Tugas XV Psikologi Abnormal
Tugas XV Psikologi Abnormal
Tugas XV Psikologi Abnormal
PSIKOLOGI ABNORMAL
RESUME:
PENANGANAN UMUM GANGGUAN JIWA/MENTAL
DOSEN PENGAMPU:
Triave Nuzila Zahri, M.Pd.
3. Faktor psikoedukasi
Penelitian lain yang dilakukan oleh Erlina, Soewadi dan Pramono si
Sumatra Barat tentang determinan faktor timbulnya skizofrenia
menemukan bahwa pola asuh keluarga patogenik mempunyai risiko 4,5
kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan dengan
pola asuh keluarga tidak patogenik. Adapun yang mereka maksud dengan
pola suh patogenik tersebut antara lain: 1) Melindungi anak secara
berlebihan karena memanjakannya, 2) Melindungi anak secara berlebihan
karena sikap “berkuasa” dan “harus tunduk saja”, 3) Sikap penolakan
terhadap kehadiran si anak (rejected child), 4) Menentukan norma-norma
etika dan moral yang terlalu tinggi, 5) Penanaman disiplin yang terlalu
keras, 6) Penetapan aturan yang tidak teratur atau yang bertentangan, 7)
Adanya perselisihan dan pertengkaran antara kedua orang tua, 8)
Perceraian, 9) Persaingan dengan sibling yang tidak sehat, 10) Nilai-nilai
yang buruk (yang tidak bermoral), 11) Perfeksionisme dan ambisi (cita-
cita yang terlalu tinggi bagi si anak), 12) Ayah atau ibu mengalami
gangguan jiwa (psikotik atau non-psikotik).
4. Faktor koping
Menurut Lazarus (Suryani, 2013), Ketika individu mengalami masalah,
secara umum ada dua strategi koping yang biasanya digunakan oleh
individu tersebut, yaitu:
a. Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari
penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi
yang menimbulkan stress.
b. Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha
untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dampak yang akan timbul akibat suatu kondisi atau situasi yang penuh
tekanan.
Individu yang menggunakan problem-solving focused coping
cenderung berorientasi pada pemecahan masalah yang dialaminya
sehingga bisa terhindar dari stres yang berkepanjangan sebaliknya individu
yang senantiasa menggunakan emotion-focused coping cenderung
berfokus pada ego mereka sehingga masalah yang dihadapi tidak pernah
ada pemecahannya yang membuat mereka mengalami stres yang
berkepanjangan bahkan akhirnya bisa jatuh kekeadaan gangguan jiwa
berat.
5. Stressor psikososial
Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap terjadinya
gangguan jiwa. Seberapa berat stressor yang dialami seseorang sangat
mempengaruhi respon dan koping mereka. Seseorang mengalami stressor
yang berat seperti kehilangan suami tentunya berbeda dengan seseorang
yang hanya mengalami strssor ringan seperti terkena macet dijalan.
Banyaknya stressor dan seringnya mengalami sebuah stressor juga
mempengaruhi respon dan koping. Seseorang yang mengalami banyak
masalah tentu berbeda dengan seseorang yang tidak punya banyak
masalah.
6. Pemahaman dan keyakinan agama
Pemahaman dan keyakinan agama ternyata juga berkontribusi terhadap
kejadian gangguan jiwa. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya
hubungan ini. Sebuah penelitian ethnografi yang dilakukan oleh
Saptandari (Suryani, 2013) di Jawa tengah melaporkan bahwa lemahnya
iman dan kurangnya ibadah dalam kehidupan sehari-hari berhubungan
dengan kejadian gangguan jiwa. Penelitian saya di tahun 2011 juga telah
menemukan adanya hubungan antara kekuatan iman dengan kejadian
gangguan jiwa. Pada pasien yang mengalami halusinasi pendengaran,
halusinasinya tidak muncul kalau kondisi keimanan mereka kuat.
B. Teknik atau Strategi Penanganan
Menurut Sutardjo,(2005)ada beberpa teknik atau strategi yang dapat
dilakukan dalam penanganan gangguan jiwa/ mental, yaitu:
1. Perlakuan Biologis
Perlakuan biologis hampir seluruhnya melibatkan resep-resep obat
untuk gangguan mental, umumnya untuk meredakan simtom-simtom
psikologis dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan
neurotransmitter. Juga mengkompensasikan deficit struktural didalam otak
atau akibat dari abnormalitas genetik. Pada dasarnya, obat-obat yang
digunakan untuk psikopatologi didasari oleh biologi dalam bentuk usaha
menentang proses terjadinya psikopatologi.
a. Obat-obat Antipsikotis
Medikasi antipsikotis menolong meredusir pengalaman-
pengalaman perseptual yang tidak realistis, keyakinan-keyakinan yang
tidak sebenarnya, dan simtom-simtom psikosis lainnya. Permulaan
penanganan dengan obat modern biasanya dipikirkan berhubungan
dengan ditemukannyakholrpromazin, yang saat ini biasa digunakan
untuk menangani simtom-simtom psikosis (Valenstein, 1998 dalam
Hoeksema, 2004). Gejala psikosis sendiri meliputi kehilangan
sentuhan realitas, halusinasi (pengalaman perseptual yang tidak nyata),
dan delusi (fantastic, keyakinan tidak nyata). Khlorpromazin juga
dapat menurunkan agitas, eksitasi, konfusi, dan paranoia pada pasien
psikotik. Obat-obat antipsikotik merupakan penemuan yang dapat
mengubah pandangan psikosis sebagai penyakit yang penderitanya
selama-lamanya harus tinggal di rumah sakit jiwa dan tak dapat
dikendalikan.
b. Obat-obat Antidepresan
Obat-obat antidepresan membantu mengurangi simtom-simtom
depresi, seperti kesedihan, rendahnya motivasi, dan gangguan tidur dan
makan. Obat-obat ini ditemukan secara kebetulan seperti juga obat-
obat antipsikotik (Valenstein, 1998 dalam Hoeksema, 2004). Jean
Dealy menemukan bahwa isoniazid dan iproniazid dapat berfungsi
sebagai antidepresan ialah obat-obat yang dapat menangani simtom-
simtomdepresi. Monoamine oxidase inhibitors (MAOls) yang dikenal
dengan Nardil dan Parnate. Obat-obat ini telah memperlihat
keefektifannya dengan cara menghambat enzim monoamine
oxisade, sehingga mampu meningkatkan taraf
sejumlahneurotransmitter, seperti neropinefri. Obat penenang lainnya
Lithium, yaitu suatu unsur metalik yang ada di laut, dalamnatural
springs, pada jaringan binatang atau tumbuhan. Lithium merupakan zat
antikonsulvan dan penghambat saluran kalsium (calcium channel
blockers) yang membantu mengurangi mania.
c. Obat Antikecemasan
Barbiturat dan benzodiazepine membantu mengurangi rasa
cemas dan insomania serta mampu menekan system syaraf pusat dan
mengurangi aktivitas berbagai tipe neuron. Obat-obat ini efektif untuk
melahirkan relaksasi dan tidur, juga benar-benar adiktif, namun akan
menyebabkan simtom-simtom ancaman kehidupan, seperti
meningkatnya denyut nadi, delirium, dan konvulsi.
d. Terapi Elektrokonvulsif
ETC adalah sati seri penanganan di mana serangan otak
diinduksikan dengan cara pengaliran listrik melalui otak pasien.
Sebelum dilakukan, pasien diberi anestesi dan ototnya direlaskan aga
tidak cidera.
e. Psikosurgeri (Psychosureary)
Pada masa prehistori, para ahli masa itu melakukan apa yang
disebut therahining untuk menangani penderita gangguan mental.
Therapining ini adalah semacam bedah otak. Pada masyarakat modern,
usaha ini akhirnya dikembangkan oleh neurolog Portugis, Asntonio de
Egas Moniz pada tahun 1935. Dalam hal ini bagian depan otak, frontal
lobus, menderita dari pusat bagian bawah otak pada pendeita psikosis.
Prosedur ini akhirnya berkembang menjadi prosedur yang
disebut prefrontal lobotomy.
2. Terapi-terapi Psikologis
Yang paling terkenal psikodinamika yang memusatkan perhatian pada
usaha membuka dan menyelesaikan konflik-konflik yang tidak disadari.
Teori psikodinamik menolong klien mendapatkan pemahaman kedalam
motif dan konflik-konflik tak sadar, melalui analisis asosiasi bebas,
resistensi-resistensi, impian-impian dan transferensi. Terapi humanistik
menolong klien mengeksplorasi nilai-nilai dan potensial-potensial
pribadinya sendiri dan memuaskan potensialnya lebih lengkap dengan
mempersiapkan relasi yang lebih hangat dan suportif.
Terapi-terapi perilaku berusaha untuk membentuk kembali perilaku
maladaptif orang. Terapi ini menolong klien menghilangkan perilaku-
perilaku yang tidak dikehendaki atau mengajari klien perilaku yang baru
dan lebih dikehendaki dengan teknik-teknik seperti desensitisasi sistematis
atau pembentukan respons. Terapi kognitif berusaha untuk mengubah cara
berpikir maladaptif seseorang dengan menantang pemikiran-pemikiran
irasional dan belajar keterampilan baru.
a. Terapi-terapi Psikodinamis
Terapi ini memusatkan diri pada usaha membuka dan
menyelesaikan konflik-konflik tak sadar yang melahirkan simtom-
simtom psikologis. Tujuannya adalah menolong klien menemukan
cara-cara maladaptif yang telah mereka coba untuk meneyelsaikan
sumber-sumber konflik tak sadar mereka. Pemahaman ini
membebaskan klien dari cengkraman masa lalu dan memberi mereka
pemahaman agensi dalam membuat perubahan di masa kini (Vakoch &
Strupp, 2000). Tujuan ini adalah membantu klien mengintegrasikan
aspek-aspek kepribadian mereka yang telah retak atau menolak ke
dalam pemahaman diri yang utuh.
Transferensi klien terhadap terapis adalah juga kunci terhadap
konflik dan kebutuhan tak sadar. Transferensi terjadi jika berkaitan
dengan seseorang yang penting dalam perkembangan awal klien,
seperti ayah dan bundanya. Misalnya, klien menemukan dirinya
bereaksi terhadap kemarahan atau ketakutakan yang sangat mendalam
jika seorang terapis hanya beberapa menit setelah perjanjian, dan hali
ini dapat menjadi dasar secara emosional ditinggalkan orang tua saat
kecil. Terapis dapat menunjuk cara-cara klien berperilaku yang
menampilkan trasferensi dan kemungkinan klien mengeksplorasi akar
perilakunya dalam relasinya dengan orang penting lain.
b. Terapi Perilaku
Terapi perilaku merupakan terapi yang sangat bertentangan
dengan terapi psikodinamik maupun humanistik. Kalau terapi
psikodinamik memusatkan perhatian pada konflik-konflik yang tidak
disadari dan masalah relasional yang berkembang selama masa anak-
anak , dan terapi humanistic memfokuskan diri pada upaya untuk
memnbantu klien menemukan inner self, terapi-terapi perilaku hanya
memusatkan perhatiannya pada perubahan perilaku-perilaku spesifik
orang pada hari yang sama.
Teknik untuk Menghilangkan Perilaku yang tidak Diinginkan
1) Pertama-tama adalah terapi disensitisasi sistematis (Sistematic
Desernsitization Therapy), yang mengajukan bahwa orang
mengembangkan respons ketakutan dan kecemasan terhadap
rangsangan yang semula netral, melalui pengkondisian klasik.
Selanjutnya, melalui pengkodisian operan, mereka
mengembangkan perilaku-perilaku yang dirancang untuk
menghindari trigger untuk kecemasan tersebut. Merupakan metode
gradual untuk menghilangkan respons-respons kecemasan terhadap
stimuli dan perilaku maladaptif yang sering mengiringi rasa
cemas. Dalam desensitisasi sistematis, orang pertama-tama
mengembangkan suatu hirarki stimulus yang ditakutkan, berjarak
dari stimulus yang akan membuatnya hanya membangkitkan
kecemasan yang ringan menjadi stimuli yang membangkitkan
kecemasan yang kuat atau panik. Seorang yang memiliki fobia
terhadap ular mungkin memperlihatkan urutan berikut:
a) Mendengar kata ular.
b) Membayangkan seekor ular dalam kontainer tertutup pada jarak
yang jauh.
c) Membayangkan ular dalam kontainer terbuka pada jarak jauh.
d) Membayangkan ular dalam kontainer tertutup pada jarak dekat.
e) Melihat gambar ular.
f) Menonton film atau video tentang ular.
g) Melihat ular dalam kontainer pada ruangan yang sama.
h) Melihat ular di luar kontiner dalam ruangan yang sama.
i) Memperhatikan seseorang memegang ular.
j) Menyentuh ular.
k) Memegang ular.
l) Bermain dengan ular.
2) Terapis akan membantu klien mengikuti prosedur melalui hirarki
ini, mulai dari taraf yang paling tidak menakutkan. Penderita
mendapat intruksi untuk membayangkan stimulus yang
menakutkan itu untuk beberapa saat. Kemudian kalau ia merasa
takut, dilakukan relaksasi. Setelah relaks, diteruskan dengan taraf
yang makin lebih menakutkan.
3. Pendekatan Sosial
Terapi interpersonal merupakan suatu versi short-term terapi
psikodinamik yang lebih memfokuskan diri pada hubungan yang sedang
berjalan. Terapis sistem keluarga berusaha untuk mengubah sistem
perilaku yang maladaptif dalam keluarga. Program-program prevensi
berusaha menghentikan atau menghambat perkembangan gangguan atau
menolong orang untuk dapat mengurangi gangguan atas kehidupan sehari-
harinya. Terapi-terapi spesifik kultural menggunakan keyakinan dan ritual
budaya dalam menangani klien kultur tersebut.
Terdapat beberapa jenis terapi dalam kelompok ini, antara lain: terapi
antarpribadi, terapi sistem terapi, terapi kelompok, perlakuan komunitas,
dan perlakuan lintas budaya.
Terapi antarpribadi merupakan terapi jangka pendek yang
memfokuskan diri pada relasi dan keterlibatan mutakhir klien dan
mengeksplorasi akar masalah mereka dalam relasi di masa lalu. Tertapis
sistem keluarga memfokuskan diri pada pengubahan pola perilaku
maladaptif dalam sistem keluarga untuk mengurangi patologi di dalam
anggotanya secara individual.
Dalam terapi kelompok, orang yang menyumbangkan masalah dating
bersama untuk menunjang, saling belajar dengan rekan-rekannya, dan
berlatih keterampilan baru. Kelompok yang menolong diri sendiri
merupakan bentuk terapi kelompok yang tidak melibatkan professional di
bidang kesehatan mental. Gerakan kesehatan mental komunitas bermaksud
untuk mengdeinstitusionalisasi orang-orang dengan gangguan mental dan
menangani mereka melalui pusat-pusat kesehatan mental komunitas,
rumah singgah, dan pusast-pusat penanganan jalan. Sumber daya untuk
pusat kesehatan komunitas itu tidak pernah adekuat dan tidak banyak
orang tidak memiliki akses keperawatan kesehatan mental.
Program prevensi primer bernaksud untuk menghentikan
perkembangan gangguan sebelum terjadi. Sedangkan program-program
prevensi sekunder menyediakan penanganan untuk taraf-taraf pertama
gangguannya dengan harapan meredakan perkembangan gangguan.Nilai-
nilai yang terdapat di dalam kebanyakan psikoterapi yang dapat
bertentangan dengan nilai pada budaya tertentu termasuk focus pada
individual, ekspresi emosi, ketertutupan pribadi, dan harapan yang dimiliki
klien. Orang dari kelompok monoritas dapt lebih menyerupai tetap dalam
penanganan jika sesuai dengan terapis dari kelompok budayanya, tetapi
terdapat perbedaan individual yang luas dalam preferensi ini. Terdapat
sejumlah terapi spesifik kulutral untuk menangani psikopatologi dalam
tradisi kultur-kultur itu.
KEPUSTAKAAN