Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Pasal Penghinaan Presiden Dan Wakil Presiden Dimuat Dalam Kuhp

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

PASAL PENGHINAAN PRESIDEN DAN pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan

atau pidana denda paling banyak kategori II.”


WAKIL PRESIDEN DIMUAT DALAM
KUHP Pasal 241 ayat (1) KUHP menyatakan, “Setiap Orang yang
menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan
atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau
Pasal 218 ayat (1) KUHP menyatakan, “Setiap Orang yang menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang
Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga
martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan
Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.” pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori III.”
Pasal 219 KUHP menyatakan, “Setiap Orang yang
menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum,
memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh
umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi
informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat
dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden
dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui
umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling
banyak kategori IV.”
Pasal 240 ayat (1) KUHP menyatakan, “Setiap Orang yang
Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina
kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan
PRO Thailand :

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Pasal 112 KUHP Thailand berbunyi, "Siapapun yang mencemarkan
Laoly menyebut pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di nama baik, menghina, dan mengancam Raja, Ratu, Pewaris Takhta,
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bukan atau Pemangku Takhta diancam penjara selama tiga sampai 15
untuk membatasi kritik. Melainkan, karena setiap orang memiliki tahun".
hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya. Menkumham Para Pemohon melalui kuasa hukum Zico Leonard Djagardo
Yasonna juga menyebut pasal ini sebagai penegas batas yang harus Simanjuntak menyebutkan, sebagai pihak yang menjalankan
dijaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab. keberlangsungan negara, Pemerintah tidak jarang menerima
"Kalau saya dihina orang, saya mempunyai hak secara hukum untuk berbagai macam kritik maupun saran dari warga negara. Namun
harkat dan martabat. Bukan sebagai pejabat publik. Saya selalu terkadang dalam penyampaian kritik tersebut tidak sesuai dengan
mengatakan, kalau saya dikritik bahwa Menkumham tak becus, etika yang pada akhirnya berujung pada penghinaan maupun
lapas, imigrasi, tidak masalah dengan saya. Tapi kalau sekali pencemaran nama baik. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
menyerang harkat dan martabat saya, misalnya saya dikatakan anak Pemerintah juga dilindungi dari tindakan penghinaan maupun
haram jadah, enggak bisa itu," ujarnya. Menkumham Yasonna pencemaran nama baik. Namun bukan berarti Pemerintah dapat
menegaskan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di dibuatkan suatu pasal khusus terkait dengan larangan tindakan
RKUHP ini berbeda dengan pasal sejenis yang pernah dibatalkan penghinaan bagi Pemerintah tersebut.
oleh Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut, menteri asal Sorkam, “Maka patut menjadi pertanyaan mengapa bagi setiap orang yang
Tapanuli Tengah, ini juga menyebut sosialisasi yang dilakukan oleh melakukan tindakan penghinaan terhadap Pemerintah dibuatkan
jajarannya terkait RKUHP selama ini mendapat respons positif dari suatu pasal khusus? Padahal dalam KUHP sudah terdapat
masyarakat. pengaturan mengenai tindakan penghinaan maupun pencemaran
"Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau kita membiarkan nama baik yang berlaku dan dapat diterapkan bagi semua orang tak
(penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, red.). Kalau di terkecuali Pemerintah. Adanya pengaturan khusus terkait dengan
Thailand, lebih parah. Jangan coba-coba menghina Raja, itu penghinaan terhadap Pemerintah tersebut sejatinya telah melanggar
urusannya berat. Di Jepang dan beberapa negara, (pasal penghinaan konstitusi serta prinsip Equality Before The Law sebagaimana
kepala negara, red.) hal yang lumrah. Pasal ini berbeda dengan apa termanifestasikan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945,” sebut
yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Sekarang kan bedanya Zico dalam sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi
dia menjadi delik aduan," katanya. Suhartoyo dengan anggota Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
“Memang benar dalam undang-undang secara formil simbol negara KONTRA
itu Garuda Pancasila,” tutur Albert dalam program YouTube Gaspol
Kompas.com, Selasa (5/7/2022). “Tapi maksud tim perumus, simbol Dimasukkannya pasal penghinaan presiden dengan ancaman penjara
itu dalam konteks presiden sebagai kepala negara, kepala maksimal 3 tahun 6 bulan, yang sebelumnya tercantum dalam
pemerintahan, sebagai kepala diplomat, sebagai kepala tentara atau KUHP versi kolonial, menjadi bukti bahwa capaian RKUHP yang
militer,” papar dia. digembar-gemborkan sebagai produk reformasi hukum pidana tidak
sesuai dengan kenyataan.
Maka, lanjut Albert, empat hal itu yang membuat jabatan presiden
berbeda dengan warga biasa. Albert menuturkan, presiden Pertama, alasan bahwa “presiden sebagai simbol negara” dan
dipandang sebagai the first among equal atau pihak pertama di “personifikasi masyarakat” yang dipakai pemerintah untuk
antara pihak lain yang sederajat. “Jadi memang tujuan dari menjustifikasi pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP adalah
dilindunginya harkat martabat presiden karena presiden itu sendiri keliru. Perihal simbol negara sudah jelas diatur dalam Pasal 35 dan
36B UUD 1945 tentang lambang-lambang negara, sebagaimana
sebagai orang yang secara demokratis sudah terpilih,” katanya. Ia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yaitu Garuda
mencontohkan dalam KUHP yang berlaku saat ini pun ada
Pancasila, bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan.
perlakuan khusus untuk presiden. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-
“Dalam Pasal 217 KUHP ada bentuk khusus dari penganiayaan 022/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136, dan 137
berupa penyerahan diri pada presiden yang membedakan dengan KUHP terkait delik penghinaan presiden bertentangan dengan
konstitusi sehingga harus dibatalkan. Perubahan delik penghinaan
tindak pidana biasa,” ungkap Aries. Lalu ada delik yang mengatur
presiden menjadi delik aduan pada RKUHP tidak menghilangkan
tentang penyerangan harkat dan martabat kepala negara tetangga.
problem utama pada pasal anti-demokrasi itu. Justru sebaliknya, hal
“Kemudian ada juga bentuk khusus percobaan pembunuhan (pada itu menimbulkan kesan bahwa pemerintah mencari celah untuk
presiden) yang kita sebut makar,” jelasnya. mengingkari putusan MK.
Jika ditelisik jauh ke belakang, keberadaan pasal penghinaan
presiden berasal dari KUHP Belanda, tepatnya Artikel 111
Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederlands 1881), yang
mengatur tentang penghinaan yang disengaja terhadap raja dan ratu
dengan ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda
paling banyak 300 gulden. Namun, sesudah Indonesia merdeka,
pasal itu kemudian diadopsi mentah-mentah oleh Pasal 134 KUHP
dengan menggantikan frasa “raja dan ratu” menjadi “presiden dan
wakil presiden”. Berbeda dengan tradisi monarki yang menahbiskan
raja/ratu sebagai simbol kebangsaan, pada sistem negara republik-
demokratis, jabatan kepala negara/kepala pemerintahan yang
diampu presiden bukanlah simbol negara. Ketiga, alasan pemerintah bahwa penghapusan pasal penghinaan
presiden dan wakil presiden akan menciptakan budaya
Pada bentuk republik yang dianut Indonesia, kepala negara diisi masyarakat yang terlalu liberal, adalah argumentasi berdasarkan
berdasarkan pemilihan, bukan melalui titah berdasarkan silsilah hipotesis yang prematur. Faktanya, MK telah menyatakan pasal
garis keturunan, sehingga tradisi penahbisan pun tidak dikenal. tersebut inkonstitusional dan sejak ketentuan itu tidak berlaku
Bahkan, jabatan presiden atau wakil presiden senantiasa dapat hingga sekarang, sulit untuk membuktikan bahwa kearifan
dilengserkan berdasarkan mekanisme dan alasan konstitusional. budaya masyarakat Indonesia telah terkikis oleh nilai-nilai yang
Sebagian besar negara demokratis yang hari ini masih
dianggap liberal. Menjadikan kewaspadaan terhadap nilai-nilai
mempertahankan delik penghinaan terhadap figur kekuasaan adalah
“liberal” sebagai alasan untuk mempertahankan pasal penghinaan
negara bersistem monarki, dan itupun umumnya hanya
presiden juga menunjukkan sikap paradoks negara sebab hak
dikategorikan sebagai tindak pidana ringan.
kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai komponen
penting dari HAM memang pada dasarnya digagas guna
Kedua, memasukkan pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP menjamin kebebasan semua orang terhadap potensi intervensi
atau pembungkaman pendapat oleh kekuasaan. Penghapusan
tidak tepat karena presiden adalah jabatan, dan harus dibedakan
pasal penghinaan presiden dibutuhkan untuk memperkuat kontrol
dengan individu yang mengisi jabatan tersebut. Sebagai suatu
publik terhadap pemegang otoritas lewat pemerintahan yang
jabatan, presiden tidak memiliki fitur moralitas untuk bisa merasa
partisipatif, agar tidak disalahgunakan dan tidak terjadi
dihina. Dalam konstruksi itu, setiap komentar, sentimen, pujian
kesewenang-wenangan. Bagaimanapun, publik sebagai pemberi
bahkan cibiran publik kepada presiden adalah bentuk penilaian atas mandat berhak untuk menilai kinerja presiden dengan sejujur-
kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Persoalan perihal jujurnya.
pantas atau tidaknya cara komunikasi dalam menyampaikan kritik
atas fungsi pemerintahan berada pada wilayah etika, yang di Selain itu, proposisi lain dari perumus RKUHP untuk
dalamnya berlaku sanksi sosial, sehingga tidak patut dijerat dengan mempertahankan pasal penghinaan presiden adalah dengan
sanksi pidana. Kalaupun penghinaan dialamatkan kepada martabat menyandingkannya dengan keberadaan pasal penghinaan
individu yang menjabat sebagai presiden, hal itu dapat terhadap perwakilan negara sahabat.
ditindaklanjuti menggunakan pasal penghinaan terhadap individu Perancang berasumsi, jika pasal penghinaan wakil negara sahabat
atau lewat mekanisme gugatan perdata. Kebijakan menghapuskan saja dipertahankan, mengapa pasal penghinaan terhadap kepala
pasal penghinaan terhadap kepala negara telah dilakukan di banyak negara sendiri ingin dihilangkan. Namun, argumentasi tersebut
negara, seperti Prancis pada 2013 dan Jerman pada 2017. jelas sumir. Kedua objek yang disandingkan tidak berada dalam
kedudukan setara, terutama dalam konteks mandat. Perwakilan butir pasal akan punya dampak signifikan terhadap porsi anggaran
negara sahabat bukanlah pemegang mandat dari rakyat Indonesia. kebijakan nantinya. Dampak-dampak sosial seperti meningkatnya
Maka, wajar apabila serangan yang dialamatkan kepada kekecewaan dan ketidakpercayaan publik, menurunnya daya kontrol
representasi kepala negara sahabat dapat dikonstruksi sebagai masyarakat lewat kritik terhadap presiden, meningkatnya ketakutan
hinaan. Berbeda dengan konteks jabatan presiden dan wakil untuk berpendapat dan berekspresi, hingga potensi tergerusnya
presiden yang di dalamnya terdapat relasi mandat langsung dari indeks demokrasi Indonesia, harus dihitung sebagai ongkos sosial
publik sebagai pemegang kedaulatan yang memiliki hak tagih yang harus dikeluarkan. Dalam survei yang dibuat Centre for
atas pertanggungjawaban kinerja para pejabat. Indonesia Strategic Action (CISA) baru-baru ini, 85,28% publik
responden mengaku tidak menghendaki pasal penghinaan presiden
dimuat dalam RKUHP (margin kesalahan 2,85%; tingkat
Keempat, perubahan pasal penghinaan presiden menjadi delik aduan kepercayaan 95%). Apabila temuan sebelumnya dikaitkan dengan
tidak menghilangkan risiko kriminalisasi. Faktanya, kepolisian kerap perspektif kemanfaatan, bisa disimpulkan bahwa biaya-biaya sosial
melakukan tebang pilih dan sulit bersikap proporsional manakala yang timbul dari perumusan pasal itu akan jauh melampaui manfaat
pelaporan datang dari pihak yang memiliki relasi kuasa sekelas yang dikehendaki publik.
pejabat negara. Akibat faktor relasi kuasa itu, polisi sering kali bias
dalam menentukan batasan mana yang merupakan opini, kritik, dan
hinaan. Terlebih lagi jika pengadu dalam hal ini adalah pemilik
relasi kuasa sekelas presiden. Perumusan delik aduan pun pada
gilirannya akan menyisakan masalah teknis lain. Misalnya,
mungkinkah laporan dari presiden bisa ditolak oleh petugas
administrasi di kantor polisi yang merupakan bawahan langsung
dalam struktur kekuasaan eksekutif? Tentu naif untuk percaya
bahwa akan ada objektivitas dari pihak kepolisian mengingat faktor
modal sosial presiden akan senantiasa mempengaruhi subjektivitas
aparatur penegak hukum.

Kelima, kebijakan perumusan pasal penghinaan presiden ke dalam


RKUHP juga tidak didampingi dengan analisis biaya-manfaat (cost-
benefit analysis) yang memadai. Padahal, setiap penambahan satu

Anda mungkin juga menyukai