2704 4769 1 SM
2704 4769 1 SM
2704 4769 1 SM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep
matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendektan problem
posing, mengetahui peningkatan pemahaman konsep matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran langsung, dan mengetahui perbandingan peningkatan
pemahaman konsep matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan problem posing dan pembelajaran langsung. Penelitian ini
menggunakan metode eksperimen kuasi, desain penelitiannya menggunakan
nonequivalent control group design dengan sampel siswa kelas IV SD di
Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa
dengan menggunakan pendekatan problem posing pemahaman konsep
matematika siswa kelas IV SD meningkat, dengan menggunakan model
pembelajaran langsung pemahaman konsep matematika siswa kelas IV SD
meningkat, peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan problem posing
lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran langsung.
A. PENDAHULUAN
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, baik aspek terapannya maupun
aspek penalarannya, mempunyai peranan penting dalam upaya penguasaan ilmu
dan teknologi. Matematika juga dapat digunakan untuk bekal terjun dan
bersosialisasi di masyarakat. Misalnya orang yang telah mempelajari matematika
diharapkan bisa menyerap informasi secara lebih rasional dan berpikir secara logis
dalam menghadapi situasi di masyarakat. Oleh karena itu matematika perlu
diajarkan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari SD sampai perguruan tinggi.
Tujuan pendidikan matematika secara nasional menggambarkan
pentingnya pelajaran matematika mulai dari SD sampai sekolah menengah
sebagaimana tercantum dalam kurikulum 2006 yaitu; (1) memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep
atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah,
(2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi, menyusun
bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4)
1
Mahasiswa S2 Pendidikan Dasar Universitas Pendidikan Indonesia
mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah, (5) memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah (Depdiknas, 2006).
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu proses pembelajaran yang efektif
dan efisien. Proses pembelajaran merupakan sebuah kegiatan di mana terjadi
penyampaian materi pembelajaran dari seorang guru kepada para siswa yang
dimilikinya. Interaksi antara guru dan siswa merupakan cara utama untuk
kelangsungan proses pembelajaran. Keberhasilan guru dalam proses pembelajaran
dapat dilihat pada proses akhir pembelajaran yang mengarah pada hasil belajar
siswa.
Pembelajaran matematika di SD merupakan dasar bagi penerapan konsep
matematika pada jenjang selanjutnya. Oleh karena itu, seharusnya dalam
pelaksanaan pembelajaran matematika di SD mampu menata dan meletakkan
dasar pengetahuan matematika siswa yang dapat membantu memperjelas
penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari dan kemampuan
berkomunikasi dengan bilangan dan simbol-simbol, serta lebih mengembangkan
sikap logis, kritis, cermat, disiplin, terbuka, optimis, dan menghargai matematika.
Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran matematika SD di
Indonesia dewasa ini adalah masih rendahnya pemahaman konsep matematika.
Agar pemahaman konsep siswa meningkat perlu adanya perbaikan dalam proses
pembelajaran. Menurut Ruseffendi (2006, hlm. 328), selama ini matematika yang
dipelajari siswa di sekolah diperoleh melalui pemberitahuan (dengan cara
ceramah/eskpositori), bacaan, meniru, melihat, mangamati dan sebagainya, bukan
diperoleh melalui penemuan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya berbagai
kesalahan siswa dalam memahami konsep matematika. Salah satu kesalahan siswa
adalah siswa lupa (keliru) menggunakan rumus yang akan digunakan dalam
menyelesaikan masalah. Lebih lanjut kesalahan disebabkan karena kecenderungan
siswa yang hanya menghapal rumus, bukan memahami bagaimana rumus itu
terjadi, sehingga apa yang dipelajarinya mudah terlupakan. Hal ini dapat terjadi
karena pembelajaran tidak mendorong siswa untuk memahami konsep
matematika.
Pemahaman konsep merupakan kecakapan yang paling dasar dalam
matematika. Kilpatrick (dalam Noperlinda, 2010, hlm. 4) menyatakan kecakapan
ini sangat mempengaruhi kecakapan-kecakapan matematika yang lain. Dengan
kata lain kemampuan pemahaman konsep matematika akan mempengaruhi
kualitas belajar siswa dan pada akhirnya mempengaruhi prestasi belajar
matematika siswa secara keseluruhan. Seorang siswa tidak akan mampu
menyelesaikan suatu permasalahan sesuai dengan prosedurnya jika ia tidak
memiliki pemahaman konsep yang baik. Begitu juga halnya dalam
mengembangkan komponen kompetensi strategik dan penalaran adaptifnya. Jika
tingkat pemahaman konsepnya masih rendah, siswa tidak akan mampu
mengembangkan komponen-komponen tersebut. Oleh karena itu menumbuhkan
dan mengembangkan pemahaman konsep sangat penting bagi siswa, terutama
bagi siswa SD.
Mengingat peranan pemahaman konsep matematika sangat penting dalam
proses peningkatan kemampuan berpikir matematika, maka upaya peningkatan
pemahaman konsep matematika pada siswa SD memerlukan perhatian yang
serius. Upaya ini menjadi sangat penting mengingat beberapa penelitian yang
menerangkan bahwa hasil pembelajaran matematika di sekolah belum
menunjukkan hasil yang memuaskan (Djazuli, 1999). Rendahnya hasil yang
dicapai dalam evaluasi nasional matematika ini, menunjukkan bahwa kualitas
pemahaman siswa dalam matematika masih relatif rendah. Pemahaman dalam
matematika sudah sejak lama menjadi isu penting. Tidak sedikit hasil riset dan
pengkajian dalam pembelajaran matematika berkonsentrasi dan berupaya
menggapai pemahaman, namun sudah diyakini oleh kebanyakan bahwa untuk
mencapai pemahaman dan pemaknaan matematika tidak segampang membalik
telapak tangan.
Selain itu berdasarkan penelitian Syafrianto (2014) menyatakan bahwa
kemampuan pemahaman konsep matematis siswa SD masih berada pada
kualifikasi kurang. Dan sebagian besar guru banyak yang mengeluhkan
rendahnya kemampuan siswa dalam memahami materi yang diajarkan. Pada
mulanya siswa menyenangi pelajaran matematika, hal ini terlihat ketika siswa
masih berada di kelas rendah dan mereka menganggap matematika itu mudah,
namun semakin lama mereka merasa semakin tidak menyenangi bahkan takut
karena merasa kesulitan dan tidak memahami cara menyelesaikan tugas-tugas.
Dari fakta tersebut peneliti merasa perlu untuk mengembangkan kemampuan
pemahaman konsep matematika bagi siswa SD.
Kondisi seperti ini perlu pengkajian lebih lanjut berkaitan dengan
penggunaan pendekatan pembelajaran. Salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah menekankan pengembangan kemampuan siswa dalam membentuk soal/
membuat pertanyaan (problem posing). Problem posing merupakan salah satu inti
kegiatan matematika sehingga merupakan komponen yang sangat penting dalam
kurikulum matematika yang dinyatakan oleh English (1998, hlm.83): “It is well
recognized that problem posing is an important component of the mathematics
curriculum and, indeed, lies at the heart of mathematical activity.”
Rekomendasi tersebut menunjukkan bahwa problem posing merupakan
suatu aktivitas dalam pembelajaran matematika yang dapat mengembangkan
kemampuan matematika siswa, karena dalam pembelajaran problem posing, siswa
baik secara individu maupun kelompok akan mendapat pengalaman langsung
untuk mengajukan masalahnya sendiri.
Dalam kegiatan pembelajaran problem posing, siswa dibimbing untuk
merumuskan atau mengajukan masalah atau pertanyaan berdasarkan situasi yang
diberikan oleh guru. Dalam merumuskan suatu masalah, siswa harus berpikir dan
bernalar, menciptakan dan mengkomunikasikan ide-ide matematis, bekerja sama
dan beragumen dalam merumuskan dan menyelesaikan soal dengan temannya,
menggunakan informasi yang tersedia untuk menyelesaikan masalah serta
memikirkan cara yang paling tepat dan masuk akal untuk menyelesaikan masalah
yang telah dirumuskan.
Selain itu, problem posing memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
siswa untuk merekonstruksi pikirannya dalam membentuk soal atau membuat
pertanyaan. Kegiatan ini memungkinkan siswa untuk melakukan kegiatan yang
lebih bermakna sesuai dengan schemata yang dimiliki siswa (Hudoyo, 1988, hlm.
5).
Belajar dengan problem posing mengandung arti bahwa siswa diajar untuk
membuat masalah sendiri sesuai dengan situasi yang ada. Persoalan seperti ini
tidak mudah bagi siswa karena dalam membentuk masalah siswa harus
memikirkan, menceritakan ide-idenya dalam bentuk masalah sampai kepada taraf
pengungkapan melalui kegiatan diskusi secara klasikal. Pengungkapan atau
komentar siswa setiap proses pembelajaran terhadap masalah yang dirumuskan
sendiri dapat meningkatkan hasil belajar dan semakin terlatih keterampilan
berpikir untuk memahami konsep yang dipelajari.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melaksanakan
penelitian dengan judul “Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Siswa
SD Melalui Pembelajaran Dengan Pendekatan Problem Posing”.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah kuasi eksperimen, menggunakan dua kelompok
subjek penelitian yaitu kelompok eksperimen yang diberikan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan problem posing dan kelompok kontrol yang
diberikan pembelajaran dengan model pembelajaran langsung. Kedua kelompok
ini akan diberikan pretes dan postes dengan menggunakan instrumen yang sama.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretes-postes
Nonequivalent control group design.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD di
Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur tahun ajaran 2014/2015. Sampel dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV dari 2 sekolah di Kecamatan Cibeber
yang diambil secara acak. Selanjutnya dari 2 sekolah ini ditetapkan seluruh siswa
kelas IV dari satu sekolah sebagai kelompok eksperimen, sedangkan satu sekolah
yang lain sebagai kelompok kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan problem posing,
sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok siswa yang memperoleh model
pembelajaran langsung .
Data dalam penelitian ini menggunakan instrumen tes (pretes-postes).
Instrumen tes terdiri dari seperangkat soal uraian untuk mengukur kemampuan
pemahaman konsep matematika. Tes pemahaman konsep matematika digunakan
untuk mengukur kemampuan penguasaan konsep matematika siswa secara
menyeluruh terhadap materi yang disampaikan setelah kedua kelompok mendapat
pembelajaran.
Data yang sudah dikumpulkan, selanjutnya diolah dan dianalisis. Data
dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan uji statistik adalah kemampuan
pemahaman konsep matematika. Skor kemampuan pemahaman konsep dalam
bentuk interval, maka dapat langsung dihitung gain ternormalisasi, uji prasyarat
hipotesis dan uji hipotesis. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software
SPSS 16 dan Microsoft Excel 2007.
Data-data kuantitatif yang diperoleh adalah dalam bentuk data pretes,
postes, dan N-gain. Data hasil pretes, postes dan n-gain diolah dengan
menggunakan bantuan software SPSS 16. Berikut ini tahapan pengolahan data
kuantitatif tes kemampuan pemahaman konsep matematika; a) Uji Normalisasi,
dilakukan untuk menentukan apakah data yang didapat berdistribusi normal atau
tidak. Uji normalitas ini dilakukan terhadap data pretes dan data postes dari dua
kelompok siswa (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol). Perhitungannya
dengan menggunakan SPSS for windows 16.0 melalui uji Shapiro-Wilk. Dengan
kriteria pengujian adalah terima H0 jika Sig. 0,05 dan tolak H0 apabila Sig.<0,05
dengan taraf signifikansi (α = 0,05). Jika kedua data berasal dari distribusi yang
normal, maka dilanjutkan dengan uji homogenitas. Sedangkan jika hasil pengujian
menunjukkan bahwa sebaran dari salah satu atau semua data tidak berdistribusi
normal, maka pengujian hipotesis dilanjutkan dengan statistika non parametrik,
yaitu dengan menggunakan uji Mann-Whitney. b) Uji homogenitas, bertujuan
untuk mengetahui kedua kelompok sampel mempunyai varians yang homogen
atau tidak. Kriteria pengujiannya adalah terima H0 apabila Sig. Based on Mean >
taraf signifikansi (α = 0,05). Jika data berdistribusi normal dan homogen, maka uji
beda yang digunakan adalah uji t, dengan kriteria pengujian adalah tolak H0 jika t
hitung > t tabel, dengan kata lain diterima. Jika data berdistribusi normal tetapi tidak
homogen maka digunakan uji t’, sedangkan jika datanya tidak memenuhi kriteria
normal, maka uji statistik yang digunakan adalah dengan pengujian
nonparametrik, dan c) Uji perbedaan dua rata-rata, dilakukan pada data pretes dan
data postes atau data n-gain. Jika hasil data pretes menunjukkan bahwa kedua
kelompok sama, maka untuk melihat bagaimana pencapaian kemampuan
pemahaman konsep dilakukan uji perbedaan dua rata-rata terhadap data postes,
sedangkan untuk melihat bagaimana peningkatan kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa maka dilakukan uji perbedaan dua rata-rata terhadap data n-
gain.
D. PEMBAHASAN
Berdasarkan uji statistik data kemampuan pemahaman konsep matematika
siswa dapat disimpulkan bahwa pencapaian kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa kelompok eksperimen lebih baik daripada siswa kelompok
kontrol, sedangkan pada peningkatan kemampuan pemahaman konsep
matematika secara data desktiptif diperoleh rata-rata n-gain kelompok eksperimen
lebih tinggi daripada kelompok kontrol.
Oleh karena itu pembelajaran dengan pendekatan problem posing
menunjukkan peran yang cukup berarti dalam meningkatkan kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa. Beberapa hal atau alasan yang
menyebabkan kemampuan pemahaman konsep kelompok eksperimen relatif lebih
baik dibandingkan dengan kelompok kontrol, diantaranya yaitu sesuai dengan
tahapan dalam pembelajaran dengan pendekatan problem posing yaitu accepting
(menerima) dan challenging (menantang). Tahap menerima adalah suatu kegiatan
ketika siswa menerima situasi-situasi yang diberikan guru atau situasi-situasi yang
sudah ditentukan, dan tahap menantang adalah suatu kegiatan ketika siswa
menantang situasi tersebut dengan membuat pertanyaan (Brown dan Walter, 1990,
hlm. 15). Selain itu dalam kelompok eksperimen diberikan Lembar Kerja Siswa
(LKS) dan lembar problem posing. LKS ini berfungsi untuk memfasilitasi siswa
membangun pengetahuan dan pemahamannya berdasarkan pengalaman belajar
mereka sendiri.
Belajar dengan problem posing mengandung arti bahwa siswa diajar untuk
membuat masalah sendiri sesuai dengan situasi yang ada. Persoalan seperti ini
tidak mudah bagi siswa karena dalam membentuk masalah siswa harus
memikirkan, menceritakan ide-idenya dalam bentuk masalah sampai kepada taraf
pengungkapan melalui kegiatan diskusi secara klasikal. Pengungkapan atau
komentar siswa setiap proses pembelajaran terhadap masalah yang dirumuskan
sendiri dapat meningkatkan hasil belajar dan semakin terlatih keterampilan
berpikir untuk memahami konsep yang dipelajari.
Sutawidjaja dan Dahlan (dalam Trisnawati, 2014, hlm. 20) menyatakan
bahwa problem posing memuat lebih dari suatu teknik pembelajaran berpikir
kritis; ini merupakan filosofis, suatu cara berpikir tentang siswa dan kemampuan
mereka untuk berpikir dengan kritis dan merefleksi secara analitis kehidupan
mereka. Auerbach (Trisnawati, 2014, hlm. 20) menetapkan lima langkah dalam
mengimplementasikan pendekatan problem posing, yaitu gambarkan situasi
(describethe content), rumuskan masalah (define the problem), pikirkan dan
rasakan adanya masalah (personalize the problem), diskusikan masalah (discuss
the problem), dan diskusikan beberapa alternatif pemecahan (discuss alternatives
to the problem).
Suryanto (1998, hlm. 3) menyatakan bahwa problem posing merupakan
salah satu alternatif pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan
berpikir kreatif dan bernalar matematis. Ada tujuh sistem kerja berpikir matematis
atau pola pikir matematis, yaitu; (1) memahami, (2) keluar dari kemacetan, (3)
mengidentifikasi kekeliruan, (4) meminimumkan pekerjaan berhitung dan
menulis, (5) tekun, (6) siap mencari jalan lain, dan (7) merumuskan soal/problem
posing. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan problem posing tidak
hanya mampu meningkatkan kemampuan matematika secara umun, dan dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan bernalar matematis, tetapi juga
dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa.
Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan yaitu dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing pemahaman konsep
matematika siswa kelas IV SD meningkat, dengan menggunakan model
pembelajaran langsung (direct instruction) pemahaman konsep matematika siswa
kelas IV meningkat, dan peningkatan kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan problem posing lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, S.I. dan walter, M.I. (1990). The art of problem posing (second edition).
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers
Depdiknas. (2003). Pedoman khusus pengembangan sistem penilaian berbasis
kompetensi SMP. Jakarta: Depdiknas.
Hudoyo, H. (1988). Mengajar belajar matematika. Jakarta: Depdikbud.
Noperlinda. (2010). Penerapan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan
pemahaman konsep (conceptual understanding) dan disposisi matematik
(mathematical disposition) siswa sekolah dasar. (Tesis). Sekolah
Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar penelitian pendidikan dan bidang non-
eksakta lainnya. Bandung: Tarsito.
Suryanto. (1998) Pembentukan soal dalam pembelajaran matematika. Makalah
pada Seminar Nasional Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan
Matematika dalam Menghadapi Era Globalisasi, Malang.
Syafrianto. (2014). Peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran
matematika serta kebiasaan berfikir (habits of mind) siswa SMP melalui
model pembelajaran kooperatif tipe make a match. (Tesis). Sekolah
Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.