Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Menakar Konstitusionalitas Syari’at Islam dan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh Penulis: Hani Adhani, ‘Menakar Konstitusionalitas Syari’at Islam dan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh’ (2019) Volume 16, Nomor 3, Jurnal Konstitusi MK RI Reviewer : Ridho Budaya Septarianto Pasal 18B UUD NRI 1945 menjadi legal standing bagi daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti Provinsi Aceh untuk menjalankan pemerintahan daerah sesuai dengan keistimewaan daerah tersebut. Apabila ditinjau dari sistem hukum yang diberlakukan, maka Provinsi Aceh masih berpedoman pada sistem hukum nasional sebagaimana diatur dalam konstitusi Indonesia. Namun untuk Provinsi Aceh, terdapat perbedaan yakni pada UndangUndang Pemerintahan Aceh, yang menerapkan sistem hukum Syari’at Islam dan dimungkinkan untuk membuat peraturan ataupun undang-undang yang berdasarkan Syari’at Islam atau disebut dengan Qanun. Dalam hal sistem peradilan yang digunakan di Provinsi Aceh juga berbeda, yakni menggunakan sistem pengadilan Syari’at Islam yang bernama Mahkamah Syar’iyah selaku pelaksana kekuasaan kehakiman yang terdiri atas tingkat pertama di kabupaten/kota, dan tingkat banding yang kesemuanya menerapkan hukum acara dalam Qanun Aceh. Adapun pokok bahasan yang diangkat dalam artikel ini yakni: Pertama, apakah eksistensi pemberlakuan hukum Syari’at Islam dan Mahkamah Syar’iyah di Aceh bertentangan dengan konstitusi? Kedua, dapatkah dilakukan pengujian terhadap Qanun Aceh? Landasan filosofis pelaksanaan Syari’at Islam terdapat pada Pembukaan Alinea ketiga konstitusi Indonesia, yang mana mengisyaratkan pemikiran religious bangsa Indonesia yang kental dengan nilai Ketuhanan. Secara yuridis formal, dalam konstitusi Indonesia telah termaktub pada Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Dari sinilah negara berkewajiban untuk mengupayakan agar tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Di samping itu, negara juga mengakui dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945, yang intinya menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Sehingga sebagai landasan hukum dari sifat khusus Provinsi Aceh diatur dalam bentuk undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang kemudian dilaksanakan lebih khusus dengan Qanun Aceh. Adapun yang menajdi pertimbangan khusus dibentuknya Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagaimana yang tertuang dalam konsideran undang-undang tersebut adalah sebagai berikut: a. Konstitusi Indonesia mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa dan diatur dengan undang-undang. b. Secara histori perjalanan ketatanegaraan Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan ciri khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. c. Daya juang yang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan Syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah pendobrak bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. d. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya merealisasikan kesejahteraan rakyat, keadilan, pemenuhan, serta hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. e. Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai dalam kerangka NKRI. Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 disebutkan bahwa terdapat empat keistimewaan yang diberikan kepada Aceh yaitu kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Dengan adanya Syari’at Islam sebagai hukum positif bagi masyarakat Aceh yang beragama Islam, apabila terjadi pelanggaran terhadapnya maka akan diperiksa dan diadili perkaranya oleh Mahkamah Syar’iyah, bukan oleh Pengadilan Negeri. Mahkamah Syar’iyah di sini selaku pelaksana Kekuasaan Kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama yang merupakan bagian dari sistem Peradilan Nasional. Jadi, dapat dikatakan bahwa peran Mahkamah Syar’iyah ini menggantikan fungsi wewenang Pengadilan Agama. Kebijakan Provinsi Aceh tersebut sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 dan sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk menilai standar mutu suatu peraturan agar tidak bertentangan dengan undangundang dan konstitusi, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan yang hierarkinya di bawah undang-undang dapat diajukan pengujian ke Mahkamah Agung. Meskipun Provinsi Aceh termasuk daerah yang dikhususkan, dan dengan peraturan daerah, serta penegakan hukum yang berbeda pula, ternyata untuk menilai standar mutu Qanun Aceh tetap dapat dilakukan pengujian di Mahkamah Agung. Terbukti berdasarkan data yang dirilis oleh Mahkamah Agung dalam Laporan Tahun 2016, menyebutkan bahwa Qanun Aceh pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Agung, namun hanya satu kali. Dari data tersebut menunjukkan bahwa Qanun yang dibuat oleh DPR Kabupaten/Kota di Aceh telah dapat diterima oleh masyarakat Aceh dan tidak terdapat persoalan yang serius terkait hukum Aceh tersebut. Dapat disimpulkan bahwa adanya kekhususan yang diberikan pada Provinsi Aceh adalah bagian dari upaya menjalankan amanat konstitusi Pasal 18B. Berlakunya syari’at islam dan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh juga sesuai dengan kehendak rakyat Aceh serta tidak bertentangan dengan konstitusi.