Resume Irigasi Rawa
Resume Irigasi Rawa
Resume Irigasi Rawa
Dibuat untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Sistem Operasi dan Pemeliharaan
Irigasi yang Diampu Oleh Bapak Dr. Eng. Tri Budi Prayogo, ST., MT.
Disusun Oleh:
Kelas B
1. Pengertian Rawa
Rawa sebagai jaringan sumber daya air adalah genangan air terus menerus atau
musiman yang terbentuk secara alamiah merupakan satu kesatuan jaringan sumber daya air
dan mempunyai ciri-ciri khusus secara phisik, kimiawi dan biologis (Suhardjono,2010).
Ciri fisik rawa pada umumnya kondisi tanahnya cekung dengan topografi relatif datar. Ciri
kimiawi pada umumnya derajat keasaman airnya rendah dan/atau tanahnya bersifat
anorganik atau mengandung pirit dan ciri biologis rawa pada umumnya terdapat flora dan
fauna yang spesifik.
Selain Peraturan tersebut diatas, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2015 tentang Ekploitasi dan Pemeliharaan
Jaringan Irigasi Rawa Lebak pasal 1 butir 1 memuat berikut: “Rawa adalah wadah air
beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus menerus atau
musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif datar atau cekung dengan endapan
mineral atau gambut, dan ditumbuhi vegetasi, yang merupakan suatu ekosistem”.
Peraturan-peraturan di atas memberikan pengertian rawa yang lazim digunakan di
Indonesia.
Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang
berkesambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar dan pulau-pulau delta di
wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai, dimana pengaruh pasang surut air
asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai tidal wetlands yakni lahan basah
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Dalam keadaan alamiah, tanah-tanah pada
lahan rawa pasang surut merupakan tanah yang jenuh atau tergenang dangkal, sepanjang
tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan dalam setahun. Dalam klasifikasi
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah rawa termasuk tanah basah atau
wetsoils yang dicirikan oleh kondisi berair, yakni saat ini mengalami penjenuhan air dan
reduksi secara terusmenerus atau periodik. Proses pembentukan tanah yang dominan
adalah pembentukan horison tanah tereduksi berwarna kelabu kebiruan disebut proses
glesasi, dan pembentukan lapisan gambut di permukaan. Bentuk penampang rawa pasang
surut, ditampilkan dalam bentuk sketsa pada Gambar 3.
Zona wilayah rawa pasang surut terdapat dataran lumpur (mud flats) yang dapat
terbenam sewaktu pasang dan muncul sebagai daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air
laut. Tanah dalam zona tersebut seluruhnya terbentuk dari endapan marin, yaitu terbentuk
dalam lingkungan laut/marin, yang secara khas dicirikan oleh kandungan mineral besi-
sulfida berukuran sangat halus yang disebut pirit. Pada bagian dataran bergaram ditumbuhi
bakau/mangrove karena pengaruh air laut pasang, tanahnya bersifat salin, mempunyai
reaksi alkalis (pH > 7,5), mengandung garam/salinitas tinggi, dan merupakan wilayah
tipologi lahan salin. Pada bagian yang dipengaruhi air payau, tanah umumnya bereaksi
mendekati netral (pH 6,5 – 7,5) karena pengaruh air tawar dengan kandungan garam lebih
rendah, dan merupakan wilayah tipologi lahan agak salin. Pada wilayah rawa belakang
yang dipengaruhi air tawar, tanah bereaksi semakin masam, dan terbentuk lapisan gambut
di permukaan, yang bersifat lebih memasamkan tanah.
3. Reklamasi Rawa
Reklamasi rawa adalah upaya meningkatnya fungsi dan pemanfaatan rawa untuk
kepentingan masyarakat luas. Reklamasi daerah rawa juga merupakan salah satu bentuk
ekstensifikasi pertanian yang dila-kukan dengan membuka, memanfaatkan serta
melestarikan rawa sebagai sumber daya alam bagi kesejahteraan kehidupan manusia.
Tujuan pengembangan lahan rawa melalui reklamasi (Suhardjono dkk., 2010) adalah:
Khusus untuk rawa, pengalaman Pemerintah Indonesia dalam irigasi pada praktiknya
masih minim karena beberapa permasalahan. Kendala-kendala pengembangan irigasi rawa
ini sangat mempengaruhi minat dan motivasi petani lokal untuk tetap bertahan pada
komoditas tersebut. Dorongan ekonomi membuat lahan sawah dikonversi menjadi lahan
perkebunan (Sa’ad et al, 2010). Banyaknya ditemukan lahan bongkor juga merupakan
dampak dari sistem pengelolaan irigasi rawa pasang surut yang tidak benar (Noor, 2012).
Ketersediaan dan kesinambungan air irigasi menjadi syarat mutlak pertanian irigasi rawa
pasang surut. Apabila air irigasi tidak mencukupi, berdampak langsung pada penurunan
motivasi petani dan beralih perkebunan (Panggabean, 2015).
a. Keterbatasan jaringan irigasi pasang surut, khususnya daerah pedalaman dengan akses
yang sulit
b. Sifat tanah dengan kadar pirit yang tinggi sehingga kurang subur ditanami.
Keterbatasan jaringan irigasi dan suplai air tidak memadai akan menyulitkan
pembersihan kadar pirit. Lahan menjadi tidak produktif dan dibiarkan terbengkalai
(lahan bongkor). Lahan bongkor (Noor, 2012) telah banyak dialihfungsikan
masyarakat menjadi lahan perkebunan sawit atau karet.
c. Keterbatasan akses ke lokasi juga menjadi hambatan. Sebagian besar mengandalkan
jalur sungai, sedangkan akses jalan darat masih sangat terbatas. Mahalnya biaya
menggunakan moda transportasi air menyulitkan petani menjual hasil produk
pertanian ke luar daerah.
d. Maraknya gangguan hama dan tikus juga menurunkan produktivitas lahan. Biaya
produksi yang cukup mahal membatasi kemampuan petani meningkatkan produksi
pertanian rawa.
1. Gambaran Umum
Daerah Irigasi Telang 1 merupakan daerah pasang surut yang terletak di Kabupaten
Musi Banyuasin yang beribukotakan di Sekayu, Provinsi Sumatera Selatan. Daerah ini
terletak di delta antara Sungai Musi di sebelah timur dan Sungai Telang di sebelah barat
yang meliputi 11 desa, 5 saluran primer, 58 blok sekunder, dan 928 petak tersier dengan
luas keseluruhan 14.848 ha lahan pertanian dan 1.856 ha lahan pekarangan penduduk. Dari
peta topografi yang ada menunjukkan bahwa daerah ini relatif datar dengan ketinggian
1.25- 1.75 m dpl (diatas permukaan laut) dan hanya sedikit lahan yang mempunyai
ketinggian diatas 1.75 m dpl.