Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Lingkungan Lahan Basah Anita

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH LINGKUNGAN LAHAN BASAH

“PERMASALAHAN DAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA PASANG SURUT


SEBAGAI LAHAN BUDIDAYA TANAMAN PADI”

Anita Safitri

2010211220032

Kelas F

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. M. Erham Amin, S.H., M.H.

Lingkungan Lahan Basah

Fakultas Hukum

Universitas Lambung Mangkurat

2022
BAB 1

PENDAHULUAN

Sebutan ekosistem yang pembentukannya dikendalikan oleh air dan yang proses serta
sifatnya dikendalikan oleh air dapat disebut dengan lahan basah. Definisi lain dari lahan basah
adalah bahwa mereka adalah tempat dimana kondisi cukup lembab untuk jangka waktu yang
lama bagi tanaman dan organisme beradaptasi khusus lainnya untuk berkembang. Menurut
Konvensi Romsar 1971, lahan basah, rawa-rawa, baik alami atau buatan, permanen atau
sementara, didefinisikan sebagai bada air saat ini atau bisa bersifat tawar, payau atau payau,
termasuk juga mencakup wilayah air marin yang di dalamnya pada waktu surut tidak lebih dari
6 meter disebut dengan lahan basah (Rahmi dkk, 2015).

Lahan basah yang digunakan untuk kegiatan pertanian termasuk dalam lahan marjinal
dimana lahan marjinal saat ini diamanatkan oleh pemerintah karena juga merupakan inisiatif
pembangunan nasional. Keunikan lahan basah ini adalah sama dengan air, oleh karena itu
sistem pengembangan lahan dan penentuan jenis bahan baku pada lahan basah sangat
bergantung pada jenis tanah dan kondisi air. Luas lahan basah di Indonesia adalah 20,6 juta
hektar atau sekitar 10,8 dari luas daratan Indonesia. Sekitar 9,53 juta hektar lahan basah di
Indonesia memiliki potensi untuk lahan pertanian, dengan rincian 6 juta hektar potensi tanaman
pangan dan 4,186 juta hektar untuk berbagai penggunaan, terutama transmigrasi. Luasnya
lahan basah pertanian dan pemukiman berarti bahwa daerah ini dapat hancur jika tidak dikelola
dengan baik dan komprehensif.

Lahan basah sangat sensitif terhadap perubahan manusia karena berperan penting bagi
kehidupan manusia dan satwa liar lainnya. Lahan basah tidak hanya berfungsi sebagai sumber
air minum dan habitat bagi berbagai makhluk hidup, tetapi juga memiliki fungsi ekologis
seperti pengendalian banjir, pencegahan intrusi air laut, erosi, polusi, dan pengendalian iklim
global. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dan kehati-hatian dalam pengelolaan lahan basah.

Menurut Rahmi dkk. (2015) mengklasifikasikan lahan basah sebagai lahan basah.
Lahan basah adalah lahan yang tergenang sepanjang tahun atau dalam jangka waktu yang lama.
Tidak seperti danau, lahan basah biasanya ditumbuhi vegetasi seperti rumput, pohon, dan
tanaman air dengan air dangkal dan tanah seperti lumpur. Rawa merupakan lahan dengan
potensi yang sangat besar di Indonesia yang saat ini melimpah dan tersebar di beberapa pulau
seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Tabel 1.

Distribusi lahan rawa di Indonesia dan luas dikembangkan dengan bantuan pemerintah (transmigrasi)

Salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah dalam pelaksanaan Program Ketahanan
Pangan Nasional adalah terbatasnya lahan garapan akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi
lahan pertanian dan faktor lainnya. Pada umumnya, tanah-tanah yang produktif berada di pulau
Jawa dikarenakan banyak terdapat gunung yang dapat menyuburkan tanah. Selain pulau Jawa,
biasanya tanah-tanah yang produktif dan subur hanya berada dalam jumlah yang sedikit.
Langkah strategis yang harus dilakukan untuk pengembangan usaha pertanian adalah dengan
lebih memperhatikan pemanfaatan daerah terpencil, di samping pengendalian secara ketat alih
fungsi lahan pertanian subur di Pulau Jawa. Oleh karena itu, sejak tahun 1970-an, pemerintah
mulai mengembangkan lahan basah melalui Proyek Pengembangan Sawah Pasang Surut (P4S)
di pulau Kalimantan dan Sumatera. Namun hingga saat ini, menurut Panggaben dan Wiryawan,
2016 dampak yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia kurang signifikan dalam mendukung
program ketahanan pangan nasional.
BAB 2

PEMBAHASAN

Lahan rawa ini merupakan salah satu lahan basah yang terbentang di beberapa pulau
seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dari 33 juta hektar lahan basah di
Indonesia, hanya 2 juta hektar yang saat ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia
di bawah Proyek Pengembangan Sawah Pasang Surut (P4S). Namun, hal tersebut masih belum
dapat mendukung program ketahanan pangan nasional Indonesia. Sifat, karakteristik,
kemungkinan dan pemanfaatan lahan basah masih sedikit diketahui masyarakat. Tanpa
pengetahuan yang memadai, pengelolaan lahan basah mengarah pada produktivitas dan
pemanfaatan lahan basah yang tidak berkelanjutan. Berdasarkan jenisnya, rawa dibagi menjadi
rawa sungai dan rawa dataran rendah. Menurut Irvandi (2015), lahan basah adalah lahan yang
menempati posisi peralihan antara sistem daratan dan perairan, yaitu antara darat dan
sungai/danau atau antara darat dan laut. Menurut Susanto (2015), luas lahan basah di Indonesia
sekitar 20 juta hektar, namun baru 1,5 juta hektar yang baru dikembangkan.

Lahan rawa pasang surut ini dikelompokkan menjadi 4 tipologi untuk dijadikan acuan
dalam pemanfaatan lahan basah dataran banjir. Menurut Irvandi (2015), mereka
diklasifikasikan ke dalam tipologi A, B, C, D sesuai dengan cakupan gelombang. Tipologi A
adalah daratan yang selalu terendam air saat terjadi banjir tunggal (besar) dan ganda (kecil).
terisi air pada saat pasang, tipologi C adalah lahan yang tidak tergenang baik saat pasang
maupun saat surut, tetapi air secara tidak langsung mempengaruhi muka air tanah yaitu kurang
dari 50 cm, sedangkan tipologi D adalah lahan yang tergenang, seperti pada tipologi C, tetapi
ketinggian air tanah lebih dari 50 sentimeter.

Permasalahan yang Terjadi pada Lahan Rawa Pasang Surut

Di Kalimantan Tengah, luas lahan rawa pasang surut mencapai 5,9 juta hektar, dimana
sekitar 1,6 juta hektar (27,12%) dapat digunakan untuk budidaya padi. Faktanya, baru sekitar
10% dataran banjir yang dimanfaatkan masyarakat untuk budidaya padi, sehingga lahan yang
masih digunakan untuk budidaya padi sangat luas (Irwandi, 2015). Berbagai usaha pertanian
yang dilakukan oleh pemerintah kota dan pemerintah di pasang surut menghadapi beberapa
kendala, antara lain kesuburan tanah yang rendah, tanah yang masam hingga sangat masam,
mengandung lapisan pirit (FeS2) yang merupakan sumber racun besi bagi tanaman. Tanahnya
miskin nutrisi. Namun, banyak analisis menunjukkan bahwa dengan mengoptimalkan lahan
rawa pasang surut melalui penggunaan teknologi pengelolaan dan penambahan amelioran,
dataran banjir dapat mencapai hasil panen yang sangat tinggi.

Selain keterbatasan yang disebutkan di atas, hambatan lain yang juga menghambat
pertanian di lahan rawa pasang surut adalah terkait dengan teknologi spesifik lokasi yang
sebelumnya tidak direkomendasikan, seperti B. Pemupukan, varietas, pengelolaan tanah dan
air. Di Kalimantan Tengah, rawa yang digunakan untuk budidaya padi akan menghambat
pertumbuhan tanaman padi kecuali dipupuk dengan salah satu pupuk NPK. Selain itu, jika
apabila lahan rawa pasang surut yang digunakan tidak diberi kapur akan mempengaruhi
pertumbuhan dan hasil tanaman padi yang kurang optimal. Misalnya, ketika padi ditanam di
dataran banjir, penambahan bahan perbaikan seperti kapur dan pupuk kandang merupakan
bagian penting dari pertumbuhan padi. Setiap tipologi dataran banjir memiliki karakteristik
yang berbeda, sehingga kebutuhan pemupukan juga berbeda.

Tabel 2.

Kebutuhan Pemberian Pupuk pada Setiap Tipologi Lahan Pasang Surut. (Sumber : Irwandi, 2015)

Lahan rawa pasang surut yang ditanami padi di wilayah Kalimantan Tengah
menyediakan sebagian besar beras di wilayah tersebut. Pada tahun 1994, kontribusi dataran
banjir terhadap produksi padi di Kalimantan Tengah adalah 26,74%. Kontribusi meningkat dari
waktu ke waktu. Pada tahun 2000, pangsanya meningkat dari 28,34 n pada tahun 2011 menjadi
33,89%.

Jika dibandingkan secara nasional, produksi beras di Kalteng hanya menyumbang dan
berkontribusi sebesar 0,91% terhadap produksi beras nasional. Rendahnya produksi padi di
Kalimantan Tengah disebabkan oleh hasil panen yang rendah, kesuburan tanah yang rendah,
keracunan besi dan keasaman tanah. Ciri-ciri dataran banjir biasanya dicirikan oleh:

a. pH tanah rendah
b. Genangan yang dalam
c. Akumulasi zat-zat beracun (besi dan alumunium)
d. Salinitas tinggi
e. Kahat unsure hara
f. Serangan hama dan penyakit
g. Terdapat lapisan pirit
h. Tumbuhnya gulma yang dominan.

Zat beracun yang biasa ditemukan di lahan rawa pasang surut adalah besi (Fe2+),
aluminium (Al3+), sulfat (SO43-), hidrogen sulfida (H2S), air garam, atau natrium. Hidrogen
sulfida dapat muncul di tanah sulfat masam, yang kaya akan bahan organik, sebagai akibat dari
reduksi sulfat di lahan tergenang. Kelarutan unsur-unsur beracun seperti Fe, Al, SO4 dalam air
mencapai puncaknya dalam beberapa minggu pertama setelah hujan. Kadar pirit (FeS2 di atas
200 ppm bersifat racun bagi tanaman, hal ini dapat terjadi karena oksidasi pirit karena berbagai
alasan, antara lain pengelolaan lahan yang buruk, saluran galian yang terlalu dalam atau
cekaman kekeringan. Salinitas tanah yang tergenang terjadi sebagai akibat dari intrusi air laut.
Salinitas tinggi di zona akar menghambat penyerapan air dan nutrisi, bahkan pada konsentrasi
tinggi, air dapat tertarik ke sel tanaman, menyebabkan tanaman mengering.

Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut

Untuk mengatasi permasalahan pengelolaan lahan pasang surut tersebut diperlukan


beberapa komponen teknologi optimalisasi lahan pasang surut untuk tanaman padi salah
satunya pengelolaan lahan dan air yang merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
pengelolaan budidaya padi di lahan pasang surut.

Hal ini menentukan keberhasilan budidaya padi di di lahan pasang surut antaranya
ditentukan oleh pengelolaan air. Air harus dikelola sesuai dengan lahan dan kebutuhan
tanaman. Sistem pengelolaan air satu arah direkomendasikan untuk wilayah tipe A, sedangkan
sistem pengelolaan air direkomendasikan untuk wilayah tipe B. Untuk topologi lahan C dan D,
pengelolaan air harus menggunakan sistem blok. Prinsip utama pengelolaan air sela adalah
menghilangkan unsur fitotoksik dari zona perakaran secepat mungkin dengan pencucian dari
tanah, yang dapat dilakukan dengan sistem drainase dangkal / drainase permukaan intensif
dengan tetap menjaga ketinggian air di atas lapisan pirit.

Untuk budidaya tanaman padi yang dilakukan pada rawa pasang surut, pengelolaan
lahan sebaiknya dilakukan dengan mempersiapkan lahan sebelum tanam. Pengolahan tanah
yang dianjurkan adalah tanpa pengolahan tanah (TOT) atau traktor. Dikarenakan Pengolahan
tanah dengan traktor digunakan di daerah potensial yang terdapat lapisan pirit atau racun.

Untuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas tanah, maka sangat
diperlukan penyediaan bahan perbaikan. Pemberian bahan perbaikan dapat berupa kapur
oksida (CaO) atau dolomit (CaMg(CO3)2), yang diperlukan karena pH tanah di daerah tersebut
umumnya rendah (pH).
BAB 3

KESIMPULAN

1. Lahan rawa pasang surut yang digunakan untuk budidaya tanaman padi dapat
dioptimalkan produktivitasnya dengan menggunakan teknologi pengelolaan lahan
dan penambahan bahan pembenah atau ameliorant serta pemupukan.
2. Permasalahan yang sering dihadapi dalam budidaya padi di lahan pasang surut yaitu
pH tanah yang rendah, genangan air yang dalam, akumulasi zat-zat beracun (besi
dan alumunium), salinitas tinggi, kahat unsure hara, serangan hama dan penyakit,
terdapat lapisan pirit, tumbuhnya gulma yang dominan.
3. Untuk mengatasi permasalahan di lahan pasang surut dapat dilakukan dengan
melakukan pengelolaan lahan dan air seperti penyiapan lahan sebelum tanam,
penambahan bahan pembenah atau ameliorant, pemupukan dan pengairan/irigasi.
DAFTAR PUSTAKA

Irwandi, D. 2015. Strategi Peningkatan Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut Dalam
Mendukung Peningkatan Produksi Beras Di Kalimantan Tengah. Agriekonomika,
4(1):96-105.

Maltby, E. 1986. Waterlogged Wealth. An Earthscan Paperback. London.

Panggabean, E. W. Dan B. A. Wiryawan. 2016. Strategi Pengembangan Lahan Irigasi Rawa


Di Daerah Rawa Pasang Surut Belawang-Kalimantan Selatan. Irigasi, 11(1):1-10.

Rahmi, O., R. H. Susanto dan A. Siswanto. 2015. Pengelolaan Lahan Basah Terpadu di Desa
Mulia Sari Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin. Ilmu Pertanian Indonesia
(JIPI), 20(3):201-207.

Susanto, R. H. Potensi, Kendala Dan Strategi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak & Pasang Surut
Untuk Pertanian (Pajale), Peternakan Dan Perikanan Dengan Ttg Spesifik Lokasi Di
Indonesia. Palembang:Universitas Sriwijaya.

Anda mungkin juga menyukai