Laporan KP Pertamina Ep Asset 3
Laporan KP Pertamina Ep Asset 3
Laporan KP Pertamina Ep Asset 3
PENDAHULUAN
Minyak dan gas bumi adalah salah satu sumber daya alam yang sangat penting di era kemajuan
teknologi saat ini. Hampir semua pembuatan teknologi di dunia ini membutuhkan sumber daya alam
ini dalam proses pembuatannya. Untuk mendapatkan sumber daya alam minyak dan gas dibutuhkan
salah satunya adalah tahap eksplorasi dalam pencarian minyak dan gas bumi di alam ini. Pada tahap
ini, Geophysicists dan Geologist memiliki peran yang sangat tinggi.
Dalam tahap eksplorasi ini masih dibagi menjadi beberapa tahap seperti akuisisi data, processing
data, dan interpretasi data. Dalam menentukan daerah yang memiki prospek hidrokarbon, interpretasi
data adalah tahap yang sangat penting setelah akuisisi data dan processing data dilakukan dengan baik
dan benar.
Dalam interpretasi data, untuk mendapatkan gambaran bawah permukaan diperlukan studi
menyeluruh antara ilmu geologi dan geofisika. Studi tersebut mencakup korelasi data seismik dan
data sumur dan juga analisis lingkungan pengendapan dan persebaran litologi daerah penelitian.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk interpretasi data seismik adalah Metode Impedansi
Akustik untuk mendapatkan data lingkungan pengendapan litologi dan persebaran litologi pada
daerah penelitian. Untuk mendapatkan gambaran bawah permukaan yang baik juga harus dilakukan
tahap-tahap sebelum inversi impedansi akustik mencakup well seismic tie, crossplot dan picking
horizon.
Hal-hal inilah yang menarik minat penulis untuk melakukan penelitian terhadap satu persatu proses
tahapannya agar bisa bermanfaat bagi pembaca.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni Juli 2015 di lingkungan PT PERTAMINA EP
ASSET 3 dengan daerah penelitian lapangan X Jawa Barat.
Studi Pustaka
Tahap pertama dalam penelitian ini diperlukan untuk memahami konsep-konsep dasar
yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu Interpretasi Seismik Refleksi dan Geologi
Regional daerah penelitian.
Picking Horizon
Pada tahap ini digunakan untuk menentukan lapisan target yang akan diteliti. Hasil
dari picking horizon digunakan untuk membuat Time-Migrated Map, Depth Map dan
model awal inversi.
Penulisan laporan kerja praktek ini dibagi menjadi beberapa bab, yaitu :
Bab I : Pendahuluan
Membahas tentang penelitian secara umum yaitu latar belakang, tujuan penelitian, waktu dan
lokasi penelitian, batasan masalah peneltian, metodologi penelitian, dan sistematika
penelitian.
BAB II
GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
2.1
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai daerah yang kaya akan hidrokarbon.
Cekungan ini terletak di antara paparan Sunda (utara), jalur perlipatan Bogor (selatan), daerah
pengangkatan Karimun Jawa di (timur) dan paparan Pulau Seribu (barat). Cekungan Jawa Barat
Utara dipengaruhi oleh sistem block faulting yang berarah utara-selatan. Patahan yang berarah
utara-selatan membagi cekungan menjadi graben atau beberapa subbasin, yaitu Jatibarang,
Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan beberapa tinggian basement, seperti Arjawinangun,
Cilamaya, Pamanukan, KandanghaurWaled, Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan
stratigrafi, pola struktur, serta letaknya yang berada pada pola busur penunjaman dari waktu ke
waktu, cekungan Jawa Barat telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak
Eosen sampai dengan sekarang (Martodjojo, 2002).
2.2
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore) di bagian utara
dan darat (onshore) di selatan (Darman dan Sidi, 2000). Seluruh area didominasi oleh
patahan ekstensional (extensional faulting) dengan sangat minim struktur kompresional.
Cekungan didominasi oleh rift yang berhubungan dengan patahan, membentuk beberapa
struktur deposenter (half graben), deposenter utamanya antara lain subcekungan Arjuna dan
subcekungan Jatibarang, serta deposenter yang lain yaitu subcekungan Ciputat, subcekungan
Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier dengan ketebalan
melebihi 5500 m.
Terdapat berbagai struktur geologi di cekungan ini. Ditemukan beragam area tinggian yang
berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dan blok tinggian (horst block), lipatan pada
bagian yang turun pada patahan utama, keystone folding dan mengena pada tinggian batuan
dasar. Struktur kompresional hanya terjadi pada awal pembentukan rift pertama yang berarah
relative barat laut-tenggara pada periode Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali pada
5
Oligosen. Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari Pra
Tersier hingga Plio-Pliostosen. Fase tektonik tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tektonik Pertama
Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat dilkasifikasikan
sebagai Fore Arc Basin dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari Cileutuh, Sub
Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah dan Cekungan Florence Barat yang
mengindikasikan kontrol Meratus Trend. Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal
sebagai Paleogen Extensional Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser mendatar menganan
utama krataon Sunda akibat dari peristiwa tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng
Eurasia. Sesar-sesar ini mengawali pembentukan cekungan-cekungan tersier di Indonesia
Bagian Barat dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart basin.
Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half graben system) dan
merupakan fase pertama rifting (rifting I: fill phase). Sedimen yang diendapkan pada rifting I
ini disebut sebagai sedimen synrift I. Cekungan awal rifting terbentuk selama fragmentasi,
rotasi dan pergerakan dari kraton Sunda. Dua tren sesar normal yang diakibatkan oleh
perkembangan rifting-I (early fill) berarah N 60o WN 40o W dan hampir NS yang dikenal
sebagai pola sesar Sunda. Pada masa ini terbentuk endapan lacustrin dan vulkanik dari Formasi
Jatibarang yang menutup rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus
berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar. Sistem ini kemudian
diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat Formasi Baturaja.
b. Tektonik kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligo-Miosen) dan dikenal
sebagai Neogen Compressional Wrenching. Ditandai dengan pembentukan sesar-sesar geser
akibat gaya kompresif dari tumbukan Lempeng Hindia.Sebagian besar pergeseran sesar
merupakan reaktifasi dari sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen.
Jalur penunjaman baru terbentuk di selatan Jawa. Jalur vulkanik periode Miosen Awal
yang sekarang ini terletak di lepas pantai selatan Jawa. Deretan gunungapi ini menghasilkan
endapan gunungapi bawah laut yang sekarang dikenal sebagai old andesite yang tersebar di
sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang merubah pola
tektonik tua yang terjadi sebelumnya menjadi berarah barat-timur dan menghasilkan suatu
sistem sesar naik, dimulai dari selatan (Ciletuh) bergerak ke utara. Pola sesar ini sesuai dengan
sistem sesar naik belakang busur atau yang dikenal thrust foldbelt system.
c. Tektonik Terakhir
Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada PliosenPleistosen, dimana terjadi proses
kompresi kembali dan membentuk perangkap-perangkap sruktur berupa sesar naik di jalur
selatan Cekungan Jawa Barat Utara. Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi
dan sesar naik Subang, sedangkan di jalur utara Cekungan Jawa Barat Utara terbentuk sesar
turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya perangkap struktur tersebut terjadi
kembali proses migrasi hidrokarbon.
2.3
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda adalah sebagai
berikut:
a. Batuan Dasar
Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur Kapur Tengah
sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995).
Lingkungan pengendapannya merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang
lapuk (Koesoemadinata, 1980).
b. Formasi Jatibarang
Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai di bagian tengah dan
timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian barat cekungan ini kenampakan Formasi
Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai. Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat,
dan konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies fluvial. Umur formasi ini adalah dari
Kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal. Pada beberapa tempat di Formasi ini ditemukan
minyak dan gas pada rekahan-rekahan tuff (Budiyani, dkk, 1991).
c. Formasi Talang Akar
Pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar secara tidak selaras di
atas Formasi Jatibarang. Pada awalnya berfasies fluvio-deltaic sampai fasies marine. Litologi
formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batupasir dengan serpih nonmarine dan diakhiri
oleh perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam fasies marine. Pada akhir
sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi
ini diperkirakan berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun
terendapkannya formasi ini terjadi dari Kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.
d. Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Pengendapan
Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik yang berupa paparan maupun yang
berkembang sebagai reef buildup manandai fase post rift yangs secara regional menutupi
seluruh sedimen klastik Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Perkembangan
batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui
sebagai daerah dalaman. Formasi ini terbentuk pada Kala Miosen AwalMiosen Tengah
(terutama dari asosiasi foraminifera). Lingkungan pembentukan formasi ini adalah pada
kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari ada (terutama dari melimpahnya
foraminifera (Spriroclypens sp).
e. Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan batugamping.
Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan batugamping klastik serta batugamping
terumbu yang berkembang secara setempat-setempat. Batugamping ini dikenali sebagai Mid
Main Carbonate (MMC). Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Awal-Miosen Akhir.
Formasi ini terbagi menjadi 3 Anggota, yaitu:
i. Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja. Litologi anggota
ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir dari halussedang. Pada massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian atas. Selain
itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus, foraminifera bentonik
seperti Amphistegina (Arpandi dan Patmosukismo, 1975).
ii. Main
Anggota Main terendapkan secara selaras diatas anggota Massive. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir
halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal pembentukannya berkembang batugamping
dan juga blangket-blangket pasir, dimana pada bagian ini anggota Main terbagi lagi yang
disebut dengan Mid Main Carbonate (Budiyani dkk, 1991).
iii. Pre Parigi
Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas anggota Main. Litologinya adalah
perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau. Anggota ini terbentuk pada Kala
Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah-Neritik Dalam
(Arpandi & Patmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal dan juga
kandungan batupasir glaukonitan.
f. Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas.. Litologi
penyusunnya sebagian besar adalah batugamping klastik maupun batugamping terumbu.
Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan
pengendapan formasi ini adalah laut dangkalneritik tengah (Arpandi & Patmosukismo, 1975).
Batas bawah Formasi Parigi ditandai dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran
klastika karbonat Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi. Formasi
ini diendapkan pada Kala Miosen Akhir-Pliosen.
9
g. Formasi Cisubuh
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi penyusunnya
adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih gampingan. Umur formasi ini
adalah dari Kala Miosen Akhir sampai PliosenPleistosen. Formasi diendapkan pada
lingkungan laut dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoralparalik (Arpandi &
Patmosukismo, 1975).
10
2.4
Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai pada kala Eosen
TengahOligosen Awal (fase transgresi) yang menghasilkan sedimentasi vulkanik daratlaut
dangkal dari Formasi Jatibarang. Pada saat itu aktifitas vulkanisme meningkat. Hal ini
berhubungan dengan interaksi antar lempeng di sebelah selatan Pulau Jawa, akibatnya daerahdaerah yang masih labil sering mengalami aktivitas tektonik. Material-material vulkanik dari
arah timur mulai diendapkan.
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala Oligosen
AkhirMiosen Awal yang menghasilkan sedimen trangresif transisideltaik hingga laut
dangkal yang setara dengan Formasi Talang Akar pada awal permulaan periode. Daerah
cekungan terdiri dari dua lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat adalah paralik sedangkan
bagian timur merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang
sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil, tetapi anak cekungan Ciputat masih aktif.
Kemudian air laut menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari
bagian barat laut terus ke arah tenggara menggenangi beberapa tinggian kecuali tinggian
Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen klastik yang dihasilkan setara dengan formasi
Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relatif stabil, dan daerah Pamanukan sebelah
barat merupakan platform yang dangkal, dimana karbonat berkembang baik sehingga
membentuk setara dengan formasi Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang
lebih dalam. Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan Jawa Barat
Utara diendapkan sedimen-sedimen laut dangkal dari formasi Cibulakan Atas. Sumber
sedimen yang utama dari formasi Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari arah utarabarat
laut. Pada akhir Miosen Tengah kembali menjauhi kawasan yang stabil, batugamping
berkembang dengan baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang
sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal. Kala Miosen AkhirPliosen (fase regresi)
merupakan fase pembentukan Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan
mengalami sedikit perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang masuk ke dalam
lingkungan paralik.
Pada Kala PleistosenAluvium ditandai untuk pengangkatan sumbu utama Jawa.
Pengangkatan ini juga diikuti oleh aktivitas vulkanisme yang meningkat dan juga diikuti
11
pembentukan struktur utama Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir
secara tiba-tiba sehingga mempengaruhi kondisi laut. Butiran-butiran kasar diendapkan secara
tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.
2.5
Petroleum System
Hampir seluruh Formasi di Cekungan Jawa Barat Utara dapat menghasikan hidrokarbon yang mempunyai
sifat berbeda, baik dari lingkungan pengedapan maupun porositas batuannya. Model petroleum system pada
Cekungan Jawa Barat Utara.
2.6
Geologi Lapangan X
12
BAB III
TEORI DASAR
Metode seismik refleksi merupakan salah satu metode geofisika yang menggunakan
gelombang akustik untuk mengetahui keadaan bawah permukaan bumi yang berasal dari
sumber getaran yang melewati bawah permukaan kemudian di pantulkan oleh bidang batas
batuan sehingga dapat diterima oleh receiver. Perambatan gelombang seismik memenuhi
hukum-hukum elastisitas ke segala arah dan mengalami pemantulan maupun pembiasan
sebagai akibat dari adanya perbedaan impedansi ketika melalui pelapisan medium yang
berbeda. Pada jarak tertentu di permukaan, gerakan partikel tersebut direkam sebagai fungsi
waktu. Berdasarkan data rekaman tersebut selanjutnya dapat diperkirakan bentuk
lapisan/struktur bawah permukaan.
Gambar 3.1 Penjalaran gelombang melalui batas dua mediun menurut Hukum Snellius
Setiap bidang batas batuan memiliki impedensi akustik yang berbeda beda. Impedensi
akustik yaitu kemampuan suatu bahan untuk memantulkan atau meneruskan gelombang
akustik yang mengenai medium tersebut.
AI=.V
Apabila terdapat dua lapisan batuan yang saling berbatasan dan memiliki perbedaan
nilai impedansi akustik, maka refleksi gelombang seismik dapat terjadi pada bidang batas
antara kedua lapisan tersebut. Besar nilai refleksi yang terjadi kemudian dinyatakan sebagai
Koefisien Refleksi. Oleh karena itu, Impedansi akustik dapat digunakan sebagai indicator
13
Perbandingan antara energi yang dipantulkan dengan energi yang datang pada
keadaan normal adalah:
Epantul
= KRxKR
Edatang
KR =
IA2 IA1
IA1 + IA2
Wavelet merupakan sinyal transien yang mempunyai interval waktu dan amplitudo
yang terbatas. Ada empat jenis wavelet yang umum diketahui, yaitu zero phase, minimum
phase, maximum phase, dan mixed phase. Dalam rekaman seismic dikenal istilah polaritas.
Berdasarkan konvensi SEG, polaritas normal terjadi jika sinyal seismic positif
menghasilkan tekanan akustik positif pada hidrofon di air atau pergerakan awal keatas pada
geofon di darat. Pada tape, polaritas normal akan merekam sinyal seismic yang positif
sebagai nilai negatif dan pada monitor terjadi defleksi negatif, dan trough pada penampang
seismik.
14
Gambar 3.3 Standar polaritas SEG. a)minimum phase, b) zero phase wavelet(Sheriff, 2001)
Trace seismic (S) adalah konvolusi dari reflektivitas bumi(RC) dengan wavelet
seismic(W) ditambah dengan komponen noise(n)
S(t)=W(t)*RC(t)+n(t)
Ketika komponen bising bernilai nol, maka persamaan diatas dapat disederhanakan
menjadi
S(t)=W(t)*RC(t)
Cara lain untuk melihat trace seismic adalah dengan menggunakan domain frekuensi
melalui transformasi fourier:
S(f)=W(f) x RC(f)
15
3.2.Well Logging
pada batugamping. Besaran dari pengukuran log sonic di tuliskan sebagai harga
kelambatan(Slowness)
3.2.7 Caliper
Caliper digunakan untuk mendeteksi adanya gerowong pada lubang bor dan
penyempitas lubang bor. Alatnya seperti tangan, menghitung panjang setiap tangan
untuk interval kedalaman tertentu. Selain itu digunakan untuk membantu melihat
kesalahan pembacaan.
18
Pengikatan data seismic dan sumur(Well Seismic Tie) merupakan suatu proses yang
dimaksudkan untuk meletakkan horizon seismic(skala waktu) pada posisi kedalaman
sebenarnya, dan agar data seismic dapat dikorelasikan dengan data geologi lainnya, yang
umumnya diplot dalam skala kedalaman. Teknik pengikatan data seismic dan sumur cukup
banyak, tetapi umumnya yang dipakai adalah dengan memanfaatkan seismogram sintetik
dari hasil survei kecepatan.
19
Seismogram sintetik merupakan rekaman seismic yang dibuat dari data log kecepatan
dan densitas. Seismogram sintetik dibuat dengan cara mengkonvolusikan wavelet dengan
KR. Wavelet yang digunakan mempunyai frekuensi dan bandwith yang sama dengan
penampang seismic. Data KR didapatkan dari data log dengan penampang seismic. Data
KR didapatkan dari data log sonic dan densitas. Seismogram sintetik final merupakan
superposisi darirefleksi-refleksi semua reflector. Korelasi sintetik dengan horizon geologi
beserta kedalamannya dapat dilihat dari log geologi terkait. Seismogram sintetik juga
sangat berguna untuk mendiagnosa karakter refleksi dari setiap horizon.
Dalam pengikatan data seismic dan sumur serta dalam pembuatan seismogram
sintetik, dibutuhkan kurva waktu terhadap kedalaman yang dihasilkan dari check-shot
survey. Pada check-shot survey kecepatan diukur dalam lubang bor dengan sumber
gelombang diatas permukaan. Dari data log geologi dapat ditentukan posisi horizon yang
akan dipetakan dan lakukan beberapa pengukuran pada horizon tersebut(downgoing dan
upgoing). Waktu first break rata-rata untuk masing-masing horizon dilihat dari hasil
pengukuran tersebut.
20
21
Selanjutnya kita mencari nilai Vavg yang digunakan untuk menkonversi peta waktu
ke peta kedalaman. Untuk memperoleh nilai Vavg ini, rumus (2.1) dapat diturunkan dengan
mengubah nilai variabel Z = Vavg T (ket: T diubah menjadi one-way-time dahulu dalam
satuan second) menjadi:
Vavg=Vo+k Vavg T
Vavg-Vavg k T=Vo
Vavg (1-kT)=Vo
Vavg = Vo/(1 k T)
Pada persamaan diatas, terdapat dua Vavg yang berbeda. Vavg pertama diperoleh
secara langsung dari top marker dengan seismic time pick tanpa melibatkan unsur Vo
dan k. Vavg pertama digunakan untuk mencari nilai Vo. Sedangkan Vavg yang kedua
merupakan Vavg yang diperoleh dengan melibatkan unsur Vo dan k. Vavg yang kedua
inilah yang digunakan untuk mengkonversi peta dari time ke depth. Jika kita langsung
menggunakan Vavg yang pertama, maka Vavg tersebut tidaklah melibatkan faktor
kompaksi (k) dan starting velocity (Vo). Dari rumus Vavg yang kedua dapat dilakukan konversi
ke kedalaman secara langsung dengan mengkalikan Vavg map dengan T map.
Inversi geofisika meliputi pemetaan sifat fisik obyek bawah permukaan dengan
menggunakan pengukuran yang dilakukan di permukaan, bila mungkin menggunakan data
sumur(Russel, 1998). Seismik Inversi adalah suatu teknik untuk membuat model bawah
permukaan dengan menggunakan data seismic sebagai input dan data sumur sebagai
control(Sukmono, 2001). Berikut ini merupakan diagram alur pemodelan kedepan dan
inversi.
22
Pemodelan Kedepan
Input
Model Bumi
Proses
Algoritma Pemodelan
Output
Respon Seismik
Pemodelan Kebelakang
(Inversi)
Respon Seismik
Algoritma Pemodelan
Model Bumi
Kontrol
Model
Pada dasarnya inversi seismic adalah proses untuk mengubah data seismic yang
berupa kumpulan nilai-nilai amplitude ke dalam kumpulan nilai impedansi akustik. Proses
dekonvolusi merupakan salah satu tahapan penting dalam inversi. Dekonvolusi merupakan
kebalikan dari proses konvolusi yaitu pengubahan wavelet menjadi koefisien refleksi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam seismic inversi antara lain adalah kalibrasi
data sumur dengan data seismic, ekstraksi wavelet, proses inversi data seismic, pemodelan
geologi, dan interpretasi detil unit stratigrafi. Tahapan dalam proses inversi dibagi menjadi
dua tahap, yaitu:
1. Konversi trace seismic ke trace reflectivity
2. Konversi trace reflectivity ke trace impedance
Trace impedance hasil dari inversi memiliki resolusi rendah yang menyerupai
impedansi akustik dari log, namun log mempunyai resolusi dan frekuensi yang lebih tinggi.
Impedansi pada waktu t dapat secara rekursif dihasilkan dari reflektifitas pada waktu
sebelumnya. Syarat utama yang dibutuhkan dalam proses inversi adalah menemukan
wavelet sumber pada data seismic dan menemukan scale factor dari data seismic terhadap
reflektifitas.
Terdapat beberapa macam metode inversi, antara lain:
1. Sparse Spike Zero Amplitude Inversion Method
Pada metode ini, trace spiking dihasilkan dengan meminimalkan fungsi D.
N
N
2
kL
i1
i1
Dimana:
S
: Input trace
: faktor prewhitening
: Panjang Trace
Wij
: Elemen wavelet
terkonvolusi. Nilai kecil dan positif digunakan untuk stabilitas. Kunci untuk
memproduksi trace spiky adalah keadaan yang nonlinear. Untuk nilai besar,
akan dihasilkan spike sedikit, dan band seismik akan menghasilkan residual error
yang besar.
2. Norm Minimization
Pada metode ini, trace spiking dihasilkan dengan meminimalisasi fungsi Z.
Z = (1 ). Ze + . Zw . Zr
Dimana adalah parameter spikeness(penambahan =sedikit spikes)
Ze = |r(t) w(t) f(t)|
Zf = |r(t)|
Zw = |w(t)|
3. L1 Norm Minimization(nonlinear optimization)
Pada metode ini, fungsi objektif pada persamaan diminimalisasi dengan
algoritma iterative reweighted least square algorithm.
Dimana x(t) adalah input trace pada model konvolusi, dan () adalah
ortonormal basis vectors.
25
BAB IV
DATA DAN PENGOLAHAN DATA
4.1 Data
Penelitian yang dilakukan dimulai dengan pengumpulan data awal kemudian
dilanjutkan dengan pengolahan data dari perangkat lunak Paradigm 14.1. Berikut ini
merupakan flowchart pengolahan data:
Mulai
Pengumpulan Data
Data Sumur
Data Seismik
Data Geologi
Ekstraksi Wavelet
Seismogram Sintetik
Tidak
Ya
Picking Horizon &
Fault
Model Impedansi
Time Map
Inversi Seismik
Depth Map
Peta AI
Analisa AI
Selesai
Interpretasi
26
27
4.1.3
Data Sumur
Sumur yang digunakan pada penelitian ini adalah SKM-01, TMG-01 dan
TMG-02. Sumur-sumur tersebut memiliki data yang digunakan dalam penelitian ini
yakni data log, marker dan checkshot. Data log yang akan digunakan dalam penelitian
ini yaitu data log gamma-ray, log densitas, log dt. Data log kecepatan yang digunakan
didapatkan dari tranformasi dari data log dt. Ketiga sumur mempunyai data checkshot
yang akan digunakan untuk mendapatkan kurva waktu-kedalaman yang lebih jauh
lagi akan dimanfaatkan untuk pengikatan data seismik dan sumur.
Jenis Log
Sumur
TMG-01
TMG-02
SKM-01
Caliper
GR
Dt
NPHI
SP
RHOB
28
4.2.1
Perangkat Lunak
Pengolahan data penelitian ini menggunakan perangkat lunak Paradigm 14.1
Well log: Melihat data log dan melihat korelasi antar data log.
Section: Untuk melihat data seimik model 2D, well seismic tie, dan
picking
horizon
Vanguard : digunakan dalam well seismic tie, pembuatan background model, dan
tahapan inversi AI
Base Map: Untuk melihat daerah penelitian, melihat Time Map, dan untuk
konversi Time Map menjadi Depth Map.
29
Gambar 4.3 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur SKM01
30
Gambar 4.4 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur TMG01
Gambar 4.5 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur TMG02
31
Gambar 4.6 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur SKM01 setelah diberi Highlight. Warna hijau untuk lapisan porous, dan biru untuk lapisan
tight.
32
Gambar 4.7 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur TMG01 setelah diberi Highlight. Warna hijau untuk lapisan porous, dan biru untuk lapisan
tight.
Gambar 4.8 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur TMG02 setelah diberi Highlight. Warna hijau untuk lapisan porous, dan biru untuk lapisan
tight.
33
Gambar 4.9 Proses Stretch & Squeeze pada well seismic tie
Dalam tahap well seismic tie, akan didapatkan nilai koefisien korelasi
antara data sumur dan data seismik, semakin besar nilainya maka tahap ini
34
semakin baik, biasanya nilai > 0.5. Selain itu, akan didapatkan juga nilai PEP
( Propotion of Trace Energy Predicted ), nilai NMSE ( Normalised Mean
Square Error ), dan nilai Shifting. Semakin besar nilai PEP maka data akan
semakin baik, sedangkan semakin besar nilai NMSE maka data semakin
buruk. Sedangkan nilai shifting, semakin mendekati nilai 0 maka data akan
semakin baik.
Dari hasil well seismic tie dengan filter Ricker pada sumur daerah
penelitian, didapatkan data sebagai berikut :
Sumur
Koefisien
PEP
NMSE
Shifting
Korelasi
Amplitude
Factor
SKM-01
0.81
0.627535 0.0155006
-0.213991
1.32788e-06
TMG-01
0.76
0.510929 0.0249984
-4.177448
1.10248e-06
TMG-02
0.72
0.444531 0.0326332
-65.153778
9.62837e-07
35
Lalu pada picking horizon dilakukan pada inline 2780 hingga 3340 dan
crossline 10002-10510 dengan spasi increanment 10 tetapi pada daerah sekitar
sumur spasi increanment 5. Picking dilakukan pada lapisan target yaitu Parigi.
Sebelum memulai picking horizon pada inline dan crossline, dilakukan
picking horizon pada traverse untuk menjadi guide pada saat picking pada
inline dan crossline agar hasil pick tepat sesuai target. Dalam melakukan
picking horizon guide utama kita adalah marker dari well yang sudah
dilakukan well seismic tie.
36
Dari hasil picking horizon dan struktur ini akan menghasilkan Time Map
yang selanjutnya akan dikonversi menjadi Depth Map. Hasil picking horizon
kemudian di grid sehingga menjadi Time Map dan juga dibuat kontur dari map
ini.
yang diperlukan adalah TVD SL, TWT, Vavg. Data ini didapat dari data
checkshot pada sumur yang memiliki data checkshot paling baik. Pada tahap
pertama, dilakukan filter data TVD SL yang digunakan. Jika trend TVD SL
menurun maka data tersebut tidak digunakan dikarenakan nilai TVD SL selalu
bertambah. Setelah menentukan data yang digunakan, cari nilai V avg dengan
rumus :
V avg = TVD SL / TWT / 2000
Setelah mendapatkan nilai V avg, dibuat korelasi antara nilai V avg
dengan TWT. Gradien yang dibentuk antara V avg dengan TWT merupakan
nilai k, dan nilai k yang didapat adalah 0.1709.
Setelah mendapatkan nilai k, dicari nilai Vo dari nilai k, nilai TVD SL
dan V avg yang dilihat dari data marker dengan rumus:
Vo = V avg ( TVD SL * K )
Sehingga bisa didapat nilai Vo untuk tiap sumur. Tabel 4.2
menunjukkan nilai Vo yang didapat untuk tiap sumur.
TVD SL
TWT
OWT
V avg
67.6
88.88
44.44
1521.15
167.6
196.15
98.075
1708.9
267.6
300.22
150.11
1782.69
367.6
406.42
203.21
1808.97
467.6
519.24
259.62
1801.09
567.6
631.41
315.705
1797.88
667.6
746.36
373.18
1788.95
767.6
859.81
429.905
1785.51
867.6
969.64
484.82
1789.53
967.6
1076.7
538.345
1797.36
1067.6
1177.8
588.89
1812.9
1167.6
1273.7
636.87
1833.34
1227.55
1319
659.5
1861.33
1267.6
1344.5
672.25
1885.61
Parigi
Tabel 4.3 Data TVD SL, TWT, OWT, V avg formasi parigi
38
V average (m/s)
y = 0.1709x + 1657.2
200
400
600
800
1000
1200
1400
TVD SL (ms)
Well
TWT
TVD SL
V avg
Vo
TMG-01
0.1709
1329.6
1299.8
1955.174
1733.08
TMG-02
0.1709
1317.04
1278.7
1941.779
1723.289
SKM-01
0.1709
1285.26
1300.1
2023.077
1800.933
Setelah mendapatkan data Vo, lalu dilakukan grid pada nilai Vo. Setelah
mendapatkan hasil grid Vo lalu buat Depth Map menggunakan mathematical
operations dengan rumus :
: 0.1708685266
39
40
Sumur
SKM-01
0.6556862
TMG-01
0.69414824
TMG-02
0.57349432
Tabel 4.5 hasil korelasi antara model awal inversi dengan data seismik.
41
Gambar 4.19 Korelasi data log model awal dengan data seismik.
Background model
42
43
44
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Data Log
Dari data log gamma ray, dapat dilihat bahwa nilai log gamma ray pada formasi parigi
hingga Cibulakan Atas pada sumur SKM-01, TMG-01 dan TMG-02 relatif konstan, sehingga
litologi pada formasi parigi hingga Cibulakan Atas merupakan satu kesatuan litologi yaitu
batugamping dilihat dari hasil well log analysis pada studi sebelumnya dan didukung juga
dari geologi regional pada formasi parigi hingga Cibulakan Atas didominasi oleh
batugamping.
Gambar 5.1 Data log gamma ray sumur SKM-01,TMG-01, dan TMG-02 pada formasi parigi hingga
Cibulakan Atas
45
46
Gambar 5.2 Multimin analysis litologi kiri ke kanan ( SKM-01, TMG-01, TMG-02 ).
47
Gambar 5.4 Hasil korelasi wavelet dan hasil well seismic tie
Pada tahap well seismic tie ini wavelet yang digunakan adalah jenis Ricker karena
jenis ini yang paling cocok untuk seismogram sintetik agar data sumur sama dengan data
seismik. Pada well seismic tie di sumur SKM-01, fase seismogram sintetik perlu dibalik 180
agar diperoleh korelasi yang bagus antara data sumur dengan data seismik, dari hasil well
seismic tie pada sumur SKM-01 diperoleh nilai koefisien korelasi 0.81 dengan shifting 0.213991 ms dan memiliki energi 0.627535 dengan error 0.0155006, hal ini menunjukkan
bahwa hasil well seismic tie pada sumur SKM-01 sudah cukup baik. Pada well seismic tie
pada sumur TMG-01, didapatkan nilai koefisien korelasi 0.76 dengan shifting -4.177448 ms
dan memiliki energi sebesar 0.510929 dengan error 0.0249984, hasil ini juga dinilai masih
cukup baik dikarenakan nilai koefisien korelasi > 0.6 dan shifting < 10 ms. Sedangkan hasil
well seismic tie pada sumur TMG-02 didapatkan nilai koefisien korelasi 0.72 dengan shifting
-65.153778 ms dengan energi sebesar 0.444531 dan error 0.0326332, dari nilai koefisien
korelasi hasil well seismic tie pada sumur TMG-02 sudah cukup baik namun dari nilai
memiliki shifting yang terlalu besar sehingga hasil well seismic tie dianggap cukup berbeda
dengan data log asli, namun ketika nilai shifting dipaksa mendekati 0, maka seismogram
sintetik sangat berbeda dengan data seismik. Hal ini kemungkinan disebabkan data input pada
saat well seismic tie kurang tepat, yaitu data log dt, data log densitas ataupun checkshot.
48
Dari hasil picking fault didapatkan sesar pada formasi parigi memiliki arah utaraselatan, hal ini sesuai dengan geologi regional cekungan Jawa Barat yang memiliki arah sesar
utara-selatan. Untuk hasil picking horizon juga sudah cukup baik dilihat dari kontur pada
Time Map tidak ada yang berpotongan dan tidak ada yang tidak masuk akal. Pada proses
picking horizon sendiri sering terjadi kontur yang tertarik dan berbelok-belok dalam skala
kecil, hal ini dikarenakan pada saat picking crossline berbeda dengan picking pada inline
sehingga kontur pada Time Map akan tertarik. Setelah picking horizon selesai lalu hasil
picking di grid sehingga terbentuk Time Map.
Dari Time Map diketahui bahwa waktu tempuh seismik pada formasi parigi memiliki
rentang antara 1141.22 ms hingga 1901.53 ms dan nilai ini semakin ke arah tenggara semakin
besar. Terdapat 2 tinggian yang ditandai dengan warna jingga pada peta. Sementara rendahan
ditandai dengan warna biru pada peta.
Dari Depth Map juga diketahui bahwa formasi parigi memiliki rentang kedalaman
dari 1142.74 m hingga 1948.8 m. Dari Depth Map juga diketahu bahwa formasi parigi ke
arah tenggara semakin dalam. Terdapat 2 tinggian juga yang ditandai dengan warna jingga.
Korelasi antara Time Map dan Depth Map sangat baik dilihat dari Depth Map yang
menyerupai Time Map. Dari Depth Map sendiri juga didapatkan error maksimal sebesar
0.230103m. Sehingga dapat disimpulkan Time Map dan Depth Map ini cukup baik dan valid
sehingga bisa digunakan untuk menentukan kedalaman pemasangan chasing pada bor
nantinya.
49
Sumur
SKM-01
0.6556862
TMG-01
0.69414824
TMG-02
0.57349432
Tabel 5.1 hasil korelasi antara model awal inversi dengan data seismik.
50
Dari peta AI pada lapisan parigi diketahui bahwa nilai AI paling tinggi pada daerah
barat laut dan semakin ke arah tenggara semakin rendah. Dari analisis crossplot diketahui
parameter AI ini bisa digunakan untuk membedakan batugamping porous dan batugamping
tight sehingga dapat disimpulkan pada daerah barat laut merupakan litologi batugamping
tight dan pada daerah tenggara merupakan batugamping porous. Setelah di overlay dengan
kontur kedalaman diketahui bahwa batugamping tight terletak pada kedalaman yang lebih
dangkal dan batugamping porous terletak pada kedalaman yang lebih dalam. Peta AI ini
memiliki rentang nilai 5695.1 gr m / cc s hingga 4736.83 1 gr m / cc s . Namun setelah dilihat
korelasi antara hasil inversi AI dengan log AI didapat bahwa nilai korelasi pada tiap sumur
sangat kecil yaitu sekitar 0.002, sehingga dapat disimpulkan data ini tidak baik. Hal ini bisa
disebabkan karena :
51
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Dari hasil picking fault diketahui bahwa sesar pada formasi parigi memiliki arah
utara-selatan sesuai dengan geologi regional cekungan Jawa Barat.
2. Metode yang digunakan untuk konversi Time Map menjadi Depth Map adalah metode
Vo-K dan dari Depth Map dapat disimpulkan bahwa formasi parigi memiliki litologi
batugamping yang kedalamannya semakin ke arah tenggara semakin dalam dan
terdapat 2 tinggian pada daerah penelitian ini dengan rentang kedalaman 1142.74 m
hingga 1948.8 m.
3. Dari peta hasil inversi AI diketahu bahwa litologi pada lapisan parigi adalah
batugamping tight pada daerah barat laut semakin ke arah tenggara semakin bersifat
porous, sesuai dengan hasil crossplot bahwa parameter AI dapat digunakan untuk
membedakan litologi batugamping porous dengan batugamping tight. Dengan rentang
nilai pada peta inversi adalah 5695.1 gr m / cc s hingga 4736.83 1 gr m / cc s.
4. Nilai korelasi antara hasil inversi dengan data log AI sangat kecil memiliki rata-rata
0.002 sehingga data inversi ini dianggap buruk dan perlu digunakan referensi
parameter lain untuk menentukan persebaran litologi lapisan Parigi pada daerah
penelitian.
6.2 Saran
52
DAFTAR PUSTAKA
Karakterisasi Reservoir Seismik, Sukmono, S., Agus. 2001.
Amril, A., Sukowitono., Supriyanto., .1991. Jatibarang Sub Basina half Graben Model in the
Onshoe of North West Java. IPA Proceedings, 20th Annual Convention, Jakarta. hal 279-307.
Arpandi, D., Patmosukismo, S., .1975 The Cibulakan Formation as One of the Most
Prospective Stratigraphic Units in the Northwest Java Basinal Area. IPA Proceeding. Vol 4th
Annual Convention. Jakarta
Budiyani,S., Priambodo, D.,Haksana, B.w.,Sugianto,P., .1991. Konsep Eksplorasi Untuk
Formasi Parigi di Cekungan Jawa Barat Utara. Makalah IAGI. Vol 20th, Indonesia. hal 4567.
Darman, H. dan Sidi, F.H.,. 2000. An Outline of The Geology of Indonesia. IAGI. Vol 20th.
Indonesia
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region. USGS Professional Paper, 1078.
Hunt, J.M., .1979. Petroleum Geochemistry and Geology. xxi+617 pp., 221 figs. Oxford:
Freeman.
Noble, Ron A.,. 1997. Petroleum System of Northwest Java Indonesia. Proceeding IPA. 26th
Annual Convention. hal: 585600.
Reminton. C.H., Nasir. H.,. 1986. Potensi Hidrokarbon Pada Batuan Karbonat Miosen Jawa
Barat Utara. PIT IAGI XV. Yogyakarta
Sinclair, S., Gresko, M., Sunia, C.,. 1995. Basin Evolution of the Ardjuna Rift System and its
Implications for Hydrocarbon Exploration, Offshore Northwest Java, Indonesia. IPA
Proceedings, 24th .Annual Convention, Jakarta. hal 147-162.
http://novianto-geophysicist.blogspot.com/2014/05/geologi-regional-cekungan-jawabarat.html (diakses pada 5 Juni 2015)
53