Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Pengendalian Perkembangan Permukiman Berbasis Sustainable Settlement

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 220

TESIS –RA142511

PENGENDALIAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN


BERBASIS SUSTAINABLE SETTLEMENT
Studi Kasus : Permukiman Perkotaan Kabupaten
Lumajang

IVAN AGUSTA FARIZKHA


3214201006

DOSEN PEMBIMBING
Ir. Muhammad Faqih, MSA, Ph.D
Dr. Eng. Ir Sri Nastiti N.E, MT.

PROGRAM MAGISTER
BIDANG KEAHLIAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2016
i
TESIS – RA142511

CONTROL OF SETTLEMENT DEVELOPMENT BASED


ON SUSTAINABILITY
Case Study: Urban Settlement in Lumajang

IVAN AGUSTA FARIZKHA


3214201006

SUPERVISOR
Ir. Muhammad Faqih, MSA, Ph.D
Dr. Eng. Ir Sri Nastiti N.E, MT.

MAGISTER PROGRAM
HOUSING AND HUMAN SETTLEMENTS
ARCHITECTURE DEPARTMENT
FACULTY OF CIVIL ENGINEERING AND PLANNING
SEPULUH NOPEMBER INSTITUTE OF TECHNOLOGY
SURABAYA
2016 i
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

ii
PENGENDALIAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN
BERBASIS SUSTAINABLE SETTLEMENT (STUDI KASUS :
PERMUKIMAN PERKOTAAN KABUPATEN LUMAJANG)

Nama Mahasiswa : Ivan Agusta Farizkha


NRP : 3214201006
Pembimbing : Ir. Muhammad Faqih, MSA, Ph.D
Co-Supervisor : Dr. Eng. Ir Sri Nastiti N.Ekasiwi, MT.

ABSTRAK

Fenomena Urban Sprawl terjadi karena perkembangan pemukiman


perkotaan yang tidak terkendali. Perkembangan permukiman yang tidak
terkendali ini berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan. Fungsi
pengendalian terhadap perkembangan permukiman ini sangat perlu dilakukan.
Fungsi pengendalian dapat dilakukan dengan pemahaman yang komprehensif
terhadap kondisi karakteristik permukiman. Ketika karakteristik dapat dipahami,
penerapan konsep yang tepat dapat disusun dengan mengacu pada konsep
pembangunan sustainable settlement.
Penelitian ini dilakukan guna merumuskan solusi bagi permasalahan
perkembangan permukiman yang tidak terkendali. Output yang dihasilkan dari
studi ini adalah berupa konsep dan strategi yang menjadi instrument
pengendalian. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah positivistik
dengan metode eksplorasi deskriptif kuantitatif. Beberapa teknik analisa yang
digunakan guna mencapai sasaran penelitian adalah analisa deskriptif terkait
elemen pembentuk permukiman, Analitical hierarchy proses, overlay, dan
triangulasi.
Berdasarkan hasil penelitian, perkembangan permukiman pada daerah
terindikasi cepat tumbuh disebabkan oleh adanya pengaruh permukiman
perkotaan yang menyebabkan kesenjangan kondisi permukiman. Tarikan aktivitas
ekonomi oleh institusi ekonomi yang cenderung memiliki peluang penghidupan
lebih baik menyebabkan tingginya migrasi penduduk. Dampak berganda dari
kondisi tersebut menimbulkan permasalahan diantaranya : 1) alih fungsi lahan
pertanian produktif menjadi permukiman; 2) perkembangan permukiman swadaya
(tanpa perencanaan yang baik) cenderung beresiko menjadi permukiman kumuh
karena tidak terpenuhi infrastruktur dasar (terutama MCK); 3) tidak terbentuknya
identitas masyarakat karena fungsi rumah hanya sebagai tempat singgah yang
berdampak pada minimnya interaksi antara sesama manusia dan interaksi antara
manusia dengan lingkungan permukiman; serta 4) ineffisiensi pergerakan manusia
dari rumah menuju tempat kerja karena aktivitas akibat tarikan institusi
perekonomian terkonsentrasi pada pusat wilayah permukiman perkotaan.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan membuat
instrumen perencanaan berdasarkan indikator permukiman berkelanjutan yang
dibagi berdasarkan aspek fisik dan non fisik. Instrument perencanaan berdasarkan

v
hasil penelitian adalah: 1) aspek fisik (keberlanjutan dari segi lingkungan)
dilakukan dengan konsolidasi lahan berdasarkan penetapan zona – zona boleh
dibangun/tidak dengan memperhatikan kriteria kesesuaian lahan serta pengaturan
pemenuhan fasilitas dan infrastruktur dasar sesuai kebutuhan dan skala pelayanan;
2) aspek non fisik (keberlanjutan dari segi ekonomi dan sosial) dilakukan dengan
pencanangan program – program pembentukan identitas masyarakat dengan
peningkatan partisipasi publik, pencerdasan terkait budaya bermukim yang baik,
serta pembentukan institusi perekonomian baru didalam permukiman (program
kampung tematik) guna pengurangan ketergantungan terhadap insttusi
perekonomian di pusat permukiman perkotaan

Kata Kunci: Urban Sprawl, karakteristik permukiman, permukiman


berkelanjutan.

vi
CONTROL OF SETTLEMENT DEVELOPMENT BASED ON
SUSTAINABLE SETTLEMENT (STUDY CASE : URBAN
SETTLEMENT AT LUMAJANG DISTRICT)

Name : Ivan Agusta Farizkha


NRP : 3214201006
Supervisor : Ir. Muhammad Faqih, MSA, Ph.D
Co-Supervisor : Dr. Eng. Ir Sri Nastiti N.Ekasiwi, MT.

ABSTRAK

Urban Sprawl phenomenon occurs due to the development of urban


settlements that are not controlled. Uncontrolled settlements development has an
impact on environmental degradation. control over the settlement developed is very
necessary. The function of control can be performed with a comprehensive
understanding the condition of the settlement characteristics. When characteristics
can be understood , the proper application of the concept can be developed based
on the sustainable settlement concept.
The purpose of this research is to formulate a solution for the problem cause
by the gowth of uncontrolled settlements. The generated output is a concept and
strategy as an instrument of control. The research approach used in this study is
positivistik with quantitative descriptive exploratory methods. Several analysis
techniques are used to achieve the goal of research is descriptive analysis related
elements forming settlements, Analytical Hierarchy process, overlay and
triangulation.
Based on this research, the development of settlements in the area indicated
by the fast growing due to the influence of urban settlements to inequalities
settlement conditions. The pull of economic activity by economic institutions
leading to high population migration. Multiple impacts of these conditions cause
several problems including : 1) conversion of productive agricultural land into
residential; 2) the development of self-help housing (without proper planning) has
the risk of becoming slums because they have not met the basic infrastructure
(mainly MCK); 3) the identity of the community is not formed because the house
functions just as a place to stay, this causes a lack of interaction between human
beings and the interaction between human settlements; and 4) inefficiency of the
movement of people from home to work because of economic activity due to the
pull institutions concentrated in central urban residential areas.
Control measures that can be done is to define a planning instrument based
on indicators of sustainable settlements that are divided by physical and non-
physical aspects. Planning instruments based on research results is : 1) the physical
aspects (sustainability in environmental terms) is done with the consolidation of
land by zoning criteria land suitability and compliance arrangements of facility and
basic infrastructure according to the needs and scale of service; 2) non-physical
aspects (sustainability in terms of economic and social) is done with formulation

vii
efforts to establish their identity with increased public participation, increase the
intelligence community about living culture and establishment of new economic
institutions in the settlements (villages thematic program) to reduce dependence on
economic institutions at the center of urban settlements

Keyword: Settlements Characteristic, Sustainable Settlement, Urban Sprawl

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS...................................................................... i


LEMBAR KEASLIAN TESIS ............................................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................................. v
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 4
1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian ......................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5
1.4.1. Manfaat Teoritis ................................................................................. 5
1.4.2. Manfaat Praktis ................................................................................... 5
1.5. Ruang Lingkup ................................................................................................. 5
1.5.1. Ruang Lingkup Wilayah..................................................................... 5
1.5.2. Ruang Lingkup Pembahasan .............................................................. 6
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ................................................................................. 9
2.1. Definisi ........................................................................................................... 10
2.1.1. Perumahan dan Permukiman ............................................................ 10
2.1.2. Kota/Perkotaan ................................................................................. 11
2.2. Rumah (Di dalam Permukiman) Sebagai Kebutuhan Dasar Manusia ........... 13
2.3. Karakteristik Permukiman ............................................................................. 15
2.3.1. Karakteristik Permukiman Berdasarkan Sifatnya ............................ 16
2.3.2. Karakteristik Permukiman Berdasarkan Elemen Pembentuk........... 18
2.3.3. Karakteristik Permukiman Berdasarkan Unit Penyusun .................. 21
2.4. Morfologi Kota dan Pertumbuhan Permukiman ............................................ 24
2.5. Perkembangan Permukiman dalam Fenomena Urban Sprawl ...................... 28

xi
2.5.1. Karakteristik Urban Sprawl .............................................................. 29
2.5.2. Dampak Urban Sprawl ..................................................................... 31
2.6. Pedoman dan Standar Perencanaan Lingkungan Permukiman ...................... 32
2.6.1 Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya Berdasarkan Permen
PU no 41/PRT/M/2007 .............................................................................. 33
2.6.2 Pedoman Pemenuhan Sarana dan Prasarana Permukiman Berdasarkan
SNI 03-1733-2004 ...................................................................................... 33
2.7 Hubungan Karakteristik Permukiman dengan Konsep Pembangunan
Permukiman Berkelanjutan ............................................................................ 36
2.8 Indikator dan Konsep Pembangunan Permukiman Berkelanjutan .................. 36
2.8.1. Penelitian Terkait Pembangunan Permukiman Berkelanjutan .......... 36
2.9. Sintesa Kajian Pustaka.................................................................................... 47
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 51
3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ..................................................................... 51
3.2. Variabel Penelitian ......................................................................................... 52
3.3. Sumber Data dan Informasi ............................................................................ 52
3.4. Data Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ............................................. 55
3.5. Tahapan Penelitian ......................................................................................... 56
3.6. Teknik Analisa ................................................................................................ 57
3.6.1. Mengidentifikasi dan merumuskan karakteristik permukiman
(eksplorasi kualitatif). ....................................................................... 57
3.6.2. Menganalisa Faktor Dominan yang Mempengaruhi Perkembangan
Permukiman. ..................................................................................... 58
3.6.3. Merumuskan Konsep dan Strategi Pengendalian Perkembangan
Permukiman Di Wilayah Perkotaan Lumajang ................................ 69
3.7. Alur Pikir Proses Penelitian ............................................................................ 70
BAB 4 KARAKTERISTIK PERMUKIMAN ................................................... 73
4.1. Karakteristik Pembentuk Permukiman di Kawasan Perkotaan Lumajang ..... 73
4.1.1. Karakteristik Fisik. ............................................................................ 75
4.1.2. Karakteristik Non - fisik. .................................................................. 95
4.1.3. Analisa Karakteristik Permukiman. ................................................ 102

xii
BAB 5 PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DAN FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI .............................................................................. 107
5.1.Tahapan Perkembangan Permukiman ........................................................... 107
5.2. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Permukiman ............................. 114
5.3. Value Wilayah Terkait Tingkatan Indikasi Pertumbuhan Permukiman ...... 123
5.3.1. Kecenderungan Arah Pertumbuhan Permukiman. ......................... 118
5.3.2. Analisa Triangulasi sebagai Dasar Pemilihan Permukiman Paling
Cepat Tumbuh. ......................................................................................... 122
BAB 6 KONSEP DAN STRATEGI PENGENDALIAN
PERKEMBANGAN PERMUKIMAN .......................................... 127
6.1. Fenomena Urban Sprawl dan Dampak yang Terlihat pada Kawasan
Permukiman Terindikasi Cepat Tumbuh ................................................. 131
6.2 Konsep dan Strategi Pengendalian Karakteristik PermukimanBerdasarkan
Elemen Pembentuknya ................................................................................ 137
6.2. Pengendalian Pertumbuhan Permukiman Pada Desa Bondoyudo ............... 150
6.2.1. Pengendalian Aspek Fisik. ............................................................. 150
6.2.2. Pengendalian Aspek Non-Fisik. ..................................................... 164
6.2.3. Prioritas Penerapan Konsep Pengendalian. .................................... 166
BAB 7 KESIMPULAN ..................................................................................... 171
7.1. Kesimpulan Penelitian ................................................................................. 171
7.2. Saran ......................................................................................................... 178
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 179
LAMPIRAN
BIOGRAFI

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Bentuk Morfologi Kota ....................................................................... 25


Tabel 2.2 Pola Jalan yang Mempengaruhi Bentuk Morfologi Kota .................... 26
Tabel 2.3 Standar Pelayanan Minimal Sarana Permukiman ............................... 34
Tabel 2.4 Standar Pelayanan Minimal Prasarana Permukiman .......................... 35
Tabel 2.5 Matriks Perbedaan Penelitian Kini dengan Penelitian Terdahulu ....... 44
Tabel 2.6 Penelitian Tentang Permukiman Berkelanjutan yang Telah
Dilakukan ............................................................................................ 38
Tabel 2. 7 Sintesa Kajian Pustaka ....................................................................... 49
Tabel 3. 1 Variabel Penelitian ............................................................................. 52
Tabel 3. 2 Desain Survey..................................................................................... 56
Tabel 3. 3 Skala Preferensi dari Perbandingan Dua Kriteria ............................... 62
Tabel 3. 4 Matriks Pairwisw Comparison ........................................................... 66
Tabel 3. 5 Nilai Random Indeks .......................................................................... 64
Tabel 4. 1 Standar Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman ..................... 76
Tabel 4. 2 Data Kondisi Alam (Fisik Dasar) ....................................................... 76
Tabel 4. 3 Data Kondisi Rumah Di Kawasan Perkotaan Lumajang ................... 82
Tabel 4. 4 Data Jenis Rumah Di Kawasan Perkotaan Lumajang ........................ 83
Tabel 4. 5 Data Sebaran Jumlah Fasilitas Pendidikan Pada Wilayah Penelitian 86
Tabel 4. 6 Data Sebaran Jumlah Fasilitas Kesehatan Pada Wilayah Penelitian .. 86
Tabel 4. 7 Data Sebaran Jumlah Fasilitas Peribadatan Pada Wilayah Penelitian 87
Tabel 4. 8 Jumlah Penggunaan Air Bersih dan Sumbernya Pada Wilayah
Penelitian ............................................................................................. 89
Tabel 4. 9 Jumlah Penggunaan Listrik dan Sumbernya Pada Wilayah Penelitian90
Tabel 4.10 Rumah Tangga Fasilitas Tempat Buang Air Besar Per
Desa/Kelurahan ................................................................................. 93
Tabel 4.11 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Wilayah Penelitian ...................... 96
Tabel 4.12 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ............................ 96
Tabel 4.13 Pertumbuhan Jumlah Penduduk Tahun 2011 Hingga 2014 .............. 98
Tabel 4.14 Jumlah Keluarga Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan

xiv
Kecamatan ........................................................................................ 100
Tabel 4.15 Jumlah Sarana Perekonomian Dirinci Per-Kecamatan .................... 101
Tabel 4.16 Prosentase Penduduk 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha ............................................................................... 102
Tabel 4.17 Kondisi Karakteristik Permukiman ................................................. 103
Tabel 5. 1 Perkembangan Luasan Lahan Terbangun Guna Permukiman
Tahun 2006-2015 ............................................................................. 107
Tabel 5. 2 Nilai Kriteria Tingkat Pengaruh Variabel terhadap Pertumbuhan
Permukiman Tiap Kecamatan .......................................................... 115
Tabel 5. 3 Analisa Triangulasi Pemilihan Permukiman Paling Cepat Tumbuh 127
Tabel 6. 1 Ciri Fenomena Urban Sprawl pada Permukiman Desa Bondoyudo . 135
Tabel 6.2 Analisa Triangulasi Pemilihan Konsep dan Strategi Pengendalian
Perkembangan Permukiman ............................................................ 139
Tabel 6. 3 Konsep Pengendaliaan Masing-Masing Aspek ................................ 149
Tabel 6. 4 Luas Komposisi dan Peruntukan Lahan ........................................... 154
Tabel 6. 5 Luas dan Jumlah Kavling Perumahan............................................... 155
Tabel 6.6 Kebutuhan Sarana Pendidikan Maksimal .......................................... 155
Tabel 6. 7 Kebutuhan Sarana Kesehatan Maksimal .......................................... 156
Tabel 6. 8 Kebutuhan Sarana Peribadatan Maksimal ........................................ 156
Tabel 6. 9 Kebutuhan Sarana Perdagangan dan Jasa Maksimal ........................ 157
Tabel 6. 10 Kebutuhan Fasilitas Sosial Maksimal ............................................. 157
Tabel 6.11 Kebutuhan Infrastruktur Air Bersih Maksimal ................................ 159
Tabel 6.12 Kebutuhan Infrastruktur Listrik Maksimal ...................................... 160
Tabel 6.13 Kebutuhan Infrastruktur Pengolahan Limbah Maksimal ................. 161
Tabel 6.14 Kebutuhan Infrastruktur Persampahan Maksimal ........................... 161
Tabel 6.15 Tingkat Pengaruh Variabel dan Priotitas Pengendalian Aspek
Karakteristik Permukiman Pada Desa Bondoyudo .......................... 166
Tabel 7.1 Kondisi Karakteristik Elemen Permukiman ...................................... 159
Tabel 7.2 Konsep dan Strategi Pengendalian Pertumbuhan Permukiman Desa
Bondoyudo, Kecamatan Sukodono ................................................... 161

xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Elemen studi Ekistic ........................................................................ 21


Gambar 2. 2 Sustainable Development kaitannya dengan perumahan dan
permukiman ..................................................................................... 37
Gambar 3. 1 Peta Deliniasi Wilayah Studi (unit analisis) .................................... 54
Gambar 3. 2 Perkembangan Permukiman Olahan Citra Menggunakan GIS ....... 59
Gambar 3. 3 Struktur Hierarki Kriteria dalam AHP ............................................. 61
Gambar 3. 4 Ilustrasi Operasional Weighted Overlay .......................................... 66
Gambar 3. 5 Proses Overlay ................................................................................. 67
Gambar 3. 6 Alur Proses Penelitian...................................................................... 70
Gambar 4. 1 Peta Deliniasi Wilayah Penelitian ................................................... 76
Gambar 4. 2 Peta Kondisi Kelerengan Wilayah Penelitian .................................. 78
Gambar 4. 3 Gambaran Pemanfaatan Lahan Secara Umum ................................ 79
Gambar 4. 4 Perumahan Developer ...................................................................... 80
Gambar 4. 5 Perumahan Kampung....................................................................... 81
Gambar 4. 6 Rumah Non Permanen ..................................................................... 82
Gambar 4. 7 Model Rumah Arsitektur Lama Peninggalan Belanda .................... 83
Gambar 4. 8 Gambaran Tingkat Kepadatan Permukiman .................................... 84
Gambar 4. 9 Tata Guna Lahan Kecamatan Lumajang dan Sukodono ................. 88
Gambar 4.10 Deret Perjas Pada Permukiman Kecamatan Lumajang dan
Sukodono ......................................................................................... 88
Gambar 4.11 Peta Jaringan Air Bersih PDAM..................................................... 90
Gambar 4.12 Peta Jaringan Jalan .......................................................................... 91
Gambar 4.13 Peta Jaringan Persampahan............................................................. 93
Gambar 4.14 Peta Jaringan Telekomunikasi ........................................................ 94
Gambar 4.15 Prosentase Penduduk Di atas 10 Tahun Kabupaten Lumajang
Berdasarkan Pendidikan Tahun 2014 .............................................. 97
Gambar 4.16 Institusi Sosial Berupa Alun-alun Kota dan Stadion Pada

xvi
Wilayah Penelitian ........................................................................... 98
Gambar 4.17 Grafik Pertumbuhan Penduduk Wilayah Penelitian ....................... 99
Gambar 5. 1 Grafik Perkembangan Lahan Permukiman 2006-2015 Pada
Wilayah Penelitian ......................................................................... 108
Gambar 5. 2 Perkembangan Permukiman Tahun 2006 ...................................... 109
Gambar 5. 3 Perkembangan Permukiman Tahun 2010 ...................................... 110
Gambar 5. 4 Perkembangan Permukiman Tahun 2013 ...................................... 111
Gambar 5. 5 Perkembangan Permukiman Tahun 2015 ...................................... 112
Gambar 5. 6 Nilai TingkatanPengaruh Variabel terhadap Pertumbuhan
Permukiman Pada Wilayah Penelitian Keseluruhan ...................... 114
Gambar 5. 7 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Alam terhadap
Pertumbuhan Permukiman ............................................................. 117
Gambar 5. 8 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Sosial Masyarakat Terhadap
Pertumbuhan Permukiman ............................................................. 118
Gambar 5. 9 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Ekonomi Terhadap
Pertumbuhan Permukiman ............................................................. 119
Gambar 5.10 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Budaya Masyarakat
Terhadap Pertumbuhan Permukiman ............................................. 120
Gambar 5.11 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Rumah/Perumahan
Terhadap Pertumbuhan Permukiman ............................................. 121
Gambar 5.12 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Infrastuktur Terhadap
Pertumbuhan Permukiman ............................................................. 122
Gambar 5.13 Analisa Value Wilayah Terkait Tingkat Kecepatan
Pertumbuhan Permukiman ............................................................. 124
Gambar 5.14 Posisi Administrasi Wilayah Kecamatan Sukodono dan Tekung
yang Diapit Pusat Aktivitas Permukiman Perkotaan Lain ............. 125
Gambar 6. 1 Pola Perkembangan Permukiman Kecamatan Sukodono .............. 131
Gambar 6. 2 Dokumentasi Kondisi Permukiman Kecamatan Sukodono ........... 132
Gambar 6. 3 Dokumentasi Kondisi Alih Fungsi Lahan Produktif Menjadi
Permukiman di Kecamatan Sukodono ........................................... 133
Gambar 6. 4 Kesenjangan Kondisi Antara Permukiman Formal dan Informal .. 133
Gambar 6. 5 Periode Perkembangan Permukiman Desa Bondoyudo ................. 134

xvii
Gambar 6. 6 Peta Kriteria Kesesuaian Lahan .................................................... 151
Gambar 6. 7 Peta Kesesuaian Lahan Guna Permukiman Kecamatan
Sukodono ...................................................................................... 152
Gambar 6. 8 Peta Lokasi Permukiman Eksisting dan Kesesuaian Lahan Guna
Permukiman .................................................................................. 153
Gambar 6. 9 Lokasi Ideal Penempatan Sarana fasilitas..................................... 158
Gambar 6.10. Pemenuhan Infrastruktur Jalan Sebagai Pembetuk Aksesibilitas
Antar Titik Permukiman. .............................................................. 162
Gambar 6.11. Model Geometri Jalan Pada Desa Bondoyudo ........................... 163
Gambar 6.10. Konsep Pemenuhan Infrastruktur Jaringan Dasar Permukiman . 164
Gambar 7.1 Konsep dan Strategi Pengendalian Aspek Fisik Pada Desa
Bondoyudo (1) .............................................................................. 176
Gambar 7.2 Konsep dan Strategi Pengendalian Aspek Fisik Pada Desa
Bondoyudo (2) .............................................................................. 177

xviii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam lingkup kota, banyak ditemukan perkembangan permukiman yang
tidak terkendali dan tanpa adanya proses perencanaan. Fenomena perkembangan
permukiman seperti ini disebut dengan urban sprawl (Salvatia, 2012). Urban
sprawl banyak memberikan andil dalam penurunan kualitas permukiman karena
kebanyakan permukiman yang tumbuh akibat urban sprawl ini tidak terlayani
infrastruktur secara effisien, mengurangi daerah resapan, peningkatan polusi
(tanah, air, dan udara) dan merupakan awal mula dari terbentuknya daerah kumuh
jika perkembangan terus dibiarkan tanpa adanya proses perencanaan yang benar
(Moitra, 1991).
Sebagai contoh fenomena urban sprawl terjadi pada permukiman
metropolitan Indonesia seperti Jabodetabek dan Bandung dimana perkembangan
cenderung mengarah pada daerah peri urban. Wilayah peri urban Jabodetabek,
khususnya di Kabupaten Tangerang banyak berkembang perumahan skala besar.
Total terdapat ± 60 developer yang memiliki aset pembangunan perumahan.
Kawasan pinggiran kota Bandung seperti Kecamatan Parongpong, Lembang,
Cimenyan, Cilengkrang, Cileunyi, Bojongsoang, Dayeuhkolot, Margahayu dan
Margaasih juga terdapat 51 pembangunan perumahan formal baru dengan 93 izin
lokasi dan luas konversi sebesar 2.382,13 Ha (Septanaya, 2012). Akibat dari
pembangunan daerah peri – urban ini terjadi banyak permasalahan kota dari segi
fisik, ekonomi, dan sosial seperti kemacetan akibat tidak effisiennya mobilitas
menuju tempat kerja, polusi (air, tanah, udara) berkurangnya lahan subur untuk
pertanian akibat konversi lahan, timbulnya permukiman kumuh, dll (Hakim, 2010).
Dalam lingkup provinsi Jawa Timur juga terdapat contoh fenomena urban
sprawl seperti misalnya wilayah Kota Gresik dan Kabupaten Sidoarjo yang
merupakan daerah peri urban dari Kota Surabaya. Fenomena urban sprawl di
wialyah Kota gresik dan Kabupaten Sidoarjo merupakan imbas dari perluasan
aktivitas kehidupan kota Surabaya yang menyebabkan perluasan kawasan

1
permukiman dan industri yang tidak diikuti oleh desentralisalisasi pusat
kegiatan/tempat kerja secara proporsional Akibat dari kondisi ini adalah terjadinya
kemacetan menuju pusat kegiatan kota Surabaya dari arah kota Gresik dan Sidoarjo
(sebagian besar pekerja kota Surabaya tinggal di Gresik dan Sidoarjo), kesenjangan
pembangunan infrastruktur, serta pembangunan yang tidak terencana (Serlin 2013
dan Pridaningrum 2014).
Penerapan strategi dan kebijakan yang tepat perlu dilakukan guna
mengendalikan perkembangan permukiman ini untuk mengantisipasi urban sprawl
dan mencegah timbulnya perkembangan permukiman yang tidak terencana dalam
sebuah kota (Sharifia, 2014). Fungsi kendali dapat dilakukan dengan pemahaman
komprehensif terhadap kondisi karakteristik permukiman eksisting maupun yang
diprediksi akan berkembang dalam sebuah wilayah (Pyla, 1991).
Pemahaman karakteristik permukiman dapat dilakukan dengan melihat
aspek pembentuk sebuah permukiman. Aspek pembentuk permukiman ini menurut
Doxiadis (1976) harus dipahami komprehensif dalam satu frame besar yaitu “total
settlements patterns”. Doxiadis dalam teorinya mengenai permukiman yang
kemudian disebut teori Ekistic, mempelajari permukiman dalam skema klasifikasi
dua arah. Klasifikasi pertama berkaitan dengan hierarki permukiman berdasarkan
skala sedangkan klasifikasi kedua berkaitan dengan elemen dari permukiman, yaitu
nature, anthropos, society, shells, networks (Doxiadis, 1976). Dalam proses
pengendalian perkembangan permukiman, selain pemahaman terhadap
karakteristik permukiman, juga perlu diperhatikan dimensi waktu dalam proses
pemahaman permukiman yaitu sejarah dan perkiraan bagaimana permukiman
tersebut dimasa mendatang (Quaterly, 1963).
Dalam ilmu arsitektural, teori Ekistic oleh Doxiadis telah banyak
berkembang dan merupakan dasar terbentuknya pemahaman teori/konsep
pembangunan permukiman berkelanjutan seperti New Urbanism, Compact City,
Eco City, Neotraditional Development, maupun Urban Containment. Konsep -
konsep pembangunan berkelanjutan ini merupakan dasar tindak lanjut yang
digunakan pada proses penyusunan konsep dan strategi pengendalian
perkembangan permukiman setelah karakteristik permukiman dapat dipahami.
Secara garis besar, teori pembangunan berkelanjutan yang dimaksud disini adalah

2
membahas mengenai bagaimana konsep pembangunan permukiman yang harus
dilakukan guna membentuk lingkungan permukiman yang sustainable.
Lumajang adalah salah satu wilayah di Jawa Timur yang mengalami proses
perkembangan wilayah dari pedesaan menjadi wilayah perkotaan ditandai dengan
bertambahnya wilayah terbangun akibat konversi lahan pertanian menjadi
permukiman (Surabaya.net). Konversi lahan yang terjadi ini berada pada wilayah
sekitar pusat perkotaan (Peri-Urban) yang sifatnya menyebar dan hanya dalam
skala perumahan cluster kecil (unit rumah hanya sedikit). Terhitung dari dua hingga
tiga tahun terakhir terdapat beberapa perumahan baru yang ada di sekitar jalur jalan
nasional (jalan raya Wonorejo) penghubung Kabupaten Lumajang dengan Kota
Probolinggo serta jalur jalan baru yaitu Jalur Lintas Timur penghubung Kabupaten
Lumajang dengan Kota Jember. Pembangunan perumahan baru ini terindikasi
mengkonversi lahan pertanian yang seharusnya tidak dirubah menjadi lahan
terbangun karena merupakan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
Mahalnya harga tanah di pusat perkotaan Lumajang menyebabkan kecenderungan
pengembang lebih memilih membeli tanah yang sedikit jauh dari pusat kota guna
mendapatkan harga lahan yang lebih terjangkau. Sayangnya kondisi tersebut justru
berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan
pembangunan serta ketetapan penataan ruang.
Pembatasan perubahan lahan sebenarnya sudah dilakukan dengan adanya
penetapan perda nomor 2 tahun 2013 mengenai tata ruang dan penetapan lahan
pertanian abadi berdasarkan ketetapan LP2B (Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan) namun belum ada dampak signifikan terkait upaya kontrol
perubahan fungsi lahan ini. Kendala utama yang ditemui adalah terkait status lahan
yang kebanyakan adalah lahan pribadi dimana kewenangan utama (untuk
mengkonversi atau tidak) adalah tetap pada pemilik lahan (Nielsen, 2010).
Permukiman perkotaan Lumajang menjadi wilayah studi yang tepat dalam
merepresentasikan penerapan pengendalian perkembangan permukiman
berdasarkan pemahaman karakteristk pembentuk permukiman dan konsep
sustainable settlement sebagai upaya pemecahan permasalahan yang terjadi. Hal
tersebut dikarenakan perkotaan Lumajang merupakan wilayah yang baru
berkembang dan terlihat dampak/pengaruh dari perkembangannya. Bukan tidak

3
mungkin jika perkembangan tersebut tidak segera diantisipasi maka akan
menyebabkan permasalahan dimasa mendatang seperti yang terjadi pada kota –
kota besar di Indonesia (Jabodetabek dan Bandung). Dalam rangka pengendalian
perkembangan permukiman perkotaan tersebut perlu adanya perumusan konsep
dan strategi yang tepat berdasarkan pemahaman menyeluruh mengenai proses
pertumbuhan permukiman dengan melihat karakteristiknya, serta apa faktor
penyebab dari perkembangan permukiman tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat diketahui
bahwa wilayah perkotaan Lumajang adalah salah satu wilayah berkembang dimana
terdapat indikasi fenomena urban sprawl yang berpotensi menyebabkan
permasalahan permukiman di masa mendatang. Urban sprawl disini terjadi akibat
adanya konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun terutama peruntukan
perumahan. Perlu adanya fungsi pengendalian terhadap proses perkembangan
permukiman ini guna mengantisipasi dampak – dampak buruk yang akan terjadi.
Upaya dalam proses fungsi pengendalian ini dilakukan dengan pemahaman
karakteristik pembentuk permukiman dan penerapan teori pembangunan
berkelanjutan guna penyusunan konsep pengendaian pertumbuhan permukiman.
Berkaitan dengan hal tersebut, pertanyaan penelitian dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana karakteristik permukiman di kawasan perkotaan Lumajang


berdasarkan elemen pembentuknya?
2. Faktor apa yang mempengaruhi perkembangan permukiman di kawasan
perkotaan Lumajang berdasarkan karakteristik permukimannya?
3. Bagaimana konsep dan strategi yang tepat guna pengendalian perkembangan
permukiman di wilayah perkotaan Lumajang berdasarkan pemahaman
sustainable settlement dengan melihat karakteristiknya?

1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah merumuskan konsep dan strategi yang tepat
guna pengendalian perkembangan permukiman di wilayah perkotaan Lumajang
berdasarkan pemahaman karakteristik permukiman yang ada dan penerapan konsep

4
sustainable settlement. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui beberapa tahapan
sasaran penelitian. Adapun sasaran dari penelitian adalah :

1 Mengidentifikasi dan merumuskan karakteristik permukiman berdasarkan


elemen pembentuk permukiman.
2 Menganalisa Faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan permukiman
di kawasan perkotaan Lumajang berdasarkan karakteristik permukiman
3 Merumuskan konsep dan strategi yang tepat guna pengendalian perkembangan
permukiman di wilayah perkotaan Lumajang (berdasarkan pemahaman
sustainable settlement dan karakteristiknya)

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan peran pemikiran atau
kontribusi bagi ilmu pengetahuan dalam pengembangan teori-teori terkait
perkembangan permukiman dalam lingkup wilayah serta konsep pengendalian
perkembangan perumahan dan permukiman di perkotaan sebagai dampak dari
adanya fenomena urban sprawl. Kontribusi keilmuan dalam bidang ilmu tata ruang,
arsitek terutama ilmu permukiman dengan kaitannya terhadap teori pengembangan
permukiman seperti New Urbanism, Compact City, Eco City, Neotraditional
Development, maupun Urban Containment yang berfokus pada sustainability
development.

1.4.2 Manfaat Praktis


Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pertimbangan dan arahan bagi
Pemerintah Kabupaten Lumajang maupun stakeholder lain dalam menentukan
kebijakan rencana tata ruang guna merumuskan konsep pengembangan perumahan
dan permukiman di wilayah perkotaan Lumajang.

1.5 Ruang Lingkup


1.5.1 Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah dalam penelitian ini secara umum adalah wilayah
perkotaan Lumajang yaitu Kecamatan Lumajang sebagai ibukota Kabupaten dan
wilayah sekitarnya yang terkena dampak dari perkembangan kawasan permukiman

5
perkotaan. Secara administrasi wilayah perkotaan Kabupaten Lumajang adalah
Kecamatan Lumajang sedangkan wilayah yang terkena dampak perkembangan
wilayah perkotaan yaitu Kecamatan Padang, Sukodono, Sumbersuko, dan Tekung.
Sedangkan secara khusus adalah wilayah kecamatan yang terindikasi
mengalami pertumbuhan permukiman secara pesat akibat pengaruh dari faktor
dominan pembentuk permukiman pada wilayah penelitian (hasil dari analisa).
Perumusan konsep dan strategi pengendalian secara khusus dirumuskan bagi
wilayah yang terindikasi memiliki tingkat pertumbuhan lebih cepat dibandingkan
wilayah lain ini.

1.5.2 Ruang Lingkup Pembahasan


Penelitian ini mencakup pembahasan terkait pemahaman fenomena
perkembangan permukiman. Pemahaman dilakukan dengan identifikasi faktor
dominan yang berpengaruh terhadap perkembangan permukiman dilihat dari
karakteristik permukiman berdasarkan elemen pembentuk permukiman secara fisik
dan non fisik. Ketika faktor dominan sudah diketahui maka dilakukan identifikasi
daerah permukiman yang memiliki indikasi paling cepat tumbuh terpengaruh oleh
faktor tersebut. Upaya pengendalian dilakukan pada wilayah terindikasi cepat
tumbuh dengan merumuskan konsep dan strategi pengendalian mengacu pada
pemahaman konsep – konsep pembangunan permukiman berkelanjutan yang
merujuk pada pembahasan pada bab selanjutnya (kajian teori konsep dan indikator
permukiman berkelanjutan) serta pedoman standar pembentukan lingkungan
permukiman yang baik. Adapun batasan penelitian yang diacu pada proses
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Pemahaman karakteristik permukiman mengacu pada elemen pembentuk
permukiman secara fisik dan non fisik (alam, rumah/perumahan, jaringan,
manusia, dan masyarakat)
2. Pembahasan permasalahan permukiman dilihat berdasarkan kaitan antara
fenomena urban sprawl dengan pembentukan permukiman yang berkelanjutan.
3. Konsep dan strategi pengendalian mengacu pada indikator dan konsep – konsep
yang relevan berkaitan dengan karakteristik permukiman serta permasalahan
yang ada pada wilayah penelitian. Indikator dan konsep yang diacu adalah

6
indikator permukiman berkelanjutan menurut UN Habitat dan konsep bentuk
permukiman kota berkelanjutan Neotradional Development, New Urbanism,
Urban containment, Compact city, dan Eco-city.
4. Penerapan konsep dan strategi pengendalian dirumuskan dalam bentuk
perencanaan yang diberlakukan pada kawasan permukiman cepat tumbuh
berdasarkan hasil analisa.

7
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

8
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

Perkembangan wilayah merupakan salah satu faktor penting yang perlu


diperhatikan dalam kaitannya dengan perumahan dan permukiman. Perkembangan
perumahan dan permukiman dan perkembangan wilayah memiliki hubungan saling
mempengaruhi. Pengembangan permukiman yang terjadi menuntut adanya
penyediaan lahan lebih sehingga terjadi perubahan peruntukan lahan yang
menyebabkan ekspansi pertumbuhan wilayah dari wilayah pusat perkotaan menuju
wilayah pinggiran. Perubahan peruntukan lahan wilayah pinggiran ini disebut
“invasion” dan merupakan awal dari terjadinya urban sprawl (Yunus, 2010).
Fenomena urban sprawl ini menjadi urgensi dalam penelitian karena proses urban
sprawl ini memberikan dampak terhadap kondisi lingkungan permukiman terutama
terkait agenda pembangunan berkelanjutan (dalam beberapa kasus, fenomena
urban sprawl merupakan indikasi awal terbentuknya permukiman kumuh).
Fenomena urban sprawl akan membentuk ekspresi ruang kota dan
berpengaruh terhadap morfologi permukiman yang merepresentasikan identitas
atau karakteristik sebuah wilayah (Herbert, dalam Yunus 2010). Pemahaman
mengenai karakteristik permukiman menjadi penting untuk dipahami karena
karakteristik berpengaruh terhadap tren perkembangan permukiman yang akan
terjadi. Ketika tren perkembangan permukiman dapat dipahami, upaya
pengendalian perkembangan dapat dilakukan. Dalam tahapan pemahaman
karakteristik maka harus dipahami elemen pembentuk sebuah permukiman sesara
komprehensif. Pemahaman terkait karakteristik permukiman melalui kajian elemen
pembentuk permukiman kemudian menjadi dasar dalam pengambilan keputusan
terkait penentuan konsep dan strategi pengenalian yang tepat guna memberikan
perlakuan tertentu pada sebuah permukiman.
Pada kajian pustaka ini akan dibahas mengenai dasar – dasar teori yang
menjadi acuan dalam penelitian. Teori yang dibahasa adalah terkait pemahaman
mengenai pengertian perumahan dan permukiman, standar pembentukan
lingkungan yang baik, karakteristik permukiman berdasarkan sifat, elemen, dan

9
unit pembentuknya, teori mengenai perkembangan permukiman kaitannya dengan
urban sprawl dan indikator/konsep pembangunan berkelanjutan.

2.1 Definisi
2.1.1 Perumahan dan Permukiman
Permukiman adalah satuan kawasan perumahan lengkap dengan prasarana
lingkungan, prasarana umum, dan fasilitas sosial yang mengandung keterpaduan
kepentingan dan keselarasan pemanfaatan sebagai lingkungan hidup. Permukiman
tersebut juga memberikan ruang gerak, sumber daya, dan pelayanan bagi
peningkatan mutu kehidupan serta kecerdasan warga penghuni yang berfungsi
sebagai ajang kegiatan serta kecerdasan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi
(Soedarsono, 1986). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan mengenai definisi perumahan
dan permukiman. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari
permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan
prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang
layak huni. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas
lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas
umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau
kawasan perdesaan. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup
diluar kawasan lindung, baik yang merupakan kawasan perkotaan maupun
perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Permukiman pada dasarnya merupakan suatu bagian wilayah tempat
dimana penduduk (pemukim) tinggal, berkiprah dalam kegiatan kerja dan kegiatan
usaha, berhubungan dengan sesama pemukim sebagai suatu masyarakat serta
memenuhi kebutuhannya. Dalam Kamus Tata Ruang (1997) Dijelaskan bahwa
permukiman merupakan kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan
fungsi utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana, sarana
lingkungan dan tempat kerja yang memberikan pelayanan dan kesempatan kerja
terbatas untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan, sehingga fungsi
permukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dalam pembangunan

10
perumahan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, perlu dipertimbangkan
aspek-aspek lain dalam pembangunannya. Pembangunan tersebut tidak hanya
berhenti sampai membangun perumahan saja, tetapi juga ditujukan pada
pembangunan permukiman. Sifat dan karakter suatu permukiman biasanya juga
lebih kompleks, karena permukiman mencakup suatu batasan wilayah yang lebih
luas dibandingkan dengan luas dan ruang lingkup perumahan (Sastra dan Marlina,
2006).
Berdasarkan uraian diatas perumahan dan permukiman adalah suatu
kawasan lengkap dimana didalamnya terdapat prasarana lingkungan, prasarana
umum dan fasilitas sosial. Dalam lingkungan permukiman terdapat beberapa unsur
yang mempengaruhi yaitu geologi, topografi, hidrologi, tanah, iklim, fauna dan
vegetasi; serta kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.

2.1.2 Kota/Perkotaan
Dilihat dari sejarahnya, (Bintarto, 1983) kota pada hakikatnya lahir dan
berkembang dari suatu wilayah perdesaan. Akibat adanya pertumbuhan penduduk
yang diikuti meningkatnya berbagai kebutuhan (sandang, pangan, papan) dan
pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi manusia, maka tumbuh permukiman-
permukiman baru. Selanjutnya akan diikuti oleh pengembangan fasilitas-fasilitas
sosial ekonomi seperti pasar, pertokoan, sekolah, rumah sakit, perkantoran,
terminal, jalan raya,tempat hiburan dan sebagainya sehingga terbentuklah wilayah
kota. Oleh karena lengkapnya fasilitas yang ada di kota, maka kota merupakan daya
tarik bagi penduduk desa untuk pergi ke kota, bahkan banyak berpindah dari desa
dan menetap di wilayah kota. Kota dapat dipandang sebagai suatu wilayah di
permukaan bumi yang sebagian wilayahnya terdiri atas benda-benda hasil rekayasa
dan budaya manusia, serta pemusatan penduduk yang tinggi dengan mata
pencaharian di luar sektor pertanian. Dengan demikian kota dicirikan oleh adanya
prasarana perkotaan seperti,bangunan yang tinggi, pusat perbelanjaan, rumah sakit,
pusat pendidikan dan sebagainya.
Bintarto (1983) dari segi geografi, kota dapat diartikan sebagai suatu sistem
jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi,
strata sosial ekonomi yang heterogen,dan coraknya yang materialistis. Dengan kata

11
lain kota merupakan bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan
nonalami dengan gejala pemusatan penduduk yang besar, dengan corak kehidupan
yang heterogen dan materialistis dibandingkan daerah belakangnya. Secara
universal, kota merupakan suatu “area urban” yang berbeda dengan desa atau
kampung baik berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan dan
status hukumnya.
Kota dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah penduduk, tahap
perkembangan serta fungsi kota. Berdasarkan jumlah penduduknya, di Indonesia
kota dapat dibedakan atas :
 Kota kecil : 20.000 - < 100.0000 orang
 Kota sedang : 50.000 - < 500.000 orang
 Kota besar : 500.000 - < 1000.000 orang
 Kota metropolis : 1000.000- 5.000.000 orang
 Kota megapolitan : lebih dari 5.000.000 orang
sedangkan untuk klasifikasi kota berdasarkan tahap perkembangannya, Lewis
Mumford dalam Rahardjo (1982:1) mengklasifikasi kota berdasarkan tingkat
perkembangannya sebagai berikut:
1. Tahap neopolis, yaitu suatu wilayah yang berkembang dan sudah diatur ke
kehidupan kota;
2. Tahap polis, kota yang masih memiliki ciri kehidupan agraris,sebagai pusat
keagamaan dan pemerintahan;
3. Tahap metropolis, yaitu kota besar, kota induk yang perekonomiannya sudah
mengarah ke sektor industri;
4. Tahap megalopolis, wilayah perkotaan yang terdiri atas beberapa kota
metropolis yang berdekatan lokasinya sehingga membentuk jalur perkotaan
yang sangat besar dan telah mencapai tingkat tertinggi;
5. Tahap tiranopolis, kota yang sudah mengalami kemerosotan moral dan akhlak
manusianya, diliputi oleh kerawanan sosial dan sulit dikendalikan, misalnya
angka kriminalitas yang tinggi, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan;

12
6. Tahap nekropolis, kota yang kehidupannya mulai sepi, menuju kearah
keruntuhan, bahkan berkembang menjadi kota mati, kota yang sudah mengalami
kehancuran peradabannya.

2.2 Rumah (Didalam Permukiman) Sebagai Kebutuhan Dasar Manusia


Sejalan dengan perkembangan jaman, rumah memiliki fungsi yang berbeda-
beda sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu. Terdapat
tiga fungsi utama yang terkandung dalam sebuah rumah sebagai tempat bermukim
(Turner, 1972) antara lain:
1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga yang diwujudkan pada kualitas
hunian atau perlindungan yang diberikan rumah. Kebutuhan akan tempat tinggal
dimaksudkan agar penghuni dapat memilih tempat berlindung guna melindungi
keluarganya dari iklim setempat.
2. Rumah sebagai tempat penunjang kesempatan keluarga untuk berkembang dalam
kehidupan sosial budaya dan ekonomi atau fungsi pengembangan keluarga.
Fungsi ini diwujudkan dalam lokasi tempat rumah itu didirikan. Kebutuhan
berupa akses diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan
ke tempat kerja.
3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya keadaan keluarga
dimasa depan setelah mendapat rumah, jaminan keamanan atas lingkungan
perumahan yang ditempati, serta jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah
dan lahan.
Dari fungsi utama rumah sebagai tempat bermukim, menurut Silas (1985)
permukiman yang baik dan tertata akan tercipta apabila memenuhi kriteria ideal
untuk aspek fisik dan non fisik. Aspek fisik meliputi letak geografis, lingkungan
alam, dan binaan; sedangkan aspek non fisik meliputi sosial, ekonomi, budaya, dan
psikologis (rasa aman, senang, tentram dan adanya harapan-harapan). Teori ini
menjadi salah satu pembentuk faktor, yang berpengaruh dalam konsep
pengembangan permukiman, dari aspek fisik dan non fisik.
Sedangkan berdasarkan tingkat kebutuhan, tingkatan kebutuhan manusia
terhadap hunian berdasarkan Maslow dalam Sastra, (2006) dapat dikategorikan
sebagai berikut :

13
1. Survival needs
Tingkat kebutuhan yang paling dasar ini merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi pertama kali. Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana untuk
menunjang keselamatan kehidupan manusia. Kebutuhan untuk dapat selamat
berarti manusia menghuni bangunan rumah agar dapat selamat dan tetap hidup,
terlindung dari gangguan iklim maupun makhluk yang lain.
2. Safety and security needs
Kebutuhan terhadap keselamatan dan keamanan yang pada tingkat berikutnya
ini terkait dengan keselamatan dari kecelakaan, keutuhan anggota badan serta
hak milik. Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana perlindungan untuk
keselamatan anggota badan dan hak milik tersebut.
3. Affliation needs
Pada tingkat ini hunian merupakan sarana agar dapat diakui sebagai anggota
dalam golongan tertentu. Hunian ini berperan sebagai identitas seseorang untuk
diakui dalam golongan masyarakat.
4. Esteem needs
Kebutuhan berikutnya terkait dengan aspek psikologis. Manusia butuh dihargai
dan diakui eksistensinya. Terkait dengan hal ini hunian merupakan sarana untuk
mendapatkan pengakuan atas jati dirinya dari masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Pada tingkatan ini, rumah sudah bukan tergolong kebutuhan primer
lagi, tetapi sudah meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi yang harus
dipenuhi setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Rumah yang mewah, bagus, dapat
memberikan kebanggaan dan kepuasan kepada pemilik rumah tersebut.
5. Cognitive and aesthatetic needs
Tingkatan yang paling tinggi dari kebutuhan manusia ini terkait dengan aspek
psikologis, seperti halnya esteem need. Hanya saja pada level ini hunian tidak
saja merupakan sarana peningkatan kebanggaan dan jati diri tetapi juga agar
dapat dinikmati keindahannya. Pada tingkatan ini, produk hunian tidak hanya
sekedar untuk digunakan tetapi juga dapat memberi dampak kenikmatan
(misalnya dinikmati secara visual) pada lingkungan sekitarnya.

14
2.3 Karakteristik Permukiman
Pemahaman mengenai karakteristik permukiman dalam penelitian ini
secara garis besar mengacu pada beberapa sumber yakni Turner terkait karakteristik
permukiman berdasarkan sifat dan Doxiadis terkait karakteristik permukiman
dilihat dari elemen pembentuk dan unitnya. Teori mengenai karakteristik
permukiman yang dikemukakan oleh Doxiadis (1976) dikenal sebagai teori ekistic.
Dalam penelitian ini, dasar teori ekistic menjadi garis besar acuan yang digunakan
guna memahami karakteristik permukiman berdasarkan elemen pembentuknya.
Pemilihan dasar teori ekistic sebagai garis besar acuan teori dalam memahami
karakteristik permukiman dalam penelitian ini dikarenakan penjelasan mengenai
pemahaman karakteristik permukiman berdasarkan sudut pandang teori ini sangat
komprehensif membahas keseluruhan aspek. Menurut Doxiadis (1976), guna
memahami permukiman perlu dilihat melalui kacamatan total settlements patterns
(keseluruhan aspek) dalam skema klasifikasi dua arah. Klasifikasi pertama
berkaitan dengan hierarki permukiman berdasarkan skala. Sedangkan klasifikasi
kedua berkaitan dengan elemen umum dari permukiman, yaitu nature, anthropos,
society, shells, networks.
Ekistis adalah istilah Yunani yang dipakai untuk menjelaskan pengetahuan
mengenai permukiman. Istilah permukiman dipakai sebagai padanan kata Human
Settlements. Jadi, permukiman diartikan sebagai tempat manusia hidup dan
berkehidupan. Namun, secara etimologis, ekistic mempunyai arti yang lebih luas
dari sekedar permukiman. Di dalamnya termasuk pengertian mengenai hubungan
manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat dan manusia dengan alam.
Ekistic dikembangkan dengan memperhatikan dan menganalogikan
permukiman dengan biologi. Doxiadis mengatakan :

“There can be no doubt, I think, that human settlements are very


complex biological individuals. Human settlements can be neither
cells nor bodies nor organisms. We are, therefore, entitled to
consider them as biological individuals of a higher order than cells
or organisms"
Jadi permukiman berdasarkan analogi yang dikembangkan oleh Doxiadis
dapat diumpamakan sebagai makhluk hidup yang memiliki bagian tubuh sebagai
pembentuk. Ketika salah satu bagian tubuh tidak berfungsi dengan baik maka hal

15
tersebut akan berpengaruh pada bagian yang lain. Secara fisik misalnya berkaitan
dengan bangunan dan ketersediaan infrastruktur, jika bagian fisik ini tidak dipenuhi
dengan baik tentu kualitas lingkungan yang terbentuk juga tidak akan baik pula dan
berujung pada banyak indikator kualitas hidup masyarakat yang tidak tercapai.
Dalam upaya pengendalian pertumbuhan permukiman, teori ekistic ini dapat
digunakan sebagai cara (tools) melihat sebuah permukiman dengan kacamata yang
tepat dan mendalam. Beberapa hal yang disebutkan Doxiadis mengenai bagian
penyusun permukiman disebut dengan elemen ekistic (yang dianalogikan sebagai
bagian tubuh organisme) sedangkan ukuran dari permukiman (dianalogikan
sebagai besaran organisme) disebut dengan unit ekistic.
Meski demikian, Doxiadis juga menekankan pada kekuatan lain yang
membentuk suatu permukiman, seperti kekuatan sosial, kekuatan ekonomi,
kekuatan politik, ideologi dan lainnya.

2.3.1 Karakteristik Permukiman Berdasarkan Sifatnya


Menurut Turner (1976) dalam bukunya Housing By People, terdapat 2 jenis
permukiman berdasarkan sifatnya yaitu permukiman formal dan informal.
Permukiman formal adalah permukiman yang dibangun oleh sektor formal
mengacu pada pembangunan perumahan yang dibangun berdasarkan beberapa
peraturan pembangunan dan melalui prosedur legal. Sedangkan permukiman
informal adalah permukiman yang dibangun oleh sektor informal mengacu pada
pembangunan tanpa melalui peraturan membangun dan tanpa melalui prosedur
legal.
Sistem produksi dan pengadaan permukiman formal dibagi dua sistem
pengadaan, yaitu: 1) pertama, perumahan yang diproduksi oleh pemerintah
umumnya tidak ada motivasi mencari keuntungan; dan 2) kedua, perumahan yang
diproduksi oleh perusahaan swasta/pengembang swasta adalah penyedia
perumahan dengan motivasi mencari keuntungan. Karakteristik dari permukiman
formal adalah terencana dan teratur menurut standard formal.
Sedangkan permukiman informal menurut Turner (1976) adalah
permukiman yang dibangun tidak melalui mekanisme formal, namun lebih atas
dasar kemauan dan kemampuan masyarakat dan lazimnya hanya bangunan rumah

16
sederhana. Aktor utama pembentukan permukiman informal ini adalah individu,
rumah tangga, atau masyarakat. Karakteristik permukiman adalah bersifat
tradisional, tak teratur, dan tanpa adanya campur tangan otoritas lain. Contoh
permukiman informal di Indonesia misalnya kampong. Pengertian Kampung kota
(permukiman informal) ini merupakan penjabaran dari karakteristik unik kawasan
permukiman di Indonesia berdasarkan lokasi geografi wilayah yang tidak
ditemukan pada kota-kota di negara lain. Secara umum kampung kota (permukiman
informal) memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, bersifat tradisional,
berkembang tidak terencana, serta kurangnya sarana dan prasarana.
Menurut Amos Rapoport (1969) permukiman tradisional (informal)
memiliki wujud fisiknya yang sangat besar kaitannya dengan budaya, dimana ciri-
cirinya adalah:
1. Di dalamnya terdapat hubungan/kaitan antara berbagai elemen dan juga sifat dan
elemen-elemen tersebut, termasuk antara lingkungan binaan dengan lingkungan
alami.
2. Mempunyai ciri dan karakteristik yang khas, umumnya mengandung budaya
yang spesifik.
3. Tidak dirancang oleh seorang perancang. Perancangan merupakan suatu konsep
yang lebih luas yang merupakan perwujudan dan keputusan-keputusan dan
pilihan-pilihan manusia, sebuah pilihan diantara berbagai alternatif yang
memungkinkan.
4. Terdapat sifat-sifat spesifik dan pilihan-pilihan tersebut yaitu didasarkan atas
hukum yang berlaku, merefleksikan budaya pada kelompoknya.
5. Merupakan sistem pilihan dan gaya hidup, meliputi pilihan-pilihan bagaimana
menentukan material, waktu dan sumber-sumber simbolik.
6. Bentang budaya misalnya permukiman adalah merupakan sebuah produk dan
sistem pilihan tersebut.
7. Konservasi-preservasi dan bentang budaya yang merupakan suatu tingkatan dan
kualitas lingkungan. Konservasi dan prisip-prinsip dalam bentang budaya
tradisional dapat diterapkan dalam rancangan yang baru.
8. Kualitas lingkungan, yang menyangkut persepsi (terkait dengan psikologi, sosio
kultur) dan standar (terkait dengan studi fisik dan lingkungan).

17
2.3.2 Karakteristik Permukiman Berdasarkan Elemen Pembentuk
Permukiman adalah tempat manusia hidup dan berkehidupan. Oleh
karenanya, suatu permukiman terdiri atas isi (the content) yaitu manusia dan tempat
fisik manusia tinggal (the container) yang meliputi elemen alam dan buatan
manusia. Dalam pengertian ini, Doxiadis dalam teori ekistic menyebutkan bahwa
terdapat lima elemen utama pembentuk permukiman yang disebut sebagai elemen
Ekistic. Penjelasan mengenai Lima elemen tersebut adalah sebagai berikut :

1. Alam
Alam adalah elemen pertama dari lima elemen yang membentuk
permukiman. Permukiman adalah hasil adaptasi dari alam. Struktur dan model
permukiman selalu mengikuti karakteristik alam yang ada disekitarnya. Jadi dapat
dikatakan bahwa permukiman adalah bagian dari alam. Alam sebagai bagian
pembentuk permukiman dapat dilihat dari bagian dasar alam yang membentuk
permkiman sebagai sebuah sebuah sistem. Bagian dasar alam yang dimaksud disini
adalah : tanah, air, udara, iklim, tumbuhan dan binatang.

- Tanah
Tanah adalah bagian dasar struktur pembentuk permukiman. Tanpa adanya tanah
yang baik maka sebuah rumah tidak dapat berdiri atau jalan tidak dapat dibangun.
- Air
Air adalah bagian terpenting yang keberadaannya berdampingan dengan tanah.
tanpa air maka sebuah permukiman tidak dapat berfungsi karena air adalah
kebutuhan dasar manusia yang menempati permukiman
- Udara
Udara adalah kebutuhan dasar manusia. Sebuah pembangunan permukiman harus
memperhatikan kondisi udara sebagai elemen penting.
- Iklim
Iklim menentukan cara adaptasi manusia dalam sebuah permukiman.
Menentukan kebutuhan dasar apa saja yang harus disediakan permukiman bagi
manusia yang hidup didalamnya.
- Tumbuhan dan binatang

18
Keberadaan tumbuhan dan binatang mempengaruhi keberadaan manusia dalam
sebuah permukiman karena merupakan kebutuhan bahan pangan yang harus
tersedia bagi manusia yang hidup dalam sebuah sistem permukiman
Enam bagian dari alam ini harus diperhatikan dalam pembentukan sebuah
sistem permukiman, karena jenis bagian dari alam tersebut menentukan bagaimana
tipe kehidupan manusia yang ada di dalamnya.

“ Any sistematic study of human settlements must start with an


analysis of nature and all its parts : water, air, climate, flora, and
fauna, and their interrelationships. Without such a beginning there
is no hope of proceeding successfully.” Doxiadis

2. Manusia
Elemen kedua dari permukiman adalah manusia. Manusia merupakan
elemen kedua setelah alam dikarenakan manusia cenderung beradaptasi dan
berkembang mengikuti alam dan membentuk serta bepengaruh terhadap ketiga
elemen lainnya yaitu masyarakat (society), shells, dan jejaring (networks). Terdapat
berbagai macam sudut pandang dalam pengertian manusia sebagai elemen
pembentuk permukiman. Sudut pandang manusia sebagai elemen pembentuk
permukiman merupakan gabungan dari bagian manusia seperti fisik (badan),
indera, pikiran, dan kejiwaan yang berhubungan dengan ruang.
Tolak ukur paling mudah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
hubungan manusia dengan ruang adalah dengan melihat umur, jumlah populasi, dan
pertumbuhan manusia yang ada di dalamnya. Kebutuhan ruang permukiman
dengan masyarakat mayoritas keluarga muda yang memiliki banyak anak tentu
berbeda dengan kebutuhan ruang permukiman dengan mayoritas masyarakat yang
sudah tua. Permukiman dengan populasi yang tinggi membutuhkan ruang lebih
daripada permukiman dengan populasi sedikit. Mengenai petumbuhan, cepat atau
lambatnya pertumbuhan manusia juga mempengaruhi jumlah perumahan dan
perkembangan permukiman yang mempengaruhi ruang.

3. Masyarakat (Society)
Masyarakat adalah sebuah sistem utuh, baik itu tampak maupun tidak
(culture), yang membentuk pola hubungan antar manusia dalam sebuah ruang.
Sistem masyarakat memiliki berbagai tipe misalnya dari segi pendapatan, agama,

19
atau kewarganegaraan. Untuk memahami masyarakat sebagai elemen dari
permukiman maka sudut pandang yang digunakan adalah bagaimana caranya
melihat hubungan keseluruhan dari elemen permukiman yang dibahas dalam ekistic
(alam, shells, dan jaringan).
Kualitas masyarakat sangat berpengaruh pada keberadaan permukiman.
Semakin baik kualitas masyarakat maka akan baik permukiman yang terbentuk dan
begitu pula sebaliknya jika kualitas masyarakat sebuah permukiman buruk maka
permukiman yang terbentuk akan menjadi rendah kualitasnya. Tolak ukur kualitas
ini dapat dilihat dari bagaimana sebuah ruang mampu mengakomodir seluruh
kebutuhan dan jaringan yang terbentuk guna menghubungkan manusia yang
berinteraksi di dalamnya. Karena pada dasarnya, permukiman terbentuk guna
memaksimalkan hubungan antar manusia (masyarakat). Maka dari itu permukiman
dengan kualitas masyarakat yang baik memiliki proporsi ruang yang baik guna
pembangunan fasilitas – fasilitas meeting poin. Misalnya taman, cafe kopi, restoran,
dll.
4. Rumah/Perumahan (Shells)
Rumah/perumahan adalah suatu struktur yang di dalamnya manusia dapat
hidup dan berkehidupan sesuai fungsinya. Struktur yang dimaksud disini adalah
standar pembentuk yang mengatur mengenai keberadaan pendukung permukiman
sebagai pembentuk pemukiman secara utuh. Bagian pembentuk Shells dibedakan
berdasarkan kategori, kategori pertama adalah rumah dan perbelanjaan (yang harus
ada), sedang kategori kedua adalah berupa fasilitas seperti pendidikan, kesehatan,
pemerintahan, keamanan, dll.
Secara sederhana, shells adalah kelompok rumah yang terorganisir dan
terhubung satu sama lain. Pemenuhan kebutuhan akan fasilitas dalam sebuah
permukiman harus melihat skala pelayanan dari masing – masing kelompok rumah
ini. Jumlah fasilitas kesehatan dan pendidikan misalnya harus disesuaikan dengan
skala pelayanan dengan melihat jumlah shells yang dilayani.

5. Jaringan (network)
Jaringan adalah media penghubung baik yang alamiah maupun yang buatan
yang memfasilitasi berfungsinya suatu permukiman. Ada berbagai macam jaringan,

20
dari yang digunakan sebagai sarana pergerakan manusia hingga sebagai media
penyampaian pesan. Berikut adalah tipe jaringan dalam permukiman :
 Jaringan perpindahan manusia alamiah (bukan jaringan jalan yang terbangun)
 Jaringan Transportasi manusia di darat, air, dan udara
 Jaringan perpindahan barang (liquid and solid)
 Jaringan perpindahan energi atau pesan
Pelayanan jaringan tidak dapat ditentukan tanpa melihat kepuasan pengguna
jaringan. Pembangunan jaringan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
karakteristik permukiman yang ada.

Kelima elemen itu bekerja bersama dalam suatu permukiman. Argumentasi


Doxiadis mengenai perlunya ilmu yang khusus mempelajari permukiman adalah
karena selama ini ilmu ilmu yang bersentuhan dengan permukiman masih terpisah-
pisah. Termasuk di dalamnya: ilmu ekonomi, imu-ilmu sosial, politik, teknik dan
kebudayaan. Ilmu-ilmu ini menjelaskan lima elemen utama ekistik tersebut di atas
secara parsial. Ekistics menawarkan kombinasi dari ilmu-ilmu tersebut menjadi
kesatuan pemikiran, sehingga dikatakan Ekistics adalah ilmu mengenai
permukiman, bukan mengenai manusia, alam, jejaring, shell ataupun society.
Secara diagramatis digambarkan dalam bentuk diagram pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Elemen Studi Ekistic

2.3.3 Karakteristik Permukiman Berdasarkan Unit Penyusun


Karakteristik permukiman berdasarkan unit penyusun adalah pengertian
permukiman dilihat dari unit bagian penyusun permukiman dari yang terkecil
(temporary human settlement) hingga berkembang menjadi yang paling besar

21
(international sistem). Berikut adalah penjabaran dari masing – masing unit
permukiman :.

1. Permukiman Non Permanen (Temporari Human Settlement)


Kebanyakan manusia dalam sebuah permukiman di masa kini menetap secara
permanen dalam sebuah sistem masyarakat permukiman. temporary human
settlement, adalah permukiman non permanen yang tidak memiliki shells atau
jaringan yang tetap/permanen. Permukiman ini digunakan dalam periode singkat
dari satu malam atau beberapa bulan. Biasanya jenis permukiman ini digunakan
oleh pekerja yang hanya bekerja disuatu tempat secara musiman.
2. Pedesaan (Villages)
Pedesaan adalah sebuah permukiman dimana masyarakat yang ada didalamnya
sebagian besar memiliki mata pencaharian/bergerak dibidang agriculture
(pengolah hasil alam). Besaran populasi pedesaan kecil adalah 100 – 750 orang
dan pedesaan 750 – 5000 orang. Pedesaan biasanya tidak banyak terdiri dari
daerah terbangun namun masih pada kondisi alam yang terjaga. Dalam ekistic,
pemahaman mengenai perkembangan permukiman pedesaan harus dengan
melihat potensi – potensi elemen ekistic yang lain terutama shells dan jaringan.
Shells dan jaringan ini sangat mempengaruhi kepuasan masyarakat yang
menempati permukiman pedesaan, bagaimana jaringan dapat menghubungkan
satu desa ke desa yang lain serta shells yang menentukan kualitas dari
masyarakat dalam permukiman tersebut.
3. Kota (Polises)
Kota adalah perkembangan dari permukiman pedesaan dimana masyarakat
didalamnya sudah tidak bergerak di bidang agrikultur tapi lebih pada bidang
industri pengolahan dengan teknologi modern. Besaran populasi perkotaan kecil
adalah 5000 – 30.000 orang dan perkotaan 30.000 – 200.000 orang. Berbeda
dengan pedesaan, permukiman perkotaan sudah lebih terbangun dan merupakan
pusat (wilayah nodal) dari pedesaan – pedesaan yang ada di sekitarnya. Dalam
ekistic, fungsi dari kota adalah sebagai pemenuhan kebutuhan pedesaan yang
tidak dapat dipenuhi internal permukiman desa.

22
4. Metropolises
Metropolises adalah permukiman dengan jumlah populasi minimum 200.000
hingga maksimal 10 juta penduduk. Dalam permukiman jenis ini manusia di
dalamnya bekerja di berbagai bidang. Tidak seperti permukiman perkotaan
mempengaruhi kawasan pedesaan yang berada disekitarnya, permukiman
metropolis memiliki pengaruh yang lebih besar dan tidak terbatas tergantung dari
aktivitas manusia yang ada di dalamnya serta sejauh mana jaringan transportasi
menghubungkan wilayah satu dengan wilayah yang lainnya.
5. Megalopolises
Megalopolis adalah permukiman dengan populasi minimal 10 juta dan maksimal
500 juta penduduk. Belum ada jenis permukiman megalopolis yang terbentuk
hingga saat ini. Namun dengan ekistic maka pembelajaran mengenai perkiraan
perkembangan permukiman megalopolis dapat diketahui sehingga kemungkinan
– kemungkinan dampak buruk yang akan terjadi dapat diantisipasi.
Secara garis besar, megalopolis adalah sistem perkotaan yang menghubungkan
beberapa perkotaan metropolis dengan potensi dan sistem yang lebih kompleks.
6. Sistem Nasional
Sistem nasional adalah sebuah sistem yang mengatur permukiman dari unit
terkecil dari pedesaan hingga megalopolis. Pola yang terbentuk hampir sama
dengan pola hubungan antara kota (nodal) dan pedesaan. Sistem nasional juga
mengatur keterkaitan hubungan antar permukiman nasional satu dengan yang
lain berdasarkan adanya jaringan nasional dan wilayah pusat (nodal poin).
7. Sistem International
Hingga kini masih belum ada sistem internasional mengenai permukiman. Akan
tetapi pembelajaran mengenai sistem internasional harus dilakukan guna
mengantisispasi perkembangan permukiman di masa depan. Karena bukan tidak
mungkin jika di masa depan akan dibutuhkan sistem internasional yang
mengatur mengenai hubungan ekonomi, sosial, atau budaya antar permukiman
nasional. Tujuan dari sistem internasional adalah untuk mengantisispasi tumbuh
kembang permukiman yang semakin cepat dan besar seiring dengan
perkembangan teknologi. Pada masa kini, dengan teknologi yang ada manusia
dapat berpindah antar wilayah teritori Negara dalam waktu yang singkat.

23
Koneksi antar Negara sudah terbentuk dengan mudah dari segi ekonomi, sosial,
dan budaya.

2.4 Morfologi Kota dan Pertumbuhan Permukiman


Secara harfiah, morfologi berarti ilmu tentang bentuk. Dalam kontek
perkotaan, morfologi adalah studi mengenai form dan shape dari lingkungan
permukiman. Form berarti bentuk yang dapat diamati dan merupakan konfigurasi
dari beberapa objek, sementara shape adalah fitur geometrik atau bentuk eksternal
dan outline dari sebuah benda. Lingkungan permukiman menjadi kata kunci yang
penting, karena dalam ilmu perencanaan dan perancangan kota disebutkan bahwa
peradaban dimulai dari kegiatan bermukim. Kompleksitas dalam pertumbuhan
permukiman kemudian membentuk unit-unit lingkungan yang lebih besar yaitu
kota. Jadi lingkungan kota tidak akan dapat dipisahkan dari lingkungan
permukiman (Pontoh, 2009). Jadi dapat disimpulkan bahwa pembangunan sebuah
kota yang baik harus dimulai dengan perencanaan kawasan permukiman yang baik
pula. Jika kontrol pertumbuhan permukiman dapat dilakukan dengan perlakuan –
perlakuan tertentu maka pembentukan sebuah wilayah perkotaan akan berjalan
secara baik dan memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan.
Pengetahuan mengenai morfologi dapat membantu menangani masalah
mengenai ketepatan (constancy) dan perubahan (change) dalam perancangan kota
serta membantu menentukan pedoman-pedoman dasar untuk menentukan sebuah
perancangan lingkungan kota yang konkret sesuai tekstur konteksnya. Pendekatan
morfologi kota merupakan salah satu pendekatan yang berkaitan langsung dengan
aspek penggunaan lahan kekotaan maupun kedesaan yang menyoroti eksistensi
keruangan pada bentuk-bentuk wujud dari ciri-ciri atau karakteristiknya, (Yunus,
H. Sabari 1999:107, dalam Nia K Pontoh 2009). Beberapa ahli mencoba untuk
menunjukkan berbagai variasi ekspresi keruangan dari morfologi kota antara lain,
bentuk bujur sangkar (Nelson 1908, dalam Nia K Pontoh 2009), bentuk empat
persegi panjang, bentuk kipas, bentuk bulat (Nelson 1908, dalam Nia K Pontoh
2009), bentuk pita, bentuk gurita, bentuk tidak berpola (Northam 1975, dalam Nia
K Pontoh 2009). Beberapa bentuk ekspresi keruangan dapat dilihat pada
rangkuman tabel Tabel 2.1.

24
Tabel 2.1 Bentuk Morfologi Kota
GAMBAR BENTUK URAIAN
BENTUK KOTA KOMPAK
Bujur sangkar Kota berbentuk bujur sangkar menunjukkan adanya
kesempatan perluasan kota ke segala arah yang relatif
seimbang dan kendala fisikal relatif tidak begitu
berarti. Hanya saja adanya jalur transportasi pada
sisi-sisi memungkinkan terjadinya percepatan
pertumbuhan areal kota pada arah jalur tersebut
Empat Persegi Panjang Dengan melihat bentuk ini mengesankan bahwa
dimensi memanjang sedikit lebih besar daripada
dimensi melebar. Hal ini dimungkinkan karena
adanya hambatanhambatan pada salah satu sisinya.
Hambatanhambatan tersebut berupa lereng yang
terjal, perairan, gurun pasir, hutan.
Bentuk Kipas Bentuk semacam ini sebenarnya merupakan bentuk
sebagian lingkaran. Dalam hal ini kea rah luar
lingkaran kota mempunyai kesempatan berkembang
yang relative seimbang namun dibeberapa bagian
atau sisinya akan mengalami hambatan berupa
hambatan alami sepeti perairan, pegunungan dan
hambatan artificial berupa saluran buatan, zoning,
ring roads.
Bentuk bulat Bentuk kota seperti ini merupakan bentuk yang
paling ideal daripada suatu kota,karena kesempatan
perkembangan areal kearah luar dapat dikatakan
seimbang. Jarak dari pusat kota kea rah bagian
luarnya sama dan tidak ada kendala-kendala fisik
yang berarti pada pada sisi-sisi luar kotanya.

Bentuk Pita Bentuk ini sebenarnya mirip dengan bentuk empat


persegi panjang namun karena dimensi
memanjangnya jauh lebih besar dari pada dimensi
melebar, maka dimensi ini menempati klasifikasi
tersendiri dan menggambarkan bentuk pita. Jelas
terlihat nahwa peranan jalur memanjang sangat
dominan dalam mempengaruhi perkembangan areal
kekotaannya, serta terhambatnya perluasan areal ke
samping. Biasanya bentuk semacam ini berada pada
sepanjang lembah pegunungan atau sepanjang jalur
transportasi darat utama.
Bentuk Gurita Peran jalur transportasi pada bentuk ini sangat
dominan sebagaimana bentuk pita, namun pada
bentuk gurita jalur transportasi tidak hanya satu jalur
saja tetapi terdapat beberapa jalur ke luar kota. Hal ini
bias terjadi menerus apabila tdk ada hambatan yang
berarti pada jalur tersebut.
BENTUK KOTA TIDAK KOMPAK
Fragment Cities (terpecah) bentuk awalnya adalah bentuk kompak namun dalam
skala yang kecil,dan akhirnya saling menyatu dan

25
membentuk kota yang besar. Bentuk ini berkembang,
namun perluasan areal kota tidak langsung menyatu
dengan kota induk (membentuk enclaves) pada
daerah-daerah pertanian di disekitarnya. Pada negara
berkembang, enclaves merupakan permukiman-
permukiman yang berubah dari sifat pedesaan
menjadi perkotaan.
Chained Cities (berantai) bentuk ini terpecah namun hanya terjadi di sepanjang
rute tertentu. Jarak antara kota induk dan
kenampakan-kenampakan kota baru tidak terlalu
jauh, maka beberapa bagian membentuk kesatuan
fungsional yang sama (khususnya dibidang
ekonomi). Bentuk ini juga bisa disebut Ribbon City
dengan skala yang besar.
Split Cities (terbelah) bentuk ini menggambarkan bentuk kota yang kompak
namun sektor terbelah oleh perairan yang lebar. Pada
perpotongan ini biasanya dihubingkan oleh
kapal/jembatan. Contoh kota yang menerapkan
bentuk ini adalah kota Buda (barat) dan Pest (timur)
di sungai Danube, sehingga dikenal sebagai kota
Budapest.

Stellar Cities (satelit) bentuk kota ini biasanya didukung oleh teknologi
transportasi yang maju dan juga komunikasi yang
maju. Karena modernisasi maka terciptalah
megapolitan kota besar, yang dikelilingi oleh kota
satelit.

Sumber : Yunus 2000 dalam Pontoh (2009)

Sedangkan unsur pembentuk morfologi kota yang paling mempengaruhi


adalah pola jalan (Yunus, dalam Pontoh, 2009). Dimana terdapat 3 (tiga) tipe sistem
pola jalan yang dikenal yakni: (1) sistem pola jalan tidak teratur (irrengular sistem);
(2) sistem pola jalan radial konsentris (radial concentric sistem); (3) sistem pola
jalan bersudut siku atau grid (rectangular or grid sistem).

Tabel 2.2 Pola Jalan Yang Mempengaruhi Bentuk Morfologi Kota

POLA JALAN KETERANGAN


Adanya ketidakteraturan sistem jalan, baik
ditinjau dari segi lebar maupun arah jalannya.
Ketidakteraturan ini terlihat dari pola jalannya
yang melingkar lingkar, lebarnya bervariasi
dengan cabang-cabang 'culdesac' yang banyak.
Kondisi topografi kota yang tidak datar juga
mempengaruhi terbentuknya sistem pola jalan
seperti ini.

26
Sistem pola jalan tidak teratur
(irregular sistem)
Terdapat ciri-ciri yaitu pola jalan konsentris,
artinya terdapat pemusatan area pada jaringan
jalan. Selain itu terdapat sistem yang berpola
radial dengan jalan yang melingkar lingkar, dari
pusat hingga ke pinggiran. Pada bagian pusat
sistem pola jalan merupakan daerah kegiatan
utama dan sekaligus tempat penahanan terakhir
dari suatu kekuasaan. Daerah pusat dapat berupa
pasar, kompleks perbentengan, ataupun kompleks
Sistem pola jalan radial konsentris bangunan peribadatan.
(radial concentric sistem)

Kota terbagi sedemikian rupa menjadi blok-blok


empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang
paralel longitudinal dan transversal membentuk
sudut siku-siku. Sistem ini memudahkan dalam
pengembangan kota sehingga kota akan nampak
teratur dengan mengikuti pola yang telah
terbentuk.
Sistem pola jalan bersudut siku atau
grid (the rectangular or grid sistem)
Sumber : Yunus dalam Pontoh (2009)

Pertumbuhan dan perkembangan kota dapat dipahami dengan melakukan


pengamatan pada komponen - komponen morfologi. Secara fungsional dan
ekonomi, pertumbuhan kawasan dipengaruhi oleh guna lahan, bangunan, plot dan
jaringan jalan. Kawasan perkotaan terbetuk dari sistem aktivitas yang secara
kompleks dihubungkan oleh jaringan pergerakan. Interaksi antara kedua sistem ini,
sistem aktivitas dan sistem pergerakan, membuat kawasan perkotaan memiliki nilai
ekonomi atau nilai properti yang distribusinya sangat dipengaruhi oleh karakteristik
fisik alamiah dan keterdukungan kedua sistem tersebut. Pertumbuhan kota dapat
diamati secara geografis dibantu oleh ilmu peta (kartografi). Dengan
mempergunakan peta, sebaran potensi fisik alamiah dan buatan dapat dengan
mudah diobservasi dan dianalisis. Guna lahan, kepadatan bangunan, ukuran dan
penguasaan lahan serta jaringan jalan dapat dipetakan dan dijelaskan secara logis
hubungannya satu sama lain.
Pengetahuan dan pengamatan morfologi kota dianggap penting dalam
menunjang penelitian karena dengan menganalisa wilayah studi berdasarkan tipe

27
morfologi kota maka akan dapat diketahui tren perkembangan permukiman
berdasarkan skala waktu tertentu.

2.5 Perkembangan Permukiman dalam Fenomena Urban Sprawl


Menurut definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata urban
didefinisikan sebagai sebuah kota, sedangkan kata sprawl diartikan sebagai pergi,
datang, atau tersebar secara irregular (acak). Urban sprawl atau perkembangan
yang tidak terkontrol (un-planned area), dikenal sebagai peristiwa maupun
fenomena terjadinya pemekaran kota yang secara acak, tidak terstruktur, tanpa
diawali dengan sebuah rencana. Yaitu merupakan bentuk pertambahan luas kota
secara fisik, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan semakin tingginya
arus urbanisasi. Peristiwa pertumbuhan keluar area kota inipun semakin meluas,
hingga mencapai area perdesaan, yaitu area yang awalnya memiliki jumlah
populasi yang lebih rendah dibanding kota.
Memang dinamika pertumbuhan wilayah perkotaan dan peningkatan
kebutuhan lahan adalah suatu rangkaian yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, terutama di daerah perkotaan, serta
bertambah banyaknya tuntutan kebutuhan masyarakat akan lahan, seringkali
mengakibatkan timbulnya benturan kepentingan atas penggunaan sebidang lahan
bagi berbagai penggunaan tertentu. Menurut Zahnd (1999) kehidupan kota sudah
lebih disamakan dengan ekologi kota yang melibatkan tiga pokok yang
hubungannya sangat erat yakni dinamika secara ekonomi, politis dan budaya kota.
Sementara perencanaan suatu kota tidak bisa lepas dari aspek tata ruang, dimana
tata ruang adalah wujud pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun
tidak. Penggunaan lahan pada suatu kota memiliki pola tertentu (morfologi) dan
pola perkembangannya dapat diestimasikan dengan menganalisa tren
perkembangan berdasarkan morfologinya. Bentuk fisik kota, seperti topografi,
drainase, meskipun tampak tidak beraturan, namun jika dilihat secara seksama
memiliki keteraturan pola tertentu (Habibi, 2011).
Dalam perkembangannya, sering terjadi panggunaan lahan yang sebetulnya
tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal semacam ini, bila tidak segera diatasi akan
mengakibatkan terjadinya degradasi lahan di masa depan (Farida, 2011). Perluasan

28
areal untuk permukiman dan perumahan mengakibatkan terjadinya perubahan
lingkungan alam yang semua berfungsi sebagai area penyerapan air menjadi
lingkungan buatan yang menolak resapan air. Kontradiksi antara perlunya
perumahan dan permukiman dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan upaya pelestarian lingkungan ibarat dua mata uang yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya, perencanaan
penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh manusia, aktivitas, dan lokasi dimana
hubungan antar ke tiganya sangat berkaitan, sehingga dapat dianggap sebagai siklus
perubahan penggunaan lahan.
Siklus perubahan penggunaan lahan dari tidak terbangun menjadi terbangun
dengan tidak melalui proses yang terencana inilah awal mula penyebab Urban
sprawl terutama terkait perilaku manusia dalam pemenuhannya terhadap rumah
atau bermukim. Ruswurm, 1980 dalam Yunus (2010), mengatakan bahwa, faktor-
faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pinggiran kota yakni: 1)
Pertumbuhan penduduk; 2) persaingan memperoleh lahan; 3) hak-hak kepemilikan;
4) kegiatan “developers”; 5) perencanaan; 6) perkembangan teknologi; 7)
lingkungan fisik. Dari peristiwa perkembangan sebuah kota dapat dilihat bahwa
banyak terjadi perubahan baik secara fisik maupun non fisik. Maka dari itu
perencanaan perumahan dan permukiman haruslah dilakukan secara terencana dan
matang dengan memeperhatikan kriteria permukiman yang baik sehingga dapat
mewujudkan sebuah pembangunan yang berkelanjutan.

2.5.1 Karakteristik urban sprawl


Berdasarkan prosesnya, terdapat 3 jenis macam karakteristik fenomena
urban sprawl dilihat dari proses perluasan wilayah terbangun (Yunus, 2010) : 1)
proses perembetan konsentris yang dicirikan dengan perembetan merata ke semua
bagian wilayah terbangun yang sudah ada dan sifatnya lambat; 2) perembetan
memanjang (ribbon development) dicirikan dengan perembetan mengikuti jaringan
transortasi yang sudah ada; dan 3) perembetan yang meloncat (leap frog
development/checker-board development) dicirikan dengan perembetan yang tidak
teratur. Dari ketiga jenis proses fenomena terbentuknya urban sprawl, perembetan
secara melompat adalah tipe yang paling tidak effisien.

29
Untuk karakteristik permukiman hasil dari proses fenomena urban sprawl
menurut Morris, 2005 dalam Polidoro (2011) dapat dicirikan menjadi beberapa
karakteristik diantaranya :
1. Single-use zoning
Keadaan ini menunjukkan situasi dimana kawasan komersial, perumahan dan
area industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai
konsekuensinya, bidang besar tanah digunakan sebagai penggunaan lahan
tunggal yang saling terpisahkan, antara ruang terbuka, infrastruktur atau
hambatan lainnya. Sebagai hasilnya, lokasi dimana masyarakat yang tinggal,
bekerja, berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh..
2. Kepadatan permukiman yang rendah.
Wilayah permukiman akibat fenomena urban sprawl tumbuh sebagai dampak
dari pemekaran wilayah pusat permukiman perkotaan. Secara swadaya
pembangunan kawasan permukiman terjadi. Pertimbangan utama masyarakat
dalam membangun permukiman adalah dikarenakan motif ekonomi
(kemampuan mengakses rumah) serta kemudahan akses menuju pusat
perkotaan. Akhirnya secara lokasi permukiman yang tumbuh akibat fenomena
urban sprawl cenderung berlokasi dekat dengan jalan
3. Tidak tercapainya pembangunan permukiman yang memenuhi standar
Pertumbuhan permukiman dilakukan secara swadaya dan kebanyakan oleh
masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah kebawah maka pertimbangan
mengenai pemenuhan infrastruktur dasar bukan menjadi opsi utama
4. Transportasi umum yang tidak memadai
5. Ketergantungan terhadap moda kendaraan pribadi
Area yang mengalami Urban sprawl biasa dikenali dengan tingkat penggunaan
mobil yang tinggi sebagai alat transportasi. Kebanyakan aktivitas disana, seperti
berbelanja pergi bekerja, membutuhkan mobil sebagai akibat dari isolasi area
antara zona perumahan dengan kawasan industri dan kawasan komersial.
Berjalan kaki dan metode transit lainnya tidak cocok untuk digunakan, karena
banyak dari area ini yang hanya memiliki sedikit bahkan tidak sama sekali area
yang dikhususkan bagi pejalan kaki.

30
6. Kawasan permukiman tidak ramah bagi pejalan kaki karena jarak dari satu
simpul aktivitas dengan aktivitas yang lain berjauhan.
7. Kemacetan lalu-lintas pada waktu tertentu sebagai dampak dari mobilitas yang
tidak effisien.
Dengan dasar bentuk permukiman kota yang terpisah – pisah maka simpul
aktivitas juga terpisah. Kondisi ini menyebabkan mobilitas yang tidak effisien,
disisi transportasi publik pada beberapa studi kasus di negara berkembang dinilai
tidak memecahkan permasalahan mobilitas karena tidak mampu mengakses
keseluruhan simpul aktivitas. Akibat dari kondisi ini maka banyak terjadi
tumpukan kendaraan moda pribadi pada jalur – jalur jalan utama penghubung
kawasan perumahan dan kawasan aktivitas perekonomian.

2.5.2 Dampak urban sprawl


Sebagai bagian dari fenomena perkembangan wilayah, urban sprawl
memiliki dampak. Secara positif, urban sprawl terjadi akibat dari migrasi penduduk
yang menyebabkan pertambahan penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk
meningkatkan kepadatan pada sebuah wilayah yang menyebabkan potensi
berkembangnya wilayah (terutama pinggiran kota) dan jika dimanajemen dengan
baik akan meningkatkan perekonomian wilayah akibat aktivitas yang dilakukan
oleh penduduk.
Selain dampak positif fenomena urban sprawl nyatanya memiliki dampak
negatif. Dampak negative urban sprawl jika dikaitakan dengan aspek pilar
pembangunan berkelanjutan adalah :
1. Dampak terhadap lingkungan menurut Wilson (2013)
 Polusi udara dan tidak effisiennya penggunaan energi
Pemekaran wilayah akibat ekspansi daerah terbangun keluar pusat aktivitas
menuntut adanya pergerakan manusia dari wilayah pinggiran menuju pusat.
Pergerakan yang tidak diimbangi dengan perencanaan transportasi massal yang
baik mengakibatkan tingginya penggunaan moda pribadi. Penggunaan moda
pribadi ini banyak menyumbangkan emisi gas buangan yang akhirnya
menyebabkan polusi udara dan tidak effisiennya penggunaan energi.
Penggunaan lahan

31
Urban sprawl yang terjadi pada banyak negara berkembang menyebabkan
berkurangnya lahan subur guna pertanian, ruang terbuka, dan terganggunya
ekosistem akibat alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan adalah isu utama yang
diakibatkan oleh urban sprawl. Fungsi pengendalian yang lemah oleh
pemerintah banyak menyebabkan gagalnya perencanaan pembangunan yang
berdampak pada alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
 Ketersediaan air
Pembangunan yang massive berkaitan dengan kondisi air tanah. Urban sprawl
yang banyak mengkonversi lahan produktif berdampak pada berkurangnya
ketersediaan air tanah.
2. Dampak terhadap kondisi sosial masyarakat menurut Polidoro (2011)
Beberapa wilayah yang tumbuh pada daerah yang teridentifikasi merupakan
dampak dari urban sprawl adalah terbentuknya permukiman kumuh. Adanya
kawasan kumuh (slum) akibat dari perkembangan permukiman yang tidak
terencana dan minim akan pemenuhan terhadap infrastruktur dasar
menyebabkan adanya kesenjangan sosial.
3. Dampak terhadap aspek perekonomian menurut Wassmer (2002)
“Urban sprawl generates more private and social costs than it
does private and social benefits”
Urban sprawl menyebabkan proses pada aktivitas ekonomi menjadi tidak
effisien. Pusat aktivitas kegiatan manusia yang jauh dari tempat tinggal
menyebabkan timbul biaya mobilitas untuk mengakses tempat kerja.
Pembangunan infrastruktur yang menyebar menyebabkan tambahan biaya guna
akomodasi pemenuhan infrastruktur.

2.6 Pedoman dan Standar Perencanaan Lingkungan Permukiman


Pengetahuan mengenai standar perencanaan dan pembentukan permukiman
yang baik diperlukan sebagai acuan dalam pewujudan antisipasi terhadap
pertumbuhan permukiman yang tidak terkendali. Upaya pemenuhan kebutuhan
sarana dan prasarana dasar diperlukan agar pertumbuhan permukiman yang terjadi
dapat membentuk kualitas permukiman dan masyarakat yang baik. Beberapa
pedoman dan standar yang perlu diperhatikan pada proses pengembangan

32
permukiman dijelaskan oleh beberapa instrument yang dibuat oleh pemerintah
diantaranya adalah pedoman kriteria teknis kawasan budidaya pada Permen PU no
41/PRT/M/2007 dan SNI 03-1733-2004.

2.6.1 Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya Berdasarkan Permen


PU no 41/PRT/M/2007
Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan. Permukiman adalah adalah salah satu bagian
dari kawasan budi daya dimana berdasarkan standar yang telah ditentuan,
karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan yang harus dipenuhi adalah :

1) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%);


2) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara
dengan jumlah yang cukup.
3) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi);
4) Drainase baik sampai sedang;
5) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata
air/saluran pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan;
6) Tidak berada pada kawasan lindung;
7) Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga;
8) Menghindari sawah irigasi teknis.
9) Tekstur tanah halus hingga agak kasar
Kawasan permukiman dianggap tidak memenuhi syarat yang baik jika
berada pada kriteria lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik yang ditetapkan
pada pedoman. Ketentuan yang ditetapkan oleh kementrian pekerjaan umum diatas
merupakan salah satu instrument dasar yang dapat menjadi acuan dalam proses
perencanaan dan pengendalian perkembangan permukiman.

2.6.2 Pedoman Pemenuhan Sarana dan Prasarana Permukiman


Berdasarkan SNI 03-1733-2004
SNI 03-1733-2004 mengatur mengenai Tata cara perencanaan lingkungan
perumahan di perkotaan yang memuat uraian detail prinsip-prinsip perencanaan

33
lingkungan perumahan di perkotaan. SNI 03-1733-2004 menyebutkan bahwa
kawasan lingkungan permukiman sekurang – kurangnya terdiri dari komposisi
penggunaan lahan 50 % untuk permukiman, 25 % untuk jaringan jalan, dan 25 %
untuk fasilitas umum dan komersial. Beberapa kriteria pemenuhan kebutuhan
sarana dan prasarana permukiman juga diatur dengan standar yang dijabarkan pada
tabel 2.3 dan tabel 2.4.

Tabel 2.3 Standar Pelayanan Minimal Sarana Permukiman


No Jenis sarana Cakupan Standar pelayanan
pelayanan Radius Kriteria lokasi
(penduduk) pencapaian (m2)
1. Sarana  TK : 1250  TK : 500  TK dan SD : Di tengah
Pendidikan  SD : 1600  SD : 1000 permukiman. Tidak
 SMP, SMA :  SMP : 1000 Menyeberang jalan raya.
4800  SMA : 3000 Bergabung dengan taman
sehingga terjadi
pengelompokan kegiatan.
 SMP dan SMA : Dapat
dijangkau kendaraan
umum, dekat lapangan olah
raga, dan tidak selalu di
pusat lingkungan
permukiman
2. Sarana  Puskesmas :  Puskesmas : Dapat dijangkau kendaraan
kesehatan 120000 3000 umum
 Puskesmas  Puskesmas
Pembantu : Pembantu :
30000 1500
 Balai pengobatan  Balai
: 2500 pengobatan :
 Rumah bersalin : 1000
30000  Rumah bersalin
: 4000
4. Sarana  Masjid warga :  masjid warga :  masjid warga : Di tengah
Peribadatan 2500 1000 permukiman. Tidak
 masjid kelurahan  masjid Menyeberang jalan raya.
: 30000 kelurahan : - Dapat bergabung dengan
lokasi balai warga
 masjid kelurahan : Dapat
dijangkau kendaraan
umum
5. Sarana  Pasar : 30000  Pasar : 2000  Pasar dan minimarket :
Perdagangan  Toko : 500  Toko : 300 Dapat dijangkau kendaraan
dan Jasa  warung : 250  warung : 300 umum
 minimarket:  minimarket:  Toko dan warung : Di
6000 2000 tengah kelompok tetangga.
Dapat merupakan bagian
dari sarana lain
minimarket: 2000

34
No Jenis sarana Cakupan Standar pelayanan
pelayanan Radius Kriteria lokasi
(penduduk) pencapaian (m2)
6. Fasilitas  taman  taman  taman lingkungan : Di
Sosial lingkungan : lingkungan : pusat kegiatan lingkungan
2500 100  taman lapangan olahraga :
 taman lapangan  taman lapangan Dekat dengan sarana
olahraga : 30000 olahraga : 1000 pendidikan

Sedangkan untuk aturan pedoman untuk prasarana permukiman adalah :


Tabel 2.4 Standar Pelayanan Minimal Prasarana Permukiman
No Jenis Cakupan Standar kebutuhan
prasarana pelayanan
(penduduk)
1. Air bersih  80% dari jumlah  Rumah tangga = 120 lt/orang/hari;
penduduk harus  Perkantoran = 10% kebutuhan rumah tangga;
terlayani  Fasilitas sosial = 20% kebutuhan rumah tangga;
 Fasilitas industri = 70% kebutuhan rumah
tangga;
 Fasilitas perdagangan = 70% kebutuhan rumah
tangga;
 Kebocoran = 10% kebutuhan rumah tangga;
2. Listrik  Disesuaikan  Rumah Tangga Kapling Besar = 1.300 watt
dengan daya  Rumah Tangga Kapling Sedang = 900 watt
listrik dan  Rumah Tangga Kapling Kecil = 450 watt
cakupan jaringan  Kebutuhan Komersial = 15 % dari kebutuhan
sesuai kebutuhan rumah tangga
penduduk  Kebutuhan Sosial = 10 % dari kebutuhan rumah
tangga
 Kehilangan Daya = 10 % dari kebutuhan rumah
tangga
 Cadangan = 10 % dari kebutuhan rumah tangga
 Penerangan Jalan = 40 % dari kebutuhan rumah
tangga
4. Persampahan Pelayanan berupa  Rumah tangga menghasilkan sampah sebesar
penyediaan sarana 2,5 lt/hari
manajemen  Perdagangan, untuk tiap pasar diperkirakan
persampahan menghasilkan sampah sebanyak 25 % dari
sampah produksi rumah tangga sedangkan untuk
perdagangan lainnya menghasilkan 5 % dari
sampah rumah tangga.
 Jalan, menghasilkan sampah sebanyak 10 % dari
sampah rumah tangga
 Lain-lain diasumsikan 5 % dari sampah produksi
rumah tangga
5. Air limbah  50% hingga 70%  Aliran Air Kotor Domestik = 75% dari
dari jumlah Kebutuhan Air Bersih Domestik
penduduk harus  Aliran Air Pekat Domestik = 5% dari Kebutuhan
terlayani Air Bersih Domestik
 80% hingga 90%  Aliran Air Kotor Perdagangan dan jasa = 20%
penduduk untuk dari Kebutuhan Air Bersih Domestik
daerah dengan

35
No Jenis Cakupan Standar kebutuhan
prasarana pelayanan
(penduduk)
kepadatan >300  Aliran Air Kotor Perkantoran = 10% dari
jiwa/Ha Kebutuhan Air Bersih Domestik
 Aliran Air Kotor Fasilitas Sosial = 10% dari
Kebutuhan Air Bersih Domestik
6. Jaringan jalan Lingkungan Jenis prasarana dan utilitas pada jaringan jalan
perumahan harus yang harus disediakan ditetapkan menurut
disediakan jaringan klasifikasi jalan perumahan yang disusun
jalan untuk berdasarkan hirarki jalan, fungsi jalan dan kelas
pergerakan kawasan/lingkungan perumahan
manusia dan
kendaraan, dan
berfungsi sebagai
akses untuk
penyelamatan
dalam keadaan
darurat.

Setiap pedoman yang ada pada standar merupakan hal yang perlu
diperhatikan dalam pemenuhan sarana dan prasarana umum pada sebuah
permukiman agar permukiman yang terbentuk memiliki kualitas yang baik dan
layak ditinggali secara fisik.

2.7 Hubungan Karakteristik Permukiman dengan Konsep Pembangunan


Permukiman Berkelanjutan
Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan ruang
terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan, merupakan kegiatan
yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan pembangunan perumahan dan
permukiman harus senantiasa memperhatikan ketersediaan sumber daya
pendukung serta dampak akibat pembangunan tersebut. Dukungan sumber daya
yang memadai, baik yang utama maupun penunjang diperlukan agar pembangunan
dapat dilakukan secara berkelanjutan, disamping dampak pembangunan perumahan
dan permukiman terhadap kelestarian lingkungan serta keseimbangan daya dukung
lingkungannya yang harus senantiasa dipertimbangkan. Kesadaran tersebut harus
dimulai sejak tahap perencanaan dan perancangan, pembangunan, sampai dengan
tahap pengelolaan dan pengembangannya, agar arah perkembangannya tetap
selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial,
dan lingkungan.

36
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang untuk
mendapatkan kesempatan hidup (Silas, 1985 dan Djayadiningrat, 2001). Secara
umum terdapat tiga pilar sustainable development yaitu Ekonomi, Sosial, dan
Lingkungan (IUCN, 2006). Interaksi yang seimbang antar pilar ini akan
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Permukiman adalah bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan
maupun pedesaan yang berfungsi lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Konsep permukiman yang berkelanjutan merupakan suatu konsep global
yang kuat yang diekspresikan dan diaktualisasikan secara lokal. Permukiman yang
berkelanjutan harus memiliki ekonomi yang kuat, lingkungan yang serasi, tingkat
sosial yang relatif setara penuh keadilan, kadar peran serta masyarakat yang tinggi,
dan konservasi energi yang terkendali dengan baik.

Gambar 2.2 Sustainable Development kaitannya dengan perumahan dan


permukiman (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
No.217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan
Permukiman (KSNPP) )

Dalam pilar pembangunan berkelanjutan, aspek perumahan dan


permukiman terbangun dari 3 pilar pembentuk permukiman. Dengan demikian,
elemen pembentuk permukiman dalam teori ekistic (yang menjadi dasar
pemahaman mengenai karakteristik permukiman) sangat erat kaitannya dengan

37
pembentuk pilar sustainable development. Jika dijabarkan antara pilar
pembangunan berkelanjutan dan elemen pembentuk permukiman maka ekonomi
dan sosial berkaitan dengan elemen manusia dan masyarakat sedangkan lingkungan
berkaitan dengan elemen alam, kondisi rumah/perumahan, serta jaringan. Hasil
interaksi yang seimbang saling melengkapi antar elemen pembentuk permukiman
ini disesuaikan dengan pilar pembangunan berkelanjutan akan membentuk sebuah
permukiman yang berkelanjutan.

2.8 Indikator dan Konsep Pembangunan Permukiman Berkelanjutan


Dalam lingkup permukiman, pilar sustainable development diacu oleh UN
Habitat dengan menambahkan aspek budaya sebagai pilar tambahan dimana
masing – masing pilar pembangunan permukiman berkelanjutan memiliki indikator
– indikator berdasarkan tingkatan lingkup kawasan permukiman. Menurut UN
habitat tahun 2012, tingkatan lingkup kawasan ini dibedakan kedalam 3 kelompok
yakni macro untuk lingkup nasional, meso untuk lingkup regional atau kota, dan
micro untuk lingkup lingkungan perumahan. Penelitian ini berada dalam indikator
lingkup kawasan permukiman meso dan macro. Indikator yang dimaksud adalah :

 Aspek Lingkungan
Meso (regional, kota)
 Ketercapaian lokasi dan kepadatan serta pemenuhan akses infrastruktur
perumahan yang baik.
 Ketercapaian lingkungan yang hijau dan aman
 Perlindungan ekosistem dan keanekaragaman hayati..
 Penggunaan infrastruktur yang berkelanjutan degan penggunaan
transportasi umum, pengurangan penggunaan kendaraan bermotor dan
sistem energy yang ramah lingkungan.
 Manajemen sampah dan daur ulang

Micro (lingkungan perumahan, permukiman kawasan)


 Penggunaan energy, air dan sumberdaya yang effisien.
 Penggunaan desain hijau yang ramah lingkungan dengan material/bahan
local yang berkelanjutan.

38
 Pencegahan/penanggulangan limbah berbahaya, sanitasi, dan polusi
 Penggunaan sumberdaya yang terjangkau.
 Peningkatan adaptasi dan ketahanan dari rumah.

 Aspek Sosial
Meso (regional, kota)
 Menggerakkan komunitas masyarakat secara terpadu
 Penyediaan fasilitas untuk masyarakat dan mencegah segresi dan
perpindahan penduduk.
 Pengintegrasian dan pembentukan kembali daerah yang tertinggal dengan
daerah perkotaan yang lebih maju
 Integrasi infrastruktur perumahan dengan daerah yang lebih luas..
 Perbaikan perumahan kumuh dan tidak layak.

Micro (lingkungan perumahan, permukiman kawasan)


 Pemberdayaan masyarakat dan peningkatan partisipasi publik.
 Kepastian keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan pada rumah tinggal.
 Pembentukan identitas, rasa memiliki pada komunitas dan lingkungan.
 Mengakomodasi kebutuhan yang spesifik terkait rumah (termasuk yang
berkaitan dengan jenis kelamin, usia, dan kesehatan).
 Penyediaan akses pada infrastruktur dan ruang publik.

 Aspek Budaya
Meso (regional, kota)
 Pembentukan kota yang kreatif berdasarkan keragaman budaya, estetika,
dan keberagaman.
 Pembentukan nilai, tradisi, norma, dan kebiasaan (terkait dengan
penggunaan energi, daur ulang sampah, kehidupan komunitas, dan
pemeliharaan tempat tinggal).
 Perlindungan terhadap kawasan perumahan cagar budaya yang merupakan
identitas budaya sebuah kota (pencegahan pemugaran, perubahan,
penggusuran dll).

39
Micro (lingkungan perumahan, permukiman kawasan)
 Penggunaan budaya dalam desain, perencanaan rumah dan permukiman.
 Peningkatan estetika, keberagaman, dan penggunaan budaya dalam
pembangunan lingkungan perumahan dan permukiman.
 Bantuan dalam pembentukan kreativitas masyarakat (misalnya melalui
fasilitas ; fasilitas budaya dan hiburan).
 Membantu transisi masyarakat dari daerah pedesaan dan daerah kumuh
untuk perumahan yang layak atau perumahan multifamily.

 Aspek Ekonomi
Meso (regional, kota)
 Manajemen pertumbuhan dan kegiatan ekonomi dengan memperkuat
penyediaan perumahan dan pasar perumahan.
 Penyediaan infrastruktur dan layanan dasar untuk perumahan.
 Penyediaan lahan untuk perumahan.
 Memperkuat kewirausahaan masyarakat.
 Mempromosikan teknik, bahan bangunan local dan tradisional.
 Mempromosikan regenerasi daerah perkotaan dan wilayah yang lebih besar.

Micro (lingkungan perumahan, permukiman kawasan)


 Memastikan keterjangkauan perumahan bagi kelompok sosial yang
berbeda.
 Penyediaan tempat tinggal yang layak guna peningkatan produktivitas
tenaga kerja dan integrasi antara rumah dan tempat kerja.
 Dukungan terhadap kegiatan ekonomi domestic dan UKM.
 Mendukung pengadaan rumah secara swadaya dan pengusaha perumahan
dalam skala kecil.Promoting petty landlordism and self-help housing.
 Manajemen pemeliharaan dan pembangunan rumah.
 Perkuatan ketahanan rumah hingga di masa depan.

Indikator diatas merupakan dasar yang digunakan sebagai perumusan


konsep, kebijakan dan strategi pembangunan permukiman berkelanjutan. Dalam
penelitian ini indikator tersebut merupakan acuan dalam perumusan strategi

40
pengendalian perkembangan permukiman yang terjadi disesuaikan dengan
pemahaman karakteristik kondisi perkembangan permukiman yang terjadi pada
wilayah penelitian (hasil analisa). Selain indikator permukiman berkelanjutan yang
dijabarkan oleh UN Habitat dalam acuan pilar pembangunan berkelanjutan secara
umum terdapat penjabaran konsep – konsep dan pendekatan yang banyak
digunakan dalam perumusan pembangunan permukiman visi, misi, ataupun
berbagai kebijakan dan program kerjanya.
Secara khusus Jabbareen mengkaji rumusan konsep dan pendekatan
sustainable yang difokuskan terhadap aspek bentuk kota (urban forms) terutama
terkait permukiman. Menurutnya, paling tidak terdapat sedikitnya 7 pendekatan
dalam rumusan konsep sustainable urban forms, (Jabbareen, 2006) yaitu :

1. Compactness, tipologi lingkungan binaan, dalam bentuk bangunan fungsional


berstruktur kompak atau dekat satu sama lain dan efisien dalam pemanfaatan
ruang;
2. Sustainable Transport, merefleksikan perimbangan antara keamanan, kebutuhan
pergerakan, aksesibilitas, kualitas lingkungan alam dan lingkungan
permukiman;
3. Density, menyangkut ambang kepadatan penduduk. Perhitungan kapasitas
jumlah orang dalam wilayah yang signifikan untuk mewujudkan aktivitas atau
interaksi yang layak.
4. Mixed-Landuse, merupakan keragaman penggunaan lahan yang bertujuan untuk
mengefisiensikan pergerakan manusia dengan mengurangi jarak antar kegiatan.
5. Diversity, dalam bentuk keragaman fungsi bangunan atau kawasan, mirip
dengan mix-landuse tetapi bersifat multidimensional;
6. Passive Solar Design, berkaitan dengan reduksi ketergantungan terhadap energi
7. Greening, mempertahankan sumber daya alam secara integral.

Bahasan terhadap pendekatan tersebut merupakan rangkuman terhadap


berbagai penelitian sustainable urban form terkait permukiman yang dilakukan di
beberapa negara (Jabareen, 2006). Secara ringkas pendekatan tersebut kemudian
direduksi menjadi beberapa kelompok model pendekatan yaitu :

41
1. Neotradional Development, yaitu konsep pengembangan kota yang mengacu
kepada ciri-ciri kota tradisional pergerakan pejalan kaki yang dominan, mix-
landuse, traffic calming dsb. Contoh pengembangan dari konsep ini seperti
urban village, transit oriented development, pedestrian city, dsb;
 Kriteria
 Guna lahan campuran antara perumahan, perdagangan, jasa dan faasilitas
umum dalam area yang kompak
 Keseimbangan antara ruang privat dan publik untuk meningkatkan identitas
dan nilai kawasan
 Membentuk masyarakat yang guyub, mendorong walkability dan
meningkatkan kenyamanan
 Penggunaan pola kota dan kawasan tradisional sebagai model masa depan
2. New Urbanism, gerakan urban design yang mempromosikan lingkungan
walkability disekitar perumahan dan tempat kerja dan merupakan perluasan
konsep smart growth.
 Prinsip new urbanism
 Walkability:
Jalan yang memiliki jalur pedestrian yang nyaman
 Konektivitas
Jaringan jalan terintegrasi
 Guna Lahan Campuran dan adanya keragaman
Perumahan-Perdagangan’
Usia, pendapatan dan ras
 Keragaman jenis perumahan
 Desain bangunan dan lansekap yang baik
3. Urban containment; pengembangan kota yang memiliki delineasi atau batasan
yang jelas dan terkontrol. Tujuan menghambat ekspansi area terbangun suatu
kota dan mendorong perkembangan ke “inward”. Mendorong kepadatan yang
tinggi, tata guna lahan campuran, transportasi umum, utilitas yang lebih efisien
Metode : Urban Growth Boundaries, Urban Limit Line, Green Line
4. Compact city; tipologi lingkungan fungsional kota berstruktur kompak atau
dekat satu sama lain dan efisien dalam pemanfaatan ruang. Pendekatan compact

42
city adalah meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan penduduk
permukiman, mengintensifkan aktifitas ekonomi, sosial dan budaya perkotaan,
dan memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur perkotaan serta sistem
permukiman dalam rangka mencapai manfaat keberlanjutan lingkungan, sosial,
dan global, yang diperoleh dari pemusatan fungsi-fungsi perkotaan
Karakteristik compact city yang dikemukakan oleh Neuman adalah kepadatan
permukiman dan lapangan kerja yang tinggi, guna lahan campuran, guna lahan
yang bervariasi, meningkatkan interaksi sosial dan ekonomi, pembangunan yang
contiguous (beberapa persil atau struktur bisa dikosongkan atau dilarang
dibangun atau sebagai area parkir), pembangunan perkotaan yang padat
(contained urban development) dengan batas perkotaan yang tegas, infrastruktur
perkotaan terutama jaringan air bersih dan air kotor, Transportasi multi-moda,
aksesibilitas tinggi baik lokal maupun regional, keterhubungan jaringan jalan
yang tinggi (internal/ eksternal), termasuk trotoar (jalur jalan kaki) dan jalur
sepeda, tutupan permukaan kedap air yang tinggi, rasio ruang terbuka rendah,
kontrol terpusat perencanaan pembangunan lahan, atau kontrol yang
terkoordinasi secara ketat dan kemampuan dana pemerintah yang cukup untuk
membiayai fasilitas-fasilitas dan infrastruktur.
5. Eco-city, konsep pengembangan kota dengan agenda kelestarian lingkungan
baik menyangkut lingkungan fisik, interaksi sosial, ataupun kelembagaan dalam
pengelolaan ruang kota. Eco-city direncanakan memiliki tujuan dalam
penggunaan sumber daya yang seminimal mungkin (minimalisasi input energi,
air dan makanan) serta memberikan dampak yang sekecil mungkin (output/
limbah panas, polusi udara dan polusi air). Prinsip dari eco city juga bahwa kota
harus mampu mendaur-ulang sumber-sumber daya tersebut.

2.8.1 Penelitian Terkait Pembangunan Permukiman Berkelanjutan


Penelitian mengenai pembangunan permukiman berkelanjutan telah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Contoh hasil dari studi kasus
dibeberapa lokasi yaitu Kota Surabaya, Algeria, Mojokerto, Lhoksumawe, Ezzbet
Abd El Meniem (Riyadh) dan Alexandria (Egypt). Hasil penelitian tersebut
merupakan penerapan konsep pembangunan permukiman berkelanjutan dalam

43
lingkup konsep compact cities, new urbanism atau perumusan strategi penanganan
permukiman dengan mengacu pada pilar pembangunan berkelanjutan secara
langsung. Metode yang digunakan secara umum adalah dengan pemahaman
wilayah yang kemudian dirumuskan potensi dan permasalahan yang ada, kemudian
dirumuskan strategi penanganan yang tepat. Jabaran penelitian mengenai
pembangunan permukiman berkelanjutan yang telah dilakukan disajikan pada tabel
2.6.
Penelitian ini menjadi berbeda dari penelitian yang dilakukan sebelumnya
dari segi metoda, dasar alur pikir pemahaman permasalahan yang ditangani dan
output yang dihasilkan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
dijabarkan sebagai berikut :

Tabel 2.5. Matriks Perbedaan Penelitian Kini dengan Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya Penelitian ini


Pemahaman karakteristik Pemahaman potensi permasalahan yang
Metoda

permukiman mengacu pada divisualisasikan melalui proses pemetaan.


potensi dan permasalahan
Penerapan indikator Pemahaman karakteristik permukiman secara
permukiman berkelanjutan menyeluruh (dengan melihat elemen
Alur pikir

pada sebuah permukiman pembentuk permukiman) untuk kemudian


dengan mengacu pada potensi mencari penerapan indikator permukiman
dan permasalahan yang berkelanjutan yang tepat sebagai dasar
ditemukan pemecahan masalah.
Konsep dan strategi Perumusan konsep dan strategi penanganan
Output

penanganan permasalahan juga terdapat hasil analisa pemetaan wilayah


permukiman sebagai visualisasi kondisi dasar perumusan
konsep dan strategi tersebut.
Sumber : Hasil Kajia Peneliti 2016

44
Tabel 2.6 Penelitian Tentang Permukiman Berkelanjutan yang Telah Dilakukan
No. Judul penelitian Nama peneliti dan Hasil penelitian
tahun
1. The Compact City Muhammad Zia
Penerapan konsep compact cities guna mengatasi masalah urban sprawl yang
Concept in Creating Mahriyara, dan Jeong
dikhususkan pada aspek sistem transportasi. Penelitian ini menggelompokkan
Resilient City and Hyun Rho. Tahunwilayah berdasarkan tingkatan kondisi urban sprawl. Dari pengelompokan ini maka
Transportation System in 2013 dirumuskan pola system transportasi yang dapat mempengaruhi kondisi urban sprawl
Surabaya dan mendukung terbentuknya compact city.
2. Urban sprawl Vs urban Khalil Farid. Tahun Perumusan konsep sustainable yang diterapkan ditujukan guna mengatasi masalah
renewal: What role for 2011 kesenjangan wilayah terbangun akibat penduduk yang tidak terkonsentrasi dan
Town and Country menyebabkan masalah tidak effisiensinya pemanfaatan ruang, pergerakan manusia
planning instruments in dan dampak lingkungan yang dihasilkan.
ensuring sustainable Penerapan konsep “compact city” dianggap sebagai alternatif perencanaan
cities? Case of Algeria permukiman yang tepat dengan membangun “kota dalam sebuah kota”. Konsep kota
dalam sebuah kota yang dimaksud adalah kebijakan mengkonsentrasikan aktivitas
penduduk pada pusat – pusat kota. Hasil penelitian ini secara garis besar adalah
perumusan strategi guna mengatasi permasalahan dan pengendalian permukiman
berdasarkan effisiensi dalam pengertian sustainable terutama terkait energy, lahan,
degradasi wilayah permukiman, dan kondisi sosial masyarakat.
3. Pembangunan Wiwik Widyo W. Perumusan strategi pembangunan berkelanjutan dengan melihat dampak dari
Berkelanjutan Pada tahun 2012 kawasan industri yang ada dengan memperhatikan pilar pembangunan berkelanjutan
Permukiman di Kawasan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan.
Industri Studi Kasus :
Daerah Perbatasan
Surabaya - Mojokerto
4. Pengembangan Konsep Risna Dewi. Tahun Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah pemetaan kondisi permukiman pada
Pemukiman wilayah studi dengan indikator pembangunan berkelanjutan (sosial, ekonomi, dan
2011
Berkelanjutan lingkungan). Dari hasil pemetaan kondisi maka dirumuskan konsep dan strategi

45
(Studi Kasus di pengembangan permukiman dengan mengacu pada potensi permukiman yang ada.
Pemukiman Kumuh Fokus pada penelitian ini adalah aspek ekonomi yang dikaitkan dengan kondisi sosial
Kecamatan Banda Sakti dan lingkungan.
Kota Lhokseumawe)
5. Sustainable upgrading of Adel El Menshawy, Perumusan rekomendasi mengatasi permasalahan perumahan informal berdasarkan
informal settlements in potensi permasalahan yang ada dengan menggunakan metode SWOT.
dkk. Tahun 2011
the developing world,
case study: Ezzbet Abd El
Meniem Riyadh,
Alexandria, Egypt
Sumber : hasil kajian jurnal dan penelitian, 2016

46
2.9 Sintesa Kajian Pustaka
Dari teori – teori yang telah dijelaskan, dapat ditarik sebuah sintesa bahwa
fungsi pengendalian dalam melihat perkembangan permukiman dapat dilakukan
dengan pemahaman terhadap karakteristik permukiman secara utuh dan
menyeluruh. Pemahaman secara menyeluruh terhdap permukiman dapat dilakukan
dengan melihat permukiman dari tingkatan dimensi waktu yang dibenturkan yaitu
sejarah, kondisi kini dan perkiraan di masa depan. Pemahaman secara menyeluruh
terhadap teori didapatkan beberapa poin sintesa terkait aspek – aspek penting yang
diperhatikan dan digunakan dalam penelitian yaitu :

1. Perumahan dan permukiman adalah suatu kawasan lengkap dimana didalamnya


terdapat prasarana lingkungan, prasarana umum dan fasilitas sosial.
2. Kota merupakan tahapan perkembangan suatu wilayah yang terjadi akibat
pertumbuhan penduduk yang diikuti oleh peningkatan kebutuhan salah satunya
adalah permukiman guna tempat tinggal. Kota dapat diklasifikasikan
berdasarkan jumlah penduduk dan tahap perkembangannya.
3. Permukiman yang baik dan tertata akan tercipta apabila memenuhi kriteria ideal
untuk aspek fisik dan non fisik. Aspek fisik meliputi letak geografis, lingkungan
alam, dan binaan; sedangkan aspek non fisik meliputi sosial, ekonomi, budaya,
dan psikologis (rasa aman, senang, tentram dan adanya harapan-harapan).
4. Terdapat dua jenis permukiman berdasarkan sifatnya yaitu permukiman formal
dan permukiman informal. Karakteristik dari permukiman formal adalah
terencana dan teratur menurut standar formal sedangkan informal cenderung
tidak terencana dan tidak terencana, bersifat tradisional dan kental akan budaya
masyarakat penghuninya.
5. Terdapat lima elemen pembentuk sebuah permukiman (Elemen ekistic) yaitu
alam, manusia, masyarakat, rumah, dan jaringan.
6. Unit penyusun permukiman dibedakan menjadi 7 yaitu Permukiman Non
Permanen, Pedesaan, Kota, Metropolises, Megalopolises, Sistem Nasional, dan
Sistem International.
7. Proses pertumbuhan permukiman dapat dilihat dan dipahami dengan melihat
morfologi kota berdasarkan pola-pola dasar yang terkait dengan aktifitas sosial

47
dan tingkah laku manusia, juga fungsi dan struktur organisasinya. Amatan
morfologi dapat dilakukan dengan interpretasi wilayah berdasrkan peta
perkembangan dengan variabel bentuk kawasan, fisik ruang meliputi pola guna
lahan, persebaran fasilitas, jaringan jalan dan kondisi permukiman yang
mempengaruhi bentuk perkembangan wilayah serta identifikasi history
perkembangan wilayah.
8. Dalam perkembangan sebuah permukiman perkotaan, terjadi perubahan bentuk
fisik yang diawali pertambahan luas yang dipengaruhi oleh dinamika
pertumbuhan wilayah dan peningkatan kebutuhan lahan. Keduanya merupakan
suatu rangkaian yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pengaruh ini
disebabkan oleh manusia, aktivitas, dan lokasi bermukim.
9. Urban Sprawl merupakan fenomena yang tidak dapat dielakkan. Sejalan
dengan pemahaman pembangunan berkelanjutan, urban sprawl yang tidak
termanajemen dengan baik akan memberikan dampak dari aspek ekonomi,
social dan lingkungan.
10. Proses bermukim harus disertai pemenuhan sarana-prasarana dasar sesuai
kebutuhan dan skala pelayanan. Standar pemenuhan kebutuhan sarana –
prasarana dilakukan dengan melihat pedoman dan ketentuan berdasarkan skala
pelayanan
11. Elemen ekistic adalah bagian pembentuk pilar sustainable development dalam
pembangunan permukiman.
12. UN Habitat menyebutkan bahwa indikator pembangunan permukiman
berkelanjutan adalah amatan pada aspek ekonomi, sosial, budaya, dan
lingkungan yang dibagi kedalam lingkup macro,meso, dan micro.
13. Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan didapat kriteria pembentukan
permukiman kota yang berkelanjutan diantaranya yaitu :
 Kepadatan tinggi (compact)
Mengurangi pemakaian sumber daya, mendorong interaksi sosial,
Meminimalkan energi untuk transportasi, air, barang dan manusia
 Keragaman
variasi jenis perumahan, kepadatan bangunan, ukuran rumah tangga, usia,
budaya & pendapatan

48
 Tata guna lahan campuran
lahan campuran atau zonasi yg heterogen guna mengurangi jarak tempuh
sehingga terjadi pengurangan kendaraan pribadi
 sistem transportasi berkelanjutan
Kesimbangan antara kebutuhan akan aksesibilitas dan kualitas lingkungan
(transportasi yang effisien)
 Effisiensi energi
Pengaturan bentuk & desain bangunan, jalan, material, vegetasi, dll
 Peningkatan kualitas lingkungan
Integrasi antara alam dengan lingkungan permukiman kota
Dari poin – poin sintesa diatas dapat ditarik aspek kajian pustaka yang
menjadi dasar proses penelitian, yang tertera pada tabel 2.7.

Tabel 2.7 Sintesa Kajian Pustaka


Sumber Aspek Kajian Pustaka Aspek Kajian Pustaka yang
Digunakan dalam Penelitian
 Undang- Definisi permukiman : Karakteristik permukiman dapat
Undang Nomor  Kumpulan rumah, prasarana dilihat dari pembentuk
1 Tahun 2011 lingkungan, prasarana permukiman dari :
 Aspek fisik
 Kamus Tata umum, fasilitas sosial.
 non fisik
Ruang, 1997
 Sastra dan Aspek fisik meliputi :
Marlina, 2006  kondisi Alam
 kondisi Rumah/Perumahan
Turner, 1972 Fungsi utama rumah:  kondisi Jaringan (Infrastruktur
 Aspek fisik dan sarana permukiman)
 Aspek sosial
Aspek Non - fisik meliputi :
 Aspek ekonomi  Kondisi sosial masyarakat
Silas, 1985 kriteria ideal permukiman  Kondisi ekonomi masyarakat
menyangkut aspek fisik dan  Karakteristik budaya
non fisik masyarakat
Turner, 1976 Jenis permukiman :
 Formal
 informal
Yunus, 1999 Unsur pembentuk morfologi
permukiman
 Jalan
 Sebaran kepadatan
permukiman

49
 Luasan lahan terbangun
Doxiadis, 1970 Elemen pembentuk
permukiman :
 Alam, manusia,
masyarakat, rumah,
jaringan
 Permukiman membentuk
unit/skala
Yunus, 2000 Morfologi permukiman dilihat Karakteristik bentuk dan arah
dari : perkembangan permukiman
 pola guna lahan dapat dilihat berdasarkan
kategori aspek:
 persebaran fasilitas
 Fisik :
 jaringan jalan - pola guna lahan
 konsentrasi permukiman - persebaran fasilitas
 konsentrasi aktivitas - jaringan jalan

 Non fisik :
- konsentrasi permukiman
- Konsentrasi aktivitas
UN Habitat 2011 Indikator pembangunan Semua aspek Indikator
permukiman berkelanjutan pembangunan permukiman
secara meso dan mikro untuk 4 berkelanjutan
aspek pilar pembangunan  Fisik :
berkelanjutan : - Lingkungan
 Ekonomi
 Non fisik :
 Sosial - Ekonomi
 Budaya - Sosial
 Lingkungan - Budaya

Jabbareen,2006 Indikator Pembangunan Konsep pengembangan


permukiman berkelanjutan permukiman berkelanjutan
 Kepadatan tinggi (compact) harus memperhatikan indikator
:
 Keragaman fungsi
Fisik
 Ambang Kepadatan - Kepadatan tinggi (compact)
penduduk - Keragaman fungsi
 Tata guna lahan campuran - Tata guna lahan campuran
 sistem transportasi - sistem transportasi
berkelanjutan
berkelanjutan
- Effisiensi energi
 Effisiensi energi - Peningkatan kualitas
 Peningkatan kualitas lingkungan
lingkungan
Non fisik
- kependudukan

Sumber : penulis 2016

50
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
positivisme, dimana pendekatan ini didasarkan pada penggunaan teori-teori yang
menjadi kebenaran umum dan berlaku di kawasan studi serta memiliki kebenaran
berdasarkan panca indra untuk menguji fakta empiri pada suatu objek yang spesifik
dan menghasilkan kebenaran umum. Pendekatan positivisme dalam penelitian ini
dijalankan dengan metode eksplorasi kuantitatif yang ditunjang dengan metode
kualitatif. Hal tersebut dipakai guna menggali dan merekam fenomena yang tumbuh
di dalam masyarakat serta kecenderungan perkembangan permukiman.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kuntitatif, dimana penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang
memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada
perlakuan terhadap objek yang diteliti (Kountur, 2005). Tujuan penelitian deskriptif
adalah untuk mencari informasi faktual yang mendetail, mencari gejala yang ada,
untuk mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi
keadaan dan praktek-praktek yang sedang berlangsung (Darjosanjoto 2006).
Sedangkan penelitian kuantitatif adalah Penelitian yang didasari oleh perspektif
positivism, yang beranggapan fenomena dapat dijelaskan dengan menggunakan
sekumpulan faktor yang mewakili fenomena (reduksionis) dan faktor sebab
menentukan/ mempengaruhi faktor akibat dari fenomena tersebut (deterministik)
(Sugiono,2012).
Tujuan penelitian deskriptif kuantitatif dalam penelitian ini adalah untuk
menjabarkan kondisi wilayah maupun fenomena yang terjadi di bagian wilayah
permukiman Kabupaten Lumajang saat ini secara sistematis, faktual dan akurat
dengan penyajian data – data statistik yang terukur. Tujuan akhir dari penelitian ini
adalah berupa penyusunan konsep sebagai bentuk upaya pengendalian
perkembangan permukiman. Konsep disusun berdasarkan generalisasi hasil

51
pertahapan proses analisa dan kajian teori-teori yang kemudian dibandingkan
dengan kenyataan empirik yang muncul dari hasil analisis.

3.2 Variabel Penelitian


Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil
sintesa kajian pustaka. Adapun variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel
3.1.
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
INDIKATOR VARIABEL SUB VARIABEL
Fisik : Kondisi alam - Ketersediaan Sumberdaya alam
 Alam - Keadaan alam
 Rumah/Perumahan Kondisi - Jenis perumahan (permanen atau non
 Jaringan rumah/perumahan permanen)
- Model perumahan
- Lokasi permukiman
- Tingkat Kepadatan wilayah
perumahan
- Fasilitas perumahan (kelengkapan
dan persebaran)
- Tata guna lahan
Infrastruktur dan - Infrastruktur air bersih
sarana permukiman - Infrastruktur listrik
- Infrastruktur jalan
- Infrastruktur persampahan dan
pengolahan limbah
- Infrastruktur telekomunikasi
Non Fisik : Kondisi sosial - jumlah populasi
 Manusia masyarakat - Mata pencaharian
 Masyarakat - Tingkat pendidikan
- Keberadaan institusi social
- Pertumbuhan manusia
Kondisi ekonomi - Distribusi tingkat pendapatan
masyarakat msyarakat
- Keberadaan institusi ekonomi
Karakteristik budaya - Kebiasaan dalam bermukim
masyarakat - Aktivitas
Sumber : Hasil Kajian Pustaka, 2016

3.3 Sumber Data Dan Informasi


Data dan informasi diharapkan akan didapat berdasarkan :
 Penentuan Unit Amatan :
Unit amatan dari kajian ini adalah variabel yang mengindikasikan karakteristik
permukiman, dan faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman

52
berdasarkan karakteristik elemen pembentuk permukiman yang ada pada
permukiman di wilayah studi
 Penentuan Unit Informasi :
Unit informasi dari kajian ini adalah stakeholder terkait kawasan permukiman
pihak yang memiliki pengaruh dan paham terhadap kondisi perkembangan
permukiman di Lumajang. Pemilihan stakeholder dipilih melalui analisa
stakeholder guna menilai stakeholder terkait. Penilaian tersebut berupa interest,
tingkat kepentingan, tingkat pengaruh, dan tingkat dampak keberadaan
stakeholder terhadap perkembangan permukiman yang terjadi pada wilayah
studi. Stakeholder tarkait pada penelitian ini, yang berpengaruh terhadap
keberlangsungan permukiman adalah:
1. Dinas Pekerjaan Umum Bidang perumahan dan permukiman yang
merupakan Penentu kebijakan / legalisasi pembangunan permukiman.
2. Pihak kecamatan (Kasi ekonomi dan pembangunan) yang memiliki Tugas
dan fungsi adalah melaksanakan tugas yang dilimpahkan bupati kepada
Camat dalam bidang ekonomi, pekerjaan umum dan pembangunan
3. Pihak desa selaku Pihsk yang merasakan dampak langsung dalam
pembangunan permukiman
4. Developer perumahan tiap kecamatan yang Memahami kondisi kawasan
sebagai pelaku pembangunan yang berinvestasi dan bergerak pada bidang
penyediaan hunian perumahan
 Penentuan Unit Analisis
Unit analisis dari kajian ini adalah unit - unit lingkungan permukiman perkotaan
baru berkembang di wilayah perkotaan Kabupaten Lumajang. Unit – unit
permukiman yang dimaksud adalah lingkungan permukiman dalam lingkup
delineasi wilayah administrasi Kecamatan Lumajang sebagai pusat
perkembangan permukiman perkotaan serta kecamatan Padang, Sukodono,
Sumbersuko, dan Tekung sebagai kecamatan disekitar wilayah kecamatan
Lumajang sebagai daerah terdampak pusat perkembangan permukiman.
Permukiman di wilayah perkotaan Lumajang dipilih dengan dasar bahwa
pertumbuhan permukiman ini merupakan embrio awal pertumbuhan
permukiman perkotaan secara cepat dan membentuk kawasan perkotaan yang

53
lebih besar. Hal tersebut terlihat dari karakteristik kriteria pertumbuhan
perkotaan yang cepat disebutkan Kirmanto dalam Ramadhany (2012) yaitu:
1. Bergesernya arah pembangunan perumahan keluar dari pusat kota
2. Kenaikan harga lahan secara proporsional (semakin tinggi pada wilayah
pusat permukiman perkotaan)
3. Arus urbanisasi yang tinggi menyebabkan tingginya permintaan akan
perumahan
4. Peningkatan kepadatan lingkungan permukiman
5. Perubahan fungsi lahan non permukiman menjadi permukiman
Kriteria tersebut dianggap penting karena posisi kondisi tersebut dalam
fenomena perkembangan permukiman perkotaan di Indonesia merupakan
embrio pertumbuhan permukiman perkotaan dalam skala yang lebih besar
seperti Surabaya, Bandung, maupun Jakarta dan jika perkembanganna tidak
dikendalikan dengan tepat maka akan menimbulkan masalah – masalah
terutama terkait terbentuknya lingkungan permukiman kumuh atau kawasan
permukiman yang tidak tertata.

PENGENDALIAN PERKEMBANGAN
PERMUKIMAN BERBASIS SUSTAINABLE
SETTLEMENT

Gambar 3.1 Peta Deliniasi Wilayah Studi (unit analisis)


Sumber : RTRW Kabupaten Lumajang 2008-2028

54
Selain hal yang telah disebutkan diatas, pemilihan wilayah permukiman
perkotaan Lumajang dipilih sebagai unit analisis karena kemudahan akses data,
serta kedekatan lokasi dengan perguruan tinggi ITS yang masih dalam lingkup
Jawa Timur.

3.4 Data Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini perlu adanya pengumpulan data untuk mendukung
perhitungan analisis, pengumpulan data ini disesuaikan dengan kebutuhan dalam
penelitian ini. Data dalam penelitian ini, dibutuhkan 2 (dua) jenis data yaitu terdiri
dari :

a) Data Primer
Data primer merupakan data penelitian yang diperoleh secara langsung dari
sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer secara khusus
dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data primer dapat berupa
opini subyek (orang secara individual atau kelompok, dan hasil pengujian.
Data primer diperoleh dengan melakukan survey primer dengan teknik
kuantitatif berupa penyebaran kuisoner (sebagai input data analisa teknik
skoring dan AHP), dan kualitatif dengan amatan langsung dan wawancara
sesuai variabel amatan elemen ekistic (foto, catatan, dll). Wawancara tersebut
digunakan untuk kebijakan terkait pengembangan kawasan perumahan dan
permukiman serta perumusan konsep dalam Pengendalian perkembangan
permukiman di Lumajang. Sedangkan observasi/pengamatan langsung
dilakukan untuk mengetahui kondisi eksisting di wilayah penelitian yang
berkaitan dengan keadaan perumahan dan permukiman di wilayah perkotaan
Lumajang.
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data
sekunder berupa bukti, catatan atau laporan yang telah tersusun dalam arsip
(data dokumen) yang dipublikasikan dan tidak di publikasikan. Data sekunder
diperoleh dengan mengunjungi instansi terkait penyedia data serta
pengumpulan dokumen dokumen publikasi dalam media apapun. Adapun jenis

55
masing-masing data beserta cara serta alat yang menunjang dapat dilihat pada
tabel 3.2.

Tabel 3.2 Desain Survey


DATA YANG JENIS
SUMBER TEKNIK
DIBUTUHKAN DATA
- pola guna lahan Kebijakan terkait tata ruang
Primer
- persebaran fasilitas khususnya permukiman Observasi dan
dan
- jaringan jalan (RTRW Kota/Kabupaten,) di Survey Instansi
Sekunder
- kondisi permukiman wilayah studi
- informasi mengenai Profil kecamatan, Monografi
elemen ekistic kecamatan Lumajang,
- Alam Primer Padang, Sukodono,
Observasi,
- Manusia dan Sumbersuko, dan Tekung,
Survey Instansi
- Masyarakat Sekunder RDTR (rencana detail tata
- Rumah/Perumahan ruang) kecamatan
- Jaringan
- Arah perkembangan Peta perkembangan
permukiman Sekunder permukiman di lokasi studi Survey Instansi
- Konsentrasi aktivitas
Persepsi mengenai Stakeholders Terpilih In Depth
konsep pengendalian Interview
perkembangan (kuisoner dan
Primer
permukiman perkotaan wawancara)
(kuantitatif dan
kualitatif)
Persepsi mengenai Stakeholder terpilih (pihak Observasi,
konsep permukiman desa) kuisoner
sesuai kebutuhan (kuisoner dan
Primer
masyarakat setempat wawancara)
(kuantitatif dan
kualitatif)

Sumber : Identifikasi Peneliti, 2016

3.5 Tahapan Penelitian


Secara umum tahapan penelitian dilakukan dalam lima tahap, yang akan
dijelaskan seperti di bawah ini:

1. Perumusan Masalah
Tahap ini meliputi identifikasi permasalahan di wilayah penelitian, yakni terkait
pengembangan wilayah yang berdampak pada pertumbuhan permukiman
sebagai upaya pemenuhan penduduk terhadap akses perumahan. Pemenuhan
kebutuhan permukiman ini menyebabkan perubahan guna lahan yang tidak

56
terkontrol sehingga menimbulkan dampak yang buruk pada lingkungan. Guna
pencegahan terhadap dampak buruk ini maka dibutuhkan upaya / penyikapan
kendali ini.
2. Tinjauan Pustaka
Pada tahap ini dilakukan kegiatan mengumpulkan informasi yang berkaitan
dengan penulisan yang berupa teori, konsep, beserta hal-hal lain yang relevan.
Dari studi literatur didapatkan rumusan hipotesa serta variabel penelitian yang
menjadi dasar dalam melakukan analisa.
3. Pengumpulan Data
Kebutuhan data disesuaikan dengan analisa dan variabel yang digunakan dalam
penelitian. Oleh karena itu, pada tahap ini dilakukan dua teknik pengumpulan
data, yaitu survei sekunder yang terdiri dari survei instansi dan survei literatur
serta survei primer melalui observasi dan wawancara.
4. Analisa
Setelah data-data yang dibutuhkan dalam penelitian diperoleh, tahap
selanjutnya adalah proses analisis data tersebut. Analisa yang dilakukan adalah
analisa deskriptif terkait karakteristik permukiman, analisa hierarki proses
untuk melihat faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan
permukiman, dan analisa triangulasi untuk merumuskan konsep serta strategi.
5. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan tahapan menentukan jawaban atas rumusan
permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan hasil dari proses
analisa di atas. Dalam proses penarikan kesimpulan ini, diharapkan dapat
tercapai tujuan akhir penelitian. Berdasarkan kesimpulan dari seluruh proses
penelitian akan dirumuskan rekomendasi dari penelitian ini.

3.6 Teknik Analisa


3.6.1 Mengidentifikasi dan Merumuskan Karakteristik Permukiman
(eksplorasi kualitatif).
Perumusan karakteristik permukiman pada tahap ini adalah pemahaman
mengenai kondisi empirik permukiman dengan melihat elemen pembentuk
permukiman yang ada pada wilayah unit analisis. Data yang digunakan dalam

57
analisis ini sebagian besar merupakan data sekunder dan primer. Data primer adalah
hasil observasi langsung peneliti pada wilayah penelitian berupa list amatan dan
dokumentasi. Data sekunder adalah data – data yang berasal dari instansi terkait
yang berhubungan dengan amatan permukiman dimana data yang dimaksud
menggambarkan elemen permukiman sebagai bahan pengkayaan dalam memahami
kondisi permukiman. Data yang dimaksud adalah: Profil kecamatan; Monografi
kecamatan Lumajang, Padang, Sukodono, Sumbersuko, dan Tekung; RDTR
(rencana detail tata ruang) kecamatan; serta RTRW Kabupaten Lumajang. Data
yang terkumpul tersebut kemudian diorganisasikan dan dijabarkan menjadi
rangkaian informasi terkait karakteristik permukiman di wilayah studi.

3.6.2 Menganalisa Faktor Dominan yang Mempengaruhi Perkembangan


Permukiman
Pada pencapaian sasaran kedua terdapat beberapa tahapan yang dilakukan
yaitu melihat perkembangan permukiman yang terjadi dalam periode yang
ditentukan sebagai justifikasi bentuk perkembangan dan kemana arah
perkembangan permukiman terjadi. Setelah itu maka dilakukan analisa faktor
dominan mana (terkait elemen pembentuk permukiman) yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan permukiman yang terjadi. Setelah faktor yang berpengaruh
diketahui maka dicari wilayah permukiman mana yang memiliki kecenderungan
mengindikasikan pertumbuhan yang tinggi. Wilayah dengan tingkat kecenderungan
pertumbuhan permukiman yang tinggi ini yang kemudian diberikan perlakuan
pengendalian.
Pada masing – masing tahapan digunakan alat analisa yang berbeda. Untuk
melihat bentuk perkembangan dan arah pertumbuhan permukiman dilakukan
analisa perkembangan citra wilayah berdasarkan kurun waktu dengan
menggunakan software GIS. Tahapan kedua mengenai analisa faktor dominan dari
elemen pembentuk permukiman yang mempengaruhi perkembangan permukiman
digunakan Analitical Hirarchy Prosess. Hasil dari analisa Hirarchy Prosess adalah
berupa bobot variabel yang mengindikasikan tingkatan pengaruh variabel terhadap
pertumbuhan permukiman pada masing – masing unit analisis (wilayah
permukiman pada tiap desa dan kecamatan) dijadikan input pada tahapan analisa

58
kecenderungan pertumbuhan permukiman dengan metode overlay menggunakan
software GIS. Hasil temuan berupa wilayah permukiman cepat tumbuh kemudian
dijustifikasi dengan teknik analisa triangulasi untuk menentukan wilayah
permukiman mana yang merupakan wilayah cepat tumbuh dibandingkan dengan
wilayah yang lain.

A. Analisis Citra Wilayah


Analisis citra wilayah guna melihat bentuk perkembangan dan arah
pertumbuhan permukiman dilakukan dengan membandingkan luasan
perkembangan areal terbangun dan tidak terbangun pada setiap periode tahun.
Perkembangan areal terbangun dan non terbangun secara periodik pertahun dapat
diketahui dengan bantuan software Argist pada tools remote sensing.

Gambar 3.2 Perkembangan permukiman dengan olahan citra menggunakan GIS

Dari hasil interpretasi ini maka dapat dilihat grafik pertumbuhan areal
terbangun pada masing – masing daerah permukiman di wilayah penelitian.

B. Analitical Hirarchy Prosess (AHP)


Pada prinsipnya Analitical Hirarchy Prosess (AHP) merupakan analisa
yang digunakan untuk menyederhanakan atau memecahkan suatu permasalahan
yang kompleks, sehingga dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan
keputusannya dengan menyusun sebuah alur pikir variabel dalam suatu hirarki.
AHP menggunakan tanggapan seseorang yang dianggap expert sebagai input
utama. kriteria expert lebih ditujukan pada orang yang ahli dalam bidangnya sesuai

59
dengan permasalahan yang terjadi atau merasakan akibat dari suatu masalah dan
mempunyai kepentingan terhadap masalah tersebut (Marimin, 2004).
Pada penelitian ini, AHP digunakan untuk menentukan besarnya bobot
prioritas kepentingan dari tiap-tiap kriteria variabel yang mempengaruhi
pertumbuhan permukiman berdasarkan kajian yang telah dilakukan. Secara proses,
masing – masing variabel yang terindikasi mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan permukiman di wilayah penelitian ini dibandingkan untuk satu sama
lain untuk kemudian dinilai oleh responden (stakeholder ahli yang memahami
kondisi wilayah penelitian). Setiap variabel harus dibandingkan dengan variabel
lain agar tiap variabel memiliki nilai perbandingan dengan variabel lain. hasil dari
perbandingan keseluruhan ini akan menghasilkan nilai akhir yang menggambarkan
tingkat kepentingan variabel dibandingkan dengan variable keseluruhan terhadap
tujuan / goal yang ingin dicapai dalam proses analisa.

Tahapan-tahapan dalam Analitical Hirarchy Prosess (AHP) menurut


Marimin (2004) adalah:

1. Penyusunan Hierarki
Dalam tahap penyusunan hierarki ini, pertama-tama mengidentifikasi
permasalahan yang akan diselesaikan. Identifikasi masalah ini terkait dengan
tujuan dalam penelitian, yaitu pengendalian terhadap pertumbuhan permukiman.
Dari permasalahan yang terjadi diuraikan menjadi penjabaran variabel apa yang
mempengaruhi upaya pengendalian terhadap permukiman. Dalam penyususnan
hierarki proses, variabel dan sub variabel yang dijabarkan dalam kajian pustaka
dapat disebut sebagai kriteria. Dari kriteria inilah kemudian disusun hierartki
proses dalam upaya pengendalian terhadap perkembangan permukiman untuk
melihat kriteria mana yang paling doniman diantara kriteria yang lain.
Berdasarkan kajian teori, hierarki penyusunan kriteria pengendalian
perkembangan permukiman dapat dilihat pada gambar 3.3 .

60
PERKEMBANGAN PERMUKIMAN (UNTUK Tujuan
DIKENDALIKAN)
Variabel (Kriteria 1
dalam AHP)

Kondisi social
Kondisi Alam masyarakat Kondisi ekonomi Kondisi Infrastruktur dan sarana
Masyarakat Rumah/peruma Karakteristik budaya
(Nature) (Anthropos and permukiman(network) Masyarakat (society)
society) (society) han (shelter)

Kebiasaan aktivitas
Fasilitas dalam
Jenis Model Tingkat
Keterse Mata perumahan bermukim
pertumb perumahan perumahan Kepadatan
diaan pencaharia Jumlah (kelengkapan
uhan (permanen wilayah
Sumber n populasi
atau non perumahan dan Sub Variabel (Kriteria
daya manusia
persebaran)
alam
permanen)
Lokasi
2 dalam AHP)
Tingkat
permukiman
pendidikan Keberadaa
n institusi
Keada sosial
an Infrastruktur Infrastruktur Infrastruktur
Distribusi air bersih listrik jalan
alam tingkat Keberadaan
pendapatan institusi
msyarakat ekonomi
(ekonomi) Infrastruktur
persampahan
dan
pengolahan
limbah

Gambar 3.3 : Struktur Hierarki kriteria dalam AHP (perkembangan permukiman berdasarkan elemen pembentuk permukiman
Sumber : Hasil Sintesa Peneliti 2016

61
2. Penyebaran kuisioner
Penyebaran kuisioner yang berisi perbandingan antar kriteria penentu yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan permukiman yang nantinya akan digunakan
sebagai acuan dalam pengendalian perkembangan permukiman. Penyebaran
kuisoner dilakukan guna menggali informasi dari unit informasi yang telah
ditentukan diatas. Unit informasi tersebut dipilih sesuai dengan kriteria unit
analisis yaitu dibatasi pada stakeholder yang memahami kondisi permukiman
pada lingkup deliniasi unit analisis (wilayah perencanaan). Stakeholder yang
dimaksud adalah pihak pemerintahan (skala kabupaten, kecamatan, dan desa)
serta swasta dalam hal ini pengembang perumahan pada tiap kecamatan.
Informasi kuisoner ini nantinya akan digunakan sebagai input pembobotan
kriteria elemen permukiman yang mempengaruhi perkembangan permukiman.
Skala pembobotan yang digunakan yaitu skala pembobotan yang diolah dari
Marimin (2004). Skala pembobotan dapat dilihat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Skala Preferensi dari Perbandingan Dua Kriteria


Nilai Keterangan Penjelasan
1 Kriteria A sama pentingnya Kedua kriteria memiliki pengaruh yang sama
dengan kriteria B terhadap perkembangan permukiman.
3 Kriteria A sedikit lebih penting Satu kriteria memiliki sedikit pengaruh
dari kriteria B terhadap perkembangan permukiman..
5 Kriteria A cukup penting Satu kriteria memiliki cukup pengaruh
daripada kriteria B terhadap perkembangan permukiman.
7 Kriteria A sangat penting Satu kriteria memiliki pengaruh yang kuat
daripada kriteria B terhadap perkembangan permukiman.
9 Satu kriteria mutlak penting Satu kriteria memiliki pengaruh yang sangat
(kepentingan yang ekstrim)dari kuat terhadap perkembangan
kriteria B permukiman.sehingga kriteria ini harus
sangat diperhatikan dalam upaya
pengendalian perkembangan permukiman
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua
nilai pertimbangan yang
berdekatan
Sumber : Diolah dari Marimin, 2004
3. Pengolahan dengan Matriks Berpasangan (Pairwise Comparisons)
Hasil kuisioner pembandingan antara kriteria diolah dengan matriks
berpasangan (Pairwise Comparisons), dimana pengolahan dengan matriks

62
berpasangan ini untuk mengetahui nilai – nilai perbandingan tingkat
kepentingan suatu kriteria relatif terhadap kriteria lain yang kemudian diolah
untuk menentukan peringkat/prioritas relative dari seluruh kriteria.

Tabel 3.4 Matriks Pairwisw Comparison


W1 W2 … Wn
W1 W11 W12 … W1n
W2 W21 W22 … W2n
… … … … …
Wn Wn1 Wn2 … Wnn
Sumber : Diolah dari Marimin, 2004

4. Perbandingan untuk memperoleh prioritas (Uji Normalisasi)


Dalam proses perhitungan bobot kriteria, dilakukan melalui beberapa tahap,
yaitu normalisasi dengan membagi setiap nilai perbandingan berpasangan
dengan total nilai perbandingan berpasangan untuk masing-masing kriteria.
Selanjutnya penjumlahan hasil normalisasi setiap kriteria sehingga diperoleh
jumlah bobot tiap kriteria pembanding. Kemudian membagi jumlah bobot tiap
kriteria dengan banyaknya kriteria (pembanding). Terakhir, dilakukan
pengecekkan nilai bobot yang diperoleh dengan menjumlahkan dan hasil yang
diperoleh harus sama atau mendekati 1 (ƩWi = 1).
5. Uji Konsistensi
Perhitungan uji konsistensi nilai matriks perbandingan berpasangan dilakukan
melalui beberapa tahapan yaitu: Mengalikan bobot yang diperoleh dengan nilai-
nilai perbandingan berpasangan, Menjumlahkan hasil kali pada langkah
pertama di atas pada setiap elemen pembanding, Membagi jumlah bobot dengan
bobot (Wi) sehingga diperoleh nilai eigenvector, Menghitung eigenvalue (1
maksimal) dengan membagi eigenvector dengan banyaknya elemen
pembanding, Menghitung nilai indeks konsistensi (CI) dan Menghitung rasio
konsistensi (CR) Matriks perbandingan dapat diterima apabila nilai rasio
konsistensinya tidak melebihi atau sama dengan 0.1. Berikut merupakan rumus
untuk menghitung nilai indeks konsistensi (CI) dan Menghitung rasio
konsistensi (CR).

63
Keterangan :
λ maks : eigenvalue maksimum
n : Jumlah Responden
CR : Rasio konsistensi
CI : Indeks konsistensi
RI : nilai random indeks

Nilai RI merupakan nilai random Indeks yang dikeluarkan oleh Oarkridge


Laboratory berupa tabel berikut (Marimin, 2004).

Tabel 3.5 Nilai Random Indeks

Sumber : Diolah dari Marimin, 2004

6. Penggabungan Pendapat Responden dan Analisa Stakeholder


Pada dasarnya AHP dapat digunakan untuk mengolah data dari satu responden
ahli. Namun demikian dalam aplikasinya penilaian kriteria dan alternatif
dilakukan oleh beberapa ahli. Masing – masing ahli memiliki tingkatan
pengaruh yang berbeda berdasarkan tingkat kepentingan dan interest
stakeholder dalam kaitannya terhadap perkembangan permukiman. Pendapat
dari pihak pemerintah dalam skala kabupaten tentu memiliki bobot yang
berbeda dengan pendapat stakeholder dalam skala tingkatan desa. Analisa
stakeholder dilakukan guna membobotkan pengaruh opini stakeholder pada
proses penggabungan pendapat responden sehingga nanti akan didapatkan
bobot tingkat kepentingan dari stakeholder guna mendapatkan hasil prioritas
gabungan dari analisa AHP. Analisa stakeholder dilakukan dengan melihat
posisi pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap perkembangan
permukiman yang terjadi dengan menskala-kan tingkatan pengaruh dan
kepentingan tersebut dalam skala : 1) Kecil/tidak penting; 2) agak penting; 3)
penting; 4) sangat penting; 5) pelaksanaan pembangunan permukiman sangat

64
bergantung padanya. Skala ini kemudian diinputkan pada masing – masing hasil
pendapat stakeholder.
Dari hasil penggabungan ini nantinya akan dihitung bobot prioritasnya sesuai
dengan tahapan AHP. Berikut merupakan rumus untuk menghitung rata-rata
geometri.

Keterangan:
Wi = Wi : Penilaian Gabungan
wi : Penilaian responden ke-i
n : Jumlah responden

Hasil dari perhitungan AHP untuk bobot prioritas gabungan kriteria ini akan
digunakan dalam proses overlay pada metode analisis Weighted Sum pada
analisa untuk sasaran ketiga. Dimana bobot prioritas ini akan dikalikan dengan
setiap pixel kesesuaian pada peta untuk menghasilkan peta kondisi pengaruh
elemen ekistic yang memiliki bobot prioritas. Untuk mekanisme pembobotan
AHP dalam proses overlay akan dijelaskan lebih rinci dalam analisa.

C. Analisa Kecenderungan Pertumbuhan Permukiman


Teknik analisa yang digunakan untuk memperoleh kecenderungan
pertumbuhan permukiman adalah dengan menggunakan teknik overlay beberapa
peta kriteria elemen pembentuk permukiman yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan permukiman di wilayah studi. Alat analisa yang digunakan untuk
overlay adalah dengan aplikasi Geographic Information System (GIS)
menggunakan bantuan perangkat lunak komputer ArcGIS 9.3.
GIS adalah sistem informasi geografis yang berfungsi untuk mengolah data
– data geografis (spasial). Teknik overlay ini akan menghasilkan pemetaan nilai
(value) spasial pada masing – masing unit wilayah perkembangan permukiman di
wilayah studi dengan basis kriteria elemen pembentuk permukiman yang
dihasilkan pada analisa sebelumnya berdasarkan data yang diperoleh pada proses
penyebaran kuisoner. Dengan adanya pemetaan ini, akan terlihat jelas bagaimana
kondisi perkembangan permukiman yang akan terjadi dimasa depan karena masing
– masing unit wilayah memiliki skor yang merepresentasikan tingkatan value
wilayah. Semakin tinggi value wilayah berdasarkan analisis overlay maka wilayah

65
tersebut merupakan daerah dengan indikasi tingkat pertumbuhan yang lebih cepat
dibandingkan yang lain dan sebaliknya semakin rendah value wilayah maka
wilayah tersebut memiliki indikasi tingkat pertumbuhan yang rendah. Tingkatan
indikasi cepat tumbuh ini merupakan prediksi terjadinya fenomena urban sprawl.
Semakin tinggi indikasi kecepatan tumbuh permukiman maka semakin tinggi pula
peluang terjadinya urban sprawl pada wilayah permukiman tersebut.

Dalam analisa ini, teknik overlay yang digunakan adalah metode Weighted
Sum. Weighted Sum merupakan salah satu tools yang ada dalam ArcGis 9.3 yang
mengkombinasikan berbagai macam input dalam bentuk peta grid dengan
pembobotan kriteria dari AHP. Hasil peta keluaran menunjukkan pengaruh tiap
input tersebut pada suatu wilayah geografis. Ilustrasi overlay weighted sum pada
gambar 3.4.

Illustration

Gambar 3.4 Ilustrasi Operasional Weighted Overlay


Sumber : Help menu pada Aplikasi ArcGIS 9.3

Tahapan operasional Overlay menggunakan ArcGis 9.3 adalah:


1. Peta awal berupa peta kondisi masing - masing variabel hasil pembobotan AHP.
Adapun peta awal diantaranya adalah peta bobot kriteria variabel kondisi alam,
kondisi sosial masyarakat, kondisi ekonomi masyarakat, karakteristik budaya,
kondisi rumah/perumahan, Kondisi infrastruktur dan sarana permukiman.
Keseluruhan peta ini dirubah dalam bentuk peta rasters, dengan cara pilih
polygon to rasters pada ArcToolbox guna merubah peta dasar menjadi peta
rasters.
2. Peta raster di rubah menjadi peta reclass dengan cara pilih reclassify pada
ArcToolbox – merubah peta rasters menjadi peta reclass agar dapat dimasukkan

66
parameter sesuai kriteria masing-masing, kemudian didapatkan peta kesesuaian
lahan berdasarkan kriterianya.
3. Kemudian dilakukan pembobotan dari hasil AHP pada peta peta raster yang
sudah direclass dengan cara, pilih spatial Analyst Tools pada ArcToolbox –
kemudian pilih overlay – weighted sum – kemudian dimasukkan bobot AHP
pada setiap variabel.
4. Setelah pembobotan pada masing-masing variabel, kemudian peta kesesuaian
dan pembobotan dari masing-masing kriteria di overlay kan untuk mendapatkan
peta value wilayah dengan kriteria wilayah berpotensi berkembang
permukiman hingga tidak berpotensi berkembang permukiman. Tahapan proses
overlay dapat dilihat pada gambar 3.5.

Peta hasil analisa yang diolah sesuai


dengan peta representative elemen
permukiman
Peta kriteria berdasarkan hasil Kemudian diubah (polygon) to Raster
analisa kriteria untuk mendapatkan peta raster yang
nantinya digunakan dalam proses
overlay

Peta raster dari setiap Kriteria


Reclassify untuk mengklasifikasi peta
dan memasukkan nilai parameter dari
setiapkriteria untuk mendapatkan peta
reclass.
Peta reclass dari setiap Kriteria

Input bobot kriteria dari hasil AHP


untuk variabel tertentu dengan wight
Peta overlay kesesuaian dari kriteria-
sum untuk mendapatkan peta overlay
kriteria setiap variabel:
(peta kesesuaian) berdasarkan
1. Peta overlay kondisi alam
variabel-variabel
2. Peta overlay kondisi sosial masy
3. Peta overlay kondisi ekonomi
masyarakat
4. Peta overlay karakteristik budaya Input bobot variabel dari hasil AHP
5. Peta overlay kondisi untuk setiap variabel dengan wight
rumah/perumahan sum untuk mendapatkan peta overlay
6. Kondisi infrastruktur dan sarana (peta value wilayah yang
permukiman menggambarkan daerah mana yang
cenderung akan berkembang
permukiman atau tidak)
Peta value wilayah yang
mengindikasikan tingkat
kecepatan pertumbuhan

Gambar 3.5 Proses Overlay


Sumber : Hasil Analisa, 2015

67
D. Analisa Triangulasi sebagai Justifikasi Temuan Penelitian untuk
Menentukan Wilayah Permukiman Cepat Tumbuh.
Dalam merumuskan arahan konsep dan strategi pengendalian perkembangan
permukiman di wilayah perkotaan Lumajang dilakuakan analisis triangulasi guna
justifikasi temuan penelitian. Temuan yang dimaksud adalah terkait wilayah
terindikasi pertumbuhan tinggi dan faktor yang mempengaruhinya. Justifikasi ini
diperlukan untuk memperkuat statement hasil analisa yang dilakukan pada proses
sebelumnya. Stainback (1988) dalam Sugiyono (2010) menyatakan bahwa, tujuan
dari triangulasi ini adalah untuk memperkuat pemahaman peneliti terhadap apa
yang telah ditemukan. Triangulasi bertujuan lebih kepada pemahaman peneliti
terhadap dunia sekitarnya secara holistik, baik secara teori akademis maupun
legitimasi hukum.
Pada dasarnya, analisis triangulasi menggunakan tiga sumber informasi
yang kemudian menjadi pertimbangan dalam penentuan arahan konsep dan strategi
pengendalian perkembangan permukiman di wilayah perkotaan Lumajang yang
implementatif. Dalam penelitian ini, sumber informasi yang digunakan adalah:
1. Kondisi empirik karakteristik wilayah permukiman berdasarkan pemahaman
elemen pembentuk permukiman sasaran 1 dan hasil sasaran 2 berupa faktor
dominan yang mempengaruhi perkembangan permukiman
2. Pendapat stakeholder dari hasil wawancara mengenai kondisi perkembangan
permukiman perkotaan dan persepsi terhadap konsep permukiman sesuai
kebutuhan masyarakat setempat.
3. Rencana terkait pengembangan permukiman pada wilayah penelitian.
Output dari hasil analisa triangulasi ini adalah penentuan daerah
permukiman teridikasi cepat tumbuh dan faktor yang mempengaruhi permukiman
tersebut. Ketika daerah permukiman terindikasi cepat tumbuh sudah ditemukan
maka perumusan konsep dan strategi dilakukan dengan mengacu pada pemahaman
karakteristik permukiman tersebut.

68
3.6.3 Merumuskan Konsep dan Strategi Pengendalian Perkembangan
Permukiman di Wilayah Perkotaan Lumajang.
Konsep dan strategi pengendalian perkembangan permukiman dirumuskan
berdasarkan pemahaman kondisi karakteristik permukiman disejajarkan dengan
indikator pembangunan permukiman berkelanjutan dan prinsip konsep sustainable
development yang dikaji pada bab 2. Kondisi karakteristik yang dimaksud adalah
terkait dengan permasalahan (dipahami dari kondisi empirik dan faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan permukiman) dan kebutuhan permukiman (dari
pendapat stakeholder) dalam proses perkembangan (didapatkan pada sasaran 1 dan
2).
Perumusan konsep dan strategi ini dilakukan dengan teknik analisa
triangulasi. Tujuan dari teknik analisa triangulasi pada proses ini adalah guna
mencari prinsip dari konsep sustainable mana yang tepat guna diterapkan pada
wilayah penelitian. Tiga sumber informasi yang menjadi pertimbangan dalam
penentuan arahan konsep dan strategi pengendalian perkembangan permukiman di
wilayah perkotaan Lumajang adalah:

1. Kondisi empirik wilayah permukiman berdasarkan pemahaman elemen


pembentuk permukiman sasaran 1
2. Hasil sasaran 2 dan 3 dalam penelitian yang berupa karakteristik permukiman
perkotaan eksisting hasil analisa faktor dominan yang mempengaruhi
perkembangan permukiman serta pendapat stakeholder dan masyarakat dari
hasil wawancara mengenai persepsi mengenai konsep pengendalian
perkembangan permukiman perkotaan dan persepsi mengenai konsep
permukiman sesuai kebutuhan masyarakat setempat.
3. Teori mengenai pemahaman konsep pembangunan sustainable settlement.

Hasil dari perumusan konsep dan startegi pengendalian ini kemudian


diterapkan pada wilayah yang terindikasi memiliki indikasi tingkat kecepatan
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lain (output analisa overlay
dan triangulasi pada tahap sebelumnya). Penerapan konsep ini selain mengacu pada
indikator pembangunan berkelanjutan juga memperhatikan pedoman dan standar
perencanaan lingkungan permukiman yang baik. Secara mikro, wilayah

69
permukiman cepat tumbuh dibatasi dan ditentukan berdasarkan batasan
administrasi desa/kelurahan.

3.7 Alur Pikir Proses Penelitian


Alur pikir penelitian adalah proses tahapan penelitian dimulai dari latar
belakang penelitian dilakukan hingga tahapan – tahapan proses analisa yang
dilakukan. Alur pikir penelitian dibahas untuk memudahkan pemahaman terhadap
alur penelitian. Untuk lebih jelasnya, alur pikir penelitian dapat dilihat pada gambar
3.6

Perkembangan permukiman yang


INPUT tidak terkendali (URBAN
SPRAWL)

PROSES
Identifikasi karakteristik
permukiman
Perkembangan
Permukiman

MAKRO
Analisa deskriptif

karakteristik permukiman Analisa overlay


berdasarkan elemen pembentuk dengan aplikasi GIS
Analisa citra
wilayah
Analisa hierarki
proses Pemetaan value wilayah,
mengindikasikan tingkatan
pertumbuhan permukiman
Pembobotan Faktor yang
mempengaruhi
perkembangan Analisa Triangulasi
permukiman berdasarkan Analisa
elemen pembentuk overlay Justifikasi hasil temuan daerah yang
permukiman dengan mengindikasikan pertumbuhan
aplikasi GIS permukiman paling cepat
MIKRO

Konsep strategi pengendalian


Analisa triangulasi
OUTPUT

perkembangan permukiman Permukiman


mengacu pada konsep cepat tumbuh
sustainable settlement

Gambar 3. 6. Alur proses penelitian.

70
Hal yang harus diperhatikan pada proses penelitian ini adalah lingkup
wilayah yang dibagi menjadi dua bagian yaitu secara makro dan mikro. Secara
makro, analisa yang dilakukan berlaku pada keseluruhan lingkup wilayah penelitian
(kecamatan Lumajang, Sukodono, Padang, Sumbersuko, dan Tekung). Sedangkan
secara mikro, analisa diberlakukan pada kawasan permukiman cepat tumbuh yang
ditentukan berdasarkan hasil analisa overlay (analisa Makro).
Tahapan analisa pada bagian makro adalah terkait identifikasi karakteristik
permukiman (berdasarkan elemen pembentuk), analisa tren tahapan perkembangan,
serta analisa faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman. Factor yang
mempengaruhi perkembangan permukiman dianalisa dengan menggunakan teknik
AHP guna melihat bobot pengaruh masing – masing variabel elemen pembentuk
permukiman terhadap perkembangan permukiman yang terjadi. Dari hasil analisa
AHP kemudian dilakukan teknik overlay guna menentukan kawasan permukiman
cepat tumbuh. Hasil analisa overlay dijustifikasi dengan analisa triangulasi.
Simpulan dari hasil tahapan analisa makro secara umum adalah diketahuinya
wilayah permukiman cepat tumbuh dan bagaimana karakteristik elemen
pembentuknya.
Tahapan selanjutnya adalah analisa dalam lingkup mikro yang dilakukan
wilayah permukiman cepat tumbuh (output analisa makro). Mikro yang dimaksud
disini adalah lingkup wilayah yang lebih spesifik menunjukkan kawasan
permukiman cepat tumbuh. Permukiman dengan indikasi cepat tumbuh ini
kemudian menjadi objek secara khusus (lingkup mikro) dalam proses penelitian.
Tahapan analisa mikro yang dilakukan adalah dengan mengamati elemen
pembentuk permukiman secara detail pada kawasan permukiman cepat tumbuh
untuk merumuskan konsep dan strategi pengendalian. Teknik analisa yang
digunakan pada tahapan ini adalah triangulasi.
Analisa triangulasi didasarkan pada input ; 1) hasil temuan penelitian; 2)
pendapat stakeholder; dan 3) konsep indikator pembangunan berkelanjutan. Hasil
dari rumusan konsep dan strategi ini kemudian digambarkan penerapannya pada
kawasan permukiman cepat tumbuh melalui pendekatan proses perencanaan
lingkungan permukiman yang berkelanjutan.

71
“halaman ini sengaja dikosongkan”

72
BAB 4
KARAKTERISTIK PERMUKIMAN

Perkembangan permukiman pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor


yang mempengaruhi pembentukan permukiman tersebut. Guna merumuskan
instrumen konsep dan strategi pengendalian pertumbuhan permukiman maka perlu
dilakukan identifikasi karakteristik pembentuk permukiman untuk kemudian dicari
faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman dengan mengacu pada
karakteristik tersebut.
Pemahaman terhadap karakteristik pembentuk permukiman dilakukan
dengan mempelajari permukiman berdasarkan elemen pembentuknya. Sedangkan
untuk mencari faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman dilakukan
analisa hierarki proses yang membandingkan tingkat pengaruh antar faktor yang
mempengaruhi perkembangan permukiman yang akan dilakukan pada tahap
selanjutnya. Faktor ini didapat dari pemahaman karakteristik yang dilakukan pada
tahap sebelumnya. Penjabaran faktor ini dilengkapi dengan visualisasi peta dengan
analisa geografis visual menggunakan perangkat Argist sehingga dalam tahapan
analisanya dapat dijabarkan pemahaman akan keruangan (spasial) dimana
perkembangan permuiman tersebut terjadi. Dan tahapan terakhir dari proses
penelitian ini adalah perumusan konsep dan strategi pengendalian permukiman
yang didapat berdasarkan pemahaman dari keseluruhan proses yang dilakukan.

4.1 Karakteristik Pembentuk Permukiman Perkotaan Lumajang


Secara administrasi wilayah penelitian adalah bagian dari kabupaten
Lumajang yaitu lima kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Lumajang,
Sumbersuko, Padang, Tekung, dan Sumbersuko dengan luas total 16837,22 Ha.
Batas administrasi dari wilayah penelitian ini adalah :Sebelah Utara : Kecamatan
Kedungjajang dan Gucialit
Sebelah Timur : Kecamatan Jatiroto, Randuagung, dan Rowokangkung
Sebelah Selatan : Kecamatan Kunir, Tempeh, dan Yosowilangun

73
Sebelah Barat : Kecamatan Senduro dan Pasrujambe

Gambar 4.1 Peta Deliniasi Wilayah Penelitian


Sumber : Diolah Dari Data BAPPEDA Kabupaten Lumajang

Untuk memahami karakteristik permukiman, digunakan dengan melihat


permukiman berdasarkan elemen pembentuknya. Berdasarkan Theory of Ekistics –
Doxiadis, permukiman terdiri dari 5 elemen yang bisa dikelompokkan dalam the
content dan the container, yang harus dipahami secara keseluruhan, tidak
dibedakan secara tegas dalam kajiannya. Fisik kawasan permukiman alam, jaringan
dan rumah/perumahan adalah the container, sedangkan manusia dan sistem
masyarakat yang merupakan aspek non fisik permukiman adalah the content
(Doxiadis1976). Dua bagian yang terdiri dari lima elemen ini adalah aspek yang
sangat berpengaruh dalam bentuk, perkembangan, dan pengembangan
permukiman.

74
Berdasarkan hasil amatan studi baik primer dan maupun sekunder berikut
dipaparkan karakteristik pembentuk permukiman yang berpengaruh terhadap
kawasan permukiman di wilayah penelitian.

4.1.1 Karakteristik fisik


a. Alam
 Keadaan alam
Secara topografi wilayah Kabupaten lumajang terbagi dalam 4 daerah
yaitu : daerah gunung, pegunungan, dataran fluvial dan dataran alluvial. Wilayah
penelitian masuk pada kategori topografi ketiga yang secara umum berupa tanah
datar landai yang subur. Tanah di wilayah kabupaten Lumajang cenderung subur
karena diapit oleh tiga gunung berapi yakni Gunung Bromo, Gunung Semeru, dan
Gunung Lamongan.
Ketinggian daerah lumajang bervariasi dari 0 hingga diatas 2000 Mdpl. Wilayah
penelitian masuk pada wilayah dengan kategori ketinggian 100- 500 Mdpl. Tekstur
tanah wilayah penelitian dominan sedang, tidak terdapat genangan pada mayoritas
wilayah penelitian, dan kemiringan wilayah adalah 0-15% dominan untuk wilayah
Kecamatan Lumajang, Sumbersuko, dan Tekung, sedang utuk wilayah Kecamatan
Padang dan Sukodono kemiringan dominan adalah pada tingkat 15-25%.
Daerah Lumajang memiliki 3 tipe iklim yaitu agak basah, sedang, dan
agak kering. Wilayah penelitian masuk dalam kategori iklim sedang kecuali
kecamatan Tekung. Iklim sedang ini dikarenakan wilayah penelitian berada pada
kategori ketinggian 100- 500 Mdpl dengan tingkat kemiringan rata- rata 0-15%
yang cenderung datar dan bukan daerah pegunungan atau perbukitan. Rata – rata
iklim agak basah berada pada wilayah pegunungan seperti kecamatan Senduro dan
Gucialit yang merupakan daerah perbatasan wilayah penelitian dengan kategori
wilayah pegunungan.
Permukiman penduduk dengan segala fasilitas pendukungnya paling ideal
berada pada kemiringan 0-8%, kemiringan 8-15% masih dapat diterima dengan
pembatasan kepadatan bangunan, sedangkan kemiringan diatas 15% tidak baik
untuk pusat pemukiman. Selain itu, kualitas air tanah dan ketersediaan air bersih

75
juga perlu diperhatikan, kualitas air harus baik karena pada permukiman
penggunaan air bersih akan sangat tinggi.
Untuk pemahaman mengenai kondisi alam yang sesuai guna dibangun
permukiman, terdapat standart yang ditetapkan oleh menteri pekerjaan umum guna
pedoman kriteria lahan yang dikatekan sesuai atau tidak sesuai untuk dibangun
permukiman. Dengan mengacu pada pedoman tersebut berdasarkan kondisi
alamnya akan dapat tergambar bagaimana karakteristik kondisi alam pada wilayah
penelitian dikaitkan dengan potensi perkembangan permukiman yang akan terjadi.

Tabel 4.1 Standar Kriteria Kesuaian Lahan Untuk Permukiman


Kesesuaian
No Kriteria Sesuai Tidak
Sesuai
Bersyarat Sesuai
1 Ketersediaan air bersih Hujan, sungai, atau Sumur 10-30 Sumur >30
sumur 10 m m m
2 Kualitas air tanah Tawar Payau Asin
3 Rawan Bencana (banjir dan Tanpa Musiman Permanen
genangan, longsor, abrasi)
4 Kemiringan lahan <8% 10-25% >25%
5 Drainase tanah Baik Sedang Tidak baik
6 Erodibilitas tanah Rendah Sedang Tinggi
7 Tekstur tanah Halus-sedang Agak kasar Kasar
Sumber : Diolah Dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/PRT/M/2007

Jika dilihat kondisi alam wilayah penelitian dapat dikatakan secara umum
hampir keseluruhan wilayah dapat dimanfaatkan sebagai kawasan permukiman.
Secara detail, kondisi alam wilayah penelitian dibandingkan dengan kriteria
kesesuaian lahan untuk permukiman dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Data Kondisi Alam (fisik dasar)

Aspek Kondisi
No Padang Tekung
kondisi Lumajang Sukodono Sumbersuko
1 Ketersediaan Air Air Air Air Air
air bersih permukaan, permukaan, permukaan, permukaan, permukaan,
sungai, dan sungai, dan sungai, dan sungai, dan sungai
sumur sumur sumur sumur

2 Kualitas air Tawar Tawar Tawar Tawar Tawar


tanah
3 Rawan Tanpa Tanpa Tanpa Tanpa Musiman
Bencana
(banjir dan

76
Aspek Kondisi
No Padang Tekung
kondisi Lumajang Sukodono Sumbersuko
genangan,
longsor,
abrasi)
4 Kemiringan 0-15% 0-15% 10-25% 10-25% 0-5%
lahan rata -
rata
5 Drainase Teratur, Teratur, Tertata Tertata Tertata
tanah tertata tertata dengan baik dengan baik dengan
dengan baik dengan baik baik
6 Erodibilitas (tidak ada (tidak ada (tidak ada (tidak ada (tidak ada
tanah data) data) data) data) data)

7 Tekstur tanah Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang


Keterangan : sesuai sesuai bersyarat

Sumber : RTRW Kabupaten Lumajang 2008-2028, RDTRK kecamatan Lumajang,


Sukodono, Sumbersuko, dan Tekung 2015

Berdasarkan data kondisi fisik yang ada pada wilayah penelitian dan
dibandingkan dengan standart kriteria kesesuaian lahan untuk permukiman
berdasarkan standart yang dikeluarkan oleh Menteri Pekerjaan Umum (tabel 4.1)
dapat dikatakan bahwa kondisi alam di wilayah penelitian mayoritas masuk pada
kategori sesuai dan sebagian kecil pada kriteria sesuai bersyarat. Kriteria sesuai
bersyarat terdapat pada kemiringan lahan pada wilayah Kecamatan Padang dan
Sumbersuko yang memiliki kemiringan lahan 10-25% serta potensi banjir musiman
pada bagian wilayah kecamatan Tekung. Dilihat dari kemiringan, hampir 40%
kondisi lahan Kecamatan Padang memiliki kelerengan 10-25% sedangkan
Sumbersuko hanya sekitar 20%. Detail kondisi kelerengan dapat dilihat pada
gambar 4.2.

77
Gambar 4.2 Peta Kondisi Kelerengan Wilayah Penelitian
Sumber : Diolah Dari RTRW Kabupaten Lumajang 2008 dan Data RDTRK
BAPPEDA Kabupaten Lumajang 2014

 Ketersediaan sumberdaya alam


Yang dimaksud ketersediaan sumberdaya alam yang akan dibahas disini
adalah potensi SDA pada sebuah wilayah yang mempengaruhi manusia untuk
mengembangkan permukiman. Ketersediaan SDA akan mempengaruhi keputusan
manusia dalam menentukan dimana dia akan tinggal karena terkait dengan
aktivitas. Seorang nelayan akan memilih tinggal didekat pantai karena aktivitas
dominannya adalah terkait dengan sumber daya Laut yang ada di dekat pantai.
Begitu pula seorang petani yang cenderung tinggal di daerah subur yang produktif
untuk bercocok tanam. Dilihat dari kondisi ketersediaan Sumberdaya Alam, tidak
ada potensi khusus SDA yang dominan menyebabkan tarikan manusia untuk
bermukim (seperti adanya potensi migas atau tambang). Kondisi SDA yang
berpengaruh terhadap tumbuhnya permukiman adalah tanah yang subur akibat
adanya gunung berapi.

78
Gambar 4.3 Gambaran Pemanfaatan Lahan Secara Umum
Sumber : Diolah Dari RTRW Kabupaten Lumajang 2012 dan Data RDTRK
BAPPEDA Kabupaten Lumajang 2014

Dilihat dari penggunaan lahan secara makro, mayoritas penggunaan lahan


guna pemanfaatan sumber daya alam pada wilayah penelitian adalah sebagai
tegalan sebanyak 39% (6585 Ha), persawahan 43% (7252 Ha) dan permukiman
17% ( 2909 Ha) dan sisanya merupakan padang rumput dan semak belukar. Hal ini
berkaitan dengan mata pencaharian penduduk Lumajang secara umum dimana jika
dibagi menjadi 3 kelompok aktivitas yaitu agrikultur (sawah, tegal, kebun),
manufactur dan servis (terkonsentrasi pada simpul - simpul permukiman). Jika
dilihat dari ketersediaan sumberdaya alam maka perkembangan permukiman terjadi
mengikuti daerah subur yang berpotensi menimbulkan aktivitas manusia pada
bidang agrikultur.

b. Rumah/perumahan
 Kondisi rumah/perumahan
Kawasan perumahan di di wilayah penelitian terbagi menjadi kawasan
perumahan padat, sedang, dan rendah dengan karakteristik perumahan dibedakan
antara perumahan developer dan perumahan kampung.

79
Perumahan formal
Karakteristik perumahan yang dikembangkan oleh developer adalah
kondisi bangunan yang tertata dengan sarana prasarana yang terencana dengan
baik. Perumahan developer di wilayah penelitian paling banyak terdapat pada
kawasan perkotaan kecamatan Lumajang dan Sukodono seperti Perumahan Suko
Asri di Kelurahan Rogotrunan, Perumahan Panjaitan Permai di Kelurahan
Citrodiwangsan, Perumahan Sukodono di Desa Kuteronon, Perumahan Biting
Permai di Desa Kuteronon. Kondisi perumahan developer ini cenderung baik jika
dilihat dari segi kondisi bangunan (dinding batu-bata, atap genteng), jarak antar
bangunan, maupun penataan kawasan secara umum.

Gambar 4.4 Perumahan Developer


Sumber : Survey Primer 2016

Perumahan kampung
Perumahan kampung di kawasan perkotaan Lumajang umumnya
cenderung linier mengikuti jalan dengan kepadatan di setiap kawasan berbeda.
Terdapat perumahan kampung yang sudah tertata baik memiliki tingkat KDB
(Koefisien Dasar Bangunan) dan KDH (Koefisien Dasar hijau) yang baik dengan
jarak sempadan bangunan ke jalan juga baik. Perumahan jenis tersebut memiliki
bangunan yang biasanya dikategorikan luas, seperti di Jl. Slamet Riadi Kelurahan
Tompokersan.
Namun terdapat perumahan padat dengan fasilitas dan infrastruktur yang
kurang dan umumnya perkembangan rumah seperti ini tidak dapat dikendalikan
karena aspek dari kebutuhan rumah dan kebutuhan lahan yang tinggi, sehingga
mengalami penurunan kualitas lingkungan perumahan dari segi kebutuhan RTH

80
tidak terpenuhi dan kebutuhan kesehatan rumah juga kurang. Berdasarkan data
RDTR Kecamatan Lumajang dan Sukodono, permukiman dengan kategori
mengalami penurunan kualitas lingkungan sebagai contoh yaitu pada Jl. Ade Irma
Suryani, sekitar Jl. KH Ghozali, sekitar Jl. Cut Mutia, sekitar Jl. Juanda, Di bantaran
Sungai Bondoyudo dan bantaran Sungai Asem.
Selain itu perumahan kampung juga terdapat pada wilayah pedesaan yang
sedikit jauh dari pusat kota terutama wilayah pedesaan Kecamatan Tekung,
Sumbersuko, dan Padang. perumahan yang berada di pinggir kawasan perkotaan
Lumajang memiliki karakteristik seperti desa dan jenis perumahan berkepadatan
sedang hingga rendah.

Gambar 4.5 Perumahan Kampung


Sumber : Survey Primer 2016

Jika dilihat dari kondisinya, secara umum bangunan rumah yang masuk
kategori layak pada wilayah penelitian memiliki komposisi bahan pembentuk
dinding berupa batu bata yang terlihat kokoh sedangkan rumah dengan kategori
tidak layak umumnya berupa rumah tidak permanen dengan dinding dari bambu
atau tidak memiliki sanitasi yang baik. Kriteria indikator perumahan layak huni
berdasarkan standart PU sendiri adalah rumah yang sehat dan aman serta didukung
prasarana, sarana, dan utilitas yang memadai (PERMENPERA No 22 tahun 2008).
Data kondisi rumah pada wilayah penelitian yang didapat dari hasil survey Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Lumajang disajikan pada tabel 4.3.

81
Tabel 4.3. Data Kondisi Rumah di Kawasan Perkotaan Lumajang

No. Kecamatan Jumlah rumah Jumlah rumah tidak layak


(unit) huni
1 Lumajang 21.468 8.587
2 Sukodono 13.542 4.260
3 Sumbersuko 9.480 2.774
4 Padang 9.867 4.491
5 Tekung 9.096 7.566
Total 63.453 27.678
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lumajang 2014 dan Statistik Daerah
Kecamatan Lumajang, Sukodono, Padang, Sumbersuko, dan Tekung 2015

Jika dilihat dari data hasil survey dinas PU, prosentase rumah yang masuk
kategori tidak layak jika dibandingkan dengan jumlah rumah secara keseluruhan
cenderung beragam. Kecamatan dengan prosentase rumah yang tidak layak lebih
dari 50% adalah Kecamatan Tekung. Sedangkan jumlah terbanyak rumah tidak
layak huni paling besar terdapat pada wilayah kota yaitu kecamatan Lumajang. Jika
dihitung prosentase kondisi perumahan, dengan perbandingan jumlah total maka
didapat 43,6% rumah tergolong tidak layak huni.

 Jenis perumahan
Berdasarkan jenisnya, rumah pada wilayah penelitian secara umum terbagi
kedalam rumah permanen dan non permanen. Rumah permanen, memiliki ciri
dinding bangunannya dari tembok, berlantai semen atau keramik, dan atapnya
berbahan genteng. Sedangkan rumah non-permanen memiliki dinding kayu, bambu
atau gedek, dan tidak berlantai (lantai tanah), atap rumahnya dari seng maupun
asbes.

Gambar 4.6 Rumah Non Permanen


Sumber : survey primer 2016

82
Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa setiap kecamatan di wilayah
penelitian memiliki kurang lebih 10% rumah dengan jenis non permanen.
Kecamatan lumajang memiliki jumlah rumah non permanen lebih banyak
dibandingkan dengan kecamatan yang lain.

Tabel 4.4. Data jenis Rumah di Kawasan Perkotaan Lumajang

No. Kecamatan Jumlah rumah Rumah Rumah non-


(unit) permanen permanen
1 Lumajang 21.468 18.250 2.663
2 Sukodono 13.542 12.794 748
3 Sumbersuko 9.480 8.359 1.121
4 Padang 9.867 7.869 1.998
5 Tekung 9.096 7.120 1.976
Total 63.453 54.342 9.111
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lumajang 2014 dan Statistik Daerah
Kecamatan Lumajang, Sukodono, Padang, Sumbersuko, dan Tekung 2015

Dari data yang didapat dapat terlihat bahwa sebanyak 14,3% rumah di
wilayah penelitian masuk dalam jenis non permanen, dan 85,6% rumah sudah
permanen.

 Model perumahan
Model perumahan yang ada di wilayah penelitian cenderung bergaya
arsitektur modern karena kebanyakan rumah dibangun secara mandiri ataupun oleh
pengembang. Pembangunan yang dilakukan oleh pengembang maupun mandiri
cenderung mengadopsi langgam arsitektural modern.

Gambar 4.7 Model Rumah Arsitektur Lama Peninggalan Belanda


Sumber : survey primer 2016

83
Model perumahan tradisional yang memiliki langgam arsitektural lama
seperti model jengki yang merupakan rumah peninggalan tahun 1950-an masih ada,
namun hanya sedikit biasanya terdapat pada daerah pedesaan.

 Lokasi permukiman
Lokasi permukiman pada wilayah penelitian cenderung berkembang
berdasarkan beberapa aspek seperti simpul aktivitas, jalur pergeran manusia dan
barang ataupun mendekati sumber daya alam yang berkaitan dengan
matapencaharian. Permukiman yang berkembang mengikuti simpul aktivitas terjadi
pada wilayah pusat perkotaan seperti kecamatan Lumajang dan Sukodono. Untuk
kecamatan Sumbersuko dan Tekung perkembangan permukiman cenderung
mengikuti jalur pergerakan barang dan jasa karena kecenderungan penduduk di
kecamatan ini memiliki aktivitas yang berada di pusat perkotaan Lumajang.
Sedangkan untuk kecamatan Padang perkembangan permukiman yang terjadi
akibat adanya tarikan SDA berupa potensi agrikultur yang besar yaitu pertanian
lahan basah dan kering.

 Tingkat Kepadatan wilayah perumahan


Berdasarkan tingkat kepadatan wilayahnya, perumahan di wilayah
penelitian dibagi dalam tngkat kepadatan rendah, sedang, hingga tinggi. Tingkat
kepadatan wilayah perumahan dapat tergambar dari jarak garis sepadan bangunan,
koeffisien dasar bangunan, koeffisien lantai bangunan, serta proporsi lahan hijau
yang terdapat pada lingkungan perumahan.

Gambar 4.8 GambaranTingkat Kepadatan Permukiman


Sumber : survey primer 2016

Tingkat kepadatan tinggi berada pada pusat permukiman perkotaan yaitu


kecamatan Lumajang dan Sukodono dengan jarak garis sepadan antar bangunan

84
(GSB) mencapai 0-0,5 meter (Gambar 4.8 kiri). semakin menuju keluar pusat
perkotaan tingkat kepadatan cenderung berkurang menuju sedang hingga rendah
dengan jarak GSB mencapai 1-5 meter (Gambar 4.8 kanan)..
Koefisien Dasar Bangunan adalah prosentase perbandingan seluruh luas
lantai dasar bangunan dengan luas lahan/persil. Berdasarkan hasil pengamatan,
terlihat bahwa Koefisien Dasar Bangunan (KDB) pada wilayah penelitian memiliki
karakteristik yang berbeda tergantung dari jenis permukiman dan letaknya dari
pusat kota (kecamatan Lumajang). Kawasan Perumahan di pusat perkotaan
(kecamatan Lumajang) cenderung memiliki KDB rata – rata hampir 90-100 %
dengan intensitas kerapatan bangunan satu dan lainnya sangat tinggi. Sebaliknya
semakin menyebar keluar pusat perkotaan, intensitas kerapatan antar bangunan
perumahan semakin rendah. KDB untuk rumah pada wilayah pedesaan kecamatan
Sukodono, Sumbersuko, Padang, dan Tekung rata – rata 60-70%.
Koefisien lantai bangunan adalah angka perbandingan antara jumlah luas
lantai bangunan dengan luas lahan/persil. Berdasarkan pengamatan lapangan KLB
perumahan pada wilayah penelitian adalah :
 Perumahan pusat perkotaan (Kecamatan Lumajang) KLB rata – rata sebesar
100 – 200% (1 hingga 2 lantai)
 Perumahan menjauhi wilayah pusat perkotaan (Kecamatan Lumajang) rata –
rata sebesar 100 % (1 lantai)
Proporsi lahan hijau yang ada pada setiap lingkungan perumahan yang
ada pada wilayah studi memiliki kondisi berkebalikan dengan kepadatan
perumahan. Semakin padat intensitas perumahan maka semakin kecil proporsi
lahan hijau jika dibandingkan dengan luas lahan secara keseluruhan. Jadi secara
umum dapat terlihat bahwa perumahan pada bagian tengah wilayah penelitian
memiliki proporsi lahan hijau lebih kecil jika dibandingkan dengan daerah diluar
pusat permukiman perkotaan.

 Fasilitas perumahan (kelengkapan dan persebaran)


Fasilitas perumahan adalah penunjang perumahan sebagai pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Kondisi fasilitas perumahan yang ada pada wilayah studi
dijabarkan sebagai berikut :

85
1. Sarana Pendidikan
Keberadaan saran pendidikan secara tidak langsung ikut mempengaruhi
perkembangan permukiamn. Pendidikan menjadi aspek penting dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Jumlah dan sebaran sarana
pendidikan yang terdapat di wilayah penelitian dijabarkan pada tabel 4.5.

Tabel 4.5. Data Sebaran Jumlah Fasilitas Pendidikan pada Wilayah Penelitian
No. Kecamatan TK, SD sederajat SLTP SLTA
PAUD sederajat sederajat
1 Lumajang 88 32 12 8
2 Sukodono 29 26 3 0
3 Sumbersuko 0 18 5 1
4 Padang 23 27 1 0
5 Tekung 27 19 3 1
Total 167 122 24 10
Sumber : Kecamatan Dalam Angka 2014

Berdasarkan data diatas dapat terlihat bahwa sarana pendidikan sudah


tersedia menyebar pada masing – masing kecamatan. Untuk pelayanan sarana
pendidikan tingkat SLTA pada kecamatan Sukodono dan Padang terpenuhi oleh
SLTA yang ada di kecamatan Lumajang.

2. Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan pada lingkungan permukiman sangat dibutuhkan terkait
kesejahteraan masyarakat. Distribusi sarana kesehatan yang merata juga perlu
diperhatikan agar dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat..

Tabel 4.6. Data Sebaran Jumlah Fasilitas Kesehatan pada Wilayah Penelitian
No. Kecamatan Rumah Puskesmas Puskesmas Bidan
sakit Pembantu Praktek
1 Lumajang 4 1 1 26
2 Sukodono 0 1 2 20
3 Sumbersuko 0 1 1 3
4 Padang 0 1 3 0
5 Tekung 0 1 2 5
Total 4 5 9 54
Sumber : Kecamatan Dalam Angka 2014

86
3. Sarana Peribadatan
Sarana peribadatan di wilayah penelitian didominasi oleh sarana
peribadatan agama Islam karena pensusuk wilayah setempat mayoritas memeluk
agama Islam.

Tabel 4.7. Data Sebaran Jumlah Fasilitas Peribadatan pada Wilayah Penelitian
No. Kecamatan Masjid Langgar/ Gereja Pura Wihara
musholla
1 Lumajang 50 331 9 0 1
2 Sukodono 10 57 0 0 0
3 Sumbersuko 3 55 0 0 0
4 Padang 37 302 0 0 0
5 Tekung 16 216 0 0 0
Total
Sumber : Kecamatan Dalam Angka 2014

4. Sarana Perkantoran/Pemerintahan
Pada wilayah studi, kantor pemerintahan tingkat Kabupaten terpusat di
Kecamatan Luamjang. Sedangkan sarana perkantoran lain yang terdiri dari kantor
camat, kantor desa, KORAMIL, POLSEK, KUA, Dikbud, BRI Unit, dll tersebar di
seluruh wilayah penelitian dengan kondisi yang baik.

5. Sarana Perdagangan dan Jasa


Sarana perdagangan dan jasa di wilayah studi banyak yang berupa toko-
toko yang menjual keperluan rumah tangga, futnitur, elektronik, minimarket, dan
lain sebagainya.

 Tata guna lahan


Dilihat dari tata guna lahan, tingkat keberagaman penggunaan lahan paling
tinggi terdapat pada wilayah kecamatan Lumajang dan Sukodono. Keberagaman
ini dipicu terutama pada koridor – koridor yang menjadi pusat perdagangan dan
jasa. Sedangkan semakin keluar pada wilayah pusat diluar kecamatan Lumajang
dan Sukodono tata guna lahan semakin homogen. Kecamatan Padang atau
Sumbersuko misalnya dominasi hanya pada guna lahan permukian dan beberapa
penggunaan lahan lain misalnya fasilitas umum dan industri namun dengan
proporsi yang tidak besar. Gambaran tata guna lahan dijabarkan pada gambar 4.9.

87
Tingkat
keberagaman

Gambar 4.9 Tata Guna Lahan Kecamtan Lumajang dan Sukodono


Sumber : Data RDTRK Kecamatan Lumajang dan Sukodono BAPPEDA
Kabupaten Lumajang 2014

Sebagai perbandingan, wilayah yang cenderung memiliki keberagaman


yang mendekati wilayah kecamatan Lumajang dan Sukodono adalah kecamatan
Tekung. Namun tingkat keberagaman tata guna lahan kecamatan Tekung tidak
lebih besar dari Kecamatan Lumajang.

Gambar 4.10 Deret Perjas Pada Permukiman Kecamatan Lumajang dan Sukodono
Sumber : survey primer 2016

88
c. Jaringan
Jaringan yang dimaksud disini adalah Infrastruktur dan sarana permukiman
yang mendukung keberlangsungan permukiman pada wilayah penelitian.
Infrastruktur yang akan dibahas disini adalah infrastruktur dasar berupa air bersih,
listrik, jalan, sampah dan pengolahan limbah, serta telekomunikasi

 Infrastruktur air bersih


Ketersediaan jaringan air bersih ini tentu sangan penting bagi
keberlangsungan sebuah permukiman. Tanpa adanya jaringan air bersih yang baik
tentu kualitas permukiman tidak akan berkembang menjadi baik karena air bersih
adalah kebutuhan dasar manusia yang tinggal didalam sebuah permukiman.
Pendistribusian air bersih di Kawasan perkotaan Lumajang rata – rata
menggunakan jaringan PDAM dengan pipa Ø 12’’ dan hampir melayani seluruh
kawasan permukiman terutama kecamatan Lumjang dan Sukodono dan sebagian
wilayah kecamatan Tekung, Sumbersuko, dan Padang yang dekat dengan wilayah
Kecamatan Sukodono dan Lumajang. Selain PDAM akses air bersih rata – rata
diperoleh penduduk dengan memanfaatkan air tanah (sumur). Permukiman dengan
pemenuhan air bersih berasal dari tanah adalah wilayah pinggiran Kecamatan
Sumbersuko, Padang, dan Tekung. Berikut ini merupakan data jumlah jumlah
pengguna air bersih dan sumbernya di wilayah penelitian pada tahun 2014.

Tabel 4.8 Pengguna Air Bersih dan Sumbernya pada Wilayah Penelitian (2014)
No Kecamatan Sumber Air Bersih
PDAM Sumur Ledeng Mata air
1 Lumajang 6.612 - - -
2 Sukodono 610 - - -
3 Sumbersuko - 2.860
4 Padang - 2.597 1.790 5.317
5 Tekung - 8.309 681 7
Sumber : Kecamatan dalam Angka 2015, RDTRK Kecamatan Lumajang dan
Sukodono

89
Gambar 4.11 Peta Jaringan Air Bersih PDAM
Sumber : Diolah Dari RTRW Kabupaten Lumajang 2012 dan Data RDTRK
BAPPEDA Kabupaten Lumajang 2014

 Infrastruktur listrik
Ketersediaan jaringan listrik sangat penting bagi berlangsungnya aktivitas
pada sebuah permukiman sehingga dalam proses pemenuhannya haruslah
memperhatikan demand dari penduduk yang ada. Mengenai jaringan listrik yang
terdapat di wilayah penelitian meliputi jaringan listrik tegangan tinggi (SUTT),
jaringan listrik tegangan menengah (SUTM) dan jaringan listrik tegangan rendah
(SUTR). Hampir semua rumah tangga yang ada pada wilayah penelitian terlayani
infrastruktur listrik dengan baik.

Tabel 4.9 Pengguna Listrik dan Sumbernya pada Wilayah Penelitian Tahun 2014
No Kecamatan Sumber Listrik
Listrik PLN Listrik Non PLN Non- Listrik
1 Lumajang 16.709 43 44
2 Sukodono 7.375 8 8
3 Sumbersuko 9.441 - -
4 Padang 9.784 40 53
5 Tekung 8.915 6 40
Sumber : Kecamatan dalam Angka 2015

90
 Infrastruktur jalan
Dalam perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah, infrastruktur jalan
berkaitan dengan sektor transportasi yang mempunyai peranan penting dalam
membuka peluang bagi potensi berkembangnya sebuah permukiman. Sebagai alat
penghubung, transportasi dapat memberikan implikasi terhadap perubahan struktur
ruang secara mendasar. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa berbagai pola jaringan
akan membentuk pola penggunaan lahan tertentu, namun pada kesempatan lain
pola penggunaan lahan secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem
transportasi. Kondisi jalan yang terdapat di kawasan perkotaan Lumajang ditinjau
berdasarkan Jenis perkerasan yang ada dibedakan menjadi:
- Aspal
- Aspal hotmix
- Perkerasan semen, paving, tanah

Gambar 4.12 Peta Jaringan Jalan

Sumber : Diolah Dari RTRW Kabupaten Lumajang 2012 dan Data RDTRK
BAPPEDA Kabupaten Lumajang 2014

91
Berdasarkan pengamatan di lapangan, hampir seluruh jaringan jalan yang
terdapat di wilayah penelitian memiliki jenis perkerasan aspal dan aspal hotmix
kecuali untuk beberapa jalan lingkungan di Kecamatan Padang, Tekung, dan
Sumbersuko. Sedangkan untuk pola jaringan jalan, wilayah penelitian memiliki
Pola jaringan jalan berbentuk linear, radial dan grid.
Pola linier merupakan pola garis lurus yang menghubungkan dua titik
utama. Pola linier ini dapat dilihat pada jalan penghubung antara kecamatan
Lumajang sebagai pusat permukiman perkotaan dengan kecamtan lain disekitarnya.
Untuk pola radial terpusat pada satu titik dan mengarah ke berbagai titik/lokasi.
Jaringan jalan yang membentuk pola radial pada wilayah penelitian adalah jaringan
jalan dengan akses eksternal yang menghubungkan pusat pusat permukiman pada
masing – masing kecamatan. Untuk pola grid biasanya menghubungkan unit
lingkungan dengan beberapa lokasi pemukiman/perumahan.

 Infrastruktur persampahan dan pengolahan limbah


Sistem persampahan di wilayah penelitian terbagi menjadi dua, yaitu
sistem swadaya oleh masyarakat dan sistem pengelolaan oleh petugas kebersihan.
Pengelolaan sampah secara swadaya dilakukan pengangkutan sampah terkoordinir
oleh masyarakat sendiri dari rumah ke TPS. Sedangkan untuk sampah yang dikelola
petugas kebersihan yaitu sampah-sampah pada fasilitas perekonomian dan fasilitas
sosial/umum (misalnya: sampah pasar), serta sampah di sepanjang jalan-jalan
utama. Selanjutnya sampah di TPS tersebut diangkut oleh petugas Dinas
Kebersihan ke TPA (tempat pembuangan akhir) dengan compacting truck. Lokasi
TPA berada di Desa Besuk Kecamatan Tempeh. Pengangkutan sampah dari TPS
ke TPA merupakan tanggungjawab Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten
Lumajang.
Sebagian kecil masyarakat membuang sampah rumah tangga di halaman
rumah masing-masing dan pengolahannya dengan menimbun atau
membakarnya. Selain itu, masih terdapat sebagian masyarakat masih membuang
sampah pada tempat yang tidak semestinya, seperti: pada bantaran sungai. Hal ini
sangat tidak baik bagi kebersihan lingkungan sekitarnya.

92
Gambar 4.13 Peta Jaringan Persampahan
Sumber : Data RDTRK BAPPEDA Kabupaten Lumajang 2014

Penduduk di kawasan perkotaan Lumajang secara umum sudah memenuhi


syarat sanitasi yang baik dengan terlayaninya sarana sanitasi yang terdiri septic tank
dan MCK pribadi. Untuk pembuangan limbah rumah tangga seperti air sisa cucian,
disalurkan langsung ke saluran pembuangan limbah. Mayoritas penduduk di
kawasan perkotaan Lumajang telah memiliki MCK pribadi jadi untuk pembuangan
limbah manusia keseluruhan dibuang pada septic tank pribadi.

Tabel 4.10 Rumah Tangga Fasilitas Tempat Buang Air Besar per Desa/Kelurahan
Fasilitas Tempat Buang Air Besar
No Kecamatan
Sendiri Bersama Umum Tidak Ada
1 Lumajang 14.848 784 189 975
2 Sukodono 5.799 711 75 706
3 Sumbersuko 5.691 360 - 696

93
Fasilitas Tempat Buang Air Besar
No Kecamatan
Sendiri Bersama Umum Tidak Ada
4 Padang 6.254 2.982 49 582
5 Tekung 4.533 550 56 3.957
Total 37.125 5.387 369 6.916
Sumber : Kecamatan dalam Angka 2015, RDTRK Kecamatan Lumajang,
Sumbersuko dan Sukodono 2015

Dari data diatas dapat dilihat bahwa masih terdapat rumah keluarga yang
tidak memiliki jamban. Prosentase jumlah keluarga yang tidak memiliki jamban
terbanyak terdapat pada kecamatan tekung yaitu sebanyak 3957 keluarga.

 Infrastruktur telekomunikasi

Gambar 4.14 Peta Jaringan Telekomunikasi


Sumber : Diolah Dari RTRW Kabupaten Lumajang 2008 dan Data RDTRK
BAPPEDA Kabupaten Lumajang 2015

94
Saat ini kebutuhan akan telekomunikasi adalah hal yang sangat diperlukan,
mengingat dengan komunikasi akan mempermudah dan mempercepat penyebaran
informasi baik lokal, regional maupun nasional ditambah dengan adanya telepon
selular. Kebutuhan telepon tidak hanya untuk keperluan rumah tangga tetapi lebih
dari itu sangat diperlukan bagi para pelaku bisnis.
Pada kondisi eksisting wilayah penelitian mayoritas telah terlayani oleh
jaringan telekomunikasi. Jaringan komunikasi ini adalah berupa jaringan kabel
telepon maupun menara BTS guna jaringan telepon seluler. Jaringan telepon yang
terdapat pada wilayah penelitian berkembang dengan mengikuti pola jaringan jalan
utama dan pemenuhan kebutuhan telepon diutamakan pada bangunan-bangunan
dengan fungsi perkantoran pemerintah, perdagangan dan jasa serta pelayanan
umum.

4.1.2 Karakteristik Non Fisik


a. Kondisi sosial masyarakat
Kondisi sosial masyarakat pada wilayah penelitian yaitu kawasan
permukiman perkotaan Lumajang sedikit banyak tidak berbeda dengan masyarakat
Jawa Timur pada umumnya. Rasa kekeluargaan masih kental di kalangan
masyarakatnya tercermin dari masih banyaknya kegiatan yang bersifat komunal
seperti kerja bakti kampung maupun acara – acara komunal lainnya yang bersifat
keagamaan. Secara umum penduduk diwilayah penelitian berasal dari etnis Jawa
dan Madura serta sebagian kecil Tionghoa. Beberapa aspek terkait karakteristik non
fisik permukiman terutama kondisi sosial masyarakat yang mempengaruhi
pertumbuhan permukiman di wilayah penelitian akan dijabarkan sebagai berikut :

 Jumlah Populasi
Jumlah populasi pada sebuah wilayah permukiman akan berdampak pada
kebutuhan unit hunian dan tingkat kepadatannya. Berdasarkan data yang ada
diketahui bahwa pada wilayah penelitian, jumlah penduduk paling banyak
terkonsentrasi pada Kecamatan Lumajang yang merupakan pusat tumbuhnya
permukiman. Dengan luasan wilayah yang lebih besar dibanding wilayah

95
kecamatan yang lain, kecamatan Padang memiliki jumlah penduduk yang sedikit
sehingga kecenderungan kepadatan populasi juga tidak terlalu tinggi.

Tabel 4.11 Jumlah Penduduk Dan Kepadatan Wilayah Penelitian


No. Kecamatan Luas area Jumlah penduduk Kepadatan
(km2) (jiwa) (jiwa/ km2)
1 Lumajang 30,26 86.485 2.858
2 Sukodono 30,79 52.118 1.693
3 Sumbersuko 26,54 34.563 1.302
4 Padang 52,79 35.220 667
5 Tekung 30,40 33.152 1.091
Sumber : Kabupaten Lumajang dalam angka 2015

 Mata pencaharian
Mata pencaharian penduduk pada wilayah penelitian mempengaruhi lokasi
aktivitas yang dilakukan. Dari penjabaran data yang ada dapat dilihat bahwa masing
– masing kecamatan pada wilayah penelitian memiliki kecenderungan condong
pada bidang tertentu. Penduduk Kecamatan Lumajang cederung bergerak pada
bidang perdangan dan jasa jika dibanding kecamatan yang lain. Sedangkan untuk
kecamatan yang lain, mayoritas penduduk lebih cenderung beraktivitas pada sektor
pertanian.

Tabel 4.12 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian


Kecamatan Total
No Bidang Lumajang Sukodono Sumbersuko Padang Tekung
1 Pertanian 5.092 6.790 4.432 11.713 8.494 36.521

2 Peggalian / 0
36
pertambangan 32 4 0 0

3 industri 914 169 0 0 23 1.106

4 Konstruksi 1.156 418 932 0 154 2.660

5 Angkutan / 1.009 177 317 0 397


1.900
komunikasi
6 Perdagangan 4.273 213 1.133 444 2.106 8.169

7 Jasa 4.318 205 1.359 4.955 387 11.224

8 ABRI/PNS 2.338 1.166 346 242 514 4.606

Sumber : Kecamatan dalam Angka 2015

96
Dilihat dari jumlah matapencaharian penduduk total pada wilayah
penelitian, bidang yang dominan menjadi aktivitas penduduk adalah pertanian
disusul kemudian jasa dan perdagangan. Dari sini dapat terlihat bahwa simpul –
simpul aktivitas dibidang tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan permukiman.

 Tingkat pendidikan
Gambaran mengenai kondisi tingkat pendidikan penduduk di wilayah
kabupaten Lumajang berdasarkan data statistic daerah Kabupaten Lumajang hasil
Susenas tahun 2014 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk usia 10 tahun
ke atas tidak berijazah/hanya berijazah SD yaitu mencapai 68,15%. Hal ini
dikarenakan umumnya usia 10 tahun masih belum lulus SD. Selanjutnya penduduk
yang memiliki ijazah tertinggi setingkat SMP, SMA dan Diploma/Sarjana masing
– masing sebesar 15,99%, 12,70% dan 3,16%.

2%3% 10%
11% tidak/belum pernah
sekolah
tidak/belum taman SD
20%
16% SD

SLTP

SMA

38%

Gambar 4.15 Prosentase Penduduk Diatas 10 Tahun Kabupaten Lumajang


Berdasarkan Pendidikan 2014
Sumber : Statistik Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2015

 Keberadaan institusi sosial


Keberadaan institusi sosial berpengaruh pada kualitas masyarakat yang
terbentuk. Tolak ukur kualitas ini dapat dilihat dari bagaimana sebuah ruang dalam
permukiman mampu mengakomodir seluruh kebutuhan dan jaringan yang
terbentuk guna menghubungkan manusia yang berinteraksi di dalamnya. Institusi
sosial yang terbentuk pada wilayah penelitian dapat tergambar dari keberadaan

97
taman, balai desa, ataupun balai RW dimana masing – masing wilayah kecamatan
pada wilayah penelitian memiliki taman, balai desa, maupun balai RW yang
tersebar dan digunakan oleh masyarakat sebagai sarana berkumpul dan berinteraksi.
Sementara dalam skala kota yang melayani kebutuhan ruang sosial pada wilayah
penelitian terdapat alun-alun kota yang menjadi tujuan konsentrasi masyarakat
untuk berkumpul dan berinteraksi satu sama lain.

Gambar 4.16 Institusi Sosial Berupa Alun – Alun Kota dan Stadion pada Wilayah
Penelitian
Sumber : survey primer 2016

 Pertumbuhan manusia
Perkembangan jumlah penduduk pada wilayah penelitian cenderung
bertambah tiap tahunnya. Pertambahan penduduk ini akan mempengaruhi
kebutuhan unit hunian pada wilayah perencanaan tiap tahunnya. Jika supply dan
demand dari kebutuhan unit hunian tidak seimbang maka akan berdampak pada
kualitas lingkungan permukiman yang terbentuk. Pertumbuhan penduduk pada
wilayah penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.13 Pertumbuhan Jumlah Penduduk Tahun 2011 Hingga 2014


No. Kecamatan Jumlah penduduk (jiwa)

2011 2012 2013 2014


1 Lumajang 81.567 81.103 81.904 86.485
2 Sukodono 50.204 51.060 50.660 52.118
3 Sumbersuko 34.224 34.272 34.484 34.563
4 Padang 34.653 34.951 35.269 35.220
5 Tekung 32.625 32.888 33.102 33.152
Sumber : Kecamatan dalam Angka 2015

98
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
2011 2012 2013 2014

Lumajang Sukodono Sumbersuko Padang Tekung

Gambar 4.17 Grafik Pertumbuhan Penduduk Wilayah Penelitian


Sumber : Kecamatan dalam Angka 2015

Dari grafik terlihat bahwa pertumbuhan penduduk pada masing-masing


kecamatan cenderung naik pada tiap tahunnya, namun kecamatan dengan tingkat
kenaikan secara signifikan terjadi pada kecamatan Lumajang dimana pada tahun
2013-2014 terjadi penambahan penduduk sebesar 4.581 penduduk.

b. Kondisi ekonomi masyarakat


 Distribusi tingkat pendapatan masyarakat
Distribusi tingkat pendapatan menggambarkan kemampuan tingkat/
kondisi ekonomi masyarakat. Secara umum distribusi kondisi ekonomi penduduk
wilayah studi cenderung merata pada masing – masing golongan namun pada
wilayah kecamatan kota yaitu Lumajang dan Sukodono dominasi terbesar ada pada
kategori kondisi ekonomi menengah ke atas. Pada penelitian ini masayarakat
bergolongan menengah ke atas diwakilkan oleh kelompok KS II, KS III dan KS III
plus. Mengacu pada standar BKKBN, penggolongan Keluarga Sejahtera tersebut
yaitu:
1. Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS):
Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara
minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan dan kesehatan.
Kelompok keluarga Pra Sejahtera belum dapat memenuhi kebutuhan papan
secara layak, sehingga merupakan kelompok masyarakat yang belum memiliki
rumah.

99
2. Keluarga Sejahtera I (KS I):
Keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara
minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, seperti
kebutuhan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan
lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.
3. Keluarga Sejahtera II (KS II):
Keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan sosial-
psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya
seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.
4. Keluarga Sejahtera III (KS III):
Keluarga-keluarga yang telah mampu memenuhi kebutuhan sosial-
psikologisnya ditambah dengan kebutuhan pengembangannya seperti
kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.
5. Keluarga Sejahtera III plus (KS III plus):
Keluarga-keluarga yang telah mampu memenuhi kebutuhan sosial-
psikologisnya dan kebutuhan pengembangannya juga mampu memenuhi
kebutuhan yang bersifat tersier seperti barang mewah

Tabel 4.14 Jumlah Keluarga Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan


Kecamatan
N Kecamatan Jumlah Kategori keluarga
o. keluarga
Pra Sejahtera Sejahtera Sejahtera Sejahtera
sejahtera I II III III plus
1 Lumajang 25.571 2.532 5.238 7.244 7.807 2.750
2 Sukodono 14.870 1.913 1.916 3.094 7.059 888
3 Sumbersuko 11.903 1.261 2.158 4.617 3.147 720
4 Padang 10.650 895 2.673 3.505 3.114 463
5 Tekung 11.115 2.672 1.976 3.185 2.759 523
Sumber : Kecamatan dalam Angka 2015

Berdasarkan kondisi ekonomi masyarakat, secara umum masyarakat


dengan kategori keluarga pra-sejahtera hingga sejahtera I adalah keluarga yang
mampu mengakses rumah namun dengan tidak mempertimbangkan kondisi atau
tingkat kelayakan dari permukiman. Sedangkan kategori sejahtera II hingga

100
sejahtera III plus merupakan keluarga yang secara ekonomi mampu mengakses
rumah dengan harga yang lebih tinggi tentunya sudah mempertimbangkan kondisi
dan kualitas permukimannya. Jumlah penduduk golongan pra-sejahtera hingga
sejahtera I ini cenderung mengindikasikan jumlah rumah yang tidak layak begitu
pula sebaliknya. Jika dilihat dari jumlah golongan ini maka dapat dikatakan bahwa
Kecamatan lumajang merupakan kecamatan dengan jumlah luasan permukiman
terbanyak namun dengan tingkat resiko terbentuknya permukiman dengan kondisi
yang tidak baik lebih besar dibanding kecamatan yang lain.

 Keberadaan institusi ekonomi


Dalam penggambaran kondisi ekonomi masyarakat keberadaan institusi
ekonomi ini berpengaruh pada tarikan manusia untuk menuju lokasi – lokasi yang
berpotensi terjadinya aktivitas ekonomi. Kecenderungan permukiman akan tumbuh
berada dekat dengan institusi ekonomi seperti pasar ataupun menghasilkan simpul
– simpul institusi ekonomi seperti toko, hotel maupun tempat makan.

Tabel 4.15 Jumlah Sarana Perekonomian Dirinci Per-kecamatan


Jenis sarana Kecamatan
No
perekonomian Lumajang Sukodono Sumbersuko Padang Tekung
1 Pasar 7 1 2 1 3
2 Toko/kios 2.166 1.520 451 238 170
3 Warung/restoran 621 153 243 0 53
4 Hotel 7 3 0 0 1
5 swalayan 9 3 1 0 16
Sumber : Kecamatan dalam Angka 2015

c. Karakteristik budaya masyarakat


 Kebiasaan dalam bermukim
Berdasarkan karakteristik budaya masyarakat pada wilayah penelitian,
tidak terdapat kebiasaan bermukim secara khusus. Kebiasaan bermukim
masyarakat pada wilayah penelitian cenderung berkembang mengikuti jaringan
jalan (tahap awal) dengan pola linier. Pada tahap selanjutnya permukiman
kemudian berkembang secara mengelompok (clustering) pada wilayah dibelakang
jalan utama. Untuk tipe/jenis perumahan yang dibangun developer, kondisi
kawasan permukiman cenderung teratur dengan komposisi garis sepadan bangunan
dan penyediaan infrastruktur yang baik. Berbeda dengan permukiman tradisional /

101
kampong yang terdapat baik di wilayah pusat kota (kec. Lumajang) maupun
kecamatan diluar pusat kota, kecenderungan kondisi kawasan permukiman terlihat
tidak teratur dan tertata. Kesan tidak teratur ini terjadi karena kebiasaan bermukim
masyarakat yang membangun rumahnya secara bertahap dan tidak terncana dengan
baik.
 Aktivitas
Aktivitas masyarakat terkait dengan budaya berkaitan dengan sektor
dominan yang menjadi mata pencaharian penduduk mayoritas. Dari kondisinya
aktivitas masyarakat pada wilayah penelitian dapat dibagi menjadi 3 yaitu pada
sektor agricultural, manufackur, dan servis.

Tabel 4.16 Prosentase Penduduk 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan
Usaha
Aktivitas Masyarakat Secara Prosentase (%)
Sektoral 2012 2013 2014
agricultural 50,36 47,12 52,86
manufactur 21,35 16,83 16,50
servis 28,28 36,05 30,64
Sumber : Statistik Daerah Kabupaten Lumajang tahun 2015

Dilihat dari ketersediaan SDA dan aktivitas yang dilakukan penduduk di


wilayah penelitian maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan permukiman terjadi
pada simpul – simpul aktivitas matapencaharian kelompok penduduk tesebut.
Pertumbuhan permukiman penduduk yang bergerak di bidang manufaktur dan
servis cenderung berada dekat dengan pusat kota (dalam hal ini kecamatan
Lumajang dan Sukodono) sedangkan penduduk yang bergerak di bidang
agricultural cenderung menyebabkan pertumbuhan permukiman di wilayah
pedesaan yaitu bagian kecamatan Sumbersuko, Padang, dan Tekung.

4.1.3 Analisa Karakteristik Permukiman


Berdasarkan gambaran karakteristik pembentuk permukiman yang sudah
diidentifikasi pada wilayah penelitian dapat disimpulkan kondisi masing – masing
karakteristiknya. Kondisi masing-masing karakteristik ini yang akan
mempengaruhi pertumbuhan permukiman secara keseluruhan. Detail kondisi ini
dijabarkan pada tabel 4.17

102
Tabel 4.17.Kondisi Karakteristik Permukiman
No Karak- Kondisi Karakteristik Elemen Pembentuk Permukiman Pada Wilayah Penelitian
teristik
FISIK
1 Alam 1. Pertumbuhan permukiman dapat terjadi pada hampir seluruh wilayah penelitian kecuali beberapa bagian
wilayah kecamatan Padang dan Sumbersuko yang memiliki kelerengan 10-25%.
2. Tarikan SDA yang menyebabkan tumbuhnya permukiman adalah kondisi tanah yang subur akibat adanya
tanah vulkanik dari tiga gunung berapi yang mengelilingi wilayah penelitian.
3. Dampak dari kondisi alam yang memungkinkan untuk dibangun kawasan permukiman adalah alih fungsi
lahan yang tidak terkendali.

2. Rumah/ 1. Berdasarkan kondisinya, jumlah rumah tidak layak huni paling banyak terdapat di Lumajang dan Tekung,
perumahan namun dari segi prosentase, kecamatan Tekung memiliki prosentase rumah tidak layak huni terbanyak jika
dibandingkan dengan kecamatan lain. Jumlah rumah tidak layak huni di kecamatan Tekung mencapai 83%
jika dibandingkan dengan jumlah rumah total kecamatan tersebut. Sedangkan kecamatan Lumajang memiliki
prosentase rumah tidak layak huni sebanyak 39%.
2. Dari jenis perumahan, rata – rata rumah di wilayah penelitian sudah merupakan rumah permanen. Tidak ada
kesenjangan jumlah rumah permanen dan non permanen antar kecamatan. Rata – rata jenis rumah permanen
pada masing – masing kecamatan sebanyak 85,6% sedangkan rumah non permanen sebanyak 14,3%
3. Untuk model perumahan tidak tercermin secara jelas terkait dengan sebaran model perumahan yang
mengindikasikan perkembangan dimulai titik dari mana. Yang dapat terlihat adalah banyaknya model
perumahan modern pada wilayah kecamatan Lumajang dan Sukodono mengindikasikan bahwa pada
beberapa tahun terakhir telah terjadi pertumbuhan permukiman pada daerah tersebut.
4. Berdasarkan lokasi permukiman, paling umum lokasi permukiman terdapat pada jalur pergerakan manusia
dan barang yakni jalan. Namun jika dilihat berdasarkan karakteristik pada masing – masing kecamatan, lokasi

103
adanya permukiman ini memiliki karakteristik tertentu. Kecamatan Lumajang dan Sukodono misalnya selain
mengikuti jalur jalan kabupaten, pertubuhan permukiman terjadi mengikuti simpul akivitas perdagangan dan
jasa. Untuk kecamatan padang lokasi permukiman cenderung menyebar karena adanya tarikan SDA berupa
potensi tanah yang subur kaitannya dengan aktivitas pertanian penduduknya.
5. Sedangkan untuk kepadatan, tata guna lahan dan persebaran fasilitas perumahan. Dapat terlihat bahwa
wilayah dengan tingkat kepadatan tertinggi, keberagaman guna lahan dan memiliki kelengkapan fasilitas dan
persebaran yang baik adalah kecamatan lumajang. Semakin keluar dari wilayah kecamatan Lumajang, tingkat
kepadatan, keberagaman guna lahan dan kelengkapan fasilitas beserta persebarannya cenderung berkurang.

3. Jaringan 1. Jaringan PDAM terbangun dengan baik dan merata pada kecamatan Lumajang. Penggunaan air bersih pada
kecamatan lain diluar kecamatan Lumajang dan sebagian wilayah Sukodono cenderung memanfaatkan air
tanah karena kondisinya memang masih sangat baik.
2. Dari segi jaringan listrik hampir seluruh wilayah penelitian telah terpenuhi meskipun ada beberapa rumah
tangga yang masih menggunkan listrik non-PLN maupun Non listrik namun prosentasenya sangat kecil
(kurang dari 5%)
3. Perkembangan permukiman pada wilayah penelitian cenderung beriringan dengan jalan membentuk pola
linier. Perkembangan permukiman yang tinggi terjadi pada jalan – jalan kolektor penghubung kecamatan
maupun kabupaten lain yang mengelilingi kabupaten Lumajang.
4. Dari segi persampahan dan sanitasi, jumlah TPS berbanding lurus dengan jumlah luasan dan kepadatan
permukiman semakin padat permukiman maka semakin banyak unit TPS. Sedangkan untuk sanitasi,
kecamatan Tekung memiliki jumlah keluarga tidak memiliki jamban terbesar dibandingkan kecamatan lain
hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan permukiman di kecamatan ini tidak termanajemen dengan baik
dalam hal sanitasi.
5. Untuk jaringan telekomunikasi hampir semua kecamatan terlayani dengan baik.

104
NON FISIK
4 Kondisi Sosial 1. Semakin banyak penduduk maka kebutuhan akan hunian akan meningkat pula. Melihat hal tersebut maka
Masyarakat berdasarkan jumlah populasi, tingkat kepadatan dan pertumbuhan penduduk terlihat bahwa kecamatan
Lumajang dan Sukodono cenderung menjadi wilayah yang berpotensi menjadi pusat berkembangnya
permukiman disusul kecamatan Sumbersuko, Padang, dan Tekung.
2. Aktivitas yang mempengaruhi pertumbuhan permukiman adalah bidang pertanian disusul kemudian jasa dan
perdagangan. Simpul – simpul kegiatan tersebut akan berpotensi menimbulkan permukiman baru.
3. Institusi sosial yang menjadi konsentrasi tarikan masyarakat berupa alun – alun dan stadion berada pada
kecamatan Lumajang dan Sukodono. Hal ini mengindikasikan bahwa kecamatan Lumajang dan Sukodono
mengalami pertumbuhan permukiman yang lebih baik (secara kualitas masyarakat) dibanding kecamatan
yang lain karena kebutuhan ruang interaksi sosial antar manusia cenderung lebih terpenuhi dibanding
kecamatan yang lain.
5. Kondisi 1. Resiko terbentuknya permukiman tidak layak dapat diprosentasikan berdasarkan jumlah keluarga menurut
ekonomi golongannya (pra sejahtera dan sejahtera I) yaitu : kecamatan Lumajang 30,4%, Sukodono 25,7%,
masyarakat Sumbersuko 28,7%,Padang 33,5%,dan Tekung 42,%
2. Dari jumlah sarana perekonomian terlihat bahwa aktivitas ekonomi terkonsentrasi pada kecamatan Lumajang
dan Sukodono.
6. Karakteristik 1. Secara umum tidak terdapat karakteristik identitas budaya tertentu yang mempengaruhi pertumbuhan permukiman di
budaya pada wilayah kecamatan Lunajang, Sukodono, dan Sumbersuko. Permukiman tumbuh mengikuti simpul aktivitas
masyarakat berdasarkan karakteristik kecamatan dan adanya akses jalan.
2. Namun untuk kecamatan Padang dan Tekung beberapa budaya yang mempengaruhi aktivitas bermukim adalah
kecenderungan pembangunan rumah secara mengelompok dengan keluarga, dan enggannya masayarakat asli untuk
keluar dari kampungnya.
Sumber : Hasil Analisa 2016

105
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

106
BAB 5
PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DAN FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI

5.1 Tahapan Perkembangan Permukiman


Bahasan mengenai morfologi dan perkembangan permukiman dilakukan
guna mengetahui tahapan – tahapan perkembangan yang terjadi dan bagaimana
prosesnya. Perkembangan permukiman pada tahap ini dilakukan dengan melihat
bentuk kawasan secara fisik dan orientasi arah perkembangan permukiman yang
menjadi tren berdasarkan konsentrasi permukiman dan kaitannya dengan aktivitas
penduduk.
Metode yang digunakan dalam menganalisa pada tahap ini adalah dengan
menginterpretasikan peta citra yang terekam secara periodik dari tahun 2006
hingga tahun 2015. Berdasarkan data peta citra yang didapat diketahui
penambahan luasan lahan terbangun pada masing-masing kecamatan yang
disajikan pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Perkembangan Luasan Lahan Terbangun Guna Permukiman Tahun


2006-2015
No. Tahun Luasan lahan terbangun (Ha)
Lumajang Padang Sukodono Sumbersuko Tekung
1 2006 358,23 80,18 161,85 121,70 147,91
2 2007 384,24 82,74 172,92 126,22 150,56
3 2008 412,13 85,39 184,74 130,90 153,25
4 2009 442,06 88,12 197,38 135,76 156,00
5 2010 462,26 90,44 206,13 139,78 158,48
6 2011 470,95 92,38 232,95 140,68 175,78
7 2012 479,80 94,37 263,26 141,58 194,98
8 2013 488,28 96,26 286,58 142,47 210,41
9 2014 536,54 123,63 326,85 222,16 237,01
10 2015 584,80 140,99 367,11 301,85 263,60
Perkembangan 5,64 6,78 9,58 11,98 6,73
rata – rata (%)
Sumber : analisa perhitungan perkembangan lahan terbangun berdasarkan peta
citra wilayah Lumajang tahun 2006-2015

107
Jika disajikan dalam model grafik maka dapat terlihat bahwa kecamatan yang
mengalami penambahan luasan lahan terbangun (permukiman) naik secara
konsisten lebih tinggi dibandingkan kecamatan lain adalah kecamatan lumajang
dengan luasan total mencapai 540, 80 Ha. Namun secara prosentase, laju rata –
rata pengembangan permukiman paling tinggi terjadi pada wilayah Kecamatan
Sumbersuko (11,98%) disusul kecamatan Sukodono (9,58%).

700

600

500

400

300

200

100

0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Lumajang Padang Sukodono Sumbersuko Tekung

Gambar 5.1 Grafik perkembangan lahan permukiman 2006-2015 pada wilayah


penelitian
Sumber : hasil analisa 2016

Tingginya prosentase perkembangan permukiman kecamatan Sumbersuko


dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan pada tahun 2013 hingga 2015.
Sedangkan kecamatan Sukodono grafik peningkatan jumlah luasan kawasan
terbangun sudah mulai terlihat pada tahun 2010. Secara bentuk, pertumbuhan
permukiman pada wilayah penelitian dapat dilihat pada gambaran analisa
perkembangan permukiman hasil analisa citra satelit periode tahun 2006 hingga
2015

108
Pada tahun 2006, perkembangan permukiman terkonsentrasi
pada pusat kecamatan Lumajang, perkembangan ini
membentuk pola gurita akibat pengaruh jalan penghubung
antar kecamatan yang tidak hanya satu. Jalur jalan yang
banyak berperan membentuk pola morfologi ini adalah jalur
jalan menuju kecamtan Tekung, Sumbersuko, Dan
Sukodono

TITIK PERTUMBUHAN 2006

Gambar 5.2 Perkembangan Permukiman Tahun 2006


Sumber : Hasil Analisa Citra Satelit Periode Tahun 2006

109
Selain sebaran permukiman yang menuju keluar
pusat perkotaan Kecamatan Lumajang (namun
tidak terlalu signifikan). Perkembangan
permukiman yang terjadi pada periode ini adalah
Kenaikan tingkat kepadatan pada kawasan
permukiman pusat kota

PERUBAHAN TITIK PERTUMBUHAN


PADA 2006-2010
Gambar 5.3 Perkembangan Permukiman Tahun 2010
Sumber : Hasil Analisa Citra Satelit Periode Tahun 2010

110
Titik pertumbuhan bersifat sporadic
(menyebar) pada ruas – ruas jalan
membentuk pola pita (ribbon settlement)
Pengaruh utama perkembangan karena
adanya pengembangan jalan jalur lingkar TAHUN 2010 TAHUN 2013
timur
PERUBAHAN TITIK PERTUMBUHAN
PADA 2010-2013

Gambar 5.4 Perkembangan Permukiman Tahun 2013


Sumber : Hasil Analisa Citra Satelit Periode Tahun 2013

111
TAHUN 2013

TAHUN 2015

Pada periode tahun 2015 pertumbuhan terjadi selain pada


daerah jalur lingkar timur terjadi pada kecamatan
Sumbersuko dan padang. Hampir sama dengan pola tahun
2013, perkembangan terjadi secara sporadic linier
mengikuti jalur jalan penghubung kecamatan TAHUN 2013 TAHUN 2015

Gambar 5.5 Perkembangan Permukiman Tahun 2015


Sumber : Hasil Analisa Citra Satelit Periode Tahun 2015

112
Sebuah kawasan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Aspek yang berhubungan langsung dengan penggunaan lahan perkotaan maupun
penggunaan lahan pedesaan adalah perkembangan fisik, khususnya perubahan
arealnya (fungsi dan luasan lahan). Berdasarkan hasil analisa perkembangan
permukiman berdasarkan citra wilayah secara periodik didapatkan beberapa
indikasi – indikasi yang merepresentasikan perkembangan permukiman di
wilayah penelitian yaitu:
1. Proses perkembangan permukiman pada wilayah penelitian selama periode
tahun 2006 hingga 2015 awal mulanya terkonsentrasi pada wilayah pusat
permukiman perkotaan yaitu kecamatan Lumajang. Namun selama periode
tahun 2010 ke atas, perkembangan permukiman terjadi secara sporadis tersebar
pada tiap kecamatan (tidak terkonsentrasi). Perkembangan permukiman pada
kecamatan Sukodono dan bagian timur Lumajang terlihat mengikuti jalan jalur
lintas timur (JLT). Adanya JLT ini kemungkinan memicu adanya simpul –
simpul aktivitas baru yang menjadi tarikan perkembangan permukiman.
2. Secara umum tahap pertama perkembangan permukiman pada tiap kecamatan
terjadi secara linier mengikuti pola jalan terdekat (jalan utama) dengan
organisasi fisik ruang membentuk pola ribbon settlements. Karakteristik tahap
kedua adalah terdapatnya organisasi fisik ruang yang cenderung membentuk
pola cluster, yaitu merupakan gabungan sederhana dari elemen tempat tinggal
yang berdekatan satu sama lain dan tidak selalu terbentuk suatu bentuk
geometri atau sifat yang simetris
3. Jika dikaitkan dengan karakteristik aktivitas masyarakat, kecamatan dengan
mayoritas bergerak pada pertanian memiliki pola pembentukan permukiman
yang menyebar (sprawl) berbeda dengan karakteristik masyarakat yang
bergerak pada perdagangan dan jasa yang cenderung terkonsentrasi. Pola
menyebar terjadi pada kecamatan Padang sedangkan pola terkonsentrasi terjadi
pada kecamatan Lumajang dan Sukodono. Perkembangan permukiman pada
Kecamatan Tekung dan Sumbersuko terjadi lebih teratur mengikuti pola
jaringan jalan.
4. Karakteristik permukiman pada wilayah penelitian secara umum adalah baris
terdepan tatanan pertama sepanjang jalan utama umumnya digunakan sebagai

113
sarana ekonomi masyarakat lokal seperti toko bahan pokok, warung, kios-kios
sarana produksi pertanian sarana pendidikan seperti sekolah dasar; serta sarana
pemerintahan seperti kantor kelurahan. Sedangkan pada tatanan kedua, daerah
dalam yang sedikit jauh dari jalur jalan utama (biasanya membentuk pola
cluster) memiliki fungsi utama sebagai unit-unit tempat tinggal yang
berdekatan.

5.2 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Permukiman


Identifikasi mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan
permukiman didapat berdasarkan hasil analisa hierarki proses dari variabel
amatan yang telah ditentukan. Variabel amatan ini merupakan elemen pembentuk
permukiman yang disusun membentuk hierarki tingkat kepentingan pengaruh
antar variabel. Dari hasil analisa didapatkan bahwa pada tahapan pertumbuhan
permukiman pada wilayah penelitian secara keseluruhan terjadi akibat pengaruh
kondisi ekonomi masyarakat disusul dengan kondisi Infrastruktur dan kondisi
sosial masyarakat. Dengan nilai inconsistensi 0,009, hal ini menunjukkan bahwa
data responden memiliki tingkat konsistensi lebih dari 95,%. Hasil pengaruh
variabel dan sub variabel pada seluruh responden yang menggambarkan kondisi
wilayah penelitian keseluruhan disajikan pada gambar 5.6.

Gambar 5.6 Nilai Tingkat Pengaruh Variabel terhadap Pertumbuhan Permukiman


pada Wilayah Penelitian Keseluruhan

114
Dari gambar 5.6 terlihat bahwa sub variabel kondisi ekonomi masyarakat
yang paling berpengaruh adalah keberadaan institusi ekonomi, kondisi
infrastruktur dan sarana adalah infrastruktur jalan serta pertumbuhan manusia dan
mata pencaharian pada variabel kondisi social masyarakat.
Jika dilihat pada lingkup kecamatan, kondisi variabel yang memiliki
pengaruh tertinggi terhadap pertumbuhan permukiman cenderung terdapat sedikit
perbedaan kondisi antar kecamatan terutama kecamatan Lumajang. Kecamatan
Lumajang dominan dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur (terutama jalan) disusul
kemudian kondisi rumah/perumahan terutama tata guna lahan. Sedangkan empat
kecamatan yang lain cenderung dipengaruhi oleh variabel yang sama yaitu
dominan pertama kondisi ekonomi (terutama keberadaan institusi perekonomian),
disusul kemudian kondisi infrastruktur dengan sub variabel infrastruktur jalan.
Sedikit perbedaan pada kecamatan Padang dimana variabel dominan kedua adalah
karakteristik budaya masyarakat dengan bobot yang seimbang antara kebiasaan
bermukim dan aktivitas keseharian rata – rata penduduk. Secara detail hasil dari
analisa AHP menghasilkan nilai tingkat pengaruh dengan tingkat konsistensi
responden lebih dari/sama dengan 90% (incosistance <0,1) disajikan pada tabel
5.2.

Tabel 5.2 Nilai Kriteria Tingkat Pengaruh Variabel Terhadap Pertumbuhan


Permukiman Tiap Kecamatan
NILAI WILAYAH KECAMATAN
VARIABEL dan Sub variabel
Lumajang Sumbersuko Padang Tekung Sukodono
KONDISI ALAM 0.068 0.129 0.119 0.126 0.142
Keadaan alam 1 1 1 0.447 1
Ketersediaan Sumberdaya alam 0.632 0.866 0.5 1 0.577
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT 0.155 0.298 0.362 0.687 0.4
Mata pencaharian 1 1 1 0.317 1
jumlah populasi 0.494 0.370 0.335 0.425 0.634
pertumbuhan manusia 0.802 0.277 0.672 1 0.561
Tingkat pendidikan 0.252 0.178 0.324 0.545 0.614
Keberadaan institusi sosial 0.229 0.154 0.234 0.455 0.454
KONDISI EKONOMI
MASYARAKAT 0.370 1 1 1 1
Distribusi tingkat pendapatan msyarakat
(ekonomi) 0.183 0.169 1 0.250 0.258
Keberadaan institusi ekonomi 1 1 1 1 1
KARAKTERISTIK BUDAYA
MASYARAKAT 0.248 0.252 0.516 0.383 0.272
Kebiasaan dalam bermukim 0.258 0.2 1 1 0.408
Aktivitas keseharian rata – rata 1 1 1 0.224 1

115
NILAI WILAYAH KECAMATAN
VARIABEL dan Sub variabel
Lumajang Sumbersuko Padang Tekung Sukodono
penduduk
KONDISI RUMAH/PERUMAHAN 0.643 0.291 0.185 0.351 0.653
Jenis perumahan 0.131 0.205 0.139 0.164 0.163
Model perumahan 0.081 0.151 0.132 0.104 0.138
Lokasi permukiman 0.347 1 1 1 0.694
Tingkat Kepadatan wilayah perumahan 0.349 0.375 0.258 0.332 0.369
Fasilitas perumahan (kelengkapan dan
persebaran) 0.431 0.351 0.336 0.422 0.839
Tata guna lahan 1 0.607 0.520 0.790 1
KONDISI INFRASTRUKTUR 1 0.469 0.471 0.788 0.963
Infrastruktur air bersih 0.563 0.276 0.219 0.295 0.407
Infrastruktur listrik 0.480 0.417 0.390 0.309 0.456
Infrastruktur jalan 1 1 1 1 1
Infrastruktur persampahan dan
pengolahan limbah 0.185 0.290 0.177 0.168 0.204
Infrastruktur telekomunikasi 0.358 0.334 0.210 0.274 0.367

Variabel paling Dominan Variabel Dominan Kedua


Sumber : Hasil Analisa Hierarki Proses responden tingkat kecamatan 2016

Pada tingkatan unit amatan yang lebih mikro yaitu wilayah


desa/kelurahan. Kondisi variabel dan sub variabel yang mempengaruhi
pertumbuhan permukiman cenderung bervariasi (lampiran 3 hasil perhitungan
AHP masing – masing desa/kelurahan.). Setiap variabel memiliki tingkatan
pengaruh yang berbeda pada tiap desa dan membentuk sebuah pola. Pola
pengaruh variabel yang dimaksud adalah gambaran perbandingan bobot relatif
variabel yang sama pada daerah yang berbeda. Namun bobot antar variabel secara
keseluruhan memiliki tingkat perbandingan rentan nilai yang berbeda terhadap
pengaruhnya pada pertumbuhan permukiman di wilayah penelitian. Seperti
misalnya dalam penggambaran pola pertumbuhan permukiman berdasarkan
variabel alam memiliki tingkat pengaruh yang tidak lebih besar daripada variabel
infrastruktur karena berdasarkan hasil analisa AHP, nilai pengaruh variabel
infrastruktur jauh lebih besar daripada variabel alam (lihat gambar 5.6). Tujuan
dari penjabaran pengaruh variabel pada masing – masing desa/kelurahan adalah
guna melihat kecenderungan pengaruh masing – masing variabel pada tiap unit
amatan terkecil (desa/kelurahan) dan menjadi dasar analisa value wilayah yang
nantinya diketahui wilayah mana saja yang berpotensi tumbuh cepat berdasarkan
perbandingan bobot total variabel pengaruh yang dimiliki tiap – tiap unit amatan
(desa/kelurahan).

116
Pengaruh perkembangan permukiman akibat variabel alam
paling besar terdapat pada wilayah kecamatan padang terutama
desa Mojo, Bodang, Babakan. Berdasarkan hasil analisa (lihat
lampiran 3). Desa Mojo dan Babakan terpengaruh oleh
ketersediaan SDA, sedangkan desa Bodang lebih pada keadaan
alam.
Tutupan lahan paling besar pada daerah ini memang guna lahan
peruntukan pertanian. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pihak desa Mojo dan Babakan, masyarakat cenderung
bertempat tinggal pada daerah ini dikarenakan anggapan bahwa
lokasi rumah yang dekat dengan persawahan dianggap
memiliki perputaran ekonomi lebih cepat karena berkaitan
dengan mata pencaharian prioritas masyarakat yaitu bertani.
Sedangkan untuk desa Bodang, keadaan alam menjadi variabel
yang dominan mempengaruhi pertumbuhan permukiman
karena masyarakat desa Bodang memang memiliki tarikan
SDA yang dapat dikatakan sama dengan desa Mojo dan
Babakan namun terdapat beberapa wilayah desa Bodang yang
terindikasi rawan longsor sehingga variabel keadaan alam
menjadi sorotan penting karena akhirnya pertumbuhan
permukiman banyak terjadi diluar daerah rawan longsor.
Perkembangan permukiman terlihat pesat pada tahun terakhir
dikarenakan adanya kelompok masyarakat petani tebu yang
cenderung membangun perumahan secara berkelompok.
Adanya pembangunan rumah satu menjadi trigger bagi
pembangunan rumah yang lain. pengaruh pembangunan rumah
pertama ini menyebabkan terbentuknya masyarakat yang
homogen pada wilayah tiga desa yaitu masyarakat petani.

Tingkat pengaruh antar variabel adalah 0.163 yang artinya


variabel alam memiliki pengaruh yang sangat rendah terhadap
pertumbuhan permukiman di wilayah penelitian

Gambar 5.7 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Alam Terhadap Pertumbuhan Permukiman
117
Pada wilayah desa di kecamatan Padang, pengaruh kondisi
sosial yang menyebabkan pertumbuhan permukiman terjadi
akibat adanya pertumbuhan penduduk akibat pendatang dari luar
daerah. Kultur masyarakat yang cenderung membangun rumah
dekat dengan keluarga menarik pendatang luar daerah melalui
pernikahan. Dari pernikahan ini maka menyebabkan
penambahan populasi
Urban sprawl terindikasi pada wilayah desa ini karena dampak
pertumbuhan penduduk yang disertai kultur budaya masyarakat
yang enggan membangun rumah jauh dari keluarga. Budaya
pembangunan rumah yang tidak ingin jauh dari keluarga ini
yang menyebabkan terjadinya pengelompokan – pengelompokan
kecil permukiman yang tidak terencana dengan baik.
Pembangunan perumahan kelompok keluarga ini kebanyakan
dilakukan tanpa pertimbangan pemenuhan infrastruktur dasar
terutama drainase dan MCK.
Pertumbuhan permukiman pada rata – rata desa di wilayah
kecamatan Tekung diakibatkan oleh pertumbuhan manusia dan
mata pencaharian yang berkaitan dengan peningkatan kondisi
ekonomi. Permukiman Tumbuh di pinggir jalan akibat migrasi
penduduk pendatang dari daerah jember (puger dan kencong)
serta adanya pernikahan penduduk asli dengan pendatang dan
membangun rumah baru di daerah desa – desa kecamatan
Tekung. Lokasi wilayah kecamatan dekat dengan wilayah
perkotaan Yosowilangun dan Lumajang menyebabkan
kecamatan Tekung menjadi alternative pilihan bermukim bagi
masyarakat yang beraktivitas di perkotaan Yosowilangun dan
Lumajang karena harga tanah yang cenderung lebih murah.

Tingkat pengaruh antar variabel adalah 0.556 yang artinya


variabel kondisi social masyarakat memiliki pengaruh yang
tinggi terhadap pertumbuhan permukiman di wilayah penelitian
Gambar 5.8 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Social Masyarakat Terhadap Pertumbuhan Permukiman
118
Dawuhan Lor, Mojo dan Kedawung adalah desa yang dilalui
jalur jalan arteri primer dimana sepanjang jalan cenderung
berkembang kegiatan perdagangan dan jasa. Keberadaan
perjas ini yang berdampak mengangkat perekonomian
masyarakat sekitar. Dengan naiknya taraf ekonomi
masyarakat maka meningkat pula kemampuan masyarakat
dalam mengakses pembangunan rumah. Kedawung memiliki
tingkat pengaruh sangat tinggi pada variabel ekonomi
masyarakat terutama terkait sub variabel institusi ekonomi
(lampiran 3) karena adanya pasar dan mudahnya akses
menuju kawasan perjas kecamatan Lumjang yang merupakan
pusat pergerakan ekonomi yang menarik tumbuhnya
permukiman.
Desa selokbesuki, Bondoyudo, dan Selokgondang
berkembang dipengaruhi oleh Keberadaan institusi ekonomi
akibat pengembangan jalan baru yaitu jalur lintas timur.
Selain itu daerah ini memiliki akses yang dekat dengan
institusi ekonomi perkotaan yaitu wilayah perdagangan jasa
kecamatan lumajang.

Desa Purwosono cenderung tumbuh permukiman dipegaruhi


variabel kondisi ekonomi masyarakat karena adanya institusi
ekonomi berupa pabrik (industri) serta pariwisata yang
menyebabkan tarikan penduduk untuk bertempat tinggal.
Labruk kidul akses jalan yang ramai menyebabkan munculnya
institusi ekonomi yang berdampak pada aktivitas masyarakat

Tingkat pengaruh antar variabel adalah 1 yang artinya


variabeL kondisi ekonomi masyarakat adalah variabel kunci
dengan tingkat pengaruh paling tinggi yang menyebabkan
pertumbuhan permukiman di wilayah penelitian

Gambar 5.9 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Ekonomi Masyarakat Terhadap Pertumbuhan Permukiman
119
Terdapat beberapa budaya khusus yang mempengaruhi
pertumbuhan permukiman di di wilayah kecamatan
padang terutama dalam hal kebiasaan dalam bermukim
yakni : (1) rumah mengelompok, (2) Enggan untuk
meniggalkan daerah dan cenderung membangun rumah
dekat dengan keluarga, (3) Terdapat tanah warisan
turun-temurun yang merupakan awal pembangunan
perumahan, (4) rumah terbangun secara mengelompok
namun kelompok rumah ini kondisinya berpencar karena
kontur wilayah yang cenderung berbukit.

Pertumbuhan permukiman akibat pengaruh budaya


masyarakat yang cenderung mengembangkan rumah
swadaya dekat dengan lokasi pekerjaan berupa pedagang
yaitu dekat dengan jalan dan lokasi pasar (terutama pasar
baru di kecamatan Lumajang)

Kondisi budaya yang mempengaruhi wilayah


desa/kelurahan kecamatan Tekung secara umum pada
adalah kebiasaan bermukim yang berlokasi perumahan
yang dekat dengan jalan. Beberapa pembangunan jalan
baru dilakukan pada desa sehingga memicu tumbuhnya
permukiman

Tingkat pengaruh antar variabel adalah 0.470 yang artinya


variabel kondisi budaya masyarakat memiliki pengaruh yang
rendah terhadap pertumbuhan permukiman di wilayah
penelitian

Gambar 5.10 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Budaya Masyarakat Terhadap Pertumbuhan Permukiman

120
Variabel kondisi rumah/perumahan adalah variabel kedua
yang mempengaruhi pertumbuhan permukiman pada wilayah
penelitian. Sub variabel dominan yang mempengaruhi adalah
lokasi dan kelengkapan fasilitas. Berdasarkan hasil analisa
skoring AHP terlihat bahwa sebagian besar permukiman di
desa/kelurahan pada wilayah kecamatan Lumajang dan
Sukodono tumbuh dipengaruhi oleh variabel ini. Hal ini
terjadi karena memang berdasarkan kondisinya, dua
kecamatan ini merupakan wilayah permukiman perkotaan
yang sudah terbangun dengan baik secara fasilitas umum
maupun fasilitas sosial. Selain itu dari lokasi, kecenderungan
masyarakat yang membangun rumah dekat dengan akses jalan
didukung dengan pembangunan akses jalan yang lebih baik
daripada kecamatan lain.
Kondisi permukiman diluar wilayah kecamatan kota
(Lumajang dan Sukodono) memiliki pengaruh yang lebih
rendah dikarenakan dari segi kondisi dan kelengkapan fasiitas
daerah diluar kecamtan Sukodono dan Lumajang cenderung
minim dalam hal ketersediaan fasilitas.

Tingkat pengaruh antar variabel adalah 0.527 yang artinya


variabel kondisi rumah/perumahan memiliki pengaruh yang
sedang terhadap pertumbuhan permukiman di wilayah
penelitian

Gambar 5.11 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Rumah/Perumahan Terhadap Pertumbuhan Permukiman

121
Wilayah dengan karakteristik perkembangan
permukiman dipengaruhi oleh variabel kondisi
infrastruktur adalah wilayah dengan karakteristik
perkotaan dimana daerah desa/kelurahannya terlayani
oleh infrastruktur dengan kondisi yang baik.
Karakteristik ini terdapat pada wilayah kecamatan kota
yaitu kecamatan Lumajang dan Sukodono. Infrastruktur
yang paling berpengaruh pada perkembangan
permukiman adalah jalan, disusul listrik dan air. Dari
segi infrastruktur jalan, wilayah kecamatan Lumajang
dan Sukodono adalah kecamatan perkotaan yang dilalui
jalan arteri primer penghubung antar kabupaten. Hal
tersebut menyebabkan kedinamisan aktivitas masyarakat
yang menyebabkan tarikan penduduk dan menimbulkan
terjadinya pembangunan rumah sebagai tempat tinggal.
Selain kecamatan Lumajang dan Sukodono beberapa
daerah desa di Kecamatan Tekung (Tukum,
Karangbendo, Tekung Dan Wonosari) juga tergolong
dalam klasifikasi tinggi dalam pertumbuhan
permukiman berdasarkan pengaruh infrastruktur.
Hampir sama dengan daerah kecamatan perkotaan, desa
pada kecamatan Tekung yang pertumbuhan
permukimannya dipengaruhi kondisi infrastruktur berada
pada jalur jalan arteri primer penghubung antar
kabupaten (Kabupaten Jember).
Tingkat pengaruh antar variabel adalah 0,887 yang artinya
variabel kondisi infrastruktur memiliki pengaruh yang sangat
tinggi terhadap pertumbuhan permukiman di wilayah penelitian

Gambar 5.12 Analisa Pengaruh Variabel Kondisi Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Permukiman

122
5.3 Value Wilayah Terkait Tingkatan Indikasi Pertumbuhan
Permukiman
Dari hasil analisa pengaruh masing – masing variabel terhadap daerah
desa/kelurahan tahapan analisa selanjutnya adalah analisa overlay dari masing –
masing variabel guna melihat daerah mana yang memiliki kecenderungan tumbuh
dan berkembang lebih cepat dibandingkan daerah lainnya. Pada prinsipnya,
anailisa overlay yang dilakukan pada proses ini adalah penggabungan jumlah
bobot pengaruh masing – masing variabel yang dimiliki unit amatan (lihat metoda
analisis value wilayah pada bab 3). Dari hasil penggabungan overlay bobot
pengaruh antar variabel maka didapatkan hasil bobot baru yang menggambarkan
kecenderungan cepat atau lambatnya pertumbuhan permukiman berdasarkan
range bobot yang ada. Semakin tinggi bobot pengaruh (penggabungan pengaruh
antar variabel) yang dimiliki unit amatan desa/kelurahan maka semakin cepat
kecenderungan pertumbuhan permukiman pada unit amatan tersebut dan begitu
pula sebaliknya semakin rendah bobot pengaruh maka semakin lambat
kecenderungan pertumbuhan permukiman yang terjadi.
Berdasarkan hasil analisa overlay didapat hasil berupa peta wilayah yang
mengindikasikan daerah permukiman dengan tingkat kecepatan pertumbuhan
tertentu berdasarkan skala dari rendah, sedang, hingga tinggi, dan sangat tinggi.
Penggambaran hasil analisa secara detail dijabarkan pada gambar 5.13.
Berdasarkan gambar 5.13 dapat terlihat bahwa wilayah dengan kategori memiliki
indikasi pertumbuhan permukiman tinggi rata-rata berada pada wilayah
kecamatan Sukodono dan Tekung. Sedangkan daerah permukiman dengan tingkat
indikasi pertumbuhan sangat tinggi berada pada wilayah kecamatan Sukodono
yaitu desa Bondoyudo.
Kecamatan Lumajang yang merupakan kecamatan dengan wilayah
permukiman perkotaan teridentifikasi dalam kategori rendah hingga sedang
dikarenakan berdasarkan hasil analisa pengaruh variabel pada lingkup kecamatan
dan kabupaten didapatkan bahwa variabel yang berpengaruh adalah kondisi
perekonomian terutama keberadaam institusi ekonomi. Sedangkan dalam hasil
analisanya, pertumbuhan permukiman di kecamatan Lumajang terjadi bukan
karena kondisi perekonomian namun lebih pada pengaruh infrastruktur dan

123
kondisi rumah/perumahan. Berdasarkan hasil analisa morfologi dan
perkembangan permukiman juga diketahui bahwa pada periode tahun 2006
hingga 2015 pertumbuhan permukiman terjadi menyebar menuju wilayah di luar
kecamatan Lumajang.

Gambar 5.13 Analisa Value Wilayah Terkait Tingkat Kecepatan Pertumbuhan


Permukiman

5.3.1 Kecenderungan Arah Pertumbuhan Permukiman


Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak PU Kabupaten Lumajang
selaku responden yang dianggap memahami kondisi perkembangan permukiman

124
pada wilayah penelitian secara umum didapatkan sebuah alasan logis dari hasil
analisa. beliau mengatakan bahwa “pertumbuhan permukiman terjadi secara
dinamis diluar wilayah perkotaan kecamatan Lumajang namun hal ini tidak
terlepas dari keberadaan permukiman perkotaan kecamatan Lumajang sendiri.
Merembetnya perkembangan permukiman keluar wilayah perkotaan disebabkan
semakin mahalnya harga tanah didalam wilayah perkotaan dan dibangunnya jalur
jalan lintas timur. Kecenderungan masyarakat akhirnya memilih membangun
rumah diluar kecamatan Lumajang namun dengan opsi bahwa rumah yang
dibangun harus mudah dalam aksesnya menuju pusat perkotaan kecamatan
Lumajang”.

PUSAT AKTIVITAS
PERMUKIMAN
PERKOTAAN
PROBOLNGGO

PUSAT AKTIVITAS
PERMUKIMAN
PERKOTAAN
KLAKAH

PUSAT
AKTIVITAS
PERMUKIMAN
PERKOTAAN

PUSAT
AKTIVITAS
PERMUKIMAN
PERKOTAAN

PUSAT
AKTIVITAS
PERMUKIMAN
PERKOTAAN

PUSAT
AKTIVITAS
PERMUKIMAN
PERKOTAAN

Gambar 5.14 Posisi Administrasi Wilayah Kecamatan Sukodono Dan Tekung


yang Diapit Pusat Aktivitas Permukiman Perkotaan Lain

125
Kecamatan Tekung dan Sukodono yang teridentifikasi memiliki indikasi
perkembangan tinggi secara administrasi memiliki posisi yang diapit oleh pusat
aktivitas masyarakat perkotaan. Wilayah kecamatan Sukodono berada diantara
pusat aktivitas permukiman perkotaan kecamatan Lumajang, Klakah ,dan Jatiroto
sedangkan kecamatan Tekung diapit oleh pusat aktivitas permukiman perkotaan
Lumajang dan Yosowilangun. Posisi kedua kecamatan yang didukung dengan
adanya jalan penghubung antar kabupaten menjadi penyebab kecenderungan
migrasi penduduk dari luar wilayah masuk kedalam kecamatan Sukodono dan
Tekung. Pihak desa pada masing – masing kecamatan Tekung dan Sukodono
menyatakan bahwa wilayah kecamatan Tekung dan Sukodono menjadi opsi
masyarakat diluar wilayah kecamatan untuk tinggal karena harga tanah yang
relatif rendah dibanding kecamatan disekitarnya. Selain itu mengenai
aksesibilitas, kecamatan Tekung dan Sukodono dilalui angkutan umum antar kota
dan kabupaten. Kecamatan Sukodono merupakan wilayah dengan akses utama
jalur lintas timur dimana terdapat rencana pengembangan fasilitas umum, pasar,
dan fasilitas lainnya seperti kesehatan dan pendidikan.

5.3.2 Analisa Triangulasi sebagai Dasar Pemilihan Permukiman Paling


Cepat Tumbuh
Dari hasil analisa yang telah dilakukan pada tahapan sebelumnya dengan
melibatkan stakeholder terkait pemahaman karakteristik dan faktor penyebab
pertumbuhan permukiman didapatkan hasil bahwa kecenderugan pertumbuhan
permukiman paling besar terjadi pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Sukodono
dan Kecamatan Tekung. Dari hasil tersebut kemudian akan dipilih salah satu
wilayah permukiman kecamatan mana yang memiliki indikasi pertumbuhan
permukiman paling cepat yang dianalisa dari pendapat stakeholder, rencana
pengembangan kawasan, dan hasil temuan penelitian. Kecamatan dengan indikasi
paling cepat ini kemudian dikaji konsep dan strategi pengendalian yang tepat guna
mengantisipasi dampak – dampak buruk pertumbuhan permukiman. Analisa
triangulasi lebih rinci terdapat pada tabel 5.3.

126
Tabel 5.3 Analisa Triangulasi Pemilihan Permukiman Paling Cepat Tumbuh
PENDAPAT STAKEHOLDER LITERATUR TEMUAN PENELITIAN ANALISA
RENCANA PENGEMBANGAN PERMUKIMAN
(DOKUMEN TATA RUANG)
Kondisi perkembangan permukiman Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten  Tahap pertama perkembangan Daerah terindikasi memiliki
Merembetnya perkembangan permukiman keluar wilayah Lumajang 2012-2032 permukiman pada tiap kecamatan kecenderungan pertumbuhan
perkotaan disebabkan semakin mahalnya harga tanah didalam Berdassarkan arahan RTRW Kab.Lumajang, Kecamatan terjadi secara linier mengikuti permukiman tinggi adalah kecamatan
wilayah perkotaan dan dibangunnya jalur jalan lintas timur terindikasi memiliki kecepatan pertumbuhan tinggi pola jalan terdekat (jalan utama) Sukodono dan Tekung. Perkembangan
(JLT). Kecenderungan masyarakat akhirnya memilih memiliki kebijakan terkait pengembangan sebagai berikut dengan organisasi fisik ruang permukiman terjadi di dua kecamatan
membangun rumah diluar kecamatan Lumajang namun : membentuk pola ribbon disebabkan oleh lokasi yang berkaitan
dengan opsi bahwa rumah yang dibangun harus mudah dalam Sukodono settlements. Karakteristik tahap dengan aksesibilitas dan tarikan
aksesnya menuju pusat perkotaan kecamatan Lumajang.  Dalam sistem perkotaan, kecamatan sukodono kedua adalah terdapatnya institusi perekonomian. Dari kondisi
Kecamatan Tekung dan Sukodono adalah kecamatan diluar ditetapkan sebagai pusat kegiatan lokal (PKL) yang organisasi fisik ruang yang ini, kedua kecamatan memiliki potensi
wilayah permukiman perkotaan yang terhubung oleh akses merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi untuk cenderung membentuk pola yang sama dalam hal pertumbuhan
jalan Provinsi dan Kabupaten. Terlebih kecamatan Sukodono melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa cluster permukiman. Namun apabila dilihat
yang dilalui jalur JLT. kecamatan  Kecamatan yang teridentifikasi dari rencana pengembangan kawasan,
 Arahan pengembangan jalan strategis kabupaten berupa memiliki indikasi kecenderungan kecamatan Sukodono cenderung akan
Penyebab pertumbuhan permukiman Jalur Lingkar Timur perkembangan tinggi berdasarkan lebih berkembang karena dilihat dari
Sukodono  Dilalui pelayanan angkutan umum massal berupa hasil analisa adalah kecamatan sistem perkotaan yang ditetapkan
Desa selokbesuki, Bondoyudo, dan Selokgondang pengembangan rute angkutan pedesaan Tekung dan Sukodono, sebagai PKL yang kedudukannya diatas
berkembang dipengaruhi oleh Keberadaan institusi ekonomi peningkatan signifikan terjadi kecamatan Tekung yakni PPK.
 Kawasan peruntukan industri kecil (batik, genteng, batu-
akibat pengembangan jalan baru yaitu jalur lintas timur. Selain dimulai tahun 2010. Penetapan sistem perkotaan ini akan
bata, mebel kayu) dan industri menengah
itu daerah ini memiliki akses yang dekat dengan institusi
 Merupakan kawasan peruntukan permukiman perkotaan  Desa Bondoyudo pada berdampak pada massive-nya
ekonomi perkotaan yaitu wilayah perdagangan jasa kecamatan kecamatan Sukodono memiliki pembangunan yang akan terjadi yang
lumajang.  Rencana pengembangan permukiman bagi MBR tentu akan menyebabkan tarikan
indikasi pertumbuhan sangat
Kondisi rumah/dan perumahan yang cenderung lebih baik dari  Pengembangan kawasan Perdagangan skala wilayah masyarakat karena aktivitas
tinggi.
kecamatan lain juga menjadi trigger pertumbuhan permukiman
Tekung  Pengaruh pertumbuhan perekonomian.
pada kecamatan sukodono. Kondisi yang baik ini disebabkan permukiman disebabkan oleh Dalam lingkup desa, desa Bondoyudo
kedekatan dengan wilayah kecamatan kota sehingga  Dalam sistem perkotaan, kecamatan Tekung ditetapkan pada kecamatan Sukodono adalah
variabel kondisi perekonomian
pemenuhan sarana-prasarana cenderung lebih baik. sebagai pusat pelayanan kawasan (PPK) wilayah dengan tingkat indikasi
(institusi ekonomi) dan variabel
 Rencana pengembangan jalur jalan provinsi kolektor pertumbuhan permukiman paling tinggi
infrastruktur yakni infrastruktur
Tekung primer diantara desa yang lain. Adanya
jalan.
Pertumbuhan permukiman pada rata – rata desa di wilayah  Rencana transportasi reaktivasi jalur kereta api mati rute pengembangan jalan strategis pada
kecamatan Tekung diakibatkan oleh pertumbuhan manusia Lumajang – Tekung-Rowokangkung-Yosowilangun wilayah kecamatan Sukodono dan
dan mata pencaharian yang berkaitan dengan peningkatan  Kawasan peruntukan industri kecil (krupuk, mebel kayu, melewati desa Bondoyudo juga sejalan
kondisi ekonomi. Permukiman Tumbuh di pinggir jalan akibat tahu dan tempe) dan menengah dengan hasil temuan penelitian dimana
migrasi penduduk pendatang dari daerah jember (puger dan  Pengembangan kawasan perdagangan skala lokal pertumbuhan permukiman terjadi akibat
kencong) serta adanya pernikahan penduduk asli dengan pengaruh infrastruktur terutama jalan.
pendatang.

Sumber : hasil analisa 2016

127
Dari hasil analisa triangulasi dapat disimpulkan bahwa permukiman yang
berpotensi tumbuh lebih cepat antara kecamatan Tekung dan kecamatan
Sukodono adalah kecamatan Sukodono (desa Bondoyudo, dalam lingkup desa).
Hal tersebut didasarkan pada adanya kebijakan pengembangan kawasan yang
lebih banyak ditekankan pada Kecamatan Sukodono daripada Kecamatan Tekung.
Adanya rencana jalur jalan strategis pada wilayah kecamatan Sukodono dan
pengembangan kawasan perdagangan skala wilayah berpotensi untuk menjadi
daya Tarik bermukim bagi masyarakat karena berdasarkan hasil analisa diketahui
bahwa adanya institusi ekonomi dan akses infrastruktur jalan menjadi preferensi
prioritas yang dipertimbangkan masyarakat pada wilayah penelitian untuk
bermukim. Kondisi pada Kecamatan Tekung memang terdapat rencana
pengembangan kawasan seperti penetapan wilayah sebagai pusat pelayanan
kawasan, adanya rencana pengembangan jalur jalan provinsi, rektivasi jalur kereta
api, serta pengembangan kawasan perdagangan skala lokal. Jika dibandingkan
tingkat kepentingan dari rencana pengembangan kawasan yang akan dilakukan
pada dua kecamatan dengan dampaknya terhadap pertumbuhan permukiman maka
kondisinya adalah :

 Dalam rencana tata ruang, sistem pekotaan Kecamatan Sukodono merupakan


pusat kegiatan Lokal (PKL) memiliki hierarki yang lebih tinggi dibandingkan
kecamatan Tekung yang merupakan pusat pelayanan kawasan (PPK) dimana
rencana pengembangan permukiman terkait infrastruktur dan sarana-prasarana
akan diprioritaskan lebih dulu pada kawasan PKL.
 Adanya pengembangan kawasan perdagangan skala wilayah pada kecamatan
Sukodono berpotensi menarik lebih banyak masyarakat luar untuk bermigrasi
dibandingkan dengan pengembangan kawasan perdagangan skala lokal di
Kecamatan Tekung.
 Sedangkan untuk infrastruktur jalan terkait aksesibilitas, dua kecamatan
memiliki peluang yang sama dalam terjadinya pertumbuhan permukiman
karena pada masing – masing kecamatan terdapat rencana pengembangan
jalan. Kecamatan Sukodono terdapat rencana pengembangan jalan strategis

128
jalur lintas timur sedangkan kecamatan Tekung dilalui jalur jalan penghubung
antar kabupaten.

Berdasarkan hasil analisa Triangulasi maka ter-justifikasi hasil temuan


wilayah permukiman cepat tumbuh. Hasil justrifikasi diketahui bahwa potensi
cepat tumbuh terjadi pada permukiman di kecamatan Sukodono terumtama desa
Bondoyudo memiliki potensi yang lebih tinggi dibandingkan wilayah
permukiman lain. Pada tahapan selanjutnya, analisa penentuan konsep dan strategi
pengendalian pertumbuhan permukiman akan difokuskan pada wilayah
permukiman yang memiliki indikasi paling cepat tumbuh yaitu wilayah
administrasi desa Bondoyudo pada wilayah perkotaan Kecamatan Sukodono.

129
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

130
BAB 6
KONSEP DAN STRATEGI PENGENDALIAN
PERKEMBANGAN PERMUKIMAN CEPAT TUMBUH

6.1 Fenomena Urban Sprawl dan Dampak yang Terlihat pada Kawasan
Permukiman Terindikasi Cepat Tumbuh
Berdasarkan hasil analisa tahapan perkembangan permukiman, wilayah
permukiman kecamatan Sukodono terbangun dengan pola linier mengikuti pola
jalan terdekat (jalan utama) dengan organisasi fisik ruang membentuk pola ribbon
settlements. Pola linier ini merupakan dasar proses terjadinya urban sprawl dimana
kategori ini masuk pada karakteristik ke dua “proses” terjadinya fenomena urban
sprawl (lihat bab 2 terkait karakteristik urban sprawl berdasarkan proses). Pengaruh
terbesar dari pola linier ini memang adalah jaringan transportasi terutama
infrastruktur jalan. Perkembangan permukiman yang merembet secara linier ini
pada studi kasus kecamatan Sukodono kemudian diikuti perkembangan pada
wilayah yang lebih dalam dari perkembangan pertama (dekat jalan). Pola
perkembangan permukiman pada tahapan selanjutnya ini cenderung membentuk
pola cluster yang mengelompok.

Perkembangan Perkembangan
pertama secara linier tahap ke dua

Jalur jalan utama

Gambar 6.1. Pola Perkembangan Permukiman Kecamatan Sukodono

131
Jalan swadaya untuk mengakses masuk
Permukiman dekat jalan utama permukiman tahap kedua

Permukiman tahap kedaa dibelakang Kelompok permukiman dikecamatan


permukiman dekat jalan utama Sukodono
Gambar 6.2. Dokumentasi Kondisi Permukiman Kecamatan Sukodono

Secara umum pertumbuhan permukiman yang terjadi pada wilayah


kecamatan Sukodono dikategorikan menjadi dua yakni pertumbuhan yang terjadi
secara terencana dan tidak terencana. Pertumbuhan permukiman secara terencana
dilakukan oleh pihak swasta selaku pengembang sedangkan yang tidak terencana
adalah permukiman yang tumbuh secara swadaya oleh inisiatif masyarakat sekitar
karena motif kebutuhan dan keterbatasan kemampuan ekonomi. Keterbatasan
kemampuan ekonomi yang dimaksud disini adalah terkait penentuan pilihan
bermukim di wilayah Sukodono dikarenakan keterbatasan mengakses hunian pada
kecamatan Lumajang dikarenakan harga lahan yang tidak terjangkau.
Adanya peran pihak swasta mengakibatkan kesenjangan wilayah
permukiman terbangun. Developer cenderung membangun perumahan atau tanah
kavling pada wilayah dekat jalan akibatnya wilayah diluar jalan besar kebanyakan
memiliki kondisi yang tidak sebaik permukiman didekat jalan besar. Beberapa
permasalahan juga timbul ketika pembangunan kawasan perumahan oleh pihak
developer skala kecil dilakukan tanpa melihat potensi lahan dimana lahan yang
digunakan merupakan lahan produktif. Kondisi ini tentu menyalahi pembangunan
permukiman berdasarkan indikator permukiman berkelanjutan. Aspek lingkungan

132
menjadi aspek yang harus difikirkan dalam pertimbangan alih fungsi lahan
produktif karena dampak yang ditimbulkan sangat berpengaruh pada kualitas
permukiman dalam jangka waktu yang panjang.

Lahan pertanian produktif disekitar tanah


Lahan produktif yang dikavlingkan
yang dikavlingkan
Gambar 6.3. Dokumentasi Kondisi Alih Fungsi Lahan Produktif Menjadi
Permukiman di Kecamatan Sukodono

Lingkungan permukiman formal dengan pelayanan infrastruktur dasar minimal

Lingkungan permukiman informal yang dibangun secara swadaya tanpa


memperhatikan pelayanan infrastruktur dasar

Gambar 6.4. Kesenjangan Kondisi Antara Permukiman Formal dan Informal

Pada lingkup yang lebih kecil yakni desa Bondoyudo sebagai kawasan
permukiman cepat tumbuh, beberapa ciri fenomena urban sprawl juga tampak.
Terhitung dari tahun 2010 semenjak dibangunnya jalur jalan strategis lintas timur

133
(JLT), terlihat adanya gejala perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi
lahan terbangun. Beberapa titik disekitar JLT awalnya tumbuh rumah non
permanen yang difungsikan sebagai warung – warung kecil. Kemudian adanya
pengembangan kawasan perumahan skala kecil menjadi trigger bagi pemilik tanah
disekitar jalan untuk melakukan peng-kavlingan tanah. Selain JLT, wilayah desa
Bondoyudo juga dilalui jalan raya penghubung antar kabupaten dimana lokasi ini
memang sudah menjadi pilihan awal penduduk yang akan bermukim karena akses
yang mudah untuk menuju pusat perkotaan di kecamatan Lumajang.

Daerah Jalan Daerah JLT


raya

TAHUN 2010 TAHUN 2013

Gambar 6.5. Periode Perkembangan Permukiman Desa Bondoyudo

Hasil analisa citra wilayah terlihat bahwa pertumbuhan permukiman pada


desa Bondoyudo terjadi pada dua tipologi lokasi yaitu dekat dengan jalan raya dan
dekat dengan JLT. Kondisi ini merupakan interpretasi dalam lingkup yang lebih
kecil dari fenomena urban sprawl yang terjadi di kecamatan Sukodono dimana
kondisi pertumbuhan permukiman dengan pola linier mengikuti pola jalan terdekat
(jalan utama).
Untuk kondisi permukiman yang ada didalam desa Bondoyudo dapat dilihat
apakah ciri fenomena urban sprawl juga terjadi. Ternyata beberapa ciri
permukiman yang tumbuh dari fenomena urban sprawl juga terlihat pada desa
Bondoyudo. Beberapa ciri dari fenomena urban sprawl mengacu pada teori yang
dijabarkan pada kajian pustaka (bab 2) dijelaskan pada tabel 6.1.

134
Tabel 6.1 Ciri Fenomena Urban Sprawl pada Permukiman Desa Bondoyudo
Single-use Permukiman baru yang tumbuh secara swadaya kebanyakan
zoning hanya berfungsi sebagai hunian tempat tinggal. Aktivitas dan
pemenuhan fasilitas (pendidikan, perekonomian, kesehatan)
kebanyakan dipenuhi oleh wilayah kecamatan lain terutama
kecamatan Lumajang. Hal ini terjadi karena memang
diversifikasi pemanfaatan lahan yang ada di desa Bondoyudo
sangatlah minim. Penggunaan lahan terbesar adalah zona
agrikultur disusul kemudian peruntukan rumah/kawasan
permukiman

Kepadatan Tipikal permukiman yang baru tumbuh pada desa bondoyudo


permukiman dengan mengkonversi lahan pertanian produktif adalah rendah.
yang rendah. Terdapat jarak yang cukup jauh antara permukiman satu
dengan yang lainnya

Tidak Beberapa kondisi permukiman eksisting yang ada pada desa


tercapainya Bondoyudo terutama pada wilayah dekat dengan Jalur jalan
pembangunan Strategis Lintas timur tidak terlayani infrsatruktur dasar seperti
permukiman MCK, jalan lingkungan, persampahan, drainase (terjadi
yang genangan ketika hujan).
memenuhi
standar

Pemakaian sungai sebagai MCK dan pembuangan sampah

Akses jalan tidak layak tanpa dipenuhi infrastruktur


drainase

135
Transportasi Tidak terdapat trasnportasi umum yang melintasi permukiman
umum yang didalam desa Bondoyudo. Terdapat trayek bus antar kota
tidak namun hanya melintas jalur jalan besar di pinggir wilayah desa.
memadai Trayek angkutan umum secara khusus yang melayani mobilitas
masyarakat desa Bondoyudo menuju pusat aktivitas perkotaan
di kecamatan sekitarnya belum terakomodasi.

Ketergantung Hampir seluruh aktivitas masyarakat di desa bondoyudo


an terhadap dilakukan dengan moda pribadi.
moda pribadi

Kawasan Simpul aktivitas kebanyakan hanya terdapat disekitar jalan


permukiman raya yang berjarak kurang lebih 4 km dari pusat permukiman.
tidak ramah Selain itu, hampir tidak terdapat jalur pedestrian guna pejalan
bagi pejalan kaki pada sekitar badan jalan.
kaki karena
jarak dari satu
simpul
aktivitas
dengan
aktivitas yang
lain
berjauhan.

Kondisi jalan lingkungan

Kondisi jalan raya

Sumber : Hasil Observasi dan Analisa 2016

Dari gambaran kondisi permukiman pada wilayah yang memiliki indikasi


cepat tumbuh dapat disimpulkan beberapa poin penting yang menjadi perhatian
utama sebagai dasar perumusan konsep pengendalian. Poin penting ini disarikan
dari pendapat stakeholder yaitu pihak kecamatan Sukodono dan Kepala Desa

136
Bondoyudo yang kemudian dibandingkan dengan hasil observasi. Beberapa poin
penting tersebut adalah :
1. Keberadaan infrastruktur jalan yang memudahkan akses menuju pusat
perkotaan berpotensi menarik peduduk dari luar wilayah yang menyebabkan
penambahan angka pertumbuhan penduduk sehingga berpotensi naiknya
jumlah kebutuhan hunian
2. Pertumbuhan permukiman telah menyebabkan alih fungsi lahan produktif
menjadi lahan terbangun.
3. Terjadi kesenjangan kondisi permukiman baik dari segi fisik bangunan maupun
ketersediaan sarana-prasarana antara permukiman swadaya dan permukiman
formal yang dikembangkan oleh pengembang.
4. Ketergantungan wilayah permukiman desa Bondoyudo terhadap permukiman
perkotaan yang tidak menciptakan kemandirian. Ketergantungan ini terjadi dari
berbagai segi baik fasilitas maupun aktivitas. Dari segi aktivitas, kondisi ini
terjadi karena tidak adanya diversifikasi kegiatan ekonomi. Masyarakat asli
wilayah pedesaan cenderung bertani sedang pendatang merupakan pekerja dari
institusi ekonomi yang ada di permukiman perkotaan. Dari segi fasilitas
memang wilayah perkotaan cenderung lebih baik dari segi pelayanan fasilitas.
5. Minimnya fasilitas sosial sebagai sarana berkumpul masyarakat desa diluar
permukiman perkotaan. Hal ini dapat menyebabkan tidak terbentuknya
identitas / karakter masyarakat secara khusus pada wilayah kampung yang
didominasi oleh pendatang.
6. Tarikan institusi ekonomi pada wilayah perkotaan menyebabkan tidak
effisiennya penggunaan energy dalam hal transportasi karena letak rumah dan
tempat kerja penduduk yang berjauhan
7. Tidak effisiennya mobilitas penduduk karena kawasasn permukiman tidak
dilayani angkutan umum.

6.2 Konsep dan Strategi Pengendalian Permukiman Cepat Tumbuh


Penyusunan konsep dan strategi pengendalian perkembangan permukiman
dirumuskan melalui proses analisa triangulasi berdasarkan 3 sumber yakni hasil
analisa pemahaman kondisi permukiman berdasarkan karakteristik elemen

137
pembentuknya (hasil analisa), tinjauan literatur terkait teori mengenai permukiman
berkelanjutan, serta pendapat stakeholder. Dari keterkaitan antara 3 sumber
informasi ini maka akan dirumuskan konsep dan strategi pengendalian yang tepat
dan komprehensif menyelesaikan permasalahan perkembangan permukiman yang
terjadi. Penjabaran analisa Triangulasi lebih rinci dijelaskan pada tabel 6.2 yang
memuat konsep pengendalian pertumbuhan permukiman berdasarkan pengaruh
masing – masing elemen pembentuk permukiman.

138
Tabel 6.2. Analisa Triangulasi Konsep dan Strategi Pengendalian Perkembangan Permukiman
ASPEK PENGENDALIAN KONDISI ALAM
KONDISI EMPIRIK KARAKTERISTIK INDIKATOR DAN TEORI TERKAIT PERMUKIMAN HASIL ANALISA AHP DAN PENDAPAT
ELEMEN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN STAKEHOLDER
Indikator UN Habitat
Meso (regional, kota)  Sedangkan secara umum pada Desa Bondoyudo,
 Ketercapaian lingkungan yang hijau dan aman variabel kondisi alam yang paling berpengaruh besar
 Berdasarkan kesesuaian, Pertumbuhan  Perlindungan ekosistem dan keanekaragaman hayati. adalah keadaan alam dimana mayoritas wilayah
permukiman dapat terjadi pada hampir Micro (lingkungan perumahan, permukiman kawasan) penelitian yang memiliki kesesuaian kriteria lahan guna
seluruh wilayah penelitian.  Penggunaan sumberdaya yang terjangkau. kawasan permukiman
 Tarikan SDA yang menyebabkan
tumbuhnya permukiman adalah kondisi Konsep dan pendekatan sustainable yang difokuskan Dampak dari pertumbuhan permukiman akibat pengaruh
tanah yang subur akibat adanya tanah terhadap variabel alam kondisi Alam pada desa Bondoyudo adalah :
vulkanik dari tiga gunung berapi yang Konsep greening (mempertahankan sumberdaya alam  Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan terbangun
mengelilingi wilayah penelitian. secara integral) dalam eco-city. Prinsip konsep Eco-city yang tidak terkontrol akibat ketersediaan lahan.
 Dampak dari kondisi alam yang adalah penggunaan sumber daya yang seminimal mungkin berkurangnya lahan pertanian dikhawatirkan akan
memungkinkan untuk dibangun kawasan (minimalisasi input energi, air dan makanan) serta menyebabkan terganggunya ketahanan pangan
permukiman adalah alih fungsi lahan memberikan dampak yang sekecil mungkin (output/ wilayah.
yang tidak terkendali. limbah panas, polusi udara dan polusi air). Selain itu, eco  Tidak adanya effisiensi penggunaan energi karena
 Alih fungsi lahan (terutama lahan city juga menekankan bahwa kota harus mampu mendaur- lokasi permukiman yang cenderung menyebar dan
pertanian LP2B) menjadi permukiman ulang sumber-sumbe daya tersebut. mengakibatkan banyaknya pergerakan dari
tidak disertai dengan pembangunan Hasil penelitian terkait pengendalian urban sprawl permukiman menuju simpul aktivitas masyarakat
infrastruktur dasar yang berhubungan dengan variabel alam (tempat kerja dan pusat perdagangan jasa)
 Kebijakan konsolidasi lahan oleh pemerintah  Tidak terpenuhinya kebutuhan infrastruktur dasar pada
 Perlindungan fungsi lahan hijau dengan pemberian perumahan pedesaan terutama terkait MCK berpotensi
pajak yang tinggi terhadap alih fungsi lahan mencemari lingkungan

139
ANALISA TRIANGULASI (konsep pengendalian kondisi alam)
 Dalam prinsip pembangunan permukiman berkelanjutan, penggunaan alam guna pembangunan kawasan haruslah seminimal mungkin mengeksplorasi alam
namun tetap dapat memenuhi kebutuhan secara merata. Kondisi yang ada pada wilayah penelitian dan Desa Bondoyudo secara khusus adalah penggunaan lahan
(eksplorasi alam) guna peruntukan permukiman terjadi tidak terkendali,meyebar, dan tanpa adanya perencanaan yang baik (terutama pada permukiman swadaya).
Selain itu adanya daya Tarik SDA yang menyebabkan kelompok masyarakat tertentu untuk tinggal juga menjadi trigger yang berpengaruh besar terhadap alih
fungsi lahan pertanian menjadi permukiman. Dengan memperhatikan indikator pembangunan berkelanjutan maka perlu dilakukan pembatasan – pembatasan
dalam alih fungsi lahan dengan konsolidasi lahan peruntukan permukiman guna mengurangi pertumbuhan permukiman swadaya yang berpotensi menyalahi
indikator permukiman berkelanjutan. Selain itu perlu pula penerapan aturan proporsi lahan hijau guna perlindungan ekosistem dan penerapan prinsip eco-city
dengan pembentukan permukiman “no waste” yang mengedepankan sistem manajemen sampah yang baik.
 Konsep dan strategi pengendalian pertumbuhan permukiman yang dapat dilakukan adalah konsolidasi lahan guna pembatasan alih fungsi lahan dan
perlindungan ekosistem dengan pengaturan proporsi lahan hijau disertai pembentukan permukiman “no waste”. Detail strategi yang dilakukan adalah:
1. Pembatasan pertumbuhan permukiman swadaya dan perlindungan terhadap lahan agar tidak mudah dikonversikan (menjaga ekosistem dan keanekaragaman
hayati).
Strategi :
 Strategi dalam penataan ruang yaitu mempertegas penetapan zonasi peruntukan permukiman, lahan pertanian berkelanjutan, atau kawasan lindung yang
diperkuat dengan peraturan daerah yang memiliki legalitas hukum dalam hal menindak pelanggaran (terutama alih fungsi lahan)
 Pemberian pajak yang besar terhadap lahan pertanian yang diubah peruntukan.
2. Konsolidasi tanah guna penyediaan permukiman pada wilayah dengan kecenderungan tinggi pada alih fungsi lahan pertanian
Strategi :
 Pembentukan tim pemerintah kabupaten atau kerjasama dengan pihak swasta (developer) dalam pengadaan dan pembangunan kawasan perumahan yang
terkonsentrasi.
3. Revitaslisasi/Perbaikan area permukiman kategori tidak layak huni (mengurangi resiko terbentuknya pemukiman kumuh)
Strategi :
 Pemenuhan infrastruktur dasar bagi permukiman yang sudah terbangun namun dalam kondisi yang tidak baik (terutama MCK)
 Mempertahankan area hijau dengan proporsi lebih dari 30%
 Penerapan manajemen sampah yang baik (misalnya bank sampah).

140
ASPEK PENGENDALIAN KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
KONDISI EMPIRIK KARAKTERISTIK INDIKATOR DAN TEORI TERKAIT PERMUKIMAN HASIL ANALISA AHP DAN PENDAPAT
ELEMEN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN STAKEHOLDER
Indikator UN Habitat
Meso (regional, kota)  Pengaruh kondisi sosial masyarakat disebabkan oleh
 Menggerakkan komunitas masyarakat secara terpadu pertumbuhan manusia akibat pendatang dari luar
 Berdasarkan jumlah populasi, tingkat  Penyediaan fasilitas untuk masyarakat dan mencegah daerah yang terpengaruh oleh lokasi mata pencaharian
kepadatan serta pertumbuhan penduduk segresi dan perpindahan penduduk. yang berada di kawasan permukiman perkotaan.
terlihat bahwa kecamatan Lumajang dan  Pengintegrasian dan pembentukan kembali daerah yang  Lokasi wilayah yang dekat dengan wilayah perkotaan
Sukodono cenderung menjadi wilayah tertinggal dengan daerah perkotaan yang lebih maju Lumajang menyebabkan kecamatan Sukodono menjadi
yang berpotensi menjadi pusat  Integrasi infrastruktur perumahan dengan daerah yang alternatif pilihan bermukim bagi pekerja di
berkembangnya permukiman disusul lebih luas.. permukiman perkotaa Klakah dan Lumajang karena
kecamatan Sumbersuko, Padang, dan  Perbaikan perumahan kumuh dan tidak layak. harga tanah yang cenderung lebih murah.
Tekung.
 Aktivitas terkait mata pencaharian yang Micro (lingkungan perumahan, permukiman kawasan) Dampak dari pertumbuhan permukiman akibat pengaruh
mempengaruhi pertumbuhan  Pemberdayaan masyarakat dan peningkatan partisipasi Sosial masyarakat pada Desa Bondoyudo :
permukiman adalah bidang pertanian publik.  Migrasi peduduk dari luar wilayah yang menyebabkan
disusul kemudian jasa dan perdagangan..  Kepastian keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan penambahan angka pertumbuhan penduduk sehingga
 Institusi sosial yang menjadi konsentrasi pada rumah tinggal. berpotensi naiknya jumlah kebutuhan hunian
tarikan masyarakat berupa alun – alun  Pembentukan identitas, rasa memiliki pada komunitas  Tidak terbentuknya identitas / karakter masyarakat
dan stadion berada pada kecamatan dan lingkungan. secara khusus pada wilayah kampung yang didominasi
Lumajang dan Sukodono. Wilayah  Mengakomodasi kebutuhan yang spesifik terkait rumah oleh pendatang
kecamatan lain cenderung minim dalam (termasuk yang berkaitan dengan jenis kelamin, usia,  Minimnya fasilitas sosial sebagai sarana berkumpul
hal ketersediaan institusi sosial sebagai dan kesehatan). masyarakat desa diluar permukiman perkotaan
sarana sosialisasi masyarakat.  Penyediaan akses pada infrastruktur dan ruang publik. berdampak pada rasa keterkaitan yang tidak kuat antara
masyarakat dan lingkungan permukiman karena rumah
Konsep dan pendekatan sustainable yang difokuskan berfungsi hanya sebagai tempat singgah.
terhadap variabel kondisi sosial masyarakat

141
 Diversity dalam bentuk keragaman fungsi bangunan
atau kawasan

ANALISA TRIANGULASI (konsep pengendalian kondisi sosial masyarakat)


 Pengaruh variabel kondisi sosial masyarakat yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan permukiman adalah pertumbuhan manusia dan mata pencaharian.
Pertumbuhan manusia yang terjadi adalah akibat adanya proses migrasi yang menyebabkan peningkatan permintaan akan rumah. Dari dampak yang terlihat
seperti bertambahnya kebutuhan perumahan, tidak terbentuknya identitas masyarakat akibat kurangnya katerikatan antara masyarakat dan lingkungan serta
minimnya fasilitas sosial maka konsep strategi pengendalian yang perlu dilakukan adalah pembentukan identitas masyarakat dengan peningkatan partisipasi
publik dan pemberdayaan masyarakat serta pemenuhan akses terhadap fasilitas umum dan public sesuai kebutuhan skala pelayanan. Detail strategi
yang dilakukan adalah :
1. Pembentukan identitas masyarakat guna membangun rasa memiliki pada lingkungan dan komunitas masyarakat (dampak kedepannya adalah
pengurangan kesenjangan kondisi permukiman antara permukiman perkotaan dan wilayah peri-urban) dengan penerapan strategi program kampung
tematik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dan peningkatan partisipasi public pada setiap simpul – simpul permukiman kampung yang ada dengan
menambah fungsi rumah selain sebagai tempat tinggal juga sebagai tempat usaha seperti home industri (batik, mebel kayu, dll sesuai rencana
pengembangan RTRW).
2. Integrasi kawasan permukiman pedesaan dan perkotaan dalam fasilitas umum dan fasilitas sosial dengan penerapan strategi pembangunan fasilitas
umum dan fasilitas sosial sesuai kebutuhan dan skala pelayanan sebagai bentuk penyediaan akses pada infrastruktur dan ruang publik.

ASPEK PENGENDALIAN KONDISI EKONOMI MASYARAKAT


KONDISI EMPIRIK KARAKTERISTIK INDIKATOR TEORI TERKAIT PERMUKIMAN HASIL ANALISA AHP DAN PENDAPAT
ELEMEN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN STAKEHOLDER
 Resiko terbentuknya permukiman tidak  Dalam variabel konsisi ekonomi masyarakat,
Indikator UN Habitat
layak dapat diprosentasikan berdasarkan keberadaan institusi ekonomi banyak mempengaruhi
Meso (regional, kota)
jumlah keluarga menurut golongannya pertumbuhan permukiman terutama wilayah yang
 Memperkuat kewirausahaan masyarakat.
(pra sejahtera dan sejahtera I) yaitu : dekat dengan pusat aktivitas perekonomian wilayah
kecamatan Lumajang 30,4%, Sukodono permukiman perkotaan
Micro (lingkungan perumahan, permukiman kawasan)
25,7%, Sumbersuko 28,7%,Padang  Dampak dari pertumbuhan permukiman akibat
 Memastikan keterjangkauan perumahan bagi kelompok
33,5%,dan Tekung 42,%. Dari golongan pengaruh Ekonomi masyarakat pada Desa Bondoyudo
sosial yang berbeda.
masyarakat berdasarkan tingkat :

142
kesejahteraan dapat terlihat bahwa tingkat  Penyediaan tempat tinggal yang layak guna  Kesenjangan persebaran institusi ekonomi
pendapatan masyarakat kecamatan dari peningkatan produktivitas tenaga kerja dan integrasi (institusi ekonomi kebanyakan berada pada wilayah
tertinggi hingga terendah adalah antara rumah dan tempat kerja. permukiman perkotaan Kecamatan Lumajang
Sukodono, Sumbersuko, Lumajang,  Dukungan terhadap kegiatan ekonomi domestic dan  Tarikan institusi ekonomi pada wilayah perkotaan
Padang, dan Tekung. UKM. menyebabkan tidak effisiennya penggunaan energy
 Dari jumlah sarana perekonomian terlihat  Perkuatan ketahanan rumah hingga di masa depan. dalam hal transportasi karena letak rumah dan tempat
bahwa aktivitas ekonomi terkonsentrasi kerja penduduk yang berjauhan
pada kecamatan Lumajang. Konsep dan pendekatan sustainable yang difokuskan  Tidak adanya diversifikasi kegiatan ekonomi.
terhadap variabel kondisi ekonomi masyarakat Masyarakat asli wilayah pedesaan cenderung bertani
 Mixed-Landuse, merupakan keragaman penggunaan sedang pendatang merupakan pekerja dari institusi
lahan yang bertujuan untuk mengefisiensikan ekonomi yang ada di permukiman perkotaan.
pergerakan manusia dengan mengurangi jarak antar
kegiatan dengan membangun simpul-simpul kegiatan
yang berdekatan.

ANALISA TRIANGULASI (konsep pengendalian kondisi ekonomi masyarakat)


 Pertumbuhan permukiman yang terjadi akibat pengaruh kondisi ekonomi masyarakat adalah terkait keberadaan institusi ekonomi. Seperti yang dijabarkan pada
pengaruh kondisi sosial yaitu terkait mata pencaharian, institusi perekonomian yang berpengaruh terhadap pertumbuhan permukiman pada wilayah kecamatan
Sukodono berada diluar wilayahnya. Desa Bondoyudo sebagai wilayah dengan kondisi pertumbuhan permukiman tinggi secara umum memiliki ketergantungan
pada institusi perekonomian kecamatan perkotaan disekitarnya. Hal tersebut menyebabkan ketidak-mandirian masyarakat dalam beraktivitas karena tidak
adanya diversivikasi kegiatan ekonomi. Melihat kondisi yang ada maka konsep pengendalian yang harus dilakukan adalah pengurangan kesenjangan
persebaran institusi ekonomi dengan membentuk institusi perekonomian baru didalam wilayah permukiman kecamatan Sukodono. Strategi yang
diterapkan adalah :
 Penciptaan lapangan kerja berbasis home industri guna membentuk kemandirian masyarakat dengan pelatihan skill dan permodalan secara finansial.
 Peningkatan keberagaman guna lahan pada kawasan permukiman (terutama guna lahan perdagangan dan jasa)
Strategi : penggalangan program rumah – dagang (rumah dengan fungsi ekonomi disamping sebagai fungsi tinggal)

*(Konsep pengendalian kondisi ekonomi masyarakat dapat diintegrasikan dengan konsep pengendalian kondisi sosial masyarakat)

143
ASPEK PENGENDALIAN KARAKTERISTIK BUDAYA MASYARAKAT
KONDISI EMPIRIK KARAKTERISTIK INDIKATOR TEORI TERKAIT PERMUKIMAN HASIL ANALISA AHP DAN PENDAPAT
ELEMEN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN STAKEHOLDER
 Terdapat beberapa budaya masyarakat yang
mempengaruhi pertumbuhan permukiman terutama
dalam hal kebiasaan dalam bermukim yakni : (1)
rumah mengelompok, (2) Enggan untuk meniggalkan
daerah dan cenderung membangun rumah dekat
 Secara umum tidak terdapat karakteristik Indikator UN Habitat dengan keluarga, (3) Terdapat tanah warisan turun-
identitas budaya tertentu yang Meso (regional, kota) temurun yang merupakan awal pembangunan
mempengaruhi pertumbuhan permukiman  Pembentukan nilai, tradisi, norma, dan kebiasaan perumahan, (4) rumah terbangun secara
di pada wilayah kecamatan penelitian. (terkait dengan penggunaan energi, daur ulang sampah, mengelompok namun kelompok rumah ini kondisinya
Permukiman tumbuh mengikuti simpul kehidupan komunitas, dan pemeliharaan tempat berpencar karena kontur wilayah yang cenderung
aktivitas berdasarkan karakteristik tinggal). berbukit.
kecamatan dan adanya akses jalan.  Kondisi budaya yang mempengaruhi masyarakat
 Beberapa budaya yang mempengaruhi Micro (lingkungan perumahan, permukiman kawasan) secara umum pada adalah kebiasaan bermukim yang
aktivitas bermukim adalah kecenderungan  Membantu transisi masyarakat dari daerah pedesaan berlokasi perumahan yang dekat dengan jalan.
pembangunan rumah secara mengelompok dan daerah kumuh untuk perumahan yang layak atau Beberapa pembangunan jalan baru dilakukan pada
dengan keluarga, dan enggannya perumahan multifamily. desa sehingga memicu tumbuhnya permukiman.
masayarakat asli untuk keluar dari
kampungnya. Dampak dari pertumbuhan permukiman akibat pengaruh
karakteristik budaya masyarakat pada desa Bondoyudo :
 Budaya pembangunan rumah secara swadaya tanpa
adanya perencanaan kebutuhan infrastruktur dasar
berpotensi menyebabkan tumbuhnya permukiman
kumuh.

144
ANALISA TRIANGULASI (konsep pengendalian karakteristik budaya masyarakat)
 Pertumbuhan permukiman yang terjadi akibat pengaruh karakteristik budaya masyarakat adalah terkait kebiasaan dalam bermukim. Kondisi permukian akibat
pengaruh budaya tersebut adalah keccenderungan rumah yang dibangun secara swadaya tanpa adanya proses perencanaan terutama terkait pemenuhan
infrastruktur dasar. Hal tersebut tentu berpengaruh pada kualitas permukiman. Konsep strategi pengendalian yang perlu dilakukan adalah pembentukan budaya
bermukim yang baik dengan tidak menyalahi indikator permukiman berkelanjutan. Detail strategi adalah :
1. Pengetatan regulasi perijinan pembangunan rumah terkait prasyarat sebelum pembangunan rumah. Ijin Mendirikan Bangunan hanya boleh dikeluarkan ketika
akses infrastruktur dasar pada rumah dapat diketahui dengan jelas
2. Pencerdasan masyarakat terkait budaya bermukim melalui strategi sosialisasi mengenai prasarat permukiman yang baik
3. Pengenalan dan pembiasaan masyarakat pada budaya permukiman vertikal terutama bagi masyarakat pada lokasi permukiman kumuh dan MBR yang tidak
dapat mengakses rumah layak.

ASPEK PENGENDALIAN KONDISI RUMAH/PERUMAHAN


KONDISI EMPIRIK KARAKTERISTIK INDIKATOR TEORI TERKAIT PERMUKIMAN HASIL ANALISA AHP DAN PENDAPAT
ELEMEN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN STAKEHOLDER
 Dari jenis perumahan, rata – rata rumah di Indikator UN Habitat  Variabel kondisi rumah/perumahan adalah variabel
wilayah penelitian sudah merupakan Meso (regional, kota) kedua yang mempengaruhi pertumbuhan permukiman
rumah permanen.  Mempromosikan regenerasi daerah perkotaan dan pada wilayah penelitian. Sub variabel dominan yang
 Untuk model perumahan tidak tercermin wilayah yang lebih besar. mempengaruhi adalah lokasi dan kelengkapan
secara jelas terkait dengan sebaran model  Manajemen sampah dan daur ulang fasilitas. Berdasarkan hasil analisa skoring AHP
perumahan yang mengindikasikan terlihat bahwa sebagian besar permukiman di
perkembangan dimulai titik dari mana. Hal Micro (lingkungan perumahan, permukiman kawasan) desa/kelurahan pada wilayah kecamatan Sukodono
yang dapat terlihat adalah banyaknya  Penggunaan desain hijau yang ramah lingkungan tumbuh dipengaruhi oleh variabel ini. faktor lokasi
model perumahan modern pada wilayah dengan material/bahan lokal yang berkelanjutan. dan kelengkapan fasilitas menjadi aspek yang
kecamatan Lumajang dan Sukodono  Peningkatan adaptasi dan ketahanan dari rumah. dipertimbangkan karena jika dilihat dari kondisinya,
mengindikasikan bahwa pada beberapa pertumbuhan permukiman terjadi akibat dari adanya
tahun terakhir telah terjadi pertumbuhan Konsep dan pendekatan sustainable yang difokuskan pembangunan permukman yang lainnya dilokasi yang
permukiman pada daerah ini. terhadap variabel kondisi rumah/perumahan sama yaitu dekat mendekati infrastruktur jalan.

145
 Berdasarkan lokasi permukiman,  Compactness, tipologi lingkungan binaan, dalam  Dampak dari pertumbuhan permukiman akibat
Kecamatan Sukodono terjadi mengikti bentuk bangunan fungsional berstruktur kompak atau pengaruh kondisi rumah/perumahan pada desa
jalur jalan kabupaten dan simpul akivitas dekat satu sama lain dan efisien dalam pemanfaatan Bondoyudo :
perdagangan dan jasa. ruang;  Kesenjangan kondisi permukiman terbangun
 Wilayah dengan tingkat kepadatan  Density, menyangkut ambang kepadatan penduduk. (rumah layak dan tidak layak huni) dan ketersediaan
tertinggi, keberagaman guna lahan dan Perhitungan kapasitas jumlah orang dalam wilayah fasilitas antara wilayah permukiman perkotaan dan
memiliki kelengkapan fasilitas dan yang signifikan untuk mewujudkan aktivitas atau pedesaan.
persebaran yang baik adalah kecamatan interaksi yang layak.  Tidak terpenuhinya kebutuhan infrastruktur dasar
Lumajang. Semakin keluar dari wilayah Hasil penelitian terkait pengendalian urban sprawl pada wilayah permukiman yang baru tumbuh.
kecamatan Lumajang, tingkat kepadatan, yang berhubungan dengan variabel  Lokasi permukiman yang cenderung menyebar
keberagaman guna lahan dan kelengkapan rumah/perumahan secara berkelompok – kelompok kecil dekat dengan
fasilitas beserta persebarannya cenderung  Penentuan zona batas pertumbuhan permukiman akses jalan.
berkurang.  Perbaikan rumah masyarakat berpenghasilan rendah
sebagai upaya perbaikan kualitas lingkungan
permukiman yang telah terbangun.

ANALISA TRIANGULASI (konsep pengendalian kondisi rumah/perumahan)


 Pertumbuhan permukiman yang terjadi akibat pengaruh kondisi rumah/perumahan adalah terkait aspek lokasi dan kelengkapan fasilitas. Dalam proses
perkembangan permukiman pada wilayah penelitian, kondisi tersebut mengakibatkan kesenjangan daerah terbangun. Kondisi kecamatan Lumajang yang
cenderung memiliki lingkungan/kondisi perumahan yang lebih baik menyebabkan naiknya harga tanah di wilayah tersebut. Akibat mahalnya harga tanah,
masyarakat luar dengan tingkat kemampuan ekonomi menengah kebawah tidak mampu mengakses rumah/perumahan pada wilayah Kecamatan Luamajang
sehingga memilih membangun hunian diluar wilayah dengan kondisi lingkungan permukiman yang tidak cukup baik. Pertimbangan utama hanya terkait akses
jalan tanpa pertimbangan pemenuhan infrastruktur dasar.
 Konsep dan strategi pengendalian pertubuhan permukiman akibat variabel kondisi rumah/perumahan yang dapat diterapkan adalah perencanaan permukiman
dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan pembatasan wilayah terbangun berdasarkan penetapan zona permukiman. Detail strategi adalah :
1. Pegurangan kesenjangan kondisi perumahan permukiman
Strategi :
 Revitalisasi kawasan permukiman peri-urban yang yang mengindikasikan kesenjangan tinggi
 Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana umum

146
 Perbaikan kondisi rumah dengan standar material bangunan yang berkelanjutan (standar)
2. Deliniasi batas pertumbuhan mengacu pada pengaplikasian konsep compact city sesuai demand kebutuhan ruang akan rumah berdasarkan jumlah penduduk
Strategi : perhitungan jumlah kebutuhan rumah

ASPEK PENGENDALIAN KONDISI INFRASTRUKTUR


KONDISI EMPIRIK KARAKTERISTIK INDIKATOR TEORI TERKAIT PERMUKIMAN HASIL ANALISA AHP DAN PENDAPAT
ELEMEN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN STAKEHOLDER
 Wilayah dengan karakteristik perkembangan
 Jaringan PDAM terbangun dengan baik
Indikator UN Habitat permukiman dipengaruhi oleh variabel kondisi
dan merata pada kecamatan Lumajang. Meso (regional, kota) infrastruktur adalah wilayah dengan karakteristik
Penggunaan air bersih pada kecamatan
 Ketercapaian lokasi dan kepadatan serta pemenuhan perkotaan dimana daerah desa/kelurahannya terlayani
lain diluar kecamatan Lumajang dan
akses infrastruktur perumahan yang baik. oleh infrastruktur dengan kondisi yang baik.
sebagian wilayah Sukodono cenderung
 Penggunaan infrastruktur yang berkelanjutan degan Karakteristik ini terdapat pada wilayah kecamatan
memanfaatkan air tanah karena kondisinya
penggunaan transportasi umum, pengurangan kota yaitu kecamatan Lumajang dan Sukodono.
memang masih sangat baik.
penggunaan kendaraan bermotor dan sistem energy Infrastruktur yang paling berpengaruh pada
 Dari segi jaringan listrik hampir seluruh
yang ramah lingkungan. perkembangan permukiman adalah jalan, disusul
wilayah penelitian telah terpenuhi
listrik dan air. Dari segi infrastruktur jalan, wilayah
meskipun ada beberapa rumah tangga
Micro (lingkungan perumahan, permukiman kawasan) kecamatan Lumajang dan Sukodono adalah
yang masih menggunkan listrik non-PLN
 Penggunaan energy, air dan sumberdaya yang effisien. kecamatan perkotaan yang dilalui jalan arteri primer
maupun Non listrik namun prosentasenya
 Pencegahan/penanggulangan limbah berbahaya, penghubung antar kabupaten. Hal tersebut
sangat kecil (kurang dari 5%)
sanitasi, dan polusi menyebabkan kedinamisan aktivitas masyarakat yang
 Perkembangan permukiman pada wilayah
menyebabkan tarikan penduduk dan menimbulkan
penelitian cenderung beriringan dengan
Konsep dan pendekatan sustainable yang difokuskan terjadinya pembangunan rumah sebagai tempat
jalan membentuk pola linier.
terhadap variabel kondisi infrastruktur tinggal.
Perkembangan permukiman yang tinggi
terjadi pada jalan – jalan kolektor  Sustainable Transport, merefleksikan perimbangan Dampak dari pertumbuhan permukiman Desa

penghubung kecamatan maupun antara keamanan, kebutuhan pergerakan, aksesibilitas, Bondoyudo akibat pengaruh kondisi infrastruktur
kabupaten lain yang mengelilingi kualitas lingkungan alam dan lingkungan permukiman;  Pertumbuhan permukiman akibat adanya infrastruktur
jalan yang tidak diimbangi dengan system transportasi
kabupaten Lumajang.
massal angkutan umum menyebabkan tingginya

147
 Dari segi persampahan dan sanitasi, penggunaan kendaraan pribadi yang menyumbang
jumlah TPS berbanding lurus dengan banyak polusi udara.
jumlah luasan dan kepadatan permukiman  Jalan lingkungan cenderung berada pada kondisi yang
semakin padat permukiman maka semakin tidak baik.
banyak unit TPS. Sedangkan untuk
sanitasi, kecamatan Tekung memiliki
jumlah keluarga tidak memiliki jamban
terbesar dibandingkan kecamatan lain hal
ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan
permukiman di kecamatan ini tidak
termanajemen dengan baik dalam hal
sanitasi.
 Untuk jaringan telekomunikasi hampir
semua kecamatan terlayani dengan baik.

ANALISA TRIANGULASI (konsep pengendalian kondisi infrastruktur)


 Kondisi infrastruktur yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan permukiman pada wilayah penelitian adalah infrastruktur jalan terutama terkait kondisi dan
ketersediaan. Dari kondisi eksiting Desa Bondoyudo, diketahui bahwa kecenderungan pertumbuhan permukiman terjadi beriringan dengan adanya infrastruktur
jalan dan membentuk pola ribbon settlement. Permasalahan yang terjadi seperti yang telah dijelaskan pada analisa pengaruh variabel yang lain adalah sama yaitu
kesenjangan kondisi permukiman yang ada, terutama antara permukiman perkotaan dan peri-urban. Konsep dan strategi pengendalian pertumbuhan permukiman
akibat variabel kondisi infrastruktur yang harus dilakukan adalah pengaturan dan pemenuhan infrastruktur jaringan sesuai kebutuhan dan skala pelayanan.
Detail infrastruktur yang harus diperhatikan terutama terkait jaringan transportasi yang memberikan dampak pertumbuhan paling besar. Adanya jaringan jalan
yang merupakan trigger utama penyebab terjadinya pertumbuhan permukiman perlu menjadi perhatian utama. Detail strategi guna mengatasi permasalahan
infrastruktur jalan adalah :
1. Pemenuhan kebutuhan infrastruktur jaringan permukiman sesuai skala pelayanan
Strategi : perhitungan jumlah kebutuhan jaringan sesuai dengan kebutuhan skala pelayanan
2. Peningkatan aksesibilitas antar titik permukiman
Strategi : perbaikan infrastruktur jalan
Sumber : hasil analisa 2016

148
Dari hasil analisa triangulasi, garis besar rumusan konsep pengendalian
pertumbuhan permukiman pada Desa Bondoyudo (permukiman cepat tumbuh)
untuk masing – masing elemen pembentuk permukiman dibagi kedalam aspek
fisik dan non fisik. Rincian rumusan konsep yang dimaksud adalah :

Tabel 6.3 Konsep Pengendalian Masing – Masing Aspek


ASPEK
Fisik Non Fisik
 Kondisi alam  Kondisi sosial masyarakat
Konsolidasi lahan guna pembatasan alih Pembentukan identitas masyarakat dengan
fungsi lahan dan perlindungan ekosistem peningkatan partisipasi publik dan
dengan pengaturan proporsi lahan hijau pemberdayaan masyarakat serta
disertai pembentukan permukiman “no pemenuhan akses terhadap fasilitas umum
waste”. dan public sesuai kebutuhan skala
 Kondisi rumah/perumahan pelayanan.
Perencanaan permukiman dengan  Kondisi ekonomi masyarakat
pemenuhan kebutuhan dasar dan Pengurangan kesenjangan persebaran
pembatasan wilayah terbangun institusi ekonomi dengan membentuk
berdasarkan penetapan zona permukiman. institusi perekonomian baru didalam
 Kondisi infrastruktur wilayah permukiman kecamatan
Pengaturan pemenuhan infrastruktur Sukodono.
jaringan sesuai kebutuhan dan skala  Karakteristik budaya masyarakat
pelayanan. Pembentukan budaya bermukim yang baik
dengan tidak menyalahi indikator
permukiman berkelanjutan.
Sumber : Hasil Analisa 2016

Lebih spesifik konsep dan strategi pengendalian hasil analisa triangulasi ini
merupakan pedoman yang dapat digunakan dalam instrument perencanaan.
Instrmen perencanaan yang dimaksud adalah bahwa dalam pembentukan
lingkungan permukiman berkelanjutan dibutuhkan ketentuan atau aturan – aturan
sebagai fungsi kendali agar dalam prosesnya tidak terjadi dampak yang tidak
diinginkan.
Sebagai instrument perencanaan, konsep dan strategi yang telah dirumuskan
digunakan sebagai dasar pengendalian pertumbuhan perencanaan di desa
Bondoyudo. Detail penerapan konsep dijelaskan pada subbab 6.3.

149
6.3 Pengendalian Pertumbuhan Permukiman pada Desa Bondoyudo,
6.3.1 Pengendalian aspek fisik
Pengendalian aspek fisik berhubungan dengan kondisi alam, kondisi
rumah/perumahan dan kondisi infrastruktur. Dari hasil analisa, berikut jabaran
secara detail dari konsep dan strategi yang telah disusun.

1. Pengendalian kondisi alam


Konsep dan strategi pengendalian pertumbuhan permukiman terhadap
kondisi alam adalah konsolidasi lahan guna pembatasan alih fungsi lahan dan
perlindungan ekosistem dengan pengaturan proporsi lahan hijau disertai
pembentukan permukiman “no waste”. Detail strategi yang dilakukan adalah:
a. Pembatasan pertumbuhan permukiman secara swadaya dan perlindungan
terhadap lahan agar tidak mudah dikonversikan (menjaga ekosistem dan
keanekaragaman hayati).
Strategi :
 Strategi dalam penataan ruang yaitu mempertegas penetapan zonasi
peruntukan permukiman, lahan pertanian berkelanjutan, atau kawasan lindung
yang diperkuat dengan peraturan daerah yang memiliki legalitas hukum dalam
hal menindak pelanggaran (terutama alih fungsi lahan)
 Pemberian pajak yang besar terhadap lahan pertanian yang dirubah
peruntukan.
b. Konsolidasi tanah guna penyediaan permukiman pada wilayah dengan
kecenderungan tinggi pada alih fungsi lahan pertanian.
Strategi :
 Pembentukan tim pemerintah kabupaten atau kerjasama dengan pihak swasta
(developer) dalam pengadaan dan pembangunan kawasan perumahan yang
terkonsentrasi.
c. Revitaslisasi/Perbaikan area permukiman kategori tidak layak huni
(mengurangi resiko terbentuknya pemukiman kumuh).
Strategi :
 Pemenuhan infrastruktur dasar bagi permukiman yang sudah terbangun namun
dalam kondisi yang tidak baik (terutama MCK)

150
 Mempertahankan area hijau dengan proporsi lebih dari 30%
 Penerapan manajemen sampah yang baik
Dalam pewujudan konsep diatas, wilayah yang terindikasi memiliki tingkat
pertumbuhan permukiman yang tinggi yaitu kecamatan Sukodono khususnya desa
Bondoyudo maka perlu ditetapan zona – zona yang boleh dibangun permukiman
atau tidak. Penentuan zona ini ditetapkan berdasarkan kriteria permukiman yang
tepat sesuai hasil analisa yaitu : 1) terlayani infrastruktur jaringan; 2) diluar lahan
LP2B (sebagai bentuk perlindungan ekosistem); 3) sesuai kriteria fisik kondisi alam
(lihat bab 4); dan 4) diluar zona lindung. Wilayah kecamatan Sukodono merupakan
zona budidaya dan tidak terdapat zona lindung/konservasi.

Kesesuaian Kondisi Alam Jangkauan Pelayanan Sarpras Eksisting

lahan LP2B dan Non LP2B

Gambar 6.6 Peta Kriteria Kesesuaian Lahan

151
Dari kriteria yang telah ditentukan pada gambar 6.6 maka didapat zona
kesesuaian lahan guna permukiman yang didapat dari overlay seluruh kriteria.
Kriteria zonasi kesesuaian lahan disajikan pada gambar 6.7.

Desa Bondoyudo
dengan indikasi
pertumbuhan paling
tinggi

Gambar 6.7 Peta Kesesuaian Lahan Guna Permukiman Kecamatan Sukodono

Sebagai instrument pengendalian, pada wilayah Kecamatan Sukodono


permukiman hanya boleh dibangun pada wilayah berwarna kuning dan merah
muda. Wilayah dengan warna kuning memiliki kriteria yang sesuai guna
permukiman karena berada diluar zona LP2B, kondisi alam yang sesuai dan dekat
dengan pelayanan infrastruktur dasar. Sedangkan zona berwarna merah muda
memiliki kriteria sesuai bersyarat karena terdapat kesesuaian kondisi alam yang
perlu diperhatikan terutama terkait kelerengan, dan kemampuan tanah.
Pengendalian pada aspek fisik selanjutnya seperti konsolidasi lahan, pemenuhan
jaringan infrastruktur dan sarana – prasarana dilakukan pada lokasi – lokasi yang
ditentukan memiliki kriteria sesuai guna pembangunan permukiman.
Untuk lebih detail, kondisi kesesuaian lahan guna permukiman
dibandingkan dengan lokasi permukiman eksisting pada desa Bondoyudo sebagai
desa yang memiliki indikasi pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan desa lain di

152
kecamatan Sukodono beserta penerapan konsep pengendalian kondisi alam dapat
dilihat pada gambar 6.8

Lahan yang berpotensi sebagai media


pengembangan permukiman melalui
konsolidasi lahan

Revitaslisasi/Perbaikan area
permukiman kategori tidak layak huni
(pada permukiman eksisting)
Perlindungan lahan yang tidak boleh
dikonversikan

Gambar 6.8 Peta Lokasi Permukiman Eksisting dan Kesesuaian Lahan Guna
Permukiman

2. Pengendalian Kondisi Rumah/Perumahan


Konsep dan strategi pengendalian pertumbuhan permukiman oleh variabel
kondisi rumah/perumahan yang dapat diterapkan adalah perencanaan
permukiman dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan pembatasan wilayah
terbangun berdasarkan penetapan zona permukiman. Detail strategi adalah :
a. Pegurangan kesenjangan kondisi perumahan permukiman
Strategi :
 Revitalisasi kawasan permukiman yang mengindikasikan kesenjangan tinggi
 Pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana umum
 Perbaikan kondisi rumah dengan standar material bangunan yang berkelanjutan
(standar)
b. Deliniasi batas pertumbuhan mengacu pada pengaplikasian konsep compact city
sesuai demand kebutuhan ruang akan rumah berdasarkan jumlah penduduk

153
 Strategi : perhitungan jumlah kebutuhan rumah
Penetapan zona permukiman telah ditentukan pada pengendalian kondisi
alam. Dari luasan lahan maksimal yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan
permukiman maka perlu dilakukan perhitungan pemenuhan kebutuhan dasar
berupa sarana dan prasarana umum permukiman dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan dan mengurangi memperbaiki kondisi permukiman eksisting.
Perhitungan kebutuhan prasarana dan sarana umum ini didasarkan pada
standar SNI 03-1733-2004. Wilayah desa Bondoyudo adalah sebesar 2,72 km2 atau
sebesar 0,089% dari luas total kecamatan Sukodono. Dari kondisi eksisting saat ini,
lahan terbangun guna permukiman pada desa Bondoyudo adalah sebesar 0,6538
km2 sedangkan lahan maksimal yang dapat dibangun adalah sebesar 1,414 km2
(52% dari luas total desa). Berdasarkan standar SNI 03-1733-2004, asumsi
peruntukan lahan terbangun terdiri dari :
 50 % untuk permukiman
 25 % untuk jaringan jalan
 25 % untuk fasilitas umum dan komersial
Dengan alokasi luas kapling mengikuti konsep perumahan berimbang yaitu
dengan pola kapling besar, kapling sedang dan kapling kecil dengan perbandingan
1 : 3 : 6 dan luas kavling masing-masing diasumsikan sebesar 300 m² untuk kavling
besar, 150 m² untuk kavling sedang dan 100 m² untuk kavling kecil. Dengan
demikian didapatkan untuk setiap paketnya diperlukan lahan perumahan sebesar
1.350 m2 ((300 m² x 1) + (150 m² x 3) + (100 m² x 6)). Diasumsikan setiap unit
rumah dihuni oleh 1 KK dan jumlah penghuni rumah untuk setiap KK diasumsikan
sebanyak 5 jiwa/KK. Dari pendekatan tersebut maka dapat diperkirakan kapasitas
tampung Desa Bondoyudo dapat dilihat pada tabel 6.4 dan 6.5.

Tabel 6.4 Luas Komposisi dan Peruntukan Lahan


Asumsi Komposisi
Luas Wilayah Lahan (m2) Asumsi Lahan Terbangun (m2)
(m2) Terbangun RTH Permukiman Jalan Fasum
(70%) (30%) (50%) (25%) (25%)
1.414.000 989.800 424.200 707.000 353.500 353.500
Sumber : hasil analisa 2016

154
Tabel 6.5 Luas dan Jumlah Kavling Perumahan
Luas Tipe besar Tipe sedang Tipe kecil Unit Luas
permukiman Luas Luas Luas total lahan
(m2) 300 m2 unit 150 m2 unit 100 m2 unit (Ha)
707.000 156.900 523 235.650 1.571 314.400 3144 5.238 707.000
Sumber : hasil analisa 2016
Dengan perhitungan asumsi diatas, dimana masing – maisng unit kavling
terdiri dari 5 anggota keluarga maka wilayah desa Bondoyudo mampu menampung
penduduk kurang lebih sebesar 26.190 jiwa (9.135 kk). Dengan perkiraan jumlah
penduduk sebesar 26.190 jiwa, maka Desa Bondoyudo dalam perkembangannya
tergolong dalam kategori kota kecil. Dari jumlah maksimal penduduk yang dapat
ditampung maka dapat dihitung kebutuhan prasarana dan sarana umum wilayah
yang harus tersedia. Berdasarkan standar maka didapatkan hasil perhitungan
kebutuhan fasilitas pada permukiman desa Bondoyudo sebagai berikut :

 Kebutuhan Sarana Pendidikan


Perhitungan kebutuhan sarana pendidikan dihitung berdasarkan skala
pelayanan dimana TK melayani 1250 penduduk, SD 1600 penduduk, SMP dan
SMA sebanyak 4800 penduduk. Dari hasil perhitungan kemudian diarahkan
penempatan sesuai kriteria lokasi berdasarkan standart SNI 03-1733-2004.

Tabel 6.6 Kebutuhan sarana pendidikan maksimal


Penduduk Jumlah eksisting (Eks) dan Kebutuhan (Keb), satuan : unit
yang dilayani SMA/SMK
TK Sederajat SD Sederajat SMP Sederajat
(jiwa) Sederajat
Eks Keb Eks Keb Eks Keb Eks Keb
1 20 2 16 1 5 0 5
2
Radius capaian sarana (meter )
500 1000 1000 3000
26.190 Kriteria lokasi
Di tengah permukiman. Tidak Dapat dijangkau kendaraan umum,
Menyeberang jalan raya. Bergabung dekat lapangan olah raga, dan tidak
dengan taman sehingga terjadi selalu di pusat lingkungan
pengelompokan kegiatan. permukiman
Sumber : diolah dari standart SNI 03-1733-2004, hasil analisa 2016, dan Kec
Sukodono dalam angka tahun 2015

 Kebutuhan Sarana Kesehatan


Perhitungan kebutuhan sarana kesehatan dihitung berdasarkan skala
pelayanan : Puskesmas 120000 jiwa; Puskesmas Pembantu 30000; balai

155
pengobatan 2500; rumah bersalin 30000 jiwa. Dari kriteria tersebut didapatkan
hasil dan kriteria lokasi sebagai berikut :

Tabel 6.7 Kebutuhan Sarana Kesehatan maksimal


Penduduk Jumlah eksisting (Eks) dan Kebutuhan (Keb), satuan : unit
yang dilayani Puskesmas Rumah
Puskesmas Balai Pengobatan
(jiwa) Pembantu Bersalin
Eks Keb Eks Keb Eks Keb Eks Keb
0 0 0 1 1 10 0 1
2
Radius capaian sarana (meter )
26.190 3000 1500 1000 4000
Kriteria lokasi
Dapat dijangkau kendaraan umum, selalu di pusat lingkungan permukiman
Sumber : diolah dari standart SNI 03-1733-2004, hasil analisa 2016, dan Kec
Sukodono dalam angka tahun 2015

 Kebutuhan Sarana Peribadatan


Hampir seluruh penduduk di Desa Bondoyudo memeluk agama islam.
Pemenuhan sarana peribadatan diperuntukkan bagi pemeluk agama islam dihitung
berdasarkan skala pelayanan adalah masjid melayani 2500 jiwa dan masjid
kelurahan sebanyak 30000 jiwa. Untuk sarana ibadah agama lain, memiliki acuan
standar : a) katolik mengikuti paroki; b) hindu mengikuti adat; dan c) budha dan
kristen protestan mengikuti sistem kekerabatan atau hirarki lembaga.

Tabel 6.8 Kebutuhan Sarana Peribadatan maksimal


Penduduk yang Jumlah eksisting (Eks) dan Kebutuhan (Keb), satuan : unit
dilayani (jiwa) Masjid warga Masjid kelurahan
Eks Keb Eks Keb
3 11 0 1
Radius capaian sarana1000 meter2
26.190 Kriteria lokasi
Di tengah permukiman. Tidak
Menyeberang jalan raya. Dapat Dapat dijangkau kendaraan
bergabung dengan lokasi balai warga umum
Sumber : diolah dari standart SNI 03-1733-2004, hasil analisa 2016, dan survey
primer 2016

 Kebutuhan Sarana Perdagangan dan Jasa


Perhitungan kebutuhan sarana perdagangan dan jasa desa Bondoyudo
dihitung berdasarkan skala pelayanan Pasar 30000 jiwa, Toko 500 jiwa, warung
250 jiwa, dan minimarket 6000 jiwa. Dari kriteria tersebut didapatkan hasil dan
kriteria lokasi sebagai berikut :

156
Tabel 6.9 Kebutuhan Sarana Perdagangan dan Jasa maksimal
Penduduk Jumlah eksisting (Eks) dan Kebutuhan (Keb), satuan : unit
yang dilayani Pasar Minimarket Warung/toko Pertokoan
(jiwa) Eks Keb Eks Keb Eks Keb Eks Keb
0 1 0 4 50 105 5 52
2
Radius capaian sarana (meter )
26.190 2000 300
Kriteria lokasi
Di tengah kelompok tetangga. Dapat
Dapat dijangkau kendaraan umum merupakan bagian dari sarana lain
Sumber : diolah dari standart SNI 03-1733-2004, hasil analisa 2016, dan observasi
2016

 Kebutuhan Fasilitas Sosial


Kebutuhan fasilitas sosial pada desa Bondoyudo dihitung berdasarkan skala
pelayanan taman lingkungan 2500 jiwa dan taman lapangan olahraga 30000 jiwa.
Dari kriteria tersebut didapatkan hasil dan kriteria lokasi sebagai berikut :

Tabel 6.10 Kebutuhan Fasilitas sosial maksimal


Penduduk yang Jumlah eksisting (Eks) dan Kebutuhan (Keb), satuan : unit
dilayani (jiwa) Taman Taman dan Lapangan Olahraga
Eks Keb Eks Keb
0 10 0 1
Radius capaian sarana (meter2)
26.190 100 1000
Kriteria lokasi
Di pusat kegiatan
lingkungan Dekat dengan sarana pendidikan
Sumber : diolah dari standart SNI 03-1733-2004, hasil analisa 2016, dan survey
primer 2016

Jumlah eksisting masing – masing fasilitas jika dibandingkan dengan


kebutuhan telihat bahwa jumlah eksisting fasilitas yang ada cenderung masih
minim. Ketersediaan fasilitas yang paling mencolok adalah fasilitas social dimana
tidak ada sama sekali fasilitas sosial seperti taman dan lapangan olahraga pada Desa
Bondoyudo. Perlu adanya penyesuaian jumlah fasilitas yang harus disediakan
seiring dengan pertumbuhan penduduk yang bermukim hingga daya tampung
maksimal. Dari segi penempatan lokasi sarana fasilitas, dengan pertimbangan
kriteria lokasi (berdasarkan standar) maka letak lokasi ideal masing – masing
fasilitas divisualisasikan pada gambar 6.9.

157
Gambar 6.9. Lokasi Ideal Penempatan Sarana fasilitas

Perhitungan jumlah kebutuhan sarana – prasarana berdasarkan skala


pelayanan dan penempatan lokasi tersebut selanjutnya digunakan sebagai acuan
pada proses pengendalian perkembangan permukiman wilayah desa Bondoyudo.
Pemenuhan kebutuhan sarana – prasarana menjadi penting guna pembentukan
permukiman dan kualitas masyarakat yang baik.

3. Pengendalian Kondisi Infrastruktur


Konsep dan strategi pengendalian pertumbuhan permukiman akibat
variabel kondisi infrastruktur yang harus dilakukan adalah pengaturan dan
pemenuhan infrastruktur jaringan sesuai kebutuhan dan skala pelayanan..
Detail strategi guna mengatasi permasalahan infrastruktur jalan adalah :
a. Pemenuhan kebutuhan infrastruktur jaringan permukiman sesuai skala
pelayanan
Strategi : perhitungan jumlah kebutuhan jaringan sesuai dengan kebutuhan skala
pelayanan
b. Peningkatan aksesibilitas antar titik permukiman

158
Strategi : perbaikan infrastruktur jalan

Sesuai dengan hasil perhitungan daya tampung penduduk pada desa


Bondoyudo berdasarkan jumlah lahan yang tersedia guna permukiman maka
perhitungan jumlah jaringan sesuai skala pelayanan dapat dilakukan dengan
memperhatikan standar kebutuhan. Kebutuhan masing – masing jaringan pada desa
bondoyudo adalah :

 Infrastruktur air bersih


Kebutuhan Air bersih pada permukiman desa Bondoyudo dihitung
berdasarkan asumsi standart SNI 19-6728.1-2002. Pemenuhan kebutuhan sarana
dan prasarana air bersih didasarkan pada asumsi tingkat pelayanan sebesar 80% dari
penduduk desa bondoyudo yang terlayani. Adapun standart yang digunakan sebagai
Analisis adalah sebagai berikut :
 Rumah tangga = 120 lt/orang/hari;
 Perkantoran = 10% kebutuhan rumah tangga;
 Fasilitas sosial = 20% kebutuhan rumah tangga;
 Fasilitas industri = 70% kebutuhan rumah tangga;
 Fasilitas perdagangan = 70% kebutuhan rumah tangga;
 Kebocoran = 10% kebutuhan rumah tangga;
Hasil perhitungan kebutuhan masyarakat permukiman desa Bondoyudo dengan
daya tampung penduduk maksimal adalah :

Tabel 6.11 Kebutuhan Infrastruktur Air Bersih Maksimal

Sumber : hasil analisa 2016

Dari hasil analisa diatas, jumlah kebutuhan total air bersih untuk kawasan
permukiman desa Bondoyudo dalam ambang batas penduduk maksimal diprediksi
mencapai 6.023.700 liter tiap harinya.

 Infrastruktur listrik
Kebutuhan terhadap listrik ini tidak hanya untuk konsumsi rumah tangga,
tetapi juga untuk penerangan jalan, fasilitas sosial, perdagangan dan industri.

159
Berdasarkan SNI 03-1733-2004, standar yang digunakan untuk menganalisa
kebutuhan listrik adalah sebagai berikut:
 Rumah Tangga Kapling Besar = 1.300 watt
 Rumah Tangga Kapling Sedang = 900 watt
 Rumah Tangga Kapling Kecil = 450 watt
 Kebutuhan Komersial = 15 % dari kebutuhan rumah tangga
 Kebutuhan Sosial = 10 % dari kebutuhan rumah tangga
 Kehilangan Daya = 10 % dari kebutuhan rumah tangga
 Cadangan = 10 % dari kebutuhan rumah tangga
 Penerangan Jalan = 40 % dari kebutuhan rumah tangga

Tabel 6.12 Kebutuhan Infrastruktur Listrik Maksimal

Sumber : hasil analisa 2016

Dari hasil perhitungan diketahui bahwa kebutuhan maksimal masyarakat


desa Bondoyudo terhadap infrastruktur listrik tiap harina adalah sebesar
124.926.300 KVA.

 Infrastruktur persampahan dan pengolahan limbah


Standart yang digunakan dalam memperkirakan jumlah limbah yang
dihasilkan mengacu pada pedoman penentuan standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang, rumah dan permukiman dan pekerjaan umum No.
534/KPTS/M/2001). Rincian standar adalah sebagai berikut :
- Aliran Air Kotor Domestik = 75% dari Kebutuhan Air Bersih Domestik
- Aliran Air Pekat Domestik = 5% dari Kebutuhan Air Bersih Domestik
- Aliran Air Kotor Perjas = 20% dari Kebutuhan Air Bersih Domestik
- Aliran Air Kotor Perkantoran = 10% dari Kebutuhan Air Bersih Domestik
- Aliran Air Kotor Fasilitas Sosial = 10% dari Kebutuhan Air Bersih Domestik

160
Tabel 6.13 Kebutuhan Infrastruktur pengolahan limbah maksimal

Sumber : hasil analisa 2016

Air limpasan yang dihasilkan penduduk tiap harinya adalah 2.619.000 liter.
Untuk perkiraan produksi sampah yang dihasilkan dari aktivitas lainnya
mempunyai standar yang berbeda, yaitu :

 Rumah tangga menghasilkan sampah sebesar 2,5 lt/hari


 Perdagangan, untuk tiap pasar diperkirakan menghasilkan sampah sebanyak 25
% dari sampah produksi rumah tangga sedangkan untuk perdagangan lainnya
menghasilkan 5 % dari sampah rumah tangga.
 Jalan, menghasilkan sampah sebanyak 10 % dari sampah rumah tangga
 Lain-lain diasumsikan 5 % dari sampah produksi rumah tangga

Tabel 6.14 Kebutuhan Infrastruktur persampahan maksimal

Sumber : hasil analisa 2016

Dari perhitungan kebutuhan infrastruktur persampahan diketahui bahwa


desa Bondoyudo membutuhkan 94 tong sampah, 33 gerobak sampah, 15 truk
sampah, 4 kontainer, dan 1 TPS lokal.

 Infrastruktur telekomunikasi
Infrastruktur telekomunikasi yang dibutuhkan adalah menara Base
Transceiver Station (BTS) guna pemancar sinyal telepon seluler. Standar klasifikasi
pelayanan BTS berbeda untuk tiap karakteristik wilayah. Wilayah desa Bondoyudo
masuk pada karakteristik Sub-urban dimana kriteria wilayahnya adalah :
 Tinggi rumah  tinggi pohon
 Bangunan-bangunan tinggi memiliki ketinggian 10-20 meter
 Kerapatan rumah sedang

161
Pada karakteristik wilayah seperti ini jangkauan 1 unit BTS berdasarkan
Modul-11 Kuliah Sistem Komunikasi Bergerak, STT Telkom-Bandung, (2006)
adalah 1,5-3 km. Dengan luas total wilayah desa 2,72 km2 maka unit menara BTS
yang dibutuhkan kurang lebih 1 hingga 2 unit.

 Infrastruktur jalan
Pemenuhan infrastruktur jalan didasarkan pada indikator terhubungnya titik
aktivitas pada permukiman. Pada desa Bondoyudo titik aktivitas permukiman
dapat dibagi menjadi 3 yaitu pada sekitar jalan strategis jalur lintas timur, jalur
jalan raya dan pusat permukiman ditengah desa Bondoyudo. Pada kondisi eksisting
sudah terdapat jalan lingkungan yang menghubungkan titik aktivitas tersebut.
Dalam proses perkembangan permukiman desa Bondoyudo perlu diperhatikan
kondisi jalan dengan peremajaan ketika jalan dalam kondisi yang tidak baik
sehingga aksesibilitas antar permukiman tersebut tidak terganggu.

Titik aktivitas Infrastruktur jalan lokal harus


jalan raya dapat membentuk penghubung
antar titik aktivitas permukiman

Titik aktivitas
Jalur jalan
strategis
lintas timur
umum

Titik aktivitas pusat


permukiman

Gambar 6.10. pemenuhan infrastruktur jalan sebagai pembetuk aksesibilitas antar


titik permukiman.

162
Kriteria Standar jalan lokal yang harus diperhatikan untuk menghubungkan
aktivitas adalah minimal selebar ± 3,0m - 7,0 m dan merupakan jalan poros
perumahan menghubungkan jalan arteri/kolektor/lokal dan pusat lingkungan
permukiman.

drainase 7 meter

Gambar 6.11. Model Geometri Jalan Pada Desa Bondoyudo

Berdasarkan tipologinya, permukiman Desa Bondoyudo terbagi menjadi


tiga bagian yaitu zona permukiman pada sekitar jalur jalan strategis, zona
permukiman pada sekitar jalan raya dan zona permukiman tengah. Pemenuhan
jaringan infrastruktur dasar (jalan, air bersih, limbah, listrik, telekomunikasi dan
persampahan) berdasarkan kebutuhan dan skala pelayanan yang sudah dihitung
selanjutnya harus mampu melayani tiga simpul zona permukiman tersebut. Akses
jalan dibuat dengan menghubungkan 3 titik zona permukiman yang diiringi dengan
jaringan air bersih, limbah dan listrik. Penempatan titik pengumpulan sampah
ditempatkan pada jalur jalan skala lokal (jalan raya/JLT) dengan pertimbangan
kemudahan dalam pengangkutan. Sedangkan dua menara telekomunikasi dapat
ditempatkan pada 2 titik yang mampu meng-cover jarak transmisi sinyal.

163
Gambar 6.10. Konsep Pemenuhan Infrastruktur Jaringan Dasar Permukiman

6.3.2 Pengendalian aspek Non-fisik


Sesuai dengan hasil analisa triangulasi yang dilakukan pada tahapan
sebelumnya, pengendalian aspek non fisik dilakukan lebih pada perlakuan program
– program pengembangan yang baerkaitan dengan elemen manusia dan
masyarakat.

1. Pengendalian Kondisi Sosial Masyarakat


Konsep strategi pengendalian yang perlu dilakukan terkait pengendalian
kondisi social masyarakat adalah pembentukan identitas masyarakat dengan
peningkatan partisipasi publik dan pemberdayaan masyarakat serta
pemenuhan akses terhadap fasilitas umum dan public sesuai kebutuhan
skala pelayanan. Detail strategi yang dilakukan adalah :
a. Pembentukan identitas masyarakat guna membangun rasa memiliki pada
lingkungan dan komunitas masyarakat (dampak kedepannya adalah

164
pengurangan kesenjangan kondisi permukiman antara permukiman perkotaan
dan wilayah peri-urban) dengan penerapan strategi program kampung
tematik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dan peningkatan partisipasi
public pada setiap simpul – simpul permukiman kampung yang ada dengan
menambah fungsi rumah selain sebagai tempat tinggal juga sebagai tempat
usaha seperti home industri (batik, mebel kayu, dll sesuai rencana
pengembangan RTRW).
b. Integrasi kawasan permukiman pedesaan dan perkotaan dalam fasilitas
umum dan fasilitas sosial dengan penerapan strategi pembangunan fasilitas
umum dan fasilitas sosial sesuai kebutuhan dan skala pelayanan sebagai
bentuk penyediaan akses pada infrastruktur dan ruang publik.

2. Pengendalian Kondisi Ekonomi Masyarakat


Melihat kondisi yang ada maka konsep pengendalian yang harus
dilakukan terkait kondisi ekonomi masyarakat adalah pengurangan
kesenjangan persebaran institusi ekonomi dengan membentuk institusi
perekonomian baru didalam wilayah permukiman kecamatan Sukodono.
Strategi yang diterapkan adalah :
a. Penciptaan lapangan kerja berbasis home industri guna membentuk
kemandirian masyarakat dengan pelatihan skill dan permodalan secara
finansial.
b. Peningkatan keberagaman guna lahan pada kawasan permukiman (terutama
guna lahan perdagangan dan jasa)
Strategi : penggalangan program rumah – dagang (rumah dengan fungsi
ekonomi disamping sebagai fungsi tinggal).

3. Pengendalian Kondisi Karakteristik Budaya Masyarakat


Pertumbuhan permukiman yang terjadi akibat pengaruh karakteristik
budaya masyarakat adalah terkait kebiasaan dalam bermukim. Kondisi
permukian akibat pengaruh budaya tersebut adalah keccenderungan rumah yang
dibangun secara swadaya tanpa adanya proses perencanaan terutama terkait
pemenuhan infrastruktur dasar. Hal tersebut tentu berpengaruh pada kualitas

165
permukiman. Konsep strategi pengendalian yang perlu dilakukan adalah
pembentukan budaya bermukim yang baik dengan tidak menyalahi
indikator permukiman berkelanjutan. Detail strategi adalah :
a. Pengetatan regulasi perijinan pembangunan rumah terkait prasyarat sebelum
pembangunan rumah. Ijin Mendirikan Bangunan hanya boleh dikeluarkan ketika
akses infrastruktur dasar pada rumah dapat diketahui dengan jelas
b. Pencerdasan masyarakat terkait budaya bermukim melalui strategi sosialisasi
mengenai prasarat permukiman yang baik
c. Pengenalan dan pembiasaan masyarakat pada budaya permukiman vertikal
terutama bagi masyarakat pada lokasi permukiman kumuh dan MBR yang tidak
dapat mengakses rumah layak.

6.3.3 Prioritas Penerapan Konsep Pengendalian


Berdasarkan hasil analisa AHP yang dilakukan pada tahapan sebelunya
diketahui bahwa masing – masing karakteristik memiliki tingkatan pengaruh dalam
kaitannya terhadap pertumbuhan permukiman. Tingkatan pengaruh ini
mengindikasikan penyebab tumbuhnya permukiman pada desa Bondoyudo. Untuk
penerapan konsep pengendalian, hasil perhitungan pengaruh tersebut digunakan
sebagai dasar penentuan konsep mana yang lebih diprioritaskan terlebih dahulu
untuk diterapkan. Berdasarkan hasil perhitungan analisa AHP (lampiran 3),
pengaruh masing – masing karakteristik elemen pembentuk permukiman pada desa
Bondoyudo disajikan pada tabel 6.15.

Tabel 6.15 Tingkat Pengaruh Variabel dan Prioritas Pengendalian Aspek


Karakteristik Permukiman pada Desa Bondoyudo
BONDOYUDO PRIORITAS
VARIABEL DAN SUB VARIABEL
PENGENDALIAN
KONDISI ALAM 0,55
Keadaan alam 0,2 3
Ketersediaan Sumberdaya alam 1
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT 0,115
Mata pencaharian 0,552
jumlah populasi 1
pertumbuhan manusia 0,367 6
Tingkat pendidikan 0,137
Keberadaan institusi sosial 0,69
KONDISI EKONOMI MASYARAKAT 0,75

166
BONDOYUDO PRIORITAS
VARIABEL DAN SUB VARIABEL
PENGENDALIAN
Distribusi tingkat pendapatan msyarakat
(ekonomi) 0,167 2
Keberadaan institusi ekonomi 1
KARAKTERISTIK BUDAYA
MASYARAKAT 0,261
Kebiasaan dalam bermukim 0,143 5
Aktivitas keseharian rata – rata penduduk 1
KONDISI RUMAH/PERUMAHAN 0,493
Jenis perumahan 0.110
Model perumahan 0,055
Lokasi permukiman 1
Tingkat Kepadatan wilayah perumahan 0,265 4
Fasilitas perumahan (kelengkapan dan
persebaran) 0,426
Tata guna lahan 0,066
KONDISI INFRASTRUKTUR 1
Infrastruktur air bersih 0,189
Infrastruktur listrik 0,513
Infrastruktur jalan 1 1
Infrastruktur persampahan dan pengolahan
limbah 0,054
Infrastruktur telekomunikasi 0,114
Sumber : Hasil Analisa 2016

Dari pengaruh aspek karakteristik permukiman di Desa Bondoyudo, konsep


pengendalian yang harus diprioritaskan adalah aspek kondisi infrastruktur disusul
kemudian kondisi ekonomi masyarakat, kondisi alam, kondisi rumah/perumahan,
karakteristik budaya masyarakat dan terakhir adalah terkait kondisi sosial
masyarakat.
Pada proses urbanisasi (peng-kotaan) yang terjadi di desa Bondoyudo
terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam perumusan konsep
pengendalian. Ciri permukiman per-kotaan adalah kenampakan aktivitas yang
sudah tidak tergantung pada sector primer (berbasis sumberdaya alam) namun lebih
pada sektor sekunder (industri pengolahan) maupun tersier (jasa). Desa Bondoyudo
memiliki indikasi akan berkembang menjadi kawasan perkotaan. Terdapat 2
tipologi masyarakat yang tinggal di permukiman Bondoyudo yakni pendatang dan
masyarakat lokal asli. Proses terbentuknya permukiman secara garis besar
dipengaruhi oleh masyarakat lokal karena sebagian besar lahan yang dialih

167
fungsikan adalah lahan milik masyarakat lokal, yang dijual baik ke pengembang
maupun secara pribadi person to person.
Kondisi infrastruktur memang menjadi prioritas utama yang diperhatikan
karena memang kondisi ketersediaan infrastruktur adalah permasalahan utama yang
dihadapi desa Bondowoso. Keberadaan institusi ekonomi-pun merupakan aspirasi
kebutuhan yang sebenarnya disuarakan oleh masyarakat lokal karena
kecenderungan aktivitas institusi ekonomi yang dinamis hanya berkembang pesat
pada permukiman perkotaan. Wilayah desa Bondoyudo merupakan dampak dari
eksistensi aktivitas (institusi perekonomian) yang dihubungkan oleh aksesibilitas
(dibangunnya aksesibilitas infrastruktur jalan strategis) sehingga terbentuk simpul
peralihan antara daerah permukiman dinamis dan statis. Kedua jenis permukiman
berdasarkan aktivitasnya ini berkembang dengan saling mempengaruhi. Desa
Bondoyudo berkembang akibat tarikan institusi perekonomian perkotaan yang
mendatangkan demand penduduk. Wilayah perkotaan tumbuh dinamis akibat
penduduk yang ada pada wilayah desa Bondoyudo.
Jika dilihat dari kecenderungan prioritas pertimbangan yang dipilih
masyarakat Desa Bondoyudo, terdapat pola besar keterkaitan pada masing – masing
sub variabel yang dipilih menjadi prioritas. Sub variabel yang dipilih karena
dianggap memberikan dampak yang besar terhadap perkembangan permukiman
yang terjadi berdasarkan tingkatan nilai prioritas adalah : 1) kondisi infrastruktur
jalan ; 2) institusi perekonomian; 3) ketersediaan SDA; 4) lokasi bermukim; 5)
aktivitas keseharian rata – rata; dan 6) jumlah populasi. Kondisi infratstruktur jalan
dan institusi perekonomian jelas berkaitan karena institusi ekonomi dihubungkan
oleh aksesibilitas akibat adanya jalan. Eksistensi institusi ekonomi menyebabkan
tarikan penduduk yang berimplikasi pada kenaikan jumlah populasi akibat migrasi
penduduk luar wilayah. Pertambahan penduduk menyebabkan pengaruh pada
kondisi aktivitas keseharian yang berimplikasi pada kebiasaan bermukim (memilih
lokasi tinggal di pinggir jalan).
Pertimbangan ketersediaan SDA adalah hal yang sedikit berada pada luar
jalur keterkaitan antara sub variabel. Berdasarkan ciri sebuah kawasan permukiman
perkotaan, ketersediaan SDA sudah bukan aspek pertimbangan yang signifikan
berpengaruh pada perkembangan permukiman. Pada Desa Bondoyudo (yang

168
terindikasi akan berkembang sebagai kawasan permukiman perkotaan)
pertimbangan ketersediaan SDA memiliki bobot prioritas yang cukup sgnifikan
mempengaruhi pertumbuhan permukiman.
Jika dilihat dari tipologi masyarakatnya, memang mayoritas masyarakat
lokal beraktivitas pada sektor primer (pertanian) yang memanfaatkan sumberdaya
alam. Namun pada periode perkembangannya, akibat kuatnya tarikan institusi
ekonomi yang mendatangkan demand penduduk yang lebih besar maka terjadi alih
fungsi lahan pertanian menjadi terbangun (akibat kebutuhan akan hunian). Alih
fungsi lahan terjadi pada lahan – lahan produktif masyarakat lokal yang beraktivitas
pada kegiatan agrikultur.
Dari kondisi tersebut, maka terdapat poin penting yang harus diperhatikan.
Desa Bondoyudo dapat dikendalikan dengan melakukan pembatasan komposisi
masyarakat lokal, ambang batas minimal masyarakat lokal yang harus ada adalah
50% dengan asumsi aktivitas pertanian masih akan terjadi (dilakukan oleh 50%
penduduk tersebut, karena lahan pertanian yang tidak boleh dibangun adalah
sebesar 50% dari luas total). Dengan masih dilakukannya aktivitas pertanian maka
alih fungsi lahan dapat diminimalkan. Identitas penduduk akan mudah dibentuk jika
ada peran masyarakat lokal selaku masyarakat asli yang paham akan seluk-beluk
wilayah permukimannya. Aktivitas yang dinamis dapat dibentuk didalam
permukiman dengan melibatkan pendatang dan masyarakat lokal. Program
pengembangan kampong guna trigger dirasa konsep yang tepat. dengan adanya
kedinamisan aktivitas maka kualitas masyarakat yang baik dan kemandirian
wilayah dapat tercapai. Disisi lain secara fisik mengenai ketersediaan infrastruktur
dan fasilitas masih tetap harus diperhatikan dan dipenuhi guna melayani seluruh
penduduk Desa Bondoyudo dalam proses perkembangannya.

169
“ Halaman ini sengaja dikosongkan”

170
Lampiran 1

PROGRAM MAGISTER
BIDANG KEAHLIAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

KUESIONER

Bapak/Ibu yang kami hormati,


Nama saya Ivan Agusta Farizkha, mahasiswa Program Pascasarjana (S2) Arsitek –
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya sedang melakukan penelitian dalam rangka
penyusunan Thesis yang berjudul Pengendalian Perkembangan Permukiman Berbasis
Sustainable Settlement. Adapun tujuan dari kuesioner ini adalah untuk menggali informasi terkait
faktor/kriteria mana yang paling mempengaruhi perkembangan permukiman pada wilayah
penelitian. Wilayah penelitian dalam hal ini adalah beberapa kecamatan di Kabupaten Lumajang
yang merupakan pusat permukiman perkotaan dan daerah terdampak pertumbuhan permukiman
perkotaan tersebut. Wilayah penelitian dalam hal ini melingkupi Kecamatan Sumbersuko, Padang,
Tekung, Lumajang dan Sukodono.
Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini dibutuhkan informasi dari Bapak/Ibu terkait
prioritas kriteria yang paling berpengaruh terhadap perkembangan permukiman yang nantinya
akan degunakan sebagai input pembobotan prioritas kriteria sebagai upaya pngendalian
perkembangan permukiman di Kabupaten Lumajang dalam proses analisa menggunakan alat
analisis AHP.
Dengan ini saya mengharap kesediaan Bapak/Ibu untuk membantu mengisi tiap kolom
kriteria sesuai dengan persepsi Bapak/Ibu. Atas kesedian Bapak/Ibu, saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,

Ivan Agusta Farizkha

1
PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER
Pada kuesionar ini Bapak/Ibu diminta untuk menentukan tingkat pengaruh kriteria yang
mempengaruhi perkembangan permukiman di wilayah Kabupaten Lumajang. Dalam melakukan
pembandingan tingkat kepentingan antara dua variabel dan dua kriteria, ditentukan nilai pengaruh
1 sampai dengan 9. Jawaban pertanyaan dengan memilih nilai perbandingan yang menurut
Bapak/Ibu paling tepat dengan skala penilaian sebagai berikut:

Skala Preferensi dari Perbandingan Dua Kriteria


Nilai Keterangan Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya Kedua kriteria memiliki pengaruh yang sama
terhadap perkembangan permukiman.
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting Satu kriteria memiliki sedikit pengaruh terhadap
atas elemen lainnya perkembangan permukiman..
5 Elemen yang satu cukup penting daripada Satu kriteria memiliki cukup pengaruh terhadap
elemen lainnya perkembangan permukiman.
7 Elemen yang satu sangat penting daripada Satu kriteria memiliki pengaruh yang kuat
elemen lainnya terhadap perkembangan permukiman.
9 Satu elemen mutlak penting (kepentingan Satu kriteria memiliki pengaruh yang sangat kuat
yang ekstrim) terhadap perkembangan permukiman.sehingga
kriteria ini harus sangat diperhatikan dalam upaya
control perkembangan permukiman
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan
yang berdekatan

Contoh :
Pertanyaan : Lebih berpengaruh mana antara elemen Alam dengan Jaringan dalam kaitannya
dengan perkembangan permukiman, di Kabupaten Lumajang?
Jika variabel Alam sangat penting dari* Jaringan, makana nilai pengaruhnya 7.
Alam 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jaringan
* disesuaikan dengan skala penilainya

2
Variabel Penelitian
VARIABEL SUB VARIABEL (kriteria 2) Definisi operasional
(kriteria 1)
Kondisi Alam - Kemampuan Lahan (kelerengan, Keadaan alam yang mempengaruhi berkembangnya
kualitas air, rawan bencana,tekstur, permukiman seperti letaknya, pada daerah datar ato
drainase tanah dan erobilitas tanah) pegunungan, pada daerah rawan bencana atau tidak, dll
- Ketersediaan Sumberdaya alam Rumah berkembang pada daerah yang subur atau tidak,
apakah terdapat potensi alam yang menyebabkan tarikan
pergerakan manusia untuk bermukim.
Kondisi sosial - Mata pencaharian Mata pencaharian berpengaruh terhadap pemilihan lokasi
masyarakat permukiman yang cenderung mendekati sumber mata
pencaharian

- jumlah populasi Jumlah populasi berpengaruh terhadap kondisi dan


lingkungan permukiman
- pertumbuhan manusia Pertumbuhan manusia berpengaruh terhadap jumlah
permintaan rumah
- Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan mempengaruhi pola bermukim, pemilihan
referensi rumah, dll
- Keberadaan institusi social Ada tidak/dekat-jauhnya ruang bersosialisasi
Kondisi - Distribusi tingkat pendapatan Kelas ekonomi masyarakat dalam lingkungan permukiman
ekonomi msyarakat (ekonomi)
masyarakat - Keberadaan institusi ekonomi Ada tidak/dekat-jauhnya pusat perekonomian
Karakteristik - Kebiasaan dalam bermukim Pengaruh kultur sejarah dan budaya terhadap pemilihan lokasi
budaya dan kondisi permukiman
masyarakat - Aktivitas keseharian rata – rata Aktivitas manusia dalam sebuah komunitas permukiman
penduduk berpengaruh terhadap kecenderungan letak permukiman
(mendekati atau menjauhi pusat kegiatan/pekerjaan)

Kondisi - Jenis perumahan permanen atau non permanen


Rumah/Perum
- Model perumahan Bentuk rumah (keindahan, kenyamanan kepuasan) yang
ahan dipilih untuk dibangun

- Lokasi permukiman Letak perumahan terhadap titik – titik aktivitas


- Tingkat Kepadatan wilayah Jarak antar bangunan rumah
perumahan
- Fasilitas perumahan (kelengkapan Ketersediaan fasilitas sebagai media pelayanan dalam proses
dan persebaran) berkehidupan
- Tata guna lahan Kaitannya dengan penataan kawasan permukiman
Kondisi - Infrastruktur air bersih Ketersediaan (terlayani atau tidak) dan kondisi (baik atau
Infrastruktur buruk) Jaringan air, PDAM, HIPPAM, dll
dan sarana - Infrastruktur listrik Ketersediaan (terlayani atau tidak) dan kondisi jaringan listrik
permukiman (baik atau buruk).
- Infrastruktur jalan Ketersediaan (terlayani atau tidak) dan kondisi jaringan jalan
(baik atau buruk).
- Infrastruktur persampahan dan Ketersediaan (terlayani atau tidak) dan kondisi Infrastruktur
pengolahan limbah persampahan dan pengolahan limbah (baik atau buruk).
- Infrastruktur telekomunikasi Ketersediaan (terlayani atau tidak) dan kondisi jaringan
telekomunikasi (baik atau buruk).

3
Identitas Responden.
Nama :
Telp/HP :
Pekerjaan / instansi :
Tanggal Pengisian :

PERTANYAAN 1 : Tingkat Pengaruh Antar Variabel/Kriteria 1


Silangkanlah angka yang menunjukkan tingkat pengaruh antar variabel/kriteria 1 dalam
penentuan perkembangan permukiman di Kabupaten Lumajang.

Kondisi Kondisi sosial


9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Alam masyarakat
Kondisi
Kondisi
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 ekonomi
Alam
masyarakat
Karakteristik
Kondisi
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 budaya
Alam
masyarakat
Kondisi
Kondisi Rumah/
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Alam Perumahan

Kondisi
Kondisi Infrastruktur
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Alam dan sarana
permukiman
Kondisi Kondisi
sosial 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 ekonomi
masyarakat masyarakat
Kondisi Karakteristik
sosial 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 budaya
masyarakat masyarakat
Kondisi Kondisi
sosial 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rumah/
masyarakat Perumahan
Kondisi Kondisi
sosial Infrastruktur
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
masyarakat dan sarana
permukiman
Kondisi Karakteristik
ekonomi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 budaya
masyarakat masyarakat
Kondisi Kondisi
ekonomi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rumah/
masyarakat Perumahan
Kondisi Kondisi
ekonomi Infrastruktur
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
masyarakat dan sarana
permukiman

4
Karakteristik Kondisi
budaya 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rumah/
masyarakat Perumahan
Karakteristik Kondisi
budaya Infrastruktur
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
masyarakat dan sarana
permukiman
Kondisi Kondisi
Rumah/ Infrastruktur
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perumahan dan sarana
permukiman

PERTANYAAN 2 : Tingkat Pengaruh Antar Variabel/Kriteria 2


Silangkanlah angka yang menunjukkan tingkat pengaruh antar kriteria yang mempengaruhi
perkembangan permukiman di Kabupaten Lumajang
A. Variabel kondisi Alam
Kondisi Ketersediaan
alam
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SDA

B. Variabel Kondisi sosial masyarakat


Mata jumlah
pencaharian 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 populasi

Mata pertumbuhan
pencaharian 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 manusia

Mata Tingkat
pencaharian 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 pendidikan

Mata Keberadaan
pencaharian 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 institusi
social

jumlah pertumbuhan
populasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 manusia

jumlah Tingkat
populasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 pendidikan

jumlah Keberadaan
populasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 institusi
social
pertumbuhan Tingkat
manusia 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 pendidikan

pertumbuhan Keberadaan
manusia 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 institusi
social

5
Tingkat Keberadaan
pendidikan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 institusi
social

C. Kondisi ekonomi masyarakat


Distribusi
tingkat
Keberadaan
pendapatan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 institusi
msyarakat ekonomi
(ekonomi)

D. Karakteristik budaya masyarakat


Kebiasaan
dalam Aktivitas
bermukim keseharian rata
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 – rata
penduduk

E. Variabel Rumah / perumahan


Jenis Model
perumahan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 perumahan
Jenis Lokasi
perumahan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 permukiman
Jenis Tingkat
perumahan Kepadatan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 wilayah
perumahan
Jenis Fasilitas
perumahan perumahan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 (kelengkapan
dan
persebaran)
Jenis Tata guna
perumahan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 lahan
Model Lokasi
perumahan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 permukiman
Model Tingkat
perumahan Kepadatan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 wilayah
perumahan

6
Model Fasilitas
perumahan perumahan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 (kelengkapan
dan
persebaran)
Model Tata guna
perumahan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 lahan
Tingkat
Lokasi Kepadatan
permukiman
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 wilayah
perumahan
Fasilitas
perumahan
Lokasi
permukiman
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 (kelengkapan
dan
persebaran)
Lokasi Tata guna
permukiman
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 lahan
Fasilitas
Tingkat
perumahan
Kepadatan
wilayah
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 (kelengkapan
dan
perumahan
persebaran)
Tingkat
Kepadatan Tata guna
wilayah
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
lahan
perumahan
Fasilitas
perumahan
Tata guna
(kelengkapan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
dan lahan
persebaran)

F. Variabel Infrastruktur dan sarana permukiman


Infrastruktur Infrastruktur
air bersih 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 listrik

Infrastruktur Infrastruktur
air bersih 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 jalan

Infrastruktur Infrastruktur
air bersih persampahan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 dan pengolahan
limbah

Infrastruktur Infrastruktur
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
air bersih telekomunikasi
Infrastruktur Infrastruktur
listrik 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 jalan

7
Infrastruktur Infrastruktur
listrik persampahan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
dan pengolahan
limbah
Infrastruktur Infrastruktur
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
listrik telekomunikasi
Infrastruktur Infrastruktur
jalan persampahan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
dan pengolahan
limbah
Infrastruktur Infrastruktur
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
jalan telekomunikasi
Infrastruktur Infrastruktur
persampahan telekomunikasi
dan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
pengolahan
limbah

PERTANYAAN 3 : Bagaimana perkembangan permukiman di kota lumajang?

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

PERTANYAAN 4 : Bagaimana pengaruh masing factor yang paling dominan terhadap

perkembangan permukiman di kecamatan/Desa saudara ?

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………….

8
Lampiran 2
ANALISA STAKEHOLDER

KEPENTINGAN PENGARUH
(IMPORTANCE) (INFLUENCE)
STEKHOLDERS STEKHOLDERS terhadap
terhadap perkembangan perkembangan permukiman
PENGARUH
INTEREST DAMPAK permukiman di wilayah di wilayah perkotaan
(INFLUENCE)
STAKEHOLDERS terhadap PROGRAM perkotaan Lumajang Lumajang
KELOMPOK STAKEHOLDERS
perkembangan permukiman di TERHADAP 1. Kecil/tidak penting 1. Kecil/tidak berpengaruh
STAKEHOLDERS terhadap perkembangan
wilayah penelitian (perkotaan INTEREST 2. Agak Penting 2. Agak berpengaruh
permukiman di wilayah
Lumajang) (+) (0) (-) 3.Penting 3.berpengaruh
perkotaan Lumajang
4.Sangat Penting 4.Sangat berpengaruh
5.Pelaksanaan 5.Pelaksanaan
pembangunan permukiman pembangunan permukiman
sangat tergantung padanya sangat tergantung padanya
A. Pemerintah
Dinas Pekerjaan Umum Penentu kebijakan / legalisasi Terlibat dalam pelaksanaan
Bidang perumahan dan pembangunan permukiman. dan pengembangan kawasan
permukiman Sebagai koordinator kegiatan permukiman pada seluruh
perencanaan pembangunan wilayah penelitian
+ 5 5
terkait bidang fisik
(pengembangan permukiman
beserta infrastrukturnya).

Pihak kecamatan Tugas dan fungsi adalah Terlibat dalam perencanaan


Sukodono, Lumajang, melaksanakan tugas yang pelaksanaan dan pengawasan
Sumbersuko, Padang, dilimpahkan pembangunan permukiman
dan Tekung Walikota pada masing – masing
(Kasi ekonomi dan kepada Camat dalam bidang kecamatan yang dinaungi + 4 4
pembangunan) ekonomi, pada wilayah penelitian
pekerjaan umum
dan pembangunan

Pihak desa Pihsk yang merasakan dampak Terlibat dalam perencanaan


langsung dalam pembangunan pelaksanaan dan pengawasan
permukiman pembangunan permukiman
pada masing – masing desa + 3 3
yang dinaungi pada wilayah
penelitian
B. Privat Sektor
Developer perumahan Memahami kondisi kawasan Terlibat dalam penyediaan/
tiap kecamatan sebagai pelaku pembangunan pembangunan hunian pada
yang berinvestasi dan bergerak permukiman + 3 3
pada bidang penyediaan hunian
perumahan

PEMETAAN STAKEHOLDERS BERDASARKAN PENGARUH (INFLUENCE)


DAN KEPENTINGAN (IMPORTANCE)
IMPORTANCE OF ACTIVITY TO STAKEHOLDERS
PENGARUH
Kecil/Tidak Agak Penting (2) Penting (3) Sangat Penting (4) pembangunan sangat tergantung
STAKEHOLDERS
Penting (1) padanya (5)

Kecil/Tidak Penting

Agak Penting

Penting Pihak Desa


Developer

Sangat Penting Pihak kecamatan

Program sangat
tergantung padanya Dinas Pekerjaan Umum bidang
perumahan dan permukiman

Sumber: Hasil analisa, 2016


Ket:
: Stakeholders kunci

Mobilisasi Stakeholders: stakeholders kunci yang telah diidentifikasi akan diperlukan untuk sharing informasi untuk memberikan masukan
menidentifikasi faktor yang berppengaruh dalam perkembangan permukiman
Lampiran 3
NILAI BOBOT DESA HASIL PERHITUNGAN AHP
KECAMATAN LUMAJANG
NILAI WILAYAH DESA
VARIABEL dan Sub
variabel Citrodiwa Ditotrunan Jogotrun Denok Blukon Boren Jogoyud Tompoker Rogotru Kepuha
Banjarwaru Labruk Lor
ngsan an g an san nan rjo
KONDISI ALAM 0,042 0,052 0,058 0,062 0,056 0,059 0,060 0,060 0,080 0,064 0,045 0,051
Keadaan alam 0,143 1 0,2 1 1 0,2 0,167 0,2 1 1 1 1
Ketersediaan 1 0,2 1 0,250 0,167 1 1 1 0,111 0,250 0,2 0,2
Sumberdaya alam
KONDISI SOSIAL 0,136 0,317 0,431 0,447 0,103 0,365 0,393 0,351 0,3 0,098 0,077 1
MASYARAKAT
Mata pencaharian 0,566 0,493 0,302 0,536 0,275 0,454 0,335 0,431 1 1 1 1
jumlah populasi 0,351 0,246 0,504 0,336 0,539 0,306 0,176 0,238 0,433 0,327 0,370 0,565
pertumbuhan manusia 1 1 1 1 1 1 1 1 0,204 0,544 0,602 0,370
Tingkat pendidikan 0,131 0,119 0,117 0,183 0,089 0,069 0,073 0,119 0,123 0,146 0,172 0,198
Keberadaan institusi 0,077 0,073 0,061 0,076 0,103 0,135 0,116 0,063 0,054 0,066 0,081 0,098
social
KONDISI EKONOMI 0,248 0,159 0,096 0,235 0,587 0,104 0,111 0,125 0,388 0,554 0,210 0,184
MASYARAKAT
Distribusi tingkat 0,143 0,250 0,167 0,250 1 0,167 0,167 0,167 1 0,2 0,2 1
pendapatan msyarakat
(ekonomi)
Keberadaan institusi 1 1 1 1 0,143 1 1 1 0,2 1 1 0,333
ekonomi
KARAKTERISTIK 0,414 0,1 0,174 0,107 0,334 0,157 0,253 0,188 0,052 1 0,131 0,091
BUDAYA
MASYARAKAT
Kebiasaan dalam 0,2 0,2 0,2 0,333 0,143 0,167 0,143 0,167 0,2 0,167 0,2 0,2
bermukim
Aktivitas keseharian rata 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
– rata penduduk
KONDISI 0,068 1 1 1 1 1 0,761 1 0,192 0,275 1 0,520
RUMAH/PERUMAHA
N
Jenis perumahan 0,097 0,097 0,090 0,097 0,090 0,085 0,117 0,082 0,140 0,133 0,096 0,102
Model perumahan 0,062 0,066 0,053 0,059 0,059 0,061 0,076 0,061 0,055 0,066 0,054 0,054
Lokasi permukiman 1 1 1 0,554 1 1 1 1 1 1 1 1

1
Tingkat Kepadatan 0,291 0,402 0,283 1 0,209 0,304 0,709 0,322 0,527 0,341 0,315 0,236
wilayah perumahan
Fasilitas perumahan 0,473 0,550 0,353 0,340 0,506 0,681 0,599 0,643 0,390 0,616 0,591 0,571
(kelengkapan dan
persebaran)
Tata guna lahan 0,163 0,207 0,156 0,186 0,207 0,197 0,210 0,196 0,138 0,236 0,172 0,363
KONDISI 1 0,602 0,308 0,092 0,147 0,536 1 0,728 1 0,126 0,510 0,355
INFRASTRUKTUR
Infrastruktur air bersih 0,315 0,246 0,340 0,399 0,266 0,247 0,324 0,324 0,205 0,395 0,236 0,368
Infrastruktur listrik 0,582 0,470 0,577 0,619 0,608 0,427 0,526 0,526 0,565 1 0,409 0,623
Infrastruktur jalan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0,658 1 1
Infrastruktur 0,082 0,122 0,147 0,190 0,129 0,128 0,177 0,177 0,095 0,203 0,143 0,183
persampahan dan
pengolahan limbah
Infrastruktur 0,1 0,1 0,083 0,1 0,1
telekomunikasi 0,144 0,082 0,097 0,066 0,119 0,076 0,122

KECAMATAN PADANG
NILAI WILAYAH DESA
VARIABEL dan Sub variabel
Barat Babakan Mojo Bodang Kedawung Padang Merakan Kalisemut Tanggung
KONDISI ALAM 0,060 1 1 1 0,049 0,117 0,248 0,108 0,257
Keadaan alam 0,167 0,143 0,125 1 0,250 0,167 0,2 0,2 0,2
Ketersediaan Sumberdaya alam 1 1 1 0,2 1 1 1 1 1
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT 1 0,255 0,451 0,710 0,123 0,222 0,478 0,3 1
Mata pencaharian 0,631 0,576 1 0,557 0,432 0,391 0,667 0,475 0,277
jumlah populasi 0,322 0,258 0,308 0,326 0,564 1 0,315 0,271 0,446
pertumbuhan manusia 1 1 0,590 1 1 0,740 1 1 1
Tingkat pendidikan 0,129 0,084 0,106 0,087 0,173 0,186 0,162 0,096 0,122
Keberadaan institusi social 0,070 0,135 0,065 0,147 0,073 0,094 0,092 0,153 0,069
KONDISI EKONOMI MASYARAKAT 0,093 0,051 0,46 0,078 1 0,055 0,046 0,069 0,050
Distribusi tingkat pendapatan msyarakat (ekonomi) 1 1 1 0,2 0,167 1 0,250 0,25 0,250
Keberadaan institusi ekonomi 0,250 0,2 0,2 1 1 0,167 1 1 1
KARAKTERISTIK BUDAYA MASYARAKAT 0,613 0,146 0,205 0,245 0,096 0,474 1 1 0,550
Kebiasaan dalam bermukim 1 0,143 0,250 1 1 1 1 1 1
Aktivitas keseharian rata – rata penduduk 0,2 1 1 0,2 0,333 0,250 0,2 0,333 0,250
KONDISI RUMAH/PERUMAHAN 0,148 0,076 0,082 0,070 0,455 0,096 0,136 0,169 0,081
Jenis perumahan 0,107 0,165 0,115 0,092 0,095 0,072 0,097 0,093 0,074
Model perumahan 0,086 0,062 0,057 0,063 0,056 0,45 0,054 0,054 0,051
Lokasi permukiman 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Tingkat Kepadatan wilayah perumahan 0,347 0,227 0,354 0,376 0,282 0,166 0,275 0,196 0,142

2
Fasilitas perumahan (kelengkapan dan persebaran) 0,565 0,632 0,604 0,451 0,612 0,311 0,450 0,556 0,401
Tata guna lahan 0,189 0,111 0,202 0,157 0,241 0,192 0,142 0,307 0,210
KONDISI INFRASTRUKTUR 0,338 0,561 0,075 0,179 0,214 1 0,072 0,562 0,149
Infrastruktur air bersih 0,241 0,366 0,972 1 0,283 0,443 0,243 0,252 0,448
Infrastruktur listrik 0,494 1 0,384 0,478 0,647 0,409 0,412 0,440 1
Infrastruktur jalan 1 0,570 1 0,782 1 1 1 1 0,726
Infrastruktur persampahan dan pengolahan limbah 0,103 0,142 0,156 0,106 0,185 0,095 0,085 0,118 0,195
Infrastruktur telekomunikasi 0,065 0,076 0,087 0,175 0,093 0,091 0,063 0,084 0,097

KECAMATAN SUKODONO
NILAI WILAYAH DESA
VARIABEL dan Sub variabel Klanting Kebon Dawuhan Urang
Karangsari Kutorenon Selokbesuki Sumberejo Selokgondang Bondoyudo
agung lor gantung
KONDISI ALAM 0,051 0,19 0,051 0,064 0,050 0,157 0,061 0,133 0,080 0,55
Keadaan alam 1 0,143 1 0,2 1 1 1 0,143 0,143 0,2
Ketersediaan Sumberdaya alam 0,25 1 0,333 1 0,250 0,143 0,333 1 1 1
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT 0,138 0,186 0,165 0,245 0,081 0,082 0,138 0,495 0,514 0,115
Mata pencaharian 0,330 0,593 0,560 0,333 0,315 0,317 0,379 0,295 0,256 0,552
jumlah populasi 0,670 0,345 1 0,576 1 1 1 0,543 0,509 1
pertumbuhan manusia 1 1 0,126 1 0,401 0,506 0,220 1 1 0,367
Tingkat pendidikan 0,080 0,108 0,227 0,075 0,092 0,094 0,78 0,139 0,079 0,137
Keberadaan institusi social 0,160 0,067 0,068 0,109 0,136 0,177 0,178 0,062 0,147 0,69
KONDISI EKONOMI 0,088 0,54
MASYARAKAT 0,128 0,498 0,145 0,606 0,317 0,262 1 0,75
Distribusi tingkat pendapatan 0,333 1
msyarakat (ekonomi) 1 0,143 1 1 0,143 1 0,143 0,167
Keberadaan institusi ekonomi 1 0,2 0,25 1 0,2 0,125 1 0,333 1 1
KARAKTERISTIK BUDAYA 0,238 0,427
MASYARAKAT 0,594 0,082 0,254 0,064 0,118 1 0,164 0,261
Kebiasaan dalam bermukim 0,2 0,167 0,111 0,2 1 0,2 0,143 1 1 0,143
Aktivitas keseharian rata – rata 1 1
penduduk 1 1 0,143 1 1 0,2 0,333 1
KONDISI RUMAH/PERUMAHAN 1 1 1 0,170 1 1 1 0,050 0,051 0,493
Jenis perumahan 0,105 1 0,116 0,146 0,101 0,107 0,108 0,099 0,119 0.110
Model perumahan 0,063 0,057 0,055 0,048 0,054 0,075 0,055 0,061 0,077 0,055
Lokasi permukiman 1 0,483 1 1 1 1 1 1 1 1
Tingkat Kepadatan wilayah 0,430 0,157
perumahan 0,199 0,294 0,243 0,264 0,224 0,246 0,386 0,265
Fasilitas perumahan (kelengkapan 0,331 0,301
dan persebaran) 0,403 0,614 0,475 0,498 0,601 0,612 0,740 0,426
Tata guna lahan 0,226 0,074 0,086 0,096 0,109 0,073 0,167 0,199 0,197 0,066

3
KONDISI INFRASTRUKTUR 0,530 0,118 0,279 1 0,501 0,335 0,632 0,072 0,249 1
Infrastruktur air bersih 0,260 0,44 0,496 0,321 0,192 0,196 0,331 0,264 0,363 0,189
Infrastruktur listrik 0,704 1 0,422 0,629 0,591 0,662 1 0,620 0,558 0,513
Infrastruktur jalan 1 0,523 1 1 1 1 0,659 1 1 1
Infrastruktur persampahan dan 0,217 0,106
pengolahan limbah 0,126 0,161 0,143 0,126 0,147 0,158 0,168 0,054
Infrastruktur telekomunikasi 0,738 0,129 0,108 0,096 0,065 0,94 0,070 0,070 0,079 0,114

KECAMATAN SUMBERSUKO
NILAI WILAYAH DESA
VARIABEL dan Sub variabel Labruk
Kebonsari Sumbersuko Grati Mojosari Sentul Purwosono Petahunan
Kidul
KONDISI ALAM 0,061 0,051 0,056 0,055 0,048 0,519 0,071 0,087
Keadaan alam 1 0,333 0,143 0,2 0,2 0,167 0,2 0,167
Ketersediaan Sumberdaya alam 0,2 1 1 1 1 1 1 1
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT 0,437 0,144 0,616 0,171 0,122 0,281 0,047 1
Mata pencaharian 0,346 0,434 0,067 0,264 0,471 0,586 0,480 0,249
jumlah populasi 0,368 0,205 1 0,626 0,241 0,288 0,251 0,603
pertumbuhan manusia 1 1 0,325 1 1 1 1 1
Tingkat pendidikan 0,118 0,131 0,235 0,160 0,067 0,083 0,133 0,074
Keberadaan institusi social 0,061 0,057 0,269 0,079 0,115 0,126 0,062 0,159
KONDISI EKONOMI MASYARAKAT 0,216 0,068 0,235 0,573 0,075 0,056 1 0,136
Distribusi tingkat pendapatan msyarakat (ekonomi) 0,2 0,167 0,167 1 0,2 0,250 0,167 1
Keberadaan institusi ekonomi 1 1 1 0,333 1 1 1 0,25
KARAKTERISTIK BUDAYA MASYARAKAT 0,101 0,285 0,126 0,093 0,3 0,184 0,241 0,522
Kebiasaan dalam bermukim 0,250 1 0,167 1 0,250 0,333 0,2 1
Aktivitas keseharian rata – rata penduduk 1 0,250 1 0,2 1 1 1 0,2
KONDISI RUMAH/PERUMAHAN 0,679 0,573 0,418 0,325 1 0,084 0,119 0,045
Jenis perumahan 0,078 0,103 0,202 0,220 0,103 0,102 0,104 0,120
Model perumahan 0,053 0,061 0,083 0,139 0,065 0,058 0,060 0,066
Lokasi permukiman 1 1 1 0,999 1 1 0,655 1
Tingkat Kepadatan wilayah perumahan 0,237 0,350 0,096 0,40 0,371 0,233 0,217 0,411
Fasilitas perumahan (kelengkapan dan persebaran) 0,571 0,708 0,597 1 0,619 0,596 1 0,721
Tata guna lahan 0,185 0,222 0,054 0,909 0,219 0,406 0,3 0,233
KONDISI INFRASTRUKTUR 1 1 1 1 0,503 1 0,504 0,278
Infrastruktur air bersih 0,254 0,304 0,351 0,301 0,514 0,263 0,396 0,262
Infrastruktur listrik 0,403 0,599 0,738 0,829 0,849 0,547 0,597 0,547
Infrastruktur jalan 1 1 1 1 1 1 1 1
Infrastruktur persampahan dan pengolahan limbah 0,112 0,159 0,074 0,191 0,199 0,175 0,147 0,067
Infrastruktur telekomunikasi 0,069 0,084 0,123 0,271 0,108 0,089 0,097 0,108

4
KECAMATAN TEKUNG
NILAI WILAYAH DESA
VARIABEL dan Sub variabel Wonogriyo Wonosari Mangunsari Tukum Klampok
Tekung Wonokerto Karangbendo
Arum
KONDISI ALAM 0,082 0,096 0,146 0,058 0,056 0,051 0,073 0,051
Keadaan alam 0,143 0,167 0,143 0,25 0,2 1 1 1
Ketersediaan Sumberdaya alam 1 1 1 1 1 0,250 0,33 0,2
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT 1 0,161 1 0,271 1 0,263 0,314 0,143
Mata pencaharian 0,547 0,622 0,243 0,206 0,364 0,691 0,075 0,135
jumlah populasi 0,275 0,293 0,441 1 0,208 0,308 1 1
pertumbuhan manusia 1 1 1 0,425 1 1 0,576 0,467
Tingkat pendidikan 0,086 0,077 0,062 0,130 0,095 0,085 0,166 0,071
Keberadaan institusi social 0,158 0,126 0,103 0,185 0,055 0,160 0,114 0,198
KONDISI EKONOMI MASYARAKAT 0,060 0,049 0,057 0,089 0,088 0,077 0,116 0,230
Distribusi tingkat pendapatan msyarakat (ekonomi) 0,167 0,250 0,2 0,2 0,250 0,2 0,2 0,2
Keberadaan institusi ekonomi 1 1 1 1 1 1 1 1
KARAKTERISTIK BUDAYA MASYARAKAT 0,313 0,587 0,6 1 0,170 0,144 0,625 1
Kebiasaan dalam bermukim 1 1 1 1 0,250 0,2 1 1
Aktivitas keseharian rata – rata penduduk 0,333 0,250 0,333 0,2 1 1 0,250 0,143
KONDISI RUMAH/PERUMAHAN 0,160 0,295 0,089 0,154 0,309 0,518 0,211 0,312
Jenis perumahan 0,097 0,105 0,105 0,140 0,110 0,102 0,224 0,79
Model perumahan 0,058 0,063 0,059 0,062 0,055 0,061 0,052 0,064
Lokasi permukiman 1 1 1 1 1 1 1 0,370
Tingkat Kepadatan wilayah perumahan 0,259 0,234 0,351 0,308 0,231 0,322 0,399 1
Fasilitas perumahan (kelengkapan dan persebaran) 0,632 0,475 0,629 0,663 0,747 0,632 0,636 0,520
Tata guna lahan 0,179 0,187 0,260 0,089 0,353 0,227 0,134 0,136
KONDISI INFRASTRUKTUR 0,699 1 0,384 0,609 0,649 1 1 0,539
Infrastruktur air bersih 0,310 0,294 0,288 0,213 0,195 0,232 0,276 0,322
Infrastruktur listrik 0,570 0,599 0,594 0,522 0,498 0,465 0,530 0,388
Infrastruktur jalan 1 1 1 1 1 1 1 1
Infrastruktur persampahan dan pengolahan limbah 0,198 0,175 0,178 0,058 0,123 0,146 0,055 0,053
Infrastruktur telekomunikasi 0,091 0,098 0,086 0,113 0,082 0,079 0,099 0,092

5
Lampiran 4
DATA RESPONDEN

KECAMATAN TEKUNG
1 Responden 1
telp: 081336761045
Pekerjaan/Instansi: Kecamatan Tekung
2 Responden 2
telp: 085258845324
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Klampokarum
3 Responden 3
telp: 0819139659699
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Karangbendo
4 Responden 4
telp: 082359356777
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Tekung
5 Responden 5
telp: 085236118221
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Mangunsari
6 Responden 6
telp: 085258781448
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Wonogriyo
7 Responden 7
telp: 085230438776
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Wonosari
8 Responden 8
telp: 085236635544
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Wonokerto
9 Responden 9
telp: 085646126058
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Tukum

KECAMATAN SUMBERSUKO
1 Responden 10
telp: 081559686717
Pekerjaan/Instansi: Kecamatan Sumbersuko
2 Responden 11
telp: 085236258819
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Purwosono
3 Responden 12
telp: 085258544045
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Labruk Kidul
4 Responden 13
telp: 085257350555
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Grati
5 Responden 14
telp: 081336883035

1
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Mojosari
6 Responden 15
telp: 081298136146
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Petahunan
7 Responden 16
telp: 085231911145
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Kebonsari
8 Responden 17
telp: 082330238050
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Sumbersuko
9 Responden 18
telp: 085785821755
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Sentul

KECAMATAN LUMAJANG
1 Responden 19
telp: -
Pekerjaan/Instansi: Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lumajang
2 Responden 20
telp: 0082331494889
Pekerjaan/Instansi: Kecamatan Lumajang
3 Responden 21
telp: 081234723524
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Tompokersan
4 Responden 22
telp: 085258309451
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Jogotrunan
5 Responden 23
telp: 085233082678
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Jogoyudan
6 Responden 24
telp: 08124931844
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Banjarwaru
7 Responden 25
telp: 085236487272
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Kepuharjo
8 Responden 26
telp: 081233875339
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Labruk Lor
9 Responden 27
telp: 085258504627
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Boreng
10 Responden 28
telp: 082331525559
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Rogotrunan
11 Responden 29
telp: (0334) 886625

2
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Ditotrunan
12 Responden 30
telp: 089687218315
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Denok
13 Responden 31
telp: 081256463960
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Blukon
14 Responden 32
telp: 082330834900
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Citrodiwangsan

KECAMATAN SUKODONO
1 Responden 33
telp: 082232611125
Pekerjaan/Instansi: Kecamatan Sukodono
2 Responden 34
telp: 085336162189
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Urang Gantung
3 Responden 35
telp: 085234880207
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Bondoyudo
4 Responden 36
telp: 085330198879
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Kebonagung
5 Responden 37
telp: 082331124264
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Dawuhan Lor
6 Responden 38
telp: 085230313454
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Selokgondang
7 Responden 39
telp: 085233236397
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Selokbesuki
8 Responden 40
telp: 082331005544
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Sumberejo
9 Responden 41
telp: 081358516793
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Kutorenon
10 Responden 42
telp: 085230760516
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Karangsari
11 Responden 43
telp: 081249917229
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Klanting

3
KECAMATAN PADANG
1 Responden 44
telp: 081233488403
Pekerjaan/Instansi: Kecamatan Padang
2 Responden 45
telp: 081235172772
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Mojo
3 Responden 46
telp: 085335447612
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Kedawung
4 Responden 47
telp: 082332136420
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Barat
5 Responden 48
telp: 082338080844
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Bodang
6 Responden 49
telp: 081336947114
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Padang
7 Responden 50
telp: 082302009503
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Merakan
8 Responden 51
telp: 082314955478
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Kalisemut
9 Responden 52
telp: 081336577230
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Babakan
10 Responden 53
telp: 08887108061
Pekerjaan/Instansi: Kelurahan Tanggung

4
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

Pemahaman terhadap sebuah kondisi dan karakteristik sebuah lingkungan


permukiman sangatlah penting dalam upaya perumusan konsep dan strategi terkait
keberlangsungan permukiman. Dalam prosesnya, pertumbuhan permukiman yang
tidak terkendali merupakan awal terjadinya permasalahan. Salah satu permasalahan
tersebut adalah urban sprawl yang merupakan indikasi awal terbentuknya permukiman
kumuh. Urban sprawl adalah permasalahan umum yang terjadi hampir pada setiap
wilayah permukiman perkotaan yang dinamis berkembang dari segala aspek. Namun
penyebab urban sprawl antara satu wilayah permukiman dengan wilayah permukiman
yang lain adalah pembeda yang harus dipahami dan dikaji guna menemukan solusi
penangan yang tepat.
Penelitian ini berkaitan dengan penerapan konsep pembangunan berkelanjutan
dimana konsep yang dihasilkan secara garis besar mengacu pada indikator
pembangunan berkelanjutan. Indikator pembangunan berkelanjutan berkaitan dengan
interaksi antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Berkaitan dengan permukiman,
tiga indikator tersebut dijabarkan dalam karakteristik elemen pembentuk permukiman
dimana ekonomi dan sosial berkaitan dengan elemen manusia dan masyarakat
sedangkan lingkungan berkaitan dengan elemen alam, kondisi rumah/perumahan, serta
jaringan.

7.1 Kesimpulan Penelitian


Berdasarkan hasil penelitian, simpulan kondisi karakteristik elemen pembentuk
permukiman pada wilayah penelitian secara makro (5 kecamatan) adalah :
 Kondisi alam : Hampir seluruh wilayah memungkinkan untuk dibangun
permukiman. Kondisi ini menyebabkan tingginya peluang terjadinya alih fungsi
lahan.

171
 Kondisi sosial masyarakat : Pertumbuhan penduduk akibat migrasi penduduk dari
luar wilayah menyebabkan tumbuhnya titik – titik permukiman kecil yang menyebar
mendekati simpul aktivitas.
 Kondisi Ekonomi masyarakat : Persebaran institusi ekonomi yang tidak merata
(terkonsentrasi pada kecamatan Lumajang) menyebabkan adanya ketergantungan
aktivitas dan tidak mandirinya wilayah permukiman baru tumbuh.
 Karakteristik Budaya Masyarakat : Budaya pembangunan rumah secara swadaya
tanpa adanya perencanaan kebutuhan infrastruktur dasar berpotensi menyebabkan
permukiman kumuh.
 Kondisi Rumah/Perumahan : Adanya Kesenjangan kondisi permukiman terbangun
(rumah layak dan tidak layak huni) dan ketersediaan fasilitas antara wilayah
permukiman perkotaan dan wilayah permukiman baru tumbuh.
 Kondisi Infrastruktur : Tarikan terbesar yang menyebabkan pertumbuhan
permukiman adalah infrastruktur jalan. Pertimbangan pembangunan permukiman
yang hanya memperhatikan lokasi yang dekat dengan akses jalan menyebabkan
tidak terpenuhinya infrastruktur dasar pada beberapa simpul pertumbuhan
pemukiman baru.
Masing – masing karakteristik elemen pembentuk permukiman tersebut
memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan permukiman perkotaan Lumajang. Hasil
analisa Value wilayah berdasarkan tingkat pengaruh elemen pembentuk permukiman
(dengan perangkat GIS) diketahui bahwa wilayah permukiman desa Bondoyudo
kecamatan Sukodono mengindikasikan pertumbuhan yang cepat. Pengaruh tertinggi
penyebab pertumbuhan permukiman pada desa Bondoyudo adalah aspek kondisi
infrastruktur (terutama infrastruktur jalan) dan aspek kondisi ekonomi masyarakat
(terutama keberadaan institusi ekonomi). Dilihat dari kondisi permukimannya,
pertumbuhan yang terjadi pada desa Bondoyudo mengindikasikan fenomena urban
sprawl.
Gejala urban sprawl terlihat pada pada desa Bondoyudo terhitung dari tahun
2010 semenjak dibangunnya jalur jalan strategis lintas timur (JLT). Pada tahun 2010

172
terlihat adanya gejala perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi lahan
terbangun. Adanya pengembangan kawasan perumahan skala kecil menjadi trigger
bagi pemilik tanah disekitar jalan untuk melakukan peng-kavlingan tanah dan
pembangunan rumah secara swadaya. Pertumbuhan permukiman secara swadaya ini
nyatanya tidak sejalan dengan pembangunan permukiman berkelanjutan karena
memberikan dampak yang buruk terhadap beberapa aspek pembangunan berkelanjutan
(lingkungan, sosial, dan ekonomi).
Dari sisi lingkungan pertumbuhan permukiman yang terjadi di desa Bondoyudo
menyebabkan alih fungsi lahan produktif yang tidak diimbangi dengan perencanaan
infrastruktur dasar sehingga cenderung mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan
permukiman. Dampak dari aspek social yang terlihat adalah tidak terbentuknya
identitas / karakter masyarakat karena minimnya interaksi antar warga yang disebabkan
oleh minimnya penyediaan fasilitas sosial. Sedangkan dari aspek ekonomi, adanya
pengaruh tarikan aktivitas perekonomian pada institusi perekonomian perkotaan
menyebabkan kesenjangan kondisi permukiman. Permukiman yang berada dekat
dengan simpul aktivitas perkotaan cenderung lebih baik daripada permukiman yang
sedikit menjauh dari pusat aktivitas. Kondisi tersebut dikarenakan adanya perbedaan
taraf kemampuan ekonomi masyarakat. Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)
cenderung memilih tinggal di lokasi yang sedikit menjauh dari pusat perkotaan (namun
mendekati jalan) dengan asumsi harga tanah yang lebih murah. Secara ekonomis,
kondisi ini akhirnya menyebabkan ketidak mandirian permukiman desa Bondoyudo
karena ketergantungannya pada aktivitas ekonomi di wilayah perkotaan.
Pemahaman keseluruhan mengenai fenomena diatas menjadi dasar mengapa
Desa Bondoyudo memerlukan upaya pengendalian. Berdasarkan hasil analisa, konsep
dan strategi pengendalian pertumbuhan permukiman (secara fisik dan non fisik)
disajikan pada tabel 7.1. Konsep dan strategi tersebut merupakan pokok pikiran
perencanaan permukiman berkelanjutan pada desa Bondoyudo.

173
Tabel 7.1 Prioritas Penerapan Konsep dan Strategi Pengendalian Pertumbuhan
Permukiman Desa Bondoyudo, Kecamatan Sukodono
KONSEP DAN STRATEGI PENGENDALIAN PRIORITAS
Kondisi infrastruktur (aspek fisik)
Pengaturan pemenuhan infrastruktur jaringan sesuai kebutuhan dan skala 1
pelayanan.
Kondisi ekonomi masyarakat (aspek non fisik)
Pengurangan kesenjangan persebaran institusi ekonomi dengan membentuk
2
institusi perekonomian baru didalam wilayah permukiman kecamatan
Sukodono.
Kondisi alam (aspek fisik)
Konsolidasi lahan guna pembatasan alih fungsi lahan dan perlindungan
3
ekosistem dengan pengaturan proporsi lahan hijau disertai pembentukan
permukiman “no waste”.
Kondisi rumah/perumahan (aspek fisik)
Perencanaan permukiman dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan 4
pembatasan wilayah terbangun berdasarkan penetapan zona permukiman.
Karakteristik budaya masyarakat (aspek non fisik)
Pembentukan budaya bermukim yang baik dengan tidak menyalahi 5
indikator permukiman berkelanjutan.
Kondisi sosial masyarakat (aspek non fisik)
Pembentukan identitas masyarakat dengan peningkatan partisipasi publik
6
dan pemberdayaan masyarakat serta pemenuhan akses terhadap fasilitas
umum dan publik sesuai kebutuhan skala pelayanan.

Upaya penerapan konsep dan strategi pengendalian perkembangan permuiman


pada Desa Bondoyudo dibagi menjadi aspek fisik dan non fisik yang kemudian dibagi
skala prioritasnya (aspek mana yang didahulukan/lebih penting dari aspek lainnya).
Secara fisik, bentuk pengendalian adalah berupa upaya pemenuhan sarana-prasarana
permukiman dan pembatasan alih fungsi lahan. Sedangkan secara non fisik, upaya
pengendalian dilakukan dengan penerapan program yang bertujuan membentuk
kualitas masyarakat yang baik.
Pembatasan alih fungsi lahan dilakukan dengan penentuan zona boleh dibangun
atau tidak boleh dibangun berdasarkan kriteria kesesuaian lahan. Lahan maksimal yang
sesuai untuk dibangun permukiman adalah 1,414 km2 (52% dari luas total desa).
Dengan luasan tersebut, Desa Bondoyudo secara ideal mampu menampung penduduk
sebesar 26.190 jiwa dengan unit bangunan rumah sebanyak 3144. Pemenuhan sarana

174
dan prasarana umum dihitung berdasarkan pemenuhan kebutuhan dan skala pelayanan
penduduk sesuai daya tampung. Dari perhitungan, diketahui rincian kebutuhan fasilitas
dan utilitas (mengacu pada jumlah penduduk maksimal) sebagai berikut :

Tabel 7.2 Kebutuhan Fasilitas Maksimal Desa Bondoyudo


FASILITAS RINCIAN KEBUTUHAN
Pendidikan TK : kebutuhan 20, eksisting 1
SD : kebutuhan 16, eksisting 2
SMP : kebutuhan 5, eksisting 1
SMA : kebutuhan 5, eksisting 0
Kesehatan Puskesmas : kebutuhan 0, eksisting 0
Puskesmas Pembantu : kebutuhan 1, eksisting 0
Balai Pengobatan : kebutuhan 10, eksisting 1
Rumah Bersalin : kebutuhan 1, eksisting 0
Peribadatan Masjid warga : kebutuhan 11, eksisting 3
Masjid kelurahan: kebutuhan 1, eksisting 0
Perdagangan Pasar : kebutuhan 1, eksisting 0
dan jasa Minimarket : kebutuhan 4, eksisting 0
Warung/toko : kebutuhan 105, eksisting 50
Pertokoan : kebutuhan 52, eksisting 5
Fasilitas Taman : kebutuhan 10, eksisting 0
sosial Taman dan lapangan olahraga : kebutuhan 1, eksisting 0

Beriringan dengan kebutuhan fasilitas, utilitas yang dibangun harus mampu


melayani seluruh penduduk. Rincian kebutuhan utilitas adalah : 1) kebutuhan Air
bersih (liter) : 6.023.700 liter; 2) listrik; 124.926.300 KVA; 3) Air limbah : volume
Limpasan total adalah 2.619.000; 4) persampahan : 34 tong sampah, 33 gerobak
sampah, 15 truk sampah, 1 unit TPS, 4 Transfer depo; 5) menara telekomunikasi : 2
unit; dan 6) jalan : perbaikan jalur jalan lingkungan penghubung simpul permukiman.
Perhitungan kebutuhan ini adalah dasar yang dapat digunakan dalam perencanaan
pemenuhan kebutuhan sarana prasarana.

175
Gambar 7.1 Konsep dan Strategi Pengendalian Aspek Fisik Pada Desa Bondoyudo (1)

Berdasarkan tipologinya, permukiman Desa Bondoyudo terbagi menjadi tiga


bagian yaitu zona permukiman pada sekitar jalur jalan strategis, zona permukiman pada
sekitar jalan raya dan zona permukiman tengah. Pemenuhan jaringan infrastruktur
dasar (jalan, air bersih, limbah, listrik, telekomunikasi dan persampahan) berdasarkan
kebutuhan dan skala pelayanan yang sudah dihitung selanjutnya harus mampu
melayani tiga simpul zona permukiman tersebut. Akses jalan dibuat dengan
menghubungkan 3 titik zona permukiman yang diiringi dengan jaringan air bersih,
limbah dan listrik. Penempatan titik pengumpulan sampah ditempatkan pada jalur jalan
skala lokal (jalan raya/JLT) dengan pertimbangan kemudahan dalam pengangkutan.
Sedangkan dua menara telekomunikasi dapat ditempatkan pada 2 titik yang mampu
meng-cover jarak transmisi sinyal.

176
Gambar 7.2 Konsep dan Strategi Pengendalian Aspek Fisik Pada Desa Bondoyudo (2)

Pada fenomena Desa Bondoyudo (selaku kawasan permukiman cepat tumbuh),


infrastruktur jalan strategis yang menjadi trigger utama pertumbuhan permukiman
merupakan produk perencanaan pemerintah selaku pemangku kepentingan. Namun
kondisi perkembangan permukiman yang terjadi akibat dari keberadaan infrastruktur
jalan ini merupakan hal yang diluar konteks perencanaan. Diluar konteks perencanaan
karena nyatanya jika dilihat dari aspek pembangunan berkelanjutan, banyak hal yang
tidak sesuai dengan kategori “berkelanjutan” yang dimaksud. Hasil dari penelitian ini
akhirnya diharapkan mampu melengkapi kaidah keilmuan mengenai metoda
penyelesaian pemasalahan permukiman baru berkembang pada wilayah perkotaan
Indonesia.

177
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka rekomendasi saran yang diberikan adalah :
1. Implementasi dari konsep dan strategi yang telah dirumuskan selanjutnya menjadi
tanggungjawab dari semua pihak yang terlibat dalam keberlangsungan
permukiman. Harus ada integrasi antara pihak pemerintah, masyarakat, dan swasta
pada prosesnya. Pihak pemerintah selaku pembuat kebijakan publik dapat lebih
memperhatikan kebijakan pengembangan infrastruktur dan kondisi perekonomian
masyarakat (terkait institusi perekonomian) yang menjadi trigger utama penyebab
tumbuhnya permukiman
2. Pertumbuhan permukiman cepat tumbuh akan berdampak pada permukiman
disekitarnya. Rekomendasi studi lanjutan yang dapat dilakukan adalah terkait
dampak yang ditimbulkan oleh Desa Bondoyudo (permukiman cepat tumbuh) pada
wilayah permukiman disekitarnya.

178
DAFTAR PUSTAKA
Badan standarisasi Nasional. (2002). SNI 19-6728.1-2002 (Penyusunan Neraca
Sumber Daya- Bagian 1 : Sumber Daya Air Spasial).

Badan standarisasi Nasional. (2004). SNI 03-1733.2004 (Tata Cara Perencanaan


Lingkungan Perumahan di Perkotaan).

Bintarto,R. (1983). Interaksi Desa- Kota. Jakarta: Ghalia Indonesia.


Darjosanjoto, Endang T.S. (2006). Penelitian Arsitektur di Bidang Perumahan
dan Permukiman. Surabaya, ITS press.
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang. (2007).
Menteri Pekerjaan Umum No.41/PRT/M/2007 (Pedoman Kriteria Teknis
Kawasan Budi Daya). Indonesia
Dewi, Risna. (2010). Pengembangan Konsep Pemukiman Berkelanjutan (Studi
Kasus di Pemukiman Kumuh Kecamatan Banda Sakti Kota
Lhokseumawe). Program studi magister studi pembangunan Fakultas
ilmu sosial dan ilmu politik Universitas sumatera utara : Medan
Djajadinigrat. (2001), Untuk Generasi Masa Depan: “Pemikiran, Tantangan dan
Permasalah Lingkungan, ITB.
Doxiadis, C. A. (1976). Ekistic Elements, Action for Human Settlements: 11-27.
Farid, Khalid. (2011). Urban sprawl Vs urban renewal: What role for Town and
Country planning instruments in ensuring sustainable cities? Case of
Algeria. International Conference on Green Buildings and Sustainable
Cities : Science Direct
Farida, K. (2011). Urban sprawl Vs urban renewal: What role for Town and
Country planning instruments in ensuring sustainable cities? Case of
Algeria International Conference on Green Buildings and Sustainable
Cities: 760 – 766.
Habibi, S. (2011). Causes, results and methods of controlling urban sprawl.
International Conference on Green Buildings and Sustainable Cities :
Science Direct
Hakim, Ikhwan. (2010). Struktur Ruang dan isu Keberlanjutan Perkotaan di
Jabodetabek.JURNAL perencanaan pembangunan edisi 1.
Habitat, U. (2012). Sustainable Housing For Sustainable Cities : A Policy
Framework For Developing Countries. Naerobi, Kenya, United Nations
Human Settlements Programme.
IUCN. (2006). The Future of Sustainability: Re-thinking Environment and
Development in the Twenty-first Century. Report of the IUCN Renowned
Thinkers Meeting, 29-31 January 2006. www.iucn.org
Jabbareen. (2006). Sustainable Urban Forms, Their Typologies, Models, and
Concepts. Journal of Planning Education and Research.

179
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001.
(2001). Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang
Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman Dan Pekerjaan Umum.
Kountur, R. ( 2005). Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis.
Jakarta : Penerbit PPM.
Marimin (2004). Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria
Majemuk. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. .
Mahriyana, Muhammad. Dkk. (2013). The Compact City Concept in Creating
Resilient City and Transportation System in Surabaya. Jurnal Procedia -
Social and Behavioral Sciences 135 ( 2014 ) 41 – 49 : Science Direct.
Menshawy. Adel El. (2011). Sustainable upgrading of informal settlements in the
developing world, case study: Ezzbet Abd El Meniem Riyadh,
Alexandria, Egypt.International Conference on Green Buildings and
Sustainable Cities : Science Direct
Moitra, M. K. (1991). "Environmental improvement of slums The Calcutta
experience." pergamon press Vol 26 (Building and Environment): 253-
257.
Nielsen, M. (2010). Predicted effects of residential development on a northern
Idaho landscape under alternative growth management and land
protection policies. Landscape and Urban Planning 94: 255–263.
Paliodoro, Maurico. De lolo, Jose Augusto. And Barros, Vizintim Fernandes.
(2011). Environmental Impacts of Urban Sprawl in Londrina, Paraná,
Brazil. Journal of Urban and Environmental Engineering, v.5, n.2, p. 73-
83. ISSN 1982-3932
PERMENPERA. (2008). Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Jakarta
Pontoh, N. K. (2009). Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: ITB.
Pridaningrum, Aprilia. (2014). Implikasi perkembangan perumahan sederhana
pada Urban fringe area (studi kasus : kecamatan menganti, gresik).
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX
Pyla, P. I. (1991). ekistic and modernism in the middle east. Architecture,
Mashacussets Institute Of Technology.
Quarterly, T. (1963) ekistic and traffic. 439-457
Rahardjo. (1982). Perkembangan Kota dan Beberapa Permasalahannya.
Yogyakarta. UGM Press.
Rapoport, Amos, (1969), House, Form and Culture. Prentice Hall, Englewood
Cliffs, New York.
Ramadhany, Weni (2012). Permukiman Kota. Diakses pada
http://wenyra.blogspot.co.id
Salvatia, L. (2012). Low-density settlements and land use changes in a
Mediterranean urban region. Landscape and Urban Planning vol 105.

180
Sastra, M, Suparsono dan Marlina, Endy. (2006). Perencanaan dan
Pengembangan Perumahan.Yongyakarta: Penerbit Andi
Septanaya, I. D. M. F. (2012). Model Perkembangan Perumahan di Wilayah Peri
Urban Kota Surabaya (Studi Kasus : Kabupaten Sidoarjo).JURNAL
TEKNIK POMITS 1.
Serlin, M.A. dkk. (2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Masyarakat dalam
Memilih Lokasi Hunian Peri Urban Surabaya di Sidoarjo. Jurnal Teknik
Pomits Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539.
Sharifia, A. (2014). Can master planning control and regulate urban growth in
Vientiane, Laos?. Landscape and Urban Planning: 1-13.
Silas, J. (1985). Perumahan dan Permukiman. Surabaya, Jurusan Arsitektur,
FTSP-ITS.
Soedarsono.(1986). Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Bandung: ITB
Soefaat. (1997). Kamus Tata Ruang, Direktorat Jenderl Cipta Karya Departemen
Pekerjaan Umum & Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Edisi I
STT Telkom-Bandung. (2006). Pengenalan Teknik Telekomunikasi (Modul-11
Kuliah Sistem Komunikasi Bergerak). Bandung.
Sugiyono (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Turner, John. (1976). Housing By People: Towards Autonomy in Buildings
Environtment: Pantheon Books. New York
Turner, John. (1972). Freedom to Build : Dweller Control of The Housing
Process. The Mc Millian Company, New York.
Wassmer, Robert W. (2002). An Economic Perspective On Urban Sprawl.
California State University, Sacramento
Widyo, Wiwik W. (2012). Pembangunan Berkelanjutan Pada Permukiman di
Kawasan Industri Studi Kasus : Daerah Perbatasan Surabaya –
Mojokerto. Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan : Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Wilson, Bev. Chakraborty, Arnab. (2013). The Environmental Impacts of Sprawl:
Emergent Themes from the Past Decade of Planning Research.
Department of Urban and Regional Planning, University of Illinois at
Urbana-Champaign
Yunus, H. S. (2010). Struktur Tata Ruang Kota. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Zahnd, M. (1999). Perancangan kota secara terpadu : teori peracangan kota dan
penerapannya. Yogyakarta: Kanisius.

Buku Data
Badan Perencanaan dan pembangunan Daerah. (2008). Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Lumajang. BAPPEDA. Lumajang.
Badan Perencanaan dan pembangunan Daerah. (2015). Rencana detail Tata
Ruang Kota Kecamatan Lumajang dan Sukodono. BAPPEDA.
Lumajang.

181
Badan Perencanaan dan pembangunan Daerah. (2015). Rencana detail Tata
Ruang Kota Kecamatan Sumbersuko. BAPPEDA. Lumajang.
Badan Perencanaan dan pembangunan Daerah. (2015). Rencana detail Tata
Ruang Kota Kecamatan Tekung. BAPPEDA. Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Daerah Kecamatan Lumajang. BPS.
Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Daerah Kecamatan Sukodono. BPS.
Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Daerah Kecamatan Tekung. BPS.
Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Daerah Kecamatan Padang. BPS.
Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Daerah Kecamatan Sumbersuko. BPS.
Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Daerah Kabupaten Lumajang. BPS.
Lumajang
Badan Pusat Statistik. (2014). Kecamatan Lumajang Dalam Angka. BPS.
Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2014). Kecamatan Sukodono Dalam Angka . BPS.
Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2014). Kecamatan Tekung Dalam Angka. BPS. Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2014). Kecamatan Padang Dalam Angka. BPS. Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2014). Kecamatan Sumbersuko Dalam Angka. BPS.
Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Kecamatan Lumajang Dalam Angka. BPS.
Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Kecamatan Sukodono Dalam Angka . BPS.
Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Kecamatan Tekung Dalam Angka. BPS. Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Kecamatan Padang Dalam Angka. BPS. Lumajang.
Badan Pusat Statistik. (2015). Kecamatan Sumbersuko Dalam Angka. BPS.
Lumajang.

Artikel dari internet


Suarasurabaya.net.(2012). Cegah Penyusutan Lahan Pertanian, Distan Siapkan
Regulasi. www.Suarasurabaya.net

182
Nama Personil : IVAN AGUSTA FARIZKHA, ST.
Tempat / Tanggal : Lumajang, 17 Agustus 1990
Lahir
Agama : Islam Ikatan
Organisasi Ahli Perencanaan (IAP)
Himpunan Perencana Pesisir HAPPI
Email : ivanagustafariska@gmail.com

Pendidikan Formal :
1998-2003 : SDN Citrodiwangsan 02 Lumajang
2003-2006 : SMP Negeri 1 Lumajang
2006-2009 : SMA Negeri 02 Lumajang
2009-2013 : S1 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi
Sepuluh Nopember Surabaya
2014-2016 : S2 Perumahan dan Permukiman Jurusan Arsitektur Institut Teknologi
Sepuluh Nopember Surabaya

Publikasi - Seminar :
“Keterkaitan Sektoral di Kabupaten Lumajang”- JURNAL TEKNIK POMITS
Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539

“Dynamic Ekistics; An Adapted Method Developed for Lamongan Coastal


Settlements Study” ICSBE- Third International Conference On sustainable Built
Environment.

“Effect of Real Estate Development on Urban Environment Based on


Sustainability” - International Knowledge Sharing Platform.

“Identification a residential Fast Growing and Causative factor (case Study :


Urban Settlement in Lumajang city, East Java” – International Journal Of
Enggineering Research and Technology
“halama ini sengaja dikosongkan”

Anda mungkin juga menyukai