Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Ut 5

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 2

Baru-baru ini publik negeri ini dibikin terkejut ketika pada pemerintahan Presiden Joko Widodo

(Jokowi) pasal tersebut kembali mengemuka, tercantum dalam draf rancangan undang-undang
(RUU) KUHP, dan telah diajukan kepada Komisi III DPR melalui Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly.

Kendati demikian, Presiden Jokowi menjamin niat ”menghidupkan” kembali pasal tersebut
bukan untuk membungkam rakyat. Jokowi mengatakan pasal penghinaan presiden justru untuk
melindungi mereka yang kerap mengkritik pemerintah lewat cara yang baik demi kepentingan
umum.

Presiden Jokowi menilai aturan yang ada saat ini hanya pasal karet yang bisa memidanakan
semua pengkritik pemerintah, tergantung pada interpretasi aparat penegak hukum.

Kita ingat pula, MK justru menolak judicial review usulan Risang Bima Wijaya dan Bersihar
Lubis. Pasal-pasal 310 ayat (1) dan (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP
dinyatakan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Konklusi MK menyatakan kehormatan pribadi, nama baik, martabat individu warga negara dan
pejabat yang tengah bertugas adalah hak konstitusional (constitutional  right) yang harus
dilindungi  hukum.

Pengkajian ulang terhadap tanggung jawab yang timbul atas dasar kesalahan (liability based
on  fault) oleh MK dilakukan melalui legislative review. Artinya tempatnya bukan melalui
judicial review di MK, tetapi lewat jalur legislative jurisdiction dengan upaya amendemen atau
revisi materi muatan undang-undang.

Putusan MK ini tentu saja mengundang kontroversi. Putusan MK terakhir bertolak belakang
dengan putusan MK tentang pencemaran nama baik presiden atau wakil presiden yang juga
potensial berkaitan dengan persoalan hukum akibat  pemberitaan  pers.

Tatkala memutuskan judicial review Pasal 134, 136 b, dan 137 KUHP tentang  penghinaan
presiden dan wakil presiden, MK justru menyatakan pasal–pasal penghinaan tersebut harus
dicabut.

Sebaliknya, ketentuan pasal-pasal yang memenjarakan wartawan akibat pemberitaan yang


dianggap dapat mencemarkan nama baik pribadi dan pejabat biasa malah tetap diberlakukan.

Ini berarti, mengacu pada putusan MK tersebut, menghina dan mencemarkan pribadi dan pejabat
biasa adalah hak konstitusi. Menghina dan mencemarkan nama baik dan kehormatan presiden
bukan hak konstitusi.

Menghina dan mencemarkan nama baik individu dan pejabat biasa dapat dihukum karena
ketentuan pidananya  masih berlaku, sedangkan menghina dan mencemarkan nama baik presiden
tidak bisa dipidana karena ketentuan pidananya sudah dicabut.
Begitu juga dari sudut berat ringannya hukuman, pelanggaran pasal penghinaan presiden dan
wakil presiden dibandingkan dengan pencemaran dan penghinaan terhadap individu juga
mengundang pertanyaan.

Menghina presiden dan wakil presiden sesuai ketentuan Pasal 134 KUHP ancaman hukuman
penjara maksimal enam tahun, sedangkan sanksi maksimal pelanggaran Pasal 310 KUHP adalah
satu tahun empat bulan; Pasal 311 dengan sanksi maksimal empat tahun; Pasal 316 dengan
sanksi ditambah 1/3 dari pasal sebelumnya.

Presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala
pemerintahan yang dipilih langsung rakyat Indonesia. Presiden Indonesia dalam kurun waktu
tertentu pernah begitu menikmati kekuasaan dan kewenangan yang tanpa kontrol.

Jadi menururt perstursn hukum tentsng penghinaan presiden dan wakil presiden itu membuat luang
lingkup pegkritikan semakin tertutup, katanya negara deokrasi, demokrasi mana yang diberikan jika saat
kita mengkritik presiden atau wakil presiden terhalang tentang pasal pasal yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai