1. Auguste Comte dipandang sebagai bapak sosiologi karena sumbangannya dalam membangun ilmu pengetahuan positif yang membatasi pengetahuan manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh secara empiris;
2. Ia mengembangkan teori tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, yakni tahap teologis, metafisika, dan positif;
3. Karya utamanya "Kursus Filsafat Positif" membangun dasar
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
80%(5)80% menganggap dokumen ini bermanfaat (5 suara)
10K tayangan38 halaman
1. Auguste Comte dipandang sebagai bapak sosiologi karena sumbangannya dalam membangun ilmu pengetahuan positif yang membatasi pengetahuan manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh secara empiris;
2. Ia mengembangkan teori tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, yakni tahap teologis, metafisika, dan positif;
3. Karya utamanya "Kursus Filsafat Positif" membangun dasar
1. Auguste Comte dipandang sebagai bapak sosiologi karena sumbangannya dalam membangun ilmu pengetahuan positif yang membatasi pengetahuan manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh secara empiris;
2. Ia mengembangkan teori tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, yakni tahap teologis, metafisika, dan positif;
3. Karya utamanya "Kursus Filsafat Positif" membangun dasar
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
80%(5)80% menganggap dokumen ini bermanfaat (5 suara)
1. Auguste Comte dipandang sebagai bapak sosiologi karena sumbangannya dalam membangun ilmu pengetahuan positif yang membatasi pengetahuan manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh secara empiris;
2. Ia mengembangkan teori tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, yakni tahap teologis, metafisika, dan positif;
3. Karya utamanya "Kursus Filsafat Positif" membangun dasar
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 38
SEBAB MUNCULNYA SOSIOLOGI
Mengapa muncul suatu ilmu yang di namakan sosiolog. Menurut
Berger dan Berger pemikiran sosiologi muncul makala masyarakat masyarakat mengalami ancaman terhadap hl yang selama ini dianggapa sebagai hal yang memang sudah demikian, benar, nyata- menghadapi apa yang oleh Berger dan Bergerdi sebut `threats to the taken for grandted word" manakal hal yang yang selama ini menjadi pegangan manusia mengalami krisis, maka mulailah orang melakukan renungan sosiologi. L. Layendecsker pun mengaitkan kelahiran sosiologi dengan serangkaian perubahan berjangka panjang yang melanda eropa barat di abad pertengahan. Proses jangka panjang yang di identifikasi Layendecker ialah : 1. tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15 2. Perubahan di bidang social dan politik, 3. perubahan berkenan dengan revormasi Martin Luther 4. Meningkatnya individualism 5. lahirnya ilmu pengetahuan modern 6. berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri. Layendecker menyebutkan dua revolusi berjangka panjang yang melanda eropa barat di abad ke-18 yaitu : 1. Revolusi industry revolusi prancis (lihat Layendecker, 1983-43) Daftar kekuatan social yang mendorong pertumbuhan sosiologi hamper kita jumpai dalam buku Ritzer. Kekuatan social yang di jabarkan adalah 1.Revolusi politik 2.Revolosi industri dan munculnya kapitalisme 3.Munculnya sosialisme 4.Urbanisasi 5.Perubahan ke agamaan dan 6.Pertumbuhan ilmu (lihat Ritzer 1992 6-7) Factor ini merupakan penyebab utama mengapa pemikiran sosiologi mulai berkembang secara serentak di beberapa Negara di eropa Inggris, Prancis, Jerman dalam kurun waktu yang hamper bersamaan, yaitu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Para Perintis Sosiologi Dalam ilmu pengetahuan mempunyai tooh tertentu yang di anggap perintis. Ilmu pengetahuan alam mempunyai Sir Isac Newton, Psikologi mempunyai Freud, jung. Dan sosiologi pun mengenal sejumlah orang yang di anggap sebagai perintisnya. Jrang yang oleh Lewis Coser pemuka pemikiran sosiologi -2asters of sociological though ialah : Saint-Simon, Comte, herber Spenser, Durkheim, Marx, Sorokin, Mead, coley (lihat Coser 1977) Pembahasan ini akan di mulai dengan uraian mengenai beberapa sumbangan penting para perintis awal bagi sosiologi sebagai ilmu. Pemahaman pemikiran para perintis ala mini sangat perlu karena antara perintis awal dan pemikiran sosiolog masa kini mempunyai kesinambungan atau suatu benag merah. Setelah mempelajari pokok pokiran para tokoh perintis awal kita akan menyadari bahwa sebagaian besar teori dan konsep sosiolog masa kini berakar pada sumbangan para tokoh klasik. Pemikiran tokoh masa kini seperti Mills, Dahrendorf, Coser dan Collins, misalnya, memperlihatkan pengaruh marx yang hidup pada abad ke 19; pemikiran Homans dan Blau menampilkan pengaruh tokoh Utilitarianisme seperti Bentham, dan pemikir Merton dan Parsons menunjukan pengaruh Durkheim Dalam ilmu pengetahuan berlaku asas menghormati sumbangan pikiran orang terdahulu; Sir Izaac Newton, tokoh matematika dan ilmu pengetahuan alam, menyatakan rasa hormatnya ini melalui ungkapannya yang terkenal If I have seen farther it is by standing on the soulders of giant's (lihat merton 1974 303) ia mengakui ia mampu melihat jauh ke depan karena berdiri di atas pundak para raksasa yang telah mendahuluinya. Dalam sosiologi pun sama: para tokoh masa kini mampu mengembangkan sosiologi karena melandaskan pemikiran mereka pada sumbangan pikiran para raksasa sosiologi abad ke-18 dan 19. Sedangkan para tokoh klasik tersebut pun melandaskan sumbangan pikiran mereka pada pemikiran ahli ilsafat social yang menddahului merekka. AGUSTE COMTE 1. Biografi uguste Comte yang lahir di Montpellier, Perancis pada 19 Januari 1798, adalah anak seorang bangsawan yang berasal dari keluarga berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana pergolakan social, intelektual dan politik pada masanya Comte sebagai mahasiswa di Ecole Politechnique tidak menghabiskan masa studinya setelah tahu mahasiswa yang memberikan dukungannya kepada Napoleon dipecat, Comte sendiri merupakan salah satu mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Hal tersebut menunjukan bahwa Comte memiliki prinsip dalam menjalani kehidupannya yang pada akhirnya Comte menjadi seorang profesional dan meninggalkan dunia akademisnya memberikan les ataupun bimbingan singkat pada lembaga pendidikan kecil maupun yang bentuknya privat. Hal-hal yang sebenarnya menarik perhatiannyapun dasarnya bukanlah yang berbau matematika tetapi masalah-masalah social dan kemanusiaan. Dan, pada saat minatnya mulai berkembang tawaran kerjasama dari Saint Simon yang ingin menjadikan Comte sekretaris Simon sekaligus pembimbing karya awal Comte, Comte tidak menolaknya. Tiada gading yang tak retak, istilah yang menyempal dalam hubungan yang beliau-beliau jalin. khirnya ada perpecahan juga antara kedua intelektual ini perihal karya awal Comte karena arogansi intelektual dari keduanya. Sejak saat itulah Comte mulai menjalani kehidupan intelektualnya sendiri, menjadi seorang profesional lagi dan Comte dalam hal yang satu ini menurut pandangan Coser menjadi seorang intelektual yang termarjinalkan dikalangan intelektual Perancis pada zamannya. Kehidupan terus bergulir Comte mulai melalui kehidupannya dengan menjadi dosen penguji, pembimbing dan mengajar mahasiswa secara privat. Walaupun begitu, penghasilannya tetap tidak mecukupi kebutuhannya dan mengenai karya awal yang dikerjakannya mandek. Mengalami fluktuasi dalam penyelesainnya dikarenakan intensitas Comte dalam pengerjaannya berkurang drastis. Comte dalam kegelisahannya yang baru mencapai titik rawan makin merasa tertekan dan hal tersebut menjadikan psikologisnya terganggu, dengan sifat dasarnya adalah , seorang pemberontak akibatnya Comte mengalami gejala paranoid yang hebat. Keadaan itu menambah mengembangnya sikap pemberang yang telah ada, tidak jarang pula perdebatan yang dimulai Comte mengenai apapun diakhiri dengan perkelahian. Kegilaan atau kerajingan yang diderita Comte membuat Comte menjadi nekat dan sempat menceburkan dirinya ke sungai. Datanglah penyelamat kehidupan Comte yang bernama Caroline Massin, seorang pekerja seks yang sempat dinikahi oleh Comte ditahun 1825. Caroline dengan tanpa pamrih merawat Comte seperti bayi, bukan hanya terbebani secara material saja tetapi juga beban emosional dalam merawat Comte karena tidak ada perubahan perlakuan dari Comte untuk Caroline dan hal tersebut mengakibatkan Caroline memutuskan pergi meninggalkan Comte. Comte kembali dalam kegilaannya lagi dan sengsara. Comte menganggap pernikahannya dengan Caroline merupakan kesalahan terbesar, berlanjutnya kehidupan Comte yang mulai memiliki kestabilan emosi ditahun 1830 tulisannya mengenai Filsafat Positiv (Cours de Philosophie Positiv) terbit sebagai jilid pertama, terbitan jilid yang lainnya bertebaran hingga tahun 1842. Mulailah dapat disaksikan sekarang bintang keberuntungan Comte sebagai salah satu manusia yang tercatat dalam narasi besar prosa kehidupan yang penuh misteri, pemikiran brilian Comte mulai terajut menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dulu. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi manusia terbatas, mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Tiga hal ini dapat menjadi ciri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu: 1. Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat. Keyakinan dalam pengembangan yang dinamakannya positivisme semakin besar volumenya, positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha pengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjalasan- penjelasannya spekulatif (metafisika). Comte bukan hanya melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi layaknya filsuf lainnya, Comte selalu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan agitasinya tentang ilmu pengetahuan positiv pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus Uji coba argumentasi atas mazhab yang sedang dikumandangkannya dengan gencar. Positivisme. Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato, Comte memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul. Pengetahuan- pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem klasifikasinya. sumsi-asumsi ilmu pengetahuan positiv itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain. Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai hukum tiga tahap atau dikenal juga dengan hukum tiga stadia. Hukum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte. Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah. Beralih pada pemikiran selanjutnya, yaitu tahap metafisika atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. Ini hari sialku, memang sudah takdir !, penyakit IDS adalah penyakit kutukan!, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang masih ditemukan setiap hari. Tahap positiv, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum- hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap. Comte jelaslah dapat terlihat progresivitasnya dalam memperjuangkan optimisme dari pergolakan realitas sosial pada masanya, dengan ilmu sosial yang sistematis dan analitis. Comte dikelanjutan sistematisasi dari observasi dan analisanya, Comte menjadikan ilmu pengetahuan yang dikajinya ini terklasifikasi atas dua bagian, yaitu: sosial statik dan sosial dinamik. Sosial statik dan sosial dinamik hanya untuk memudahkan analitik saja terbagi dua, walaupun begitu keduanya bagian yang integral karena Comte jelas sekali dengan hukum tiga tahapnya memperlihatkan ilmu pengetahuan yang holistik. Statika sosial menerangkan perihal nilai-nilai yang melandasi masyarakat dalam perubahannya, selalu membutuhkan sosial order karenanya dibutuhkan nilai yang disepakati bersama dan berdiri atas keinginan bersama, dapat dinamakan hukum atau kemauan yang berlaku umum. Sedangkan sosial dinamik, ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat atau gerak sejarah masyarakat kepada arah kemajuannya. Pemandangan Comte rasanya dapat terlihat dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuannya, yang mengidamkan adanya tata yang jelas mengedepankan keteraturan sosial dan kemajuan perkembangan serta pemikiran masyarakat ke arah positif. Sebagai seorang ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal tetapi, dalam hal ini Comte berbenturan dengan realitas sosial yang menginginkan perubahan sosial secara cepat, revolusi sosial. Comte terpaksa memberikan stigma negatif terhadap konflik, letupan-letupan yang mengembang melalui konflik dalam masyarakat karena akan menyebabkan tidak tumbuhnya keteraturan sosial yang nantinya mempersulit perkembangan masyarakat. Ketertiban harus diutamakan apabila masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme sosial, anarkisme intelektual. Keteraturan sosial tiap fase perkembangan sosial (sejarah manusia) harus sesuai perkembangan pemikiran manusia dan pada tiap proses fase-fasenya (perkembangan) bersifat mutlak dan universal, merupakan inti ajaran Comte. Comte memainkan peran ganda pada pementasan teater dalam hidupnya, pertama-tama Comte yang menggebu dalam menyelematkan umat manusia dari kebodohan, menginginkan adanya radikalisasi perkembangan pemikiran dengan wacana positivisme dan progresiv dalam tata masyarakat. Kedua, Comte menolak keras bentuk anarkisme sosial yang merusak moral dan intelektual. Comte adalah seorang yang radikal tetapi, bukanlah seorang yang revolusioner, Comte seorang yang progresiv namun bukan seorang yang militansinya tinggi (walaupun, sempat mengalami kegilaan/paranoid). Comte berjalan di tengah-tengah, mencari jalan alternatif melalui ilmu pengetahuan yang dikembangkannya guna menyiasati kemungkinan besar yang akan terjadi. EMILE DURKHEIM David mile Durkheim (15 April 1858 - 15 November 1917) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L'Anne Sociologique pada 1896. 1. Biografi Durkheim dilahirkan di pinal, Prancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh - ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya - banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya. Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke cole Normale Suprieure pada 1879. ngkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurs dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis. Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya uguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrgation - syarat untuk posisi mengajar dalam pengajaran umum - dalam ilmu filsafat pada 1882. Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis. Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik. Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan Pembagian Kerja dalam Masyarakat, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan turan-aturan Metode Sosiologis, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L'nne Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan Bunuh Diri, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi. Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar - kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. papun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan. Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis - ia mengusahakan bentuk kehidupan Prancis yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negarainya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Prancis bertahan mati-matian. khirnya, Ren, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang - sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917. . Teori dan gagasan Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat - suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme. Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta- fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu Dalam bukunya Pembagian Kerja dalam Masyarakat (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern1,. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat `mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual - norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang `mekanis', misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. kibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif - seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif. Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang- orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok- kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah mempengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik. khirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan gama" (1912) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim). MAX WEBER 1. Biografi Max Weber adalah teoritisi Sosiologi yang hidup setelah era Karl Marx. Ia dilahirkan pada 21 pril 1864 di Erfurt, propinsi Thuringia, Jerman, pada saat yang sama Karl Marx yang berusia 46 tahun telah beremigrasi ke Inggris. Dalam konteks waktu ini, orang seringkali membandingkan pemikiran Weber dengan Marx. Soiologi Weberian dipandang sebagai salah satu alternatif pemikiran tentang kelas yang sebelumnya didominasi oleh arus pemikiran Marxian. Walaupun mempunyai beberapa concern yang sama terhadap fenomena kelas dan struktur dalam masyarakat namun Weber dan Marx menghasilkan dua aras pemikiran yang berbeda. Bila Marx lebih dikenali dengan karakter utama reduksionis dan deterministik dalam pemikirannya, Weber justru memperlihatkan kompleksitas dan pluralisme dalam memandang fenomena sosial di masyarakat. Namun, secara garis besar, dalam keseluruhan tulisannya dapat dikatakan bahwa Max Weber sangat dipengaruhi oleh Marx dalam karya- karyanya. . Probabilitas dan Pluralisme Kausal Karakter utama analisa Weber tentang struktur dalam masyarakat adalah usaha untuk melakukan kompromi antara dua mainstream pemikiran yang berlawanan. Dua mainstream itu adalah positivism, yang bersikeras untuk menggunakan rigiditas ilmu alam, seperti fisika dan kimia, untuk melakukan eksaminasi terhadap masyarakat, dan di sisi lain, mereka yang menolak untuk menyamakan fenomena sosial dalam masyarakat dengan fenomena alam. Weber meletakkan sosiologi tepat ditengah-tengah kedua disiplin yang saling berkontestasi tersebut. Di antara kekuatan generalisasi ilmu alam dan subyektifitas ilmu sejarah yang mengedepankan keunikan single event sebagai fokus kajian. Hal ini membuat sosiologi mampu membentuk sebuah teori reguler, yang tidak mampu disediakan oleh sejarah, namun teori tersebut bukanlah sebuah koridor penjelas yang rigid seperti yang ada pada ilmu alam. lasan kuat untuk mengambil posisi ini adalah perbedaan mendasar subject matter antara manusia dan alam. Dua atom mungkin akan berinteraksi dengan cara yang sama sepanjang masa dengan prasyarat-prasyarat kondisi yang ceteris paribus, namun individu atau kelompok manusia akan berinteraksi dengan pola yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan konteks sosial yang ada. Konsep penting pertama Weber dalam membangun posisi epistemologi disiplin sosiologinya adalah probabilitas. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa X mungkin akan menghasilkan Y, pada beberapa, sebagian besar, atau bahkan jarang momentum. Berdasarkan ini kita dapat menyimpulkan, bahkan memprediksikan kemungkinan X akan menghasilkan Y. Satu hal yang tidak bisa kita lakukan dalm ilmu sosial adalah memastikan bahwa X akan menghasilkan Y.
Konsep kedua adalah causal pluralism. Konsep ini menerangkan mengapa seringkali fenomena sosial berubah tidak sesuai dengan prediksi kita. Dalam anggapan Weber, seringkali sesorang mengesampingkan banyak faktor dalam usaha untuk menjelaskan sebuah fenomena. Padahal seringkali faktor-faktor tersebut justru menjadi penentu kenapa deviasi bisa terjadi. Maka penting untuk memperhitungkan berbagai faktor penyebab dari fenomena sosial yang terjadi. Penjelasan terhadap suatu fenomena sosial tidak dapat bertolak hanya dari satu faktor penyebab saja melainkan harus diawali dari deskripsi dari bermacam-macam faktor yang kemudian dapat dianalissi lebih lanjut mana yang menjadi faktor dominan. . Faktor-faktor Subyektif dan Perdebatan Idealisme dan Materialisme Faktor penting lain bagi Weber dalam teori sosial adalah persoalan pemaknaan subyektif dalam interaksi manusia. Permasalahan ini juga menunjukkan keterbatasan disiplin ilmu alam ketika digunakan dalam menganalisa fenomena sosial. Ilmu alam berhdapan dengan fenomena yang secara obyektif dapat diobservasi dan intepretasi sehingga memungkinkan terbentuknya informasi yang akurat. Unit yang diobservasi dalam ilmu sosial adalah individu atau kelompok masyarakat yang perilakunya tidak hanya ditentukan oleh kondisi obeyektif diluar dirinya namun juga kekuatan subyektif dalam dirinya. Jadi analisa sosial harus memperhitungkan faktor ide dalam individu yang akan memandu perilaku, kesadaran dan persepsi terhadap lingkungan diluar dirinya. Pengaruh ide dalam perilaku manusia dijelaskan oleh Weber dalam konsep Rational ction, yaitu tindakan untuk mencapai kepentingan individual. Konsep ini dapat menghasilkan tingkat kepastian yang cukup tinggi, karena selalu terdapat motif subyektif dalam setiap tindakan. Namun ada beberapa tindakan yang dipandu oleh alasan-alasan yang nonrasional atau bahkan irrational seperti, takhayul, cinta, dendam dan lain-lain.
Masalah ini merupakan penjelasan tentang kompleksitas sosiologi sekaligus tingkat ketidak-pastiannya yang tinggi. Pada titik inilah Weber menunjukkan betapa tidak mencukupinya ilmu alam dalam menjelaskan fenomena sosial, sekaligus menunjukkan keunggulan ilmu sosial dari ilmu alam. Fokus kajian Weber terhadap pemaknaan subyektif dan penjelasan atas berbagai perbedaannya merupakan ciri mendasar disiplin Weberian dari model pemikiran lain. Weber menekankan faktor subyektif sebagai bagian integral dari analisa sosial dalam perdebatannya dengan Marx.perdebatan terutama terjadi pada topik hubungan antara ide dan realitas material. Menurut Weber, asumsi Marx tentang ide dan semua fenomena subyektif lain sebagai produk dari kondisi konkrit sosial tidak relevan dalam menjelaskan tindakan manusia. Weber berusaha keras untuk menunjukkan bahwa dunia sosial tidak bisa dipandang dengan cara sesederhana itu. Mereka yang hanya berpegang pada materialisme dan faktor ekonomi sebagai alat penjelasan fenomena sosial akan gagal karena pemaknaan subyektif dan ide seringkali menghasilkan efek yang berbeda dari prediksi teori materialisme. . Kelas-Kelas dalam Kapitalisme Tema tentang social inequality dalam pemikiran Weber terdapat dalam konsepnya tentang kelas, yang juga menjadi konsep sentral dalam bahasan Marx. Persamaan mendasar antara Weber dan Marx adalah titik tolak dari konsep kelas mereka adalah ekonomi. Perbedaannya adalah, bila Marx lebih banyak menekankan hubungan antar kelas dalam konteks moda produksi, terutama relasi dominatif dan eksploitatif yang menjadi pola utama hubungan sedangkan distribusi ekonomi cenderung diabaikan, Weber, justru menekankan pada sisi tersebut dalam membangun konsepsinya tentang kelas. Pada dasarnya Weber juga membahas tentang pertentangan kelas dan dominasi didalamnya, namun, sekali lagi, concern utama Weber adalah dalam hal bagaimana distribusi kekayaan menjadikan seseorang dalam masyarakat lebih kaya dari yang lain.
nalogi untuk memahami kelas dalam masyarakat pada pemikiran Weber adalah Pasar. Kategorisasi masyarakat secara ekonomis terbentuk dalam model pasar, yang merupakan sistem pertukaran kompetitif yang memungkinkan individu untuk saling bertukar untuk memenuhi kebutuhannya dan mengejar kepentingannya. Nilai- nilai yang terkandung dalam konsep ini adalah apa yang disebut Weber sebagai kegunaan, yang menyangkut juga nilai material seperti properti dan kepemilikan dan kemampuan kerja manusia seperti ketrampilan individual dan tenaga kerja. Jadi kelas, dalam konsepsi Weber adalah agregasi pemaknaan bersama masyarakat terhadap situasi di dalam pasar yang sama-sama menyediakan kepentingan ekonomi dan kesempatan untuk mencapai kepentingan. Dari penjelasan di atas kita tahu bahwa Weber memulai bahasannya tentang struktur ekonomi dalam masyarakat pada titik yang sama dengan Marx yaitu tentang mereka yang memiliki properti dan mereka yang hanya memiliki tenaga kerja untuk dipertukarkan dalam pasar. Namun Weber menempuh jalan yang berbeda dengan Marx dengan menunjukkan kompleksitas tentang jenis properti yang menajdi modal individual serta keteranpilan macam apa yang ditawarkan. Perbedaan ini akan menciptakan berbagai macam kelas dalam kelas sederhana yang dimaksud oleh Marx. Kelas pemodal masih terbagi berdasarkan berbagai macam modal yang dimiliki serta kelas pekerja sendiri yang masih terbagai oleh berbagai macam keterampilan yang dimiliki oleh pekerja tersebut. Definisi ini membawa kita pada kerumitan tersendiri karena setiap definisi akan menciptakan berbagai kelas dalam masyarakat jadi setiap individu dalam sistem ekonomi kapitalisme modern yang sangat kompleks dapat mewakili kelas yang berbeda-beda sehingga konsep kelas tersebut dengan sendirinya tidak berguna. Pada level operasional dari konsep ini sebenarnya Weber juga tidak berlaku serumit di atas. Konsep kelas Weber, lagi- lagi, berada ditengah-tengah antara konsep kelas bipolar Marx yang sangat sederhana dengan dengan konsep puralismenya yang sangat tegas. Pada akhirnya konsep ini juga tidak dapat dijelaskan secara gamblang karena inkonsistensi tulisan Weber yang tidak sepenuhnya selesai dalam Economy and Society. Kelas dalam konsepsi Weber tidak hanya berdasarkan pada perbedaan kepemilikan dalam ekonomi melainkan juga berhubungan dengan konsep terpisah tentang kelas sosial. Bila secara ekonomi kelas merujuk pada kesamaan situasi ekonomi dan kepentingan ekonomi dalam satu kelompok masyarakat, tetapi dalam konsepsi kelas sosial hal itu tidak secara otomatis terjadi. Kelas (secara ekonomi) tidak selalu secara langsung membentuk suatu grup atau kelompok sosial. Individu dalam kelas-kelas ekonomi tidak memiliki kesadaran akan persamaan situasi atau kepentingan seperti yang dimiliki suatu kelompok atau komunitas. Jadi kelas sosial adalah kelas ekonomi yang telah memiliki rasa persatuan dan kesadaran bersama sebagai suatu organisasi. 5. Kelas, Status dan Partai sebagai Sumber Kekuasaan Pembentukan kelas-kelas yang berbeda dalam struktur dalam masyarakat, menurut Weber, harus didasarkan pada pluralitas sumber-sumbernya. nalisa pada fenomena ketidaksetaraan kelas harus dipadukan dengan dua ide yang sebenarnya berbeda secara konseptual dengan kela stetapi turut berperan dalam pembentukan perbedaan kelas dalam realitas sosial. Konsep-konsep tersebut adalah status dan partai. Telah diuraikan diatas bahwa kelas adalah kategori yang bersifat individual berdasarkan kemampuan baik dalam hal ketrampilan maupun modal dalam sistem ekonomi (pasar). Status yang terdapat secara inheren dalam masyarakat, sangat berbeda dengan kelas. Masyarakat bagi Weber bukan hanya sekumpulan individu yang hidup bersama namun juga memiliki perasaan subyektif tentang keanggotaan bersama dan kesadaran kelompok yang terdefinisikan dengan baik. Status dalam masyarkat merupakan ciri khas gaya hidup atau cara mengatur kehidupan yang membedakannya dengan kelompok lain. Bila kelas keanggotaannya diakui lewat kekuatan ekonomi, status didapatkan dari sumber- sumber non-ekonomi seperti kehormatan sosial atau prestise yang didistribusikan dengan model-model tertentu. Jadi ada dua sistem representasi kekuasaan yang berlaku secara bersamaan dalam masyarakat. Namun adakalanya dua sistem ini saling berhubungan, dalam artian individu yang menduduki kelas atas (secara ekonomi) juga memiliki status sosial yang tinggi pula. Dan bila status ini diakui dan dinyatakan dalam bentuk interaksi nyata antar anggota masyarakat maka telah terdapat kesadaran akan posisi dan perasaan in group yang kuat dari masing-masing anggotanya sehingga muncullah kelas sosial. Peranan sistem status dalam membentuk kelas sosial ini tampak nyata bila dalam perilaku keseharian seseorang akan memilih bergaul dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang sama baik secara sosial maupun ekonomi, jadi ada kesadaran kelas yang menyatukan mereka lebih dekat bila dibandingkan dengan orang lain dari kelas maupun status yang berbeda. Dengan analisa struktur masyarakat yang lebih plural ini Weber ingin menunjukkan bahwa ada sumber-sumber kekuasaan lain selain ekonomi dalam struktur masyarakat. Jadi ada kemungkinan bagi individu untuk mengusahakan mobilitas vertikal dalam struktur sosial melalui jalan lain selain ekonomi. Hal ini juga menjelaskan sumber-sumber kemampuan aktor seperti Paus atau Karrdinal dalam mempengaruhi tindakan Raja atau para Bangsawan lain yangg notabene menduduki kelas tertinggi dalam ekonomi. Sumber kekuatan aktor seperti ini bukan dari sistem pasar ekonomis seperti yang tampak nyata dalam masyarakat namun berasal dari pemaknaan subyektif masyarakat yang menempatkan agama sebagai bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Kosep ketiga yang termasuk dalam bahasan distribusi kekuasaan dalam masyarakat perspektif Weberian adalah Partai. Partai dalam konsepsi Weber adalah asosiasi volunter pada sebuah sistem organisasi kolektif dalam mengejar kepentingan bersama. Partai yang diasumsikan oleh Weber lebih mengarah pada organisasi kepentingan atau profesi yang berfungsi sebagai kelompok penekan bukan partai politik seperti yang umumnya kita kenal.contohnya seperti sosiasi Konsumen, Perkumpulan Dokter dan lain-lain. Seperti juga pada keanggotaan kelas sosial dan kelompok status, dalam partai ini juga terdapat kesadaran kolektif dan solidaritas karena pada dasarnya pada kondisi tertentu kelompok status dan kelas sosial itu sendiri bisa dikatakan sebagai partai. Perbedaannya hanya pada bentuk formal organisasi dan administratif yang merepresentasi kelompok tersebut. Jadi, tidak semua kelas sosial atau kelompok status adalah partai begitupun sebaliknya. Jverlapping konseptual ini menegaskan pluralitas dan konpleksitas struktur sosial Weberian. Partai, seperti juga kelas dan kelompok status, juga merupakan kekuatan sosial yang turut berperan dalam membentuk struktur sosial.
6. Kuasa, Dominasi dan Wewenang Power merupakan salah satu konsep sentral dalam sosiologi Weberian terutama dalam hubungannya denga kajian social inequality. Dalam pandangan Weber, ketidaksetaraan dalam masyarakat merupakan buah dari perbedaan pencapaian individual dalam konteks pergulatan sosial (persaingan dan pertentangan antar kepentingan). Pergulatan ini adalah esensi makna dari politik menurut Weber. Power adalah faktor yang penentu hasil pergulatan sosial sekaligus yang menjaga kondisi ketidak- setaraan. Power dalam definisi Weber adalah kemungkinan individu, aktor dalam hubungan sosialnya berada dalam satu posisi yang mampu menyatakan kepentingannya tanpa mendapatkan tentangan. Definisi ini membawa beberapa konsekuensi pada sifat kekuasaan itu sendiri yang sporadis, dan dapat berubah sewaktu-waktu. Sedangkan dominasi, dalam perspektif Weber, adalah bentuk khusus dari power. Dominasi adalah kondisi aktual power dalam konteks hubungan sosial ketika individu atau kelompok menerima posisi tertentu dalam kerangka struktural tertentu sebagai penerima perintah dari kelompok dominan. Dominasi menunjukkan adanya pola reguler yang dibangun untuk menunjukkan ketidaksetaraan berdasarkan power. Perbedaan antara power dan dominasi ini memungkinkan kita menganalisa praktik power sebagai suatu tindakan berkelanjutan dalam kerangka ketidaksetaraan sosial sebagai fenomena yang terstruktur. Jadi dominasi menjadikan power lebih bersifat tetap dan berkelanjutan dalam tataran praksis daripada pada level definisi seperti pada awalnya. Secara operasional, konsep dominasi ini dapat dihubungkan dengan kategorisasi struktur masyarkat yang telah disusun oleh Weber sebelumnya yaitu kelas sosial, kelompok status, dan partai. Ketiga kategori dalam struktur masyarakat ini merupakan prinsip-prinsip dasar dalam praksis kekuasaan dalam realitas sosial. Dengan kata lain, anggota dari kelas sosial, kelompok status dan partai yang dominan dalan masyarakat akan dapat menyatakan kepentingannya secara reguler dalam satu struktur masyarakt tertentu. Konsep selanjutnya akan membahas alasan individu atau masyarakat yang berada pada level bawah mau menerima posisi mereka yang tersubordinasi. Dalam pemikiran Weber, salah satu alasannya adalah adanya legitimasi yang menajadikan kelas-kelas atas mempunyai keabsahan untuk melakukan dominasi. da tiga macam legitimasi yang diajukan oleh Weber untuk menjelaskan fenomena dominasi dalam masyarakat berdasarkan sumber-sumbernya. Pertama adalah legitimasi yang didapatkan dari kualitas individual seorang pemimpin yang acapkali disebut sebagai legimasi karismatik. Kualitas inimeliputi kepemimpinan, wibawa, popularitas. Kedua adalah legitimasi yang didapatkan dari hukum atau peraturan yang telah ditetapkan, yang disebut legal legitimacy. Ketiga adalah legitimasi yang didapatkan dari hak- hak tradisional untuk memimpin oleh individu atau kelompok tertentu yang dianggap lebih tinggi kedudukannya oleh masyarakat, disebut traditional authority. Selain legitimasi, ada banyak faktor lain yang dapat menjadi alasan penerimaan atau kepatuhan individu dan masyarakat terhadap dominasi. Faktor tersebut antara lain kebiasaan yang tidak pernah dipikirkan lebih jauh, konvensi, dan lain-lain. Subjek yang tersubordinasi dan menjadi objek dominasi hampir tidak memilki kesempatan untuk berubah karena adanya kepentingan individual tertentu, ketakutan terhadap penggunaan kekuatan fisik dan lain-lain. Uraian di atas menunjukkan berbagai variasi faktor-faktor dominasi dan legitimasi yang masih konsisten dengan pluralitas Weber. Elaborasi berbagai konsep legitimasi ini juga menunjukkan bukti pandangan awal Weber tentang kompleksitas dalam proses pembentukan realitas sosial sehingga perlu diperhitungkan dalam menganalisa fenomena sosial. Kompleksitas ini berguna dalam pengmbangan konsep power sebagai konsep yang bersifat pivotal untuk memahami ketidaksetaraan yang terjadi baik dalam level kelompok sosial yang dibedakan berdasarkan ras, gender, etnisitas dan usia. 7. RASIONALISASI, BIROKRASI dan Perangkat ADMINISTRASI Dalam menjelaskan konsep-konsep selanjutnya, Weber masih konsisten dengan faktor-faktor penyebab yang bersifat plural terhadap fenomena Social Inequality. Namun ada klaim yang menyatakan bahwa Weber sebenarnya masih mengedepankan generalisasi terhadap fenomena sosial, terutama dalam topik tentang social inequality. Klaim ini berkaitan dengan tindakan sosial dalam perspektif Weberian yang dianggap sepenuhnya sebagai sebuah kontestasi untuk mengejar kepentingan baik oleh individu atau kelompok. Persaingan ini menghasilkan ketidaksetaraan dalam kekuatan yang pada akhirnya menghasilkan social inequality. Kontestasi dan persaingan inilah yang, oleh Weber, kemudian disebut sebagai politik, yang menyatu dalam tindakan sosial. Jadi sebenarnya Weber menjelaskan term tindakan sosial dalam hal ini dalam term politik yang telah jauh diperluas dalam ranah sosial. Weber menganggap bahwa persaingan kelas dalam konteks ekonomi hanya salah satu elemen dalam kkonteks yang lebih universal persaingan kepentingan dalam struktur sosial. RASIONALISASI Weber melihat kontinuum perkembangan masyarakat terutama dalam term tindakan sosial, dari waktu ke waktu menjadi semakin rasional. rtinya tindakan sosial individu maupun kelompok semakin dipandu oleh berbagai macam alasan, diperhitungkan dengan matang, dan rasional dalam rangka mengejar kepentingannya.Walaupun tentu saja, alasan-alasan non-rasional, misalnya yang didasari oleh emosi, hasrat dan lain-lain kerapkali muncul dalam masyarkat modern. Bahasan Weber tentang tindakan rasional ini segera menjadi trend yang mendominasi pembahasan tentang tindakan rasional individual dan struktur organisasi masyarakat yang rasional. Hal ini terbukti dalam masyarakat kapitalis dimana kalkulasi dan pengejaran terhadap kepentingan pribadi menghasilkan kemajuan. Namun Weber tidak menganggap bahwa fenomena rasionalisasi ini hanya terjadi pada aspek ekonomi namun juga terjadi dalam aspek- aspek lain. Dalam agama misalnya, Weber melihat sebuah trend perkembangan menuju sekularisasi, ketika praktik agama semakin terstruktur, terorganisir dan terstandart. Ilustrasi ini digambarkannya sebagai Disenchanment of the World. Dengan cara yang sama pula Weber melihat perkembangan dalam hukum dan pemeritahan. Bila di era sebelumnya hukum ditentukan oleh kekuatan subyektif otoriter dan wilayah negara di kontrol dengan menggunakan kekuatan fisik, namun pada akhirnya ada perkembangan yang melahirkan tuntutan-tuntutan peran baru terhadap negara yang jauh lebih kompleks. Peran yang kompleks ini memerlukan suatu bentuk pengaturan yang lebih sistematis dan permanen. Sistem tersebut menyangkut pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan implementasi kebijakan yang kemudian lebih dikenal dengan nama birokrasi. BIROKRASI Birokrasi adalah wilayah kunci dalam pertarungan antar kekuatan. Birokrasi modern sangat berbeda dengan bentuk terdahulu. Birokrasi modern lebih rasional dan obyektif dengan peraturan, wewenang, proses pengambilan keputusan yang telah ditentukan sebelumnya secara hirarkis. Dalam perspektif Weber, birokrasi layaknya mesin yang menyediakan perangkat rasional dan efektif untuk mengatur aktivitas sosial. Bagi Weber, birokrasi sebenarnya merupakan perkembangan yang buruk bagi pengaturan masyarakat modern. Walaupun statemen ini sebenarnya masih meragukan karena tanpa birokrasi, bagaiman mengatur kompleksitas masyarakat yang terus berkembang. Namun bagi Weber pernyataan di atas bukan sekedar penilaian baik dan buruk tetapi adalah fakta. Sistem birokrasi modern dan rasional bagi Weber merupakan keburukan yang diperlukan. Perlu karena ini adalah jalan satu-satunya yang praktis untuk mengatur masyarakat sekarang, buruk karena bagi Weber hal ini merupakan sangkar besi bagi individualisasi dan mengancam demokrasi. Teori kunci sosiologi 1 AUGUSTE COMTE TEOLOGI Tahap ini sempat menjadi karakteristik dunia sebelum era 1300. Dalam periode ini, system gagasan utamanya menekankan pada keyakinan bahwa kekuatan adikodrati, tokoh agama dan keteladanan kemanusiaan menjadi dasar segala sesuatu. Dunia social dan alam fisik khususnya di pandang sebagai ciptaan Tuhan.
METAFISIK Tahap ini terjadi tahun 1300-1800. Era ini ditandai oleh keyakinan bahwa kekuatan abstraklah yang menerangkan segala sesuatu, bukannya Dewa dewa personal. Tipe ini dapat di kategorikan terjadi atau tidak terlepas dari kehidupan masyarakat desa.
POSITIFISTIK Pada tahun 1800 periode ini terjadi, yang di tandai oleh keyakinan terhadap lmu sains ( science ) manusi mulai cenderung menghentikan penelitian terhadap penyebab absolute ( Tuhan / alam ) dan memusatkn perhatian pada pengamatan alam fisik dan dunia sosial guna mengetahui hukum hukum yang mengaturnya. rtinya penjelasan gejala alam maupun social dilakukan dengan mengacu pada deskripsi ilmiah_di dasarkan pada hukum ilmiah. Pada tahap ini dapat di kategorikan pada masyarakat yang mulai mengalami kemajuan pikiran atau dapat di kategorikan pada masyarakat kota. Jelas bahwa dalam terima tentang dunia, Comte memusatkan perhatian pada factor intelektual. Ia mengatakan bahwa kekacauan intelektual menyebabkan kekacauan social. Kekacauan ini berasal dari system gagasan terdahulu ( teologi dan metafisik ) yang terus ada dalam era positif ( ilmiah ). Pergolakan system baru akan berakhir bila kehidupan masyarakat sepenuhnya dikendalikan oleh positivisme. Potivisme akan muncul meski tak secepatnya diharapkan orang. Dalam hal ini reformisme social dan sosiologi Comte bertaut seperti 2 mata uang. Sosiologi, menurut Comte dapat mempercepat datangnya posivisme dan karena itu membawa ketertiban pada kehidupan social. Comte tak ingin mendukung revolusi. Menurutnya, kehidupan social ini sudah cukup kacau dan yang dibutuhkan dunia adalah perubahan intelektuaL. Karena itu hampir tak ada alasan untuk melakukan revolusi politik dan social. KARL MARX FEODALISME Feodalisme adalah paham atas panguasaan tanah dan lahan. Menurut Marx dari feodalisme ke kapitalisme manuju ke masyarakat sosialis adalah suatu kelanjutan yang tidak dapat di elakan. Tetapi ini tidak berarti bahwa manusia berdiam diri dengan menanti perkembangan itu berjalan sendiri. Kelas kelas itu sendiri adalah kelas yang berjuang untuk kelasnya sendiri. jadi manusia yang dilihat Marx adalah manusia yang berbuat. Menurutnya manusia yang membuat sejarah nya sendiri.
KAPITALISME Kapitalisme adalah suatu hak atas kepemilikan modal. Dalam teori ini Marx membagi masyarakat ke dalam dua kelas yaitu kelas borjuis ( yang menguasai alat produksi ) dan proletar ( yang tidak memilki alat alat produksi ). Dalam teori ini tidak terlepas dari pertentangan antar kedua kelas tersebut, Pertentangan yang pertama adalah yang di pelopori oleh kaum borjuis yang hendak menghancurkan golongan feodal. Pertentangan yang kedua adalah yang dilakukan oleh proletar dalam menghancurkan borjuis. Dengan lenyapnya kelas borjuis, fungsi pemerintahan tidak lagi mempunyai sifat politik. Kelas yang memegang kekuasaan juga tidak lagi merupakan kelas, sehingga akan terjdinya penghapusan kelas oleh masyarkat. KOMUNISME Yang di maksud Marx dengan komunisme bukanlah sebuah kapitalisme Negara. dapun ciri ciri masyarakat komunis menurut Marx adalah : Penghapusan hak milik pribadi atas alat alat produksi Penghapusan adanya kelas kelas social Menghilangnya Negara Penghapusan pembagian kerja. Sebagaimana yang di ungkapkan Marx dalam German Ideology, bahwa dalam masyarakat komunis masing masing orang tidak terbatas pada bidang kegiatan esklusif, melainkan dapat mencapai kecakapan dalam bidang apapun, masyarakat dapat mengatur produksi umum, Menurut Marx istilah Komunisme dan sosialisme adalah satu, yaitu keadaan masyarakat dimana sudah terjadinya penghapusan hak pribadi atas alat alat poduksi. HERBERT SPENCER BERSAHAJA
Pada masyarakat ini, lebih cenderung kepada kehidupan yang sederhana yang oleh Spencer dinamakan bersahaja. Menurut Spencer, masyarakat akan bergerak dari bentuk masyarakat yang bersahaja menuju ke masyarakat yang keadaan moralnya ideal atau sempurna. Di sisi lain ia mengatakan bahwa masyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannyalah yang akan bertahan hidup ( survive ), sedangkan masyarakat yang tidak mampu menyesuakan diri akan mengalami ajalnya. Hasil proses ini adalah peningkatan kemampuan menyesuaikan diri masyarakat secara keseluruhan.
KOMPLEKS
Pada umumnya masyarakat ini di jelaskan sebagai masyarakat yang sudah mulai mengalami kemajuan baik dalam hal intelektual maupun kekompleksan strukturnya. Dari masyarakat ini akan muncul masyarakat industry, yang menurut spencer, di dasarkan pada persahabatan, tidak egois, elaborasi spesialisasi, penghargaan terhadap prestasi, terhadap karakter bawaan seseorang.
Masyarakat seperti ini disatukan oleh kontak relasi sukarela dan kualitas moal yang sama. Peran pemerintah hanya dibatasi dan di fokuskan pada apa yang seharusnya tidak dilakukan masyarakat. Tidak diragukan bahwa masyarakat industry modern memilki tingkat agresifitas jauh lebih rendah di banding pendahulu mereka yang militant. Walaupun Spencer melihat evolusi umum yang mengarah kepada masyarakat industry, akan tetapi ia mengakui bahwa adanya kemunduran periodik kepada masyarakat yang lebih agresif dan militan.
LEWIS MORGAN BIADAB Menurut Morgan sebuah keadaan yang di anggap biadab adalah keadaan di mana masyarakat tidak lagi menghargai nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu keadaan di mana individu tidak lagi memilki tingkah laku yang sopan dan beradab. Keadaan seperti ini dapat terjdi dimana saja, selagi masyarakat atau individu tidak lagi memnikirkan orang lain dalam hidupnya. rtinya individu lebih cerderung memikirkan urusan urusannya sendiri. Contohnya adalah penghancuran lingkungan, pembunuhan, penganiyaan, pemerkosaan, dan tindkan criminal lainnya. Masyarakat dengan system ini adalah masyarakat kota diman tingkat kejahatan dan kiminalitas lebih tinggi di banding daerah lainnya.
BARBARIAN Dengan situasi tekanan ekonomi yang tinggi, rendahnya modal social, dan di orientasi peran agama, dewasa ini sesungguhnya tengah berada pada situasi tercerai berai. Masyarakat yang tercerai berai dan jatuh ke dalam kebiadaban ( uncivilized society ), menurut Lewis Morgan, mirip dengan pola kehidupan barbarian society. Yaitu suatu situasi yang akan senantiasa merintangi terselenggaranya pembangunan dan upaya perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kejadian kejadian dan penyebab determinannya sebetulnya telah berlangsung cukup lama dari suatu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. BERADAB dalah suatu keadaan di mana masyarakat berada dalam tingkat kehidupan yang menjunjung tinggi nilai nilai dan norma serta jauh dari sikap kebiadaban. Kehidupan ini terdapat dalam kehidupan masyarakat desa, yang masih kuat nilai dan norma. 5. FERDINANT TONNIES GEMEINSCHAFT
dalah bentuk kehidupan bersama, dimana anggotanya mempunyai hubungan batin yang murni, yang sifatnya alamiah dan kekal. Dasar hubungannya yaitu rasa cinta dan persatuan batin yang nyata dan organis. Bentuk kehidupan ini dapat ditemui dalam kehidupan masyarakat desa, keluarga, kerabat dan sebagainya. Pada masyarakat desa yang bersifat Gemeinschaf, pada umumnya spesialisasi individu tidak menonojol, sehingga kedudukan individual tidak begitu penting. Sehingga apabila seorang anggota dikeluarkan maka tidak begitu terasa oleh anggota lainnya, berarti bahwa kedudukan masyarakat lebih penting daripada kedudukan individu, sehingga strukturnya disebut mekanis.
Tonnies membedakan gemeinschaft menjadi 3 bentuk yaitu : Gemeinschaft by blood, adalah gemeinschaft yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan. Gemeinschaft of placo, yaitu gemeinschaft yang didasarkan pada tempat tinggal yang saling berdekatan dengan sehingga dimungkinkan untuk saling menolong Gemeinschaft of mind, adalah gemeinschaft yang berdasarkan pada ideologi atau aliran yang sama
GESELSHCAFT
dalah bentuk kehidupan bersama, dimana para anggotanya mempunyai hubungan yang bersifat pamrih dan dalam jangka waktu yang pendek dan bersifat mekanis. Pada masyarakat yang bersifat kompleks dimana sudah ada spesialisasi di antara para anggotanya, sehingga tidak dapat hidup secara tersendiri atau dapat dipisahkan sehingga merupakan suatu kesatuan organisme. Jleh karenanya strukturnya merupakan struktur yang organis. Yang terdapat dalam kehidupan masyarakat yang sudah mengalami kemajuan atau masyarakat kota.
6. EMILLE DURKHEIM SOLIDARITAS MEKANIK
Merupakan ciri yang menandai masyarakat yang masih sederhana, yang oleh Durkheim di namakan Segmental. Dalam masyarakat demikian kelompok manusia tinggal secara tersebar satu dengan yang lain. Masing masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka masing masing tanpa memerlukan bantuan atau kerjasama dengan kelompok yang lain.
Dalam masyarakat penganut solidaritas mekanik yang diutamakan adalah persamaan perilaku dan sikap. Seluruh warga yang diikat oleh apa yang dinamakan Durkheim kesadaran kolektif, hati nurani kolektif (collective conscience , suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan bersifat represif, barang siapa yang melanggar solidaritas social akan dikenai hukuman pidana. Kesadaran bersama tersebut mempersatukan para warga masyarakat dan hukuman terhadap pelanggar bertujuan agar ketidakseimbangan yang di akibatkan oleh kejahatan tersebut dapat di pulihkan kembali.
Biasanya masyarakat dengan system ini adalah masyarakat desa
SOLIDARITAS ORGANIK
dalah bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, yaitu masyarakat yang sudah mengenal pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh kesaling tergantungan antar bagiannya. Tiap anggota menjalankan peran berbeda dan diantara berbagai peran yang ada terdapat kesalingtergantungan ini maka kehadiran pemegang tertentu akan mengakibatkan gangguan pada kelangsungan pada hidup masyarakat.
Pada masyarakat dengan solidaritas ini, ikatan utama yang memperatukan masyarakat bukan lagi kesadaran kolektif melainkan kesepakatan yang terjalin diantara berbagai kelompk profesi. Di sinipun hukum yang menonjol bukan lagi hukum pidana, tetapi hukum perdata. Dalam hal terjadi pelanggaran terghadap kesepakatan bersama maka yng berlku adalah sanksi restitutif, yaitu si pelanggar harus mengganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian untuk mengembalikan keseimbangan yang dilanggarnya. 7 C.H COOLEY tas dasar besar kecilnya jumlah anggota kelompok, maka cooley membedakan antara kelompk primer dan sekunder. Manurut Cooley kelompok di tandai denagn adanya hubungan yang erat diman anggota anggotanya saling mengenal dan sering kali berkomunikasi secara langsung berhadapa muka ( face to face ) serta terdapat kerjasama yang bersifat pribadi. KELOMPOK PRIMER
Cooley menerangkan kelmpok primer berdasarkan atas 3 tinjauan, yaitu :
1.Kondisi kondisi fisik kelompk primer Tidak cukup hanya hubungan saling mengenal saja yang terpanting adalah anggota anggotanya secara fisik saling berdekatan. Jumlah anggotanya kecil Hubungan antar anggotanya bersifat permanent
2.Sifat sifat hubungan primer danya kesamaan tujuan antara anggotanya Hubungannya bersifat sukarela Bersifat inklusif, yaitu hubugan itu harus melekat di batin anggotanya.
3.Kelompok kelompok yang konkret dan hubungan prrimer Dalam masyarakat tidak terdapat kelompok primer yang ideal yang di gambarkan di atas, walaupun demikian pada masyarakat desa kelompok ini sangat menonjol.
KELOMPOK SEKUNDER Dalam kelompok sekunder sifat sifat yang di tonjolkan adalah Jumlah anggotanya banyak, sehingga tidak perlu adanya hubungan saling kenal mengenal Hubungannya renggang diman anggotanya tidak perlu saling mengenal secara pribadi Sifatnya tidak permanen Hubungannya cenderung pada hubungan formil, karena sedikit sekali terdapat kontak di antara anggotanya, dan baru terdapat kontak apabila ada kepentingan dan tujuan tertentu saja.
Dengan ciri ciri tersebut dapat di simpulkan bahwa di antara anggotanya tidak terdapat loyalitas terhadap kelompoknya, sehingga tidak tercapai kesejahteraan bersama seperti dalam kelompok primer. Karenanya keputusan keputusan dapat bersifat objektif dan tidak mempertimbangkan faktor faktor pribadi. 8 MAX WEBER TRADISI Berasal dari kepercayaan jaman kuno. Contohnya adalah seorang pemimpin yang berkuasa karena garis keturunan atau sukunya selalu merupakan pemimpin kelompok. Biasanya terdapat dalam masyarakat desa.
KHARISMA
Pemimpinnya biasanya mendapatkan otoritasnya dari kemampuan atau ciri ciri luar biasa, atau mungkin dari keyakinan pihak pengikut bahwa pemimpinnya mempunyai ciri ciri seorang pemimpin. Baiasanya terdapat dalam masyarakat kota atau masyarakat yang sudah mulai mengalami perkembangan
RASIONAL
Berkembang dari masyarakat barat modern dan hanya dalam system inilah birokrasi modern dapat berkembang penuh. Masyarakat lain di dunia tetap di dominasi oleh system otoritas tradisional atau kharisma yang merintangi perkembangan. Dalam system ini otoriter berasal dari peraturan yang diberlakukan secara hukum dan rasional. Jadi, presidan merika memperoleh otoritasnya yang tertinggi dari peraturan hukum masyarakat. Evolusi otoritas hukum rasional yang diiringi evolusi birokrasinya hanyalah merupakan merupakan sebagian argumen weber tentang rasionalitas masyarakat barat.
Dalam studi sejarah bercakupan luas, weber berupaya memahami mengapa system ekonomi rasional ( kapitalisme ) berkembang di barat dan gagal berkembang di luar masyarakat barat.
Dalam studi ini Weber mengakui peran sentral agama. gama telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan kapitalisme barat. Weber menegaskan bahwa system agama rasionallah yang memainkan peran sentral dalam menumbuhkan kapitalsme di Barat. Rasionalisasi terletak dalam jantung Teori Weberian.
9. ROBERT REDFIEL
FOLK Pada masyarakat imi orientasinya lebih kepada kehidupan bersama yang mementingkan tinnginya tingkat penghargaan terhadap nilai dan norma. Kehidupan seperti ini banyak terjadi di darah pedesaan.
URBAN SOCIET
Komunitas kota lebih berorientasi kepada hal hal yang bersifat material dan rasional sehinnga hubungannya menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi relation oriented. Individu menjadi teratomisasi dan teranomisasi sehingga masing masing harus mencari jalannya sendiri untuk tetap hidup.
Gejala lain dalam masyarakat ini adalah adanya kecenderungan masyarakat menjadi masyarakat massa di mana individu kehilangan jati dirinya. Biasanya kehidupan seperti ini terdapat dalam masyarakat kota.
10 DAVID RIESMAN TRADITIONAL DIRECTED Pada masyarakat tradisional, teori ini mengatakan bahwa perlu adanya peningkatan terhadap mobolitas individu. Peningkatan ini mencakup mobilitas fisik, mobilitas social, dan mobilitas psikis. Hal tersebut dapat di mulai dari perpindahan secara fisik individu dan keluarganya ke kota kota. Dalam perpindahan ladang ke pabrik pekerja memutuskan rutinitas sebagai petani tradisional memasuki ekonomi modern. Dapat di katakan bahwa system ini dapat di temukan di daerah daerah pedesaan.
INNER DIRECTED Dalam inner directed yang dikemukakan adalah adanya ikatan batin yang kuat dan hubungan yang bersifat akrab yang berasal dari hubungan batin yang kuat,
OTHER DIRECTED
Teori ini menjelaskan tentang modernosasi barat sebagai sebuah rangkaian evolusioner yang terbagi atas 4 tahap, yaitu Urbanisasi Melek huruf Partisipasi media, dan Partisipasi politik. Aliran-aliran pemikiran dalam sosiologi 1. Struktural fungsionalis liran ini lahir di merika latin dan menyebabkan terbentuknya teori-teori ( Dun Can Mitchell, 1984:9 ). Suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Bagi seseorang yang mempelajari sosiologi maka teori-teori tersebut mempunyai beberapa kegunaan antara lain: . Suatu teori atau beberapa teori merupakan ihtisar daripada hal-hal yang telah diketahui dan diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang dipelajari sosiologi. B. Teori emberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan- kekurangan pada seseorang yang memperdalam pengetahuannya di bidang sosiologi. C. Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari oleh sosiologi ( Soejono Soekanto, 1982:24 ). 2. liran analitis liran ini lebih mengarah kepada masalah-masalah pembangunan yang praktis. Maslahnya mengenai tradisi penelitian yang berangkat dari perspektif makro ( kehidupan manusia dalam masyarakat secara umum ) yang melibatkan factor-faktor keterangan pembangunan jangka panjang dan didasarkan atas gagasan dan paham ahli-ahli sosiologi klasik. Karena sosiologi mempelajari peristiwa kehidupan masyarakat secara menyeluruh, yaitu tidak hanya menyangkut struktur dan proses social secara obyektif, melainkan juga menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti, perekonomian, hukum, kejahatan dan lain- lain. 3 liran modernisasi internasional liran ini pada tahun lima puluhan dan enam puluhan mengalami zaman perkembangannya dan sosiologi terapan yang ada hubungannya dengan itu, tidak mengenal spesialisasi regional, akan tetapi lebih memusatkan perhatiannya kepada tingkat mikro ( mempelajari masyarakat secara khusus ) dan mencari keterangan untuk proses- proses jangka pendek dan menengah. Menurut penelitian-penelitian yang dilakukan di desa-desa, di regio dan di perkampungan kota- kota di tingkat mikro. Dalam penelitian tersebut terlihat perbedaan-perbadaan dalam empelajari sosiologi pembangunan yaitu mengenai sampai seberapa jauh para peneliti itu melibatkan diri dengan masalah penerapan pengetahuan untuk keperluan menentukan kebijaksanaan pembangunan. Penelitian di tingkat mikro memang lebih cocok untuk diterapkan daripada kedua variasi lainnya. Sosiologi pembangunan ini berasal dari struktural- fungsionalisme. Dari perubahan-perubahan social yang terjadi menimbulkan proses deferensisasi structural. Diferensiasi adalah suatu proses di mana sebuah peranan atau organisasi pecah menjadi dua peranan dan organisasi atau lebih, yang berfungsi lebih efektif dalam keadaan historis yang telah berubah, seperti dalam pembagian kerja. 4. liran positivistik atau positivisme Comte ialah pendiri sekaligus tokoh terpenting bagi positivistik. Positivistik disebut juga paham emperisisme- kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara terisolasi, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. Positivistik menurut Comte ialah sesuatu yang berguna untuk diketahui, lawan positivistik bukanlah suatu yang negatif melainkan spekulatif atau metafisika ( Harry Hamersma, 1992:55 Positivistik menganggap hokum ditentukan oleh pokok persoalannya. Dua tipe pokok positivistik dalam teori hukum ialah positivistik analitika, dan fungsional atau prakmatis. liran-aliran pemikiran tersebut di atas selalu diidentikkan dengan karya dari penemu-penemu terkenalnya, adalah merupakan suatu tanda kebanggaan akademik juga di dalam disilin lain selain sosiologi untuk dapat menarik pengikut-pengikut dan untuk dianggap sebagai penemu suatu aliran pemikiran baru. Metodologi berasal dari bahasa Yunani metodos, kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu metha yang berarti melalui atau melewati dan hodos yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Metodologi adalah ilmu-ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji. Ilmu terdiri atas empat prinsip: 1.keteraturan (orde) 2.sebab-musabab (determinisme) 3.kesederhanaan (parsimoni) 4.pengalaman yang dapat diamati (empirisme) Dengan prinsip-prinsip yang demikian maka ada banyak jalan untuk menemukan kebenaran. Metodologi adalah tata cara yang menentukan proses penelusuran apa yang akan digunakan. Metodologi penelitian adalah tata cara yang lebih terperinci mengenai tahap-tahap melakukan sebuah penelitian Pengertian Metodologi Riset Metode Penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian ini didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional adalah kegiatan penelitian ini dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan (bedakan cara yang tidak ilmiah, misalnya mencari data jatuhnya pesawat terbang melalui paranormal). Sistematis artinya proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis. Uang dalam perspektif sosiologi Barangsiapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat atas seluruh manusia; memerintah para juru masak agar menyajikan santapan baginya, memerintah para bijak-cendekia untuk memberinya pelajaran, memerintah para raja untuk menjaganya - sejauh satu sen. (Thomas Carlyle, Sartor Resartus-Jn Heroes and Hero Worship, Everyman's library)
A. Uang sebagai Medium Pertukaran dan Alat Analisis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia uang berarti alat penukar
atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah, yang dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu. Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. lat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran. Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efesien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efesiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya akan mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktifitas dan kemakmuran.
Uang bermutu tinggi ialah uang yang amat dipercayai nilainya sebagai alat tukar. Sejak zaman dulu, peranan pemerintah merupakan salah satu penentu dari terpeliharanya mutu tinggi dari suatu jenis mata uang. ristoteles, dianggap sebagai perintis teori tentang pengelolaan uang oleh pemerintah. Dalam karyanya yang berjudul Ethica Nichomachea, ia menulis: Money has become by convention `money' (nomina)because it is exists not only by nature but by law (nomos) and it is in our power to change it and make it useless. Nilai uang itu tidak ditentukan secara kodrati, melainkan ditentukan oleh hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Seperti yang pernah Negara kita alami, dimana nilai rupiah berubah (turun) dalam kaitannya dengan dollar, yaitu sebagai akibat dari keputusan pemerintah, baik dalam sanering (kasus Indonesia tahun 1959 dan 1966) maupun devaluasi (kasus tahun 1983 dan 1986). Nilai nominal uang kitapun ditentukan oleh pemerintah, terlepas dari nilai intrinsiknya.
Salah satu fungsi dari uang adalah sebagai alat analisis. Seperti dalam pengelolaan keuangan yang memiliki tujuan menyediakan pemahaman tentang cara perusahaan/lembaga bisnis memperoleh dan mengalokasikan dana yang dimilikinya (keputusan pembelanjaan), menyediakan pemahaman tentang menguji kelayakan suatu investasi (keputusan investasi) dan kebijakan tentang pemberian deviden kepada pemegang saham (keputusan deviden). Salah satu tujuan dari pengelolaan keuangan yang cukup dikenal yaitu analisis pembuatan keputusan investasi yang memaksimalkan nilai perusahaan, dengan lebih terfokus pada alat keputusan investasi yaitu net present value.
B. Arti dan Fungsi Sosial Uang dalam Masyarakat
Secara umum, uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk
pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghidarkan perdagangan dengan cara barter. Secara lebih rinci, fungsi uang dibedalan menjadi dua: fungsi asli dan fungsi turunan. Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai.
Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat mempermudah pertukaran. Jrang yang akan melakukan pertukaran tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.
Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account) karena uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya kekayaan, dan menghitung besar kecilnya pinjaman. Uang juga dipakai untuk menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga). Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.
Selain itu, uang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (valuta) karena dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa sekarang ke masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang dan jasa di masa mendatang. Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain uang sebagai alat pembayaran, sebagai alat pembayaran utang, sebagai alat penimbun atau pemindah kekayaan (modal), dan alat untuk meningkatkan status sosial. Mannan berpendapat bahwa fungsi uang hanya sebagai alat untuk melaksanakan fungsinya sebagai fungsi sosial, yaitu mempermudah pengukuran nilai barang yang ditukarkan dan fungsi religius, yaitu untuk mempermudah pengambilan zakat dan pembayarannya pada orang miskin. Hugh Dalziel Duncan dalam bukunya Sosiologi Uang (1997) memberikan pernyataan yang bisa membuat merah telinga siapa saja, barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia. Ungkapan Duncan di atas, dipertegas oleh Carlyle dan Marx dengan memberikan kesepakatan, bahwa misteri uang terungkap melalui pakaian (atau apa yang kita konsumsi) yang di sana ditandai perbedaan kelas dan kekuasaan. C. Pergerseran Fungsi Uang dan Transaksi dalam Masyarakat
Sejauh pengetahuan kami, satu-satunya buku yang membahas soal uang adalah yang berjudul Philosophie des Geldes (Filsafat Uang) yang ditulis oleh Georg Simmel, seorang filsuf dan sosiolog berkebangsaan Jerman yang menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Berlin. Salah satu dalil pokok dari filsafat Simmel ialah bahwa semua hal harus dianggap saling terhubung atau masing-masing merupakan fungsi dari hal yang lain. (relasionisme). Relasionisme Simmel bertolak dari asumsi dasar filosofisnya yang menganggap bahwa realitas atau kenyataan itu pada hakekatnya ialah gerak, perubahan terus menerus, sebuah proses. Pandangan dasar ini sangat tampak dalam uraian Simmel tentang masyarakat dan tentang uang. Masyarakat, bagi Simmel, adalah jumlah total interaksi dan saling ketergantungan antar individu, adalah jumlah `gerak' dan `aliran'. Namun, kita sudah terbiasa untuk sering menganggap masyarakat itu sebagai sebuah `organisme', sebagai `substansi', sebagai `entitas yang utuh', padahalpadahal itu semua hanya imagined community.
Begitu juga uang. Bagi Simmel, uang bukanlah `substansi' yang pada dirinya sendiri bernilai dan karenanya dapat ditukarkan dengan apa saja. Tidak. Uang pada hakekatnya ialah relasi, yakni relasi pertukaran, yang diwujudkan secara jasmaniah. Uang, dengan kata lain ialah sebuah simbol dari relasi pertukaran.
Ini sesuai dengan definisi uang menurut John Eatwell, Murray Mullgate dan Peter Newman, bahwa: Money is a social relation. Like the meaning of a word, or the proper form of a ritual, it exists as a part of a system of behaviour shared by a group of people. Thought it is the joint creation of a whole society, money is external to any particular individual, a reality as unyielding to an individual's will as any natural phenomenon. (The New Palgrave: Dictionary of Economics). Untuk memahami sistem hubungan sosial dimana uang memainkan peranan penting, kita harus memakai perspektif historis komparatif. Sifat khas uang hanya dapat dilihat bila sistem sosial kita dibandingkan dengn sistem sosial yang tidak melibatkan uang. nalisis Karl Marx tentang produksi komoditi memberi kita perspektif itu.
Dalam setiap masyarakat, orang haruslah berproduksi (memproduksi sesuatu) agar dapat bertahan hidup dan mengembangkan diri. Namun cara berproduksi atau berhubungan dalam produksi itu sebenarnya dapat diorganisir melalui berbagai cara yang berbeda satu sama lain. Salah satu dimensi yang membedakan cara-cara berproduksi ini ialah sejauh mana produk yang dihasilkan itu dikontrol oleh individu-individu pemili (perodusen) yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya. Dalam sistem produksi komoditi, suatu produk yang dihasilkan ialah `hak milik' seorang pemilik, yang dapat ditukarkannya dengan produk yang dimiliki orang lain, mula-mula dengan sistem barter, lalu melalui uang komoditi, dan saat ini akhirnya dengan nominalisme. Sebagai seorang sosiolog, Simmel juga meletakkan uang dalam perspektif sosiologi. Yang menarik dan relevan disini ialah pernyataan bahwa uang memperbesar kebebasan individu dalam masyarakat dan itu memberi keleluasaan individu untuk, katakanlah, mengaktualkan diri. Semakin luas lingkup sosial, semakin terdiferensiasi masyarakat, semakin `terspresialisasi' pula `kewajiban-kewajiban sosial' yang harus dijalani oleh individu. Bila lingkup sosial kecil, setiap anggota harus mampu mengerjakan banyak hal, diferensiasi dan spesialisasi krja hampir tak ada. Semua orang harus mengerjakan semua. Uang memperluas lingkup sosial karena sifatnya yang `impersonal', karena itu berhubungan dengan semakin ringannya kewajiban sosial. Selain itu, uang dapat menjadi substitusi bagi `kewajiban- kewajiban sosial', setidaknya sampai tingkat tertentu. Misalnya, kakak ipar saya menikahkan anaknya di Bali atau Kalimantan sementara saya tinggal di Jawa, `kewajiban sosial' saya cukup terpenuhi dengan mengirimkan ongkos transportasi sebagai kado (katakanlah Rp. 1.000.000,- termasuk menginap di hotel semalam) daripada saya tetap wajib hadir in person dan memberi kado ala kadarnya (katakanlah yang lazim Rp. 100.000,-).
Kita dapat merumuskan, bahwa dengan pemilikan uang terjadi apa yang kini disebut sebagai leisure time, yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk aktualisasi diri. Masalahnya kini, salah satu isu yang berkembang dalam dunia bisnis dewasa ini adalah industri jasa yang fokus utamanya adalah pada leisure time itu sendiri. Misalnya yang sering terjadi di kompleks-kompleks perumahan urban dewasa ini di Indonesia, tugas ronda atau tugas membuang sampah yang notabene merupakan salah satu `kewajiban sosial', kini dapat dihindari hanya dengan membayarkan uang dalam jumlah tertentu.
Dalam karyanya yang bertitel The Philosophy of Money (1900), Simmel mengemukakan uang telah dilingkupi perasaan-perasaan penting manusia yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, seperti harapan dan ketakutan, serta hasrat dan kecemasan.
Itulah lingkaran ekonomi yang menghantui manusia. Sebab, pada kenyataannya, uang pasti berkoneksi dengan otoritas, emosi, dan rasa kepercayaan. Uang dapat memberi jaminan bagi seluruh sentimen perekonomian itu.
Benar bahwa uang adalah alat pertukaran. Mekanisme jual-beli makin mudah dilakukan dengan medium bernama uang. Uang bisa memberi harga objektif bagi aneka barang dan jasa yang dibutuhkan manusia.
Tetapi kekuatan uang sebagai instrumen pertukaran bisa menggerus jalinan interaksi yang terjadi pada manusia. Hubungan antarmanusia yang semula bersifat personal lenyap menjadi impersonal. Sebab uang selalu menuntut perhitungan yang rasional (masuk akal atau tidak) dan kalkulatif (menguntungkan atau tidak).
Uang menjadi sebentuk daya reifikasi yang sepenuhnya mewarnai relasi-relasi kemanusiaan. Reifikasi merupakan hubungan benda dengan benda. Ketika jalinan sosial antarmanusia dimediasikan oleh uang, yang tercipta adalah manusia saling menganggap sesamanya sebagai benda belaka.
Uang memiliki sifat fleksibel yang tak mampu digantikan oleh perkakas pertukaran lainnya. Uang menjadi sarana sekaligus tujuan itu sendiri. Setiap reifikasi pasti mengandaikan berlangsungnya alienasi (keterasingan).
Kita sering mendengar pepatah time is money, waktu adalah uang. Namun bagi orang yang dapat memanfaatkan uang (bukan dimanfaatkan oleh uang), mungkin kebalikannyalah yang terjadi. Money is time, uang adalah waktu. Money is time and energy. Individu yang tidak perlu lagi dipusingkan oleh uang, apapun alasannya, adalah mereka yang dapat secara leluasa bermain-main, dengan apapun, baik itu dengan kata-kata (menulis puisi, novel ataukah cerpen), dengan warna (melukis) atau dengan dunia nyata (berpetualang) atau bermain dengan ide-ide (berfilsafat).
Dalam Ethica Nichomachea, ristoteles juga membedakan tiga sikap manusia terhadap uang. Sikap yang seimbang dan etis sebagai sikap murah hati, sikap yang merupakan ekses sebagai sikap boros, dan sikap yang merupakan kekurangan sebagai sikap pelit. Sikap murah hati ialah sikap yang dapat memberikan uang atau apapun yang dapat diuangkan kepada pihak yang tepat dan mau menerima dari pihak yang tepat. Tekanan diberikan pada kata memberi, karena ia bermakna lebih aktif daripada kata menerima. Sebaliknya sikap pelit memberi tekanan pada kata menerima saja.
D. Beberapa Pemikiran tentang Uang (Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber) Karl Marx
Marx menganalisa uang dalam kaitan dengan kritiknya terhadap kapitalisme. Bagi dia, uang adalah simbol keterasingan manusia. Dia menelusuri akar uang hingga ke kultur materialistis Yahudi. Maka bagi Marx uang adalah `allah' Israel yang pencemburu, yang tidak menghendaki `allah' lain di sampingnya. Karena itu, bagi dia uang adalah bentuk paling sempurna dari proses pembendaan (reifikasi) semua hal. Uang mengkuantifikasi semua nilai dan mengasingkan manusia dari ekisistensinya yang paling murni.
Pergeseran orientasi hidup dengan menjadikan modal, uang atau alat produksi sebagai kekuasaan telah tumbuh di mana-mana, yang jauh sebelum itu justru telah menjadi dasar perjuangan kelas kaum proletariat melawan kaum borjuasi yang dihela melalui pemikiran-pemikiran Karl Marx. Bagi mereka yang tidak memiliki modal atau uang, bersiaplah tersingkir atau disingkirkan dari gelanggang kehidupan. Uang telah menjadi sebuah komunitas (dengan tanda petik) yang memiliki hukum-hukum, tradisi dan hak- hak secara empirik.
Emile Durkheim
Bagi Durkheim, krisis keuangan, ketersendatan dalam relasi ekonomis dapat menjadi sebab kerusakan komunitas sosial. Karena itu, atas nama moral keterarturan sosial, perlu ada `pengaturan' yang membatasi keinginan dan kebutuhan akan uang. Menurut Durkheim, hanya regulasi yang baik yang dapat dan harus mengendalikan kekeuatan-kekuatan ekonomi. Bukan ekonomi atau uang itu sendiri.
Max Weber
Menurut Weber ketika protestantisme yang memberi penghargaan yang tinggi pada akumulasi uang sembari sedapat mungkin menghindari kenikmatan hidup merupakan daya dorong pertumbuhan kapitalisme. Menurut dia, uang berperan dalam memajukan hampir semua sendi kehidupan manusia modern.