Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Kpi Kel 9

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

MODEL KEPEMIMPINAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

VERSI YAYASAN UMAT (STUDI KASUS PESANTREN)


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok 9
Mata Kuliah: Kepemimpinan Pendidikan Islam
DOSEN PENGAMPU: DR. MUHAMMAD SYUKRI AZWAR LUBIS, MA

DISUSUN OLEH:

Sem. IV/PAI-5

RAHMI PADILLAH HASIBUAN (0301173463)

SYAFA’ ARUL HUSNAH (0301171322)

YOGA MARDIAN (0301171335)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATRA UTARA

MEDAN

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kepemimpinan di pondok pesantren melekat pada kepemimpinan kiai.
Dimana merupakan aktor yang memainkan peran kepemimpinan di arena
pesantren. Secara teoritik, kepemimpinan kiai di anggap sebagai otoritas mutlak
dalam lingkungan pesantren. Namun, belakangan kepemimpinan kiai dipesantren
tidak lagi di anggap mutlak, karena sebagian pesantren telah mengadopsi sistem
pendidikan yang di kelola yayasan. Hal ini dimaksudkan, agar pesantren tetap bisa
survive meskipun telah ditinggal oleh kiainya.
Kepeminpinan kiai di pesantren selalu di identikkan dengan model
kepemimpinan karismatik. Hal ini, didasakan pada kualitas luar biasa yang
dimiliki seseorang kiai sebagai pribadi yang berbeda. Pengertian ini bersifat
teologis, karena untuk mengidentifikasi daya tarik pribadi yang ada pada diri
seseorang, harus menggunakan asumi bahwa kemantapan dan kualitas kepribadian
yang dimiliki adalah anugerah Tuhan.
Adapun materi yang akan kami bahasa adalah tentang “Model
Kepemimpinan Lemabga Pendidikan Islam Versi Yayasan Umat (Studi Kasus
Pesantren) yang membhasa tentang Model-model kepemimpinan yang ada di
pesantren dan penerapannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja model kepemimpinan lembaga pendidikan Islam versi yayasan
umat?
2. Bagaimana penerapan model kepemimpinan lembaga pendidikan Islam
pada studi kasus pesantren?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui model kepemimpinan lembaga pendidikan Islam versi
yayasan umat.
2. Untuk mengetahui penerapan model-model kepemimpinan di pesantren.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Model kepemimpinan


Model kepemimpinan adalah perilaku atau cara yang dipilih dan
dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan
perilaku para anggota organisasi atau bawahnya, atau norma perilaku yang
digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi
perilaku orang lain seperti yang ia lihat.

B. Model Kepemimpinan di Pondok Pesantren


Studi kepemimpinan pondok pesantren tidak dapat dilepaskan dari perlunya
pemahaman atas subtansi pendidikan yang dikembangkan pesantren, yaitu
pendidikan agama Islam. Karakteristik pendidikan agama Islam diidentifikasi oleh
Wahid sebagai berikut:
Pertama, pada dasarnya pendidikan agama Islam bukanlah upaya untuk
mewariskan paham atau pola keagamaan tertentu kepada anak didik, melaikan
penekanannya terletak pada proses agar anak didik dapat memperoleh
kemampuan metodologis untuk dapat memahami kesan pesan dasar yang
diberikan agama.
Kedua, pendidikan agama tidak terpaku pada romantisme yang berlebihan
untuk melihat kebelakang dengan penuh emosional, akan tetapi lebih diarahkan
pada pembentukan kemampuan berpikir proyektif dalam menyikapi tantangan
kehidupan.
Ketiga, bahan-bahan pengajaran agama hendaknya dapat diintegrasikan
dengan penumbuhan sikap kepedulian sosial, di mana anak didik akan menjadi
terlatih untuk mempersepsi realitas berdasarkan pemahaman teologi yang
diperoleh dari persepsi realitas berdasarkan pemahaman dikembangkan wawasan
emansipatoris dalam penyelenggaraan pendidikan agama sehingga anak didik
memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam rangka menumbuhkan kemampuan
metodologis dalam mempelajari substansi atau materi agama.
Keempat, pendidikan agama sebaiknya diarahkan untuk menanamkan
keharuan emosional keagamaan, kebiasan-kebiasaan berprilaku yang baik, dan
juga sikap-sikap terpuji dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat,
sehingga anak didik memiliki kemampuan menggunakan agama sebagai sistem

2
makna untuk mendefinisikan setiap keadaan dari sudut refleksi iman dan
pengetahuannya.1
Dengan mempertimbangkan ciri-ciri pendidikan agama sebagai substansi
fungsi pendidikan pesantren, kepemimpinan di pondok pesantren lebih mungkin
didekati dengan konsep kepemimpinan karismatik. Dalam pandangan Conger
kepemimpinan karismatik mengedepankan kewibawaan diri seorang pemimpin,
yang ditunjukkan oleh rasa tanggung jawab yang tinggi kepada bawahannya.
Kepekaan dan kedekatan pemimpin karismatik dengan bawahannya disebabkan
kewibawaan pribadi (personal power) pemimpin untuk menumbuhkan
kepercayaan dan sikap proaktif bawahannya.
Kepemimpinan karismatik kiai di pondok pesantren ditimbulkan oleh
keyakinan santri dan masyarakat sekitar komunitas pondok pesantren bahwa kiai
sebagai perpan jangan tangan Tuhan dalam menyampaikan ajaran-Nya. Fenomena
keyakinan tersebut dimanifestasikan dalam sikap taklid (mengikuti dengan tidak
mengetahui ilmunya) yang hampir menjadi tradisi dalam kehidupan keseharian
santri dan jamaahnya. 2
Menurut Wahjosumidjo, karisma kepemimpinan kiai terkait dengan luasnya
penguasaan kajian ilmu agama pada kiai dan konsistensi pengamalan ilmu agama
dalam kehidupan keseharian kiai. Dengan asumsi bahwa karisma dapat
diidentikkan dengan power kiai, maka kepemimpinan karismatik kiai dapat pula
ditelaah dengan konsep sumber kewibawaan.
Berdasarkan pendekatan tersebut, keberhasilan memimpin lebih disebabkan
oleh keunggulan wibawa seseorang dalam memimpin organisasi sehingga proses
hubungan yang disebut komunikasi dua arah antara atasan dengan bawahan sering
terjadi. Kewibawaan pemimpin berkaitan pula dengan ruang lingkup utamanya,
yaitu pola pemakaian kewibawaan yang terbaik, cara menggunakan kewibawaan
pemimpin yang berhasil, dan seberapa banyak kewibawaan secara optimal
seorang pemimpin.
Kreativitas berpikir kepemimpinan pondok pesantren lebih cenderung pada
kiai sebagai figur sentral. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran khusus bagi kiai
untuk dapat menerima dan menerapkan berbagai gagasan yang mampu membawa

1
Marzuki Wahid, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemnberdayaan dan Transformasi
Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 214.
2
Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang:
Kalimasada Press, 1993), h. 45.

3
pondok pesantren ke arah yang lebih baik. Kreativitas berpikir dan sikap inovatif
kiai sebetulnya tidak terlepas dari beberapa faktor, di antaranya visi dan misi kiai
itu sendiri serta adanya rasa ketakutan yang mendalam pada gagasan-gagasan baru
yang dianggap akan menyesatkan dan membawa komunitas pondok pesantren ke
arah yang lebih buruk.
Berdasarkan beberapa literatur, terdapat pembagian dua model
kepemimpinan kiai di pesantren yakni kepemimpinan individual dan
kepemimpinan kolektif.
a). Kepemimpinan Individual
Eksistensi kiai sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas dan
fungsinya, dapat dipandang sebagai sebuah fenomena yang unik. Dikatakan unik
karena kiai sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekadar
bertugas menyusun kurikulum, membuat peraturan atau tata tertib, merancang
sistem evaluasi, sekaligus melaksanakan proses belajar-mengajar yang berkaitan
dengan ilmu-ilmu agama di lembaga yang diasuhnya, melainkan pula scbagai
pembina dan pendidik umat serta menjadi pemimpin masyarakat.
Peran yang begitu sentral yang dilaksanakan oleh kiai seorang diri
menjadikan pesantren sulit berkembang. Perkembangan atau besar-tidaknya
pesantren semacam ini sangat ditentukan oleh kekarismaan kiai pengasuh. Dengan
kata lain, semakin karismatik kiai (pengasuh), semakin banyak masyarakat yang
akan berduyunduyun untuk belajar bahkan hanya untuk mencari barakah dari kiai
tersebut dan pesantren tersebut akan lebih besar dan berkembang pesat.
Kepemimpinan individual kiai inilah yang sesungguhnya mewarnai pola
relasi di kalangan pesantren dan telah berlangsung dalam rentang waktu yang
lama, sejak pesantren berdiri pertama hingga sekarang dalam kebanyakan kasus.
Lantaran kepemimpinan individual kiai itu pula, kokoh kesan bahwa pesantren
adalah milik pribadi kiai. Karena pesantren tersebut milik pribadi kiai,
kepemimpinan yang dijalankan adalah kepemimpinan individual.
Dengan kepemimpinan semacam itu, pesantren terkesan eksklusif. Tidak
ada celah yang longgar bagi masuknya pemikiran atau usulan dari luar walaupun
untuk kebaikan dan pengembangan pesantren karena hal itu wewenang mutlak
kiai. Hal seperti itu biasanya masih berlangsung di pesantren salaf.
Model kepemimpinan tersebut memengaruhi eksistensi pesantren. Bahkan
belakangan ada pesantren yang dilanda masalah kepemimpinan ketika ditinggal
oleh kiai pendirinya. Hal itu disebabkan tidak adanya anak kiai yang mampu

4
meneruskan kepemimpinan pesantren yang ditinggalkan ayahnya baik dari segi
penguasaan ilmu keislaman maupun pengelolaan kelembagaan. Karena itu,
kesinambungan pesantren menjadi terancam.3
Krisis kepemimpinan juga bisa terjadi ketika kiai terjun ke dalam partai
politik praktis. Kesibukannya di politik akan menurunkan perhatiannya terhadap
pesantren dan tugas utamanya sebagai pembimbing santri terabaikan, sehingga
kelangsungan aktivitas pesantren menjadi terbengkalai. Adapun pergantian
kepemimpinan di pesantren dilaksanakan apabila kiai yang menjadi pengasuh
utama meninggal dunia. Jadi kiai adalah pemimpin pesantren seumur hidup.
Apabila kiai sudah meninggal, estafet kepemimpinan biasanya dilanjutkan oleh
adik tertua dan kalau tidak mempunyai adik atau saudara, biasanya kepemimpinan
langsung digantikan oleh putra kiai. Biasanya kiai mengkader putra-putranya
untuk meneruskan kepemimpinannya. Namun, jika kaderisasi itu gagal, biasanya
yang melanjutkan adalah menantu yang paling pandai atau menjodohkan putrinya
dengan putra kiai lain. Jadi tidak ada peluang masuknya orang luar menjadi
pemimpin pesantren tanpa memasuki jalur feodalisme kiai.
Dengan demikian, jelas bahwa posisi kepemimpinan kiai adalah posisi yang
sangat menentukan kebijaksanaan di semua segi kehidupan pesantren, sehingga
cenderung menumbuhkan otoritas mutlak, yang pada hakikatnya justru berakibat
fatal. Namun profil kiai di atas pada umumnya hanyalah terbatas pada kiai
pengasuh pesantren tradisional yang memegang wewenang (otoritas) mutlak dan
tidak boleh diganggu gugat oleh pihak mana pun. Sedangkan kiai-kiai di
pesantren khalaf ataupun modern tidaklah sedemikian otoriter.

b). Kepemimpinan Kolektif


Sebagaimana disebutkan di atas, kepemimpinan kiai yang karismatik
cenderung individual dan memunculkan timbulnya sikap otoriter mutlak kiai.
Otoritas mutlak tersebut kurang baik bagi kelangsungan hidup pesantren, terutama
dalam hal suksesi kepemimpinan. Kaderisasi hanya terbatas keturunan dan
saudara, menyebabkan tidak adanya kesiapan menerima tongkat estafet
kepemimpinan ayahnya. Oleh karena itu, tidak semua putra kiai mempunyai
kemampuan, orientasi, dan kecenderungan yang sama dengan ayahnya. Selain itu,

3
Abdul Rahman Shaleh, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren (Jakarta: Depag RI,
1982), h. 7.

5
pihak luar sulit sekali untuk bisa menembus kalangan elite kepemimpinan
pesantren, maksimal mereka hanya bisa menjadi menantu kiai. Padahal, menantu
kebanyakan tidak berani untuk maju memimpin pesantren kalau masih ada anak
atau saudara kiai, walaupun dia lebih siap dari segi kompetensi maupun
kepribadiannya. Akhirnya sering terjadi pesantren yang semula maju dan tersohor,
tiba-tiba kehilangan pamor bahkan mati lantaran kiainya meninggal.
Akibat fatal dari kepemimpinan individual tersebut menyadarkan sebagian
pengasuh pesantren, Kementerian Agama, di samping masyarakat sekitar. Mereka
berusaha menawarkan solusi terbaik guna menanggulangi musibah kematian
pesantren. Kementerian Agama pernah mengintroduksi bentuk yayasan sebagai
badan hukum pesantren, meskipun jauh sebelum dilontarkan, beberapa pesantren
sudah menerapkannya. Pelembagaan semacam itu mendorong pesantren menjadi
organisasi impersonal. Pembagian wewenang dalam tata laksana kepengurusan
diatur secara fungsional, sehingga akhirnya semua itu harus diwadahi dan
digerakkan menurut tata aturan manajemen modern.
Kepemimpinan kolektif dapat diartikan sebagai proses kepemimpinan
kolaborasi yang saling menguntungkan, yang memungkinkan seluruh elemen
sebuah institusi turut ambil bagian dalam membangun sebuah kesepakatan yang
mengakomodasi tujuan semua. Kolaborasi dimaksud bukan hanya berarti “setiap
orang” dapat menyelesaikan tugasnya, melainkan yang terpenting adalah semua
dilakukan dalam suasana kebersamaan dan saling mendukung (al-jam’iyah al
murassalah atau collegiality and supportiveness).
Model kepemimpinan kolektif atau yayasan tersebut menjadi solusi
strategis. Beban kiai menjadi lebih ringan karena ditangani bersama sesuai dengan
tugas masing-masing. Kiai juga tidak terlalu menanggung beban moral tentang
kelanjutan pesantren di masa depan. Sebagai pesantren yang pernah menjadi
paling berpengaruh se-Jawa-Madura, pada 1984 Pesantren Tebuireng mendirikan
Yayasan Hasyim Asy’ari yang mengelola seluruh mekanisme pesantren secara
kolektif.
Namun demikian, tidak semua kiai pesantren merespons positif solusi
tersebut. Mereka lebih mampu mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang
mungkin timbul dibanding kelebihannya. Keberadaan yayasan dipahami sebagai
upaya menggoyahkan kepemimpinan kiai. Padahal, keberadaan yayasan justru
ingin meringankan beban baik akademik maupun moral. Kecenderungan untuk

6
membentuk yayasan ternyata hanya diminati pesantrenpesantren yang tergolong
modern, belum berhasil memikat pesantren tradisional. Kiai pesantren tradisional
cenderung lebih otoriter daripada kiai pesantren modern.
Pesantren memang sedang melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan,
khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara tradisional,
kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua kiai, yang biasanya
merupakan pendiri pesantren bersangkutan. Tetapi karena diversifikasi pendidikan
yang diselenggarakan, kepemimpinan tunggal kiai tidak memadai lagi. Banyak
pesantren kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan yang pada dasarnya
merupakan kepemimpinan kolektif.4
Konsekuensi dan pelembagaan yayasan itu adalah perubahan otoritas kiai
yang semula bersifat mutlak menjadi tidak mutlak lagi, melainkan bersifat
kolektif ditangani bersama menurut pembagian tugas masing-masing individu,
kendati peran kiai masih dominan. Ketentuan yang menyangkut kebijaksanaan-
kebijaksanaan pendidikan merupakan konsensus semua pihak. Yayasan memiliki
peran yang cukup besar dalam pembagian tugas yang terkait dengan kelangsungan
pendidikan pesantren.
Perubahan dan kepemimpinan individual menuju kepemimpinan kolektif
akan sangat berpengaruh terhadap hubungan pesantren dan masyarakat. Semula
hubungan semula bersifat patronklien, yakni seorang kiai dengan karisma besar
berhubungan dengan masyarakat luas yang menghormatinya. Sekarang hubungan
semacam itu semakin menipvis. Justru yang berkembang adalah hubungan
kelembagaan antara pesantren dengan masyarakat.

C. Hasil Penelitian Model Kepemimpinan Studi Kasus Beberapa


Pesantren
Penelitian terkait model kepemimpinan dalam pesantren telah banyak
dilakukan oleh para ahli akademisi, dan praktisi antara lain dapat di identifikasi
yakni sebagai berikut:
1. Pada tahun 1998 Mastuhu melakukan penelitian di 6 pesantren besar yang
terdapat di Jawa timur yang berjudul: Dinamika Lembaga Pendidikan
Pesantren. Mastuhu mendapati tipe-tipe kepemimpinan yang bervariasi. Di
pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk sumenep Madura ditemukan pola

4
Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultural (dalam M. Dawam Rahardjo,
Pesantren dan Pembaruan (Jakarta: LP3ES, 1985), h.161.

7
kepemimpinan dengan ciri paternalistic dan free rein leadership, yang
sangat berbeda dengan pola kepemimpinan yang terdapat di pesantren
Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo Situbondo yang merupakan tipe
kepemimpinan kharismatik (spiritual leader) dan otoriter
paternalistik.sebagian dari pola kepemimpinan yang terdapat didua
pesantren tersebut ternyata juga ditemukan dalam kepemimpinan yang
terdapat di blok Agung Banyuwangi yaitu paternalistik, otoriter dan laise-
faire. Sedangkan dipesantren Tebuirang Jombang kepemimpinan yang
diterapkan bersifat partisifatif, meskipun dalam keadaan tertentu pola
kepemimpinannya bersifat otokratik. Berbeda dengan pesantren Paciran
Tuban pola kepemimpinannya merupakan kombinasi antara gaya otoriter,
Paternalstik dan birokratik. Sementara itu kepemimpinan di pesantren
Gontor Ponorogo Bersifat Kharismatik dan rasional.5
2. Pada tahun 2003 Endang Turmudi penulis buku yang berjudul
“perselingkuhan kyai dan kekuasaan” Endang Turmudi mencoba
mencermati aspek kepemimpinan kiyai secara umum dengan memusatkan
penelitian pada aspek-aspek kepemimpinan kultural dan politik kiyai di
Jombang Jawa Timur. Turmudi menjelaskan bahwa kyai dalam membina
hubungan dan relasi politik dengan masyarakat melalui dua lembaga
sekaligus yakni pesantren dan tatrekat. Seiring dengan bangunnya lembaga
pendidikan modern, pola relasi kyai dan pengikutnya mengalami
perubahan. Turmudi melihat ada profanisasi kharisma kyai, sehingga
kepemimpinan dengan tipe kharismatikdi Jombang Tidak begitu efektif.6
3. Pada tahun 2010 Ridwan Nasir dalam bukunya yang berjudul “ Mencari
Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Di Tengah Arus
Perubahan”. Buku tersebut merupakan hasil penelitian Ridwan untu
kepentingan memenuhi tugas akhir studi doktoralnyayang berjudul
“Dinamika Sistem Pendidikan; Studi Di Pondok-Pondok Pesantren
Kabupaten Jombang Jawa Timur.” Dalam penelitian Ridwan
Menyimpulkan bahwa kepemimpina kyai di beberapa pesantren yang ada

5
Mastuhu, Dinamika Sitem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 57.

6
Endang Turmudi Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Lkis, 2003), h.
101.

8
di Jombang bervariasi, terjadi pergeseran-pergeseran dan menunjukkan
keunikan-keunikan, yang mengandung unsur-unsur tipe kepemimpinan
tradisional, rasional dan karismatik, yang kesemuanya berkombinasi
antara tiga tipe kepemimpinan. Menurutnya tiga tipe kepemimpinan
rasional-kolektif yang dipandang paling sesuai untuk memacu
perkembangan pondok pesantren. Selain itu, ditemukan bahwa kualitas
sebuah pesantren sangat tergantung pada kualitas pemimpinnya.7
4. Pada tahun 2010 penelitian yang berjudul “Gaya Kepemimpinan Kiyai
Pondok Pesantren Bina Umat Sumber Arum Moyudan Sleman
Yogyakarta” penelitian yang dilakukan Lasmanto Ini menyimpulkan gaya
kepemimpinan kiyai bersifat demokratis-kolektif yang disebut dengan
Dewan Direksi terdiri dari wakil Direktur, I, II dan III, pola kepemimpinan
ini termasuk dalam persspektif modern, dimana kekuasaan tidak
sepenuhnyaada ditangan kiyai.8
5. Pada tahun 2010 penelitian yang berjudul “Kepemimpinan Kolektif
Kolegial Di Pondok Pesantren Darul Ulum Rejeso Peterongan Jombang”.
Penelitian yang dilakukan Henra Muayyad ini menyimpulkan pola
kepemimpinan pesantren Darul Ulum ada tiga. Yang pertama, majelis
pimpinan pondik pesantren (pimpinan tertinggi, top leader), kedua, biro
pembantu majlis pimpinan, ketiga, pimpinan-pimpinan unit pendidikan
dan asrama, semua level bersinergi dalam membangun kolektifitas dan
kolegalitas demi mencapai visi misi dan tujuan bersama.9
6. Pada tahun 2015 penelitian yang berjudul “Koderisasi Kepemimpinan Di
Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur” penelitian
Kadar Yuliati menjelaskan tentang kaderisasi kepemimpinan di pondok
pesantren Darussalam Gontor bersifat pendelegasian transformasional
yang berasaskan pada nilai-nilai ajaran Islam, dengan melibatkan semua
perangkat pondok pesantren kedalam proses pendidikan dari

7
Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Di
TENGAH Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 93.
8
Lasmanto, gaya Kepemimpinan Kiyai Pondok Pesantrenbina Umat Sumber Arum
Moyudan Sleman, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Uin Sunan Kalijaga, 2010), h. 74
9
Hendra Muayyad, Kepemimpinan Kolektif Kolegial Di Pondok Pesantren Darul Ulum
Rejeso Peterongan Jombang, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Uin Sunan Kalijaga, 2010), h.
56

9
kepemimpinan pondok, guru, santri dan pembantu pondok yang memiliki
komitmen terhadap nilai-nilai dasar pesantren yang tertuang dalam panca
jiwa pondok, moto, orientasi, falsafah, visi misi dan tujuan pesantren.
7. Pada tahun 2015 diterbitkan buku yang berjudul “Masa Depan Pesantren
Telaah Atas Model Kepemimpinan Dan Manajemen Pesantren Salaf”.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian disertasi yang dilakukan oleh
Mustajab di dua lembaga pendidikan pesantrenyakni pesantren al-Hasani
dan al-Latifi dan pesantren utsmani. Hasil penelitiannya menjelaskan
tentang tipe kepemimpinan di pondok pesantren Salaf AL-Hasani Al-Latifi
menggunakan tipe kepemimpinan otokratik. Namun demikian, otokratik
yang di praktekkan disini adalah otokratik yang bijak, karena berlandaskan
nilai-nilai religiusitas. Sedangkan gaya kepemimpinan di pondok
pesantren Al-Utsmani adalah tipe kepemimpinan demokratis dengan gaya
kepemimpinan intruktif-koordinatif.10
Dari identifikasi hasil penelitian diatas, menunjukkan bahwa pola
kepemimpian di pondok pesantren dari waktu-kewaktu mengalami perubahan
yang sangat variatif. Perubahan tersebut, adakalanya dipengaruhi oleh faktor
internal maupun eksternal pesantren. Dalam kondisi internal perubahan
kepemimpinan terjadi karena ditinggal wafat oleh pengasuh/pimpinan pesantren,
adakalanya juga dipengaruhi konflik internal pesantren dan lain sebagainya.
Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi adakalanya disebabkan oleh
perubahan situasi politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Akumulasi faktor internal
dan eksternal terbutlah yang kemudian berimplikasi pada corak kepemimpinan
pesantren yang berbeda-beda pula. Sebagaimana hasil penelitian Mastuhu
menjelaskan tentang kepemimpinan pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk
Sumenep Madura berbeda dengan kepemimpinan di pondok pesantren Tebu Ireng
Jombang.

10
Mustajab, Masa Depan Pesantren Telaah Atas Model Kepemimpinan Dan Manajemen
Salaf, (Yogyakarta: Lkis, 2015), h. 64.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Model kepemimpian di pondok pesantren dari waktu-kewaktu mengalami
perubahan yang sangat variatif. Perubahan tersebut, adakalanya dipengaruhi oleh
faktor internal maupun eksternal pesantren. Dalam kondisi internal perubahan
kepemimpinan terjadi karena ditinggal wafat oleh pengasuh/pimpinan pesantren,
adakalanya juga dipengaruhi konflik internal pesantren dan lain sebagainya.
Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi adakalanya disebabkan oleh
perubahan situasi politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Akumulasi faktor internal
dan eksternal yang kemudian berimplikasi pada corak kepemimpinan pesantren
yang berbeda-beda pula.
Proses modernnisasi menimbulkan berbagai pengaruh dalam setiap instisusi
sosial yang berkembang secara dinamis. Hal ini bisa dilihat dari pola
kepemimpinan di pondok pesantren yang awalnya bersifat tradisional, kini
bersifat rasional. Artinya, pengaruh modrenisasi tidak hanya melanda institusi
tetapi juga berpengaruh terhadap aktor sosial yang berada di dalamnya.

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. oleh karena
itu kami menyarankan kepada teman-teman sesama untuk mencari inform,asi
sebagai tambahan dari apa yang kami uraikan. Dan kami juga mengharapkan
kritik dan sara dari teman-teman sekalian.

11
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Imron. Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang:


Kalimasada Press, 1993.

Lasmanto, gaya Kepemimpinan Kiyai Pondok Pesantrenbina Umat Sumber Arum


Moyudan Sleman, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Uin Sunan
Kalijaga, 2010.

Mastuhu, Dinamika Sitem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.


Muayyad, Hendr. Kepemimpinan Kolektif Kolegial Di Pondok Pesantren Darul
Ulum Rejeso Peterongan Jombang, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana
Uin Sunan Kalijaga, 2010.
Mustajab, Masa Depan Pesantren Telaah Atas Model Kepemimpinan Dan
Manajemen Salaf, Yogyakarta: Lkis, 2015.
Nasir, Ridwan. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Di
TENGAH Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Rahman Shaleh ,Abdul. Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Jakarta: Depag
RI, 1982.

Turmudi, Endang. Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan, Yogyakarta: Lkis, 2003.

Wahid, Abdurrahman. Pesantren Sebagai Subkultural (dalam M. Dawam


Rahardjo, Pesantren dan Pembaruan, Jakarta: LP3ES, 1985.

Wahid, Marzuki. Pesantren Masa Depan: Wacana Pemnberdayaan dan


Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

12

Anda mungkin juga menyukai