Tunanetra Kel.7
Tunanetra Kel.7
Tunanetra Kel.7
DOSEN PENGAMPU:
DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 7
IRFANDI (180030 )
2019
KATA PENGANTAR
Demikianlah yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat dimengerti
bagi pembaca. Dan makalah ini, sekiranya dapat berguna bagi kami dan siapapun
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf bila terdapat kesalahan
penulisan. Dan kami meminta kritik beserta saran yang membangun dari pembaca
demi perbaikan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
C. Tujuan .......................................................................................................... 2
A. Kesimpulan ................................................................................................ 10
B. Saran ........................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuna netra adalah kondisi yang dialami seseorang dimana mereka
mengalami hambatan ketidak fungsian alat penglihatanya yang
disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya secara sempurna
organ penglihatan tersebut (Widdjajatin, A. dan Hitipeuw, I., 1999).
Kaum tuna netra yang tidak memiliki sisa penglihatan sama sekali
biasanya akan mempfungsikan daya pendengarannya untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Mereka lebih peka dan dapat
mengidentifikasi suara orang lain secara baik. Akibat ketunanetraan
secara psikologis akan berdampak pada sikap yang negatif terhadap
dirinya, mengasingkan diri dari lingkungan sosial, rendah diri, merasa
tidak mampu dan tidak berguna dan seterusnya singkatnya tuna netra
yang dialami dirasakan sebagai beban yang berat dan mempengaruhi
seluruh pola dan kegiatan hidupnya, termasuk model beragama yang
dilakukan. Tuna netra yang terjadi sejak lahir secara kondisional mereka
lebih dapat menerima dirinya secara wajar seperti orang pada umumnya,
mereka cenderung bahagia, tidak ada beban, santai dan bahkan ada yang
sangat energik seolah-olah tiada beban dalam hidupnya. Namun bagi
mereka yang mengalami ketunanetraan setelah mereka pernah dapat
melihat, maka ada kecenderungan mereka sangat terganggu
emosionalnya. Mereka merasa bahwa dalam dirinya ada yang kurang,
merasa hidupnya tertekan, kurang dapat menerima dirinya, menyalahkan
terhadap nasibnya dan banyak lagi efekefek psikologis yang dideritanya.
Mereka lebih meratapi hidup sebagaimana cobaan dan tidak sedikit dari
mereka yang frustasi. Tuna netra yang seperti katagori kedua ini yang
akan berbeda dalam hal keberagamaan dan penerimaan diri.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa faktor hubungan ayah-ibu-anak?
2. Apa faktor pemahaman orang terhadap anak dengan hambatan
penglihatan?
3. Apa faktor komunikasi dengan teman sebaya ?
4. Apa saja faktor bahasa non- verbal ?
5. Bagaimana sikap mudah curiga, ketergantungan dan mudah
tersinggung anak tunanetra ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang dapat dicapai yaitu:
1. Untuk mengetahui faktor hubungan ayah-ibu-anak
2. Untuk mengetahui faktor pemahaman orang terhadap anak dengan
hambatan penglihatan/tunanetra
3. Untuk mengetahui faktor komunikasi dengan teman sebaya
4. Untuk mengetahui apa saja faktor bahasa non- verbal
5. Untuk mengetahui bagaimana sikap mudah curiga, ketergantungan
dan mudah tersinggung anak tunanetra/hambatan penglihatan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
1. Orang awas tidak tahu secara detail mengenai orang tunanetra dan
kemudian mereka akan terheran-heran saat orang tunanetra
menunjukkan kemampuannya
2. Orang awas akan cenderung kasihan pada tunanetra, pada saat yang
sama oranbg tunanetra berpikir bahwa ia memiliki keuatan yang lebih
dari orang awas pada umumnya.
Adapun secara umum sikap orang tua terhadap anaknya yang cacat ada
tiga macam yaitu:
4
Sommers (1944) yang dikutip oleh Tien Supartinah (1994:25) telah
mengadakan penelitian tentang sikap orang tua terhadap anaknya yang
tuna netra, hasilnya sebagai berikut:
5
B. Faktor Pemahaman Orang Terhadap Anak dengan Hambatan
Penglihatan/Tunanetra
Adapun sikap masyarakat dalam memandang tuna netra bersifat
variasi, namun sebagian besar masyarakat lebih memandang positif dan
menerima secara baik. Sebagian juga ada yang berpandangan bahwa tuna
netra sebagai kecacatan yang paling berat oleh masyarakat karena
dianggap sebagai anak yang penuh dengan sifat-sifat negatif, seperti
kesedihan, keputus-asaan, ketidak berdayaan, kelemahan dan
ketergantungan kepada orang lain. Anggapan semacam itu akan
menumbuhkan rasa penolakan, rasa kasihan dan merangsang untuk
memperhatikan kepada masalah anak tuna netra. Anggapan seperti itu juga
akan menimbulkan sikap penolakan terhadap tuna netra, sikap masyarakat
yang demikian juga akan berakibat anak tuna netra merasa kurang percaya
diri, menyendiri, dan isolasi sosial bahkan anggapan masyarakat yang
negatif terhadap anak tuna netra juga bisa timbul karena rasa kasihan.
C. Faktor Komunikasi Dengan Teman Sebaya
Masalah lain dapat timbul pada saat anak tunanetra itu mulai
berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Arena utama untuk
interaksi sosial bagi anak adalah kegiatan bermain, dan kajian yang
dilakukan oleh McGaha & Farran (2001) terhadap sejumlah hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak tunanetra menghadapi banyak
tantangan dalam interaksi sosial dengan sebayanya yang awas. Agar
efektif dalam interaksi sosial, anak perlu memiliki keterampilan-
keterampilan tertentu, termasuk kemampuan untuk membaca dan
menafsirkan sinyal sosial dari orang lain dan untuk bertindak dengan
tepat dalam merespon sinyal tersebut. Kesulitan yang dihadapi anak
tunanetra untuk dapat mempersepsi isyarat-isyarat komunikasi nonverbal
(yang pada umumnya visual) mengakibatkan anak ini membutuhkan cara
khusus untuk memperoleh keterampilan sosial, seperti keterampilan untuk
mengawali dan mempertahankan interaksi. Tanpa keterampilan ini,
6
anak tunanetra sering kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dan
menjadi terpencil dalam kelompoknya.Kekelis & Sacks dan Preisler
(McGaha & Farran, 2001) melaporkan bahwa anak-anak awas pada
mulanya berminat untuk berinteraksi dengan anak tunanetra, tetapi
lama kelamaan kehilangan minatnya ituketika isyarat mereka tidak
memperoleh respon yang diharapkan. Selain dari itu, di kalangan
sebayanya, anak tunanetra memerlukan waktu untuk dapat diterima
karena penerimaan sosial sering didasarkanatas kesamaan. Anak
cenderung mengalami penolakan sosial bila mereka dipersepsi sebagai
berbeda dari teman-teman sebayanya (Asher et al. - dalam Burton, 1986).
Mungkin karena faktor-faktor tersebut di ataslah maka McGaha dan
Farran (2001) menemukan bahwa anak tunanetra lebih sering
melakukan kegiatan bermain ataupun lingkungannya, dan mengarahkan
kegiatan bermainnya ke tubuhnya sendiri. Kegiatan bermain
manipulatif dan penggunaan barang mainan secara fungsional juga
kurang sering terlihat pada anak tunanetra meskipun banyak dari
kegiatan bermain anak prasekolah melibatkan obyek-obyek yang dapat
berfungsi sebagai titik rujukan bersama. Sebagai alternatif dari
bermain dengan obyek adalah pretend play, tetapi anak tunanetra juga
ditemukan kurang sering dan kurang berhasil melakukan bermain
simbolik atau bermain peran. Selain dari itu, anak tunanetra cenderung
mengarahkan kegiatan bermainnya lebih banyak kepada orang dewasa
daripada kepada teman sebayanya (McGaha & Farran, 2001). Anak
tunanetra memilih untuk berinteraksi dengan orang dewasa karena
interaksi ini mungkin lebih bermakna dan menstimulasi daripada
interaksi dengan teman sebayanya, dan orang dewasa dapat
mengkompensasi keterbatasan keterampilan sosial anak tunanetra itu,
misalnya dengan mensubstitusi isyarat visual dengan isyarat verbal atau
taktual (tindakan menyentuh dan menggarap, biasanya dengan tangan).
7
D. Faktor Bahasa non Verbal
1. Body Language
Keterampilan bahasa tubuh (body language) anak tunanetra
mungkin berbeda dengan anak pada umumnya, dikarenakan
kebanyakan bahasa tubuh diperoleh melalui proses peniruan secara
visual. Sehingga hambatan dalam penglihatan yang dimiliki anak
tunanetra mempengaruhi proses penguasaan keterampilan bahasa
tubuh. Adapun kesulitan-kesulitan yang dialami anak tunanetra
terhadap keterampilan bahasa tubuh yaitu tidak bisa melakukan
gerakan badan dan ekspresi wajah yang sesuai dengan dialog
percakapan. Untuk mengatasi hal ini, dilakukan lah melalui
pembelajaran drama modern, dikarenakan dalam drama modern anak
dituntut untuk menguasai bahasa tubuh sesuai dengan tokoh yang
diperankan dalam naskah, sehingga secara tidak langsung anak belajar
mengenai bahasa tubuh (body language).
2. Perilaku stereotipik
Disebut juga dengan (Blindism) yaitu gerakan- gerakan yang
dilakukan tunanetra tanpa mereka sadari. Gerakan-gerakan ini sangat
tidak enak untuk dipandang, misalnya selalu menggeleng-gelengkan
kepala tanpa sebab, menggoyangkan badan dan sebagainya. Semua
gerakan ini tidak terkontrol oleh tunanetra, sehingga orang lain akan
pusing bila selalu melihat gerakan-gerakan tersebut.
8
anak tunanetra, bahwa tidak mudah baginya untuk menemukan sesuatu
benda yang dicarinya.
Anak tunanetra sering bertabrakan dengan orang lain, kakinya
terperosok dalam lubang dan pengalaman lain yang menimbulkan rasa
sakit, kecewa dan rasa tidak senang dalam hati. Namun ia tidak tahu
kepada siapa perasaan yang tidak menyenangkan ini akan ditumpahkan
atau diluapkan. Perasaan – perasaan tersebut mendorong dirinya untuk
selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya. Sikap yang selalu hati-
hati inilah yang akhirnya dapat menimbulkan sikap mudah curiga
terhadap orang lain.
2. Sikap ketergantungan
Sikap ketergantungan adalah sikap tunanetra yang lainnya. Mereka
tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri. Mereka cenderung untuk
mngharapkan uluran tangan dari orang lain. Hal ini terjadi karena dua
sebab, sebab petama yaitu datang dari diri tunanetra dan sebab kedua
datang dari luar diri tunanetra.
Dilihat dari dalam diri tunanetra, mereka tidak mau berusaha
sepenuh hati untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Dan bila
dilihat dari luar diri tunanetra adalah karena tunanetra menganggap
bahwa ada rasa kasih sayang dan perlindungan yang berlebihan dari
orang lain disekitarnya. Akibatnya, tunanetra tidak pernah berbuat
sesuatu, segala keperluannya telah disiapkan orang lain.
3. Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung ini timbul karena pengalaman sehari-
hari yang selalu menyebabkan kecewa, curiga pada orang lain.
Akibatnya anak tunanetra menjadi emosional, sehingga segala senda
gurau, tekanan suara tertentu atau singgungan fisik yang tidak sengaja
dari orang lain dapat menyinggung perasaanya.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa anak dengan gangguan penglihatan
berupa tunanetra banya sekali rintangan dan tantangan yang dihadapi, baik
dari dirinya sendiri maupun orang-orang sekitar nya (masyarakat dan
teman sebaya). Oleh karena itu, anak tunanetra banyak mengalami
gangguan psikologis pada dirinya sendiri yang diakibatkan faktor
lingkungan nya.
B. Saran
Dari makalah yang kami tulis ini, berdasarkan materi sebagai calon
pendidik anak berkebutuhan khusus kita dapat mengetahui faktor
psikologis apa yang menyebabkan anak tunanetra tidak timbul rasa
percaya diri nya dan yang telah dituliskan didalam makalah. Diharapkan
kita dapat mendidik berdasarkan pengetahuan yang telah kita miliki.
10
DAFTAR PUSTAKA
11