Pemikiran Politik Islam Muhammad Rasyid Ridha
Oleh: Yasir Fajri
A. Pendahuluan
Dalam makalah ini saya mencoba menyajikan pemikiran politik Islam menurut
Muhammad Rasyid Ridha, Dia mempunyai karekter tersendiri dalam pemikirannya. Dia
juga banyak megambil pendapat gurunya. Para ulama salaf menganggap Muhammad Rasyid
Ridha sebagai pemuka bagi para ulama salaf di era modernisasi.
Pada saat Islam megalami kemerosotan disegala bidang aspek kehidupan, para
pemikir politik Islam yang salah satunya termasuk Muhammad Rasyid Ridha dianggap
sebagai pembaruan politik di Dunia Islam, karena mereka hidup pada saat perselisihanperselisihan itu terjadi.
Muhammad Rasyid Ridha merupakan murid terdekat Abduh, dan beliau aktif
dibidang pers, politik dan pendidikan serta kajian pemikiran keagamaan. Rasyid Ridha
bukanlah tokoh pemikir politik, permunculan pemikiran politik Rasyid Ridha sebagai reaksi
terhadap persoalan-persoalan umat Islam yang mengalami kemunduran total didalam aspekaspek kehidupan pada saat itu.1 Rasyid Ridha justru tampil untuk menghidupkan
kekhalifahan yang memelihara kekuasaan absolute, yang pada saat itu dihapuskan oleh
Mustafa Kemal Attaturk.2 Rasyid Ridha menekankan kepada kaum muslimin untuk bangkit
dan bersatu dalam negara-negara Islam.
Dalam makalah ditemukan bahwa pemikiran politik Islam Muhammad Rasyid Ridha
berpandangan bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan, politik dan pemerintah. Makalah
ini tidak bisa memberikan wawasan yang mendalam bagi pembacanya, karena makalah ini
masih banyak kekurangan yang terdapat didalamnya.
B. Biografi Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan Tarablus Syam
pada tahun 1282-1354 H/1865-1935 M. Dia adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn
Muhammad Syamsuddin Ibn Muhammad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah. Keluarganya
1
2
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Hal. 281
Ibid, Hal. 283
1
dari keturunan yang terhormat berhijrah dari Baghdad dan menetap di Qalmun. Kelahirannya
tepat pada 27 Jumad al-Tsani tahun 1282 H/ 18 Oktober tahun 1865 M.3 dan Dia adalah
seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain,
putra Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saw.4 Ridha dibesarkan ditengah
keluarga terpandang. Kakeknya, Sayyid Syaikh Ahmad adalah seorang ulama yang terkenal
wara’ dan disegani oleh masyarakat. Demikian juga ayahnya Sayyid Ali Ridha, adalah ulama
yang dihormati.
Semasa kecilnya sudah belajar ilmu agama disekolah kegamaan negeri di Tarablus
kemudian melanjutkan di Beirut. Dia mempelajari ilmu keagamaan serta sasra arab dengan
metode mirip dengan metode al-Azhar pada waktu itu.5 Setelah melalui masa pengasuhan
dalam lingkungan keluarga sendiri, maka pada usianya yang ketujuh tahun, Muhammad
Rasyid Ridha dimasukkan orang tuanya kesebuah lembaga pendidikan dasar yang disebut
Kuttab yang ada di desanya. Disinilah Rasyid Ridha mulai membaca Al-Quran, menulis dan
berhitung.6 Beberapa tahun kemudian, setelah menamatkan pelajarannya di lembaga
pendidikan dasar itu. Muhammad Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di Madrasah
Ibtidaiyah al-Rusdiyah di kota Tripoli. Pada tahun 1882, Dia meneruskan pelajaran di
Madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini,
selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan disamping itu
pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern.7 Pada tahun 1898
Muhammad Rasyid Ridha hijrah ke Mesir.
Di umurnya kedua puluh delapan (1310 H/1892 M) terjadi perubahan besar dalam
orientasi pemikirannya. Hal tersebut terjadi setelah Dia membaca beberapa lembaran majalah
Al-Urwah al-Wutsqa koleksi ayahnya yang diterbitkan di Paris (1301 H/1884 M) oleh
Jamaluddin al-Afghani. Kemudian Dia mulai mencari dan menyempurnakan lembaranlembaran tersebut untuk menjadi sebuah eksemplar kedelapan belas yang sempurna.
Lembaran-lembaran tersebut ditemukan di perpustakaan gurunya Husin Al-Jisr yang
kemudian Dia salin kembali dan Dia tekuni dalam mempelajarinya baik dari segi metode,
pemikiran maupun tujuan-tujuannya. Hal ini menimbulkan perubahan pada bentuk pemikiran
dan model keIslamanya dalam usahanya memperbaiki keadaan kaum muslimin.8
3
Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam. Hal. 1
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir. Hal. 280.
5
Muhammad Imarah, Ibid. Hal. 1
6
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Hal. 64
7
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Hal. 69
8
Muhammad Imarah, Ibid. Hal. 2-3.
4
2
Karya- karya yang dihasilkan Muhammad Rasyid Ridha diantaranya:
1. Al-Hikmah al-Syar’iyah fi Muhkamah al-Qadriyah wa al-Rifa’iyah (Tentang
etika dan tasawuf)
2. Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh (Tentang Biografi Muhammad
Abduh dan tentang perkembangan Mesir waktu itu)
3. Al-Wahy al-Muhammady (Tentang pembuktian ilmiah wahyu Allah kepada
Muhammad)
4. Dzikra al-Mawlid al-Nabawiy (Tentang perjalanan hidup Nabi SAW dan
persoalan peringatan maulid Nabi)
5. Al-Khilafat wa al-Imamah al-‘Uzhma (Konsep Negara Islam)
6. Al-Wihda al-Islamiya wa al-Ukhuwat al-Diniyat (Konsep Persatuan Islam)
7. Subuhat al-Nashara wa Hujjaj al-Islam (Tentang pembuktian kebenaran Islam)
8. Al-Manar wa al-Azhar (Tentang sejarah dan misi al-Azhar)
9. Majalla al-Manar (Terbit sejak 1898-1935).
10. Tafsir al-Manar
11. Al-Urwah al-Wutsqa, dll.
Disamping itu terdapat juga karya-karya beliau dalam bentuk artikel dan ditulis singkat,
seperti dalam bidang politik; al-Muslim wa al-Qiblati wa al-Mu’tamar al-Mishri, alWahabiyyaun wa al-Hijaz dan al-Islam wa al-Madaniyah. Dalam bentuk suplemen tafsir,
seperti; Tafsir al-Fatihah. Dalam bidang hukum Islam terdapat; ‘Umdat al-Ahkam min Kalam
Khyr al-Anam, al-Riba wa al-Mu’amalah fi al-Islamdan Yusr al-Islam wa Ushul al-Tasyri’
al-‘Am. Dalam bidang sosial terdapat; Huquq al-Nisa’ fi al-Islam (tentang emansipasi
wanita).9
Muhammad Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan
selalu pula berjuang selama hayatnya, telah menutup lembaran hidupnya pada tanggal 23
Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Muhammad Rasyid Ridha
wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai dengan senyuman.10
C. Pemikiran Politik Muhammad Rasyid Ridha
9
Ahmad Yamin, Kontekstualitas Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. Hal. 34
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsîr al-Manar. Hal. 63
10
3
Rasyid Ridha aktif dalam di bidang politik setelah wafat gurunya, kemunculan
pemikiran Rasyid Ridha di bidang politik Islam memberikan reaksi terhadap persoalanpersoalan umat Islam yang pada saat mengalami kemunduran total didalam segala bidang
kehidupan pada saat itu.
Rasyid Ridha juga melihat perlunya dihidupkan kembali kesatuan uamat Islam. Karena
menurutnya, salah satu sebab lain bagi kemunduran umat Islam ialah adanya perpecahan
yang terjadi dikalangan umat. Kesatuan yang dimaksud bukanlah kesatuan yang didasarkan
atas kesatuan bangsa dan bahasa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh
karena itu, Dia tidak setuju dengan gerakan nasionalisme. Dia beranggapan bahwasanya
faham nasionalisme bertentangan dengan ajaran persaudaraan seluruh umat dalam Islam.
Karena, dalam persaudaraan Islam tidaklah dikenal adanya perbedaan bahasa tanah air
maupun bangsa. Menurut Rasyid Ridha, hukum dan undang-undang tidak dapat dijalankan
tanpa kekuasaan dari pemerintah. Oleh karena itu, kesatuan umat memerlukan suatu bentuk
negara. Negara yang dianjurkan olehnya adalah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala
negara ialah khalifah. Khalifah, karena mempunyai kekuasaan legislatif, harus mempunyai
sifat mujtahid. Tetapi, khalifah tidak boleh bersifat absolute. Ulama merupakan pembantupembantunya yang utama dalam soal pemerintahan umat. Khalifah adalah mujtahid besar dan
dibawah kekhalifahan lah, kemajuan dapat dicapai dan kesatuan umat dapat diwujudkan.11
Pada tahun 1314 H/1897 M sepeninggalan Al-Afgani, Rasyid Ridha berkeinginan
untuk hijjrah ke Mesir disana Dia menemui Muhammad Abduh sebagai penganti Al-Afgani.
Dia menemukan bahwa iklim kebebasan yang ada di Mesir sangat penting dalam
mewujudkan ambisinya yang baru.12 Pada tahun 1921, Dia menjabat sebagai ketua konggres
nasional Suriah di Damaskus dan pada tahun itu juga Dia menjabat sebagai wakil Suriah dan
Palestina yang diutus ke PBB untuk menentang aksi Inggris dan Perancis.
Salah satu aktifitas Rasyid Ridha yang paling menonjol adalah usahanya dalam
mempersatukan umat Islam dan kebangkitan kaum Muslimin di negara-negara Islam. Rasyid
Ridha berkeinginan untuk menghidupkan kembali kekhalifahan yang absolute, yang pada
saat itu telah dihapuskan oleh Mustafa Kemal Attaturk. Jabatan khalifah baginya adalah
wajib syar’i, dan eksestensi Khilafah sangat penting dalam rangka penerapan hukum syari’at
Islam. Hal ini sejalan dengan pandangannya, bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan,
11
12
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Hal. 36
Muhammad Imarah, Ibid. Hal. 5
4
politik dan pemerintahan. baginya bentuk pemerintahan lain tidak bisa menerapkan syari’at
Islam. Untuk mendukung pendapat tersebut, Rasyid Ridha memberikan pengertian yang satu
kepada khilafah, imamah al-‘uzhmat dan imarah al-mu’minin, yakni kepada pemerintahan
untuk menegakkan urusan agama dan urusan dunia.
Karena itu Rasyid Ridha mengarisbawahi pendapat Al-Taftazani yang mengatakan,
imamah adalah kepemimpina umum dalam urusan agama dan dunia yang diwarisi dari Nabi.
Dia juga sependapat dengan al-Mawardi yang mengatakan, imamah itu ditegakkan sebagai
penganti Nabi dalam memelihara urusan keagamaan dan keduniaan.
Lebih lanjut, Rasyid Ridha juga mengedepankan pendapat dan argumentasi Al-As’ad
tentang kekhalifahan wajib syar’i yaitu adanya ijma’ sahabat dalam hal pengukuhan Abu
Bakar sebagai khalifah (pengganti) Nabi sampai mereka mendahulukannya dari pada
penguburan Nabi. Dengan adanya imam, pelaksanaan hukum syari’at terjamin dan terhindar
dari berbagai mudarat. Adanya kejawajiban taat pada Islam berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah memang menhendaki diangkatnya seorang Imam.
Pandangan dan argumentasi Rasyid Ridha yang dikemukan tersebut itu menunjukkan
Dia adalah pemikir konservatif. Dia juga masih terikat pada pendapat-pendapat ulama abad
pertengahan. Padahal Dia telah berhadapan dengan zaman modern dan menyaksikan
kebobrakan sistem kekhalifahan yang dihapuskan oleh Musatafa Kemal Attaturk. Dengan
demikian Dia tidak memunculkan pemikiran politik orisinal. Sebab Dia masih ingin
mempertahankan eksistensi khilafah yang dalam prakteknya cenderung absolute dan otokrasi,
yang
terjadi
pasca
Khilafah
Khulafa’
al-Rasyidin.13
Rasyid
Ridha
yang
tetap
mempertahankan sistem kekhilafah tetapi mengiginkan adanya perbaikan dalam bidang
pemerintahan tersebut, yaitu pelaksanaan syura dalam pemilihan khalifah, yang selama ini
berjalan turun-temurun.14
Tidak ditemui pendapatnya mengenai sumber kekuasaan bagi pemerintahan, yang jelas
bukan dari rakyat, karena khalifah dipilih oleh anggota ahl al-halli wa al-‘aqd yang Ridha
sebut ahl al-ikhtiyar (orang yang berhak memilih). Dengan demikian rakyat tidak mempunyai
hak memilih, rakyat hanya menaati hasil pilihan para ahl al-ikhtiyar. Para anggota pemilih
ini, menurut Ridha tidak hanya berfungsi sebagai pemilih saja tetapi juga sebagai pihak yang
berhak untuk menjatuhkan khalifah jika dalam tindakannya terdpat hal-hal yang
13
14
Suyuthi Pulungan, ibid. Hal. 282
Ibid, hal.286
5
mengharuskan pemecatannya. Tetapi anehnya Ridha membenarkan sistem pengangkatan
putra mahkota oleh khalifah. Dengan demikian hak dan wewenang para anggota ahl al-halli
wa al-‘aqd dan batas kekuasaan antara khalifah dan ahl al-ikhtiyar menjadi tidak jelas
(kabur).
Pengangkatan khalifah dilakukan oleh para anggota ahl al-halli wa al-‘aqd. Tapi tidak
jelas siapa yang memilih dan mengangkat mereka15 rakyat atau khalifah. Ridha hanya
menajukan syarat-syarat bagi ahl al-halli wa al-‘aqd yang dikutip dari Al-Mawardi. Pertama,
adil dengan segala syaratnya. Kedua, berilmu sehingga Dia dapat mengetahui siapa yang
berhak menjadi khalifah. Ketiga, mempunyai wawasan dan kebijakan dalam menentukan
siapa yang lebih pantas untuk menjadi khalifah dan lebih mampu menegakkan kemaslahatan.
Sedangkan kualifikasi calon kekhalifahan, Ridha lagi-lagi mengutip Al-Mawardi yang
mengatakan, bahwa seoranga khalifah haruslah memiliki sifat adil, berilmu dan dapat
berijtihad, sehat pancaindranya, sehat anggota badannya, berpandangan laus dan berasal dari
suku Quraisy berdasarkan hadits Nabi: al-Aimmat min al-Quraisy.
Diantara syarat-syarat tersebut Ridha memberi tekanan pada syarat terakhir. Khalifah
sebaiknya dari suku Quraisy. Alasan yang dikemukakan karena banyaknya riwayat yang
mendukung persyaratan ini dan tidak pernah diperselisihkan oleh ulama Ahl al-Sunnat
sampai-sampai Ridha melupakan prinsib Islam, yaitu ajaran persamaan, seperti firman Allah
dalam Surat Al-Hujaraat ayat 13 dan Hadits Nabi. Namun demikian, tampaknya syarat terakhir
tersebut bukan harga mati bagi Ridha. Sebab seandainya tidak mungkin dari orang Quraisy, maka,
seorang yang akan dipilih jadi khalifah hendaknya memiliki sifat-sifat dan watak seperti orang
Quraisy. Pandangan tersebut semangkin memperjelas pemikiran Ridha bahwa sumber kekuasaan
bukan dari rakyat. Sebab yang berhak memilih khalifah adalah golongan tertentu, yaitu aristokrat.
Mengenai tugas khalifah, menurut Rasyid Ridha, tidak hanya berfungsi menegakkan
syaria’at agama tetapi juga berfungsi dalam urusan dunia. Tugas keagamaan khalifah
meliputi penyebaran dakwah Islam, pelaksanaan keadilan, pemeliharaan agama dari ancaman
musuh dan bid’ah dan pelaksanaan musyawarah. Dalam pendapat yang dikemukakan diatas
memggabarkan sosok pemikiran Ridha yang konservatif; terikat kepada tradisi dan pemikiran
zaman klasik. Karena keterikatan itu dan keberadaan khalifah wajib syar’i, maka sistem
kekhalifahan baginya, yang mempunyai sifat internasionalisme. Kekuasaan politik yang
mendunia. Artinya di dalam dunia Islam hanya boleh satu khilafah dan seorang khalifah.
15
Maksudnya: pengangkatan dan pemilihan ahl al-halli wa al-‘aqd
6
Tidak dibenarkan ada dua khalifah yang berkuasa. Sebab bila ada khalifah lebih dari satu,
menurutnya bertentangan dengan tujuan pembentukan khilafah untuk mempersatukan uamat
Islam sedunia dibawah satu kekuasaan politik.16 Ridha juga menolak negara kesatuan
berdasarkan kebangsaan menurut konsep barat. Sebab dalam Islam katanya rasa kebangsaan
bisa tumbuh di atas dasar keagamaan.
D. Analisa
Rasyid Ridha merupakan salah satu pembaharu politik di dunia Islam, yang sangat
berpengaruh pada saat itu. Karena Dia banyak menyatakan pendapat-pendapat dan ide-idenya
melalui tulisan-tulisan, buku-buku, dan majalah yang Dia karang, sehingga banyak
mempengaruhi dunia Islam pada saat itu, dan Dia menyampaikan pemikiran-pemikiran
Muhammad Abduh ketika itu memlalui majalah Al-Manar yang tujuannya untuk demokrasi
politik. Dia juga pernah mencoba menerapkan ide-ide politiknya kepada kerajaan Turky
Usmani, namun Dia mendapat penolakan dari kerajaan tersebut dan pada akhirnya Dia hijrah
ke Mesir. Dan Rasyid Ridha merupakan tokoh pembaharu yang mempunyai konsep pemikiran
tradisional. Konsep pembaharuan yang dikemukakannya meliputi aspek teologi, pendidikan, syari’at
dan politik.
Dan beliau banyak sekali mengutip pendapat-pendapat gurunya tentang khilafah dan
pemerintahan, dan banyak juga pendapat-pendapat gurunya yang tidak sesuai dengan
pendapat beliau. Rasyid Ridha juga sangat menginginkan umat Islam untuk bangkit dan
bersatu. Dia telah memainkan kafrahnya di dunia politik semenjak Dia masih berada di tanah
airnya, setelah Dia hijrah ke Mesir, Dia juga ingin melanjutkan aksinya di dalam dunia
politik, tetapi disayangkan Dia tidak dapat melanjutkan aksinya, Muhammad Abduh meminta
Dia untuk menjauh dari dunia politik, Dia aktif dalam dunia politik setelah wafatnya gurunya
baru lah Dia mulai malanjutkan aksinya lagi di dalam dunia politik dan Dia juga merupakkan
juru bicara bagi pemikiran Muhammad abduh.
Rasyid Ridha sangat banyak menulis tentang isu-isu politik yang terjadi pada saat itu,
dan Dia juga mengarang tentang penetangan terhadap pemerintahan Turky Usmani, dan juga
penentangan terhadap politik Inggris dan Prancis yang ingin membagi-bagi dunia Arab.
Rasyid Ridha juga sangat aktif dalam tulis-menulis, pidato dan perjuangan dalam
16
Suyuthi Pulungan, ibid. Hal. 291
7
menegarkan persatuan umat Islam, Dia juga tak jarang mengirim surat kepada tokoh-tokoh
Islam dan mengajaknya pada jalan yang ditempuhnya saat itu guna untuk memajukan dan
mempersatukan umat Islam dalam sebuah Khilafah dan satu khalifah.
Dari pemikiran-pemikiran yang telah di kemukakan Rasyid Ridha dalam kajian politik
Islam sesuai apa yang di inginkan dalam Islam kecuali sistem kekhaifahan yang absolute,
yang rakyatnya tidak bisa berbuat apa-apa, yang hanya bisa menunggu keputusan dari ahl alhalli wa al-‘aqd. Sistem yang seperti ini sangat tidak sesuai dengan konteks Islam. Karena
dalam agama Islam adanya hak dan kebebasan dalam berpendapat.
E. Kesimpulan
Demikianlah Rasyid Ridha sebagai salah seorang tokoh pembaru dalam dunia Islam,
beliau benar-benar ingin melihat kemajuan umat Islam. Yang pada akhirnya Dia juga
memasukan pemikiran-pemikiran modern. Pemikirannya dalam bidang politik yang Dia
ingin sekali mempersatukan Islam dalam satu Khalifah. Perjuangannya tidak hanya sebatas
pada pemikiran saja tetapi juga pada pergerakannya jaga, hal ini dapat kita lihat ketika Dia
menerbitkan majalah al-manar, lalu Dia hijjrah dari suriah kemesir yang tidak lain guna untuk
memudahkan perjuangannya, bukan menetap pada sebuah wilayah saja.
Kemunculan pemikiran Rasyid Ridha di bidang politik Islam memberikan reaksi
terhadap persoalan-persoalan umat Islam yang pada saat mengalami kemunduran total
didalam segala bidang kehidupan pada saat itu. Ridha mempunyai pemikiran yang
konservatif Dia sangat terikat kepada pemikiran pada tradisi dan zaman klasik dan Dia juga
masih terikat pemikiran ulama abad pertengahan, dan Ridha juga menolak negara kesatuan
berdasarkan kebangsaan menurut konsep barat.
Tidak ditemui pendapatnya mengenai sumber kekuasaan bagi pemerintahan, yang jelas
bukan dari rakyat, karena khalifah dipilih oleh anggota ahl al-halli wa al-‘aqd yang Ridha
sebut ahl al-ikhtiyar (orang yang berhak memilih). dan pengangkatan khalifah dilakukan oleh
para anggota ahl al-halli wa al-‘aqd, dan mengenai tugas khalifah, menurut Rasyid Ridha,
tidak hanya berfungsi menegakkan syaria’at agama tetapi juga berfungsi dalam urusan dunia.
F. Daftar Pustaka
8
Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. 2002.
Yogyakarta: Qalam.
Imarah, Muhammad, Mencari Format Peradaban Islam. 2005. Jakarta: PT RajaGrafido
Persada.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. 1994.
Jakarta: Bulan Bintang.
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. 2002. Cet. V. Jakarta: PT
RajaGrafido Persada.
Shiddieqy, Hasbi Ash-, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir. 1994. Jakarta: Bulan
Bintang.
Shihab, Muhammad Quraish, Studi Kritis Tafsîr al-Manar. 1994. Bandung: Pustaka Hidayah.
Yamin, Ahmad, Kontekstualita Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. 2006. Vol. 21 No. 1,
Jambi: STAIN Kelinci Jambi
9