Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Bintang

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 33

SAINS BUMI DAN KOSMIK

FISIKA BINTANG

OLEH:

Anastasia Parmila (1513021078)

I putu indra putra p. (1513021082)

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2019

DAFTAR ISI
COVER……………...………………………………………………… i
PRAKATA………………...………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………….… iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………… 1
1.1 Rumusan Masalah……………………………………………... 1
1.2 Tujuan Penulisan………………………………………………. 2
1.3 Manfaat Penulisan……………………………………………... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Bintang dan Klasifikasi Bintang……………………… 3
2.2 Jarak dan Cahaya Bintang ………………………………………… 9
2.3 Warna dan Suhu Bintang……….………………………………. 22

BAB III PENUTUP


3.1 Simpulan……………………………………………………… 36

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Astronomi merupakan ilmu tertua yang mempelajari alam semesta.
Berbeda dengan cabang ilmu lainnya, di astronomi objek yang diamati tidak
bisa dipegang karena alam semesta itu sendirilah yang menjadi
laboratorium. Hal inilah yang menjadi keunikan astronomi. Salah satu objek
yang diamati pada ilmu astronomi adalah bintang. Di malam hari bintang-
bintang terlihat menempel di kubah bola langit, seakan-akan semua bintang
sama jauhnya dari bumi, tetapi bila dilihat dari cahayanya, ada bintang besar
yang sangat terang dan ada pula yang nampak dengan cahaya sangat lemah.
Terang lemahnya suatu cahaya bintang bisa disebabkan karena memang
cahaya bintang itu demikian keadaannya, tetapi bisa juga disebabkan karena
jauh dekatnya kedudukan suatu bintang itu dari pengamat (bumi). Bintang
yang jauh akan tampak cahayanya lebih lemah dan kecil, sedangkan bintang
yang dekat akan tampak terang dan besar. Cahaya bintang yang kita lihat
dengan menggunakan mata tidak menunjukkan cahaya bintang yang
sebenarnya.
Bumi beredar mengelilingi matahari satu kali edar dalam satu tahun,
hal ini berarti kedudukan bumi terhadap bintang juga berubah selama satu
tahun. Bintang juga seperti matahari adalah benda angkasa yang
memancarkan cahayanya sendiri. Seperti yang telah diketahui bahwa warna
cahaya bintang itu berbeda-beda, dan menurut hukum radiasi, bintang yang
biru suhunya lebih tinggi dari bintang yang sinar cahayanya kuning. Jadi
cahaya bintang tersebut dipengaruhi oleh suhu permukaan bintang. Jika
dilihat warna bintang dengan menggunakan mata dan dengan menggunakan
plat film akan menunjukkan hasil yang berbeda, hal ini disebabakan karena
mata akan lebih peka terhadap cahaya merah dan kuning, sedangkan plat
film peka terhadap cahaya biru dan putih. Perbedaan cahaya bintang ini
tidak hanya dipengaruhi oleh jarak bintang terhadap pengamat, tetapi juga
dipengaruhi suhu permukaan bintang tersebut dan spektrum yang

1
dipancarkan oleh bintang. Untuk mengatasi keterbatasan penglihatan warna
bintang, sekarang ini telah dibuat plat film yang peka terhadap berbagai
spektrum cahaya.
Ada berbagai spektrum cahaya bintang yang hampir sama dengan
spektrum cahaya matahari, hal ini yang membedakan penglihatan warna
bintang yang diamati. Selain memiliki perbedaan cahaya, bintang juga bisa
mengalami revolusi. Berdasarkan latar belakang inilah maka dipandang
perlu untuk membahas lebih jauh tentang fisika bintang-bintang

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada
makalah ini, diantaranya:
1.2.1. Bagaimana definisi dan klasifikasi bintang?
1.2.2. Bagaimanakah jarak dan cahaya bintang?
1.2.3. Bagaimanakah warna dan suhu bintang?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1. Mendeskripsikan definisi dan klasifikasi bintang.
1.3.2. Mendeskripsikan mengenai jarak dan cahaya bintang.
1.3.3. Mendeskripsikan mengenai warna dan suhu bintang.

1.4. Manfaat Penulisan


1.4.1. Bagi penulis
Penulisan makalah ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan
penulis tentang penulisan suatu karya ilmiah dan materi fisika
bintang-bintang.
1.4.2. Bagi pembaca
Penulisan makalah ini bermanfaat bagi pembaca terutama untuk
menambah pengetahuan tentang fisika dalam bintang-bintang.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Bintang dan Klasifikasi Bintang


2.1.1 Definisi Bintang
Bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahaya. Terdapat bintang semu
dan bintang nyata. Bintang semu adalah bintang yang tidak menghasilkan cahaya sendiri,
tetapi memantulkan cahaya yang diterima dari bintang lain. Bintang nyata adalah bintang yang
menghasilkan cahaya sendiri. Secara umum sebutan bintang adalah objek luar angkasa yang
menghasilkan cahaya sendiri (bintang nyata). Menurut ilmu astronomi, bintang adalah semua
benda massif ( bermassa antara 0,08 hingga 200 massa matahari) yang sedang dan pernah
melangsungkan pembangkitan energi melalui reaksi fusi nuklir. Bintang terdekat dengan
bumi adalah matahari dengan jarak sekitar 149,680,000 kilometer (1 SA), diikuti
oleh Proxima Centauri dalam rasi bintang Centaurus berjarak sekitar empat tahun cahaya.
Bintang terutama terdiri dari hydrogen, sejumlah kecil helium, dan unsur lain dalam jumlah
lebih sedikit lagi. Bintang-bintang yang terlihat di langit malam semuanya terletak dalam
Galaksi Bima Sakti
2.1.2 Klasifikasi Bintang
Informasi penting yang diperoleh pengamat dari suatu bintang, selain magnitudonya
adalah spektrumnya. Dengan menganalisis spektrum suatu bintang, dapat diketahui
karakternya seperti warna, ukuran, luminositas, sejarahnya, keanehannya, perbandingannya
dengan matahari dan bintang tipe lainnya. Spektrum cahaya dalam berbagai panjang
gelombang dapat diperoleh dengan menguraikannya melalui prisma atau kisi-kisi. Alat
pengurai cahaya bintang yang biasa digunakan dalam teleskop adalah spektograf. Kelas
warna untuk setiap bintang umumnya berbeda-beda. Pengelompokan warna bintang
pertama kali dilakukan oleh astronom Jesuit, Angelo Sechhi (1863), dengan
membaginya dalam empat golongan berdasarkan kemiripan susunan garis warnananya.
Penggolongan warna bintang tersebut dibagi dalam kelas-kelas yang dinyatakan dengan
huruf sebagai berikut : O B A F G K M. Untuk memudahkan mengingat, dapat
dilakukan dengan cara berikut : Oh Be A Fine Girl Kiss Me.
Urutan ini tidak mengikuti abjad, karena perubahan urutan dalam penggolongan
sebelumnya dilakukan tanpa mengubah huruf asalnya, dan beberapa huruf dihilangkan.

3
Bintang kelas O, B, dan A biasanya disebut bintang kelas awal, sedangkan kelas K
dan M disebut bintang kelas lanjut. Penggolongan ini didasarkan pada temperatur
permukaan bintang. Sebagai contoh : Unsur yang paling banyak terkandung di
dalam kebanyakan bintang adalah hidrogen, tetapi mengapa mengapa ada bintang yang garis
hidrogennya lemah dan ada yang kuat? Pada bintang panas, hampir semua hidrogen
mengalami ionisasi. Karena garis hidrogen berasal dari atom hidrogen netral, maka akibatnya
garis hidrogen sangat lemah pada bintang ini. Pada bintang yang dingin, sebagian besar
atom hidrogennya berada pada tingkat energi dasar. Foton yang diserap atom-atom ini
hanya mengeksitasikan atom H dari tingkat dasar. Garis serapan yang dihasilkan adalah pada
deret Lyman di daerah ultraviolet yang tak tampak pada pengamatan optik sehingga garis H
pada bintang ini tampak lemah.
Tabel 1. Klasifikasi Bintang

Kelas Warna Temperatur Contoh Bintang

O Biru >30.000 K

Bintang 10 Lacerta :

11.000- Bintang Alnitak


B Biru
30.0000 K

Bintang Rigel

4
Bintang Spica

Bintang Sirius

7.500-
A Biru
11.000 K

Bintang Vega

Biru
6.000-7.000 Bintang Canopus
keputih-
K
putihan

Bintang Proycon

Putih
5.000-6.000
G kekuning-
K
kuningan
Matahari

5
Bintang Capella

Jingga
BIntang Arcturus
K kemerah- 3.500-5000 K
merahan

Bintang Aldebaran

2.500-3.000
M Merah Bintang Betelgeues
K

Bintang Antares

Pada tahun 1913, Adams dan Kohlschutter (dari Observatorium Mount Wilson)
menunjukkan bahwa ketebalan beberapa garis spektrum dapat digunakan untuk menentukan
luminositas bintang. Ada garis yang kuat dari beberapa bintang raksasa dan ada garis lemah
pada bintang katai putih. Berdasarkan kenyataan ini pada tahun 1943, Morgan dan Keenan
(dari Observatorium Yerkes) membagi bintang dalam kelas luminositas, yaitu: Kelas Ia :

6
bintang maharaksasa yang sangat terang Kelas Ib : bintang maharaksasa yang kurang terang
Kelas II : bintang raksasa yang terang Kelas III : bintang raksasa Kelas IV : bintang subraksasa
Kelas V : bintang deret utama Dengan adanya kelas spektrum dan kelas luminositas, maka
dalam penulisannya keduanya digabungkan. Sebagai Contoh :
 G2 V adalah untuk bintang deret utama dengan kelas spektrumnya G2 (contoh : matahari)
 A2 Ia adalah bintang maharaksasa yang sangat terang dengan kelas spectrum A2 (Contoh :
Deneb)
 M2 Ib adalah bintang maharaksasa yang kurang terang dengan kelas spectrum M2 (Contoh
: Betelgeuse)
2.2. Jarak dan Cahaya Bintang
Di malam hari bintang-bintang tampak seperti menempel di kubah bola
langit, seakan-akan semua itu sama jauhnya dari bumi. Tetapi bila dilihat dari
cahanya, ada bintang besar dan sangat terang, dan ada pula yang tampak kecil
dengan cahayanya yang sangat lemah. Terang lemahnya cahaya bintang bisa
disebabkan jauh dekatnya kedudukan bintang itu dari pengamat (bumi). Bintang
yang jauh akan tampak cahayanya lebih lemah dan kecil, sedang bintang yang
dekat akan tampak terang dan besar. Seperti halnya dengan bola lampu mobil, bila
mobil itu jauh akan tampak cahaya lampu itu lemah dan kecil, tetapi bila mobil itu
sudah dekat akan tampak cahaya lampunya terang dan besar.
Salah satu cara untuk menentukan jarak suatu bintang adalah dengan
mengukur paralaks bintang tersebut, yaitu perubahan arah penampakan bintang
dari satu sisi ke sisi dari orbit lain.
2.2.1. Jarak dan Paralaksis Bintang
Bumi beredar mengelilingi matahari satu kali edar dalam satu tahun. Ini
berarti kedudukan bumi terhadap bintang juga berubah selama satu tahun (Surya,
2006). Bintang yang jaraknya dekat, penampakannya akan bergeser terhadap
kedudukan binatng jauh yang tampak seperti latar belakang. Perubahan
kedudukan ini akan tampak berbentuk kecil terhadap bintang jauh tersebut seperti
terlihat pada Gambar 1 berikut.

7
Gambar 1. Kedudukan bumi mengitari matahari dan paralaks
bintang

Misalkan ketika bumi berada di B1, maka binatng S akan tampak berada di
S1,sedangkan 6 bulan kemudian bumi berada di B2 dan bintang S akan tampak
berada di S2, dan 6 bulan berikutnya lagi bumi berada kembali di B 1 dan bintang
S kembali berada di S1. demikian terus berulang selam setahun. Perubahan
kedudukan bintang di langit dari sisi orbit yang satu ke sisi orbit yang lain disebut
paralaks bintang. Setengah sumbu panjang orbit paralaks bintang itu dinamakan
paralaks heliosentrik, yaitu sama dengan sudut p. Dari gambar 1 di atas terlihat
bahwa dari segitiga MB1S didapat:
MB1 a
sin p   (1.1)
B1 S d

c
sin p 
d
Paralaks bintang biasanya sangat kecil, dan bila p dinyatakan dalam radian
di mana 1 rad = 57,30 , maka sin p = p, sehingga persamaan (1.1) menjadi:
a
p (1.2)
d
Jarak rerata bumi-matahari a = 1,5 x 1011m disebut dengan satu satuan
Astronomi atau 1 SA = 1,5 x 1011m. bila a dinyatakan dalam SA, maka persamaan
(1.1) bisa ditulis menjadi:
1 1
p atau d  (1.3)
d p

Dari hasil pengamatan ternyata paralaks bintang selalu lebih kecil dari satu
detik busur dan terbesar paralksnya adalah 0,76 detik busur (0’’, 76). Bintang yang
paralaksnya satu detik busur, jaraknya dinamakan satu parsec (pc) atau dengan
perkataan lain p = 1’’ maka d = 1 pc.
Karena 1 rad = 206265” atau 1”= 1/206265 rad
Maka persamaan (5.3) dapat ditulis menjadi

8
1 atau
1pc  SA
1 / 206265

1pc  206265SA (1.4)

Bila paralaks p dinyatakan dalam detik busur (”) dan jarak d dinyatakan
dalam parsec (pc) maka persamaan (1.3) menjadi,
1 (1.5)
d  pc 
p

Karena ukuran jarak bintang merupakan bilangan yang sangat besar, lebih-
lebih bila dinyatakan dalam meter, maka jarak bintang sering atau lebih umum
dinyatakan dalam tahun cahaya (tc). Karena laju cahaya c = 3 x 10 8 m/s atau 1
detik cahaya = 3 x 108, maka:
1 tahun cahaya = 365 x 24 x 60 x 60 x (3 x 108) m = 9,46 x 1015m
9,46x1015 m
1tc   6,3x10 4 SA
1,5x1011 m / SA

Karena 1 pc = 206265
206265SA
=  3,26 tc
6,3x10 4 SA / tc

Jadi, 1 pc = 3,26 tc
Menentukan paralaks bintang adalah pekerjaan yang sangat sulit, karena
pada umumnya paralaks bintang itu jauh lebih kecil dari satu detik busur.
Misalnya bintang kasat mata yang paralaksnya terbesar adalah bintang Alpha
Centauri yang paralaksnya adalah 0,75. berarti jarak bintang ini adalah:
1
d pc  1,33pc
0,75
d  1,33pc  3,26 tc / pc   4,3tc

a) Paralaks Trigonometri
Penentuan jarak bintang baru berhasil dilakukan pada abad ke-19
dengan menggunakan metode paralaks trigonometri (Surya, 2006). Akibat
dari gerak edar bumi, bintang dekat akan terlihat bergeser terhadap bintang
jauh. Dan bintang tersebut seolah bergerak menempuh lintasan ellips relatif
terhadap latar belakang bintang yang jauh. Gerak ellips tersebut merupakan
pencerminan gerak bumi. Sudut yang dibentuk oleh bumi dan matahari ke

9
bintang inilah yang diebut paralaks bintang. Semakin jauh letak bintang,
lintasan ellipsnya makin kecil, paralaksnya juga makin kecil

Gambar 2. jarak bumi -


matahari, serta paralaks bintang
Dengan mengetahui jarak bumi - matahari, serta paralaks bintang, jarak
bintang bisa diketahui dari hubungan :

Metode paralaks trigonometri hanya bisa digunakan untuk mendapatkan


jarak bintang-bintang terdekat (untuk jarak ratusan parsec).
b) Paralaks Spektroskopik
Dalam pengamatan, terang suatu bintang diukur dalam satuan
magnitude (Suwitra, 2010). Dari pengamatan magnitudo semu bintang serta
kelas spektrum bintang juga bisa diketahui. Dengan mendefinisikan
magnitudo mutlak bintang sebagai magnitudo bintang yang diandaikan
diamati pada jarak yang sama, yaitu 10 parsec. Untuk bintang-bintang jauh,
dengan membandingkan kelas spektrum bintang dari hasil pengamatan
dengan bintang yang kelas spektrumnya sama dan sudah diketahui jaraknya,
magnitudo mutlak bintang bisa diketahui dari hubungan pada temperatur
(kelas spektrum dengan M). Selisih magnitudo semu dan magnitudo mutlak
akan memberikan harga jarak bintang dari pengamat setelah dikoreksi
terhadap serapan antar bintang :

Kondisi tanpa adanya debu akan mempermudah penentuan magnitudo


absolut bintang. Untuk bintang dekat, efek debu kecil dan bisa diabaikan.
c) Paralaks Rata-Rata
Perhitungan jarak bintang dengan paralaks rata-rata dilakukan untuk
bintang-bintang yang sangat jauh. Penentuan paraks rata-rata melibatkan
sejumlah bintang yang memiliki kelas spektrum dan kelas luminositas yang

10
sama sehingga diharapkan magnitudo mutlak semua bintang dalam gugus
akan sama. Untuk menentukan paralaks rata-rata, diamati gerak bintang
yang akan memberi informasi jaraknya. Gerak sejati bintang bisa diuraikan
dalam 2 komponen yakni komponen yang searah dengan arah apex-
antapex dan komponen yang tegak lurus arah apex – antapex dan tidak

terpengaruh gerak matahari. Bila merupakan komponen kecepatan


tangensial pada arah , maka :

τ yang digunakan adalah harga rata-rata untuk semua bintang. Paralaks rata-
rata sekelompok bintang itu akan memenuhi persamaan :

dimana

Dari pengamatan terhadap dan masing-masing bintang, harga


magnitudo mutlak bintang kelompok itu bisa ditentukan dari hubungan :

Dari sini harga paralaks masing-masing bintang bisa ditentukan dan jarak
bisa diketahui
d) Paralaks Gerak Gugus
Penentuan jarak berdasarkan gerak bintang juga bisa dilakukan dengan
mengamati gerak sejati bintang dalam gugus bintang. Untuk gugus yang
tidak terlampau jauh, lintasan bintang dalam gugus terlihat memusat pada
suatu titik. Titik temu vektor gerak sejati inilah yang disebut titik vertex.
Jika A merupakan sudut yang dibentuk oleh gugus bintang dan titik vertex
dan V merupakan kecepatan gugus dalam ruang dimana V r merupakan
kecepatan radialnya, maka kecepatan tangensialnya gugus adalah :

Dengan mengetahui kecepatan tangensial, jarak bisa diketahui dari


hubungan :

11
merupakan gerak sejati bintang

Gambar 3. jarak bumi - matahari,


serta paralaks bintang

2.2.2. Terang Bintang


Bintang, seperti juga matahari adalah benda angkasa yang memancarkan
cahaya sendiri. Seperti yang telah diketahui bahwa terang suatu benda yang
bercahaya yang nampak oleh mata, terangnya sangat bergantung pada jarak benda
tersebut. Makinjauh jarak bintang tersebut maka makin redup pula cahayanya
yang namapak oleh mata. Terang bintang yang tampak oleh pengamat (bumi)
adalah merupakan energi dari bintang itu yang diterima oleh pengamat per satuan
waktu per satuan luas yang disebut dengan fluks energi yang dinyatakan dalam
joule/s.m2.
Besarnya energi yang dipancarkan oleh suatu bintang ke ruang angkasa per
satuan waktu disebut luminositas (L) bintang.

S E B

d
Gambar 4. memperlihatkan suatu bintang S yang luminositasnya L. Berarti
bintang ini memancarkan energi ke ruang angkasa ke segala arah sebesar L joule
Gambar 4. Hubungan luminositas L, jarak d, dari fluks
per detik (J/s). Pengamat B yang berada pada jarak d dari bintang S juga akan
energi E
menerima energi yang dipancarkan oleh bintang S ini. Besarnya energi yang

12
diterima oleh pengamat B (bumi) per satuan waktu per satuan luas adalah sebesar
E. Dikatakan fluks energi di B adalah E. Karena energi yang dipancarkan oleh
bintang s telah merambat sejauh d, berarti melalui permukaan seluas 4rd 2 .
Oleh karena itu, besarnya energi yang diterima oleh b per satuan luas per satuan
waktu yang sama dengan fluks energi di B adalah
L
E (1.6)
4d 2
Terang bintang yang tampak oleh pengamat bergantung pada fluks energi
binatang yang sampai di mata pengamat. Bintang tampak terang bila fluks
energinya besar dan tampak lemah bila fluks energinya kecil. Dari persamaan
(5.6) terlihat bahwa fluks energi ini sebanding dengan luminositas bintang dan
berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya dari pengamat. Misalnya, matahari
sebenarnya adalah sebuah bintang, tetapi karena jaraknya yang sangat dekat
dibandingkan dengan bintang lainnya, makanya fluks energinya jauh lebih besar
sehingga terang matahari jauh lebih kuat dibandingkan dengan bintang lainnya.
Jadi sebenarnya matahari adalah merupakan bintang yang terdekat jaraknya
dengan bumi.
Fluks energi matahari yang tiba di bumi adalah 1,95 kalori per cm 2 per
menit yang disebut tetapan matahari. Bila tetapan matahari ini kita namakan E 
maka,
E   1,95 kal per cm2 per menit

Karena jaraak bumi-matahari telah diketahui d = 1,5 x 10 11 m atau sama


dengan 1 SA, maka dengan menggunakan persamaan (5.6) kita bisa menghitung
luminositas matahari, L 
L   4d 2 .E 


  4  1,5x1011 m  1,37 x10
2 3
J / m 2 .s 
 3,78x10 26
J/s
 3,9 x10 26
watt  3,9 x10 20 MW

Ini berarti matahari memancarkan energinya ke ruang angkasa tiap detiknya


sebesar 3,9x1020 MW. Energi sebesar ini sama dengan energi yang dihasilkan oleh
semua pembangkit energi butan manusia di bumi sekarang ini untuk selama tiga
juta tahun.

13
2.2.3. Magnitudo Bintang
Bila diperhatikan cahaya bintang di langit, ternyata ada bintang yang
sangat terang dan ada bintang yang sangat lemah cahayanya. Pada abad kedua
sebelum Masehi, Hiparcus telah membuat penggolongan terang bintang yang
disebut dengan magnitudo bintang. Dia menggolongkan bintang dalam enam
kategori yaitu bintang yang paling terang tampak oleh mata diberi magnitudo 1,
dan bintang yang paling lemah cahayanya yang masih bisa dilihat dengan mata
telanjang diberi magnitudo 6. Oleh karena itu, bintang memiliki magnitudo antara
1 sampai dengan 6.
Pada tahun 1830, Herschel (dalam Suwitra, 2010) berkesimpulan bahwa
bintang yang magnitudonya 1 terangnya 100 kali lebih terang dari bintang yang
magnitudonya 6. Webwr dan Fechner (dalam Suwitra, 2010) mengajukan bahwa
kepekaan penginderaan manusia bersifat logaritmik, dengan rumusan
S = c log R (1.7)
Di mana
S = intensitas penginderaan
R = stimulus yang menyebabkan, dan
c = konstanta perbandingan
Pada tahun 1856, Pogson (Suwitra, 2010) menggunakan hukum Weber dan
Fechner dan menilai
Konstanta c = -2,5 atau
= - 1/0,4
= 1/ log 2,512
Dengan hubungan sebagai berikut:
0,4 m 2  m1   log E 1 / E 2 atau
m 2  m1  2,5 log E 2 / E 1 (1.8)
Di mana, m1 = magnitudo bintang yang fluksnya E1 dan
m2 = magnitudo bintang yang fluksnya E2.
Persamaan (1.8) ini dinamakan persamaan Pogson
Dengan pengukuran secara cermat ternyata ada bintang yang
magnitudonya lebih kecil dari 1 dan ada pula yang lebih besar dari 6. Telah kita

14
ketahui bahwa makin kecil magnitudo bintang berarti makin terang cahayanya dan
sebaliknya, makin besar magnitudonya maka makin lemah cahayanya. Berikut ini
adalah tabel data magnitudo beberapa bintang dan benda langit lainnya.
Tabel 1. Data Magnitudo Beberapa Bintang dan Benda Langit Lainnya
Benda Langit Magnitudo Benda Langit Magnitudo
Matahari -26,8 Sirius -1,5
Bulan purnama -12,7 Aldebaran 0,8
Jupiter -4,4 Betelgeuse 0,4
Venus -2,7 Antares 0,98
Mars -2,0 Vega 0,04

a) Magnitudo Semu dan Magnitudo Mutlak


Terang bintang yang tampak adalah merupakan ukuran dari fluks
energinya yang diterima oleh mata. Telah kita ketahui bahwa fluks energinya itu
berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya, seperti pada persamaan (1.6). Ini
berarti bahwa terang bintang yang tampak oleh mata kita tidak bisa
membandingkan mana sebenarnya lebih terang atau lebih lemah dari yang
lainnya. Oleh karena itu, terang bintang yang tampak oleh mata dinamakan
magnitudo semu yang diberi simbol m. Untuk membandingkan terang sebenarnya
bintang satu dengan yang lainnya, maka bintang haruslah berada pada kedudukan
atau jarak yang sama dari pengamat. Untuk maksud ini maka diambillah
magnitudo bintang bila bintang berada pada jarak 10 parsec ini dinamakan
magnitudo mutlak atau diberi simbol M.
Hubungan antara magnitudo semu dengan magnitudo mutlaknya suatu
bintang dapat dicari dengan menggunakan persamaan Pogson. Misalkan sebuah
bintang jaraknya d parsec, fluks energinya E. Bila bintang ini berada pada jarak 10
parsec maka fluks energinya adalah E0. Dengan memasukkan besaran ini ke dalam
rumus Pogson akan menjadi:
m  M  2,5 log E / E 0 (1.9)
Dengan menggunakan persamaan (1.6) maka akan didapat:
E L / 4d 2 10 2
 
E 0 L / 410 2 d2

Dengan memasukkan harga E/E0 ini ke dalam persamaan (1.9) maka:


m  M  2,5 log10 / d 
2

15
 5 log10 / d 
 5 log 10  log d 
 51  log d 

Jadi, m  M  5  5 log d (1.10)


Di mana d adalah jarak bintang dalam parsec (pc).
Persamaan (1.10) dapat juga ditulis menjadi:
M  m  5  5 log d (1.11)
Dengan menggunakan rumus Pogson kita dapat pula membuktikan bahwa
perbedaan magnitudo mutlak dua buah bintang sebanding dengan logaritma
perbandingan luminositasnya. Misalkan bintang 1 magnitudo mutlaknya M1
dengan luminositas L1 dan bintang 2 magnitudo mutlaknya M2 dengan luminositas
L2, maka diperoleh:
M 2  M 1  2,5 log E 02 / E 01 (1.12)

L2
410 
2
M 2  M 1  2,5 log
L1
410
2

L2 L1
Karena E 02  dan E 01  , maka persamaan
410 410 
2 2

(1.12) akan menjadi:


M 2  M 1  2,5 log L 2 / L1 (1.13)
Dengan demikian, bila jarak bintang itu diketahui maka kita dapat
menentukan magnitudo mutlaknya dengan memakai persamaan (1.10) atau
persamaan (1.11). Dari persamaan (1.13) ternyata magnitudo mutlaknya bisa
digunakan untuk menentukan perbandingan luminositas bintang yang satu dengan
bintang yang lainnya ataukah dengan luminositas matahari yang mudah
ditentukan dengan baik.
b) Luminositas Relatif
Dari persamaan (1.13) ternyata bila magnitudo mutlak dua bintang diketahui
M1 dan M2, maka perbandingan luminositasnya L2 dan L1 dapat ditentukan:
M 2  M 1  2,5 log L 2 / L1

Atau LogL 2 / L1  0,4 M 1  M 2  (1.14)

16
Pernyataan luminositas suatu bintang dalam bentuk luminositas bintang
lain disebut luminositas relatif. Biasanya luminositas relatif suatu bintang
dinyatakan dalam bentuk luminositas matahari sehingga persamaan (1.14) akan
menjadi:
LogL  0,4 M   M  (1.15)
Karena luminositas mutlak visual matahari telah dapat diketahui yaitu
+4,8, maka luminositas relatif suatu bintang dapat dinyatakan dalam suatu
persamaan berikut:
log L  0,4 4,8  M  (1.16)
Dari persamaan (1.16) kita dapat menghitung luminositas relatif suatu
bintang terhadap luminositas matahari atau dalam artian terang sebenarnya
bintang tersebut dibanding dengan terangnya matahari.

2.2.4 Modulus Jarak


Selisih magnitudo semu dan magnitudo mutlak suatu bintang dapat dicari
dengan menggunkan hukum kebalikan kuadrat jarak seperti pada Gambar 6.
berikut.

d M
m
S E C
10 pc A
B
Gambar 6. Flux energi berbanding terbalik
dengan kuadrat jarak
Gambar 6 Fluks energi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak
Misalkan pengamat ada di A pada jarak d dari bintang S dan magnitudo
yang teramati dari A adalah m. Bila pengamat berada di B pada jarak 10pc dari
bintang S, maka magnitudo bintang yang terlihat dari B adalah sama dengan
magnitudo mutlaknya M. Kalau fluks energi di A adalah E dan fluks energi di B
adalah E0, maka menurut hukum kebalikan kuadrat jarak E/E 0 = 102/d2 , sehingga
persamaan Pogson akan menjadi:
m  M  2,5 log E / E 0

17
 2,5 log d / 10 
2

Jadi, m  M  5 log d / 10 (1.17)


 m  M  / 5  log d / 10  log d  1
Atau
log d   m  M  / 5  1   m  M  5 / 5

d  10  m  M 5  / 5 (1.18)
Dari persamaan (1.17) dan (1.18) ini ternyata harga (m - M) hanya
bergantung pada jarak bintang d saja. Oleh karena itu selisih magnitudo semu dan
magnitudo mutlak (m - M) disebut modulus jarak. Makin besar harga (m - M)
maka harga d juga makin besar dan sebaliknya. Jadi modulus jarak adalah
merupakan ukuran jarak dari suatu bintang yang diukur dalam parsec (pc).
2.3 Warna dan Suhu Bintang
Bintang terbentuk dari dua buah gas, yaitu gas Hidrogen dan Gas Helium.
Kedua gas tersebut mempunyai suhu yang sangatlah panas, sehingga atom yang
menyusun keduanya bergerak dengan sangat cepat. Ketika atom-atom yang
bergerak cepat tersebut saling bertabrakan, atom-atom tersebut bergabung dan
terbentukalah atom yang lebih berat sehingga terciptalah sebuah ledakan energi.
Ledakan energi yang terdiri dari dari cahaya inilah yang membuat sebagian
bintang menampakan sinarnya. Bila diperhatikan cahaya bintang dengan lebih
cermat akan ternyata bahwa warna cahayanya berbeda-beda, ada yang bercahaya
kemerahan, seperti bintang Betelgeuse dan Antares, ada yang cahayanya kebiruan
seperti bintang Sirius dan bintang Vega, dan ada pula yang kekuningan seperti
bintang Alpa Centauri dan bintang Capella serta ada juga bercahaya keputihan
seperti bintang Procyon.
Kita tidak dapat menyebutkan seberapa terangnya suatu bintang hanya
dengan memandangnya, karena bintang tersebut terletak pada jarak yang sangat
jauh. Sinar terang asli yang dikeluarkan bintang tersebut juga berbeda. Jika suatu
bintang terlihat redup, ini bisa diakibatkan karena letaknya yang lebih jauh dari
pada bintang yang terlihat terang.

18
Gambar 7 Ribuan Bintang dengan Warna yang
Berbeda-Beda

Secara teori fisika, perbedaan warna cahaya yang dipancarkan oleh suatu
benda yang panas menandakan adanya perbedaan suhu dari benda-benda tersebut
seperti halnya dengan benda yang memijar dan memancarkan cahaya, bila
suhunya rendah maka radiasi yang dipancarkan berwarna kemerahan, dan bila
suhunya tinggi maka radiasi yang dipancarkan makin menguning dan bila
suhunya cukup tinggi maka cahaya yang dipancarkan berwarna putih dan
kebiruan. Hubungan antara suhu benda dan warna cahaya yang dipancarkan dapat
dijelaskan dengan hukum radiasi.
2.3.1 Hukum Radiasi Cahaya
Bintang sebagai sumber yang memancarkan radiasi dapat dipandang
sebagai benda hitam sempurna, maka itu sifat radiasi cahaya bintang dapat
dipelajari dari hukum radiasi benda hitam. Setiap benda hitam memancarkan
radiasi pada seluruh panjang gelombang. Makin tinggi suhu benda makin banyak
energi yang dipancarkannya. Radiasi pada tiap suhu tertentu terdapat panjang
gelombang tertentu pula yang membawakan energi maksimum dan panjang
gelombang ini dinamakan panjang gelombang maksimum. Makin tinggi suhu
benda ternyata makin pendek panjang gelombang maksimum yang
dipancarkannya seperti terlihat pada Gambar 8 . Panjang gelombang maksimum
ini diberi simbul λm, sedang luas kurve menyatakan energi total yang dipancarkan
pada suhu tersebut di mana tampak makin tinggi suhu, luas kurvenya makin besar
dan harga λm nya makin kecil. Dari gambar juga terlihat bahwa

T1  T2  T3  T4 sedangkan  m1   m 2   m3   m 4

19

Gambar 8 Grafik kurva radiasi pada


berbagai suhu
a) Hukum Wien
Hubungan antara suhu benda dengan panjang gelombang maksimum ini
disebut hukum pergeseran Wein yang menyatakan bahwa panjang gelombang
maksimum suatu radiasi benda hitam berbanding terbalik dengan suhu mutlaknya
atau dinyatakan dengan persamaan
b
m  (2.1)
T
Di mana m = panjang gelombang maksimum
T = suhu benda
b = konstanta yang harganya 2,9 x 10-3 m.K
Sebagai konsekuensi dari hukum Wien, berarti panjang gelombang
maksimum ini juga menentukan warna radiasi yang dipancarkannya. Bila suhu
bintang sekitar 3000 K maka panjang gelombang maksimumnya sekitar 700 nm,
yaitu ada di daerah merah sehingga bintang tampak kemerahan. Jadi warna cahaya
bintang juga menentukan merupakan suatu petunjuk suhu permukaan tersebut.
b) Hukum Stefan-Boltzmann
Secara eksperimental Stefan menemukan bahwa energi total yang
dipancarkan per satuan luas per satuan waktu sebanding dengan pangkat empat
suhu mutlaknya.
W T4 (2.2)
Di mana W = rapat radiasi yaitu energi yang dipancarka per satuan luas
per satuan waktu, T = suhu mutlaknya benda dan σ = konstanta Stefan-Boltzmann
yang harganya 5,6 x 10-8 W/m2 K2. Persamaan di atas dinamakan hukum Stefan-

20
Boltzmann, di mana bisa digunakan untuk menentukan suhu permukaan bintang.
Misalkan bila luminositas bintang (L) dan jejarinya (R) diketahui maka dengan
menggunakan hukum Stefan-Boltzmann dapat ditentukan berapa suhu permukaan
bintang tersebut. Dengan memandang bintang itu berbentuk bola dengan jejari
R,maka luas permukaan bintang A  4R 2 sehingga luminositasnya menjadi,
L  4R 2W (2.3)
Dengan memasukkan rumus Stefan-Boltzmann maka,
L  4R 2 (2.4)
Suhu yang didapat menggunakan hukum Stefan-Boltzmann dinamakan
suhu efektif dengan simbl Te.
Hukum Stefan-Boltzmann juga dapat digunakan untuk menentukan besar
atau ukuran bintang karena berdasarkan warnanya kita dapat menentukan suhu
permukaan bintang. Selanjutnya berdasarkan suhu ini kita tahu berapa energi yang
dipancarkan bintang tersebut per satuan luar per satuan waktu dari permukaan
bintang. Dengan mengetahui jarak bintang kita dapat menentukan berapa energi
yang dipancarkan dari seluruh permukaannya. Dengan membagi energi total yang
dipancarkannya dengan energi per satuan luas maka kita dapatkan luas permukaan
bintang, sehingga kita dapat menghitung jejari atau besarnyan bintang tersebut.
energi total bintang
luas permukaan bintang 
energi per luas per waktu

c) Hukum Radiasi Planck


Planck menyatakan bahwa energi radiasi itu merupakan paket energi dan
harga tiap paket energi dinamakan kuantum energi yang harganya sebanding
dengan frekuensi radiasi.
E  h atau E  hc  (2.5)
Besaran h adalah suatu konstanta yang disebut konstanta Planck yang
harganya, h = 6,63 x 10-34 J s dan υ adalah frekuensi. Kuantum energi gelombang
elektromagnetik dinamakan foton.
Menurut Planck, intensitas rapat radiasi untuk daerah panjang gelombang
antara λ dan λ+dλ adalah
2hc 2 1
E( T ) d  d (2.6)
5 e hc kT
1

21
Di mana c adalah laju cahaya dan k = konstanta Boltzmann yang harganya
k = 1,38 x 10-23 J. K-1. Persamaan di atas dinamakan hukum radiasi Planck untuk
radiasi benda hitam. Kurve radiasi benda hitam sangat cocok dengan hukum
radiasi Planck. Bintang yang meskipun bukan benda hitam sempurna, tetapi sifat
radiasi energinya dapat dijelaskan dengan baik dengan menggunakan hukum
radiasi benda hitam seperti misalnya hukum Stefan-Boltzmann, Hukum Wien, dan
hukum radiasi Planck. Oleh sebab itu, warna dan suhu dapat juga dijelaskan
dengan menggunakan ketiga hukum radiasi ini. Bintang yang suhunya tinggi,
panjang gelombang maksimumnya akan berada pada daerah panjang gelombang
pendek (biru) sehingga cahaya bintang akan nampak kebiruan. Misalnya bintang
yang suhunya 10.000 K, maka menurut hukum Wien, panjang gelombang
maksimumnya,
2,9  10 3 mK
m   2,9  10 7 m  290 nm
1,0  10 K
4

Sedangkan bintang yang suhunya rendah, panjang gelombang


maksimumnya akan berada pada daerah merah dari spektrum sehingga cahaya
bintang akan nampak kemerahan. Matahari yang suhunya sekitar 5800 K, panjang
gelombang maksimumnya sekitar 500 nm dan ini ada pada daerah kuning.
2.3.2. Indeks Warna
Menurut hukum radiasi, bintang yang biru suhunya lebih tinggi dari
bintang yang warna cahayanya kuning (Kubus, 2010). Magnitudi suatu bintang
baik magnitudo semu maupun magnitudo mutlaknya didasarkan pada terang
bintang yang diamati oleh mata disebut magnitudo visual yang diberi simbol mv,
untuk magnitudo semunya dan Mv untuk magnitudo mutlak visual. Namun mata
manusia itu ternyata kepekaannya terhadap warna tidak sama. Mata manusia peka
terhadap cahaya kuning dan hijau dan kurang peka terhadap warna biru dan ungu.
Sedangkan emulsi foto atau plat film itu peka terhadap bahaya biru-ungu tetapi
kurang peka terhadap cahaya kuning dan bahkan tidak merespon terhadap cahaya
dengan panjang gelombang yang lebih besar dari 500 nm. Sehingga terang
bintang yang diamati dengan mata biasa akan berbeda hasilnya bila diamati atau
diambil dengan kertas film.

22
Misalkan ada dua bintang A dan B di mana A adalah bintang biru dan B
adalah bintang kuning. Andaikan energi cahaya yang ditangkap melalui teleskop
dari kedua bintang itu sama banyaknya. Namun mata akan mengamati bintang B
lebih terang dari bintang A. Sedangkan bila cahaya kedua bintang itu ditangkap
dengan kertas film maka hasilnya akan nampak bintang A lebih terang dari pada
bintang B. Hal ini disebabkan karena bintang A lebih banyak memancarkan energi
pada daerah biru dibandingkan dengan daerah kuning dibandingkan dengan
daerah biru. Jadi magnitudo bintang A bila dilihat dengan mata akan lebih besar
dari magnitudo bintang B, sedangkan bila ditangkap dengan kertas foto, maka
bintang A magnitudonya akan lebih kecil daro pada bintang B.
Magnitudo yang dihasilkan dengan plat foto yang peka biru disebut
magnitudo fotografik yang diberi simbol mf, dan untuk magnitudo mutlaknya
diberi simbol Mf. Magnitudo bintang yang didasarkan pada hasil pengamatan
mata biasa dinamakan magnitudo visual yang diberi simbol m v dan untuk
magnitudo mutlaknya diberi simbol Mv.
Jadi untuk bintang A ternyata mv > mf sedang sebaliknya dengan bintang B
yang ternyata mv < mf. Selisih antara magnitudo fotografik dengan magnitudo
visual atau mf - mv suatu bintang dinamakan indeks warna. Pada contoh tadi
bintang A adalah bintang biru memiliki mf < mv sehingga mf - mv menjadi negatif
sedangkan untuk bintang B sebagai kuning memiliki indeks warna mf - mv yang
positif. Makin tinggi suhu bintang maka mf akan makin kecil dan mv makin besar
sehingga indeks warna bintang makin kecil dan kemungkinan bisa negatif. Oleh
karena itu, indeks warna ini dapat digunakan sebagai petunjuk suhu suatu
permukaan bintang, dan suhu bintang ditentukan dengan menggunakan indeks
warna dinamakan suhu warna.
Pada tahun 1950, Johnson dan Morgan mengajukan sistem magnitudo U
(ultraviolet), B (biru), dan V (visual), dan sistem ini menghasilkan dua indeks
warna U-B dan B-V. Indeks warna mf - mv bisa dituliskan dengan B-V. Indeks
warna juga dapat dinyatakan dalam magnitudo mutlaknya Mf - Mv atau dapat
dituliskan MB - Mv. Sesuai dengan hukum kebalikan kuadrat jarak dari cahaya,
maka indeks warna suatu bintang tidak akan berubah meskipun ditempatkan pada
jarak yang berbeda,misalnya pada jarak 10 parsec, sehingga dengan demikian,

23
B V  M B  MV (2.7)
Sekarang ini orang telah membuat kertas film yang peka segala warna
termasuk yang peka kuning yang memberi respon sama seperti mata manusia.
Karena cahaya bintang biru bila ditangkap dengan kertas film peka biru akan lebih
terang dibandingkan dengan pada kertas peka kuning, berarti megnitudo biru B
kecil dari magnitudo kuning V, sehingga B-V menjadi negatif. Sebaliknya bintang
kuning atau bintang merah memiliki magnitudo visual yang lebih kecil dibanding
magnitudo biru sehingga indeks warnanya B-V menjadi positif.
Dengan demikian indeks warna itu memberikan ukuran warna suatu
bintang. Indeks warna yang kecil atau negatif menandakan bintang itu makin biru
dan indeks warna yang benar menunjukkan bintang itu kuning atau merah.
Selanjutnya warna bintang menunjukkan suhu bintang. Ini berarti indeks warna
itu juga memberikan indikasi suhu bintang. Pada suhu 104 K, magnitudo ultra
violet, biru, dan visual atau U, B, dan V harganya sama satu dengan yang lainnya,
sehingga pada suhu ini indeks warna bintang harganya nol, baik indeks warna U-
B maupun B-V. Rentang indeks warna B-V adalah antara -0,4 untuk bintang yang
paling biru dan +2 untuk bintang yang paling merah. Sistem magnitudo U, B, V,
hanya untuk daerah spektrum tertentu saja. Sistem magnitudio berlaku untuk
seluruh daerah spektrum radiasi yang dinamakan magnitudo bolometrik dengan
simbol mbol, dan magnitudo bolometrik pada jarak 10 parsec yang disebut
magnitudo bolometrik mutlak yang diberi simbol Mbol. Selisih antara magnitudo
visual dengan magnitudo bolometrik dinamakan koreksi bolometrik dengan
simbol BC.
V  mbol  M V  M bol (2.8)

Adapun ciri-ciri dari kelompok bintang di atas adalah sebagai


berikut.
a. Bintang maharaksasa dan raksasa
1) Jumlah bintangnya tidak sebanyak di DU
2) Luminositasnya sangat besar

24

Gambar 12 Distribusi bintang pada diagram H-R


3) Kebanyakan bintang-bintang yang temperaturnya rendah
4) Ukurannya (jari-jari) sangat besar
b. Bintang katai putih
1) Terletak di bagian kiri bawah diagram HR
2) Luminositasnya kecil
3) Temperaturnya tinggi
4) Ukurannya (jari-jari) kecil, beberapa puluh kali lebih kecil dari
matahari.

Diagram H-R ternyata dapat juga digunakan untuk menaksir jarak


bintang. Misalnya suatu bintang dengan kelas spektrum G2 pada deret
utama. Dari diagram H-R dapat diketahui magnitudo mutlak bintang
tersebut misalnya M = +5.
Pandanglah sekarang bintang-bintang yang ada di sudut kanan atas
diagram H-R. Misalnya suatu bintang dengan magnitudo mutlak -8 atau
kurang. Bintang seperti ini luminositasnya hampir 104 kali luminositas
matahari, tetapi kelas spektrumnya M yang menandakan suhu
permukaannya rendah atau dingin misalkan dengan suhu 3000 K yang
berarti setengah dari suhu permukaan matahari. Ini berarti luas permukaan
bintamg itu sekitar 160.000 kali permukaan matahari atau jejarinya 400
kali jejari matahari dan volume sekitar 64.104 kali volume matahari. Dapat
disimpulkan bahwa bintang seperti ini adalah bintang yang sangat besar
dengan klas spektrum merah sehingga dinamakan raksasa merah (red
giant). Di lain pihak massa bintang ini adalah sekitar 50 kali massa
matahari. Jadi, bintang ini kerapatannya sangat rendah sepersepuluh juta
kali kerapatan matahari dan bagian luarnya terdiri dari gas yang sangat
renggang.

25
Sebaliknya ujung kanan bawah deret utama terdiri dari bintang yang
merah, dingin, dan luminositasnya rendah. Bintang ini jauh lebih kecil dari
matahari, jejarinya sekitar sepersepuluh jejari matahari dan lebih mampat. Bintang
seperti ini dinamakan bintang katai merah (red dwarf). Suhu bintang ini sekitar
2700 K dan mutlaknya +13. Bila diteliti lebih jauh ternyata bintang-bintang yang
ada di deret utama memiliki hubungan langsung antara terang bintang dengan
suhunya. Makin tinggi terang bintang itu, makin tinggi suhunya sehingga
warnanya putih kebiruan. Demikian pula makin lemah cahaya bintang, suhunya
makin rendah dan warnanya makin merah. Matahari kita yang berada pada klas G 2
didominasi oleh warna kuning dan berada pada bagian tengah deret utama
tersebut.
2.3.3. Jejari Bintang
Dari analisis diagram Hertzspung–Russel kita telah memperkirakan ada
bintang yang sangat besar seperti raksasa merah dan adapula yang sangat kecil
seperti katai putih. Untuk menentukan jejari bintang, kebanyakan kita harus
menggunakan cara yang tidak langsung yaitu dengan menggunakan teori dan
hukum-hukum Fisika antara lain interferometer bintang, sistem bintang ganda
gerhana, dan hukum-hukum radiasi energi seperti hukum radiasi Stefan-
Boltzmann. Dengan menggunakan hukum Stefan-Boltzmann kita dapat
menghitung jejari radiator sempurna yang berbentuk bola dengan menggunakan
distribusi pancaran energinya seragam di seluruh permukaan, dengan
menggunakan data luminositas dan suhu efektif benda (bintang) tersebut.
Luminositas bintang dapat dicari dengan menggunakan magnitudo dan jarak
bintang, sedangkan suhu bintang dapat dicari dengan beberapa cara seperti dengan
indeks warna ataupun klas spektrumnya.
Dari hukum Stefan-Boltzmann rapat radiasi atau energi yang dipancarkan
persatuan luas adalah:
S  T 4

dimana S adalah rapat radiasi dan T adalah suhu mutlaknya.


Jadi energi total yang dipancarkan itu sama dengan luminositas bintang
(L) atau luas kali rapat radiasi.
4
L  4R 2 x Te

26
dimana R adalah jejari bintang dan Te adalah suhu efektifnya. Dengan
persamaan ini dapat dibandingkan luminositas bintang (L) dengan luminositas
matahari (LΘ)
2 4
L  R   Te 
    (4.1)
L  R   T 
Dengan menyelesaikan persamaan (3.1) di atas maka didapatkan
L
L 2 4
R 2T 2 (4.2)
R T
Berdasarkan persamaan L = 4πR4W ternyata luminositas bintang
tergantung pada suhu dan jejarinya. Mungkin saja sebuah bintang luminositasnya
(L) besar tetapi suhunya rendah. Hal ini akan terjadi bila jejari R sangat besar.
Dari diagram HR kita bisa mengetahui suhu efektif bintang, magnitudo
mutlaknya, dan luminositas relatifnya terhadap matahari. Selanjutnya dengan
menggunakan persamaan (4.2) kita dapat menentukan jejari bintang. Dengan
mengeksplisitkan R dari persamaan (4.1) maka didapatkan
2 2
R L  T  L  T 
   atau R    R (4.3)
R L  T  L  T 

Dari diagram H-R kita bisa mendapatkan suhu bintang T dan luminositas
relatifnya L/LΘ sehingga dengan menggunakan data ini dan persamaan (4.3) kita
bisa menghitung jejari bintang.
Raksasa merah. Misalkan sebuah bintang luminositasnya 400 kali
luminositas matahari atau L=400 LΘ dan suhunya 3000 K. Jadi bintang ini
termasuk bintang merah dengan klas spektrum M. Selanjutnya dengan
menggunakan persamaan di atas, kita dapat menghitung jejari bintang tersebut.
2
 6000 
R  400   R
 3000 
R  80 R

Katai Putih (White Dwarf)


Di lain pihak ada juga bintang biru yang luminositasnya 1/100 kali
luminositas matahari. Bintang berwarna biru menunjukkan suhunya sekitar 12.000
K. Perhitungan dengan persamaan (4.3) didapat jejarinya hanya 1/40 kali jejari
matahari atau sekitar 2,5 kali bumi. Jadi bintang ini adalah bintang yang sangat

27
kecil dengan klas spektrum biru-putih. Oleh karena itu bintang jenis ini disebut
katai putih. Contoh bintang katai putih adalah bintang Sirius B. Bintang ini adalah
pasangan dari bintang Sirius A yang keduanya adalah merupakan suatu bintang
ganda (binary star). Pada sistem bintang ganda, keduanya bergerak saling
mengitari dalam orbit yang mengitari pusat massa bersama. Dengan mengamati
gerak pasangan bintang ganda ini maka dapat ditentukan massa kedua benda
tersebut. Tampaknya gerak pasangan bintang ini berkelok-kelok. Namun, bila
diamati secara cermat ternyata penampakan ini disebabkan dari hasil gerak
masing-masing bintang yang mengitari pusat massa bersama serta gerak lurus
pusat massa sistem bintang ganda.
Penelitian terhadap orbit bintang ganda ini sangat penting terutama untuk
menentukan massa bintang. Pada dasarnya penentuan massa bintang ganda ini
dilakukan dengan menggunakan hukum Kepler.
a3 G
  M1  M 2  (4.4)
p 2
4 2

Bila periode orbit bintang diketahui yang biasanya dalam puluhan tahun,
maka massa bintang dapat diketahui dengan menggunakan mekanika Newton
dengan rumus.
M1a1 = M2a2 (4.5)
Gambar di bawah ini memberikan bagan sistem bintang ganda M1 dan M2
dengan pusat massa bersama cm, dan jarak masing-masing ke pusat massa adalah
a1 dan a2.

M
C
m
M
Gambar 13 Pusat massa sistem dua
benda

28
Dari perhitungan dengan persamaan (4.4) didapatkan massa bintang Sirius
A sekitar 2,28 kali massa matahari dan Sirius B massanya sekitar 0,98 massa
matahari. Dari penelitian spektrumnya, klas spektrum Sirius B termasuk klas A5,
jadi termasuk bintang panas dengan suhu 8700 K. Tetapi cahaya bintang ini sangat
lemah dengan luminositas 1/580 kali luminositas matahari. Dengan persamaan
(3.3) dapat dicari jejari bintang Sirius B dan didapat sekitar 1/55 jejari matahari
(R/RΘ=1/55). Oleh karena itu bintang Sirius B adalah bintang kecil atau katai
putih.
Dengan massa yang hampir sama denga massa matahari, sedangkan
jejarinya hanya 1/55 kalinya atau volumenya sekitar 2,5 kali volume bumi, maka
dapat disimpulkan bahwa bintang katai putih ini adalah bintang yang memilki
kerapatan massa sangat besar, berdasarkan perhitungan ternyata didapat
kerapatannya sekitar ρ = 2,3 x 105 gr/cm3. Ini berarti, kerapatan massanya hampir
sekitar 250 kg/cm3 atau kira-kira satu kotak korek api, bintang ini massanya 5 ton.
Jadi katai putih adalah bintang yang sangat mampat dan ini menyebabkan medan
gravitasi di permukaan bintang ini sangat besar.
Di samping pengukuran jejari secara tidak langsung dengan menggunakan
hukum radiasi, ada beberapa cara lain untuk mengukur jejari secara geometris
yaitu pengukuran diameter anguler,
1) Secara langsung untuk mengukur diameter anguler matahari,
2) Dengan alat interferometer bintang untuk bintang raksasa yang dekat,
3) Dengan inferometer analog elektronik
4) Dengan inferometri bintik dan
5) Dengan analisis kurva cahaya dan kecepatan radial sistem bintang ganda
gerhana.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
1. Salah satu cara untuk menentukan jarak suatu bintang adalah dengan
mengukur paralaks bintang tersebut, yaitu perubahan arah penampakan
bintang dari satu sisi ke sisi dari orbit lain.
2. Perbedaan warna cahaya yang dipancarkan oleh suatu benda yang panas
menandakan adanya perbedaan suhu dari benda-benda tersebut. Bila
suhunya tinggi maka radiasi yang dipancarkannya makin menguning dan
bahkan bila suhunya cukup tinggi maka cahaya yang dipancarkannya
berwarna putih dan kebiruan.
3. Warna pada bintang merupakan suatu bukti adanya tingkat-tingkat energi
dalam suatu atom. Umumnya spektrum sinar matahari susunannya adalah
merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Dengan demikian warna
benda angkasa yang bercahaya seperti halnya warna bintang dapat dipakai
sebagai bahan informasi keadaan fisis benda tersebut.
3.2 Saran
Apadun saran dari penulis untuk para pembaca adalah agar pembaca lebih
memahami dan memaknai materi tentang fisika bintang-bintang agar dapat
menambah wawasan dan bermafaat dalam kehidupan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Kubus, K. 2010. Warna Bintang, Penghias Malam. Tersedia Pada


http://karduskubus.com/astronomi/warna-bintangpenghias-malam/.
Diakses pada 21 April 2019.
Surya. 2006. Bintang dan Bulan Satelit Bumi. [Artikel Online} tersedia pada
http://erabaru/k_01_art_53.htm. Diakses pada tanggal 21 April 2016.
Suwitra., N.2010. Astronomi Dasar. Modul. IKIP Negeri Singaraja.
Wikipedia. 2010. Bintang. Tersedia Pada http://id.wikipedia.org/wiki/Bintang.
Diakses pada 21 April 2019
Wiramihardja, S.D, dkk. 2006. Menuju Olimpiade Astronomi. Diktat. Institut
Teknologi Bandung.

Anda mungkin juga menyukai