Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Ridho

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SEJARAH HADIS NABI

DISUSUN OLEH :

RIDHO ALFAROZI
01292.21117.2019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TUANKU TAMBUSAI
PASIR PENGARAIAN KABUPATEN ROKAN HULU
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamin, tiada kata lain yang patut untuk penulis ungkapkan selain
ucapan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesehatan dan kemampuan
kepada penulis sehingga tugas makalah ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, para
sahabat dan seluruh keluarga beliau serta para pengikut beliau hingga akhir zaman. Dalam
penyusunan tugas makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan
beserta bimbingan. Serta ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada semua pihak
yang baik secara langsung ataupun tidak langsung ikut terlibat dalam penyelesaian makalah ini.
Akhirnya, mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekhilafan, semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca
khususnya para mahasiswa Pendidikan Agama Islam. Penulis menyadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Jadi penulis mohon saran dan kritik yang
sifatnya membangun guna lebih menyempurnakan makalah-makalah penulis selanjutnya.

Pasir pengaraian, 28 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................3

2.1 Rumusan Masalah..............................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................6
2.1 Hadis pada Masa nabi .......................................................................................................................6

2.2 . Hadis pada Masa Khulafa’ al-Rasyidin............................................................................................9

2.3 Hadis pada Masa Tabi’in.................................................................................................................12

2.4. Hadis pada Masa Tabi’i al-Tabi’in.................................................................................................13

2.5 Hadis Kodifikasi..............................................................................................................................13

BAB III PENUTUP................................................................................................................................19


3.1.Simpulan..........................................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Istilah hadis biasanya
mengacu pada segala sesuatu yang terjadi sebelum maupun setelah kenabiannya.1 Terma hadis
terkadang dipertukarkan dengan istilah sunnah.2 Sebagian ulama hadis menganggap kedua
istilah tersebut adalah sinonim (mutaradif), sementara sebagian yang lainnya ada yang
membedakan antara keduanya. Sejarah dan perkembangan hadis dapat dilihat dari dua aspek
penting, yaitu periwayatan dan pen-dewan-annya. Dari keduanya dapat diketahui proses dan
transformasi yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari Nabi
SAW kepada para sahabat dan seterusnya hingga munculnya kitab-kitab himpunan hadis untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan ini. Terkait dengan masa pertumbuhan dan perkembangan
hadis, para ulama berbeda dalam menyusunnya. M.M.Azamiy4 dan Ajjaj al-khatib membaginya
dalam dua periode5 , dan Muhammad Abd al-Ra’uf membaginya ke dalam lima periode,6
sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy membaginya dalam tujuh periode.
Kelahiran hadis sebagaimana dimaksud terkait langsung dengan pribadi Nabi Muhammad
SAW, sebagai sumber hadis, dimana beliau telah membina umatnya selama kurang lebih 23
tahun, dan masa tersebut merupakan kurun waktu turunnya wahyu (al-Qur’an), berbarengan
dengan itu keluar pula hadis. Lahirnya hadis pada masa 1Lihat misalnya definisi hadis yang
dikemukakan oleh sejumlah sarjana hadis, Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, al-Wasit
fi Ulum wa Mustalah al-Hadis (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t), 15; Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib,
as-Sunnah qabl atTadwin (Kairo:Maktabah Wahbah, 1963), 16 2Selain istilah hadis dan sunnah,
sebenarnya ada beberapa istilah lain lagi yang dikenal seperti khabar (berita) dan asar
(peninggalan). Namun, kedua istilah tersebut tidak begitu berkembang di kalangan masyarakat
muslim. 3Distingsi hadis dan sunnah tersebut dapat dilihat dalam pernyataan Abd al-Rahman ibn
Mahdi seperti yang dikutip al-Zarqani, disebutkan bahwa Sufyan al-Tsawri di kenal sebagai
Imam fi al-hadis dan bukan imam fi al-sunnah, sementara al-Awza’i di kenal sebagai imam fi al-
sunnah dan bukan imam fi al-hadis, dan Malik ibn Anas di kenal sebagai imam fi hima jami’an.

3
Periode pertama dirinci dalam empat fase, dan periode kedua dirinci dalam 3 fase. Lihat Nabi
adalah adanya interaksi Rasullah sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap ayatayat al-
Qur’an kepada sahabat atau umat lainnya, dalam rangka penyampaian risalah, dan juga karena
adanya berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umat dan dibutuhkan solusi atau jalan
pemecahannya dari Nabi SAW, lalu para sahabat memahami dan menghafal apa yang telah
diterimanya dari Nabi SAW.
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kalangan sahabat sangat berhati-hati dalam
menerima dan meriwayatkan hadis. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjaga kemurnian al-
Qur’an agar tidak tercampur dengan hadis, selain itu juga untuk menjaga keorisinalitas hadis
tersebut.9 Keadaan di era tabi’in sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di era sahabat. Karena
al-Qur’an ketika itu telah disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, sehingga tabi’in bisa mulai
menfokuskan diri dalam mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai bersebaran ke suluruh
penjuru dunia Islam. Dengan demikian, pada masa Tabi’in sudah mulai berkembang
penghimpunan hadis (al-jam’u wa al-tadwin), meskipun masih ada percampuran antara hadis
Nabi dengan fatwa sahabat. Barulah di era tabi’ al-tabi’in hadis telah dibukukan, bahkan era ini
menjadi masa kejayaan kodifikasi hadis. Kodifikasi dilakukan berdasar perintah khalifah Umar
bin Abdul Aziz, khalifah M.M.Azamiy, Dirasat fi al-Hadi al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, yang
diterjemahkan oleh Ali Mustafa Ya’qub dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), 123- 300 5Ajjaj al-Khatib membaginya dalam dua periode,
yaitu hadis masa Nabi SAW, dan hadis pada masa sahabat dan tabi’in. 6M. Syuhudi Ismail,
Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1994), 69 7T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
Perkembangan Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 1-133 8Mahmud Thahhan, Ulumul Hadis:
Studi Kompleksitas Hadis Nabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), 18 9Khotimah Suryani,
Metode Pembelajaran dalam Perspektif Hadis Nabi, Dar el-Ilmi: Jurnal Studi Keagamaan,
Pendidikan, dan Humaniora, Volume.
5, Nomor. 2, (Oktober 2018), 139kedelapan Bani Umayyah yang kebijakannya
ditindaklanjuti oleh ulama diberbagai daerah hingga pada masa berikutnya hadis terbukukan
dalam kitab hadis.10 Setelah era tabi’ al-tabi’in, yaitu masa abad II, III, IV-VII dan seterusnya
yang terjadi pada hadis adalah penghimpunan dan penerbitan secara sistematik (al-jam’u wa
attartib wa at-tanzhim).

4
2.1 Rumusan Masalah
1. Apa saja hadis pada masa nabi ?
2. Apa yang dimaksud dengan hadis pada masa awal sampai ahir abadi III H?
3. Apa yang dimaksud dengan hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII (Jatuhnya
Bagdad Tahun 656 H?
4. Hadis pada mas pertengahan abad VII sampai sekarang 2.3   Tujuan
1. Untuk mengetahui hadis pada masa nabi.
2. Untuk mengetahui hadis pada masa awal sampai ahir abadi III H !
3. Untuk mengetahui dengan hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII (Jatuhnya
Bagdad Tahun 656 H!

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hadis pada Masa Rasulullah SAW

Hadis pada masa dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yakni masa turun wahyu
dan pembentukan masyarakat Islam.11 Keadaan seperti ini menuntut keseriusan dan kehati-
hatian para sahabat sebagai pewaris pertama jaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah
dijelaskan Nabi melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang didengar dan
disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka.12
Rasulullah SAW juga memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan
dan menyebarluaskan hadis-hadis. Nabi sendiri tidak hanya memerintahkan, namun beliau juga
banyak memberi spirit melalui doa-doanya, dan tak jarang Nabi juga menjanjikan kebaikan
akhirat bagi mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.13 Hal
itulah yang kemudian memotivasi para sahabat untuk menghafalkan hadis, disamping para
sahabat adalah orang Arab tulen yang mayoritas tidak bisa baca-tulis, namun demikian mereka
mempunyai kemampuan hafalan yang luar biasa, karena menghafal merupakan budaya bangsa
Arab yang telah diwarisinyaa.  
Para sahabat pun dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai
sumber hadis. Tempat yang dijadikan Nabi dalam menyampaikan hadis sangat fleksibel,
terkadang hadis disampaikan ketika Nabi bertemu dengan sahabatnya di Masjid, pasar, ketika
dalam perjalanan, dan terkadang juga di rumah Nabi sendiri. Selain itu, ada beberapa cara
Rasulullah SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu: Pertama, melalui majlis ilmu,
yakni temat pengajian yang diadakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk membina para jamaah.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para
sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika hadis yang
disampaikan berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, maka hadis tersebut
disampaikan melalui istri-istri Nabi sendiri. Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat
terbuka, misalnya ketika haji wada’ dan fath alMakkah. Ketika menunaikan ibadah haji pada
tahun 10 H, Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum

6
muslimin yang sedang melakukan ibadah haji, isinya terkait dengan bidang muamalah, ubudiyah,
siyasah, jinayah, dan HAM yang meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan
ekonomi, kebajikan, dan solidaritas.
Selain itu juga adanya larangan dari Nabi untuk menumpahkan darah, larangan riba,
menganiaya, dan juga perintah untuk menegakkan persaudaraan sesama manusia, serta untuk
selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadis.15 Respon sahabat dalam menerima dan
menguasai hadis tidak selalu sama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: adanya
perbedaan di antara mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW, dan juga soal
kesanggupan bertanya pada sahabat lain, serta berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat
tinggal dari masjid Rasulullah SAW. Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang
banyak menerima hadis dari Rasulullah, misalnya para sahabat yang tergolong kelompok Al-
Sabiqun al-Awwalun (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, dan
Ibn Mas’ud), Ummahat al-Mukminin (Siti Aisyah dan Ummu Salamah), sahabat yang meskipun
tidak lama bersama Nabi, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara
sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, dan Abdullah
ibn Abbas yang merupakan sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Nabi,
banyak bertanya kepada sahabat lain meskipun dari sudut usia tergolong jauh dari masa hidup
Nabi.
16 Hadis yang disampaikan Nabi kepada para sahabat melalui beberapa cara, menurut
Muhammad Mustafa Azami ada tiga cara, yaitu: Pertama, menyampaikan hadis dengan kata-
kata. Rasul banyak mengadakan pengajaran-pengajaran kepada sahabat, dan bahkan dalam
rangka untuk memudahkan pemahaman dan daya ingat para sahabat, Nabi mengulang-ulang
perkataannya sampai tiga kali. Kedua, menyampaikan hadis melalui media tertulis atau Nabi
mendiktekan kepada sahabat yang pandai menulis. Hal ini menyangkut seluruh surat Nabi yang
ditujukan kepada para raja, penguasa, gubernur-gubernur muslim. Beberapa surat tersebut berisi
tentang ketetapan hukum Islam, seperti ketentuan tentang zakat dan tata cara peribadatan.
Ketiga, menyampaikan hadis dengan mempraktek secara langsung di depan para sahabat,
misalnya ketika beliau mengajarkan cara berwudhu, shalat, puasa, menunaikan ibadah haji dan
sebagainya. Pada masa Nabi SAW, hadis tidak ditulis secara resmi sebagaimana al-Qur’an, hal
ini dikarenakan adanya larangan dari Nabi.

7
Larangan menulis hadis dari Rasul sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-
Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‫ه )رواه أحمد‬OO‫ران فليمح‬OO‫ير الق‬OO‫ (التكتبوا عنّي شيئا غ‬Rasulullah
SAW telah bersabda, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, kecuali al-
Qur’an, dan barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-Qur’an, maka hendaklah ia
menghapuskannya.”18 Pelarangan Nabi dalam penulisan hadis tersebut secara implisit
menunjukkan adanya kekhawatiran dari Nabi apabila hadis yang ditulis akan bercampur baur
dengan catatan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun demikian, ada juga riwayat-riwayat yang
menyatakan bahwa pada masa Rasul ada sebagian sahabat yang memiliki lembaran-lembaran
(sahifah) yang berisi tentang catatan hadis, misalnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan
lembarannya yang diberi nama alSahifah al-Shadiqah, dinamakan demikian karena ia menulis
secara langsung dari Rasulullah sendiri, sehingga periwayatannya di percaya kebenarannya.19
Begitu juga dengan Ali ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik, keduanya sama-sama memiliki
catatan hadis.
Hal ini bukan berarti mereka melanggar akan larangan Rasul tentang penulisan hadis,
namun karena memang ada riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasul mengizinkan para
sahabat untuk menulis hadis, sebagaimana diriwayatkan bahwa para sahabat melarang Abdullah
ibn Amr ibn al-Ash yang selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari Rasulullah, karena
menurut mereka Rasul terkadang dalam keadaan marah, sehingga ucapannya tidak termasuk
ajaran syar’i, tetapi setelah diadukan pada Rasulullah, beliau bersabda: “Tulislah apa yang kamu
dengar dariku, demi zat yang jiwaku berada ditanganNya, tidak keluar dari mulutku kecuali
kebenaran.”20 Dari sini dapat dilihat bahwa ada dua riwayat yang berbeda, satu riwayat
menyatakan bahwa Nabi melarang penulisan hadis dan di riwayat lain menyatakan bahwa Rasul
mengizinkannya. Dalam memandang hal ini, para ulama berbeda pendapat, dan secara garis
besar terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa riwayat yang melarang
penulisan hadis dinasakh oleh riwayat yang mengizinkannya. Menurut mereka, pelarangan
penulisan hadis oleh Nabi terjadi pada awal-awal Islam, karena dikhawatirkan adanya
percampuran antara hadis dan ayat al-Qur’an, jadi hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga
kemurnian ayat al-Qur’an.
Namun ketika kekhawatiran tersebut mulai hilang karena para sahabat telah mengetahui
dan terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an, sehingga mereka bisa membedakan
mana ayat al-Qur’an dan mana yang bukan, maka Rasul mengizinkan mereka untuk menuliskan

8
hadis. Pendapat kedua menyatakan bahwa pada dasarnya kedua riwayat tersebut tidak
bertentangan. Mereka menyatakan bahwa larangan itu dikhususkan kepada mereka yang
dikhawatirkan akan mencampur adukkan hadis dan alQur’an, dan diizinkan bagi mereka yang
tidak dikhawatirkan mencampur adukkan keduanya, yaitu izin seperti yang dilakukan Nabi
kepada Abdullah ibn Amr ibn al-Ash. Atau dalam kata lain Rasul melarang penulisan hadis
secara resmi, tetapi tetap mengizinkan para sahabat menulis hadis untuk diri sendiri. Jadi
larangan itu bersifat umum sedangkan izin hanya berlaku untuk sahabat tertentu.22 Demikianlah,
hadis pada masa Rasul tidak tertulis kecuali hanya sedikit saja.

2.2 . Hadis pada Masa Khulafa’ al-Rasyidin


Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar,
Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11
H sampai dengan 40 H. Masa ini disebut dengan masa sahabat besar. Pengertian sahabat menurut
istilah ilmu hadis yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis, adalah orang Islam yang pernah
bergaul atau melihat Nabi dan meninggal dalam keadaan beragama Islam. Keterlibatan sahabat
Nabi dalam proses diterimanya hadis adalah sebuah keniscayaan. Baik hadis yang diriwayatkan
secara lisan maupun tulisan, kesemuanya itu melalui informasi yang disampaikan para sahabat
dari Nabi SAW. Melalui informasi yang disampaikan para sahabat itu, materi (matan) hadis yang
diterima secara berantai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanpa kehadiran sahabat,
maka mustahil pesan-pesan Nabi akan sampai kepada generasi selanjutnya. Pada masa ini
perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka
periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih ada pembatasan dalam periwayatan.
Oleh karena itu para ulama menganggap masa ini sebagai masa pembatasan periwayatan.
a. Abu Bakar al-Shiddiq Abu
Bakar adalah sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam
periwayatan hadis. Pernyataan ini berdasar pada pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi
kasus seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadapnya, nenek tersebut meminta
hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat
petunjuk dalam al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberi bagian harta warisan kepada nenek.
Setelah itu Abu Bakar bertanya kepada para sahabat, al-Mughirah Ibn Syu’bah menyatakan
kepada Abu Bakar bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam

9
bagian. Mendengar pernyataan al-Mughirah, Abu Bakar memintanya untuk menghadirkan
seorang saksi, lalu Muhammad ibn Salamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan
al-Mughirah tersebut. akhirnya Abu Bakar menetapkan nenek sebagai ahli waris dengan
memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan oleh al-Mughirah.
Dari sini tergambar bahwa ternyata Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan suatu
hadis, hal ini terbukti beliau tidak bersegera menerima riwayat hadis dari al-Mughirah sebelum
meneliti periwayatnya. Dan dalam melakukan penelitian pun Abu Bakar meminta periwayat
hadis untuk menghadirkan saksi. Sikap Abu Bakar yang sangat berhatihati dalam periwayatan
hadis mengakibatkan hadis yang diriwayatkan pun relative sedikit. padahal Abu Bakar adalah
sahabat yang telah lama bergaul dan sangat akrab dengan Nabi, mulai dari masa sebelum Nabi
hijrah sampai Nabi wafat. Selain faktor kehati-hatian, faktor lain yang menyebabkan Abu Bakar
hanya meriwayatkan hadis sedikit adalah, pertama, Abu Bakar selalu sibuk ketika menjabat
sebagai khalifah. Kedua, kebutuhan hadis tidak sebanyak pada masa sesudahnya. Ketiga, jarak
waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
b. Umar ibn al-Khattab Umar
juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, seperti
halnya Abu Bakar. Selain itu, Umar juga menekankan kepada para sahabat agar tidak
memperbanyak periwayatan hadis di masyarakat, dengan alasan supaya konsentrasi masyarakat
tidak terpecah dalam membaca dan mendalami al-Qur’an, selain itu juga supaya umat Islam
tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis. Kebijaksanaan Umar inilah yang
kemudian mampu menghalangi orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan
pemalsuan-pemalsuan hadis.
c. Usman ibn Affan
Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan
kebijakan dua khalifah sebelumnya. Hal ini terbukti ketika Usman memiliki kesempatan untuk
berkhutbah, dalam khutbahnya Usman meminta kepada para sahabat untuk tidak banyak
meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan
Umar. Umar sendiri memang tampaknya tidak banyak meriwayatkan hadis. Ahmad ibn Hanbal
meriwayatkan hadis Nabi yang berasal dari riwayat Usman sekitar empat puluh hadis saja. Itu
pun banyak matan hadis yang terulang, dikarenakan perbedaan sanad. Dengan demikian, jumlah
hadis yang diriwayatkan oleh Usman tidak sebanyak jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Umar

10
ibn alKhattab. Dari sini terlihat bahwa pada masa Usman ibn Affan, kegiatan umat Islam dalam
periwayatan hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada masa
Umar. Dalam khutbahnya Usman telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati
dalam meriwayatkan hadis. Namun seruan tersebut nampaknya tidak begitu besar pengaruhnya
terhadap periwayat tertentu yang bersikap longgar dalam periwayatan hadis. Hal ini terjadi
karena selain pribadi Usman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam sudah mulai
meluas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesulitan dalam mengendalikan
periwayatan hadis secara ketat.
d. Ali ibn Abi Thalib
Perkembangan hadis pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib pun tidak jauh berbeda
dengan khalifah pendahulunya tentang periwayatan hadis. Ali hanya bersedia menerima riwayat
hadis setelah periwayat hadis yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang
disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi. Ali tidak meminta sumpah hanya jika
periwayat benar-benar telah dipercayainya. Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa fungsi
sumpah dalam periwayatan hadis bagi Ali tidaklah dijadikan sebagai syarat mutlak keabsahan
periwayatan hadis. Sumpah dianggap tidak diperlukan apabila orang yang menyampaikan
riwayat hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru. Ali ibn Abi Thalib sendiri cukup
banyak meriwayatkan hadis Nabi, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Hadis yang
berbentuk tulisan berkisar tentang hukuman denda (diyat), pembebasan orang Islam yang
ditawan oleh orang kafir, serta larangan melakukan hukum kisas terhadap orang Islam yang
membunuh orang kafir.
Pada masa khalifah Ali sama dengan masa sebelumnya, yaitu adanya sikap kehatihatian
dari para khalifah dalam periwayatan hadis. Namun situasi umat Islam yang dihadapi Ali telah
berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa Ali, pertentangan politik semakin menajam
dikalangan umat muslim, yaitu terjadinya peperangan antara kelompok pendukung Ali dan
pendukung Muawiyah. Dan kejadian tersebut yang akhirnya membawa dampak negatif dalam
bidang periwayatan hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu untuk
melakukan pemalsuan hadis.31 Itulah yang menjadikan periwayat hadis tidak dapat dipercaya
riwayatnya secara keseluruhan. Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa kebijakan al-
Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadis terdapat empat bentuk, yaitu: Pertama, seluruh
khalifah sepakat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadis. Kedua,

11
kesemuanya melarang untuk memperbanyak periwayatan hadis, terutama pada masa khalifah
Umar ibn Khattab, tujuannya supaya periwayat bersikap selektif dalam meriwayatkan hadis dan
supaya perhatian masyarakat tidak berpaling dari al-Qur’an. Ketiga, pengucapan sumpah ataupun
penghadiran saksi bagi periwayat hadis merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadis.
Periwayat yang dirasa memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban mengajukan
sumpah atau pun saksi. Keempat, kesemua khalifah telah meriwayatkan hadis, hanya saja tiga
khalifah yang pertama (Abu Bakar, Umar, Usman) meriwayatkan hadis secara lisan, hanya Ali
yang meriwayatkan hadis secara lisan dan tulisan

2.3 Hadis pada Masa Tabi’in


Selain para sahabat yang sudah banyak mengoleksi hadis Nabi, ada juga para Tabi’in
yang nota benenya adalah para murid sahabat juga banyak mengoleksi hadis-hadis Nabi, bahkan
pengoleksiannya sudah mulai disusun dalam sebuah kitab yang beraturan. Sebagaimana sahabat,
para Tabi’in pun cukup berhati-hati dalam hal periwayatan hadis. Hanya saja ada perbedaan
beban yang dihadapi oleh sahabat dan Tabi’in, dan beban sahabat tentu lebih berat jika
dibandingkan oleh Tabi’in. Karena di masa Tabi’in, alQur’an telah dukumpulkan dalam satu
mushaf, selain itu juga pada masa akhir periode al-Khulafa al-Rasyidin (terkhusus pada masa
Usman ibn Affan), para sahabat ahli hadis telah menyebar ke berbagai wilayah negara Islam.
Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran sahabat-sahabat ke
berbagai daerah pun terus meningkat, hal ini kemudian berimplikasi juga pada meningkatnya
penyebaran hadis.
Oleh karena itulah, masa ini dikenal sebagai masa menyebarnya periwayatan hadis. Ini
merupakan sebuah kemudahan bagi para Tabi’in untuk mempelajari hadis. Metode yang
dilakukan para Tabi’in dalam mengoleksi dan mencatat hadis yaitu melalui pertemuan-
pertemuan dengan para sahabat, selanjutnya mereka mencatat apa yang telah di dapat dari
pertemuan tersebut.32 Para Tabi’in menerima hadis Nabi dari sahabat dalam berbagai bentuk,
jika disebutkan ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada juga yang harus dihafal, di
samping itu dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat, lalu
Tabi’in menyaksikan dan mengikutinya. Dengan demikian, tidak ada satu hadis pun yang
tercecer apalagi terlupakan.33 Perihal menulis hadis, di samping melakukan hafalan secara
teratur, para Tabi’in juga menulis sebagian hadishadis yang telah diterimanya. Selain itu, mereka

12
juga memiliki catatan-catatan atau surat-surat yang mereka terima langsung dari para sahabat
sebagai gurunya. Ada beberapa kota yang dijadikan pusat pembinaan dalam periwayatan hadis,
yang kemudian dijadikan sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota
tersebut adalah Madinah alMunawwarah, Makkah al-Mukaramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir,
Maghribi dan Andalusia, serta Yaman dan Khurasan. Pusat pembinaan pertama yaitu di
Madinah, karena di Madinah lah Rasulullah menetap setelah hijrah dan Rasulullah juga membina
masyarakat Islam yang didalamnya terdiri atas kaum Muhajirin dan Anshor. Di antara para
sahabat yang menetap di Madinah adalah Khulafa’ Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah,
Abdullah ibn Umar dan Abu Said al-Khudri, dan lain sebagainya.

2.4. Hadis pada Masa Tabi’i al-Tabi’in


masa tabi’in. Kodifikasi pada masa ini telah menggunakan metode yang sistematis, yaitu
dengan mengelompokkan hadis-hadis yang ada sesuai dengan bidang bahasan, walaupun dalam
penyusunannya masih bercampur antara hadis Nabi dengan qaul sahabat dan tabi’in.
Sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Muwattha’ Imam Malik. Barulah pada awal abad
kedua hijriah, dalam kodifikasinya, hadis telah dipisahkan dari qaul sahabat dan tabi’in. Selain
riwayat bi al-lafdzi, ada juga sistem penerimaan dan periwayatan hadis dengan sistem isnad.
Maraknya pemalsuan hadis yang terjadi di akhir masa tabi’in yang terus berlanjut sampai masa
sesudahnya menjadikan para ulama untuk meneliti keontetikan hadis, cara yang ditempuh para
ulama yaitu dengan meneliti perawiperawinya. Dari penelitian tersebut memunculkan istilah
isnad sebagaimana yang dikenal hingga saat ini. Menurut Abu Zahrah, sanad yang disampaikan
pada masa tabi’in sering menyampaikan sebuah hadis dengan tanpa menyebut sahabat yang
meriwayatkannya.

2.5 Hadis Kodifikasi


Kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarto codification, yaitu
mengumpulkan dan menyusun. Sedangkan menurur istilah, kodifikasi adalah penulisan dan
pembukuan hadis Nabi secara resmi yang berdasar pada perintah khalifah dengan melibatkan
beberapa personil yang ahli di bidang hadis, bukan di lakukan secara individual ataupun demi
kepentingan sendiri. Jadi, kodifikasi hadis adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan
hadis Nabi Muhammad SAW yang dilakukan atas perintah resmi dari khalifah Umar ibn Abd al-

13
Aziz, khalifah kedelapan dari Bani Umayyah yang kemudian kebijakannya ditindaklanjuti oleh
para ulama di berbagai daerah sampai pada masa hadis terbukukan dalam kitab hadis
1. Kodifikasi Hadis Secara Resmi
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pada abad pertama hijriah, yakni masa Nabi,
masa al-khulafa’ al-rasyidin hingga berakhirnya abad pertama hijriah, tradisi penulisan serta
penyebaran hadis masih bergantung pada hafalan para sahabat dan tulisantulisan pribadi
mereka.38 Barulah ketika pemerintahan sampai pada Umar ibn Abdul Aziz yang terkenal dengan
adil dan wara’, tergerak hatinya untuk membukukan hadis. Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan
secara resmi dan massal kepada para gubernur untuk membukukan hadis. Dikatakan resmi
karena dalam kegiatan penghimpunan hadis tersebut merupakan kebijakan dari kepala negara,
dan dikatakan massal karena perintah kepala negara tersebut ditujukan kepada para gubernur dan
ulama ahli hadis pada zamannya. Yang melatarbelakangi kebijakan Umar ibn Abdul Aziz untuk
membukukan hadis secara resmi, adalah:
a. Sebelumnya hadis tersebar dalam lembaran dan catatan masing-masing sahabat, misalnya
sahifah yang dimiliki Abdullah ibn Umar, Jabir dan Hammam ibn Munabbih. Ahli hadis
menyerahkan semua yang berurusan tentang penulisan hadis kepada hafalan para sahabat yang
lafadznya mereka terima dari Nabi, namun ada juga sahabat yang hanya tahu maknanya dan
tidak pada lafadznya, hal itulah yang kemudian menjadikan adanya perselisihan riwayat
penukilan sekaligus rawinya. Dari situ ada kekhawatiran dari Umar ibn Abdul Aziz kalaukalau
nati hadis Nabi disia-siakan oleh umatnya.
b. Penulisan dan penyebaran hadis yang terjadi dari masa Nabi sampai masa sahabat masih
bersifat kolektif individual, dan juga ada perbedaan para sahabat dalam menerima hadis. Dengan
kondisi yang seperti itu dikhawatirkan akan terjadi penambahan dan pengurangan pada lafadz
hadis yang diriwayatkan.
c. Semakin meluasnya kekuasaan Islam ke berbagai negara yang kemudian memiliki pengaruh
besar pada tiga benua, yaitu Asia, Afrika dan sebagian benua Eropa. Dengan demikian juga
menjadikan para sahabat tersebar ke negara-negara tersebut. Dari sana muncul berbagai masalah
yang berbeda yang dihadapi para sahabat, yang berefek pada melemahnya hafalan mereka.
Belum lagi banyak sahabat yang meninggal di medan perang demi membela panji-panji
keislaman, untuk itulah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz merasa cemas dan khawatir kalau hafalan
para sahabat hilang begitu saja.

14
d. Banyak bermunculan hadis-hadis palsu, terutama setelah wafatnya khalifah Ali ibn Abi
Thalib sampai pada masa dinasti Umayyah, yang membuat umat Islam terpecah menjadi
beberapa golongan yang membawa mereka untuk mendatangkan keterangan hadis yang
diperlukan untuk mengabsahkan sebagai golongan yang paling benar.
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz menginstruksikan kepada qadhi-nya di Madinah yang
bernama Abu Bakar ibn Hazm yang berprofesi menjadi guru Ma’mar, al-Lais, alAuza’i, Malik
ibn Annas, Ibn Ishaq dan Ibn Dzi’bin supaya membukukan hadis yang terdapat pada penghafal
wanita yang terkenal, sekaligus seorang ahli fiqih yang merupakan murid Aisyah ra, yaitu Amrah
bint Rahman ibn Saad Zurarah ibn Ades. Kitab hadis yang ditulis Ibn Hazm merupakan kitab
hadis pertama, ditulis berdasarkan perintah kepala negara, namun kitab tersebut tidak mencakup
secara keseluruhan peredaran hadis yang ada di Madinah. Adapun yang membukukan hadis yang
ada di Madinah secara keseluruhan adalah Muhammad ibn Muslim ibn Shihab al-Zuhri, seorang
ulama terkenal di masanya.
Setelah generasi Shihab al-Zuhri dan Abu Bakar ibn Hazm berakhir, muncul generasi
selanjutnya yang kemudian melanjutkan upaya pembukuan.46 Para ulama yang melanjutkan
kegiatan pembukuan antara lain, di Mekah muncul Abu Muhammad Abd al-Malik ibn Abd al-
Aziz ibn Zuraij al-Bisyri (150 H), di Madinah muncul Muhammad ibn Ishaq (151 H) dan Malik
ibn Annas, di Basrah muncul Said ibn Abi Arabah (156 H), Rabi’ ibn Shabi’ (160 H), dan
Hammad ibn Salamah (167 H), di Kuffah muncul sofyan al-Sauri (161 H), di Syam muncul Abu
Umar al-Auza’i (157 H), di Yaman muncul Hasyim (173 H) dan Ma’mar ibn Asyid (153 H), di
Khurasan muncul Jarir ibn Abdul Hamid (188 H) dan Ibn al-Mubarak (181 H), di Wasit muncul
Hasyim ibn Basyir (104-173 H), di Ray muncul Jarir ibn Abd al-Hamid (110-188 H), dan di
Mesir muncul Abdullah ibn Wahhab (125-197 H).
Nama-nama tersebut adalah ahli hadis yang membukukan hadis pada abad ke dua hijriah,
kemudian mereka mengembangkan pengajaran hadis di kota-kota dimana mereka berdiam diri,
dan tempat itulah yang kemudian menjadi pusat-pusat pengembangan kajian hadis. Pembukuan
hadis terus berlanjut hingga akhir pemerintahan Bani Umayyah, namun keadaan semakin
sempurna ketika Bani Abbas datang sekitar pertengahan abad ke dua. Dengan munculnya
kembali Imam Malik dengan al-Muwatha’ nya, Imam Syafi’i dengan Musnad nya, dan Asar
Imam Muhammad ibn Hasan al-Syabani dengan gerakan penyusunan hadis secara lengkap,
mulai dari hadis Nabi sampai dengan perkataan sahabat dan fatwa tabi’in.47 Pembukuan hadis

15
pada abad ke II belum tersusun secara sistematis dalam babbab tertentu. Dalam penyusunannya,
mereka masih memasukkan perkataan sahabat dan fatwa tabi’in di samping hadis dari Nabi
Muhammad SAW. Kesemuanya dibukukan secara bersamaan, dari situlah kemudian terdapat
kitab hadis yang marfu’, mauquf dan maqthi’.
Di antara kitab-kitab hadis abad ke II H yang mendapat perhatian ulama secara umum
adalah kitab al-Muwatha’ yang disusun oleh Imam Malik, al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis
yang disusun Imam asySyafi’i serta as-Sirah an-Nabawiyah atau alMaghazi wa as-Siyar susunan
Ibnu Ishaq. Dari kesemuanya, al-Muwatha’ lah yang paling terkenal dan mendapat sambutan
yang paling meriah dari para ulama, karena banyak para ahli yang membuat penjelasan (syarah)
dan ringkasannya (mukhtashar). Dalam kitab ini mengandung 1.726 rangkaian khabar dari Nabi,
sahabat, dan tabi’in. Khabar yang musnad sejumlah 600, yang mursal sejumlah 228, yang
mauquf sejumlah 613 dan 285 yang maqthu’. 48 Adapun kitab-kitab hadis yang telah dibukukan
dan dikumpulkan pada abad ke dua cukup banyak jumlahnya, namun yang mashur di kalangan
ahli hadis hanya beberapa, yaitu:
1. Al-Muwattha’, karangan Imam Malik ibn Anas (95-179 H)
2. Al-Maghazi wa al-Siyar, karangan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3. Al-Jami’, karangan Abd al-Razak alsan’ani (211 H)
4. Al-Mushannaf, karangan Syu’bah ibn Hajjaj (160 H) Al-Mushannaf, karang Sufyan ibn
Uyainah (198 H)
6. Al-Mushannaf, karangan al-Lais ibn Sa’ad (175 H)
7. Al-Mushannaf, karangan al-Auza’i (150 H)
8. Al-Mushannaf, karangan al-Humaidi (219 H)
9. Al-Maghazi al-Nabawuyyah, karangan Muhammad ibn Wagid alAslami (130-207 H)
10. Al-Musnad, karangan Abu Hanifah (150 H)
11. Al-Musnad, karangan Zaid ibn Ali
12. Al-Musnad, karangan Imam al-Safi’i (204 H)
13. Mukhtalif al-Hadis, karangan Imam al-Syafi’i (204 H).49 Setelah sepeninggalan para tabi’in,
yaitu pada permulaan abad ke III hijriah, para ulama mulai berusaha menyusun kitab-kitab
musnad yang memuat hadis Nabi dan memisahkannya dari perkataan sahabat dan fatwa tabi’in.
Penyusun kitabnya adalah Abu Daud al-Tayalisi (202 H). Kitab yang sejenis dan paling memadai

16
adalah adalah Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, meskipun Imam Ahmad hidup pada masa
sesudahnya.
Walaupun sudah dipisahkan dari perkataan sahabat dan fatwa tabi’in, hadis dalam kitab
musnad masih bercampur antara hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Oleh karena itu pada
masa pertengahan abad ke III H disusunlah kitab yang didalamnya benar-benar termuat hadis
yang shahih, misalnya Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Daud,
Sunan Ibn Madjah, dan Sunan alNasa’i.50 Orang yang pertama menulis dan mengumpulkan
hadis dalam satu bab tertentu adalah al-Jarir Amir al-Sya’bi, beliau menyusun kitab hadis khusus
tentang talak. Kemudian diteruskan oleh Abdullah ibn Musa alAbasy al-Kufi, Musaddad al-
Basry, Asad ibn Musa dan Na’im ibn Hammad al-Khaza’i. Pada abad ketiga ini muncul berbagai
kitab hadis, maka diadakan kritik terhadap matan dan sanad hadis serta jarh wa ta’dil dalam
suatu hadis. Usaha ini kemudian dikenal dengan istilah pen-tashih-an dan penyaringan hadis
dengan kriteria tertentu,
sebagaimana yang dilakukan oleh al-Bukhari dan beberapa orang muridnya, sehingga
hadis yang diproduksi termasuk hadis yang berskala nilainya. Al-Siba’i menyatakan bahwa
setelah masa alBukhari kegiatan pembukuan dan pengumpulan hadis terhenti. Yang berkembang
hanya tradisi penyempurnaan dan pengembangan hadis.51 Adapun kitab-kitab yang disusun dan
dibukukan pada abad ke III H, yang terkenal yaitu:
1. Al-Jami’ al-Shahih, karya Imam alBukhari (256 H)
2. Al-Jami’ al-Shahih, karya Imam Muslim (261 H)
3. Al-Sunan, karya Ibn Majah (273 H)
4. Al-Sunan, karya Abu Daud (275 H)
5. Al-Sunan, karya al-Tirmidzi
6. Al-Sunan, karya al-Nasa’i (303 H)
7. Al-Musnad, karya Ahmad ibn Hanbal
8. Al-Musnad, karya al-Darimi
9. Al-Musnad, karya Abu Daud alTayalisi. Dengan usaha para ulama besar abad ke tiga,
tersusunlah tiga macam kitab hadis, yaitu: kitab-kitab Shahih,53 kitab-kitab Sunan54 serta kitab-
kitab Musnad.
Sedangkan abad IV-VI merupakan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan
penghimpunan (ashr al-tahdzib wa altartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Dengan karakteristik

17
penulisan hadis berbentuk Mu’jam (Ensiklopedi), Shahih (himpunan Shahih saja), mustadrak
(susulan shahih), Sunan al-Jam’u (gabungan antara dua atau beberapa kitab hadis), ikhtishar
(resume), istikhraj dan syarah (ulasan).
Pada masa berikutnya, yakni abad ke VII-VIII H dan berikutnya disebut dengan masa
penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematik (al-Jam’u wa at-Tanzhim). Setelah
pemerintahan Abbasiyyah jatuh ke bangsa Tartar pada tahun 656 H, maka pusat pemerintahan
pindah dari Baghdad ke Cairo, Mesir dan India. Pada masa ini banyak kepala pemerintahan yang
berkecimpung dalam bidang ilmu hadis, seperti al-Barquq. Di samping itu ada juga usaha dari
ulama India dalam mengembangkan kitab-kitab hadis. Di antaranya Ulumul Hadis karangan al-
Hakim. Demikian perkembangan penulisan dan pengkodifikasian hadis sampai abad 12 H. Mulai
abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para
ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah
hadis-hadis yang telah terhimpun sebelumnya

18
BAB III

PENUTUP

3.1.Simpulan
Hadis merupakan ucapan, perbuatan atau penetapan yang dinisbatkan kepada Nabi,
segala sesuatu yang ada pada Nabi Muhammad SAW. Sejarah perkembangan hadis mengalami
lima periode.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Majid, Al-Hasani Hasyim, Ushul alHadis al-Nabawi, Kairo: al-Hadisah li al Thaba’ah, t.t
Abu Syahbah, Muhammad ibn Muhammad, al-Wasit fi Ulum wa Mustalah alHadis,
Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t

Abu Zahwi, Muhammad, al-Hadis wa alMuhaddisun al-Inayah al-Ummah alIslamiyah bi al-


sunnah bi alMuhammadiyyah, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t

Agus, M. Sholihin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2013 Ajjaj,
Muhammad al-Khatib, as-Sunnah qabl at-Tadwin, Kairo:Maktabah Wahbah, 1963

Alamsyah, Pemalsuan Hadis dan Upaya Mengatasinya, al-Hikmah: Jurnal UIN Alauddin,
Volume 14, Nomor 2, 2013

Alfatih, Muhammad Suryadilaga, Ulumul Hadis, Yogyakarta: Kalimedia, 2015

Ali, K., A Study of Islamic History, Delhi: Idarah al-Adabiyat Delhi, 1980 As-Shalih, Subhi,
Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009 Dawud, Abu Sulaiman ibn al-
Asy’ ats alSajistani, Sunan Abu Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, t.t, juz III, Fatihunnada, Hadis
dan Sirah dalam Lit

20

Anda mungkin juga menyukai