Suku Mentawai
Suku Mentawai
Suku Mentawai
Rumah Adat
Rumah khas Mentawai itu disebut Uma, yang digunakan masyarakat di
kepulauan Mentawai pesisir barat Pulau Sumatera.
Uma, seperti kebanyakan bangunan tradisonal Nusantara, dibangun tanpa
menggunakan paku, Kekuatan Uma sepenuhnya bersandar pada teknik ikat,
tusuk, dan sambung silang bertakik antar bahan bangunan. Bangunan utama
Uma berdiri biasanya 3 meter dari permukaan tanah yang dimamsudkan untuk
menghindari banjir dari luapan sungai, namun bila air sedang tidak meluap,
maka bagian bawah Uma digunakan sebagai tempat menyimpan ternak. Atap
Uma terbuat dari rumbia yang rutin diganti bila musim hujan tiba.
Bagian dalam Uma ditempati oleh 5 sampai 7 keluarga dari keturunan yang
sama. Salah satunya diangkat sebagai tetua, alias rimata, dan ada pula yang
ditugasi sebagai Sikerei atau tabib. Selain itu, Uma juga berfungsi sebagai
tempat benda pusaka disimpan, juga tempat menyimpan tengkorak hasil
buruan yang terkait dengan kebanggaan kampung.
Pada waktu tertentu, Uma juga berfungsi sebagai balai pertemuan kerabat dan
tempat pelaksanaan upacara adat.
Selain Uma, suku Mentawai juga mengenal Lalep, yakni tempat tinggal
pasangan suami istri yang telah resmi menikah menurut adat. Lalu ada Rusuk
yang menjadi tempat tinggal bagi anak muda, janda, dan orang yang diusir dari
kampung.
TARIAN
1. Turuk Uliat Bilou.
Tarian ini disebut juga dengan tarian monyet. Menceritakan tentang
monyet dan kawanannya yang selalu gembira, bernada ria dan
bernyanyi pada saat cuaca cerah. Dalam tarian ini akan melibatkan
dua sampai tiga penari, dibantu tiga pemusik (penabuh gendang).
2. Turuk Uliat Manyang.
Tari elang mencari ikan. Menceritakan tentang dua ekor burung elang
yang saling berebut seekor ikan, timbul perkelahian namun tidak
menimbulkan korban. Kedua ekor elang itu saling membagi rata ikan
yang ada di hadapan mereka. Tarian ini menyampaikan pesan bahwa
perseteruan atau pertengkaran tidak akan menyelesaikan persoalan.
Jalan baiknya adalah berdamai.
BAHASA DAERAH
Bahasa Mentawai dituturkan di Desa Monganpoula, Kecamatan Siberut Utara; Desa
Maileppet, Kecamatan Siberut Selatan; dan Desa Sioban, Kecamatan Sipora, dan
Desa Makalo, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi
Sumatra Barat.
Bahasa Mentawai terdiri atas tiga dialek, yaitu dialek Siberut Utara, dialek Siberut
Selatan,dan, dialek Sipora Pagai. Dialek Siberut Utara dituturkan di Desa
Monganpoula, Kecamatan Siberut Utara. Dialek Siberut Selatan dituturkan di Desa
Maileppet, Kecamatan Siberut Selatan. Dialek Sipora Pagai dituturkan di Desa Sioban,
Kecamatan Sipora, dan Desa Makalo, Kecamatan Pagai Selatan. Dialek Sipora-Pagai
merupakan dialek standar karena sebaran geografisnya paling luas dan paling banyak
jumlah penuturnya serta berada di pusat pemerintahan kabupaten.
Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, persentase perbedaan ketiga dialek
tersebut berkisar 51%—69%. Isolek Mentawai merupakan sebuah bahasa dengan
persentase perbedaan berkisar 81%—100% jika dibandingkan dengan bahasa Batak
dan Minangkabau.
SUKU SERAWAI
NAMA: ACHMAD KEMAL .S.
KELAS: VII A
NO ABSEN: 03
Sejarah
Asal usul suku Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam
bentuk tulisan maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Sejarah suku
Serawai hanya diperoleh dari uraian atau cerita dari orang-orang tua. Sudah tentu
sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari masuknya
unsur-unsur legenda atau dongeng sehingga sulit untuk membedakan dengan yang
bernilai sejarah. Ada satu tulisan yang ditemukan di makam Leluhur Semidang
Empat Dusun yang terletak di Maras, Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu
dengan menggunakan huruf yang menyerupai huruf Arab kuno. Namun sayang
sekali sampai saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat membacanya.
Berdasarkan cerita para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur yang
bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal usul Serunting Sakti sendiri
masih gelap, sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu
daerah di Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan Majapahit. Di
Majapahit, Serunting Sakti meminta sebuah daerah untuk didiaminya, dan oleh Raja
Majapahit dia diperintahkan untuk memimpin di daerah Bengkulu Selatan. Ada
pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti berasal dari langit, ia turun
ke bumi tanpa melalui rahim seorang ibu. Selain itu, ada pula yang berpendapat
bahwa Serunting Sakti adalah anak hasil hubungan gelap antara Puyang Kepala
Jurai dengan Puteri Tenggang.
Rumah Adat Bengkulu
Rumah Adat Bengkulu – Warisan arsitektur Indonesia memang beragam, unik dan
memiliki filosofi masing-masing. Salah satu warisan arsitektur tradisional Indonesia
adalah rumah adat yang berasal dari provinsi yang terletak di barat daya pulau
sumatra ini.
Rumah adat Bengkulu bernama rumah “Bumbungan Tinggi”, tetapi oleh masyarakat
Bengkulu lebih sering disebut rumah “Bubungan Lima”.Secara umum bangunan
rumah adat Bengkulu merupakan rumah panggung yang ditopang oleh beberapa tiang.
Nama “Bubungan Lima” diambil dari bentuk atap rumah tersebut. Selain “Bubungan
Lima”, rumah adat Bengkulu ini sering juga dikenal dengan nama rumah “Bubungan
Haji”, “Bubungan Limas” dan juga “Bubungan Jembatan”.
Gelamai tak jauh beda dengan dodol , namun rasa dan bentuknya agak berbeda.
Tepung beras padi arang (ketan hitam) atau tepung beras padi pulut (ketan putih)
menjadi bahan utama untuk ngidak gelamai, perbedaan bahan dasar akan
mempengaruhi warna pada gelamai. Sesuai dengan namanya bila menggunakan
tepung padi arang, maka gelamai akan berwarna hitam pekat, sedangkan tepung padi
pulut (ketan putih) warna gelamai menjadi coklat tua. Gula merah dan santan kelapa
menjadi bahan pembantu pembuatan gelamai.
Tak semua orang bisa membuat makanan khas yang satu ini, karena cara memasaknya
membutuhkan tenaga dan kesabaran yang ekstra. Memasak gelamai atau ngidak
gelamai membutuhkan waktu hingga delapan jam. Mulai dari memasak santan kelapa
waktu yang dihabiskan bisa sampai dua jam.
Ngidak gelamai menjadi tradisi gotong royong masyarakat suku serawai yang masih
bertahan hingga era modern ini. Biasanya, 4-5 orang dewasa akan bersama-sama
ngidak gelamai karena semakin lama adonan gelamai dimasak akan semakin kental
dan berat adonannya.