Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Kelompok 8

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

HADITS SERTA KODIFIKASI HADITS


( Makalah kelompok 8 )

Oleh : Ikbar Robbani ( 222100965 )


Abdullah ( 222100936 )
Kelas : 2A PAI
Matakuliah : ULUMUL HADITS
Dosen Pengampu: Drs. H. Khamid Alwi M.Ag

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SUFYAN TSAURI
MAJENANG - CILACAP
Tahun Akademik 2023/202

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah,dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini. Saya juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan
penulisan makalah ini, atas kontribusinya sehingga makalah ini bisa selesai tepat waktu.
Shalawat serta salam tercurahkan kepada junjungan kita semua nabi Muhammad SAW,
yang selalu menjadi contoh baik bagi umat islam dan kita nanti-nantikan syafaat nya di
yaumill ahir nanti.

Majenang, 17 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI
COVER……………………………………………………………………………………
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...
BAB I……………………………………………………………………………………..
PENDAHULUAN………………………………………………………………………..
A. LATAR BELAKANG…………………………………………………………………
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………………………
C. TUJUAN PEMBAHASAN……………………………………………………………
BAB II…………………………………………………………………………………….
PEMBAHASAN………………………………………………………………………….
a. Hadis prakodifikasi…………………………………………………………………….
b. Hadis pada masa nabi………………………………………………………………….
c. Hadis pada masa sahabat……………………………………………………………….
d. Hadis pada masa tabiin…………………………………………………………………
BAB III……………………………………………………………………………………
PENUTUP………………………………………………………………………………...

KESIMPULAN…………………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Mempelajari sejarah pertumbuhan dan pekembangan hadis diharapkan dapat
mengetahui sikap dan tindakan umat Islam tehadap hadis serta usaha pembinaan dan
pemeliharaan pada setiap periode hadis hingga pada akhirnya muncul kitab-kitab hasil
pembukuan secara sempurna yang dalam islam dikenal dengan istilah tadwin. Studi
tentang keberadaan hadis ini selalu semakin menarik untuk dikaji seiring dengan
perkembangan analisis dan nalar berpikir manusia.

Studi Hadis tidak hanya dilakukan oleh kalangan Muslim melainkan juga dilakukan
oleh kalangan orientalis. Bahkan, kajian studi Hadis dalam dunia islam semakin
menguat dilatar belakangi oleh upaya umat islam untuk membantah terhadap pendapat
kalangan orientalis tentang ketidak aslian hadis. Goldziher misalnya, meragukan
sebagian besar orisinilitas hadis yang bahkan diriwayatkan oleh ulama besar seperti
Imam Bukhori hal ini dikarenakan jarak semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW
dengan masa upaya pembukuan hadis sangat jauh, menurutnya sangat sulit menjaga
orisinilitas hadis tersebut.

Oleh karena itu, mengkaji sejarah berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta
yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalanan Hadis pada
setiap periode mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapi, antara satu
periode dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya
perlu diajukan ciri-ciri khusus dari persoalan tersebut.

Di antara ulama tidak sependapat dalam penyusunan periodesasi pertumbuhan dan


perkembangan hadis. Ada yang membaginya menjadi tiga periode yaitu masa
Rasulullah, masa sahabat, dan masa tabi’in.
B. RUMUSAN MASALAH
1. bagaimana penjelasan hadis prakodifikasi?
2. bagaimana penjelasan hadis pada masa nabi?
3. bagaimana hadis pada masa sahabat
4. bagaimana hadis pada masa tabiin?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. memahami penjelasan hadis prakodifikasi
2. memahami penjelasan hadis pada nabi
3. memahami penjelasan hadis pada masa sahabat
4. memahami hadis pada masa tabiin
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis pada Masa Prakodifikasi

Sejarah perkembangan hadis pada masa prakodifikas maksudnya adalah pada masa
sebelum pembukuan. Mulai sejak zaman Rasulullah SAW hingga ditetapkannya
pembukuan hadis secara resmi (kodifikasi).

Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang
diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar bin
Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para sahabat, dan
disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia
membatalkan rencana tersebut.
Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti
dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah-daerah,
termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-
masing ulama itu sendiri, sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka
kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis. Kodifikasi ini disinonimkan dengan
tadwin al-hadits tentunya berbeda dengan penulisan hadits kitabah al-hadits.
Tadwin al-hadits mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku
(himpunan, dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku
umum dari lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits
itu sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda,
perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat itu lalu
disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan maupun tulisan.
Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan tulisan-tulisan-tulisan
atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis
secara resmi dari penulisan hadis adalah sebagai berikut:
1. Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui
masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
2. Kegiatan kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan,
menghimpun, dan mendokumentaskannya.
3. Tadwin hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala perangkat yang
dianggap berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang
tertentu.
Secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang
ahli dalam khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini.
Bukan dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti terjadi pada
masa-masa sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui instruksi kepada Abu
Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama
Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya.
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm agar
mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari (wafat
98H) murid kepercayaan siti ‘Aisyah. Dan al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar
(wafat 107H). Instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab Al-
Zuhri (wafat 124H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis
dari pada yang lainnya. Peranan para ulama hadis, khususnya al-Zuhri, sangat mendapat
penghargaan dari seluruh umat Islam.
Mengingat pentingnya pernana al-Zuhri ini, para ulama di masanya memberikan
komentar, bahwa jika tanpa dia, di antara hadis-hadis niscaya hadis sudah banyak yang
hilang. Beberapa pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil
kebijaksanaan seperti ini. Pertama, ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan
menginggalnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir akan tercampurnya
antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu. Ketiga, bahwa dengan
semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara
satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi
ini.

B. HADITS PADA MASA NABI

Masa dikenal dengan ‘ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan
karna pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang
datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan
sumber kebahagian para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa
jahiliah. Para sahabat sangat mencintai Rasulullah melebihi cinta mereka kepada
keluarga bahkan diri mereka sendiri. Mereka selalu berusaha menghafal ajaran-ajaran
islam melalui al-Qur’an juga selalu rindu bertemu Rasulullah untuk mendapatkan ajaan
agama, termasuk hadis –hadisnya. Mereka menyadari betapa penting kedudukan hadis
Nabi dalam agama islam, bahwa sunnah nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an,
orang yang meremehkan dan mengingkarinya akun celaka dan orang yang
mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.1

Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan Nabi baik yang terkait dengan
masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan hal-hal pribadi telah terjadi
semenjak awal islam. Sebagai figur, Nabi menjadi pusat pehatian,dalam kapasitas
sebagai pemimpin, teladan, dan penyampaian syariat Allah yang hampir semua
perkataan dan perilakunya bermuatan hukum, kecuali sebagian yang terkait dengan
urusan murni duniawi. Kebiasaan menghargai segala yang berasal dari Nabi terlihat
pada banyaknya para sahabat, ditengah-tengah kesibukan mereka memenuhi kebutuhan
hidup, menghadiri majelis Nabi, sebagian tinggal beberapa saat atau dalam waktu yang
lama bersamanya, mediskusikan dan menelaah secara kritis hadis-hadis yang mereka
terimah. Jika terjadi persoalan yang menyangkut kebenaran hadis yang mereka terimah,
mereka dapat langsung mengecek kebenarannya kepada Nabi karena beliau berada
bersama, bergaul, dan bermuamalah dengan mereka, sehingga bila terjadi kesalahan
penulisan, kekeliruan pengucapan, atau kekurang pahaman terhadap makna teks hadis,
dapat dirujuk pada Nabi. Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi menempuh
beberapa cara, yaitu :

Pertama, melalui majelis al-‘ilm yaitu pusat atau pengajian yang diadakan oleh
Nabi untuk membinah para jemaah. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh
banyak peluang untuk menerimah hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu

1
Kaptein H.L. Beck dan N.J.G., Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosofi, Teologi, Dan
Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1988). Hlm 67
mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya. Periwayatan hadis melalui
majelis ini dilakukan secara reguler dimana para sahabat begitu antusias mengikuti
kegiatan di majelis ini. Menurut catatan musthafa al-Siba’i roh ilmiah para sahabat
sangat tinggi, mereka sangat haus akan fatwa-fatwa dari Nabi. Mereka selalu
meluangkan waktu untuk mendatangi majelis ilmu Rasulullah. Bahkan, mereka
melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk meminta solusi kepada Nabi atas masalah
yang mereka hadapi. 2

Diantara mereka ada yang secara sengaja membagi tugas untuk mendapatkan
informasi yang berasal dari Nabi. Umar ibn al-Khathab misalnya, membagi tugas
dengan tetangganya untuk mendapatkan hadis dari Nabi. Bila tetangganya pada suatu
hari menemui Nabi, maka umar pada esok harinya, pihak yang bertugas menemui Nabi
dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera
menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Umar bin Khathab sewaktu-waktu
bergantian hadir dengan ibn Zayd, dari bani umayah untuk menghadiri majelis Nabi,
ketika ia berhalangan hadir, berkata :

“Kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi, demikian
pula aku yang melakukannya”

Dengan demikian para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi,
mereka tetap juga dpat memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu dengan
Nabi. Pada saat yang demikian terjadi periwayatan hadis oleh sahabat dari sahabat lain.
Pada masa Nabi, hadis tidak semata mata diriwayatkan dari Nabi, tetapi sebagiannya
diriwayatkan oleh sahabat dri sahabt yang lain.

Tidak jarang kepala-kapala suku yang jauh yang jauh dari Madinah mengirim
utusannya ke majelis Nabi, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka
sekembalinya dari sana. Misalnya, yang dilakukan oleh Malik ibn al-Huwayris yang
pernah tinggal bersama Nabi selama dua puluh malam, sebagai salah satu anggota

2
Mangunsuwito, Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing, (Jakarta: Widytama
Pressindo.,2011) hlm. 37
rombongan kaumnya. Ia menyatakan bahwa Nabi adalah yang penyayang dan akrab.
Katanya : “ Tatkalah Nabi melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga kami “
beliau bersabda “ Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarilah
mereka, dan lakukan shalat bersama mereka. Bila telah masuk waktu shalat, hendaklah
salah seorang dari kalian melakukan adzan, dan hendaklah yang tertua menjadi imam “.
Pengalaman malik ibn al-Huwayris menunjukkan bahwa pada zaman Nabi, parah
sahabat sangat minatnya menimbah pengetahuan langsung dari Nabi, termasuk Hadis
Nabi yang kemudian mereka ajarkan kepada keluarga mereka masing-masing.

Kedua, dalam banyak kesempatan rasulullah juga menyampaikan hadisnya


melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut
disampaikannnya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi
menyampaikan suatu hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik
karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir
hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang.

Ketiga, untuk hal-hal sensitif seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
kebutuhan biologi, terutama yang menyangkut hubungan hadis diatas ketika Nabi
menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW tentang mandi
bagi wanita yang telah suci dari haidnnya. Nabi meyuruh wanita ituuntuk mandi
sebagaimana mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sengga Nabi
bersabda “ Ambillah sepercah kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari
kasturi, maka bersikanlah dengannya “. Wanita itu bertanya lagi. “Bagaimana saya
membersikannya ?“ Nabi bersabda : “Bersikanlah dengannya”. Wanita itu masih
berntanya lagi, “Bagaimana caranya ?” Nabi bersabda : subhan Allah, hendaklah kamu
bersiakn”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata: “ Wanita itu saya tarik ke arah saya dan
saya ketakan kepadanya, usapkan seperca kain itu ketempat bekas darah”. Pada hadis
ini,Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif bekenaan
kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal
diatas, karena segan bertanya kepaa Rasul SAW. Sering kali mereka bertanya kepada
istri-istrinya.3

Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika Futuh
Mekkah dan haji Wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M). Nabi
menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum Muslimin
yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah,
siyasah, jinayah, dan hhak asasi manusia yang meliputi kemnusiaan, persamaan,
keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan solidaritas isi khatbah itu antara lain : larangan
menumpah darah kecuali dengan hak dan larangan mengambil harta orang lain dengan
batil, larangan riba, menganiaya, dan umat Islam harus selalu berpegangan kepada al –
Qur’an dan sunnah Nabi.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh pra sahabtnya, yaitu dengan
jalan musyhadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Misalnya, suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-
laki yang sedang membeli makanan (gandum). Nabi menyuruhnya memasukkan
tangannya ke dalam gandum itu, dan ternyata di dalamnya basah.
Pada masa Nabi,sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang menjadi
andalan merek dalam menerimah hadis adalah ingata mereka. Menurut ‘Abd al-Nashar,
Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan
kemampuan menghapal.

1. Larangan Menulis Hadis pada Masa Rasulullah SAW


Pada masa Rasulullah SAW sedikit sekali sahabat yang bisa menulis sehingga yang
menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah dengan menghafal. Menurut
Abd Al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan
daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan Al-Qur’an, hadis,
dan syair dengan baik. Seakan mereka membaca dari sebuah buku.
Perhatian sahabat terhadap hadis sangat tinggi, terutama diberbagai majlis nabi atau
tempat untuk menyampaikan risalah islamiyah seperti di masjid, halaqah ilmu, dan
diberbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Rasulullah menjadi pusat narasumber,
referensi, dan tumpuan pertanyaan ketika para sahabat menghadapi masalah, baik secara
langsung atau tidak langsung seperti melalui istri-istri Rasulullah dalam masalah

3
Syaikh Manna Al-Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Al – Kautsar, 2005) hlm.4
keluarga dan kewanitaan, karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui
keadaan Rasulullah dalam masalah keluarga.
Hadis pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh para sahabat dan
tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi, karena situasi dan kondisi
tidak memungkinkan. Secara memang Nabi melarang bagi umum karena khawatir
bercampur antara hadis dan Al-Qur’an. Banyak hadis yang melarang para Sahabat untuk
menulis hadis, diantara hadis yang melarang penulisan hadis adalah:
‫ اَل َتْكُتُبْو ا َع ِّني َو َم ْن َكَتَب َع ِّنيي َغْيَر اْلُقْر اِن‬: ‫َع ْن َاِبْي َسِع ْيُد اْلُخْد ِر ي َاَّن َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ِهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫ رواُه مسلٌم‬.‫َفْلَيْم ُحُه‬
Artinya :
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda: janganlah
engkau menulis (hadis) dariku, barangsiapa menulis dariku selain dari Al-Qur’an maka
hapuslah. (HR. Muslim)”

Alasan pencatatan hadis pada masa Rasulullah karena hawatir hadis tercampur dengan
Al-Qur’an yang saat itu masih proses penurunan. Oleh karena itu maka pada saat itu
nabi melarang keras kepada sahabat untuk menulis dan mencatat hadis agar tidak
bercampur dengan Al-Qur’an Al-karim.
2. Diperbolehkannya Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Larangan menulis hadis tidaklah umum kepada semua sahabat, ada sahabat tertentu
yang diberikan izin untuk menulis hadis. Nabi melarang menulis hadis karena khawatir
tercampur dengan Al-Qur’an dan pada kesempatan lain nabi memperbolehkannya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abd Allah Ibn Umar, dia berkata: “Aku permah
menulis segala sesuatu yang ku dengar dari Raulullah, aku ingin menjaga dan
menghafalkannya. Tetapi orang Quraisy melarangku melakukannya.” Mereka berkata:
“Kamu hendak menulis (hadis) padahal Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan
senang”. Kemudian aku menahan diri (Untuk tidak menulis hadis) hingga aku ceritakan
kejadian itu kepada Rasulullah.
Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan seandainya
Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadis dapat ditulis. Karena menurut M
Suyudi Ismail hal ini disebabkan oleh beberapa alasan berikut:
1) Hadis disampaikan tidaklah selalu di hadapan sahabat yang pandai menulis.
2) Perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al-Qur’an.
3) Meskipun Nabi mempunyai sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas menulis
wahyu yang turun dan surat-surat Nabi.
Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, ketetapan, dan hal-hal orang yang masih
hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan alat sederhana.

3. Tanggapan Terhadap Larangan Pencatatan Hadis Pada Masa Rasulullah SAW


Menghadapi dua hadis yang tampak bertentangan di atas, ada beberapa pendapat
berkenaan dengan ini, yaitu:
1) Larangan menulis hadis terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisannya
diberikan pada periode akhir kerasulan
2) Larangan penulisan hadis itu ditujukan bagi orang yang kuat hafalannya dan tidak
dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-
Qur’an. Izin menulis hadis diberikan kepada orang yang pandai menulis dan tidak
dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-Qur’an.
3) Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan
tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis tidak dilarang menulis hadis
4) Larangan hadis dicabut oleh izin menulis hadis karena tidak dikhawatirkan
tercampurnya catatan hadis dengan Al-Qur’an.
5) Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadis bersifat khusus kepada
para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan catatan hadis dan catatan Al-
Qur’an
6) Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk sekedar
dalam bentuk catatan yang dipakai sendiri
Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun
ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat, maka penulian hadis diizinkan.
C. Hadis pada Masa Sahabat

Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan
sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadis yang harus dipegangi bagi
pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi saw wafat, kendali
kepemimpinan umat Islam berada di tangan shahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama
menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as- Shiddiq ( wafat 13 H/634 M)
kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan
(wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini
dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa
disebut juga dengan zaman sahabat besar.
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era shahabat besar dan
menyusul era sahabat kecil. Dalam pada itu muncullah pra tabi’in besar yang
bekerjasama dalam perkembangan pengetahuan dengan para shahabat Nabi yang masih
hidup pada masa itu. Diantara shahabat Nabi yang masih hidup setelah periode al-
Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis Nabi
saw ialah ‘A’isyah istri Nabi (wafat 57 H/578 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M),
‘Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin al-Khatthab (wafat
73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M).4
Para sahabat mengetahui kedudukan As-Sunnah sebagai sumber syari’ah pertama
setelah Al-Qur’an Al-karim. Mereka tidak mau menyalahi as-Sunnah jika as-Sunnah itu
mereka yakini kebenarannya, sebagaimana mereka tidak mau berpaling sedikitpun dari
as-Sunnah warisan beliau. Mereka berhati-hati dalam meriwayatkan hadis dari Nabi
SAW. karena khawatir berbuat kesalahan dan takut as-Sunnah yang suci tiu ternodai
oleh kedustaan atau pengubahan. Oleh karena itu mereka menempuh segala cara untuk
memelihara hadis, mereka lebih memilih bersikap “sedang dalam meriwayatkan hadis”
dari Rasulullah., bahkan sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “sedikit dalam
meriwayatkan hadis”.
4
Muhammad Ali Al-Shobuni, Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an, (Madinah: Daru Al-Shobuni,2003), hlm.45
Periode shahabat disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwayah” yaitu
masa pemastian dan menyedikitkan riwayat. Dalam prakteknya, cara shahabat
meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang
mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi SAW.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan
lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi SAW.
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits Nabi.
a. Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu Bakar
merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam
meriwayatkan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu
Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang
nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta yang
ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak melihat petunjuk al-Qur’an
dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu
bertanya kepada para shahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu
Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar
seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetabkan kewarisan
nenek itu. Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah
menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian
atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan
nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadits Nabi SAW yang
disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.
Kasus di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima
riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar
meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat pada
tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Putri Aisyah,
menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus
hadis. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar
catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadits.Hal ini
menjadi bukti sikap kehari-hatian Abu Bakar dalam periwayatan hadis.
Data sejarah tentang kediatan periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa
Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada masa
pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai ancaman dan
kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan
kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada itu tidak sedikit
shahabat Nabi, khususnya yang hafal Qur’an, telah gugur di berbagai peperangan. Atas
desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan al-Qur’an
(jam’ al-Qur’an).
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar dapat
dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun
demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan hadits
tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat berhati-hati. Sikap
hati-hati ini antara lain terlihat pada pemerikasaan hadis yang diriwayatkan oleh para
sahabat.5
a. Umar bin al-Khatthab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat, misalnya,
ketika umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar barulah
bersedia menerima riwayat hadis dari Ubay, setelah para shahabat yang lain,
diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang
dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah,
sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya
ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis ini.
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu Musa
al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain. Kesemua itu menunjukkan kehati-
hatian Umar dalam periwaytan hadis. Disamping itu, Umar juga menekankan kepada
para shahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya,
5
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers., 2011), hlm.13
agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-
Qur’an.Kebijakan Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadis,
sesungguhnya tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan
hadits. Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi
dimaksudkan: [a] agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis, [b] agar
perhatian masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu. Hal ini diperkuat oleh bukti-
bukti berikut ini:
1. Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari hadis Nabi
dari para ahlinya, karena mereka lebih menetahui tentang kandungan al-Qur’an.
2. Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi, Ahmad bin Hanbal telah
meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga ratus hadis.
Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama shahabat dan tabi’in terkenal
yang telah meneriam riwayat hadis Nabi dari Umar. Ternyata jumlahnya cukup
banyak.
3. Umar pernah merencanakan menghimpun hadis nabi secara tertulis. Umar meminta
pertimbangan kepada para shahabat. Para shahabat menyetujuinya. Tetapi satu bulan
umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan melakukan shalat istikharah,
akahirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia khawatir himpunan hadits itu akan
memalingkan perhatian umat Islam dari al-Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali
tidak nenampakkan larangan terhadap periwayatan hadis. Niatnya menghimpun hadis
diurungkan bukan karena alas an periwayatan hadits, melainkan karena factor lain,
yakni takut terganggu konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada zaman Umar
bin al-Khatthab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila dibandingkan dengan
zaman Abu Bakar. Hal ini bukan hanya disebabkan karena umat islam telah lebih
banyak menghajatkan kepada periwayatan hadits semata, melainkan juga karena
khalifah Umar telah pernah memberikan dorongan kepada umat islam untuk
mempelajari hadits Nabi. Dalam pada itu para periwayat hadits masih agak “terkekang”
dalam melakukan periwaytan hadis, karena Umar telah melakukan pemeriksaan hadis
yang cukup ketat kepada para periwayat hadis. Umar melakukan yang demikian bukan
hanya bertujuan agar konsentrasi umat Islam tidak berpaling dari al-Qur’an, melainkan
juga agar umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis. Kebijakan
Umar yang demikian telah menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab
melakukan pemalsuan-pemalsuan hadis.

a. Usman bin Affan

Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda
dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya. Hanya saja,
langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin Khatthab.

‘Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin
Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat ‘Usman sekitar empat
puluh hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang terulang, karena perbedaan sanad.
Matn hadits yang banyak terulang itu adalah hadits tentang berwudu’. Dengan demikian
jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khatthab.

Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan, kegiatan
umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak dibandingkan bila
dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman ‘Umar bin Khatthab. Usman
melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat Islam berhati-hati dalam
meriwayatkan hadis. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya terhadap
para perawi tertentu yang bersikap “longgar” dalam periwaytan hadis. Hal tersebut
terjadi karena selain pribadi ‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena wilayah
Islam telah makin luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan
pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.

a. Ali bin Abi Thalib.


Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan sikap para khalifah
pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah bersedia
menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang bersangkutan
mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar dari Nabi
saw. hanyalah terhadap yang benar-benar telah diparcayainya. Dengan demikian
dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah
sebagai syarat muthlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu
apabila ,knorang yang menyampaikan riwayat hadis telah benar-benar tidak mungkin
keliru.

‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadis yang
diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadis
yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda (diyat), pembahasan orang
Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larang melakukan hokum kisas (qishash)
terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.

Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin Abi Thalib
sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian mant dari hadis tersebut berulang-ulang karena
perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib
merupakan periwayat hadis yang terbanyak bila dibandingkan dengan ke tiga khalifah
pendahulunya.

Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan


hadits pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya.
Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan siatuasi pada
zaman sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang politik dikalangan umat Islam telah
makin menajam. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung
Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini membawa dampak negative dalam bidang kegiatan
periwayatan hadis. Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.

Dari urai di atas dapat disimpulkan, bahwa kebijaksanaan para khulafa al-Rasyidin
tentang periwayatan hadis adalah sebagai berikut:

1. Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan


hadits
2. Larangan memperbanyak hadits, terutama yang ditekankan oleh khalifah ‘Umar,
tujuan pokoknyaialah agar periwayat bersikap selektif dalam meriwayatakan hadits
dan agar masyarakat tidak dipalingkan perhatiannya dari al-Qur’an
3. Penghadiran saksi atau mengucapkan sumpah bagi periwayat hadits merupakan salah
satu cara untuk meneliti riwayat hadits. Periwayat yang dinilai memiliki kredibilitas
yang tinggi tidak dibebani kewajiabn mengajukan saksi atau sumpah
4. Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits yang
disampaikan oleh ketiga khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk lisan.
Hanya ‘Ali yang meriwayatkan hadits secara tulisan disamping secara lisan.

Adapun penulisan hadits pada masa Khulafa al-Rasyidin masih tetap terbatas dan
belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah umar bin khattab mempunyai
gagasan untuk membukukan hadits, namun niatan tersebut diurungkan setelah beliau
melakukan shalat istikharah. Para shahabat tidak melakukan penulisan hadits secara
resmi, karena pertimbang-pertimbangan.

1. Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian shahabat
masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak pada urusan
pengumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi mush-haf.
2. Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadis.

D. Hadis pada Masa Tabi’in

Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas. Banyak sahabt ataupun tabi’in
yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping banyak pula
yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah. Para sahabat pindah ke daerah baru
disertai dengan membawa perendaharaan hadis yang ada pada mereka, sehingga hadis-
hadis terbesar di berbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadis, sebagai
mana dikemukakan Muhammad abu zahw, yaitu : 6

6
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 35
(1) Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurayrah, ibn’ Umar,
Abu Sa’id al-Khudzri, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in : Sa’id ibn
Musayyib, Urwah ibn Zubayr, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dan lain-lain.
(2) Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat : ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah ibn
Sa’id dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in tokoh hadis antara lain : Mujahit ibn Jabr,
‘Ikrimah mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dan lain-lain.
(3) Kufa, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi
Waqqas, dan Salmann al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in : Masruq ibn al-Ajda’,
Syuraikh ibn al-Haris, dan lain-lain.
(4) Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Utbah ibn Gahzwan, Imran ibn
Husyn, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in dikenal tokoh : al-Hasan al-Basri, Abu
al-‘Aliyah, dan lain-lain.
(5) Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat : Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’,
‘Ubbadah ibn Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in : Abu Idris,
Qabishah ibn Zuaib. Dan Makhul ibn Abi Musli.
Hadis-hadis yang diterimah oleh para tabi’in ini ada yang dalam bentuk catatan atau
tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihapal, disamping dalam bentuk-bentuk yang
sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan
mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun
yang tercecer atau terlupakan. Sunggupun demikian, pada masa pasca sahabat besar ini,
muncul kekeliruan periwayatan hadis ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.
Periwayatan tidak semata menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfit),
tetapi hadis yang bersumber dari sahabat (mawquf) dan tabi’in (maqthu’) bahkan
pernyataan beberapa ahli kitab yang telah masuk islam yang mereka sadur dari
pernyataan Bani Israil atau shuhuf mereka sebagai bahan komparas setelah mereka
masuk islam. Dari sekian pernyataan ysng memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil
menimbulakan salah kutip : perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadis Nabi , atau
bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabdah Nabi.
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara
lain : pertama, periwayat hadis sebagaimana manusia lain tidak terlepas dari unsur
kekeliruan. Kedua, terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis. Sejak masa Rasulullah
memang ada ada beberapa sahabat yang menulis hadis baik atas dasar izin Nabi atau
ditulis para amir atau para pegawai, tetapi usaha penulisan belum merupakan hal biasa,
bahkan umumnya para periwayat mengandalkan hafalan. Ketiga, terjadinya periwayatan
secara makna yang dilakukan oleh sebagian besar sahabat dan tabi’in terbukti dengan
adanya hadis atau kisah yang sama tetapi memiliki redaksi yang beragam.

PENUTUP
KESIMPULAN

1. Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadaanya dijelaskannya melalui perkataan,


perbuatan, dan pengakuan atau penetepan Rasulullah SAW. Sehingga apa yang
disampaikan oleh para sahabat dari apa yang mereka dengar, lihat, dan saksikan
merupakan pedoman. Rasullah adalah satu-satunya contoh bagi para sahabat, karena
Rasulullah memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan yang berbeda dengan
manusia lainnya.
2. Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan
sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits yang harus dipegangi
bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi saw wafat, kendali
kepemimpinan umat Islam berada di tangan shahabat Nabi. Shahabat Nabi yang
pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as- Shiddiq ( wafat 13
H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman
bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat
khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan
periodenya biasa disebut juga dengan zaman shahabat besar.
3. Sebagaimana para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam periwayatan
hadis . Hanya saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti seperti pada masa
sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf dan sudah
tidak menghawatirkan lagi. Selain itu, pada akhir masa Al-Khulafa Al-Rasyidun para
sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah sehingga mempermudah
tabi’in untuk mempelajari hadis.

DAFTAR PUSTAKA

Suparta,Munzier. 2011,Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.


Idri. 2013,StudiHadis. Jakarta: Kencana.
Sumbulah,Umi. 2010,Kajian Kritis Ilmu Hadis.Malang: UIN-Maliki Press.
Soetari,H. Endang.1997,Ilmu Hadits.Bandung: Amal Bakti Press.
Al-Shobuni,Muhammad Ali. 2003,Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an. Madinah: Daru Al-
Shobuni.
Fahmi,Akrom. 1999,Sunnah Qabla Tadwin. Jakarta: Gema Insani Press.
Mangunsuwito. 2011,Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing.
Jakarta: Widytama Pressindo.
Al-Qathathan,Syaikh Manna. 2005, Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Al –
Kautsar.
Ismail,M. Syuhudi. 1995,Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits.Jakarta: Bulan
Bintang.
Kaptein,H.L. Beck dan N.J.G. 1988,Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum,
Filosofi, Teologi, Dan Mistik Tradisi Islam. Jakarta: INIS.
Karim, Abdullah, membahas ilmu-ilmu hadis ,(PT. Comdes Kalimantan), h. 65-68.
SUPARTA, Munzier, ilmu hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 1996) cet. Ke 2, h.
66-74.

Anda mungkin juga menyukai