Jagat Sepak Bola Nasional Digemparkan Dengan Satu Peristiwa Yang Memilukan
Jagat Sepak Bola Nasional Digemparkan Dengan Satu Peristiwa Yang Memilukan
Jagat Sepak Bola Nasional Digemparkan Dengan Satu Peristiwa Yang Memilukan
Jagat sepak bola nasional digemparkan dengan satu peristiwa yang memilukan.
Tepatnya pada tanggal 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Malang. Ratusan suporter
tewas dalam peristiwa ini dan hal ini menambah kelam perjalanan sepak bola nasional.
Bahkan berita ini langsung tersebar ke luar negeri hingga menempatkan tragedi Kanjuruhan
di urutan atas peristiwa kelam sepak bola.
Peristiwa berawal saat laga Arema Malang VS Persebaya Surabaya usai. Kala itu
Arema harus menerima kekalahan dari tim tamu Persebaya dengan skor akhir 2-3. Aremania
yang kecewa akan hasil tersebut tak dapat terbendung kekecewaannya hingga diawali oleh
sebagian Aremania yang turun kelapangan berniat menghampiri para pemain Arema. Pihak
keamanan dari kepolisian dan panitia berusaha mengamankan para suporter yang masuk
lapangan. Namun bukannya kondusif, suasana malah bertambah kacau karena tim keamanan
nampak kewalahan mengamankan para suporter yang masuk.
Jika pihak kepolisian tidak melakukan pemukulan yang berlebih terhadap para
suporter mungkin suasana sedikit dapat terkendali. Namun kenyataannya tidak begitu.
Suporter lain yang tidak menerima perlakuan aparat kepolisian pun semakin banyak masuk
lapangan. Hingga awal petaka, saat polisi melemparkan tembakan gas air mata kepada para
suporter. Nampaknya perhitungan aparat polisi yang menembakan gas air mata sangat keliru.
Bukannya kondusif malah mencelakakan para penonton di tribun. Para suporter pun panik
dan berusaha menghindari gas air mata yang polisi tembakan. Mereka berlarian ke arah pintu
keluar dan berdesak-desakan di sana. Nampaknya inilah penyebab banyak korban meninggal
dunia.
Tindakan aparat kepolisian yang menembakan gas air mata sebenarnya telah
menyalahi aturan dan SOP yang telah FIFA tetapkan. Penggunaan gas air mata telah dilarang
FIFA ketika berada di dalam stadion. Ini tertuang dalam pengamanan dan keamanan stadion
(FIFA Stadium Safety and Security Regulations). Bunyi pasal 19 b soal pengamanan di
pinggir lapangan adalah: Tidak boleh ada senjata api atau "gas pengendali massa" yang boleh
dibawa atau digunakan (No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used).
Sebuah paradoks yang muncul jika kita mencari siapa dalang atau pihak yang salah
dalam tragedi ini. Apakah kita menyalahkan Tim Arema yang kalah, suporter yang turun ke
lapangan,apparat kepolisian, atau panitia pelaksana pertandingan?. Tentunya semua pihak
tidak ingin disalahkan dan akan mencari alasan-alasan pembenaran. Terlebih dari pihak
kepolisian yang pada awalnya menggunaan dalih mengamankan masa yang tak terkendali.
Padahal seharusnya dipertimbangkan Kembali sebelum menggunakan kekuatan apakah
ancamannya telah sebanding?
TINJAUAN TEORI KONFLIK
Apa yang terjadi dalam peristiwa di Kanjuruhan termasuk ke dalam konflik. Konflik
terjadi ketika perbedaan antarindividu atau kelompok dalam masyarakat tidak dapat
dinetralisir atau didamaikan. Hal ini adalah konsekuensi logis adanya interaksi sosial dan
kegiatan yang mengumpulkan banyak masa. Makah hal-hal di luar dugaan pun bisa terjadi.
Dalam hal ini ada kelompok internal (in-grup) dan eksternal (out-grup). Kelompok
internal di sini terdiri dari Aremania yang mendapatkan serangan berupa tindakan represif
dari pihak eksternal yakni aparat kepolisian. Rasa persatuan antara suporter semakin terjalin
dengan adanya alasan yang dilontarkan dari pihak kepolisian tentang penggunaan gas air
mata dan mereka justru pada awalnya tidak mengakui kesalahannya dan justru menyalahkan
suporter yang turun.
Lewis A.Coser memandang bahwa konflik tidak semuanya berakibat negatif. Konflik
bisa membawa pengaruh positif terhadap realitas social setelahnya. Dari kejadian di
kanjuruhan, semakin menguatkan rasa solidaritas antara Aremania dengan Bonek. Bukan
hanya 2 suporter tersebut, namun semua pendukung klub bola di tanah air. Banyak aksi
solidaritas yang dilakukan para supporter di tanah air dan tentunya ini adalah hal yang positif
dan membawa dampak baik demi terwujudnya kerukunan antar suporter.
Selain itu, dari tragedi Kanjuruhan memaksa pihak-pihak terkait dalam sepak bola
nasional melakukan evaluasi besar-besaran. Kualitas penyelenggaraan Liga Nasional teryata
masih banyak kekurangan yang harus dibenahi. Tidak hanya kepentingan komersial yang
dikedepankan, namun keselamatan dan kenyamanan penonton patut diutamakan.
Upaya Penanganan Mencegah agar aksi kerusuhan supporter tidak mudah pecah harus
diakui bukan hal yang mudah. Dalam berbagai pertandingan berskala besar yang berpotensi
konflik, aparat keamanan biasanya selalu berjaga-jaga dan menyediakan petugas dalam
jumlah ekstra untuk mengamankan potensi konflik yang mungkin timbul. Dengan dukungan
jumlah aparat yang terbatas, memang tidak mungkin polisi mampu mengcover semua
wilayah dan memprediksi di mana titik konflik bakal pecah. Pada titik ini, mau tidak mau
polisi harus bekerjasama dengan berbagai pihak lain, seperti pengurus suporter, tokoh
masyarakat, dan lain sebagainya agar potensi konflik dapat diredam. Memastikan agar
suporter tidak berulah yang macam-macam niscaya membutuhkan strategi yang benar-benar
tepat.
TEORI ENTREPRENEURSHIP
KITA semua berduka, banyak orang tak bersalah menjadi korban. Tragedi
Kanjuruhan menghentak tidak hanya pencinta sepak bola, tetapi seluruh bangsa ini. Korban
tewas yang disampaikan Menko PMK Muhadjir Effendy terakhir berjumlah 125 orang.
Sebanyak 302 orang luka ringan dan 21 orang luka berat. Dalam rangka penegakan hukum,
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga telah
mengumumkan daftar anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (Kompas,
3/9/2022). Peristiwa kelam ini, menelan jumlah korban terbanyak kedua dalam sejarah sepak
bola dunia. Sebelumnya tragedi Peru 58 tahun lalu, merenggut nyawa 300 orang tewas
(Kompas TV 2/10/2022). Tragedi Kanjuruhan sontak viral di berbagai belahan dunia. The
Washington Post dan BBC News menjadikannya sebagai berita.
Sementara The New York Times melaporkan secara khusus. Dalam reportasenya
yang berjudul 'Riots at Indonesian Soccer Match Leave Several Fans Dead', The New York
Times menulis secara menohok, “kekerasan di pertandingan sepak bola telah lama menjadi
masalah bagi Indonesia. Persaingan antara tim-tim besar yang menyebabkan kematian, adalah
hal biasa.” Laporan media terbesar di AS itu tampak tendensius, ibarat tamparan bagi dunia
sepak bola kita. Justru di saat sepak bola lagi getol-getolnya dikembangkan di negeri ini.
Penegakan hukum Tragedi memang kerap berulang. Selama ini, kita kerap menghadapi kasus
demi kasus yang melibatkan perilaku suporter. Apalagi jika pertandingan dilakukan antar-tim
dengan labelisasi “musuh bebuyutan”. Hal yang mencengangkan dalam peristiwa Kanjuruhan
adalah korban terbanyak justru terjadi saat pertandingan steril dari suporter lawan dan hanya
dihadiri suporter tuan rumah. Kerusuhan yang berawal dari ketidakpuasan atas hasil
pertandingan, seketika menjadi tak terkendali.
Pembinaan dan pengembangan sepak bola tanah air tidak cukup hanya menyentuh
klub dan pemain. Tetapi juga ekosistem pendukungnya, yaitu para suporter. Sehebat apa pun
sepak bola kita, jika kerusuhan dan korban jiwa selalu terulang, maka disrupsi akan terus
terjadi.
Namun fanatisme sempit, apalagi loyalitas dan solidaritas salah makna harus
dihindari. Sesungguhnya jika pemain bisa tampil tanpa kekhawatiran atas keamanan diri
mereka, maka para pemain akan lebih optimal. Hal ini akan menjadikan sepak bola Indonesia
menjadi tontonan sekaligus hiburan berkualitas, menarik dan elegan. Olahraga memiliki misi
luhur, yaitu sportifitas. Tanpa sportifitas dan integritas, olah raga berpotensi membawa
bencana. Kalah menang dalam pertandingan adalah suatu keniscayaan. Berkaca pada momen
sepak bola paling akbar, Piala Dunia, tim dari negara yang semula kita anggap paling hebat,
juga seringkali terpental, bahkan pada babak-babak awal.
Sepak bola memang mengherankan karena memang bola itu bundar. Jika Indonesia
ingin diperhitungkan di level internasional, apalagi ingin menjadi tuan rumah pertandingan
internasional bergengsi, maka reputasi tanpa kerusuhan harus menjadi realita. Stigma bahwa
kerusuhan sepak bola sudah menjadi laten di negeri ini harus dihapus. Suporter juga harus
diajak memahami secara bijak bahwa sesungguhnya ketetapan hukum alam menunjukan
ketidakabadian itu. Tidak ada tim yang akan menjadi pemenang selamanya. Ibarat sebuah
roda pedati, suatu saat ujung jari-jari kayunya akan berada di atas. Tetapi di saat lain akan
berada di bawah. Semuanya hanya soal waktu saja. Demikian juga dalam pertandingan sepak
bola. Memberi spirit kepada setiap orang, dan generasi masa depan kita bahwa harus menjadi
pemenang adalah penting. Tetapi mengajari mereka untuk siap kalah secara sportif juga sama
pentingnya. Sikap para suporter sebagai pendukung dan sahabat tim di kala menang atau pun
kalah, dan menyikapi lawan main dengan sportifitas, menjadi kunci pertandingan berkualitas.
Kondisi ini juga akan semakin meningkatkan moral dan spirit para pemain karena merasa
didukung penuh.
Kita sudah harus mengkaji akar permasalahannya, termasuk pola Pendidikan kita
pada umumnya. Suporter sepak bola yang didominasi milenial dan jumlahnya terus
meningkat harus menjadi bahan evaluasi reflektif. Jika tidak segera diatasi, maka akan
menjadi semacam “mata kuliah buruk” bagi masyarakat. Pendidikan dalam berbagai
tingkatan tentu bukan hanya ditujukan agar individu cerdas dan menguasai ilmu pengetahuan
secara cemerlang. Esensi pendidikan adalah lahirnya individu berbudi pekerti, beretika,
berintegritas, sportif, dan taat hukum. Materi Pendidikan ini akan menjadi counter atas “mata
kuliah buruk” tadi. Masyarakat yang baik adalah yang menjunjung tinggi etika dan budi
pekerti. Karena dalam masyarakat seperti ini, maka hukum tidak akan sering-sering
digunakan untuk menindak para pelanggar.
Secara umum, etika dan budi pekerti akan menjadi penyaring dan pencegah tindakan
pelanggaran dan gangguan ketertiban umum. Negara akan semakin kondusif jika seluruh
komponen bangsanya memiliki budaya malu. Malu untuk melakukan hal-hal yang melanggar
etika dan kepantasan apalagi melanggar hukum. Dampaknya, pelanggaran hukum akan
semakin minim terjadi. Dalam kondisi ini, maka etika justru secara falsafati akan berada di
level yang lebih tinggi dari hukum.
Jika etika berfungsi baik dalam kehidupan masyarakat, maka hukum akan menjadi
ultimum remidium dan irit disentuh karena menjadi garda terakhir untuk menjaga ketertiban
dan keadilan. Tidak heran jika di negara yang sukses membangun karakter etika, penjara-
penjaranya banyak ditutup karena minim penghuni. Oleh karena itu, pembelajaran etika, budi
pekerti, dan sportifitas, harus menjadi bagian integral dari sistem Pendidikan nasional dan
bukan sekadar wacana. Keluarga sebagai unit terkecil yang paling memengaruhi sikap
individual juga harus mengambil peran. Karena bagaimana pun, keluarga adalah sekolah
kehidupan pertama bagi setiap individu.