320.000
b. Upah/Uang Saku Harian atau Rata2 Upah/Uang
Saku tidak > Rp150.000, dan jumlah kumulatif
5% (Upah/Uang Saku Harian atau
Rata
2
Upah/ Uang saku

dlm satu bulan kalender tidak > Rp. 1.320.000 harian - Rp. 150.000)
c. Upah Kumulatif dlm Bulan Kalender >
Rp1.320.000 dan < Rp 6 juta
5% (Upah/Uang Saku Harian atau
Rata
2
Upah/ Uang saku

harian - PTKP sebenarnya/360)
d. Penghasilan Kumulatif dlm Satu Bulan Kalender >
Rp 6 juta

Pasal 17
UU PPh
PKP Disetahunkan = (PB
Disetahunkan PTKP Setahun)

5. Honorarium yang Diterima Dewan Komisaris/
Pengawas yg tidak merangkap sebagai pegawai tetap
Pasal 17
UU PPh
Penghasilan Bruto Kumulatif Satu
Tahun Kalender


6. Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus yang
Diterima mantan pegawai
Pasal 17
UU PPh
Penghasilan Bruto Kumulatif Satu
Tahun Kalender


7. Penarikan Dana pada Dana Pensiun oleh Pensiunan Pasal 17
UU PPh
Penghasilan Bruto Kumulatif Satu
Tahun Kalender

8. Honorarium dan Pembayaran Lain yg Diterima oleh
Tenaga Ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter,
Pasal 17
UU PPh
Penghasilan Bruto Kumulatif Satu
Tahun Kalender

Konsultan, Notaris Penilai dan Aktuaris) sebagai
imbalan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan
kegiatan


59

9. Imbalan yg Bersifat Berkesinambungan yg Diterima
oleh Orang Pribadi Dalam negeri Bukan Pegawai

Selain tenaga Ahli :
a. Bagi yg Telah Memiliki NPWP dan Hanya
Menerima Penghasilan dari Pemotong Pajak ybs.
Pasal 17
UU PPh
PKP = PB PTKP Per Bulan

b. Bagi yg Tidak Memiliki NPWP atau Menerima
Penghasilan dari selain Pemotong pajak ybs.
Pasal 17
UU PPh
Penghasilan Bruto Kumulatif Satu
Tahun Kalender


10. Imbalan yg Tidak Bersifat Berkesinambungan yg
Diterima oleh Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan
Pasal 17
UU PPh
Penghasilan Bruto
Pegawai Selain tenaga Ahli


11. Penghasilan yang Diterima Peserta Kegiatan : Pasal 17
UU PPh
Penghasilan Bruto untuk Setiap
Pembayaran Utuh

12. Uang Tebusan Pensiun, uang THT/JHT, Pesangon,
Uang THT/JHT, Pesangon yg diterima pegawai/
mantan :


a. Rp. 0 juta s.d Rp. 50 juta 0% Penghasilan Bruto Final
b. > Rp. 50 juta s.d Rp. 100 juta 5% Penghasilan Bruto Final
c. > Rp. 100 juta s.d Rp. 500 juta 15% Penghasilan Bruto Final
d. > Rp. 500 juta

25% Penghasilan Bruto Final
13. Honorarium yang Dananya dari Keuangan
Negara/Daerah yang diterima oleh Pejabat Negara,
15% Penghasilan Bruto Final
PNS, Anggota TNI/Polri, kecuali PNS Gol II/d ke
bawah atau anggota Polri dengan pangkat Pembantu
Letnan Satu atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke
bawah


14. Penghasilan dari Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan yang
Diterima oleh Tenaga Asing (expatriate)
Pasal 17
UU PPh
PKP = (PB (BJ + IP) PTKP
yanga telah berstatus sebagai WPDN
Sumber : Softindo Exact Library Enterprise April 2012

Tabel III-2

DAFTAR BIAYA FISKAL


NO DEDUCTIBLE
EXPENSE
NON
DEDUCTIBLE
KETERANGAN
(Objek Pemotongan
Pajak Penghasilan)
DASAR HUKUM
1. Biaya yang Dikeluarkan untuk
Mendapatkan, Menagih dan Memelihara
Penghasilan

- Prinsip Realisasi D Pasal 28 UU KUP
- Konservatis/Penyisihan ND Pasal 28 UU KUP
2. Biaya yang Dikeluarkan untuk
Mendapatkan, Menagih dan Memelihara
Penghasilan yang Bukan Obyek Pajak atau
Pengenaan PPh-nya Final
ND
3. Gaji/Upah D Objek PPh Ps 21 Pasal 6 Huruf a UU PPh
4. Tunjangan PPh Pasal 21 D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
5. PPh Dibayar Perusahaan

ND Pasal 9 Huruf h UU PPh
Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009





DAFTAR BIAYA FISKAL


60

6. Premi Asuransi Jiwa Pegawai Dibayar
Perusahaan Sepanjang Menambah
Penghasilan Pegawai
D Objek PPh Ps 21 Pasal 9 Huruf d UU PPh
7. Premi Asuransi Jiwa Pemilik/Pemegang
Saham dan Keluarganya

ND Pasal 9 Huruf j UU PPh
8. Iuran Jamsostek

PP No.14 tahun 1993
a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) D Objek PPh Ps 21 Pasal 9 Huruf d UU PPh
b. Jaminan Kematian (JKM) D Objek PPh Ps 21 PP No.14 tahun 1993
c. Jaminan Pelayanan Kesehatan D Objek PPh Ps 21 PP No.14 tahun 1993
d. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT)
(Jamsostek) :

PP No.14 tahun 1993
- Dibayar Perusahaan D Pasal 6 Huruf a UU PPh
- Dibayar Pegawai (Bagi Pegawai untuk
Menghitung PPh Pasal 21
D Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
9. Iuran Pensiun ke Dana Pensiun yang
Disahkan Menteri Keuangan
D Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
- Dibayar Perusahaan D Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
- Dibayar Pegawai (Bagi Pegawai untuk
menghitung PPh Pasal 21
D Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
10. Iuran Pensiun ke Dana Pensiun yang
Belum Disahkan Menteri Keuangan

ND Pasal 6 Huruf c UU PPh
11. Tunjangan Hari Raya D Objek PPh Ps 21 Pasal 6 Huruf a UU PPh
12. Uang Lembur D Objek PPh Ps 21 Pasal 6 Huruf a UU PPh
13. Pengobatan

Pasal 6 Huruf a UU PPh
a. Cuma-Cuma (Langsung ke Rumah
Sakit)

ND Pasal 6 Huruf e UU PPh
b. Penggantian Pengobatan D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
c. Tunjangan Pengobatan D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
14. Pemberian Imbalan dalam Bentuk Natura
dan Kenikmatan (Misal Makan/Minum,
Beras dsb)

ND Pasal 9 Huruf e UU PPh
15. Pemberian Makan kepada Crew Kapal dan
Pesawat dalam Perjalanan
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
16. Pemberian dalam Bentuk Natura dan
Kenikmatan
PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
a. Pengeluaran untuk Penyediaan
Makanan/Minuman bagi Seluruh Pegawai,
termasuk Dewan Direksi dan Dewan
Komisaris di Tempat Kerja
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
b. Penggantian dalam Bentuk Natura dan
Kenikmatan di Daerah Tertentu

PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
- Tempat Tinggal/Perumahan Pegawai
Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak
Tersedia
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
- Pelayanan Kesehatan Sepanjang Fasilitas
Tersebut Tidak Tersedia
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
- Pendidikan Pegawai dan Keluarganya
Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak
Tersedia
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
61

- Pengangkutan bagi Pegawai dan
Keluarganya Sepanjang Fasilitas Tersebut
Tidak Tersedia
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
- Olahraga bagi Pegawai dan Keluarganya
Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak
Tersedia. Sarana Olahraga Tidak Termasuk
Golf, Boating, Pacuan Kuda
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
c. Dalam Rangka dan Berkaitan dengan
Pelaksanaan Kerja

PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
- Beban Antar Jemput Karyawan D



PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
- Penyediaan Makan/Minum untuk Awak
Kapal dan Pesawat
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
d. Untuk Keamanan/Keselamatan Kerja
yang Diwajibkan, Misalnya Pakaian dan
Peralatan bagi Pegawai Pemadam
Kebakaran, Proyek, Pakaian Seragam
Pabrik, Hansip/Satpam
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
e. Berkenaan dengan Situasi Lingkungan,
Misal :
PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
- Pakaian Seragam Pegawai Hotel/Penyiar
TV
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
- Makan Tambahan bagi Operator
Komputer/Pengetik
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
- Makan/Minum Cuma-Cuma bagi
Pegawai Restoran
D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER
51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1
huruf e UU No. 36 tahun 2008
17. Pembebanan yang Masa Manfaatnya Lebih
dari Satu Tahun, dengan Cara Penyusutan
Sesuai Pasal 11 UU No.17 Tahun 2000
D Pasal 6 Ayat (1) UU PPh
18. Cuti Pegawai
a. Diberikan Uang Cuti D Objek PPh Ps 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a UU PPh
b. Tunjangan Cuti D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
c. Dibayar Perusahaan ND Pasal 9 Huruf e UU PPh
19. Perjalanan Dinas Pegawai
a. Didukung Bukti-Bukti yang
Sah/Dipertanggung jawabkan
D Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a UU PPh
b. Lumpsum (Tidak Didukung Bukti-
Bukti)
ND Pasal 9 Huruf e UU PPh
c. Lumpsum Dianggap Honor Pegawai D Objek PPh Ps 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a UU PPh
d. Honor/Uang Saku D Objek PPh Ps 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a UU PPh
e. Fiskal Luar Negeri Dibayar Perusahaan,
Merupakan PPh Pasal 25 Dibayar dengan
SSP, Ditulis Nama Pegawai q.q. Nama
Perusahaan dengan NPWP Perusahaan
atau dengan Tanda Bukti FLN
ND PP No.2 tahun 2000
f. Biaya Piknik/Rekreasi ND Pasal 9 Huruf e UU PPh
20. Bonus atas Prestasi Kerja yang
Dibebankan pada Tahun Berjalan
D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
21. Biaya Seminar, Penataran, Kursus
(Pendidikan) di Dalam Negeri.
D Pasal 6 Ayat (1) UU PPh
62

22. Honor/Uang Saku Pegawai yang
Mengikuti Seminar dsb
D Objek PPh Ps 21 Pasal 6 Ayat (1) UU PPh
23. Bea Siswa
a. Ada Ikatan Kerja dengan Perusahaan D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
b. Tidak Ada Ikatan Kerja dengan
Perusahaan (Sumbangan)
ND Per-31/PJ./2009 Jo. Per
57/PJ./2009
24. Sumbangan ke Karyawan dalam Bentuk
Uang
D Objek PPh Ps 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a UU PPh

25. Kendaraan Perusahaan yang Dibawa
Pulang dan Dikuasai Pegawai :
Pasal 6 Ayat (1) Huruf b UU
PPh
a. Penyusutan ND
b. Biaya Reparasi/Pemeliharaan ND
c. Bahan Bakar/Oli dsb ND
26. Perumahan Perusahaan dan Asrama Penjelasan Pasal 9 Ayat (1)
Huruf b UU PPh jo Penjelasan
Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU
PPh
a. Pegawai yang Menempati Tidak Diberi
Tunjangan Perumahan

- Penyusutan Rumah ND
- Biaya Eksploitasi Rumah ND
Pegawai yang Menempati Diberi
Tunjangan Perumahan Minimal Sebesar
Biaya Penyusutan dan Biaya Eksploitasi

- Tunjangan Perumahan D Objek PPh Ps 21
- Biaya Penyusutan Rumah D Objek PPh Ps 21
- Biaya Eksploitasi Rumah D Objek PPh Ps 21
27. Mess untuk Transit, Pendidikan
(Sementara)
83/PMK.03/2009
a. Biaya Penyusutan D
b. Biaya Eksploitasi D
28. Sewa Rumah Pegawai yang Tidak Diberi
Tunjangan Sewa Minimal Sebesar Sewa
Rumah Tersebut
ND PPh Pasal 4 (2) Pasal 9 Huruf e UU PPh
29. PPh Sewa Rumah Dibayar Perusahaan ND Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a UU PPh
30. Diberikan Uang Sewa Rumah D PPh Pasal 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a UU PPh
31. Uang Pesangon D PPh Pasal 21 PER-31/PJ./2009
32. Upah Borongan Pekerjaan ke Orang
Pribadi
D PPh Pasal 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a UU PPh
33. Imbalan ke Pegawai yang Merupakan
Pemegang Saham (25% Ke Atas)
D
a. a. Gaji yang wajar D PPh Pasal 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a UU PPh
43. Beban Litbang yang Dilakukan di
Indonesia dalam Jumlah yang Wajar untuk
Menemukan Teknologi/Sistem Baru bagi
Pengembangan Perusahaan :

a. Gaji/Honor Pegawai D PPh Pasal 21


Sumber : Softindo Exact Library Enterprise April 2012

D = Deductible ND = Non Deductible

63


Berasarkan Tabel diatas, maka Prinsip Taxability-Deductibility tersebut dapat dituangkan
dalam daftar untuk beberapa transaksi yang menjadi Objek PPh Pasal 21 dan perlakuan
pajaknya seperti terlihat dalam Tabel berikut ini :



Tabel III-3
Prinsip Taxability-Deductibility

No Objek PPh Pasal 21 Pemberi
Kerja
(PPh Badan)
Pegawai
(Taxable/
Non Taxable) *)
Keterangan
1 Gaji, Lembur, Bonus, Intensif Deductible Taxable
2 Honorarium,Upah,Uang saku
dan sejenisnya
Deductible Taxable
3 Tunjangan yang diberikan
dalam bentuk uang
Deductible Taxable
4 Honorarium yang Diterima Dewan
Komisaris/ Pengawas yg tidak
merangkap sebagai pegawai tetap
Deductible Taxable
5 Pesangon Deductible Taxable Dipotong PPh Final
6 Premi Jamsostek JKK/JKM,
Asuransi Kesehatan,
kecelakaan, kematian, beasiswa
dan asuransi dwiguna yang
ditanggung pemberi kerja
Deductible Taxable Bila tdk dimasukan sbg
penghasilan karyawan maka
merupakan ND
7 Pemberian Natura/Kenikmatan Non Deductible Non Taxable Kecuali yang diatur khusus,
mis : kenikmatan didaerah
terpencil adalah BD
8 PPh Pasal 21 ditanggung
Perusahaan
Non Deductible Non Taxable
9 PPh Pasal 21 di Gross-Up oleh
Perusahaan
Deductible Taxable
10 Iuran dana pensiun yang di
tanggung Perusahaan
Deductible Non Taxable Dana Pensiun telah
disahkan oleh Menteri
Keuangan
11 JHT yang ditanggung
perusahaan (3,7%)
Deductible Non Taxable Taxable pada saat JHT
diterima pegawai ybs.
12 Pengobatan Cuma-Cuma
(Langsung ke Rumah sakit)
Non Deductible Non Taxable
13 Penggantian Pengobatan Deductible Taxable Bila dimasukan sebagai
penghasilan karyawan
14 Tunjangan Pengobatan Deductible Taxable Bila dimasukan sebagai
penghasilan karyawan
15 Pemberian Natura/ kenikmatan
didaerah terpencil
Deductible Non Taxable KEP.51/PJ/2009, Fasilitas
Pajak
16 Pemberian Makanan dan
Minuman kepada seluruh
karyawan ditempat kerja.
Deductible Non Taxable KEP.51/PJ/2009, Fasilitas
Pajak
17 Biaya Antar jemput karyawan Deductible Non Taxable KEP.51/PJ/2009, Fasilitas
Pajak
64

18 Biaya Perjalanan dinas Deductible Taxable Hanya atas uang saku, bila
diberikan dalam lump sum,
maka seluruhnya menjadi
objek PPh Pasal 21
19 Imbalan jasa profesional dan
jasa lainnya
Deductible Taxable Jika pemberi jasa adalah
WP badan maka objek PPh
psl 23
20 Tantiem Non Deductible Taxable SE-06/PJ.44/1999
21 Bonus, Gratifikasi, Jasa
Produksi yang dibebankan ke
laba ditahan
Non Deductible Taxable SE-06/PJ.44/1999
22 Pemberian natura dan
kenikmatan yang diberikan oleh
WP yang dikenai PPh Final atau
WP yang menghitung pajaknya
berdasarkan Norma
Penghitungan khusus (Deemed
profit dan/atau deemed tax)
Non Deductible Taxable
23 Kendaraan dinas yang
digunakan untuk pegawai
tertentu karena pekerjan atau
jabatannya
Deductible
(50%)
Non Taxable KEP-220/PJ/2002
24 Akun piutang atau biaya yang
dibayar dimuka yang berkaitan
dengan Objek PPh Pasal 21
Deductible
(bertahap)
Taxable
Sumber : Softindo Exact Library Enterprise, April 2012

*) Taxable = Objek Pemotongan PPh Ps.21;
Non Taxable = Bukan Objek Pemotongan PPh Ps.21



10. Terapan Tax Planning Terkait Dengan PPh Pasal 21

1. Klausul Pajak di Dalam Perjanjian/Kontrak Kerja

Dalam beberapa kasus praktis tidak jarang terjadi timbul konflik dalam bisnis, dimana
kewajiban pemotongan PPh Pasal 21/Pasal 26 yang mestinya dipotong dari penghasilan orang
pribadi penerima penghasilan, sewaktu dilaksanakan pemotongannya pihak yang dipotong
pajak tidak bisa menerimanya sehingga berujung pada terjadinya dispute.

Secara normatif Undang-Undang perpajakan telah mewajibkan perusahaan pemilik proyek/
pemberi kerja melaksanakan pemungutan/pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak ketiga,
sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya dengan alasan
pada saat Perjanjian/Kontrak Kerja disepakati, masalah pajak tidak dibahas sehingga mereka
bersikukuh bahwa harga kontrak yang disepakati sudah tidak dipotong pajak lagi (Net)! Secara
hukum, alasan pihak kontraktor tersebut diatas memiliki justifikasi hukum yang kuat, sehingga
bila pada akhirnya pemilik proyek/pemberi kerja terpaksa mengalah dan harus menanggung
pajaknya, tentu merupakan tambahan beban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tambahan
65

beban bagi pemilik proyek/pemberi kerja tesebut adalah merupakan suatu jumlah yang
signifikan yang nantinya akan mengerus profit perusahaan.

Terkait dengan masalah perpajakan tersebut sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan, antara lain meliputi:
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, yang dikenakan tarif 50% (lima
puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong sebesar 50% x Nilai
Proyek x Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a.
Sehubungan dengan pemberian jasa selain pegawai, selain tenaga ahli, yang dalam
pemberian jasanya mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya dan/atau melakukan
penyerahan material/bahan, dengan pengenaan tarif sebesar Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a
dari Nilai Proyek.

Fenomena tersebut sering terjadi dalam pembuatan Perjanjian/Kontrak Kerja yang tidak
mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum Perjanjian/Kontrak Kerja
ditandatangani harus dipastikan :
Pemuatan klausul pajak dalam Perjanjian/Kontrak Kerja, yang mensyaratkan pajak
terutang harus dihitung berdasarkan nilai

kontrak (diluar harga pokok barang), yakni
dikenakan dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21/Pasal 26, Pemberi Kerja wajib
memotong dari pembayarannya.
Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung PPh Pasal
21/Pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan pada klausul
tersebut.

Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini
ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik
proyek akan dikenakan kewajiban untuk membayar PPh Pasal 21 yang terutang ditambah
denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.

Dari kasus ini jelas bahwa Tax Planning memerlukan dukungan dari beberapa divisi dalam
perusahaan pemilik proyek/pemberi kerja, antara lain divisi pengadaan/ logistik, divisi SDM,
dan divisi hukum. Untuk menghindari timbulnya kerugian di kemudian hari di luar anggaran
yang direncanakan, maka semua divisi yang terkait sudah harus mempertimbangkan aspek
perpajakan atas klausul Perjanjian/Kontrak Kerja yang hendak dibuat seperti beban pajak yang
terutang dan siapa yang akan menanggung pajaknya.

2. Pajak Ditanggung Pemberi Kerja atau Tunjangan Pajak Secara Gross-up?

Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausul yang menyatakan, bahwa nilai kontrak
sudah net, tidak termasuk pajak, atau pajak ditanggung perusahaan/pemberi kerja.
Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara hati-hati, karena akan berdampak pada
pemotongan pajak dan pembebanan biaya di PPh Badan.

66

Tidak termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi kerja, atau
ditanggung oleh perusahaan/pemberi kerja. Hal ini akan mengakibatkan PPh yang
ditanggung oleh perusahaan/pemberi kerja tidak dapat dibiayakan di SPT PPh Badan (non-
deductible expenses).

Apabila ingin agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan, maka
penghitungan PPh harus menggunakan metode gross-up dari PPh hasil penghitungan
gross-up tersebut dimasukkan ke dalam nilai kontrak (termasuk invoice dan Faktur Pajak)
atau menambah penghasilan dari pihak yang memperoleh penghasilan. Dengan kata lain
diberikan tunjangan pajak sebesar PPh yang terutang.

Kita lihat ilustrasi honorarium pemberian jasa oleh orang pribadi berikut ini :

Net (Tidak Gross-up) Gross-up
Nilai Pekerjaan 10.000.000,- Nilai Pekerjaan 10.000.000,-
PPh 5% 500.000,- PPh 5% 526.316,-
Nilai Kontrak (net)
10.000.000,-
Nilai Kontrak
10.526.316,-

Catatan :

1) Tarif honorarium untuk pemberian jasa oleh orang pribadi adalah Tarif Pasal 17 dari nilai
bruto dan PPh yang ditanggung pemberi kerja sebesar Rp 500.000,- tanpa gross-up dan
tidak mengubah nilai kontrak, maka sejumlah PPh tersebut tidak dapat dibiayakan.

2) PPh dihitung dengan metode gross-up dan menambah nilai kontrak. 5% x Rp 10.000.000,-
x 100/(100 - 5) = Rp 526.316,-

PPh sejumlah tersebut menjadi unsur biaya yang bersifat deductible expenses, karena bagi
si penerima menjadi unsur penghasilan.
Mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan? Harus dipertimbangkan lebih jauh lagi.

Secara sederhana dapat diilustrasikan :

Jika secara fiskal perusahaan masih merugi, gross-up justru akan menambah beban
PPh Pasal 21 tanpa mempengaruhi PPh Badan terutang, pengaruhnya pada kompensasi
kerugian. Dari cash-flow timbul pengeluaran yang justru lebih besar, dan jika
mempertimbangkan time value of money mungkin saja manajemen memilih tidak perlu
melakukan gross-up.

Sebaliknya jika perusahaan mendapat laba fiskal dan sudah dikenai PPh tarif tertinggi,
metode gross-up dapat menghasilkan penghematan dari selisih tarif antara PPh Badan
dengan tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan.

Kasus ini juga dapat digunakan untuk mempertimbangkan, apakah perusahaan akan
menanggung PPh atas penghasilan karyawan atau akan diberikan tunjangan PPh
dengan metode gross-up.
67


3. Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum Atau Reimbursement

Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan, ataupun jenis
pengeluaran perusahaan lainnya juga seringkali menimbulkan aspek pajak berbeda.

Pembayaran secara lump-sum akan mengakibatkan PPh Pasal 21 dihitung dari
seluruh nilai yang dibayarkan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat biaya lainnya,
misal: transportasi, akomodasi dan sebagainya.

Pengertian lump-sum di sini, perusahaan memberikan sekaligus dalam jumlah tertentu,
yang meliputi uang saku, transport, akomodasi, atau unsur biaya lainnya, tanpa disertai
dengan pertanggungjawahan dan bukti atas penggunaannya.

Sedangkan dalam prosedur reimbursement, pembayaran disertai dengan kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan meminta bukti pengeluaran. Apabila
terjadi kelebihan, harus dikembalikan ke perusahaan, apabila terjadi kekurangan dapat
dimintakan kembali (reimbursement). PPh Pasal 21 hanya akan dihitung dari uang saku
atau tunjangan berupa uang lainnya yang benar-benar diterima/diperoleh karyawan.

4. Pemberian Tunjangan Makan atau Disiapkan Makan Bersama?

Sejak berlakunya UU PPh Tahun 2000, makanan dan minuman bagi karyawan sudah boleh
dibiayakan di PPh Badan (deductible expenses). Mungkin perlu dikaji, apakah perusahaan
masih hendak memberikan tunjangan makan atau hendak disiapkan makan bersama sebagai
pengganti tunjangan makan?

Dari sisi PPh Badan, dengan asumsi jumlah beban yang sama, keduanya tidak menimbulkan
pengaruh apapun karena sama-sama bisa dibiayakan (lihat Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh
2008), tetapi pemberian tunjangan makan akan mengakibatkan bertambahnya PPh Pasal 21.

Apabila hanya dipandang dari sisi fiskal, tentu lebih menguntungkan jika disiapkan makan
bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam praktiknya menggunakan jasa
catering, harus diingat timbulnya kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari
penghasilan bruto!

Tentunya harus dikaji keseluruhan aspek terhadap perusahaan. Misalnya dari sudut psikologi
karyawan, apakah menimbulkan gejolak atau tidak? Menguntungkan atau merugikan, tentu
harus dilihat dari keseimbangan keseluruhan sistem yang ada.

5. Pemberian Tunjangan Kesehatan atau Diberikan Fasilitas Pengobatan?

Untuk biaya kesehatan perusahaan memiliki pilihan dengan memberikan tunjangan
kesehatan/mediral atau menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan atau menggunakan
metode reimbursement biaya pengobatan.

68

Bila perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan, maka perlakuan pajaknya
bersifat taxable-deductible. Artinya, tunjangan kesehatan merupakan obyek PPh Pasal 21
bagi karyawan (penghasilan) dan merupakan biaya bagi perusahaan.
Bila perusahaan menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan, maka perlakuan
pajaknya bersifat non taxable non deductible. Artinya hal itu bukan penghasilan bagi
karyawan dan bukan biaya bagi perusahaan.

Bila perusahaan menggunakan metode reimbursement dalam memberikan biaya
pengobatan maka perlakuan pajaknya;

bersifat non taxable non deductible, bila persyaratan reimbursement dapat dipenuhi
yaitu tidak boleh ada mark up, bukti asli diserahkan ke perusahaan, bukti dibuat atas
nama perusahaan atau atas nama karyawan qq perusahaan, dan diatur dalam kontrak
kerja antara perusahaan dengan karyawan.

bersifat taxable deductible, bila persyaratan reimbursement di atas tidak dapat
dipenuhi. Dalam hal ini esensinya adalah bahwa karyawan menerima uang dari
perusahaan yang kemudian digunakan untuk membayar biaya pengobatan oleh
karyawan.

Beberapa transaksi lainnya dalam hubungannya dengan kompensasi bagi karyawan akan
dibahas juga di dalam perencanaan pajak yang berkaitan dengan PPh Badan.

6. Meminimalkan Tarif Pajak (PPh Pasal 21)

Penerapan Tax Planning Dalam PPh Pasal 21, antara lain :

1. Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan pajak bersifat final, diupayakan
seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan
kenikmatan (benefit in kinds) karena pengeluaran benefit in kind tersebut untuk tujuan
fiskal tidak dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan. Sebagai gantinya untuk
kesejahteraan pegawai diberikan dalam bentuk tunjangan, sehingga bisa dibiayakan
(mengurangi profit).

2. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final, memberikan
tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan merupakan salah satu
pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh Ps. 21. Pilihan pemberian dalam
bentuk kenikmatan/natura atau dalam bentuk tunjangan tidak mempengaruhi PPh Badan
karena pendapatan perusahaan sudah dikenakan PPh Final. Tetapi untuk tujuan komersial,
baik pemberian dalam natura/kenikmatan atau dalam bentu tunjangan tetap bisa menjadi
pengurang penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan netto.

3. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final, contohnya
perusahaan jasa konstruksi, maka efisiensi PPh Pasal 21 karyawan dapat dilakukan
dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk
natura/kenikmatan yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21, sebagai salah satu
69

pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh Pasal 21, sedangkan pengeluaran
untuk pemberian natura dan kenikmatan tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh
badan. Contohnya pemberian penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai
(Pasal 9 ayat 1e UU PPh) dan penyediaan bus antar jemput pegawai (Per-51/PJ/2009),
kedua macam biaya tersebut dapat dibiayakan tetapi tidak tidak menambah beban PPh
Pasal 21 karena tidak diperlakukan menambah pendapatan dalam perhitungan PPh Pasal
21 karyawan.

11. Alur Perencanaan Pajak -PPh Pasal 21

Setiap pengusaha berusaha memaksimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan dengan
memaksimalkan nilai perusahaan yaitu dengan cara memperoleh laba yang maksimal sesuai
dengan yang diinginkan. Untuk mengejar laba yang maksimal tersebut perusahaan harus
melakukan berbagai upaya, dimana salah satu upaya tersebut dilakukan melalui perencanaan
pajak supaya bisa menghemat beban pajak.

Upaya penghematan beban pajak memalui peraturan perpajakan yang dilakukan perusahaan
tetap memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku (asas legalitas). Perencanaan pajak
dimulai dengan menganalisa dan menyakinkan metode-metode perhitungan pajak penghasilan
pasal 21 yang lebih efisin serta memperhatikan makanisme taxability - deductibility.

Perlu diperjelas bahwa manajemen dan perencanaan pajak bukan bertujuan untuk mengurangi
kewajiban pajak yang sebenarnya terutang tetapi hanya mengatur pajak yang dibayar tidak
melebihi dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar dan mencapai efisiensi bagi wajib pajak
tanpa melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan adanya managemen dan
perencanaan pajak dalam perusahaan tidak menutup kemungkinan membantu wajib pajak
dalam mengelola kewajibannya sehingga terhindar dari sanksi-sanksi yang timbul akibat
adanya pelanggaran, serta merupakan salah satu alternatif bagi perusahaan untuk mencapai
efisiensi pembebanan perusahaan.




















70
























































Perencanaan PPh Pasal 21
Berdasarkan UU PPh

Metode Pemotongan PPh
Pasal 21
Mekanisme Taxability dan
Deductibility
Upaya penghematan Pajak Dalam
Mengefisiensikan Beban Pajak Terutang
PPh Badan Yang Lebih Efisien
Metode Net
Metode Gross
Metode Gross Up
Metode Gross Up
Penghasilan Kena Pajak Yang Lebih
Rendah
SPT PPh Badan
71


Gambar-1 Alur Perencanaan PPh Pasal 21





12. Strategi Perencanaan Pajak Untuk
Mengefisienkan Beban Pajak

Dalam menyusun perencanaan pajak yang sesuai dengan kondisi perusahaan dimulai dengan
strategi mengefisensikan beban pajak (penghematan pajak) yang dilakukan oleh perusahaan
haruslah bersifat legal (tax avoidance) supaya dapat terhindar dari sanksi-sanksi pajak
dikemudian hari. Agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan maka
perlu dilakukan analisis terhadap metode-metode dan kebijakan-kebijakan yang cocok serta
strategi yang perlu dilakukan sehingga efisiensi beban pajak dapat tercapai. Misalnya :

- Memberikan tunjangan dalam bentuk uang atau natura dan kenikmatan, karena pada
dasarnya pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan dapat dikurangkan sebagai
biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungan sebagai penghasilan
yang dikenakan pajak penghasilan pasal 21 bagi pegawai yang menerimanya. Pemberian
tunjangan semacam ini selain akan memberikan kepuasan dan meningkatkan motivasi
bekerja pegawai juga akan meningkatkan produktivitas mereka.
- Perusahaan memberikan tunjangan kesejahteraan kepada pegawai dalam bentuk fasilitas
pengobatan kesehatan pegawai. Apabila pemberian tunjangan kesehatan kepada pegawai
diberikan dalam bentuk uang, maka dari pihak perusahaan dapat diakui sebagai biaya dan
sebagai penghasilan bagi pegawai sehingga dikenakan PPh Pasal 21.
- Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara
menguasai seluruh peraturan yang berlaku, yakni dengan menghitung pajak dengan tepat
dan benar, membayar pajak serta melaporkan SPT masa dan tahunan tepat waktu.

Dari kebijakan perencanaan pajak perusahaan yang diterapkan, penulis akan menganalisis
data yang diperoleh dari perusahaan dengan menerapkan teori-teori yang ada yang tidak
bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Dalam perhitungan PPh Pasal 21 terdapat tiga metode yang bisa aplikasikan, yakni metode
Net, metode Gross, dan metode Gross up.

1. Net Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung PPh Pasal 21
karyawan.

2. Gross Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak
penghasilannya.
72


3. Gross-Up Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak-
PPh Pasal 21 yang di formulasikan jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak-PPh Pasal
21 yang akan dipotong dari karyawan.


Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 Yang Ditanggung Oleh
Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja didasarkan atas Pasal 4 huruf d Peraturan Pemerintah
Nomor 138 Tahun 2000. Selanjutnya dapat diikuti pembahasan yang lebih terperinci Pada
pembahasan Pasal 26 dan Pasal 23 di Bab IV.
Keuntungan penggunaan metode gross up ini adalah untuk memuaskan dan meningkatkan
memotivasi karyawan. Dengan menggunakan metode ini karyawan akan merasa puas karena
PPh Pasal 21 ditanggung seluruhnya oleh perusahaan. Dengan demikian karyawan merasa
lebih diperhatikan sehingga dengan meningkatnya motivasi dan kepuasan karyawan tersebut
akan meningkatkan pula produktivitas karyawan. Semua metode tersebut diatas diperbolehkan
menurut undang-undang dan peraturan perpajakan. Jadi tinggal pilih mau menggunakan
metoda yang mana yang paling efisien bagi perusahaan tetapi juga menguntungkan bagi
karyawan.
Rumus Tunjangan Pajak dengan Metode Gross up
yang sesuai dengan UU PPh No. 17 Tahun 2000

Lapisan 1s/d 5 dibawah ini disesuaikan dengan lapisan PKP (Penghasilan kena pajak)
(Penghasilan kena Pajak) yang sesuai dengan Pasal 17 UU No. 17 tahun 2000.



Atas dasar PKP tersebut, harus memilih di lapisan mana PKP di posisikan :
LAPISAN 1=

PKP X 5%
0,95




LAPISAN 2 =

(PKP X 10%) - 1.250.000
0,9



LAPISAN 3 =

(PKP X 15%) - 3.750.000
0,85



LAPISAN 4 =

(PKP X 25%) - 13.750.000
0,75



LAPISAN 5 =

(PKP X 35%) - 33.750.000
0,65





Semenjak diberlakukannya UU PPh No. 36 Tahun 2008, maka rumus gross up ini juga
mengalami penyesuaian karena tarif pajak dan PTKP nya juga berubah, seperti terihat
berikut ini :

73








Rumus Tunjangan Pajak dengan Metode Gross up
yang sesuai dengan UU PPh No. 36 Tahun 2008

PKP Rp. 0 s/d Rp. 50.000.000,-
Pajak = 1/0,95 {PKP X 5%}

PKP diatas Rp. 50.000.000 s/d 250.000.000,-
Pajak = 1/0,85 {(PKP X 15%) - 5 juta}

PKP diatas Rp. 250.000.000 s/d Rp. 500.000.000,-
Pajak = 1/0,75 {(PKP X 25%)- 30 juta}

PKP diatas Rp. Rp. 500.000.000
Pajak = 1/0,70 {(PKP X 35%)- 55 juta}


Perhitungan PPh Pasal 21 dengan Metode Gross Up Tahun 2008 harus dilakukan
dengan 2(dua) tahap seperti dibawah ini :

Tahap - 1
Hitung dulu berapa PKP tanpa tunjangan pajak. Setelah itu baru dihitung berapa
tunjangan pajak dengan menggunakan rumus GROSS UP diatas.

CONTOH :
Tn. Amir, pegawai tetap PT. DEx sejak th. 2005, Status K/1, tahun 2008 menerima
Penghitungan pajak-PPh Pasal 21 sebagai berikut :

Gaji/tahun

120.000.000
Tunjangan makan siang

3.600.000
JKK = 1.27% x 120 jt

1.542.000
JKM = 0.30 % x 120 jt

3.600.000

128.742.000
Bonus

5.000.000

133.742.000
Pengurangan :
Biaya Jabatan

1.296.000
Iuran Pensiun (dibayar sendiri) 2.400.000
JHT = 2% x 120 jt

2.400.000


(6.096.000)
74


127.646.000
PTKP K/1

( 15.600.000)
PKP

112.046.000

Karena PKP ada dilapisan tarif yang ke 4, maka rumus Gross up yang dipakai
adalah Lapisan ke 4

LAPISAN KE-4 = (PKP X 25%) - 13.750.000)

0,75
TUNJANGAN PAJAK = (112.046.000 X 25%) - 13.750.000

0,75
TUNJANGAN PAJAK = 19.015.333

(JKK=Jaminan Kecelakaan Kerja-Jamsostek; JKM = Jaminan Kematian-Jamsostek)

Tahap - 2


Setelah diperoleh berapa tunjangan pajak dengan rumus Gross up, baru kemudian
dimasukkan unsur tunjangan pajak sebagai unsur penghasilan wajib pajak. Perhitungan
ini memperlihatkan bahwa jumlah PPh harus sama dengan tunjangan pajak. Bila sama,
maka PPh tsb. dapat dibiayakan (deductible).

Gaji/tahun

120.000.000
Tunjangan makan siang

3.600.000
Tunjangan Pajak (Gross up)

19.015.333
JKK = 1.27% x 120 jt

1.542.000
JKM = 0.30 % x 120 jt

3.600.000

147.757.333
Bonus

5.000.000

152.757.333
Pengurangan :
Biaya Jabatan

1.296.000
Iuran Pensiun

2.400.000
JHT = 2% x 120 jt

2.400.000


(6.096.000)

146.661.333
PTKP

( 15.600.000)
PKP

131.061.333

PPh Terutang :
PPh 21 5% X 25.000.000 1.250.000

10% X 25.000.000 2.500.000

15% X 50.000.000 7.500.000

25% X 31.061.333 7.765.333
Total PPh 21

19.015.333

75



Perhitungan PPh Pasal 21 dengan Metode Gross Up yang sesuai UU PPh
No. 36 Thn 2008, harus dilakukan dengan dua tahap seperti dibawah ini :


Tahap - 1

Hitung dulu berapa PKP tanpa tunjangan pajak. Setelah itu baru dihitung berapa
tunjangan pajak dengan menggunakan rumus GROSS UP diatas.

Contoh :

Tn. Amir, pegawai tetap PT. DEx sejak th. 2005, Status K/1, tahun 2010 menerima
Penghitungan pajak-PPh Pasal 21 sebagai berikut :

Gaji/tahun 120.000.000
Tunjangan makan siang 3.600.000
JKK = 1.27% x 120 jt 1.542.000
JKM = 0.30 % x 120 jt 3.600.000
128.742.000
Bonus 5.000.000
133.742.000
Pengurangan :
Biaya Jabatan 5% max. 6.000.000
Iuran Pensiun (dibayar sendiri) 2.400.000
JHT = 2% x 120 jt 2.400.000
(10.800.000)
122.942.000
PTKP K/1 (18.480.000)
PKP 104.462.000


Karena PKP ada dilapisan tarif yang ke 2, maka rumus Gross up yang dipakai
adalah Lapisan ke-2

LAPISAN KE- 2 = (PKP X 15%) - 5.000.000
0,85
TUNJANGAN PAJAK = (104.462.000 X 15%) - 5.000.000
0,85
TUNJANGAN PAJAK = 12.552.118





76




Tahap - 2
Setelah diperoleh berapa tunjangan pajak dengan rumus Gross up, baru kemudian
dimasukkan unsur tunjangan pajak sebagai unsur penghasilan wajib pajak. Perhitungan
ini memperlihatkan bahwa jumlah PPh harus sama dengan tunjangan pajak. Bila sama,
maka PPh tsb. dapat dibiayakan (deductible).

Gaji/tahun 120.000.000
Tunjangan makan siang 3.600.000
Tunjangan Pajak (Gross up) 12.552.118
JKK = 1.27% x 120 jt 1.542.000
JKM = 0.30 % x 120 jt 3.600.000
141.294.118
Bonus 5.000.000
146.294.118
Dikurangi :
Biaya Jabatan 6.000.000
Iuran Pensiun 2.400.000
JHT = 2% x 120 jt 2.400.000
(10.800.000)
135.494.118
PTKP (18.480.000)
PKP 117.014.118

PPh Terutang :
PPh 21 5% X 50.000.000 2.500.000
15% X 67.014.118 10.052.118
Total PPh 21 12.552.118


Untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai proses perencanaan pajak untuk PPh
Pasal 21 ini, berikut ini adalah tabel-tabel perhitungan yang dibuat untuk menganalisis
penghitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan tiga metode perhitungan yang dijelaskan
diatas. Sumber data yang diambil untuk analisis ini adalah data dari Lampiran I-A SPT
Tahunan PPh Pasal 21 PT. ABx untuk Tahun 2008, dengan data karyawan tahun 2008,
berikut ini :

Kredit pajak tahun 2008
Jenis Pajak Jumlah Rp.
PPh 25 Dibayar dimuka 3.968.500
PPh 23 dibayar dimuka 24.964.135



77




Tabel III-4
Daftar Gaji Karyawan PT. ABx Tahun 2008

No.
Nama
pegawai
Gaji/Upah
Rp
Uang
Lembur

Bonus/THR
Status
Mulai
bekerja
Tahun
1 A 84.000.000 0 7.000.000 K/1 2000

2 B 21.600.000 2.830.000 1.800.000 BK 2000

3 C 36.000.000 2.810.000 3.000.000 K/2 2000

4 D 20.400.000 2.790.000 1.700.000 K/1 2000

5 E 18.000.000 2.850.000 1.500.000 K/2 2000

6 F 15.600.000 2.840.000 1.300.000 BK 2000

7 G 16.800.000 2.800.000 1.400.000 BK 2000

8 H 13.200.000 2.850.000 1.100.000 K/1 2000

9 I 16.800.000 2.850.000 1.400.000 K/2 2000

10 J 16.800.000 2.850.000 1.400.000 K/2 2000
11 K 26.400.000 2.820.000 2.200.000 BK 2000

12 L 15.600.000 2.850.000 1.300.000 BK 2000

13 M 13.200.000 2.850.000 1.100.000 BK 2000

14 N 10.800.000 2.810.000 900.000 BK 2000

15 O 16.000.000 1.860.000 2.000.000 K/2 2000


TOTAL 341.200.000 38.660.000 29.100.000




















78




Tabel III-5
Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2008
METODE GROSS

No.
Nama
pegawai Gaji/Upah
Uang
Lembur

Bonus/THR

Penghasilan
Bruto
Biaya
Jabatan

Penghasilan
Netto
1 2 3 4 5 6 7 8
1 A 84.000.000 0 7.000.000 91.000.000 1.296.000 89.704.000
2 B 21.600.000 2.830.000 1.800.000 26.230.000 1.296.000 24.934.000
3 C 36.000.000 2.810.000 3.000.000 41.810.000 1.296.000 40.514.000
4 D 20.400.000 2.790.000 1.700.000 24.890.000 1.244.500 23.645.500
5 E 18.000.000 2.850.000 1.500.000 22.350.000 1.117.500 21.232.500
6 F 15.600.000 2.840.000 1.300.000 19.740.000 987.000 18.753.000
7 G 16.800.000 2.800.000 1.400.000 21.000.000 1.050.000 19.950.000
8 H 13.200.000 2.850.000 1.100.000 17.150.000 857.500 16.292.500
9 I 16.800.000 2.850.000 1.400.000 21.050.000 1.052.500 19.997.500
10 J 16.800.000 2.850.000 1.400.000 21.050.000 1.052.500 19.997.500
11 K 26.400.000 2.820.000 2.200.000 31.420.000 1.296.000 30.124.000
12 L 15.600.000 2.850.000 1.300.000 19.750.000 987.500 18.762.500
13 M 13.200.000 2.850.000 1.100.000 17.150.000 857.500 16.292.500
14 N 10.800.000 2.810.000 900.000 14.510.000 725.500 13.784.500
15 O 16.000.000 1.860.000 2.000.000 19.860.000 993.000 18.867.000
TOTAL 341.200.000 38.660.000 29.100.000 408.960.000 16.109.000 392.851.000













79



Lanjutan Tabel III-5 (Metode Gross)

No.
Nama
pegawai
Penghasilan
disetahunkan
(dibulatkan) PTKP PKP
PPh Pasal
21(Seblm
Gross up)
PPh Pasal 21
( sesudah
Gross up)
9 10 11 12 13
1 A 89.704.000 15.600.000 74.104.000 7.365.600 8.665.412
2 B 24.934.000 13.200.000 11.734.000 586.700 617.579
3 C 40.514.000 16.800.000 23.714.000 1.185.700 1.248.105
4 D 23.645.000 15.600.000 8.045.000 402.250 422.388
5 E 21.232.000 16.800.000 4.432.000 221.600 232.705
6 F 18.753.000 13.200.000 5.553.000 277.650 291.533
7 G 19.950.000 13.200.000 6.750.000 337.500 354.375
8 H 16.292.000 15.600.000 692.000 34.600 36.355
9 I 19.997.000 16.800.000 3.197.000 159.850 167.868
10 J 19.997.000 16.800.000 3.197.000 159.850 167.868
11 K 30.124.000 13.200.000 16.924.000 846.200 890.737
12 L 18.762.000 13.200.000 5.562.000 278.100 292.030
13 M 16.292.000 13.200.000 3.092.000 154.600 162.355
14 N 13.784.000 13.200.000 584.000 29.200 30.685
15 O 18.867.000 16.800.000 2.067.000 103.350 108.518

TOTAL 392.847.000 223.200.000 169.647.000 12.142.750 13.688.510



Tabel III-6
Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2008



(Perusahaan Menanggung PPh Pasal 21 Sebahagian)

No. Nama pegawai Gaji/Upah
Uang
Lembur Bonus/THR

Tunjangan
Pajak
Penghasilan
Bruto
Biaya
Jabatan
Penghasilan
Netto
1 A 84.000.000 7.000.000 7.365.600 98.365.600 1.296.000 97.069.600
2 B 21.600.000 2.830.000 1.800.000 586.700 26.816.700 1.296.000 25.520.700
3 C 36.000.000 2.810.000 3.000.000 1.185.700 42.995.700 1.296.000 41.699.700
4 D 20.400.000 2.790.000 1.700.000 402.250 25.292.250 1.264.613 24.027.638
5 E 18.000.000 2.850.000 1.500.000 221.600 22.571.600 1.128.580 21.443.020
6 F 15.600.000 2.840.000 1.300.000 277.650 20.017.650 1.000.883 19.016.768
7 G 16.800.000 2.800.000 1.400.000 337.500 21.337.500 1.066.875 20.270.625
8 H 13.200.000 2.850.000 1.100.000 34.600 17.184.600 859.230 16.325.370
9 I 16.800.000 2.850.000 1.400.000 159.850 21.209.850 1.060.493 20.149.358
10 J 16.800.000 2.850.000 1.400.000 159.850 21.209.850 1.060.493 20.149.358
11 K 26.400.000 2.820.000 2.200.000 846.200 32.266.200 1.296.000 30.970.200
12 L 15.600.000 2.850.000 1.300.000 278.100 20.028.100 1.001.405 19.026.695
13 M 13.200.000 2.850.000 1.100.000 154.600 17.304.600 865.230 16.439.370
14 N
10.800.000 2.810.000 900.000 29.200 14.539.200 726.960 13.812.240
15 O
16.000.000 1.860.000 2.000.000 103.350 19.963.350 998.168 18.965.183
TOTAL
341.200.000 38.660.000 29.100.000 12.142.750 421.102.750 16.216.928 404.885.823
80



Lanjutan Tabel III-6


No. Nama pegawai Penghasilan
disetahunkan
(dibulatkan)
PTKP PKP PPh Pasal 21
1 A 97.069.000 15.600.000 81.469.000 8.470.350
2 B 25.520.000 13.200.000 12.320.000 616.000
3 C 41.699.000 16.800.000 24.899.000 1.244.950
4 D 24.027.000 15.600.000 8.427.000 421.350
5 E 21.443.000 16.800.000 4.643.000 232.150
6 F 19.016.000 13.200.000 5.816.000 290.800
7 G 20.270.000 13.200.000 7.070.000 353.500
8 H 16.325.000 15.600.000 725.000 36.250
9 I 20.149.000 16.800.000 3.349.000 167.450
10 J 20.149.000 16.800.000 3.349.000 167.450
11 K 30.970.000 13.200.000 17.770.000 888.500
12 L 19.026.000 13.200.000 5.826.000 291.300
13 M 16.439.000 13.200.000 3.239.000 161.950
14 N 13.812.000 13.200.000 612.000 30.600
15 O 18.965.000 16.800.000 2.165.000 108.250
TOTAL 404.879.000 223.200.000 181.679.000
.
13.480.850


Tabel III-7



Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2008


METODE GROSS UP

No.
Nama
pegawai Gaji/Upah
Uang
Lembur

Bonus/THR
Tunjangan
Pajak

Penghasilan
Bruto
Biaya
Jabatan

Penghasilan
Netto
1 A 84.000.000 7.000.000 8.665.412 99.665.412 1.296.000 98.369.412
2 B 21.600.000 2.830.000 1.800.000 617.579 26.847.579 1.296.000 25.551.579
3 C 36.000.000 2.810.000 3.000.000 1.248.105 43.058.105 1.296.000 41.762.105
4 D 20.400.000 2.790.000 1.700.000 422.388 25.312.388 1.265.619 24.046.768
5 E 18.000.000 2.850.000 1.500.000 232.705 22.582.705 1.129.135 21.453.570
6 F 15.600.000 2.840.000 1.300.000 291.533 20.031.533 1.001.577 19.029.956
7 G 16.800.000 2.800.000 1.400.000 354.375 21.354.375 1.067.719 20.286.656
8 H 13.200.000 2.850.000 1.100.000 36.355 17.186.355 859.318 16.327.037
9 I 16.800.000 2.850.000 1.400.000 167.868 21.217.868 1.060.893 20.156.974
10 J 16.800.000 2.850.000 1.400.000 167.868 21.217.868 1.060.893 20.156.974
11 K 26.400.000 2.820.000 2.200.000 890.737 32.310.737 1.296.000 31.014.737
12 L 15.600.000 2.850.000 1.300.000 292.030 20.042.030 1.002.102 19.039.929
13 M 13.200.000 2.850.000 1.100.000 162.355 17.312.355 865.618 16.446.737
14 N 10.800.000 2.810.000 900.000 30.685 14.540.685 727.034 13.813.651
15 O 16.000.000 1.860.000 2.000.000 108.518 19.968.518 998.426 18.970.092
TOTAL 341.200.000 38.660.000 29.100.000 13.688.510 422.648.510

16.222.334 406.426.176
81




Lanjutan Tabel III-7




No.
Nama
pegawai
Penghasilan
disetahunkan
(dibulatkan) PTKP PKP
PPh Pasal
21
(pembulatan)
1 A 98.369.000 15.600.000 82.769.412 8.665.412

2 B 25.551.000 13.200.000 12.351.579 617.579

3 C 41.762.000 16.800.000 24.962.105 1.248.105

4 D 24.046.000 15.600.000 8.446.768 422.388

5 E 21.453.000 16.800.000 4.653.570 232.705

6 F 19.029.000 13.200.000 5.829.956 291.533

7 G 20.286.000 13.200.000 7.086.656 354.375

8 H 16.327.000 15.600.000 727.037 36.355

9 I 20.156.000 16.800.000 3.356.974 167.868

10 J 20.156.000 16.800.000 3.356.974 167.868

11 K 31.014.000 13.200.000 17.814.737 890.737

12 L 19.039.000 13.200.000 5.839.929 292.030

13 M 16.446.000 13.200.000 3.246.737 162.355

14 N 13.813.000 13.200.000 613.651 30.685

15 O 18.970.000 16.800.000 2.170.092 108.518

TOTAL 406.417.000 223.200.000 183.226.176

13.688.510


Dari ketiga tabel III-1 hingga tabel III-3 tersebut diatas, dapat direkapitulasi hasil
perhitungannya sebagai berikut :

Tabel III-8
Analisis Penghitungan PPh Pasal 21 Pada PT. ABx Tahun 2008

Keterangan Ditanggung
karyawan
Ditanggung
Perusahaan (tidak
dibiayakan)
Ditunjang
perusahaan
sebahagian
Metode
Gross Up
Alt. I Alt. II Alt. III Alt. IV
Gaji 341.200.000 341.200.000 341.200.000 341.200.000
Uang Lembur 38.660.000 38.660.000 38.660.000 38.660.000
Bonus/THR 29.100.000 29.100.000 29.100.000 29.100.000
Tunjangan pajak 12.142.750 13.668.510
Total Penghasilan Bruto 408.960.000 408.960.000 421.102.750 422.648.510
B. Jabatan 15.980.000 15.980.000 16.163.125 16.222.300
Total Pengurang 15.980.000 15.980.000 16.163.125 16.222.300
Penghasilan netto 392.851.000 392.851.000 392.851.000 406.426.176
Penghasilan netto
disetahunkan
92.847.000 392.847.000

392.847.000 406.417.000
PTKP 223.200.000 223.200.000 223.200.000 223.200.000
Penghasilan Kena Pajak
setahun
169.647.000 169.647.000 169.647.000

183.226.176

PPh 21 setahun 12.142.750 12.142.750 13.480.850 13.668.510
Tunjangan pajak - - 12.142.750 13.668.510
PPh 21 yang harus distor
/dipotong dr penghas.kary.
12.142.750 12.142.750 1.338.100 -
82


Selanjutnya pada tabel III-9 berikut ini kita akan mendapat gambaran mana alternatif yang
paling menguntungkan bagi perusahaan dan bagi pegawai dalam pemilihan dari keempat
alternatif kebijakan dibawah ini.

Tabel III-9
Take Home Pay (THP)
Uraian Ditanggung
karyawan
(potong gaji
pegawai)
Ditanggung
Perusahaan (tidak
dimasukkan
sebagai unsur
pendapatan di
SPT PPh 21)
Ditunjang
perusahaan
sebahagian
Metode
Gross Up
Alt. I Alt. II Alt. III Alt. IV
Gaji 341.200.000 341.200.000 341.200.000 341.200.000
Tambahan presensi &
insentif)
38.660.000 38.660.000 38.660.000 38.660.000
Bonus+THR 29.100.000 29.100.000 29.100.000 29.100.000
Tunjangan Pajak 12.142.750 13.668.510
Penghasilan Bruto Pegawai 408.960.000 408.960.000 421.102.750 422.628.510
PPh Pasal 21 12.142.750 13.480.850 13.668.510
Total Take Home Pay 396.817.250 408.960.000 407.621.900 408.960.000

Berdasarkan analisa pada Tabel III-4 hingga Tabel III-9 diatas, dapat kita catatkan beberapa
poin sebagai berikut :

a. Take Home Pay
Secara totalitas, alternatif yang ke-4 yakni metode Gross-up memberikan penerimaan
penghasilannya yang lebih besar bagi pegawai, karena take home pay dari
penghasilannya adalah yang paling terbesar dibandingkan dengan alternatif lainnya.
Meskipun Alternatif II memberikan hasil THP yang sama dengan alternatif IV, namun
dari sisi perusahaan pemberi kerja masih harus keluar dana untuk setoran PPh Pasal 21 ke
Kas negara yang kini menjadi beban pemberi kerja. Jadi dari sisi pemberi kerja, alternatif
IV adalah yang terbaik dari alternatif lainnya untuk kesejahteraan pegawainya.

b. PPh Pasal 21 ditanggung pegawai yang bersangkutan.
- Dengan metode Gross ini, jumlah PPh Pasal 21 yang menjadi tanggungan pegawai/
dipotong dari gaji bulanan sebesar Rp. 12.142.750,-. Bila jumlah PPh Pasal 21 ini
kita Gross-up, maka hasilnya adalah sebesar Rp. 13.668.510.
- Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan dipotong dari gaji bulannya, dari
sisi pegawai, beban PPh Pasal 21 tersebut akan mengurangi penghasilan pegawai
yang bersangkutan. Dari sisi perusahaan, tidak ada PPh Pasal 21 pegawai yang
terutang, perusahaan hanya memiliki kewajiban untuk menyetor dan melaporkan PPh
Pasal 21 atas gaji karyawan yang telah dipotong tersebut.

c. PPh Pasal 21 ditanggung oleh Perusahaan.
- Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan di tanggung oleh
perusahaan/pemberi kerja yang bersangkutan. Dari sisi pegawai, gaji yang diterima
83

pegawai tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena perusahaan yang
menanggung beban PPh Pasal 21. Karena jumlah PPh Pasal 21 yang ditanggung
perusahaan tersebut tidak di masukkan dalam perhitungan di SPT PPh Pasal 21,
sehingga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan sebagai biaya
deductible, dan perusahaan selaku pemotong atau pemungut pajak wajib untuk
membayar dan melaporkan ke kantor pajak.

d. PPh Pasal 21 ditunjang sebagian oleh pemberi kerja.
- Dengan metode Net ini, jumlah PPh Pasal 21 yang menjadi tanggungan perusahaan
hanya sebagian yakni sebesar Rp. 12.142.750, sedangkan jumlah PPh Pasal 21 yang
harus dibayar ke Kas Negara adalah sebesar Rp. 13.480.850, maka sisanya sebesar
Rp. 1.338.100,- harusnya ditanggung oleh pegawai (potong gaji).

- Perusahaan/pemberi kerja bisa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya
tidak sama dengan pajak yang terutang. Bagi pegawai, tunjangan tersebut akan
menambah penghasilan karyawan yang akan diperhitungkan dalam pemotongan PPh
Pasal 21. Dalam hal ini besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar dari
tunjangan pajak PPh Pasal 21 dan selisihnya bisa menjadi tanggungan pegawai. Bagi
perusahaan, PPh Pasal 21 yang diberikan dalam bentuk tunjangan dapat dibiayakan
oleh perusahaan, sedangkan selisihnya bila ditanggung oleh pemberi kerja merupakan
pengeluaran biaya yang non deductable.

e. PPh Pasal 21 Ditunjang perusahaan seluruhnya (Gross-up method).
- Dengan menggunakan rumus Gross-up ini, perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan
secara dua tahap seperti yang telah dijelaskan dimuka. Jumlah PPh Pasal 21 yang
ditunjang seluruhnya oleh perusahaan/prmberi kerja adalah sebesar Rp. 13.668.510,-
dan jumlah ini semuanya bisa dibiayakan (deductible), sedangkan jumlah PPh Pasal
21 yang harus dibayar ke Kas Negara adalah sama besarnya dengan tunjangan pajak
tersebut. Jika besarnya PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka dengan
metode ini jumlah tunjangan tersebut bagi karyawan sesungguhnya tidak berpengaruh
terhadap penghasilan yang diterima oleh karyawan (take home pay), tetapi untuk
perhitungan PPh Pasal 21 yang di Gross Up penghasilan karyawan akan lebih besar
sebesar PPh Pasal 21 yang ditambahkan. Besarnya tunjangan pajak akan sama dengan
besarnya PPh Pasal 21 yang terutang, sehingga tidak berpengaruh pada penghasilan
karyawan.

- Dari segi komersial, kebijakan perusahaan yang menerapkan PPh Pasal 21 secara
Gross-up ini akan terlihat memberatkan perusahaan/pemberi kerja karena biaya fiskal
yang besar tersebut tampaknya seperti suatu pemborosan, namun harus pula
diperhatikan bahwa akibat biaya fiskal yang lebih besar tersebut akan berdampak
pada laba sebelum pajaknya akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya PPh Badan
yang terutang pun akan menjadi lebih kecil. Namun demikian, kenaikan beban
perusahaan dari PPh Pasal 21 tersebut akan tereliminasi dengan penurunan PPh
Badan karena beban PPh Pasal 21 tersebut dapat dibiayakan, bahkan penurunan PPh
Badan tersebut lebih besar dari kenaikan PPh Pasal 21, sehingga tercipta suatu
84

penghematan pajak. Strategi perpajakan ini akan menstimulasi pegawai untuk
meningkatkan produktifitasnya karena pendapatan yang diperolehnya lebih besar.


PENGHEMATAN/EFISIENSI PAJAK
Implikasi Penerapan Perencanaan PPh Pasal 21 Terhadap Beban Pajak

Implikasi dari kebijakan perusahaan atas penerapan dari masing-masing metode penghitungan
PPh Pasal 21 (Metode Net, Metode Gross, dan Gross up) terhadap Laporan Laba Rugi dan
efisiensi pajak perusahaan secara komparatif dapat digambarkan sebagai berikut :

Tabel III-10
Perhitungan Laba Rugi PT. ABx
Untuk tahun berakhir 31 Desember 2008
Keterangan Ditanggung
karyawan
(potong gaji
pegawai)
Ditanggung
Perusahaan (tidak
dimasukkan
sebagai unsur
pendapatan di
SPT PPh 21)
Ditunjang
perusahaan
sebahagian
Metode
Gross Up
Alt. I Alt. II Alt. III Alt. IV
Penjualan 3.431.249.158 3.431.249.158 3.431.249.158 3.431.249.158
Harga Pokok Penjualan 2.318.561.624 2.318.561.624 2.318.561.624 2.318.561.624
Laba Kotor Usaha 1.112.687.534 1.112.687.534 1.112.687.534 1.112.687.534
Biaya Operasional :
Biaya Operasional 444.755.557 444.755.557 444.755.557 444.755.557
Gaji/THR/bonus 408.960.000 408.960.000 408.960.000 408.960.000
Tunjangan PPh Pasal 21 12.142.750 13.668.510
Total Biaya Operasional 853.715.557 853.715.557 865.858.307 867.384.067
Laba Operasional 258.971.977 258.971.977 246.829.227 245.303.467
Pendapatan/Biaya Diluar
Usaha :

Pendapatan Diluar Usaha 164.995.183 164.995.183 164.995.183 164.995.183
Biaya Diluar Usaha 165.210.016 165.210.016 165.210.016 165.210.016
Rugi diluar usaha (214.833) (214.833) (214.833) (214.833)
Laba Bersih Usaha seblm
pajak
258.757.144 258.757.144 246.614.394 245.088.634
Pajak Penghasilan Badan 60.127.143 60.127.143 56.484.318 56.026.590
Laba bersih setelah pajak 198.630.001 198.630.001 190.130.076 189.062.044
Kredit pajak :
PPh 25 Dibayar dimuka 3.968.500 3.968.500 3.968.500 3.968.500
PPh 23 dibayar dimuka 24.964.135 24.964.135 24.964.135 24.964.135
Total Kredit Pajak 28.932.635 28.932.635 28.932.635 28.932.635
Kurang/(lebih) bayar 169.697.366 169.697.366 161.197.441 160.129.409


Dari Tabel III-10 tersebut selanjutnya kita buat perbandingan antara totalitas beban pajak
perusahaan dari PPh Pasal 21 dan PPh Badan setelah Perencanaan pajak PT. ABx untuk
menganalisa seberapa besar dampak perencanaan pajak-PPh Pasal 21 tersebut pada
pencapaian efisiensi pajak atau keuntungan perusahaan.
85


Tabel III-11
Perbandingan antara totalitas beban pajak
setelah perencanaan pajak

Keterangan Ditanggung
karyawan
(potong gaji
pegawai)
Ditanggung Perusahaan
(tidak dimasukkan
sebagai unsur pendapatan
di SPT PPh 21)
Ditunjang
perusahaan
sebahagian
Metode
Gross Up

Alt. I Alt. II Alt. III Alt. IV
PPh 21 (sebagai tunjangan
pajak)
0 0 12.142.750 13.668.510
PPh Badan
60.127.143 60.127.143 56.484.318 56.026.590
Total Pajak (beban perusahaan)
60.127.143 60.127.143 68.627.068 69.695.100
PPh 21 (beban perusahaan,
bukan sebagai tunjangan pajak)
12.142.750
PPh 21 (beban pegawai)
12.142.750 1.338.100
Total Pajak
72.269.893 72.269.893 69.965.168 69.695.100

Laba bersih setelah pajak 198.630.001 198.630.001 190.130.076 189.062.044
-/- : PPh 21 (non deductible)
12.142.750

-/- : PPh 21 (beban pegawai/non
deductible)
12.142.750 1.338.100

Laba bersih setelah pajak
dan beban non deductible
186.487.251 186.487.251 188.791.976 189.062.044

Penjelasan :

1. Secara totalitas, bila diperhitungkan beban pegawai dari PPh Pasal 21 ini, maka alternatif
IV yakni metode Gross-up memberikan efisiensi pajak yang lebih besar bagi keduanya
(pemberi kerja&pegawai), karena total pajaknya adalah yang paling terkecil dibandingkan
dengan alternatif lainnya dengan selisih nilai (alt. IV- alt. I/II) sebesar Rp. 2.574.793.

2. Hanya terdapat perbedaan kecil antara alternatif IV dengan alternatif III, dengan
menggunakan metode PPh Pasal 21 yang ditunjang sebahagian, menyebabkan perusahaan
membayar PPh pasal 21 sebesar Rp 69.965.168 sedikit terpaut diatas alternatif IV.

3. Bila diperhitungkan beban PPh Pasal 21 yang menjadi tanggungan pegawai (alt. I) dan
beban non-deductible perusahaan (alt- II), maka maka alternatif IV yakni metode Gross-
up memberikan Laba bersih setelah pajak dan beban non deductible yang lebih besar
bagi pemberi kerja, dengan selisih nilai (alt. IV- alt. I/II) sebesar Rp. 2.574.793 yang
jumlahnya sama dengan besarnya efisiensi pajak yang terdapat pada poin diatas.

Anda mungkin juga menyukai