Dokumen tersebut membahas tentang pemeriksaan RPR (flokulasi rapid reagen) untuk diagnosis infeksi menular seksual seperti sifilis. Ia menjelaskan bahwa infeksi menular seksual seperti sifilis masih menjadi masalah kesehatan besar dan angka kasusnya terus meningkat. Tes serologi seperti RPR dan VDRL direkomendasikan untuk skrining dan memantau perjalanan penyakit selama dan sesudah pengobatan.
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
272 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang pemeriksaan RPR (flokulasi rapid reagen) untuk diagnosis infeksi menular seksual seperti sifilis. Ia menjelaskan bahwa infeksi menular seksual seperti sifilis masih menjadi masalah kesehatan besar dan angka kasusnya terus meningkat. Tes serologi seperti RPR dan VDRL direkomendasikan untuk skrining dan memantau perjalanan penyakit selama dan sesudah pengobatan.
Dokumen tersebut membahas tentang pemeriksaan RPR (flokulasi rapid reagen) untuk diagnosis infeksi menular seksual seperti sifilis. Ia menjelaskan bahwa infeksi menular seksual seperti sifilis masih menjadi masalah kesehatan besar dan angka kasusnya terus meningkat. Tes serologi seperti RPR dan VDRL direkomendasikan untuk skrining dan memantau perjalanan penyakit selama dan sesudah pengobatan.
Dokumen tersebut membahas tentang pemeriksaan RPR (flokulasi rapid reagen) untuk diagnosis infeksi menular seksual seperti sifilis. Ia menjelaskan bahwa infeksi menular seksual seperti sifilis masih menjadi masalah kesehatan besar dan angka kasusnya terus meningkat. Tes serologi seperti RPR dan VDRL direkomendasikan untuk skrining dan memantau perjalanan penyakit selama dan sesudah pengobatan.
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 3
PEMERIKSAAN RPR (FLOKULASI RAPID REAGEN)
Selasa, 25 februari 2020
Latar Belakang Penyakit kelamin merupakan fenomena penyakit yang telah lama kita kenal diantaranya seperti sifilis, gonore, dan herpes. Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, menemukan bahwa penyakit ini tidak hanya menimbulkan gejala klinis pada alat kelamin saja, tetapi dapat menimbulkan gangguan pada organ- organ tubuh yang lain yang menyebabkan istilah penyakit kelamin tidak sesuai lagi dan diubah menjadi Penyakit Menular Seksusal (PMS). Sejak tahun 1998, istilah PMS ini diganti dengan Infeksi Menular Seksual (IMS) untuk menjangkau penderita asimptomatik yang ternyata banyak terjadi, terutama pada wanita (Daili, 2009). Salah satu masalah nasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS), Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Saat ini Infeksi Menular Seksual (IMS) kembali mendapat perhatian besar sejak berkembangnya infeksi HIV dan AIDS (Depkes RI, 2005). Infeksi Menular Seksual (IMS) didefinisikan sebagai salah satu Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) yang ditularkan melalui hubungan seksual dengan penderita yang terinfeksi. Kuman penyebab infeksi dapat berupa jamur, virus dan parasit. Infeksi yang termasuk kelompok IMS adalah gonorhoe, sifilis, trichomoniasis vaginalis, herpes genitalis dan HIV/AIDS (Widyastuti, 2009). Infeksi menular seksual (IMS) adalah berbagai infeksi yang dapat menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual. Penyakit IMS merupakan satu diantara penyebab penyakit utama di dunia dan telah memberikan dampak luas pada masalah kesehatan, sosial, dan ekonomi di banyak negara (Agustini & Arsani, 2013). Menurut The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) terdapat sekitar 20 juta kasus baru IMS dilaporkan per-tahun. Kelompok remaja dan dewasa muda (15-24 tahun) adalah kelompok umur yang memiliki risiko paling tinggi untuk tertular IMS, dimana 3 juta kasus baru tiap tahun adalah dari kelompok ini (CDC, 2010). Menurut data hasil jumlah grafik penderita IMS pada tahun 2010 sampai 2013 cenderung terjadi peningkatan, yaitu pada tahun 2010 sebanyak 2376 kasus, 2011 sebanyak 1696 kasus, 2012 sebanyak 2398 kasus, dan tahun 2013 sebanyak 2390 kasus. Berdasarkan laporan Rumah Sakit Kota Semarang tahun 2014 sampai 2016 terdapat perkembangan penyakit Sifilis yang terus mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2014 sebanyak 8 kasus, tahun 2015 sebanyak 16 kasus, dan tahun 2016 sebanyak 19 kasus (sifilis dini 5 kasus dan sifilis lanjut 14 kasus). (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2016) Sifilis adalah penyakit menular seksual yang sangat infeksius, disebabkan oleh bakteri berbentuk spiral, Treponema pallidum (T. pallidum) subspesies pallidum. Schaudinn dan Hoffmann pertama kali mengidentifikasi T. pallidum sebagai penyebab sifilis pada tahun 1905. Penularan sifilis bisa melalui hubungan seksual dengan penderita, kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi serta dari ibu ke janin melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan (Efrida, 2014). Sifilis terbagi menjadi 3 stadium yaitu Stadium I (Sifilis Primer) timbul antara 2-4 minggu setelah kuman masuk, Stadium II (Sifilis Sekunder) terjadi setelah 6-8 minggu dan bisa berlangsung selama 9 bulan, dan Stadium III (Sifilis Tersier) umumnya timbul 3-10 tahun setelah terinfeksi (Sri Arjani, 2015). Menurut World Health Organization (WHO) penyebaran sifilis di dunia telah menjadi masalah kesehatan yang besar dan umum, dengan jumlah kasus 12 juta per-tahun (Ryan KJ, 2004, Cit., Elvinawaty, 2014). Dari data profil Dinas Kesehatan Kota Semarang jumlah penderita sifilis mengalami peningkatan selama 3 tahun terakhir (DKK Semarang, 2015). Penderita sifilis di Kota Semarang jumlahnya cukup banyak, maka penting sekali menegakkan diagnosa berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dengan pengamatan yang tepat. Menurut Efrida (2014) penentuan diagnosis sifilis metode definitif dilakukan dengan pemeriksaan mikroskop medan gelap (darkfield microscope) pada sifilis primer dan uji antibodi fluoresens langsung pada sifilis sekunder. Uji serologi lebih sering dilakukan karena lebih mudah dan harganya ekonomis. Uji serologi dibedakan menjadi 2 yaitu : Uji nontreponema seperti Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagin (RPR) yang sering digunakan untuk skrining, serta Uji treponema seperti Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS) dan Treponema Pallida Hema Aglutination Assay (TPHA) untuk konfirmasi. Uji serologi nontreponemal VDRL dan RPR ini yang dianjurkan untuk memonitor perjalanan penyakit selama dan sesudah pengobatan. Pada uji treponema menggunakan antigen berupa eritrosit yang dicoated dengan T. pallidum atau antigen asli dari T. pallidum, sedangkan pada uji nontreponema menggunakan antigen yang analog atau hampir mirip dengan T. pallidum yang terdiri dari kardiolipin, kolesterol, dan lesistin yang sudah terstandarisasi. Agustini & Arsani, 2013. Infeksi Menular Seksual dan Kehamilan, Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. CDC, 2010. Sexually transmitted Diseases, http://www.cdc.gov/std/pregnancy/stdfactpregnancy.html. Daili, F.S dkk., 2009. Infeksi Menular Seksual. Balai Penerbit FKUI. Cetakan Pertama. Jakarta. Dinas Kesehatan Kota., 2016. Jumlah Grafik Penderita IMS. Data Perkembangan Penyakit. Semarang. Efrida, Elvinawaty., 2014. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan Pemeriksaan Serologi. Jurnal Kesehatan Andalas. Fakultas Kedokteran (UNAND) : Sumatra Barat. Ryan KJ, 2004. Spirochetes, in Sherris Medical Microbiology, 4th ed, editor Ryan KJ, Ray CG, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division, New York. hlm. 421-9. Sri Arjani, Ida., 2015. Identifikasi Agen Penyebab Infeksi Menular Seksual. Jurnal Skala Husada. Politeknik Kesehatan : Denpasar. Widyastuti dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya