1.2 LP Eliminasi
1.2 LP Eliminasi
1.2 LP Eliminasi
“ M ”
DI RUANG FLAMBOYAN
Disusun oleh :
LUSI ISMAYANTI
2920183304
2B
YOGYAKARTA
2018/2019
LEMBAR PERSETUJUAN
Hari : Senin
Praktikan
(Lusi Ismayanti)
(Purwanto,S.Kep.,Ns ) (Taukhit,S.Kep.,Ns.,M.Kep)
2
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat
dan Rahmat-Nyalah, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan
lancar.
Pada penyusunan laporan ini, penulis mendapat bantuan dari pihak lain
secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
Lusi Ismayant
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................... 2
BAB I ...................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN .................................................................................................. 5
B. Tujuan .......................................................................................................... 6
BAB II ..................................................................................................................... 7
KONSEP DASAR................................................................................................... 7
A. Definisi ......................................................................................................... 7
B. Etiologi ......................................................................................................... 8
D. Patofisiologi ............................................................................................... 14
E. Pathways .................................................................................................... 16
G. Komplikasi ................................................................................................. 20
H. Penatalaksanaan ......................................................................................... 21
A. Pengkajian .................................................................................................. 24
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
5
karena penyakit-penyakit neuromoskular, trauma spinal cord, tumor
Spinter anus eksternal (Mongan, 2014).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan yang sistematis
dan lengkap pada klien dengan kebutuhan eliminasi.
2. Tujuan Khusus
Setelah menyusun laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat :
a. Mahasiswa mampu memahami definisi gangguan kebutuhan
eliminasi
b. Mahasiswa mampu memahami etiologi gangguan kebutuhan
eliminasi
c. Mahasiswa mampu memahami tentang manifestasi klinik
gangguan kebutuhan eliminasi
d. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi gangguan kebutuhan
eliminasi
e. Mahasiswa mampu memahami pathways gangguan kebutuhan
eliminasi
f. Mahasiswa mampu memahami tentang pemeriksaan penunjang
gangguan kebutuhan eliminasi
g. Mahasiswa mampu memahami tetang komplikasi yang terjadi
dalam gangguan kebutuhan eliminasi
h. Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan gangguan
kebutuhan eliminasi
i. Mahasiswa mampu memahami pengkajian fokus gangguan
kebutuhan eliminasi
j. Mahasiswa mampu memahami diagnosa keperawatan pada
gangguan kebutuhan eliminasi
k. Mahasiswa mampu memahami tujuan dan intervensi dari diagnosa
keperawatan gangguan kebutuhan eliminasi
6
BAB II
KONSEP DASAR
A. Definisi
Zat sisa metabolisme yang tidak berguna lagi bagi tubuh harus
dikeluarkan (di eliminasi) dari dalam tubuh karena dapat menjadi racun.
Proses eliminasi ini dapat dibagi menajdi eliminasi urin (buang air kecil)
dan eliminasi fekal (buang air besar).
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik
berupa urine atau bowel(feses). Defekasi adalah pengeluaran feses dari
anus dan rectum. Hal ini juga disebut bowel movement (Mubarak, 2015).
Kebutuhan eliminasi urine merupakan merupakan kebutuhan dasar
untuk dapat buang aiir kecil secara normal. Untuk memenuhi kebutuhan
eliminasi urin kita perlu memahami berbagai sistem atau organ yang
berperan, seperti ginjal, ureter, bleder dan uretra, yang dibahas dalam mata
kuliah anatomi dan fisiologi. Namun demikian mari kita coba review
kembali berbagai hal terkait kebutuhan eliminasi urin, seperti bagaimana
proses berkemih, faktor apa saja yang memengaruhi eliminasi urin,
masalah/ gangguan eliminasi utin dan bagaimana asuhan keperawatan
(Hidayat, 2012).
Kebutuhan eliminasi fekal merupakan kebutuhan dasar untuk
buang air besar. Kebutuhan ini diatur oleh sistem gastrointestinal bawah
yang meliputi usus halus dan usus besar, usus halus terdiri dari duodenum,
jejenum dan ileum. Usus besar merupakan bagian bawah atau bagian
ujung dari saluran pencerahan, dimulai dari katup ileum caecum sampai ke
dubur(anus) (Hidayat, 2012).
7
B. Etiologi
8
kesulitan mengontrol BAK dan bertambahnya usia dapat
meningkatkan cara mengontrol BAK.
e. Kondisi penyakit
Seperti DM dapat mempengaruhi produksi urine.
f. Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan
eliminasi urine, seperti adanya kultur masyarakat yang melarang
untuk buang air kecil di tempat tertentu.
g. Kebiasaan seseorang
Dalam keadaan tirah baring, seseorang yang sakit akan
merasa kurang nyaman atau bahkan kesulitan untuk berkemih
melalui urinal atau pot urine karena terbiasa berkemih di toilet.
h. Tonus otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu
proses berkemih dalam kandung kemih, otot abdomen dan
pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi pengontrolan
pengeluaran urine.
i. Pembedahan
Efek pembedahan dapat menurunkan filtrasi glomerulus
yang dapat menyebabkan penurunan jumlah produksi urin karena
dampak dari pemberian obat anestesi.
j. Pengobatan
Efek pengobatan menyebabkan peningkatan atau
penurunan jumlah urine. Misalmya, pemberian diuretik dapat
meningkatkan jumlah urine, sedangkan pemberian obat
antikolinergik atau antihipertensi dpat menyebabkan retensi
urine.
k. Pemeriksaan diagnostik
Prosedur diagnostik yang berhubungan dengan tindakan
pemeriksaan saluran kemih seperti intravenous pylogram ( IVP),
dengan membatasi jumlah asupan dapat mempengaruhi produksi
9
urine. Kemudian, tindakan cystoscopy dapat menimbulkan
edema lokal pada uretra yang dapat mengganggu pengeluaran
urine.
2. Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal
a. Usia
Setiap tahap perkembangan atau usia memiliki kemampuan
mengontrol defekasi yang berbeda. Bayi belum memiliki
kemapuan mengontrol secara penuh dalam buang air besar,
sedangkan orang dewasa sudah memliki kemampuan mengontrol
secara penuh, dan pada usia lanjut proses pengontrolan tersebut
mengalami penurunan.
b. Diet
Diet atau pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat
mempengaruhi proses defekasi. Makanan yang memiliki
kandungan serat tinggi dan mempunyai proses percepatan
defekasi dan jumlah yang dikonsumsi pun dapat
mempengaruhinya.
c. Asupan cairan
Pemasukan cairan yang kurang dalam tubuh membuat
defekasi menjadi keras oleh karena proses absorpsi kurang
sehingga dapat mempengaruhi kesulitan proses defeksi.
d. Aktivitas
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena
melalui aktivitas tonus otot abdomen, pelvis, dan diafragma
dapat membantu kelancaran proses defekasi, sehingga proses
gerakan peristaltik pada daerah kolon dapat bertambah baik dan
memudahkan dalam membantu proses kelancaran proses
defekasi.
10
e. Pengobatan
Pengobatan dapat mempengaruhi proses defekasi, seperti
penggunaan laksansia (obat pencahar) atau antasida yang terlalu
sering.
f. Gaya hidup
Kebiasaan atau gaya hidup dapat mempengaruhi proses
defekasi. Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki
gaya hidup sehat atau kebiasaan melakukan buang air besar
ditempat yang bersih atau toilet. Maka, ketika orang tersebut
buang air besar ditempat yang terbuka atau tempat yang kotor, ia
mengalami kesulitan dalam proses defekasi.
g. Penyakit
Beberapa penyakit dapat mempengaruhi proses defekasi,
biasanya penyakit-penyakit yang berhubungan langsung pada
sistem pencernaan seperti gaastroenteritis atau penyakit infeksi
lainnya.
h. Nyeri
Adanya nyeri dapat mempengaruhi kemampuan/keinginan
untuk berdefekasi, seperti nyeri pada beberapa kasus hemoroid
dan episiotomi.
i. Kerusakan sensoris dan motoris
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat
mempengaruhi proses defekasi karena menimbulkan proses
penurunan stimulasi sensoris dalam berdefekasi. Hal tersebut
dapat diakibatkan oleh kerusakan pada tulang belakang atau
kerusakan saraf lainnya.
11
C. Manifestasi Klinik
12
2. Manifestasi klinik gangguan eliminasi fekal
a. Konstipasi
1) Pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan
2) BAB kurang dari 3x dalam seminggu
b. Impaksi feses ( tertahannya feses)
1) Adanya pembesaran
2) Rasa ingin buang air besar
3) Rasa sakit di bagian rectum
c. Diare
1) Nyeri atau kejang pada abdomen
2) Kadang disertai darah atau mukus
3) Mual atau muntah
d. Inkontinensia Fekal
1) Feses keluar untuk waktu tertentu
2) Feses bersifat iritan
3) Iritasi pada sekitar anus atau bokong
e. Flatulens
1) Distensi pada lambung dan usus
2) Terdengar bunyi timpani di abdomen
3) Rasa tidak nyaman pada daerah abdomen
13
D. Patofisiologi
1. Inkontinensia urine
Dalam proses berkemih yang normal dikendalikan oleh mekanisme
volunter dan involunter. Sfingteruretra eksternal dan otot dasar panggul
yang berada dibawah kontrol mekanisme volunter. Sedangkan pada otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada pada bawah
kontrol sistem saraf otonom. Ketika otot detrusor berelaksasi maka
terjadinya proses pengisian kandung kemih dan sebaliknya jika otot ini
berkontraksi maka proses berkemih (pengosongan kandung kemih) akan
berlangsung. Dengan kontraksi otot detrusor kandung kemih disebabkan
dengan aktivitas saraf parasimpatis, dimana aktivitas itu dapat terjadi
karena dipicu oleh asetilkoline. Ketika terjadi perubahan-perubahan
pada mekanisme normal ini maka dapat menyebabkan proses berkemih
terganggu. Pada usia lanjut baik wanita atau pria terjadinya perubahan
anatomis dan fisiologis dari sistem urogenital bagian bawah. Perubahan
tersebut akan berkaitan dengan menurunnya kadar hormon estrogen
pada wanita dan hormon androgen pada pria. Perubahan yang terjadi ini
berupa peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen pada dinding
kandung kemih yang dapat mengakibatkan fungsi kontraktil dari
kandung kemih tidak efektif lagi.
Pada otot uretra dapat terjadi perubahan vaskularisasi pada lapisan
submukosa, atrofimukosa dan penipisan otot uretra. Dengan keadaan ini
menyebabkan tekanan penutupan uretra berkurang. Otot dasar panggul
juga dapat mengalami perubahan merupa melemahnya fungsi dan
kekuatan otot. Secara keseluruhan perubahan yang terjadi pada sistem
urogenital bagian bawah akibat dari proses menua sebagai faktor
kontributor terjadinya Inkontinensia urine (Setiati dan Pramantara, 2007
dalam Jayani, 2010).
14
2. Inkontinensia fekal
Mekanisme yang terlibat dalam kontrol defekasi amat kompleks
namun secara garis besar dikelompokkan menjadi faktor kolon, otot
neurologis, dan anorektal. Khusus dibidang obstetri, persalinan adalah
faktor utama terjadinya inkontinensia fekal akibat trauma pada sfingter
anus. Keadaan ini dibuktikan oleh penelitian Sultan dkk yang
menemukan 35% primipara mengalami kerusakan sfingter setelah
dilakukan evaluasi dengan USG anal setelah 6 minggu persalinan,
sebelumnya diduga tidak ada masalah. Ditemukan pula bahwa l3% dari
wanita primipara akhimya mengeluh alcibatin kontinensia fekal setelah
melahirkan kasus inkontinensia fekal ditemukan pada 1/3 wanita yang
mengalami keluhan inkontinensia urin dan sebanyak 7% dari wanita
yang mengalami prolaps organ pelvis (Ariadi, 2010).
15
E. Pathways
a. Eliminasi Urine
16
17
b. Eliminasi fekal
Refleks defekasi
parasimpatis
Saraf rectum
Intensifkan peristaltik
Inkontinensia alvi
18
F. Pemeriksaan Penunjang atau Pemeriksaan Diagnostik
19
c) Proktosigmoidoskopi : pandangan pada rektum dan kolon
sigmoid.
2) Roentgenografi : Roentgenografi dari usus besar dengan
memasukkan barium ke dalam kolon.
2. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostik eliminasi urine
a. Pemeriksaan fisik
1) Kulit : Mengkaji turgot kulit.
2) Ginjal : kaji adanya nyeri tekan di daerah pinggul.
3) Kandung kemih : kaji adanya nyeri tekan
b. Tes Diagnostik
1) Pemeriksaan urine. Hal yang dikaji meliputi warna,
kejernihan, dan bau urine. Untuk melihat kejanggalan, bisa
dilakukan pemeriksaan protein, glukosa, dll.
2) Tes darah. Pemeriksaan meliputi BUN, bersihan kreatinin,
nitrogen non protein (NPN), sitoskopi dan intravenous
pyelogram.
G. Komplikasi
20
H. Penatalaksanaan
21
padat sehingga pelepasannya dapat dikontrol walaupun terdapar
spinkter anus yang lemah cara ini juga dikombinasi dengan
penggunaan Loperamide karena memiliki efek samprng yang
kecil. Tujuannya untuk mengurangi berat feses, mengurangi
motilitas rektum, den meningkatkan refleks inhibisi dari
rektoanal.
2) Latihan Biofeedback
Teknik biofeedback diharapkan pasien mampu kontraksi
spinkter anus ekstemal secara bertahap sebagai respon pengisian
feses dalam rektum. Prinsip kerjanya dengan menempatkan
balon di rongga rektum sehingga mirip proses pengisian rektum
oleh feses. Secara bertahap balon diperbesar ukurannya seiring
dengan peningkatan kemampuan pasien untuk mengendalikan
kekuatan kontraksi otot spinkter anus ekstemal. Kasus-kasus
yang direkomendasikan mernpergunakan biofeedback adalah
kasus inkontinensia fekal akibat diabetes, persainan, dan setelah
pembedahan pada anus.
3) Klisma.
Penanganan inkontinensia fekal dengan klisma
ditujukan pada kasus dimana pasien tidak mampu
mengosongkan rektum secara baik. Tindakan krisma dilakukan
dengan supositoria atau pencucian dengan air biasa atau larutan
phospal setelah dilakukan pengosongan rektum selanjutnya
pasien meminum laksatif setelah makan dikombinasi dengan
rektal suppositoria.
b. Penanganan Secara Operatif
Penanganan operatif dipilih apabila tindakan konservatif gagal
atau penyebabnya memang memerlukan tindakan operatif.
1) Spinkteroplasti
Persiapan operasi meliputi pengosongan rektum dengan
klisma . Profilaksis antibiotika diberikan berupa metronidazol
22
dan golongan sephalosporin generasi ketiga secara intravena,
yang kemudian dilanjutkan pasca operasi. Apabila kerusakan
spinkter yang terjadi akibat suatu tauma tindakan operasi
sebaiknya ditunggu 3 - 6 bulan supaya proses inflamasi mereda,
sehingga jaringan menjadi lebih lunak dan mudah digerakkan.
Setelah foley cateter terpasang pasien ditempatkan dalam posisi
litotomi atau posisi prone jackknife. Posisi prone jacldrnife
kelebihan karena menyebabkan otot pantat turun sehingga
memberikan lapangan pandang yang luas pada asisten. Apabila
tindakan sfingteroplasti tidak berhasil perlu dipertimbangkan
tindakan lain seperti : transposisi otot, kolostomi, atau spinkter
anus buatan.
23
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
24
1) Diet dan asupan
2) Gaya hidup
3) Stress psikologis
4) Tingkat aktivitas
e. Keadaan urine
Warna, bau, kejernihan, Ph, protein, darah, glukosa.
2. Kebutuhan eliminasi fekal
a. Pola defekasi dan keluhan selama defekasi
Secara normal pola defekasi pada bayi sebanyak 4-6 kali/hari,
sedangkan orang dewasa adalah 2-3 kali/hari dengan jumlah rata-
rata pembuangan perhari adalah 150g.
b. Keadaan feses
Warna, bau, konsistensi, bentuk.
c. Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal
d. Pemeriksaan fisik
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
25
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
26
keadaan rileks urine seperticemas inkontinensia
5. Kolaborasi dengan 5. Mengatasi faktor
dokter dalam penyebab
pengobatan dan 6. Meningkatkan
kateterisasi pengetahuan dan
6. Jelaskan tentang: diharapkan pasien
a. Pengobatan lebih kooperatif
b. Kateter
c. Penyebab
2. Retensi urine berhubungan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Inkontinensia
dengan keperawatan selama 3x24 Urin (0610)
a. Obstruksi mekanik jam, retensi urine teratasi. 1. Monitor keadaan 1. Menentukan masalah
b. Pembesaran prostat Dengankriteriahasil: bladder setiap 2 jam
c. Trauma Kontinensia Urin (0502) 2. Ukur intake dan output 2. Memonitor
d. Pembedahan 1. Pasien dapat cairan setiap 4 jam keseimbangan cairan
e. Kehamilan mengontrol 3. Berikan cairan 2000
pengeluaran bladder ml/hari dengan 3. Menjaga devisit cairan
setiap 4 jam kolaborasi
2. Tanda dan gejala 4. Kurangi minum setelah 4. Mencegah nokturia
27
retensi urine tidak ada 6 jam 5. Membantu memonitor
5. Kajidan monitor keseimbangan cairan
analisis urine elektrolit 6. Meningkatkan fungsi
dan berat badan ginjal dan bladder
6. Lakukan 7. Relaksasi pikiran dapat
latihanpergerakkan meningkatkan
7. Lakukan relaksasi kemampuanberkemih
ketika duduk berkemih 8. Menguatkan otot
8. Ajarkan teknik latihan pelvis
dengan kolaborasi
dokter/fisioterapi 9. Mengeluarkan urine
9. Kolaborasi dalam
pemasangan kateter
28
2. Intervensi keperawatan gangguan eliminasi fekal
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Diare berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan Manajemen Diare (0460)
malabsorpsi keperawatan selama 3x24 1.Identifikasi factor 1. Dengan mengetahui
jam, diharapkan BAB klien penyebab diare faktor penyebab dapat
normal dengan kriteria hasil : 2.Ajarkan klien untuk menghindarkan klien
Eliminasi Usus (0503) mengggunakan obat anti dari diare yang lebih
a. Pola eliminasi klien teratur diare parah
b. Konsistensi feses klien 3.Instruksikan pada 2. Untuk membantu
lembut tak berbentuk pasien/keluarga untuk penghentian diare
c. Warna feses klien normal mencatat warna, jumlah, 3. Menunjukkan
frekuensi, dan perkembangan selama
konsistensi feses perawatan
4.Evaluasi intake makanan 4. Mengobservasi jumlah
5.Observasi turgor kulir makanan yang dapat
secara rutin dikonsumsi dan dicerna
6.Monitor kulit disekitar 5. Untuk menentukan
anus/perianal status dehidrasi
29
7.Instruksikan klien agar 6. Diare dapat
menghindari menyebabkan kerusakan
penggunaan laksatif integritas kulit perianal
8.Ajarkan klien teknik 7. Penggunaan lakstif akan
menurunkan stress memperparah keadaan
diare pasien jika tidak
diimbangi dengan intake
makanan dan cairan
yang seimbang
8. Dengan reksasi dapat
membantu menurunkan
tingkat kecemasan klien
2. Resiko konstipasi Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nutrisi (1100)
berhubungan dengan keperawatan selama 1. Anjrukan diet yang 1. Untuk mencegah
penurunan motikitas Diharapkan konstipasi klien tinggi serat konstipasi
traktus gastriuntestinal dapat teratasi dengan kriteria 2. Berikan snack terutama 2. Untuk melancarkan
hasil : kaya akan cairan pencernaan
Kontinensia Usus (0500) seperti jus ataupun
3. Mengenali keinginan buah segar
30
untuk defekasi
ditingkatkan dari skala 1
menjadi skala 3 (kadang- Manajemen Konstipasi 3. Untuk mengetahui ada
kadang) (0450) tidaknya tanda-tanda
4. Mempertahankan pola 3. Monitor tanda-tanda konstipasi
pengeluaran feses yang konstipasi 4. Menunjukkan
bisa diprediksi 4. Instruksikan pasien perkembangan selama
ditingkatkan dari skala 1 atau keluarga untuk perawatan
ke skala 3 mencatat karakteristik
5. Tekanan sfingter memadai feses yang keluar
untuk mengontrol buang (warna, volume,
air besar ditingkatkan dari konsistensi, frekuensi)
skala 1 ke skala 2
31
DAFTAR PUSTAKA
Jayani, Lusila Putri Dwi. 2010. “Hubungan Kelebihan Berat Badan dengan
Inkontinensia Urin pada Wanita Di Wilayah Surakarta”. Skripsi. Surakarta :
FKIP Universitas Sebelah Maret
Mubarak, I, dkk 2015. “Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar”. Jakarta : Salemba
Medika.
Sutanto, A & Yuni, F 2017. “Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan Aplikasi
dalam Praktik Keperawatan Profesional”. Yogyakarta : Pustaka Baru Stres.
32
33