Skeneri Panggung Lagi
Skeneri Panggung Lagi
Skeneri Panggung Lagi
SKENERI PANGGUNG
RESENSI PERTUNJUKAN TEATER BEL DALAM FESTIVAL TEATER WAHYU SIHOMBING
Dibuat oleh:
Dosen Pembimbing:
Sonny Sumarsono
MUSUH MASYARAKAT
Setiap orang tentu banyak yang bertanya-tanya tentang gambaran utuh
bagaimana bila kita punya prinsip dan pendapat yang berbeda dengan orang pada
umumnya. Akankah kita menjadi objek bully? Ataukah kita menjadi panutan bagi
banyak orang? Atau bahkan lebih buruk? Tentu kita semua memiliki kekhawatiran
akan hal tersebut. Kehidupan dengan berbagai macam aspek di dalamnya telah
mengendap berkarat dalam historikal periodisasi umat manusia, kekhawatiran tersebut
berkecambah atas nama usia, latar belakang kehidupan, jabatan, harkat juga martabat.
Pola pemikiran tersebut secara dasar garis laku dapat kita telaah dari usaha setiap
manusia yang terus memotivasi diri mereka sendiri untuk menjadi pribadi yang “hari
ini harus lebih baik dari hari kemarin”. Kekhawatiran tersebut terus ber – evolusi dari
hari ke hari dalam bentuk dan sistem yang berbeda. Perlahan berkembang yang
tadinya hanya mengkhawatirkan bagaimana pendapat orang sampai akhirnya menjadi
ancaman bagi keluarga sendiri.
Ialah Teater Bel salah satu grup teater yang menjadi peserta dalam Festival
Teater Wahyu Sihombing yang pertama. Ini menjadi sebuah pilihan yang cukup
menarik diantara semakin langkanya apresiasi terhadap keberlangsungan seni
pertunjukan di negeri ini. Melalui garapan Sutradara Yusef Muldiyana, Teater Bel
mengungkapkan kekhawatirannya akan menjadi “berbeda” melalui pementasannya
yang berjudul “Musuh Masyarakat” karya dramawan Norwegia, Henrik Ibsen
terjemahan Asrul Sani. Sutradara meyakini bahwa kekhawatiran ini bukanlah
miliknya semata, sebab semua orang tentu pernah bahkan sering mengalaminya juga.
Karya ini berbicara spesifik tentang ketakutan manusia pada sebuah peradaban dan
perubahan yang menceritakan perjuangan seorang pria menghadapi kontradiksi
masyarakat modern.
Akting Realis
Kemudian, dari sisi teknis keaktorannya, masih ada kekurangan yang harus
diperbaiki, salah satunya adalah sisi suara. Walaupun sudah menggunakan condensor,
suara pemain seringkali terdengar tidak jelas, terutama di adegan pembuka. Saya
penasaran apa yang mereka lakukan dalam persiapan beberapa bulan belakangan ini.
Seharusnya, itu merupakan waktu yang cukup untuk melatih suara, artikulasi, intonasi
dan lain-lain. Selain dari level kejelasan suara yang mungkin terpengaruh oleh kondisi
akustik gedung yang sangat minim, ada juga kekurangan dari segi intonasi dan
artikulasi. Ada banyak dialog yang diucapkan datar-datar saja tanpa ada penekanan
khusus untuk menekankan arti dialog tersebut. Padahal, kalau saja intonasinya
dimainkan, akan membantu para pemain untuk menaikkan konflik cerita. Lalu, dalam
segi artikulasi, satu catatan besar saya berikan kepada pemeran Dokter. Jika
dibandingkan dengan aktor yang lain dalam segi acting, dia favorit saya di
pementasan itu. Tapi, artikulasi dan tempo dia ketika berdialog seringkali tidak jelas
dan lama. Secara umum, dari segi suara, intonasi, dan artikulasi, para pemain belum
cukup berhasil untuk membuat penonton, khususnya yang di belakang, merasa puas
untuk mendengar mereka.
Artistik
Salah satu bagian set yang memberi tanda tanya besar pada catatan saya ialah posisi
beberapa jendela yang dipasang di atas dinding. Saya tidak tahu apakah itu
dimaksudkan untuk menjadi simbol kemegahan (dua lantai) atau semacamnya.
Namun jika memang benar kenapa posisi jendela-jendela tersebut tidak rapih dan
sama dengan jendela pada lantai dasar? Kondisi set juga dibuat dengan komposisi
yang terkesan timpang.
Masalah lain adalah penggunaan taplak meja dengan motif batik padahal ini di eropa.
Hal itu juga yang menjadi indikator hancurnya realisme terhadap cerita ini dan
membuat saya salah focus. Untuk lampu kalau menurut saya, dengan memainkan
lampu untuk menjadi penanda siang, sore, atau malam, akan lebih baik. Karena dalam
pementasan ini selain pencahayaannya kurang merata, justru banyak yang
menimbulkan efek bias.
Musik
Musik di panggung realisme mungkin adalah hal yang paling tidak realis.
Karena dalam kenyataan interaksi hidup kita sehari-hari, tidak ada musiknya. Tapi
realisme adalah karya seni, bukan kenyataan. Realisme menghadirkan kenyataan
lewat ide, konsep, rasa, dan ingatan. Seperti yang dikatakan oleh dramawan realis
Amerika, Tennesse William, “Dalam ingatan, semua kejadian ada musiknya.” Musik
bisa membuat keadaan membosankan menjadi dramatis, seperti ketika kita pakai
earphone sambil mendengarkan progrock di dalam kelas yang diajar dosen
membosankan.
Musik yang digunakan sebenarnya cocok dengan pementasannya dan ini bisa dilihat
dari menyambungnya adegan dan suasana dengan nuansa musik. Namun sekali lagi,
tantangan bermain di gedung dengan kondisi akustik bangunan yang minim juga
posisi pemusik yang tidak di tengah membuat penonton sedikit kesulitan membagi
fokus. Lagipula tidak banyak scoring music yang membantu menjaga dan
meningkatkan tempo. Hal ini juga termasuk cukup fatal, mengingat untuk cerita yang
memiliki dialog panjang, cukup besar kemungkinan untuk terjadinya penurunan
tempo yang tidak disadari oleh pemain.
Keistimewaan
Saya termasuk mahasiswa yang bergelut di teater (karena memang jurusan saya
teater), jadi saya tahu kalau ada grup teater yang mementaskan drama Ibsen yang
realis ini, dengan aktor yang terlatih baik, dengan tata panggung dan tata lampu
realisme, dengan scoring musik yang mampu mengaduk aduk perasaan penonton,
menaik turunkan adegan, dan membuat penonton lupa bahwa ini panggung, pasti
kesuksesan itu dianggap tidak sengaja. Tahun 2012, Teater Sastra UI
mementaskan Musuh Masyarakat Henrik Ibsen dengan setia kepada realismenya dan
berhasil mendapatkan rasa itu. Yang surreal menjadi realisme. Yang kurang menjadi
lebih. Dan itu berasal dari teater kampus yang amatir. Pasti kebetulan.