Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Skeneri Panggung Lagi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

UJIAN AKHIR SEMESTER

SKENERI PANGGUNG
RESENSI PERTUNJUKAN TEATER BEL DALAM FESTIVAL TEATER WAHYU SIHOMBING

Dibuat oleh:

Rezky Awaluddin Nursaid


2130950020

Dosen Pembimbing:

Sonny Sumarsono
MUSUH MASYARAKAT
Setiap orang tentu banyak yang bertanya-tanya tentang gambaran utuh
bagaimana bila kita punya prinsip dan pendapat yang berbeda dengan orang pada
umumnya. Akankah kita menjadi objek bully? Ataukah kita menjadi panutan bagi
banyak orang? Atau bahkan lebih buruk? Tentu kita semua memiliki kekhawatiran
akan hal tersebut. Kehidupan dengan berbagai macam aspek di dalamnya telah
mengendap berkarat dalam historikal periodisasi umat manusia, kekhawatiran tersebut
berkecambah atas nama usia, latar belakang kehidupan, jabatan, harkat juga martabat.
Pola pemikiran tersebut secara dasar garis laku dapat kita telaah dari usaha setiap
manusia yang terus memotivasi diri mereka sendiri untuk menjadi pribadi yang “hari
ini harus lebih baik dari hari kemarin”. Kekhawatiran tersebut terus ber – evolusi dari
hari ke hari dalam bentuk dan sistem yang berbeda. Perlahan berkembang yang
tadinya hanya mengkhawatirkan bagaimana pendapat orang sampai akhirnya menjadi
ancaman bagi keluarga sendiri.

Ialah Teater Bel salah satu grup teater yang menjadi peserta dalam Festival
Teater Wahyu Sihombing yang pertama. Ini menjadi sebuah pilihan yang cukup
menarik diantara semakin langkanya apresiasi terhadap keberlangsungan seni
pertunjukan di negeri ini. Melalui garapan Sutradara Yusef Muldiyana, Teater Bel
mengungkapkan kekhawatirannya akan menjadi “berbeda” melalui pementasannya
yang berjudul “Musuh Masyarakat” karya dramawan Norwegia, Henrik Ibsen
terjemahan Asrul Sani. Sutradara meyakini bahwa kekhawatiran ini bukanlah
miliknya semata, sebab semua orang tentu pernah bahkan sering mengalaminya juga.
Karya ini berbicara spesifik tentang ketakutan manusia pada sebuah peradaban dan
perubahan yang menceritakan perjuangan seorang pria menghadapi kontradiksi
masyarakat modern.

Cerita klasik abad 19 ini bercerita tentang berbagai masalah kehidupan


perkotaan baru - korupsi yang merajalela, pembangunan tanpa izin dan saluran
pembuangan yang tidak memiliki perencanaan yang matang. Drama ini mengambil
setting di tahun 1800-an, menceritakan beberapa orang di tempat dan latar belakang
berbeda yang berusaha membantu masyarakat dengan membagikan informasi fakta,
namun malah dikucilkan masyarakat dan dimusuhi. Drama tragedi modern ini
sayangnya tidak diadaptasi ke dalam konteks masyarakat Indonesia kini yang sudah
berkembang dengan kompleksitas jauh dari zaman penulis hidup, namun inti cerita
atau pesan yang ingin disampaikan masih serupa, yakni, kebenaran atau fakta nyaris
selalu dikalahkan oleh kemunafikan, kebodohan, keserakahan, dan kebiasaan korupsi
yang telanjur dianggap sebagai kewajaran dan "kebenaran" kolektif. 

Henrik Ibsen dikenal sebagai “Bapak Realisme,” karena ia adalah pelopor


teater yang cerita dan pementasannya “seperti kenyataan.” Ibsen sendiri adalah
subversif pada zamannya. Karena ketika kebanyakan pementasan memainkan naskah-
naskah puitis dan simbolik, romantis, dengan banyak bumbu-bumbu puisi dan akting
mekanis, Ibsen adalah orang pertama yang berhasil membuat penonton percaya
bahwa yang terjadi di panggung adalah kenyataan. Nasib orang memang tiada yang
tahu, 111 tahun setelah kematiannya, di sebuah negeri bernama Indonesia, ada orang-
orang ‘profesional’ yang dengan sukses membuat pementasan Ibsen menjadi…
surreal? Simbolik? Aih, sulit untuk mencari kata yang tepat. Lebih baik saya ceritakan
saja.

Akting Realis

Secara keseluruhan permainan yang disuguhkan sebenarnya sudah memiliki


konteks yang sangat jelas. Hanya saja dibeberapa bagian permainannya dirasa kurang
berhasil untuk membuat cerita ini hidup. Terkadang, para pemain hanya terlihat
seperti sedang membaca naskah kepada para penonton tanpa ‘memiliki’ kata-kata
dalam naskah tersebut. Juga dalam memainkan perannya masing-masing, terkadang
mereka asik dengan dirinya sendiri-sendiri tanpa adanya kerjasama yang baik antar
pemain. Hal ini menyebabkan tempo pementasan terasa sangat lambat dan membuat
penonton mengantuk. Hal itu juga berpengaruh pada pengembangan konflik yang ada
di cerita. Karena hal tersebut, konflik di dalam cerita tidak greget dan
terlihat plain saja. Contoh besarnya bisa dilihat di babak kedua ketika walikota dan
dokter sedang berdebat. Adegan itu seharusnya menjadi titik awal konflik yang akan
membuat cerita menarik. Namun, permainan dari para aktor yang terlibat di babak
tersebut tidak berhasil untuk membuat konflik tersebut naik sampai akhir cerita.
Sehingga, cerita yang bagus ini pun harus menjadi korbannya.

Kemudian, dari sisi teknis keaktorannya, masih ada kekurangan yang harus
diperbaiki, salah satunya adalah sisi suara. Walaupun sudah menggunakan condensor,
suara pemain seringkali terdengar tidak jelas, terutama di adegan pembuka. Saya
penasaran apa yang mereka lakukan dalam persiapan beberapa bulan belakangan ini.
Seharusnya, itu merupakan waktu yang cukup untuk melatih suara, artikulasi, intonasi
dan lain-lain. Selain dari level kejelasan suara yang mungkin terpengaruh oleh kondisi
akustik gedung yang sangat minim, ada juga kekurangan dari segi intonasi dan
artikulasi. Ada banyak dialog yang diucapkan datar-datar saja tanpa ada penekanan
khusus untuk menekankan arti dialog tersebut. Padahal, kalau saja intonasinya
dimainkan, akan membantu para pemain untuk menaikkan konflik cerita. Lalu, dalam
segi artikulasi, satu catatan besar saya berikan kepada pemeran Dokter. Jika
dibandingkan dengan aktor yang lain dalam segi acting, dia favorit saya di
pementasan itu. Tapi, artikulasi dan tempo dia ketika berdialog seringkali tidak jelas
dan lama. Secara umum, dari segi suara, intonasi, dan artikulasi, para pemain belum
cukup berhasil untuk membuat penonton, khususnya yang di belakang, merasa puas
untuk mendengar mereka.

Namun, blocking yang diperlihatkan para pemain justru terkesan sangat menguasai


panggung dengan baik. Eksplorasi panggung sangat dibutuhkan untuk
memperlihatkan dinamika yang menarik di atas panggung. Para pemain tampak
seperti tak malu-malu untuk bergerak. Sehingga, blocking yang diperlihatkan begitu
dinamis. Panggung memang mestinya jadi kenyataan dalam cerita—sesuatu yang
sangat beresiko dalam membawakan drama realisme dimana pemain bahkan
penontonpun harus dibuat lupa bahwa itu panggung, dan terbawa dalam dramanya.

Artistik

Di bagian artistik panggung, saya sebenarnya suka dengan konsep setting


semi-efisien yang digunakan pada pementasan. Seandainya ini bukan Ibsen. Karena
hal tersebut justru malah menghilangkan sisi realis dari pementasan Ibsen. Hal itu
disebabkan karena kurangnya detil yang digunakan untuk mengisi kekosongan setting
rumah dan kantor. Detil yang saya maksud misalnya seperti perabotan rumah tangga.
Meskipun terlihat cukup, namun dengan penafsiran tahun, kondisi cerita dan tokoh
dalam naskah yang masih membawa gaya eropa, kesan realisnya jadi dipertanyakan.

Salah satu bagian set yang memberi tanda tanya besar pada catatan saya ialah posisi
beberapa jendela yang dipasang di atas dinding. Saya tidak tahu apakah itu
dimaksudkan untuk menjadi simbol kemegahan (dua lantai) atau semacamnya.
Namun jika memang benar kenapa posisi jendela-jendela tersebut tidak rapih dan
sama dengan jendela pada lantai dasar? Kondisi set juga dibuat dengan komposisi
yang terkesan timpang.

Masalah lain adalah penggunaan taplak meja dengan motif batik padahal ini di eropa.
Hal itu juga yang menjadi indikator hancurnya realisme terhadap cerita ini dan
membuat saya salah focus. Untuk lampu kalau menurut saya, dengan memainkan
lampu untuk menjadi penanda siang, sore, atau malam, akan lebih baik. Karena dalam
pementasan ini selain pencahayaannya kurang merata, justru banyak yang
menimbulkan efek bias.

Musik

Musik di panggung realisme mungkin adalah hal yang paling tidak realis.
Karena dalam kenyataan interaksi hidup kita sehari-hari, tidak ada musiknya. Tapi
realisme adalah karya seni, bukan kenyataan. Realisme menghadirkan kenyataan
lewat ide, konsep, rasa, dan ingatan. Seperti yang dikatakan oleh dramawan realis
Amerika, Tennesse William, “Dalam ingatan, semua kejadian ada musiknya.” Musik
bisa membuat keadaan membosankan menjadi dramatis, seperti ketika kita pakai
earphone sambil mendengarkan progrock di dalam kelas yang diajar dosen
membosankan.

Musik yang digunakan sebenarnya cocok dengan pementasannya dan ini bisa dilihat
dari menyambungnya adegan dan suasana dengan nuansa musik. Namun sekali lagi,
tantangan bermain di gedung dengan kondisi akustik bangunan yang minim juga
posisi pemusik yang tidak di tengah membuat penonton sedikit kesulitan membagi
fokus. Lagipula tidak banyak scoring music yang membantu menjaga dan
meningkatkan tempo. Hal ini juga termasuk cukup fatal, mengingat untuk cerita yang
memiliki dialog panjang, cukup besar kemungkinan untuk terjadinya penurunan
tempo yang tidak disadari oleh pemain.

Keistimewaan

Ketiga poin terhadap Ibsen itu adalah keistimewaan pementasan ini. Ia telah


melanggar beberapa batas-batas realisme, ia berani bereksperimen dengan lampu dan
set untuk membuat Ibsen jadi sedikit tidak realis. Aktor-aktor dan krunya yang
professional pastilah sengaja untuk berakting dengan cara mekanisitis, dengan suara
yang tidak jelas supaya penonton lebih berusaha memakai kupingnya sendiri, dan
professor musik pun sengaja untuk membiarkan pementasanya terjun bebas dalam
absurdisme dan surrealisme ala Menunggu Godot-nya Samuel Beckett, tapi dengan
naskah Ibsen. Sukses besar pementasan ini untuk membuat pencapaian tersebut
sebenarnya seperti banyak teater-teater komunitas dan teater kampus yang tidak
mampu mementaskan drama realis. Tapi teater komunitas dan teater kampus tidak
sengaja, mereka tidak profesional. Yang ini professional! Pasti segaja! Pasti!

Saya termasuk mahasiswa yang bergelut di teater (karena memang jurusan saya
teater), jadi saya tahu kalau ada grup teater yang mementaskan drama Ibsen yang
realis ini, dengan aktor yang terlatih baik, dengan tata panggung dan tata lampu
realisme, dengan scoring musik yang mampu mengaduk aduk perasaan penonton,
menaik turunkan adegan, dan membuat penonton lupa bahwa ini panggung, pasti
kesuksesan itu dianggap tidak sengaja. Tahun 2012, Teater Sastra UI
mementaskan Musuh Masyarakat Henrik Ibsen dengan setia kepada realismenya dan
berhasil mendapatkan rasa itu. Yang surreal menjadi realisme. Yang kurang menjadi
lebih. Dan itu berasal dari teater kampus yang amatir. Pasti kebetulan.

Anda mungkin juga menyukai