Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Laprak9 Kelompok1 Hidrotek

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM HIDROLOGI TEKNIK

(Analisis Evapotranspirasi dengan Model Evapotranspirasi)

Disusun Oleh :
Kelompok/Shift : 1 (Satu)/B2
AnggotaKelompok : 1. Salma Delila (240110160100)
2. Dennys Alvanius (240110160106)
3. Rini Nurul F. (240110160108)
4. Kemal Maulana (240110160117)
Hari, TanggalPraktikum : Selasa, 05 Desember 2017
Jam : 15.30 – 17.30 WIB
Asisten Praktikum : 1. Imam Fauzan
2. Mukhammad Ilham
3. Safa Yuda
4. Siti Sarah S
5. Tiara Putri D
6. Willi Munandar

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banjir merupakan salah satu peristiwa alam yang seringkali terjadi. Banjir
dapat terjadi karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat
penggunaan lahan yang salah. Selain itu banjir juga dapat disebabkan oleh
kenaikan suhu bumi, perubahan iklim, gangguan pengaliran air hujan di dalam
sungai, pengurangan luas permukaan tanah yang menyerap air karena banyak
berdirinya bangunan dan terjadinya kerusakan hutan, meluapnya sungai-sungai
utama yang melalui daerah pemukiman dan perkotaan, akibat intensitas curah
hujan yang tinggi di daerah hulu sungai yang juga sering disebut sebagai banjir
bandang. Data debit banjir sangat penting untuk memberikan data berupa
informasi penting untuk pengelola sumber daya air. Hal ini sangat membantu
dalam membantu rancangan bangunan pengendali banjir. Sedangkan data debit
aliran dalam kapasitas kecil diperlukan untuk perencanaan pemanfaatan seperti
cadangan pada musim kemarau panjang. Dengan diketahuinya data debit aliran
rata-rata tahunan dapat memberikan potensi sumber daya air pada suatu daerah
aliran sungai tertentu.
Debit aliran merupakan aliran sungai yang melaju melewati penampang
sungai per satuan waktu. Debit aliran biasanya berbentuk hidrograf aliran dimana
adanya perubahan karakteristik biogeofisik yang berlangsung dalam suatu DAS
yang disebabkan perubahan iklim maupun pengelolaan DAS. Ada berbagai cara
untuk membuat estimasi banjir. Hal ini tergantung dari data debit banjir yang
tersedia. Jika debit banjir tidak tersedia dapat diperkirakan dengan menggunakan
rumus-rumus empiris. Data debit banjir dapat dilihat dengan perhitungan data
hujan maupun debit puncak.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan praktikum kali ini adalah :
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Debit
Pengertian debit adalah satuan besaran air yang keluar dari Daerah Aliran
Sungai (DAS). Satuan debit yang digunakan dalam system satuan SI adalah meter
kubik per detik (m3/detik). Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk
volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai persatuan waktu.
Dalam sistem SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik (Asdak.
2002).
Debit aliran juga dapat dinyatakan dalam persamaan :
𝑄 = 𝐴 𝑥 𝑣 ... (1)
Dimana:
A = luas penampang (m2)
v = kecepatan aliran (m/detik).
Debit air adalah jumlah air yang mengalir dari suatu penampang tertentu
(sungai/saluran/mata air) per satuan waktu (L/dtk, m3/dtk, dm3/dtk). Dengan
mengetahui debit air suatu perairan kita dapat mengetahui jenis organisme apa
saja yang hidup di suatu perairan tersebut. Jika debit air disuatu perairan tinggi
maka dapat dipastikan bahwa organisme yang hidup di perairan tersebut adalah
organisme perenang kuat dan apabila debit suatu perairan tersebut rendah maka
organisme yang hidup di perairan tersebut adalah organisme yang membenamkan
dirinya (Setia,Sonia.2012).

2.2 Metode Rasional


Metode rasional adalah metode lama yang masih digunakan hingga
sekarang untuk memperkirakan debit puncak. Latar belakang metode rasional
adalah jika curah hujan dengan intensitas I terjadi secara terus-menerus , maka
laju limpasan langsung akan bertambah sampai mencapai waktu konsentrasi tc.
Waktu konsentrasi tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan
kontribusi aliran di outlet. Laju masukan pada sistem adalah hasil curah hujan
dengan intensitas I pada DAS dengan luas A. Nilai perbandingan antara laju
masukan dengan laju debit puncak (Qp) yang terjadi pada saat tc dinyatakan
sebagai run off koefficient (C) dengan nilai 0<=C<=1 (Arsyad, 2010).
Beberapa asumsi dasar untuk menggunakan metode rasional adalah :
1. Curah hujan terjadi dengan intensitas yang tetap dalam jangka waktu
tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi
2. Laimpasan langsung mencapai maksimum ketika durasi hujan dengan
intensitas tetap sama dengan waktu konsentrasi
3. Koefisien runoff dianggap tetap selama durasi hujan
4. Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan.
Bentuk umum untuk rumus Metode Rsional adalah :

Q = 0.2778 x C x I x A………..(1)

Dimana : Q = debitmaksimum (m3/s)


C = koefisienlimpasan
I = Intensitas curahhujan rata-rata (mm/jam)
A = luasdaerahpengaliran (km2)

2.3 Pendugaan Debit Puncak


Sebagian besar DAS yang akan dilakukan perencanaan pengelolaan DAS
kurang tersedia data hidrologi yang memadai, untuk itu diperlukan suatu
pemodelan hidrologi yang sesuai dengan kondisi biofisik DAS tersebut.
Pemodelan hidrologi sudah sejak lama diterapkan.Prediksi debit maksimum
(metode rasional) yang berdasarkan pada curah hujan, luas DAS, dan karakteristik
DAS telah diperkenalkan pada tahun 1850 oleh Mulvaney.
Metode rasional dalam menentukan laju puncak aliran permukaan (debit
puncak) mempertimbangkan waktu konsentrasi, yaitu waktu yang dibutuhkan air
yang mengalir di permukaan tanah dari tempat yang terjauh sampai tempat
keluarnya (outlet) di suatu daerah aliran (Arsyad. 2010).
Persamaan dalam menghitung debit puncak dengan model rasional (United
State Soil Conservation Service 1987) adalah sebagai berikut:
Qp = 0,0028 CiA .................. (2)
Yang menyatakan Qp adalah debit puncak untuk suatu hujan dengan
interval tertentu, dalam m3 detik-1, C adalah koefisien aliran permukaan, i adalah
intensitas hujan yaitu banyaknya curah hujan per satuan waktu dari hujan
maksimum yang diharapkan lamanya hujan yang terjadi sama dengan waktu
konsentrasi suatu DAS, dalam mm jam-1, dan A luas suatu DAS dalam hektar.
Model rasional seperti yang dikemukakan oleh Larson dan Reich mengasumsikan,
bahwa frekuensi jatuhnya hujan dan aliran permukaan adalah sama. Model
rasional mengasumsikan bahwa waktu konsentrasi DAS sama dengan hujan yang
terjadi dengan intensitas yang seragam di seluruh DAS. Dalam model rasional
perlu diperhatikan;
(a) penetapan interval kejadian hujan yang akan digunakan,
(b) luas DAS dan
(c) sistem penggunaan lahan, topografi dan sifat-sifat tanah dalam DAS
tersebut.
Koefisien run off (C) didefinisikan sebagai nisbah antara laju puncak aliran
permukaan terhadap intensitas hujan. Faktor utama yang mempengaruhi nilai C
adalah laju infiltrasi tanah, tanaman penutup tanah, dan intensitas hujan. Koefisien
merupakan kombinasi dari tiga faktor, yaitu topografi, penggunaan lahan, dan
tekstur tanah. Nilai C umumnya sudah diklasifikasikan berdasarkan penelitian-
penelitian yang sudah ada.Koefisien sudah mencakup kehilangan dan
keberagaman hujan. Suatu koefisien yang konstan tidak dapat dipergunakan
dalam suatu DAS karena karakteristik suatu DAS selalu bersifat dinamis(Arsyad.
2010).
Koefisien dalam model rasional seperti Bilangan Kurva (Curve Number)
dalam model SCS-CN. Perbedaannya, model rasional menggunakan faktor
intensitas hujan dalam penentuan nilai koefisien dan model SCS-CN
menggunakan kondisi kandungan air tanah sebelumnya biasa disebut AMC yang
diketahui dengan akumulasi hujan lima hari terakhir (Arsyad. 2010).
Pemisahan antara aliran permukaan dan aliran dasar adalah sulit. Namun
kesalahan pemisahan dengan caratersebut tidak terlalu besar, sehingga sebagai
pendekatan cara ini umum digunakan. Sebagaimana yang juga juga dikemukaan
bahwa belum ada metode yang tepat dalam memisahkan aliran dasar dan aliran
permukaan. Semua teknik pada dasarnya adalah alat-alat analitik untuk
memperoleh pembagian yang mendekati. Intensitas hujan (i) adalah banyaknya
curah hujan per satuan waktu.Intensitas hujan berbeda-beda karena lamanya hujan
atau frekuensinya. Intensitas hujan berbanding lurus dengan debit puncak. Jika
intensitas hujan meningkat, maka debit puncak akan meningkat pula.
Fenomena yang menarik dengan aliran permukaan adalah waktu
konsentrasi, lamanya hujan diasumsikan sama dengan waktu konsentasi. Maka
persamaan untuk menghitung intensitas hujan adalah:
𝑹 𝟐𝟒 𝟎,𝟔𝟕
I = 𝟐𝟒 𝑿 (𝑽𝒄) ....................................(3)

dimana I adalah intensitas hujan dalam mm jam-1, R adalah hujan harian dalam
mm dan Tc adalah waktu konsentrasi dalam jam. Intensitas hujan terbesar dalam
suatu DAS ditentukan dengan memperkirakan waktu konsentrasi dalam suatu
DAS tersebut, serta intensitas hujan maksimum untuk periode ulang tertentu dan
untuk lama waktu hujan sama dengan waktu konsentrasi.
Waktu konsentrasi (Tc) suatu daerah aliran adalah waktu yang diperlukan
oleh air untuk mengalir dari titik yang paling jauh ke tempat keluar yang
ditentukan, setelah tanah menjadi jenuh air dan depresi-depresi kecil terpenuhi
(Arsyad 2010). Salah satu metode yang umum untuk menghitung waktu
konsentrasi adalah yang dikembangkan oleh Kirpich (1940) dalam Arsyad (2010),
sebagai berikut:
Tc = 0,0195 L0,77Sg -0,385..............................(4)
Yang menyatakan Tc adalah waktu konsentrasi dalam menit, L adalah
panjangaliran dalam meter dan Sg adalah lereng daerah aliran dalam meter per
meter atauperbedaan elevasi antara tempat keluar dengan titik terjauh dibagi
panjang aliran. pendugaan debit puncak menggunakan model rasional di DAS
Keduang dengan luas DAS 35.993 ha terjadi over estimate sebesar 49,96%
dibandingkan dengan nilai aktualnya dari hasil pengamatan hidrologi (SPAS).
Nilai tersebut didasarkan pada kejadian hujan maksimum 108 mm dan tinggi
muka air 3,30 m pada tanggal 20 Desember 2005.Dalam menerapkan model
rasional untuk pendugaan debit puncak di Sub DAS Tapan (161 ha) dan
Wuryantoro (1.792 ha) terjadi overestimate, masing-masing sebesar 185% dan
615%. Sedangkan di Sub DAS Ngunut I (596 ha) memberikan hasil yang hampir
sesuai dibandingkan dengan hasil pengukuran, yaitu under estimate sebesar 4%.
Berdasarkan penelitian tersebut Pramono et al. (2009) menyimpulkan bahwa
model rasional memberikan hasil yang paling baik di Sub DAS yang secara umum
datar, dimana hujan terjadi lebih merata. Sedangkan di Sub DAS kecil yang
memiliki topografi sangat curam, dimana curah hujan terjadi tidak merata di
seluruh Sub DAS, hasil pendugaan mengalami penyimpangan yang cukup besar
dibandingakan dengan hasil pengukuran di lapangan. Kelemahan model rasional
tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan terhadap debit puncak dalam
bentuk hidrograf satuan (Asdak. 2002).
Medel (Soil Conservation Service-Curve Number) SCS-CN untuk
menentukan debit puncak aliran permukaan dikemukakan oleh Dinas Konservasi
Tanah Amerika Serikat (1973) untuk curah hujan yang seragam di suatu DAS.
Debit puncak aliran permukaan dengan model SCS-CN menggunakan persamaan
Qp = 0,0021 Q A/Tp...........................(5)
Dimana Q adalah volume aliran permukaan dalam mm, Qp adalah laju
puncak aliran permukaan dalam m3 detik-1, A adalah luas DAS dalam hektar dan
Tp adalah waktu puncak dalam jam. Model SCS dikembangkan berdasarkan hasil
pengamatan bertahun-tahun yang melibatkan banyak daerah pertanian di Amerika
Serikat. Model ini berlaku untuk daerah dengan luas kurang dari 13 km2 dengan
kemiringan lahan kurang dari 30%.
Medel SCS berusaha mengaitkan karakteristik DAS seperti tanah, vegetasi
dan tataguna lahan dengan CN yang menunjukkan potensi volume aliran
permukaan untuk curah hujan tertentu. Waktu yang diperlukan untuk mencapai
laju puncak aliran permukaan diperoleh berdasarkan persamaan (US-SCS 1973
dalam Arsyad 2010):
Tp = D/2 + 0,6 Tc...............................(6)
Dimana Tp adalah waktu untuk mencapai puncak aliran dalam jam, D
adalah lamanya hujan lebih dalam jam dan Tc adalah waktu konsentrasi dalam
jam. Waktu lamanya hujan lebih (D) dapat ditentukan dengan persamaan:
R = 380 D0,5..............................(7)
Yang menyatakan R adalah curah hujan (mm) dan D adalah lama hujan
dalam jam. Dalam menduga debit puncak, nilai R dalam penelitian ini
menggunakan curah hujan harian. Waktu puncak (Tc) ditentukan menggunakan
persamaan (3a) dan (3b) yang sudah dijelaskan dalam model rasional.
Volume dan laju aliran permukaan bergantung pada sifat-sifat meteorologi
dan daerah aliran sungai serta pendugaan aliran permukaan memerlukan suatu
indeks yang mewakili kedua faktor tersebut. Volume curah hujan mungkin
merupakan satu-satunya sifat meteorologi yang penting dalam menduga volume
aliran permukaan. Tipe tanah, penggunaan tanah, dan kondisi hidrologi penutup
adalah sifat-sifat daerah aliran yang mempunyai pengaruh paling penting dalam
pendugaan volume aliran permukaan. Kandungan air tanah sebelumnya juga
penting dalam mempengaruhi volume aliran permukaan (Arsyad. 2010).
Klasifikasi kelompok hidrologi tanah model SCS-CN dikelompokkan ke
dalam empat kelompok dengan simbol huruf A, B, C dan D. Menurut Mc Cuen
(1982) dalam Arsyad (2010) kelompok hidrologi tanah dalam SCS-CN dapat
ditentukan di tempat dengan menggunakan salah satu dari ketiga cara, yaitu sifat-
sifat fisik tanah, peta tanah detail dan laju infiltrasi minimum tanah. Peta tanah
detail dan sifat fisik tanah untuk memberikan informasi dan deskripsi lokasi
terkait dengan sifat-sifat tanah terhadap air. Laju infiltrasi minimum tanah dan
sifat-sifat tanah yang sesuai dengan keempat kelompok pada Tabel 1.
Tabel 1.Hubungan Laju Infiltrasi Minimum Dengan Kelompok Tanah

(Sumber : Arsyad. 2010).

Klasifikasi penggunaan lahan dalam model SCS-CN mempengaruhi


besarnya aliran permukaan. Lahan yang berhutan akan menyumbangkan aliran
permukaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan lahan yang kedap air, seperti
pemukiman yang lantainya dilakukan pengerasan. Hal ini akan mempengaruhi
tingkat infiltrasi tanah.
Klasifikasi kompleks penutup penutup tanah (penggunaan lahan) terdiri
tiga faktor yaitu penggunaan tanah, perlakuan atau tindakan yang diberikan dan
keadaan hidrologi. Penggunaan lahan untuk pertanian diklasifikasikan
berdasarkan keadaan di lapangan, seperti penanaman menurut kontur (pembuatan
teras) yang merupakan salah satu tindakan konservasi tanah dan air (KTA).
Klasifikasi ini diperlukan karena potensi pengaruh terhadap aliran permukaan.
Kandungan air tanah sebelumnya mempengaruhi volume dan laju aliran
permukaan. Mengingat pentingnya pengaruh faktor ini maka SCS menyusun tiga
kondisi kandungan air tanah sebelumnya. Kondisi kandungan air tanah
sebelumnya biasa disebut AMC (Antecedent Moisture Content). Batas besarnya
curah hujan dan keadaan tanah untuk ketiga kondisi tersebut ditunjukkan pada
Tabel 2 (Arsyad. 2010).
Dalam perencanaan pengelolaan DAS, kandungan air tanah sebelumnya
seringkali lebih merupakan ketetapan kebijaksanaan bukan merupakan keadaan
tanah setempat sebelumnya.
Tabel 2 Kondisi Kandungan Air Tanah Dan Batas Besarnya Curah Hujan

(Sumber : Arsyad. 2010)

2.4 Aliran Permukaan


Limpasan permukaan atau aliran permukaan adalah bagian dari curah
hujan yang mengalir diatas permukaan tanah dan mengangkut partikel-partikel
tanah. Limpasan terjadi karena intensitas hujan yang jatuh di suatu daerah
melebihi kapasitas infiltrasi, setelah laju infiltrasi terpenuhi air akan mengisi
cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah cekungan-cekungan tersebut
penuh, selanjutnya air akan mengalir (melimpas) diatas permukaan tanah (surface
run – off). Jika aliran air terjadi di bawah permukaan tanah disebut juga sebagai
aliran di bawah permukaan dan jika yang terjadi adalah aliran yang berada di
lapisan equifer (air tanah), maka disebut aliran air tanah. Air limpasan permukaan
di bedakan menjadi: sheet dan rill surface run-of akan tetapi jika aliran air
tersebut sudah masuk ke sistem saluran air atau kali, maka disebut sebagai stream
flow run-off. Limpasan permukaan akan terjadi apabila syarat-syarat terjadi
terpenuhinya limpasan permukaan adalah :
1. Terjadi hujan atau pemberian air ke permukaan
2. Intensitas hujan lebih besar dari pada laju dan kapasitas infiltrasi tanah dan
Topografi
3. Topografi dan kelerengan tanah memungkinkan untuk terjadinya aliran air
di atas permukaan tanah (Setia,Sonia. 2012).

2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Aliran Permukaan


1. Hujan
Hujan, yang meliputi tipe, lama, intensitas dan sebaran hujan sangat
menentukan limpasan permukaan yang terjadi di suatu daerah aliran sungai (DAS)
jumlah (volume) dan debit limpasan yang terjadi di suatu DAS sangat berkaitan
dengan intensitas dan lamanya hujan yang terjadi di DAS yang bersangkutan
(Najmi. 2014).
2. Laju dan kapasitas Infiltrasi Tanah
Laju dan kapasitas infiltrasi dapat di tentukan menggunakan metode
percobaan lapangan (langsung) menggunakan infiltrometter, atau dapat di
perkirahkan menurut rumus empiris yang telah ada seperti rumus empiris yang
sudah dikembangkan.
3. Kondisi DAS
Kondisi DAS, meliputi ukuran bentuk DAS ,topografi meliputi datar (0-
8%), landai (0-15%), bergelombang (15-25%), berbukit (25-40%), bergunung (>
40%) geologi, dan penggunaan lahan. Limpasan permukaan akan semakin
menurun sebanding dengan semakin bertambahnya luas DAS, luas DAS ini
menentukan musim atau saat kapan suatu puncak limpasan permukaan akan
terjadi. Suatu DAS yang berbentuk memanjang dan sempit kemungkinan akan
menghasilkan limpasan permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan DAS
yang lebih besar dan kompak untuk luas DAS yang sama. Hal ini disebabkan
DAS yang berbentuk sempit dan memanjang mempuyai waktu konsentrasi yang
lebih lama dan curah hujanya terutama intensitasnya juga tidak sering merata
sepanjang DAS yang berbentuk memanjang.
Bentuk topografi DAS seperti kelerengan, derajat kemiringan sistem
drainase dan keberadaan cekungan penyimpan air di permukaan berpengaruh pada
volume dan debit limpasan permukaan. Suatu DAS dengan bentuk permukaan
lahan datar dan terdapat cekungan peyimpan air permukaan yang tak ber-outlet
cenderung mempuyai limpasan permukaan yang lebih kecil di banddingkan
dengan topografinya miring dan mempuyai pola dan sistem drainase (stream)
yang sudah mapan. Sifat geologi tanah berpengaruh terhadap infiltrasi oleh karena
itu berpengaruh pula terhadap limpasan.
4. Distribusi Curah Hujan
Faktor ini mempengaruhi hubungan antara hujan dan derah pengaliran
suatu volume hujan tertetu yang tersebar merata diseluruh daerah aliran
intensitasnya akan berkurang apabila curah hujan sebagian saja dari daerah aliran,
dan menyebabkan terjadinya aliran permukaan lambat.
5. Kondisi Pengunaan Lahan
Aliran permukaan sangat dipengaruhi oleh kondisi pengunaan tanah dalam
daerah pengaliran. Daerah hutan yang ditutupi tumbuhan yang lebat adalah sulit
terjadi aliran permukaan karna besarnya intersepsi, evaporasi, transpirasi dan
perkolasi. Jika daerah ini dijadikan derah pembangunan dan dikosongkan, maka
kesempatan untuk infiltrasi semakin kecil sehingga dapat memperbesar aliran
permukaan.
6. Luas Daerah Pengaliran
Luas daerah pengaliran berpengaruh pada aliran permukaan, makin luas
daerah pengaliran maka waktu airan permukaan untuk mencapai titik pengukuran
semakin lama (Najmi. 2014).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah :
1. Alat tulis
2. Aplikasi Ms. Excel
3. Data kemiringan, tekstur, luas, dan jenis tanah
4. Kalkulator
5. Tabel koefisien Run Off (C)

3.2 Prosedur Pelaksanaan Praktikum


1. Menentukan koefisien jenis lahan hutan, lahan pertanian, dan lahan
pemukiman;
2. Menghitung panjang maksimum aliran;
3. Menghitung kemiringan lereng dengan membagi beda ketinggian antara
titik pengamatan dan lokasi terjauh DAS dengan panjang maksimum
aliran;
4. Menghitung waktu konsentrasi yang diperlukan oleh air untuk mencapai
titik pengamatan aliran;
5. Menghitung intensitas curah hujan pada periode ulang 50 tahun dan 100
tahun;
6. Menghitung pendugaan debit banjir pada periode ulang 50 tahun dan 100
tahun.
BAB IV
HASIL
4.1 Tabel
Tabel 1. Data Waduk Jatigede
Jenis Lahan Tekstur Tanah Kemiringan rata Luas (km2)
– rata (%)
Hutan Lempung Berdebu 10 - 30 25786
Tanah Pertanian

- sawah Lempung Berliat 3–5 34678


- ladang Lempung Berpasir 3-8 15543
Pemukiman Lempung Berliat 3 - 10 7564
Total 83571
(Sumber : Dwiratna, 2016)

Tabel 2. Nilai Koefisien Run Off (C)


Tekstur Tanah
Kemiringan
Jenis Lahan Lempung Lempung
(%) Liat
Berpasir Berliat/Berdebu
Hutan
00-05 0.10 0.30 0.40
05-10 0.25 0.35 0.50
10-30 0.30 0.50 0.60
Padang
Rumput
00-05 0.10 0.30 0.40
05-10 0.15 0.35 0.55
10-30 0.20 0.40 0.60
Tanah yang
diolah
00-05 0.30 0.50 0.60
05-10 0.45 0.60 0.70
10-30 0.50 0.70 0.80
Tanah Padat 0.90 0.90 0.95
(Sumber : Dwiratna, 2016)

Tabel 3. Hasil Analisis Data


No Luas / A (km2) C CxA
1 25786 0,50 12893
2 34678 0,50 17339
3 15543 0,45 6994,35
4 7564 0,9 6807
Total 83571 2,35 44033,35
(Sumber : Hasil Praktikum, 2017)

4.2 Perhitungan
Diketahui :
Panjang sungai (L) = 23,6 km = 23.600 m
Periode ulang 50 tahun, R24 = 250 mm = 0,25 m
Periode ulang 100 tahun, R24 = 360 mm = 0,36 m
Titik terjauh dari outlet DAS berelevasi (h1) = 1350 m
Outlet waduk berelevasi (h2) = 250 m
1. C rata-rata
Jumlah C x A 44033,35
= = 0,527
Jumlah Luas Permukaan 83571

2. Elevasi
h = Elevasi titik terjauh outlet(h1) – Elevasi outlet(h2)
= 1350 – 250 = 1100 m
3. Panjang maks (L) = 23,6 km = 23600 m
4. Kemirirngan Lereng
beda tinggi 1100
S= = 23600 = 0,04661016949
panjang maks

5. Waktu Konsentrasi
Tc = 0,0195 L0,77 S-0,385
= 0,0195. (23600)0,77. (0,0466)-0,385
= 45,4126 x 3,2559 = 147,859174 menit = 2,464319567 jam
6. Intensitas Curah Hujan
2
𝑅24 24 3
I= (𝑡)
24
2
0,25 24 3
I50 = (2,464319567) = 0,0475 km/jam
24
2
0,36 24 3
I100 = (2,464319567) = 0,0684 km/jam
24

7. Debit Banjir
Q = 0,278 C I A
Q50 = 0,278 x 0,527 x 0,0475 x 83571 x 106 = 581573514 m3/jam
= 161548,198 m3/s
Q100 = 0,278 x 0,527 x 0,0684 x 83571 x 106 = 837446545,26 m3/jam
= 232663,4157 m3/s
Salma Delila
240110160100

BAB V
PEMBAHASAN

Pada praktikum pengukuran debit banjir/debit puncak yang dilakukan


digunakan metode rasional dan untuk menentukan besarnya debit maksimum
(limpasan). Metode rasional ini digunakan untuk daerah yang luas pengalirannya
kurang dari 300 ha. Metode ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa curah
hujan yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan diseluruh daerah pengaliran
selama paling sedikit sama dengan waktu konsentrasi (tc). Diasumsikan bahwa
bila lama waktu hujan sama dengan tc berarti seluruh bagian DAS tersebut telah
ikut berperan untuk terjadinya aliran air yang sampai ke titik pengamatan.
Contoh keadaan yang terjadi pada waduk Jatigede Kab. Sumedang yang
mana merupakan soal pada praktikum kali ini. Waduk tersebut membendung
sungai dengan panjang 23,6 km yang memiliki titik terjauh dari outlet DAS
berelevasi ± 1,350 m dan outlet Waduk Jatigede berelevasi ± 250 m. Hasil analisis
frekuensi sebaran normal R24 maksimal sebesar 250 mm untuk periode 50 tahun
dan 360 mm untuk periode 100 tahun. Hasil yang didapat C rata-rata sebesar
0,527 dengan elevasi sebesar 1100 m. Untuk kemiringan lereng waduk yaitu
0,04661016949. Seperti yang kita ketahui, beberapa daerah mempunyai
karakteristik permukaan tanah yang berbeda (subarea), sehingga koefisien
pengaliran untuk masing-masing subarea nilainya berbeda, dan untuk menentukan
koefisien pengaliran pada wilayah tersebut dilakukan penggabungan dari masing-
masing subarea. Variabel luas subarea dinyatakan dengan A dan koefisiennya
dinyatakan dengan C.
Kemudian mencari nilai Tc atau waktu perjalanan yang diperlukan oleh air
dari hulu hingga outlet, didapatkan hasil sebesar 2,464319567 jam. Untuk
Intensitas curah hujan terbesar ditentukan dengan memperkirakan Tc maka Tc = t.
Dimana Intensitas curah hujan untuk periode ulang 50 tahun yaitu sebesar 0,0475
km/jam. Sedangkan Intensitas curah hujan untuk periode ulang 100 tahun yaitu
sebesar 0,0684 km/jam. Tahap terakhir dalam perhitungan yaitu perhitungan debit
banjir. Metode rasional dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa curah hujan
yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan merata di seluruh daerah
pengaliran selama paling sedikit sama dengan waktu konsentrasi (Tc). Didapatkan
hasil akhirnya yaitu 161548,198 m3/s untuk debit banjir periode ulang 50 tahun
dan 232663,4157 m3/s untuk periode ulang 100 tahun.
Sebenarnya banyak cara untuk membuat estimasi debit banjir, dan ini
tergantung pada data yang tersedia. Bila tidak tersedia debit banjir, debit banjir
dapat diperkirakan dengn menggunakan rumus-rumus empiris. Metode perkiraan
debit banjir dapat dikelomppokkan atas dasar kelompok data hidrologi. Namun
bila hanya tersedia data hujan, maka estimasi debit banjir dapat dikerjakan dengan
metode Rasional ini.
Dennys Alvanius
240110160106

BAB V
PEMBAHASAN

Pada praktikum Hidrologi Teknik kali ini yaitu mengenai aliran pendugaan
debit banjir/debit puncak menggunakan metode rasional. Debit aliran yang
diprakirakan dengan menggunakan metode ini adalah air aliran puncak dan debit
rata-rata. Debit banjir dipergunakan salah satunya dalam analisis bentuk bendung
yang merupakan outlet dari DAS (Daerah Aliran Sungai) dan mempengaruhi
umur bangunan. Debit banjir dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu intensitas
hujan, koefisien aliran subarea dan luas daerah aliran sungai. Banyak cara yang
dapat dipakai untuk membuat estimasi debit banjir, dan ini tergantung pada data
yang tersedia.
Perhitungan dilakukan menggunakan Mc Excel. Didapatkan tabel nilai
tekstur tanah berdasarkan jenis lahan dan kemiringannya. Tabel ini digunakan
untuk mengetahui nilai koefisien run off (C). Koefisien run off pada lahan hutan
lempung berdebu dengan kemiringan 10 – 30 % sebesar 0.5, koefisien run off
pada tanah pertanian sawah lempung berliat dengan kemiringan 3 – 5 % sebesar
0.5, koefisien run off pada tanah pertanian ladang lempung berpasir dengan
kemiringan 5 – 10 % sebesar 0.45, koefisien run off pada pemukiman lempung
berliat dengan kemiringan 5 – 10 % sebesar 0.9. Sehingga didapatkan nilai rata-
rata koefisien run off sebesar 0.527.
Metode Rasional ini digunakan untuk daerah yang luas pengalirannya
kurang dari 300 ha. Metode rasional dikembangkan dengan asumsi bahwa curah
hujan yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan merata di seluruh daerah
pengaliran selama paling sedikit sama dengan waktu konsentrasi. Debit banjir
atau debit puncak ini dipengaruhi oleh koefisien aliran, intensitas curah hujan
selama waktu konsentrasi, luas daerah dan nilai konstanta.
Hasil pengukuran yang didapatkan adalah nilai ketinggian titik pengamatan
(H) adalah 1100 m, nilai panjang maksimum aliran (L) adalah 23,6 km nilai
kemiringan lereng (s) adalah 0,04661016949 yang didapatkan dari perbandingan
antaran H dengan L. Kemiringan lereng itu sendiri merupakan perbandingan
ketinggian antara titik pengamatan dengan lokasi terjauh pada DAS dengan
panjang maksimum. Setelah itu praktikan menghitung nilai Tc yang berarti waktu
perjalanan yang diperlukan oleh air dari tempat yang paling jauh (hulu DAS)
sampe ke titik pengamatan aliran (outlet) . Nilai Tc yang didapatkan adalah
selama 147,859174 menit. Perhitungan nilai I untuk periode 50 tahun sebesar
0,047504882 m/jam dan untuk periode 100 tahun sebesar 0,06840703 m/jam.
Setelah semua data didapatkan praktikan menghitung debit pada tahun
tertentu. Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang
melewati suatu penampang melintang sungai persatuan waktu. Debit 50 tahun
sebesar 161564,8 m3/s dan debit 100 tahun sebesar 232653,32 m3/s. Dengan
mengetahui debit air suatu perairan kita dapat mengetahui jenis organisme apa
saja yang hidup di suatu perairan tersebut. Jika debit air di suatu perairan tinggi
maka dapat dipastikan bahwa organisme yang hidup di perairan tersebut adalah
organisme perenang kuat dan apabila debit suatu perairan tersebut rendah maka
organisme yang hidup di perairan tersebut adalah organisme yang membenamkan
dirinya.
Sementara pada pengukuran debit selama periode 50 tahun, digunakan
metode rasional untuk pengukurannya, pada pengukuran debit ini diperoleh hasil
yang cukup besar. Hasil dari pengukuran debit selama 50 tahun ini dapat menjadi
prediksi besarnya debit air aliran permukaan selama 50 tahun kedepan, begitu
juga dengan pengukuran debit air selama 100 tahun. Hasil pengukuran debit ini
dapat digunakan untuk menanggulangi banjir yang akan terjadi akibat adanya
aliran permukaan dalam jangka waktu 50 tahun maupun jangka waktu 100 tahun.
Rini Nurul Fauziyah
240110160108

BAB V
PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini membahas tentang Pendugaan Debit Banjir dengan
menggunakan metode rasional, dimana metode rasional digunakan dalam
pengukuran debit pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan prinsip penggunaan
besarnya intensitas hujan yang ada pada daerah aliran sungai tersebut serta
koefisien runoff yang ada pada keadaan lingkungan di sekitar aliran sungai, serta
dengan memperhatikan jenis lahan yang berada di sekitar daerah aliran sungai
tersebut, kemiringan dan sifat fisik tanah disekitar DAS seperti tekstur tanah, dan
luas Daerah Aliran Sungai (DAS). Pengukuran debit ini dilakukan pada data
perencanaan Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang dengan pengamatan data di
DAS Sumedang.
Data elevasi pada bagian hulu daerah aliran sungai Sumedang, menjadi
salah satu data yang diperlukan dalam pengukuran debit, selain itu diperlukan
pula elevasi pada Waduk Jatigede, dan panjang aliran sungai utama. Data-data
tersebut digunakan sebagai parameter untuk menghitung kemiringan lereng pada
daerah aliran sungai Sumedang sebagai tolak ukur tinggi rendahnya debit air dan
waktu konsentrasi yang merupakan tingkat waktu yang diperlukan oleh air untuk
mengalir dimulai dari hulu hingga hilir sungai. Hubungan antara kemiringan
lereng dengan konsentrasi waktu yang diperlukan memiliki hubungan yang
berbanding lurus, sehingga dengan kemiringan yang tinggi maka waktu aliran air
dari hulu ke hilir akan cepat, sebaliknya kemiringan yang rendah (datar)
menyebabkan waktu yang dibutuhkan air untuk mengalir dari hulu ke hilir akan
lebih lama. Dengan diketahuinya data kemiringan dan tekstur tanah pada sekitar
daerah aliran sungai (DAS) maka koefisien runoff dapat diketahui.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, pengukuran intensitas hujan
ditentukan dengan menggunakan metode mononobe, dimana metode ini
memerlukan data curah hujan harian dengan periode ulang tertentu. Sesuai dengan
langkah praktikum yang dilakukan, pengukuran intensitas hujan diukur pada
periode ulang 50 tahun sehingga didapatkan nilai intensitas curah hujan 0,0475
km/jam serta diukur pada periode ulang 100 tahun sehingga didapatkan nilai
intensitas curah hujan 0,0684 km/jam. Data intensitas curah hujan dapat
digunakan sebagai parameter perhitungan debit banjir yang akan dicari, sehingga
dengan nilai tersebut data debit banjir akan diketahui pada periode 50 serta 100
tahun. Perbedaan jenis lahan memerlukan pengukuran khusus dalam perhitungan
intensitas hujan, dimana lahan yang berbeda-beda tersebut perlu dihitung rata-rata
terutama pada nilai koefisien dan luas lahan masing-masing.
Berdasarkan hasil pengukuran yang didapatkan, nilai debit banjir pada
periode 50 tahun sebesar 161548,198 m3/s dan debit banjir pada periode 100
tahun sebesar 232653,32 m3/s, nilai tersebut menunjukan bahwa debit pada
periode 100 tahun lebih tinggi disebabkan oleh curah hujan harian pada periode
100 tahun lebih besar dibandingkan curah hujan harian pada periode 50 tahun,
pada periode 100 tahun curah hujan harian yang ada sebesar 360 mm sedangkan
periode 50 tahun memiliki curah hujan harian relatif lebih kecil yaitu sebesar 250
mm. Berdasarkan analisis pengukuran luas lahan, didapatkan lahan sebesar 83,571
km2 jika dikonversikan kehektar (ha) sebesar 8357,1 ha, sehingga jika ditinjau dari
syarat penggunaan metode rasional yaitu metode ini digunakan pada lahan dengan
total luas pengairan atau daerah aliran sungai (DAS) kurang dari 300 ha, metode
pengukuran pada praktikum kali ini kurang cocok karena luas lahan di sekitar
daerah aliran sungai sumedang lebih dari 300 ha. Hal tersebut dapat menyebabkan
data yang diperoleh kurang akurat.
Kemal Maulana R S P
240110160117

BAB V
PEMBAHASAN
Salma Delila P.
240110160100

BAB V
KESIMPULAN

Kesimpulan dari praktikum ini adalah:


1. Pengukuran debit banjir/ debit puncak dapat menggunakan metode rasional.
Metode rasional ini digunakan untuk daerah yang luas pengalirannya kurang
dari 300 ha.
2. Debit banjir/ debit puncak merupakan salah satu yang menentukan terjadinya
limpasan. Debit banjir/ debit puncak dapat diketahui dari data intensitas hujan
sehingga metode penentuan limpasan biasanya menduga besarnya debit
puncak di suatu DAS.
3. Yang dapat mempengaruhi besarnya debit puncak DAS yaitu nilai koefisien
limpasan (debit puncak) dan nilai curve number.
4. Dari hasil perhitungan yang diperoleh dapat dikatakan bahwa debit banjir/
debit puncak semakin meningkat ini berarti saat terjadinya hujan, air hujan
yang dijadikan limpasan lebih banyak dibandingkan sebelum perubahan
lahan.
Dennys Alvanius
240110160106

BAB VI
KESIMPULAN

Kesimpulan dari praktikum kali ini yaitu :


1. Pengukuran aliran permukaan dapat dilakukan dengan beberapa metode
salah satunya adalah dengan menggunakan metode rasional.
2. Debit banjir dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain, intensitas
hujan, koefisien aliran, dan luas daerah aliran sungai.
3. Waktu konsentrasi (Tc) adalah waktu perjalanan yang diperlukan oleh air
dari tempat yang paling jauh (hulu DAS) sampai ke titik pengamatan aliran
(outlet).
4. Intensitas curah hujan pada periode ulang 50 tahun sebesar 0,047504882
m/jam dan intensitas curah hujan pada periode ulang 100 tahun sebesar
0,06840703 m/jam.
5. Periode ulang 50 tahun diperoleh debit sebesar 161564,8 m3/s sedangkan
pada periode ulang 100 tahun diperoleh debit sebesar 232653,32 m3/s.
6. Semakin lama waktu periode ulang maka nilai debitnya semakin besar.
Rini Nurul Fauziyah
240110160108

BAB VI
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari praktikum kali ini antara lain:


1. Data yang diperlukan dalam metode rasional antara lain luas lahan, jenis
lahan, kemiringan lahan, serta sifat tanah seperti tekstur tanah pada daerah
aliran sungai yang diukur.
2. Nilai intensitas curah hujan 0,0475 km/jam pada periode 50 tahun serta
0,0684 km/jam pada periode 100 tahun.
3. Nilai debit banjir pada periode 100 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan
periode 50 tahun karena nilai curah hujan harian pada periode 100 tahun
lebih tinggi pula.
4. Nilai debit banjir pada periode 50 tahun sebesar 161548,198 m3/s dan debit
banjir pada periode 100 tahun sebesar 232653,32 m3/s.
5. Metode pengukuran pada praktikum kali ini kurang cocok karena luas lahan
di sekitar daerah aliran sungai sumedang lebih dari 300 ha, sehingga data
yang diperoleh kurang akurat.
Kemal Maulana R S P
240110160117

BAB VI
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang didapat dari praktikum kali ini adalah:


DAFTAR PUSTAKA

Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Airan Sungai.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dwiratna, Sophia. 2016. Penuntun Praktikum Hidrologi Teknik. Universitas


Padjadjaran

Murtiono UH. 2008. Kajian Model Estimasi Volume Limpasan Permukaan, Debit
Puncak Aliran, dan Erosi Tanah Dengan Model Soil Conservation Service
(SCS), Rasional dan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE)
(Studi Kasus di Das Keduang, Wonogiri). Jurnal Forum Geografi Volume
(22, No. 2, Desember 2008: 169-185)

Najmi. 2014. Tinjauan Pustaka Limpasan Permukaan. Terdapat Pada :


http://eprints.ung.ac.id/3442/6/2013-1-87202-451409006-bab2-
01082013050103.pdf. (Diakses pada Minggu, 10 Desember 2017 pukul
19:57 WIB)

Setia, Sonia. 2012. Pendugaan debit Puncak Menggunakan Model Rasional dan
SCS-CN. Terdapat pada :
https://sonisbudiawan.files.com/2013/03/skripsi_soni.pdf. (Diakses pada
Minggu, 10 Desember 2017 pukul 18:43 WIB)

Siana. 2015. Pengertian Hidrologi dan Siklus Hidrologi. Tedapat pada :


http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-hidrologi-siklus-
hidrologi-pengertian.html. (Diakses pada Minggu, 10 Desember 2017
pukul 19:24 WIB)
LEMBAR PENILAIAN KELOMPOK

Salma Delila Dennys A Rini Nurul F Kemal Maulana

240110160100 240110160106 240110160108 240110160117

Salma Delila 89 90 85
Dennys A 90 90 90
Rini Nurul F 88 87 87
Kemal Maulana 89 89 90
Rata-Rata 89 88,3 90 85,67

Anda mungkin juga menyukai