Debit Metode Rasional
Debit Metode Rasional
Debit Metode Rasional
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak 2004). Aliran/genangan air ini dapat
terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau kiri sungai akibat
alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi debit aliran yang lewat
(Sudjarwadi 1987). Hal tersebut terjadi karena pada musim penghujan air hujan
yang jatuh pada daerah tangkapan air (catchments area) tidak banyak yang dapat
meresap ke dalam tanah melainkan lebih banyak melimpas sebagai debit air
sungai. Jika debit sungai ini terlalu besar dan melebihi kapasitas tampang sungai,
maka akan meyebabkan banjir.
Nilai rasio debit sungai maksimum (terjadi pada musim hujan) dan debit
minimum (terjadi pada musim kemarau) menunjukkan efektifitas suatu daerah
aliran sungai dalam menyimpan surplus air pada musim hujan yang kemudian
dapat dialirkan pada musim kemarau. Indikator ini juga dapat ditunjukkan oleh
hidrograf satuan (unit hydrograph) sungai yang bersangkutan. Semakin curam
hidrograf satuan suatu sungai menunjukkan bahwa debit limpasan semakin besar
sedangkan aliran dasar (base-flow) semakin kecil. Debit limpasan menyebabkan
banjir pada musim hujan, sedangkan aliran dasar menghasilkan debit aliran sungai
pada musim kemarau.
Peningkatan debit banjir juga dapat berdampak pada kegagalan bangunan
pengendali banjir, seperti waduk, bendung, tanggul, dan saluran drainase. Hal ini
disebabkan karena bangunan pengendali banjir tidak mampu menahan beban gaya
akibat debit banjir yang telah mengalami peningkatan akibat perubahan tata guna
lahan.
Tujuan
Tujuan tulisan ini adalah untuk mengkaji salah satu metode prediksi debit
aliran permukaan, yaitu metode rasional yang diterapkan untuk memprediksi
aliran permukaan yang terjadi pada Sub DAS Kertek, Kabupaten Wonosobo,
Provinsi Jawa Tengah.
2
METODOLOGI
Metode Rasional
Menurut Wanielista (1990) metode Rasional adalah salah satu dari metode
tertua dan awalnya digunakan hanya untuk memperkirakan debit puncak (peak
discharge). Ide yang melatarbelakangi metode Rasional adalah jika curah hujan
dengan intensitas I terjadi secara terus menerus, maka laju limpasan langsung
akan bertambah sampai mencapai waktu konsentrasi (Tc). Waktu konsentrasi Tc
tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di outlet.
Laju masukan pada sistem (IA) adalah hasil dari curah hujan dengan intensitas I
pada DAS dengan luas A. Nilai perbandingan antara laju masukan dengan laju
debit puncak (Qp) yang terjadi pada saat Tc dinyatakan sebagai run off coefficient
(C) dengan (0 ≤ C ≤ 1) (Chow 1988). Hal di atas diekspresikan dalam formula
Rasional sebagai berikut ini (Chow, 1988) :
Keterangan :
Q : debit puncak (m3/dtk)
C : koefisien run off, tergantung pada karakteristik DAS (tak
berdimensi)
I : intensitas curah hujan, untuk durasi hujan (D) sama dengan
waktu konsentrasi (Tc) (mm/jam)
A : luas DAS (km2)
3
Koefisien Limpasan (runoff coeffisien) (C)
4
intensitas sesaat atau intensitas rata-rata selama kejadian hujan. Intensitas rata-rata
curah hujan secara umum dirumuskan sebagai berikut :
P
i ………………………………………… (2)
Td
Pada tulisan ini digunakan data hujan dari alat pencatat hujan otomatis
yang terpasang pada alat pencatat tinggi muka air (Automatic Water Level
Recorder (AWLR)) yang terpasang di outlet DAS Kertek.
Waktu konsentrasi (Tc) dapat dihitung berdasarkan persamaan Kirpich,
1940 dalam Chow, et. al, 1988 sebagai berikut.
Keterangan :
Tc = waktu konsentrasi (jam);
L = panjang sungai (km);
S = landai sungai (m/m).
5
ANALISIS DATA
Untuk T = 2 tahun
C DAS = (50% x ((0.39+0.70)/2)) + (48.3% x ((0.35+0.60)/2)) + (1.7% x 0.73)
= 0.51
Untuk T = 5 tahun
C DAS = (50% x ((0.42+0.70)/2)) + (48.3% x ((0.38+0.60)/2)) + (1.7% x 0.77)
= 0.53
6
Gambar 1. Kenampakan Relief Sub DAS Kertek
7
Analisis Curah Hujan
Jumlah hujan di Sub DAS Kertek berkisar antara 2000 - 3000 mm pertahun,
dengan bulan - bulan kering terjadi sekitar 6 bulan yaitu dari Mei - Oktober. Pola
umum curah hujan bulanan di Sub DAS Kertek disajikan pada Gambar 3.
Sedangkan Grafik kurva IDF, disajikan pada Gambar 4.
600
500
400
CH (mm)
300
200
100
0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
bulan
80
70
60
50
intensitas hujan (mm/jam)
T = 2 th
40
T = 5 th
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
lama hujan (jam)
8
Data hujan didapatkan dari alat pencatat hujan otomatis yang merekam
data intensitas hujan 6-menitan selama 6 tahun, yaitu dari tahun 2000-2005. Data
intensitas hujan 6-menitan tersebut dikonversi menjadi data intensitas hujan jam-
jam-an untuk membuat kurva IDF. Untuk keperluan perhitungan debit puncak
dengan menggunakan metode rasional, digunakan data intensitas hujan pada saat
terjadinya Tc. Perhitungan periode ulang (T) intensitas hujan dilakukan untuk T =
2 tahun dan T = 5 tahun dengan menggunakan fasilitas analisis frekuensi yang ada
di perangkat lunak Rainbow versi 1.1. Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa
untuk waktu konsentrasi (Tc) 1.6 jam maka intensitas hujannya adalah 55 mm/1.6
jam untuk T= 2 tahun dan 62 mm/1.6 jam untuk T = 5 tahun, sehingga intensitas
hujan rata-rata untuk T = 2 tahun dan 5 tahun berturut-turut adalah 34.4 mm/jam
dan 38.8 mm/jam.
Tc = 3,97*L0.77*S-0.385
Tc = 3,97 x (1.2)0,77 x (10)-0,385
= 1.6 jam
= 0.07 hari.
9
Analisis Debit Banjir
Periode Intensitas
Koefisen Luas DAS Debit
No. Ulang (T) hujan (I)
Runoff (C) (A) (km2) (m3/detik)
(Tahun) (mm/jam)
Berdasarkan hasil analisis debit 6 menitan yang terekam dari pada AWLR di
DAS Kertek untuk periode pengamatan selama 6 tahun, diketahui bahwa debit
maksimal terjadi pada kejadian hujan tanggal 25 November 2001 dari jam 12.00 –
24.00, dengan volume debit 2336 l/dt atau sama dengan 2.3 m 3/dt (Gambar 5).
Fluktuasi debit sepanjang pengamatan episode hujan di tahun 2001 disajikan pada
Gambar 6. Nilai debit puncak tersebut lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan
debit puncak yang dihasilkan dengan menggunakan metode rasional dengan T = 5
tahun.
2500 0
5
2000
Debit Total (l/dt)
10
Aliran dasar (l/dt)
1500
Aliran permukaan (l/dt)
15
Intensitas hujan (mm/6-mnt)
1000
20
500
25
0 30
11/ 25/ 2001 11/ 25/ 2001 11/ 25/ 2001 11/ 25/ 2001 11/ 25/ 2001 11/ 25/ 2001 11/ 25/ 2001 11/ 25/ 2001 11/ 25/ 2001 11/ 25/ 2001 11/ 26/ 2001
12:00 13:12 14:24 15:36 16:48 18:00 19:12 20:24 21:36 22:48 0:00
Waktu
10
2500.0 0.0
Intesité max (mm/6min)
Q max (l/s)
2.0
2000.0
4.0
1500.0
Debit
CH
6.0
1000.0
8.0
500.0
10.0
0.0 12.0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71
pengamatan ke
11
PEMBAHASAN
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu sistem hidrologi yang tersusun
oleh masukan, proses dan luaran. Proses yang terjadi di dalam suatu DAS akan
mengalihragamkan masukan yang berupa hujan menjad luaran yang berupa hasil
air (kualitas, kuantitas dan sedimen). Apabila proses yang terjadi di dalam DAS
masih berjalan dengan baik, maka fluktuasi aliran permukaan pada outlet DAS
mempunyai perbedaan yang relatif kecil dan kandungan sedimen, baik yang
melayang maupun di dasar sungai juga relatif kecil.
Proses yang terjadi di dalam DAS dipengaruhi oleh faktor hidrologi,
geomorfologi, geologi, topografi, klimatologi, tanah dan penggunaan lahan.
Faktor-faktor tersebut saling terkait satu sama lainnya dan penggunaan merupakan
faktor yang cepat berubah sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk dan
tingkat sosial ekonomi masyarakat (Fakhrudin 2003).
Siklus hidrologi didefinisikan sebagai proses aliran air dalam rentang ruang
dan waktu yang luas dan panjang yang dipengaruhi oleh kekuatan gaya gravitasi
bumi dan energi matahari yang bersirkulasi melalui sistem lingkungan, baik yang
terjadi di atas permukaan tanah atau daratan maupun lautan (Chow 1988).
Adapun tahapannya adalah sebagai berikut : curah hujan merupakan masukan
dalam sistem lingkungan dan akan terurai menjadi tiga bagian, yaitu
evapotranspirasi, debit air dalam saluran dan air yang ada di tanah. Ketiga
komponen ini tergantung pada beberapa sub komponen. Evaporasi atau
penguapan total, yaitu penguapan dari tanah, salju, es, tumbuhan (vegetasi) dan
permukaan air bebas (danau. Waduk, sungai, lekukan dan lainnya), ditambah
dengan transpirasi, yaitu penguapan air oleh vegetasi, sehingga dengan demikian
evapotranspirasi sangat terkait dengan evaporasi (penguapan air yang tertahan di
dalam tanah) dan transpirasi. Evaporasi tergantung pada daerah air di permukaan
(luas danau, sungai, situ dan kepadatan sungai atau drainase) dan iklim mikro
yang ada di sekitarnya, yaitu temperatur, tekanan, kelembaban dan radiasi
matahari. Transpirasi sangat tergantng pada jenis vegetasi yang ada di daerah
12
tersebut. Setiap vegetasi memiliki indeks transpirasi yang menentukan seberapa
besar jumlah air yang kembali ke udara akibat menguap menjadi uap air oleh
vegetasi yang ada.
Debit dalam saluran merupakan kombinasi dari sub-sub komponen, yaitu
jenis dan tekstur tanah, lebar sungai atau saluran drainase, kepadatan sungai, dan
kemiringan lereng. Perubahan jumlah air dalam tanah ditentkan oleh faktor-
faktor, antara lain : peresapan (infiltrasi) yaitu pergerakan pergerakan air di atas
permukaan tanah, perkolasi yaitu gerakan air melalui atau di bawah tanah,
intersepsi, yaitu penambatan air hujan oleh tumbuhan penutup (canophy
vegetation). Intersepsi tergantung pada jenis vegetasi. Infiltrasi tergantung pada
penggunaan lahan, di mana setiap fungsi lahan mempunyai indeks penyerapan air
yang ada pada suatu catchment area. Sedangkan perkolasi tergantung pada
struktur geologi, permeabilitas jenis tanah dan kedalaman efektif tanah.
DAS (catchment area, basin, watershed) adalah daerah atau wilayah dengan
kemiringan lereng atau topografi bervariasi yang dibatasi oleh punggung-
punggung bukit atau gunung yang dapat menampung seluruh curah hujan
sepanjang tahun, di mana air terkumpul di sungai utama yang dialirkan terus ke
laut, sehingga merupakan suatu ekosistem kesatuan wilayah tata air. Oleh karena
itu daerah ini ditetapkan berdasarkan aliran air permukaannya dan bukan oleh air
di bawahnya (Harto 1993). Nama DAS diambil dari nama sungai yang
bersangkutan dan dibatasi oleh titik kontrol yang umumnya merupakan stasiun
hidrometri. Dalam suatu sistem DAS terjadi proses-proses hidrologi yang
sebenarnya adalah merubah besaran curah hujan (transformasi) sebagai masukan
pada sistem DAS menjadi debit limpasan yang terukur di sungai atau laut. Proses
hidrologi yang dimaksud antara lain adalah intersepsi, infiltrasi, perkolasi yang
pada intinya merupakan proses kehilangan air (losses atau abstraction), baik
karena tertampung pada lapisan tanah ataupun untuk diuapkan kembali.
Persamaan dasar hidrologi atau neraca air (water balance) adalah :
Inflow (I) = Outflow (O) ± S (Storage change)
Atau dengan kata lain, kapasitas hidrologi suatu DAS ditentukan oleh
berbagai faktor yang dapat digambarkan secara sederhana dengan persamaan
berikut (Harto 1993) :
13
Pt = Et + Q + S
Di mana :
Pt = curah hujan, salju dan kondensasi (untuk Indonesia hanya curah hujan saja.
Et = evapotranspirasi
Q = debit aliran saluran
S = perubahan banyaknya air dalam tanah
Proses hidrologi yang terjadi pada suatu DAS, terbagi dalam tiga tahapan
yang saling berinteraksi, yaitu sebagai berikut (Fleming 1975 dalam Hardiana
1999).
1) Pada permukaan lahan (surface streamflow).
Pada fase ini, komponen-komponen yang saling berinteraksi serta
mempengaruhi kondisi hidrologi pada permukaan lahannya, yaitu :
o Intersepsi, yaitu pengaruh permukaan vegetasi dalam menahan air hujan
mulai dari daun hingga ke tanah melalui akar tanaman.
o Tampungan depresi (depression storage), yaitu cekungan-cekungan
tempat aliran limpasan (runoff) yang tertahan di permukaan tanah
sebelum sempat mencapai saluran drainase dan sungai, dan merupakan
bagian air yang hilang akibat proses infiltrasi.
o Infiltasi atau daya serap air ke dalam tanah beserta kapasitas (laju
infiltasi maksimum pada suatu jenis tanah tertentu) dan luas daerah
kedap air (daerah dengan infiltrasi nol).
o Limpasan aliran permukaan yang terjadi di daerah kedap air, baik untuk
kawasan pedesaan maupun perkotaan. Besarnya bervariasi dan
tergantung pada topografi (kemiringan dan profil penampang) serta
penggunaan lahan.
o Evapotranspirasi merupakan komponen yang paling penting
berhubungan dengan kehilangan air akibat penguapan (transformasi) air
yang terjadi di permukaan tanah beserta pengaruh penggunaan lahan
pada suatu DAS.
2) Di bawah permukaan lahan (groundwater flow).
Pada fase ini, komponen-komponen yang saling berinteraksi serta
mempengaruhi kondisi hidrologi lapisan bawah permukaannya, yaitu
tampungan kelembaban tanah, infiltrasi dan aliran permukaan.
14
3) Pada jaringan saluran.
Pada fase ini menunjukkan bagaimana pengaruh sistem jaringan saluran
yang ada, baik drainase alami (sungai) maupun yang buatan.
Dalam sistem suatu DAS terjadi proses interaksi antara faktor-faktor
meteorologis (cuaca dan iklim), hidrologi dan akyivitas manusia. Oleh karena itu,
perlu diperhatikan seberapa besar kemampuan DAS dalam mendukung
pengembangan suatu wilayah. Hal ini dapat ditentukan dengan cara melihat
kualitas DAS yang sebenarnya merupakan refleksi dari tanggapan DAS terhadap
perubahan kondisi hidrologisnya. Untuk dapat menilai tingkat kualitas suatu DAS
atau Sub DAS, maka dapat diukur dari dua faktor, yaitu tingkat erosi yang dialami
dan fluktuasi debit sungai atau aliran permukaan dalam beberapa kondisi curah
hujan yang berbeda.
Fungsi suatu DAS adalah sebagai penampung air hujan (presipitasi) serta
penyaluran aliran permukaan melalui sungi-sungai. Oleh karena itu, fungsinya
merupakan fungsi gabungan dari faktor-faktor vegetasi, topografi, geologi, tanah,
serta penggunaan lahan akibat aktivitas manusia. Apabila terjadi perubahan pada
suatu faktor, maka ekosistem DAS akan terpengaruh dan selanjutnya
menyebabkan gangguan pada fungsi DAS, misalnya besarnya curah hujan yang
dapat diserap berkurang, sistem tampungan alirannya menjadi longgar, penyaluran
aliran permukaan terhambat. Musim hujan dengan intensitas curah hujan yang
tinggi akan berakibat melimpahnya aliran permukaan dan terjadi sebaliknya pada
musim kemarau. Fluktuasi aliran debit antara dua musim yang tajam
mengindikasikan terganggunya fungsi DAS serta adanya degradasi kualitas DAS.
Besarnya fluktuasi debit aliran sebanding dengan tingginya tingkat erosi dan
keduanya sangat ditentukan dengan besarnya aliran permukaan (Hardiana 1999).
Aliran permukaan terjadi bila curah hujan melebihi laju infiltrasi tanah dan
tampungan permukaan tanah serta intersepsi. Semakin besar laju infiltrasi tanah,
maka aliran permukaan semakin kecil. Perubahan penggunaan lahan menurut US
SCS (1971) akan mengakibatkan perubahan terhadap kapasitas infiltrasi dan
tampungan permukaan (surface storage) atau gabungan antara keduanya, dan efek
selanjutnya adalah mempengaruhi aliran permukaan. Penurunan kapasitas
infiltrasi lebih berpengaruh terhadap volume aliran permukaan, sedangkan
15
tampungan permukaan lebih berpengaruh pada pelambatan (delay) aliran
permukaan untuk mengalir sampai outlet DAS.
Pada lahan hutan, permukaan tanah sebagian besar dipenuhi dengan serasah
yang berfungsi menahan pukulan air hujan, memperlambat aliran permukaan dan
karena proses lebih lanjut dapat meningkatkan bahan organik tanah, sehingga
tanah lebih gembur, mikroorganisme tumbuh dengan subur. Semua itu akan
menambah kapasitas infiltrasi maupun permeabilitas tanah. Selain itu, akar
tumbuhan juga meningkatkan kapasitas infiltrasi maupun permeabilitas tanah.
Tumbuhan dengan berbagai jenis vegetasi dalam kondisi iklim tertentu,
sangat penting artinya dalam siklus hidrologi. Apabila terjadi proses alih fungsi
lahan pada hutan atau adanya pengembangan kawasan menjadi lahan pemukiman,
maka kondisi hidrologi yang ada umumnya berubah dengan drastis. Hal ini
disebabkan dampak pembangunan berupa pembukaan hutan (land clearing) yang
bertujuan meratakan tanah dengan menggunakan peralatan berat dapat membuat
lapisan tanah yang subur hilang, sehingga mempengaruhi sifat fisik tanah. Selain
itu juga dapar merusak struktur dan tekstur tanah, memperbesar jumlah dan
kecepatan aliran permukaan akibat daya serap (infiltrasi) berkurang atau
terhambat, sehingga dapat terjadi erosi.
Dari uraian di atas dapat terlihat peran dan fungsi lahan hutan yang sangat
besar dalam meperkecil aliran permukaan, sehingga debit maksimum akan dapat
diperkecil. Sedangkan sisi lain tampungan air tanah akan lebih banyak untuk
dapat menjaga ketersediaan jumlah aliran air tanah sepanjang tahun.
16
lebih dari satu species dan dibiarkan sehingga tumbuh semak dan aneka tanaman
bawah (understorey) kelihatannya mirip hutan dinamakan sistem agroforestri.
Beberapa tahun terakhir terjadi penebangan pepohonan besar-besaran dan
serentak di hutan maupun di perkebunan baik secara legal maupun ilegal
(penjarahan). Penebangan pohon serentak secara legal atau ilegal, akibatnya sama
saja yaitu terbukanya permukaan tanah pada saat yang sama. Pada musim
kemarau terik sinar matahari mengenai permukaan tanah secara langsung,
akibatnya terjadi percepatan proses-proses reaksi kimia dan biologi, salah satunya
adalah penguraian bahan organik tanah (dekomposisi). Sebaliknya, air hujan yang
jatuh selama musim penghujan tidak ada yang menghalangi sehingga memukul
tanah secara langsung, berakibat pada pecahnya agregat tanah, meningkatnya
aliran air di permukaan dan sekaligus mengangkut partikel tanah dan bahan-bahan
lain termasuk bahan organik (erosi).
Penghutanan kembali diyakini dapat menghambat proses degradasi lahan,
namun tidak semua lahan dapat dihutankan kembali karena adanya desakan
kebutuhan manusia. Penanaman lahan terbuka dengan pepohonan non-kayu
seperti buah-buahan dan tanaman industri (misalnya kopi, karet, kakao, dsb)
diharapkan dapat menahan degradasi lahan yang sudah terbuka itu. Pertumbuhan
pepohonan biasanya amat lambat untuk bisa menutupi tanah secara penuh dan
mengembalikan bahan organik yang hilang. Ada periode di mana tanah masih
tetap terbuka walaupun sudah ditanami dengan pepohonan pada tahun-tahun awal.
Urbanisasi yang terjadi di negara-negara berkembang, seperti indonesia pada
umumnya merubah penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan
pemukiman, dari lahan hutan menjadi lahan pertanian atau dengan kata lain dari
lahan yang mempunyai fungsi resapan air hujan tinggi menjadi lahan resapan
rendah. Menurut Leopold (1968) pada prinsipnya pengaruh perubahan
penggunaan lahan terhadap aliran permukaan diklasifikasikan menjadi empat,
yaitu : 1) perubahan karakteristik puncak aliran, 2) perubahan volume limpasan,
3) perubahan kualitas air, dan 4) perubahan atau pemunculan aliran air.
17
namun yang akan menjadi masalah adalah terjadinya perubahan fungsi lahan dan
luas lahan yang berubah. Adanya pembangunan pemukiman dan perumahan, baik
berupa bangunan, gedung, jalan dan prasarana lainnya menyebabkan perubahan
penutupan tanah (building coverage) yang mengakibatkan bertambahnya daerah
kedap air, sehingga daerah yang terbuka menjadi berkurang yang akan berakibat
mengurangi daya serap (infiltrasi) tanah dan kapasitasnya. Sealin itu, penutupan
permukaan juga mempengaruhi perubahan porositas dan permeabilitas tanah
(tampungan air), sehingga menyebabkan kecepatan perembesan air ke dalam
lapisan tanah berkurang yang berakibat air permukaan menjadi tergenang.
Apabila terjadi curah hujan yang cukup besar intensiotasnya, maka dapat
menyebabkan banjir setiap tahunnya. Genangan air permukaan pun selanjutnya
dapat merusak sifat fisik tanah.
18
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20
LAMPIRAN
21
Tabel 2. Koefisien runoff untuk metoda Rasional
22
Tabel 3. Koefisien limpasan C untuk metoda Rasional berdasarkan lereng,
tanaman penutup tanah dan tekstur tanah.
23