Science & Mathematics">
Referat TB Hiv Fix
Referat TB Hiv Fix
Referat TB Hiv Fix
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia. Pada tahun 1992, World Health Assosiation (WHO) telah mencanangkan TB
sebagai Global Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2011
adalah1:
Insidensi kasus
Prevalensi kasus
Kasus meninggal (HIV negatif)
Kasus meninggal (HIV positif)
tuberkulosis,
sedangkan
20%
selebihnya
merupakan
tuberkulosis
dilaporkan terjadi di berbagai negara, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat,
demikian
juga
di
negara-negara
berkembang
seperti
Republik
Tanzania,
BAB II
PEMBAHASAN
I.
TUBERKULOSIS
A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex2. Tuberkulosis paru adalah
penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu
pneumonia yang disebabkan oleh M.tuberculosis 8.
B. Etiologi
TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex. Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh
Robert Koch pada tahun 1882 9. Mycobacterium tuberculosis adalah
kuman penyebab TB yang berbentuk batang ramping lurus atau sedikit
bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Koloninya yang kering
dengan permukaan berbentuk bunga kol dan berwarna kuning tumbuh
secara lambat walaupun dalam kondisi optimal. Diketahui bahwa pH
optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk memelihara
virulensinya harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8
10
M.
tuberculosis
tipe
humanus
dan
bovines
adalah
dalam
sitoplasma
Pada umumnya
dan
menyebabkan
pada tahap
lisis
pertumbuhan kuman.
Tahap 2: tahap simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam nonactivated macrophage yang gagal mendestruksi kuman TB
hingga makofag hancur dan kuman TB difagositosis oleh
makrofag lain yang masuk ke tempat radang karena faktor
kemotaksis
komponen
komplemen
C5a
dan
monocyte
non-activated
makrofag
dan partly
activated
multiplikasi
kuman
TB
ekstraseluler yang
dapat
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung
dengan organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan
penyakit
umumnya
tidak
(atau
sulit
sekali)
Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, LCS, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi2.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila:
a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian, bila 1
kali positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif
BTA negatif 3 .
Menurut
rekomendasi
WHO,
interpretasi
pemeriksaan
10
Jenis OAT
Sifat
Harian
Isoniazid (H)
Bakterisid 5 (4-6)
Rifampisisn ( R) Bakterisid 10 (8-12)
Pyrazinamid (Z) Bakterisid 25 (20-30)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakterostatik 15 (15-20)
3x seminggu
10 (8-12)
10 (8-12)
35 (30-40)
15 (12-18)
30 (20-35)
Tahap intensif
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16
tiap hari selama 56 hari
minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT
5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
71 kg
Lama
Tablet
Kaplet
Tablet
Jumlah
Tablet
hari/kali
Intensif
Lanjutan
2 Bulan
4 Bulan
300 mgr
1
2
450 mgr
1
1
500 mgr
3
-
250 mgr
3
-
obat
56
48
11
Selama 56 hari
Selama 28 hari
Tahap Lanjutan 3
kali seminggu
RH (150/50)+
E (400)
Selama 20 minggu
2 tab 4KDT +
30 37 kg
500 mg
Streptomisin
inj
3 tab 4KDT +
750 mg
30 54 kg Streptomisin
inj
+ 1000 mg
Streptomisin
55 70 kg
inj
5 tab 4KDT
1000 mg
Streptomisin
71 kg
inj
2 tab 4KDT
3 tab 4KDT
4 tab 4KDT
4 tab Etambutol
5 tab 4KDT
II.
HIV/ AIDS
A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus
dengan materi genetik asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai
kemampuan yang unik untuk mentransfer informasi genetik mereka dari
RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse
transcriptase, setelah masuk ke tubuh hospes. Virus ini menyerang dan
merusak sel- sel limfosit T-helper (CD4+) sehingga sistem imun
penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan keganasan 14.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan
12
oleh
13
monosit, dan sel Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh HIV
menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada sel-sel
imun lainnya16.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari
600 sampai 1200/ l darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar
limfosit CD4+ turun di bawah kadar normal untuk orang tersebut.
Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah
normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara
perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala
imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/l. Pasien
dengan kadar CD4+ kurang dari 200/l mengalami imunosupresi yang
berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik15.
C. Penularan HIV/ AIDS
Penularan AIDS terjadi melalui :
1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual);
2. Penerimaan darah dan produk darah;
3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma;
4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).
Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih
besar bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka
atau ulserasi pada alat kelamin. HIV telah diisolasi dari darah, sperma,
air liur, air mata, air susu ibu, dan air seni, tapi yang terbukti berperan
dalam penularan hanyalah darah dan sperma. Hingga saat ini juga tidak
terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara, minuman,
makanan, kolam renang atau kontak biasa (casual) dalam keluarga,
sekolah atau tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS
tidak dapat dibuktikan17.
D. Diagnosis
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent
assay) yang bereaksi terhadap antibodi dalam serum. Apabila hasil
ELISA positif, dikonfirmasi dengan tes kedua yang lebih spesifik, yaitu
14
Western blot. Bila hasilnya juga positif, dilakukan tes ulang karena uji ini
dapat memberikan hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Bila hasilnya
tetap positif, pasien dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan
pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi derajat
penyakit dan dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi 15.
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan
prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut17.
Tabel 5. WHO clinical staging system for HIV infection and
related disease in adult (15 years or older) 17
Tahap 1 :
- Asimptomatik
- Limfadenopati menyeluruh
Performance scale 1 : asimtomatik, aktifitas normal
Tahap 2:
-Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
- Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi jamur di
kuku)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Angular cheilitis
- seboroik dermatitis
- Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)
Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal
Tahap 3:
- Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
- Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
- Candidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- TB paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)
Dan/atau Performance scale 3: bedrest < 50% dlm sehari 1 bulan terakhi
r
Tahap 4:
- HIV wasting syndrome (penurunan bb > 10%, diare>1n bl atau lemah
lesu dan
demam > 1 bln)
- Pneumonisitis carina pneumonia
15
- Toxoplasmosis otak
- Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan
- Kriptokokosis, ekstra paru
- TB ekstra paru
- Penyakit disebabkan oleh CMV
- Kandidiasis
- Mikobakteriosis atipikal
- Lymphoma
- Kaposi sarcoma
- HIV encephalopati
- Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan
- Leukoensefalopati multifokal yang progresif
- Infeksi jamur endemik yang menyebar
Dan/atau Performance scale 4 : bedrest >50% dlm sehari 1 bulan terakhi
r
E. Terapi Anti Retrovirus (ART)
Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong
suatu revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum
mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal
efek samping dan resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan
penurunan angka mortalitas dan morbiditas akibat HIV/AIDS16.
Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit,
yang dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum.
Terdapat tiga jenis antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara
kerjanya, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini 15.
Tabel 6. HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), golongan dan dosis2
Golongan Obat
Dosis
bb<60kg)
Abakavir (ABC)
Didanosin (ddI)
Lamivudine (3TC)
Stavudin (d4T)
16
300mg 2x/hari
Zidovudin (ZDV)
Nukleotide Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI)
300mg 1x/hari
TDF
Non-NukleosideReverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Efavirenz (EFV)
600mg 1x/hari
Nevirapine (NVP)
ian
200mg 2x/hari
Protease Inhibitor (PI)
Indinavir/ritonavir
(IDV/r)
800mg/100mg 2x/hari
Lopinavir/ritonavir
(LPV/r)
400mg/100mg 2x/hari
Nelfinavir (NFV)
1250mg 2x/hari
Saquinavir/ritonavir
(SQV/r)
Ritonavir (RTV/r)
* Ritonavir dalam hal ini digunakan untuk booster/ memperkuat Protease Inh
ibitor
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI): Menghambat reverse tra
nscriptase
HIV, sehingga pertumbuhan rantai DNA dan replikasi HIV terhenti. No
nnucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI): Menghambat transkripsi RNA HI
V menjadi
DNA. Protease Inhibitor (PI): Menghambat protease HIV, yang mencegah p
ematangan
virus HIV.
Paduan Lini Pertama 2
Yakni suatu kombinasi obat yang digunakan pasien yang belum
pernah mendapatkan ARV sebelumnya, umumnya lini pertama yang
diberikan terdiri dari 2 NRTI dan 1 NNRTI. Ada 4 paduan Utama untuk
lini pertama :
AZT-3TC-NVP
AZT-3TC-EFV
D4T-3TC-NVP
D4T-3TC-EFV
17
III.
TERPAJAN
TB
INFEKS
MATI
I
Konsentrasi Kuman
Lama Kontak
10%
18
Malnutrisi
Penyakit DM,
imunosupresan
Keterlambatan diagnosis
dan pengobatan
ai
Tatalaksana tak memad Kondisi kesehatan
orang
yang
imunokompeten,
ketika
terinfeksi
M.
manifestasi
klinis
19
TB
sebenarnya
merupakan
reaksi
efusi
pericardial;
efusi
peritoneal;
meningitis
dan
Tb
imunitas
menurun
mencegah pertumbuhan dan penyebaran lokal bakteri tersebut17.
dalam
ii.
Sputum BTA, karena sulitnya diagnosis TB paru pada pasien HIV secara
klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering ditemuakan BTA
negatif, maka diperlukan pemeriksaan kultur BTA. Pemeriksaan biakan
sputum merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB paru. Pada
ODHA dengan gejala klinis TB paru yang hasil pemeriksaan
mikroskopik dahak BTA nya negatif, pemeriksaan biakan dahak sangat
20
dianjurkan karena hal ini dapat membantu diagnosis TB paru. Selain itu,
pemeriksaan biakan dan resistensi juga dilakukan untuk mengetahui
adanya MDR-TB, dimana pasien HIV merupakan salah satu faktor risiko
MDR-TB. Dalam rangka memperbaiki tata laksana pasien TB-HIV,
akhir-akhir ini telah ditemukan alat penunjang TB secara tepat yakni
kultur resistensi BTA dengan Genexpert, namun alat tersebut belum ada
disetiap layanan kesehatan, hanya ada pada sentral layana yang
direkomendasi.
iii.
Foto thoraks, gambaran foto thoraks bervariasi dalam hal lokasi maupun
bentuknya. Umumnya gambaran foto thoraks pada TB terdapat di apeks,
namun pada TB-HIV bukan diapeks terutama pada HIV lanjut. Pada HIV
yang masih awal gambaran foto thoraks dapat sama pada gambaran foto
thoraks pada umunya, namun pada HIV lanjut gambaran foto thoraks
sangat tidak spesifik. Pada pasien TB-HIV tidak jarang ditemukan
gambaran TB milier.
iv.
v.
21
vi.
a berikut: frekuensi
pernapasan 30 kali/menit, demam > 390 C, denyut nadi > 120 kali/menit, tida
k dapat berjalan bila
tdk dibantu.
22
b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1%
atau prevalensi HIV
diantara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status
HIV-nya maka perlu
ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui s
tatus HIV-nya maka
tidak lagi dilakukan tes HIV.
c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketah
ui (misalnya pasien
menolak utk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung kecurigaan HIV positif
.
d. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA
Negatif = bila 3 sediaan
hasilnya negatif.
e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.
f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4
(bila tersedia fasilitas)
dan rujukan untuk layanan HIV.
g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan sec
ara bersamaan (bila
memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan sehingga memp
ercepat penegakkan
diagnosis.
h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroQuionolones) untuk mengat
asi typical & atypical
bacteria.
i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia Pne
umocystis jiroveci
j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
Tabel 7 menunjukkan perbedaan pada gambaran klinis, hasil sputum dan
radiologi antara pasien infeksi HIV dengan TB paru tahap awal dan tahap
lanjut 2,17.
Tabel 7. Perbedaan TB paru pada infeksi HIV tahap awal (dini) dan
lanjut 2,17
Tahap Infeksi HIV
Gambaran TB Paru
Awal (CD4>200/mm3)
Akhir
(CD4<200/mm3)
Gambaran klinis
23
Tb ekstraparu
Mikobaterimia
Tuberculin
Jarang
Tidak ada
Positif
Adenopati hilus/
mediastinum
Efusi pleura
Tidak ada
Tidak ada
interstitial
Umum/ banyak
Ada
Negatif
Ada
Ada
D. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS sama
dengan pengobatan tanpa HIV/AIDS. Namun, pengobatan pasien dengan
koinfeksi TB-HIV lebih sulit daripada TB pada pasien tanpa HIV. Pasien
TB-HIV memiliki sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan
adanya infeksi hepatitis dan lainnya, maka saat pengobatan sering timbul
efek samping dan interaksi obat sehingga memperburuk kondisi pasien
serta obat-obat harus dihentikan atau dikurangi dosisnya. Kondisi
tersebut menyebabkan pengobatan menjadi lebih panjang serta
kepatuhan pasien sering terganggu18.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa
jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat2.
Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah adalah dengan mendahulukan
pengobatan TB. Pengobatan ARV (Antiretroviral) dimulai berdasarkan
stadium klinis HIV dengan standar WHO3.
24
25
HIV
yang
tinggi
pendekatan
yang
terintegrasi
26
Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan
seksama, tidak menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi TB
laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan. (belum diterapkan di indonesia,
walaupun Indonesia adalah negara endemik TB)
Lini kedua
a
2NRTI+PI
atau
ganti
dengan
2NRTI+LPV/r
Ganti atau teruskan (bil
sementara menggunakan)
paduan mengandung LPV/r
Pilihan NRTI sama untuk semua orang dengan HIV/AIDS
Pilihan NNRTI :
27
2.
3.
Efavirenz
(EFV)
merupakan
golongan
NNRTI
yang
terapi
OAT.
Efavirenz
direkomendasikan
karena
Secara Umum
-
II.
TB pada Otak
28
sebelum tidur.
Beri analgetik, misalnya aspirin atau
Efek ini oleh karena INH diberi bersama ddI
D4T. Berikan tambahan vitamin B6 (pirido
ksin)
100mg/hari. Jika tidak berhasil, gunakan
amitriptilin atau dirujuk.
Kencing warna kemerahan Jelaskan karena pengaruh obat dan tidak
berbahaya.
Sakit kepala
Beri analgetik, periksa tanda meningitis.
Bila
terdapat pengobatan ZDV atau EFV jel
askan
bahwa hal ini biasa terjadi dan akan hilang, jik
a >2
Diare
nkan
mg, rujuk.
Beri oralit dan tatalaksana untuk diare, yaki
kalau karena obat, akan membaik dalam
bbrp
Kelelahan
ZDV.
minggu.
Pikirkan anemia, terutama oleh karena
Periksa HB, kelelahan biasa terjadi 4-6 mi
nggu
setelah penggunaan ZDV, jika > 4-6 mi
nggu
dirujuk.
29
Rujuk
pasien apabila ada gangguan mood atau psikosis,
masa sulit awal atasi dengan amitriptilin
pada
malam hari.
Kuku kebiruan/kehitaman Yakinkan pasien sebagai akibat pengobatan
ZDV.
Perubahan dalam distribuDiskusikan dengan pasien, sebagai efek sa
si
mping
lemak
D4T.
Gatal atau kemerahan pa Jika menyeluruh atau mengelupas, stop oba
da
t TB
kulit
dan ART, rujuk pasien. Jika dalam pengo
batan
NVP periksa dan teliti : apakah lesinya k
ering
(kemungkinan alergi) atau basah (kemung
Gangguan pendengaran kinan
steven Johnson syndrome ), minta pendapat ahl
i.
Hentikan streptomisin, rujuk ke unit DOTS.
atau keseimbangan
Ikterus
OAT
Ikterus dan nyeri perut
nyeri
Muntah berulang
ksaan
OAT
Penglihatan berkurang
Demam
oleh
feksi
baru atau IRIS, beri parasetamol dan
minta
Pucat,anemia
istik,
Batuk atau
bernafas
Limfadenopati
minta
pendapat ahli.
Ukur kadar HB singkirkan infeksi oportun
pasien dirujuk dan stop ZDV/diganti D4T.
kesulitan Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik,
minta
pendapat ahli.
Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik,
pendapat ahli.
30
BAB III
KESIMPULAN
31
BAB 1V
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Tuberculosis control 2012: epidemiology, strategy,
financing. WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva, Switzerland: WHO; 2012.
2. Isbaniyah, F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: PDPI; 2011.
3. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes
RI; 2011.
4. Djoerban, Z. Samsuridjal, D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI; 2009.
5. Bhatia, R.S.. HIV and Tuberculosis: The Ominous Connection. IJCP. 2001; 2 (4): 256-9.
6. KEMENTERIAN KESEHATAN RI (2011). Rencana Aksi Nasional TB-HIV
Pengendalian Tuberkulosis 20112014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalia
n
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.
7. Hudoyo, A. dkk. Diagnosis TB-Paru pada Pasien dengan HIV/ AIDS. 2008; JTI 4(2): 1-5.
8. Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.
9. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. Tuberkulosis Klinis 2nd ed. Jakarta: Widya Medika
;
2002.
10. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik
.
Jakarta: Dian Rakyat; 2006.
11. Alsagaff, H. Abdul M. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University
Press; 2009.
12. Hasan, H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya
:
Airlangga University Press; 2010
13. Amin, Z. Asril B. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
:
FKUI; 2009.
14. Simbolon, E. Pola Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara; 2011. Diakses dari:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21448.
15. Lan, V.M. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat
(AIDS). Dalam: Hartanto,H. (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Vol I. Ed.6. Jakarta:EGC; 2006. p. 224-245.
16. Murtiastutik, D. AIDS. Dalam: Barakbah, J. (eds). Buku Ajar Infeksi Menular Seksual
.
Ed.2. Surabaya: Airlangga University Press; 2008.p. 211-220.
17. WHO.
TB/
HIV:
A
Clinical
Manual;
2004.
Diakses
dari:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.
18. Syam, A.F. dkk. Tatalaksana HIV/AIDS : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
.
Jakarta: Kemenkes RI Konsorsium Upaya Kesehatan; 2011.
32