Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Pengaruh Penambahan Trace Metal Terhadap Pembuatan Biogas Dari Sampah Organik Dengan Starter Kotoran Sapi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber daya energi merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting
untuk kelangsungan kehidupan. Fenomena krisis energi telah terjadi di seluruh dunia,
meliputi krisis energi minyak bumi dan gas alam, energi listrik, serta bahan bakar fosil.
Indonesia terancam krisis energi bila tidak segera memanfaatkan energi baru yang
terbarukan [1]. Selama tahun 2000-2011, konsumsi energi meningkat rata-rata 3% per
tahun. Konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi,
penduduk, dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam Outlook Energi
Indonesia 2013, pertumbuhan rata-rata kebutuhan energi diperkirakan sebesar 4,7% per
tahun selama tahun 2011-2030 [2]. Konsumsi energi per jenis sumber energinya
ditunjukkan dalam gambar 1.1.

Gambar 1.1 Diagram Konsumsi Energi per Jenis Sumber Energi


[2]
Untuk mengantisipasi kondisi krisis energi dibutuhkan energi alternatif baru
yang dapat diperbarui dalam waktu singkat dan dapat dilakukan oleh semua orang [3].
Energi terbarukan yang banyak digunakan salah satunya adalah biogas. Biogas
merupakan energi terbarukan yang dihasilkan dari fermentasi anaerob. Yaitu proses
pemecahan bahan-bahan organik misalnya kotoran hewan, kotoran manusia, sampah
dengan pelarut air dan disimpan di tempat tertutup (dalam kondisi tanpa oksigen) yang
melibatkan bakteri anaerob dimana bahan-bahan organik terdegradasi menjadi metana
dan karbon dioksida [1]. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini,

biogas sudah dikembangkan sebagai energi alternatif yang bisa memanfaatkan berbagai
limbah dari sektor pertanian dan peternakan.
Pada sektor pertanian termasuk sampah organik di Indonesia sangat besar
jumlah limbah yang dihasilkan seperti limbah rumah tangga, jumlah yang dihasilkan
pada tahun 2020 diperkirakan meningkat 5 kali dimana setiap orang memproduksi
sekitar setengah kilogram sampah organik per hari [3]. Sama halnnya pada sektor
peternakan dalam keberadaan sapi di Indonesia, volume kotoran sapi yang dihasilkan
meningkat setiap tahunnya dan sebagian besar dibuang ke tempat pembuangan tanpa
adanya pengolahan. Hal ini menyebabkan masalah lingkungan seperti bau, gas rumah
kaca, dan sebagainya [4]. Potensi yang dimiliki sampah organik dan kotoran sapi untuk
dijadikan biogas sangatlah besar.
Saat ini telah diterapkan teknologi fermentasi yang dapat meningkatkan
perolehan biogas dari limbah organik yaitu dengan menyediakan kebutuhan logam pada
mikroorganisme. Mikronutrien seperti trace metal dibutuhkan oleh mikroorganisme
dalam proses pengolahan limbah secara anerobik karena trace metal diperlukan
mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Namun ketersediaannya secara alami di dalam
limbah yang akan diolah sangat kecil sehingga tidak mencukupi untuk proses anaerobik
yang optimal maka perlu dilakukan penambahan agar proses fermentasi dapat
berlangsung secara optimum. [4]. Ketersediaan nutrien yang seimbang untuk
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme sangat penting dalam membantu kinerja
penguraian substrat. Terlepas dari keseimbangan antara makronutrien (C, N, P),
kebutuhan trace element tentu telah menunjukkan peranannya terhadap dampak
produksi biogas. Trace metal yang telah diketahui sangat penting untuk aktivitas enzim
di dalam sistem metanogenesis adalah kobalt (Co), nikel (Ni), besi (Fe), zinc (Zn),
molybdenum (Mo) dan tungsten (W). Penambahan sejenis atau kombinasi dari trace
metal pada prosesnya dalam skala laboratorium telah meningkatkan kinerja dengan
mempercepat perombakan substrat dan menurunkan penumpukan VFA [5]. Walaupun
trace metal bukan merupakan kebutuhan pokok pada proses anerobik tetapi
keberadaannya dapat menstimulasi aktivitas bakteri metanogenik sehingga dapat
meningkatkan produksi biogas [4].
Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu tentang
pembuatan biogas dari biomassa yang dimuat dalam tabel 1.1.

Tabel 1.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu tentang Pembuatan Biogas


Judul
of

Study

Biogas

Metodologi
Hasil Terbaik
Dilakukan dalam reaktor batch Hasil
terbaik
pada

Production with Organic

dengan 2 perlakuan selama 30 perlakuan

Rubbish as Producing

hari pada pH 6-7; T = 28-30 oC

Material [3]

dihasilkan

biogas pada hari ke 9


sebesar 470 ml CH4/kg
substrat dan perlakuan II
dihasilkan pada hari ke 9

sebesar 420 ml/kg substrat


Uji Pembentukan Biogas Campuran sampah sayuran dan Diperoleh volume biogas
dari

Substrat

Sampah buah sebagai substrat dan sisa isi terbaik pada digester uji

Sayur dan Buah dengan rumen

sapi

(ko-substrat) sebesar 38,13 liter.

Ko-Substrat Limbah Isi diproses dalam fermentor yang


Rumen Sapi [7]

terdiri dari 2 jenis digester


control dan 2 jenis digester uji
dengan kondisi operasi T=2628,3 oC; pH=6 selama 30 hari.

Effect of Trace Element

Sisa

Supplementation on the

dalam reaktor batch dengan biogas

Mesophilic

variasi konsentrasi penambahan trace

Anaerobic

makanan

dicampurkan Diperoleh

perolehan
terbaikdengan
metal

Mo

Digestion of Foodwaste

trace metal (Co, Ni, Mo, Se); konsentrasi 3-12 mg/kg

in Batch Trials: The

dengan kondisi operasi T = 37 berat

Influence of Inoculum

C; pH = 7,6 -8,3; HRT = 40 hari

Origin [8]

kering

dan

Se

konsentrasi 10 mg/kg berat


kering

meningkatkan

produksi biogas sebesar 30


-40 %.
Effect of CoCl2, NiCl2 Campuran kotoran segar dan Perolehan biogas terbaik
and FeCl3 Additives On

lumpur diproses dalam digester dengan penambahan NiCl2

Biogas

anaerobik dengan penambahan sebesar 279,3 mL/g VS

and

Production [9]

Methane

trace metal (Co, Ni dan Fe);


dengan kondisi operasi T = 37
3 oC; pH = 6,8 7,2

Mo, Se, Fe, Ni, Co adalah trace metal yang telah digunakan dalam pembuatan biogas.
Penggunaan trace metal ini sangat kecil tetapi essensial bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Pada penelitian ini, penulis memilih trace metal Ni, Co dengan dasar
penetapan konsentrasi dari penelitian Abdelsalam, dkk tahun 2015 dalam perolehan
biogas karena ketersediaannya pada sampah organik tidak banyak namun memiliki
unsur Fe yang tinggi [10].
1.2 Perumusan Masalah
Nikel, kobalt dan besi yang umum digunakan mikronutrien dalam pertumbuhan
mikroorganisme. Penelitian ini akan menggunakan sampah organik dalam pembuatan
biogas menggunakan trace metal Ni dan Co. Menurut US Departement of Health and
Human Service, 2005 logam Ni dan Co sangat berperan penting dalam pertumbuhan
biologis mikroorganisme sedangkan trace metal Fe diyakini sudah tersedia di dalam
sampah organik berupa sayuran yang dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan
biogas. Untuk itu perlu diketahui dengan pasti jumlah trace metal yang sesuai
ditambahkan dalam pembuatan biogas.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh penambahan trace metal Ni terhadap kinerja anaerobik
digester dalam perolehan biogas.
2. Mengetahui pengaruh penambahan trace metal Co terhadap kinerja anaerobik
digester dalam perolehan biogas.
3. Mengetahui pengaruh penambahan trace metal Ni dan Co terhadap kinerja
anaerobik digester dalam perolehan biogas.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan mengenai pengaruh penambahan trace metal (Ni, Co)
dalam pembuatan biogas.
2. Meningkatkan nilai pemanfaatan sampah organik dan kotoran sapi.

1.5 Ruang Lingkup


Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Proses Industri Kimia,
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penelitian ini direncanakan memiliki ruang lingkup dan batasan sebagai berikut:
1. Sampel yang digunakan adalah sampah organik yang diperoleh dari Pasar
Tradisional basis kering sebanyak 1000 gr dan kotoran sapi sebanyak 1000 gr
yang dicampur dengan air sebanyak 2000 mL berdasarkan perbandingan 1:1:2
(w/w/v) yang memenuhi 80 % dari volume digester 5 L.
2. Proses yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses anaerobik dengan
sistem batch pada temperatur lingkungan, pH = 6,5-7,5oC selama 30 hari.
3. Penelitian ini dilakukan dengan variasi sebagai berikut:
a. Tanpa penambahan trace metal sebagai control
b.Penambahan trace metal Ni sebesar 0,245 mg/L
c. Penambahan trace metal Co sebesar 0,245 mg/L
d.Penambahan Ni dan Co masing-masing sebesar 0,25 mg/L
4. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah digester anaerobik sistem
batch 5 L, dengan volume digester terisi sebesar 4 L.
5. Parameter pengamatan adalah volume biogas yang dihasilkan, temperature;
parameter analisa adalah pH, nilai COD, TSS, VSS yang dianalisa sekali dalam
2 hari; dan parameter uji adalah uji nyala.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biogas sebagai Energi Alternatif
Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik
oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob). Komponen biogas pada
umumnya terdiri dari: CH4 (metana), CO2 (karbondioksida) dan N2, O2, H2, & H2S [4].
Biogas yang dihasilkan memiliki sifat yang mudah terbakar. Komponen biogas yang
dapat dijadikan sebagai bahan bakar adalah gas metana dengan kandungan lebih dari 50
%. Kandungan yang terdapat dalam biogas dapat mempengaruhi sifat dan kualitas
biogas sebagai bahan bakar. Biogas yang kandungan metananya lebih dari 45% bersifat
mudah terbakar dan memiliki nilai kalor bakar yang tinggi. Tetapi jika kandungan CO 2
dalam biogas sebesar 2550 % maka dapat mengurangi nilai kalor bakar dari biogas
tersebut. Sedangkan kandungan H2S dalam biogas dapat menyebabkan korosi pada
perpipaan, nitrogen dalam biogas juga dapat mengurangi nilai kalor bakar biogas
tersebut serta uap air dapat merusak pembangkit yang digunakan [4]. Dengan demikian,
untuk mendapatkan hasil pembakaran yang optimal, perlu dilakukan pra kondisi
sebelum biogas dibakar yaitu melalui proses pemurnian karena biogas mengandung
beberapa gas lain yang tidak menguntungkan.
Biogas dapat dibakar seperti elpiji, dalam skala besar,sehingga dapat dijadikan
sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan. Manfaat energi biogas
adalah energi sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan dipergunakan
untuk memasak kemudian sebagai bahan pengganti bahan bakar minyak (bensin, solar).
Dalam skala besar, biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik.
Disamping itu, dari proses produksi biogas dihasilkan lumpur organik yang dapat diolah
untuk dipergunakan sebagai pupuk organik. Sehingga, potensi pengembangan biogas
diIndonesia masih cukup besar.
2.2 Bahan Bahan Pembuatan Biogas
2.2.1 Sampah Organik
Sampah organik adalah material sisa yang mengandung senyawa organik yang
tersusun dari unsur C, H, O, N dll yang mudah terurai secara alami oleh
mikroorganisme. Beberapa jenis sampah organik atau biodegradable waste adalah sisa
makanan, tumbuhan, hewan, kertas, dan manure. Sumber sampah organik yang

terbanyak berasal dari pemukiman dan pasar tradisional [1]. Banyaknya sampah organik
yang dihasilkan berasal dari pasar sayur dan pasar buah yang menimbulkan penimbunan
sampah sehingga menjadi masalah bagi kesehatan lingkungan. Tabel 2.1 menunjukkan
berat harian rata-rata sampah Pasar Setia Budi Medan
Tabel 2.1 Berat Harian Rata-Rata Sampah Pasar Setia Budi Medan
Hari Ke-

Tanggal

Hari

Berat Sampah Pasar


(kg)

14 Januari 2013

Senin

595,24

15 Januari 2013

Selasa

431,52

16 Januari 2015

Rabu

440,22

17 Januari 2013

Kamis

453,44

18 Januari 2013

Jumat

565,44

19 Januari 2013

Sabtu

634,66

20 Januari 2013

Mingg
u

600,58

21 Januari 2013

Senin

452,12

Berat
Harian
Rata-Rata

521,65

Jenis sampah organik yang dihasilkan dari Pasar Setia Budi Medan ditunjukkan dalam
tabel 2.2.
Tabel 2.2 Komposisi Sampah Organik Pasar Setia Budi Medan
Jenis Sampah
Organik

Berat

Sayuran

203,7565 kg

39,06

Buah

120,3968 kg

23,08

Ikan, ayam,
daging dll

35,2636 kg

6,76

Total

359,4169

68,90

[11]

Dari tabel di atas tampak bahwa dengan mengolah sampah organik maka
permasalahan sampah dapat direduksi lebih dari 60% dari total sampah yang dihasilkan
setiap harinya dengan menjadikan sebagai sumber energy [12]. Sehingga sampah
organik sangat berpotensi baik diolah menjadi biogas dengan komponen dan
kandunganny yang dimuat dalam tabel 2.3.
Tabel 2.3 Komponen dan Kandungan Sampah Sayuran
Komponen

Kandungan

Air (%)

30,0 - 60,0

Serat kasar (%)

4,1 6,0

Lemak (%)

3,0 9,0

Total nitrogen (mg/g


sampah)

4,0 17,0

Protein (mg/g sampah)

3,1 9,3

Keasaman (pH)

5,0 8,0

[13]
2.3 Kotoran Sapi
Kotoran sapi adalah substrat yang mengandung bakteri penghasil gas metan yang
terdapat dalam usus sapi. Keberadaan sapi di Indonesia merupakan sektor yang paling
banyak di bidang peternakan dengan volume kotoran sapi yang dihasilkan dari
peternakan meningkat setiap tahunnya, yang sebagian besar dibuang ke tempat
pembuangan atau diterapkan dalam tanah tanpa adanya pengolahan. Hal ini
menyebabkan masalah lingkungan dan kesehatan seperti kontaminasi patogen, bau, gas
rumah kaca, dan sebagainya. Untuk mencegah hal tersebut, kotoran sapi dipilih sebagai
bahan pembuatan biogas, karena ketersediannya yang sangat besar di seluruh dunia.
Kotoran sapi mempunyai keseimbangan nutrisi, yang mudah diencerkan sehingga dapat
diproses secara biologi. Pada proses fermentasi kotoran segar lebih mudah diproses
dibandingkan dengan kotoran yang lama atau yang telah dikeringkan serta keberadaan
bakteri didalam usus sapi tersebut dapat membantu proses fermentasi sehingga proses
pembentukan biogas dapat dilakukan lebih cepat. Kandungan nutrien utama pada proses
pembuatan biogas adalah nitrogen, fosfor, dan kalium. Kandungan nitrogen dalam

bahan sebaiknya sebesar 1,45%, sedangkan fosfor dan kalium masing-masing sebesar
1,10%. Nutrien utama tersebut dapat diperoleh dari substrat kotoran ternak yang dapat
meningkatkan rasio C/N dalam pembuatan biogas. Unsur yang terdapat dalam kotoran
sapi yaitu hemiselulosa sebesar 18,6%, selulosa 25,2%, lignin 20,2%, nitrogen 1,67%,
fosfat 1,11%, dan kalium sebesar 0,56%. Feses sapi mempunyai rasio C/N sebesar 16,625%. Oleh karena bakteri yang terkandung pada kotoran sapi dan rasio C/N nya yang
cukup tinggi inilah yang membuat kotoran sapi dipilih sebagai bahan baku pembuatan
biogas [6]. Berdasarkan data BPS tahun 2011, jumlah ternak sapi di provinsi Sumatera
Utara mencapai 541.000 ekor. Sedangkan untuk tahun 2013, jumlah ternak sapi yang
ada mencapai 590.000 ekor. Untuk satu ekor sapi rata-rata dapat menghasilkan 20 kg
kotoran per hari. Berdasarkan data tersebut maka kotoran sapi sangat berpotensi untuk
digunakan dalam pembuatan biogas.
2.4 Biogas dari Sampah Organik dan Kotoran Sapi
Biogas dari sampah organik dan kotoran sapi adalah gas yang dihasilkan dari proses
penguraian bahan organik oleh bakteri dalam kondisi anaerob yang dapat berlangsung
di degester anaerob maupun di tempat pembuangan akhir sampah (sanitary landfill).
Biogas yang dihasilkan dari fermentasi anaerob oleh bakteri metanogenesis pada bahanbahan organik seperti kayu/tumbuhan, buah-buahan, kotoran hewan dan manusia
merupakan gas campuran gas metana (60-70%), CO2 dan gas lainnya. Komposisi biogas
bervariasi tergantung pada limbah organik dan proses fermentasi anaerob, dengan
komposisi lengkap sebagai berikut:
Tabel 2.4 Komposisi Kandungan Biogas
Komponen

Metana (CH4)

55-75

Karbon dioksida (CO2)

25-45

Nitrogen (N2)

0-0,3

Hidrogen (H2)

1-5

Hidrogen Sulfida (H2S)

0-3

Oksigen (O2)

0,1-0,5

Biogas mempunyai sifat yang mudah menyala (flammable). Biogas dapat digunakan
untuk menggantikan bahan bakar konvensional seperti minyak tanah (kerosene) atau

kayu bakar [14]. Penggunaan biogas juga meyelamatkan lingkungan dari pencemaran
dan mengurangi kerusakan lingkungan hidup.
2.5 Proses Pembuatan Biogas
Secara umum, alur proses pencernaan/digesting sampah organik sampai menjadi
biogas dimulai dengan pencernaan sampah organik yang disebut juga dengan
fermentation/digestion anaerob. Pencernaan tergantung kepada kondisi reaksi dan
interaksi antara bakteri methanogens, non-methanogens dan limbah organik yang
dimasukkan sebagai bahan input/feedstock kedalam digester. Proses pencernaan ini
(methanization) disimpulkan secara sederhana melalui empat tahap, yaitu: hidrolisis
(liquefaction), asidifikasi (acyd production), asetogenesis dan metanogenesis (biogas
production) seperti gambar berikut:

2.5.1 Hidrolisis
Gambar 2.1 Empat Tahapan Fermentasi Anaerob Limbah
Hidrolisis merupakan tahap pertama dari fermentasi anaerobik, bahan-bahan
organik komplek (polimer) didekomposisi[4]
menjadi unit-unit yang lebih kecil (monodan oligomer). Saat hidrolisis, polimer seperti karbohidrat, lemak, asam-asam nukleat
dan protein dikonversi menjadi glukosa, gliserol, purin dan piridin.

10

Mikroorganisme hidrolitik mengeluarkan enzimhidrolitik, mengkonversi biopolimer


menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan yang dapat larut.
Lipid

Lipase

Asam-asam lemak, gliserol

Selulase, selobiase, xilanase, amilase


Polisakarida
Monosakarida
Protease
Protein

Asam Amino

Senyawa tidak larut, seperti selulosa, protein, dan lemak dipecah menjadi
senyawa monomer (partikel yang larut dalam air) oleh exo-enzime (enzim ekstraselular)
secara fakultatif oleh bakteri anaerob. Dimana lipid diurai oleh enzim lipase membentuk
asam lemak dan gliserol sedangkan polisakarida diurai menjadi monosakarida. Protein
diurai oleh protease membentuk asam amino. Produk yang dihasilkan dari hidrolisis
diuraikan lagi oleh mikroorganisme yang ada dan digunakan untuk proses metabolisme
mereka sendiri [4].
2.5.2 Asidogenesis
Asidogenesis ialah tahapan dimana produk- produk yang dihasilkan dari proses
hidrolisis dikonversi oleh bakteri asidogenik menjadi substrat metanogenik. Gula
sederhana, asam amino, dan asam lemak didegradasi menjadi asetat, karbondioksida,
dan hidrogen (70%), dan juga menjadi volatile fatty acids (VFA) dan alkohol (30%).
Produk akhir dari aktivitas metabolisme bakteri ini tergantung dari substrat awalnya dan
pada kondisi lingkungannya. Bakteri yang terlibat dalam asidifikasi ini merupakan
bakteri yang bersifat anaerobik dan merupakan penghasil asam yang dapat tumbuh pada
kondisi asam. Bakteri penghasil asam menciptakan suatu kondisi anaerobik yang
penting bagi mikroorganisme penghasil metan [4].
2.5.3 Asetogenesis
Asetogenesis ialah tahapan dimana asam butirat dan dan propionat diuraikan oleh
bakteri pembentuk asam menjadi asam asetat, gas H2, dan CO2. Produk dari tahapan
inilah yang nantinya akan menjadi bahan baku untuk menghasilkan gas metan pada
tahap metanogenesis. VFA dan alkohol dioksidasi menjadi substrat metanogenik seperti

11

asetat, hidrogen, dan karbondioksida. VFA dengan rantai karbon lebih panjang daripada
dua unit dan alkohol dengan rantai karbon lebih panjang daripada satu unit, dioksidasi
menjadi asetat dan hidrogen. Produksi hidorgen meningkatkan tekanan parsial hidrogen.
Ini dapat dianggap sebagai produk buangan dari asetogenesis dan menghambat
metabolisme dari bakteri asetogenik. Selama metanogenesis, hidrogen dikonversi
menjadi metan. Asetogenesis dan metanogenesis biasanya dijalankan pararel, sebagai
simbiosis dari dua kelompok organisme [4].
2.5.4 Metanogenesis
Metanogenesis ialah tahapan paling akhir dimana bakteri metanogenik atau
bakteri pembentuk metan menghasilkan gas metan, karbondioksida, dan sedikit gas lain.
Sebanyak 70% dari metan yang terbentuk berasal dari asetat, sedangkan sisanya 30%
dihasilkan dari konversi hidrogen (H) dan karbon dioksida (CO ), menurut persamaan
berikut:
Bakteri metanogenik
CH3COOH
CH4 + CO2
Bakteri metanogenik
H2 + CO2

CH4 + H2O

Metanogenesis adalah langkah kritis dalam keseluruhan proses fermentasi


anaerobik atau pembentukan biogas, dikarenakan reaksi biokimia terlambat
didalam keseleuruhan proses. Komposisi dari bahan baku, laju bahan, temperatur,
dan pH adalah contoh-contoh dari faktor yang dapat meningkatkan proses
metanogenesis. Kelebihan beban, perubahan tempertaur, atau masuknya oksigen
dalam jumlah besar dapat mengehentikan produksi dari gas metana [4].
2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Penguraian Sampah Organik
2.6.1

Suhu

Temperatur adalah kondisi yang sangat mempengaruhi lamanya proses


pencernaan di digester. Bila temperatur meningkat, umumnya produksi biogas juga
meningkat sesuai dengan batas kemampuan bakteri mencerna sampah organik. Bakteri
yang umum dikenal dalam proses fermentasi anerob seperti bakteri Psychrophilic (< 15
C), bakteri Mesophilic (15 C-45 C), Bakteri Thermophilic (45 C-65 C). Umumnya

12

digester anaerob skala kecil, yang sering terdapat disekitar kita umumnya bekerja pada
suhu bakteri Mesophilic dengan suhu antara 25 C- 37C [14].

2.6.2 Lama Proses Pencernaan


Lama proses (Hydraulic Retention Time-HRT) adalah jumlah hari proses
pencernaan/digesting pada tangki anaerob terhitung mulai pemasukan bahan organik
sampai proses awal pembentukan biogas dalam digester anaerob. HRT meliputi 70-80%
dari total waktu pembentukan biogas secara keseluruhan. Lamanya waktu HRT sangat
tergantung dari jenis bahan organik dan perlakuan terhadap bahan organik (feedstoock
substrate) sebelum dilakukan proses pencernaan/digesting diproses [14].
2.6.3

Derajat Keasaman (pH)

Derajat

keasaman

mempunyai

efek

terhadap

aktivasi

mikroorganisme.

Konsentrasi derajat keasamam (pH) yang ideal antara 6,6 dan 7,6. Bila pH lebih kecil
atau lebih besar maka akan mempunyai sifat toksit terhadap bakteri metanogenik. Bila
proses anaerob sudah berjalan menuju pembentukan biogas, pH berkisar 7-7,8 [14].
2.6.4 Kandungan Nitrogen dan Rasio Karbon Nitrogen
Karbon dan Nitrogen adalah sumber makanan utama bagi bakteri anaerob, sehingga
pertumbuhan optimum bakteri sangat dipengaruhi unsur ini, dimana karbon dibutuhkan
untuk mensuplai energi dan nitrogen dibutuhkan untuk membentuk struktur sel bakteri.
Konsentrasi nitrogen yang baik berkisar 2001500 mg/lt dan bila melebihi 3000 mg/lt
akan bersifat toxic. Proses fermentasi anaerob akan berlangsung optimum bila rasio C:N
bernilai 30:1, dimana jumlah karbon 30 kali dari jumlah nitrogen. Limbah organik yang
bernilai C/N tinggi dapat dicampur dengan yang lebih rendah sehingga diperoleh nilai
rasio C/N yang ideal, seperti pencampuran limbah jerami (straw) kedalam limbah toilet
(latrine waste) untuk mencapai kadar C/N yang ideal atau mencampurkan kotoran gajah
dengan kotoran manusia sehingga mendapat jumlah rasio C/N yang seimbang dan
produksi biogas dapat berjalan optimum [14].
2.6.5 Total Solid (TS)
Total solid content (TS) adalah jumlah materi padatan yang terdapat dalam limbah
pada bahan organik selama proses digester terjadi dan ini mengindikasikan laju

13

penghancuran/pembusukan material padatan limbah organik. TS juga mengindikasikan


banyaknya padatan dalam bahan organik dan nilai TS sangat mempengaruhi lamanya
proses pencernaan/digester (HRT) bahan organik [14].
2.6.6 Volatile Solids (VS)
Volatile solid merupakan bagian padatan (total solid-TS) yang berubah menjadi
fase gas pada tahapan asidifikasi dan metanogenesis sebagaimana dalam proses
fermentasi limbah organik. Dalam pengujian skala laboratorium, berat saat bagian
padatan bahan organik yang hilang terbakar (menguap dan mengalami proses gasifikasi)
dengan pembakaran pada suhu 538 C, disebut sebagai volatile solid [14].
2.7 Trace Metal sebagai Nutrisi Essensial pada Mikroorganisme
Semua mikroorganisme memerlukan karbon, energi dan elektron untuk aktivitas
metabolismenya. Mayoritas komponen seluler yang dibutuhan adalah karbon, oksigen,
hidrogen, nitrogen, dan fosfor yang merupakan penyusun utama membran, protein,
asam nukleat dan struktur seluler lainnya. Elemen ini diperlukan paling banyak oleh
mikroba untuk menyusun komponen selulernya yang sering dikenal dengan
makronutrien. Elemen lainnya yang sedikit diperlukan oleh mikroba untuk menyusun
komponen selulernya disebut mikronutrien. Elemen lainnya yang sangat sedikit (bahkan
tidak terukur) diperlukan sel untuk menyusun komponen seluler, tetapi harus hadir
dalam nutrisinya disebut trace elemen [15]. Beberapa jenis trace elemen dan fungsinya
pada mikroba ditunjukkan dalam tabel 2.5.
Tabel 2.5 Jenis Trace Elemen dan Fungsi
Jenis trace elemen
Cobalt

Fungsi
Bagian dari vitamin B12 biasanya digunakan untuk

Zinc

membawa gugus metil


Berperan struktural pada enzim termasuk enzim

Molybdenum

DNA polymerase
Diperlukan untuk

Cupper

ditemukan di nitrat reduktase dan nitrogenase


Sebagai katalitik pada beberapa enzim yang
bereaksi

Mangan

dengan

asimilasi

oksigen

nitrogen

seperti

dan

sitokrom

oksidase
Diperlukan oleh sejumlah enzim pada tempat

14

katalitik.
Sebagai
Nikel

enzim

fotosintetik

tertentu

untuk

memecah air menjadi proton dan oksigen


Sebagai enzim untuk metabolisme CO, urea, dan
metanogenesis

[15]
Trace elemen atau yang dikenal dengan trace metal merupakan logam tertentu
yang memainkan peranan penting dalam pertumbuhan dan metabolisme mikroba jika
sesuai dengan kadar yang diberikan karena logam-logam tersebut dapat juga menjadi
racun bila berada pada konsentrasi yang tinggi. Kebutuhan akan trace metal tersebut
tergantung pada kinerjanya dalam enzim sebagai kofaktor tertentu dalam metabolisme
mikroba. Trace metal yang diperlukan oleh mikroorganisme, ketersediaannya secara
alami bagi proses anaerobik tidak mencukupi sehingga perlu dilakukan penambahan
agar proses fermentasi dapat berlangsung secara optimum [4]. Dalam Osuna et al, 2003
kurangnya konsentrasi trace metal dalam proses anaerobik menyebabkan berkurangnya
konversi propionate dan senyawa volatile fatty acid (VFA) lainnya menjadi metan
sehingga menghambat proses anaerobik karena menumpuknya VFA dalam sistem [16].
Metana diproduksi oleh berbagai macam bakteri metanogen yang masing-masing
membutuhkan trace metal dan kondisi yang berbeda-beda. Kurangnya konsentrasi salah
satu trace metal dalam proses anaerobik dapat menghambat keseluruhan proses.
Walaupun trace metal bukan merupakan kebutuhan pokok pada proses anerobik tetapi
keberadaannya dapat meningkatkan produksi metana [4]. Trace metal yang sering
digunakan untuk meningkatkan produksi biogas dengan penambahan logam Ni, Co, Fe
dan Zn [17]. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini ditambahkan logam Ni, Co dalam
pengaruhnya terhadap volume biogas yang dihasilkan dengan pengurangan konsentrasi
yang digunakan dari penelitian terdahulu yang dilakukan Abdelsalam, dkk pada tahun
2015.

BAB III

15

METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium

Proses Industri Kimia,

Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan.


Penelitian ini dilakukan selama lebih kurang 3 bulan.
3.2 Bahan dan Peralatan
3.2.1 Bahan pada Penelitian ini yang digunakan adalah:
1. Bahan Utama:
Sampah Organik + Kotoran Sapi
Air
2. Bahan Pembantu
Penambahan trace metal Ni, Co = 0,245mg/Ldan Ni dan Co masing-masing
sebesar 0,25 mg/L.
3. Bahan Analisa
Kalium dikromat (K2Cr2O7)
Ferri sulfat heptahidrat (FeSO4.7H2O)
Perak sulfat (Ag2SO4)
Merkuri sulfat (HgSO4)
Asam sulfat pekat (H2SO4)
Natrium Hidroksida (NaOH)
Natrium Sulfat (Na2SO4)
Natrium Karbonat (Na2CO3)
1,10-phenanthroline monohydrate
Aquadest ( H2O)
Indikator Ferroin
Ferro ammonium sulfat (Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O) (FAS) 0,1

3.2.2 Peralatan
Pada penelitian ini, peralatan yang digunakan antara lain:
1. Peralatan Utama, Digester anaerobic dari stoples platik 5L
2. Peralatan Analisa
Oven
Desikator
Alumunium Foil

16

3.2.3

Kertas Saring
pH meter
Neraca analitik
Selang plasik
Suntikan
Alat-alat gelas seperti: beaker glass, erlenmeyer, gelas ukur, corong gelas,

dan lain-lain.
Rangkaian Peralatan
Gambar berikut menunjukkan rangkaian peralatan yang digunakan dalam
pembuatan biogas.
Penampung Biogas
Pengambil Contoh

Termometer

Sampah organik + kotoran sapi + air


Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan Pembuatan Biogas

3.3 Prosedur Percobaan


3.3.1 Pembuatan Biogas
Sampel sampah organik di campur (diblender) sebanyak 1000 gr dengan air
kemudian ditambahkan kotoran sapi sebanyak 1000 gram yang telah diencerkan dengan
air. Total air yang digunakan 2.000 ml. Ditambahkan trace metal Ni sebanyak 0,245
mg/L. Co sebanyak 0,245 mg/L dan campuran Ni dan Co masing-masing sebesar 0,25
mg/L masing-masing digester.Bahan isian dimasukkan ke dalam digester sebanyak 80
% dari volume digester (5L) yaitu sebanyak 4L. Tangki digester dihubungkan ke alat
pengukur volume biogas, dimana volume gas diukur setiap hari. Pada tahap ini
percobaan dilakukan pada digester anaerobik sistem batch. Dengan pH dijaga konstan

17

antara 6,5-7,5 dan pada temperatur lingkungan (25 30

C). Selanjutnya

difermentasikan selama 30 hari. Diamati paramater percobaan yaitu pH, temperatur,


volume biogas yang dihasilkan dan parameter analisa, COD (Chemical Oxygen
Demand), TSS (Total Suspended Solid), VSS (Volatile Suspended Solid) sekali dalam 2
hari.Dilakukan uji nyala terhadap biogas.
3.3.2Flowchart Pembuatan Biogas
Adapun untuk memperoleh biogas dari sampah organikdan kotoran sapi dapat
dilihat pada gambar 3.2, sebagai berikut :
Mulai

Tanpa
penambahan
dandengan
variasi air
penambahan trace m
mpah organik sebanyakKotoran
1000 grsapi
diblender
dengan
airgram
sebanyak
1000
diencerkan

Dimasukkan ke dalam
digester
Pengukuran
volume gas yang terbentuk dan
alisis pH, COD, VSS dan TSS dilakukan sekali dalam 2 hari
Biogas

Dilakukan uji nyala

Selesai
3.4

Prosedur Analisa

Gambar 3.2 Flowchart Pembuatan Biogas

3.4.1 Analisa Konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD)


Untuk melakukan penentuan harga COD dengan refluks terbuka, perlu dibuat
beberapa larutan, antara lain :
1. Larutan baku kalium dikromat (K2Cr2O7) 0,25 N.
2. Larutan asam sulfat (H2SO4) perak sulfat (Ag2SO4).
3. Larutan indicator ferroin.
4. Larutan Ferro ammonium sulfat (Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O) (FAS) 0,1N.
5. Larutan baku potassium hydrogen phthalate (KHP).

18

6. Asam sulfamat.
7. Serbuk merkuri sulfat (HgSO4).
Adapun peralatan yang diperlukan untuk melakukan penentuan harga
COD dengan refluks terbuka antara lain :
1. Peralatan refluks, yang terdiri dari labu Erlenmeyer, pendingin Liebig 30 cm;
2. Hot plate atau yang setara;
3. Labu ukur 100 mL dan 1000 mL;
4. Buret 25 mL dan 50 mL;
5. Pipet volum 5 mL; 10 mL; 15 mL dan 50 mL;
6. Erlenmeyer 250 mL (labu refluk); dan
7. Timbangan analitik.
Sebelum melakukan penentuan harga COD dengan refluks terbuka, perlu
dipakukan persiapan uji antara lain :
1. Aduk contoh uji hingga homogen dan segera lakukan analisis.
2. Contoh uji diawetkan dengan menambahkan H2SO4 sampai pH lebih kecil dari
2 dan contoh uji disimpan pada pendingin 4 oC dengan waktu simpan 7 hari.
Adapun prosedur untuk melakukan penentuan harga COD dengan refluks
adalah sebagai berikut :
1. Pipet 10 mL contoh uji, dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250 mL.
2. Tambahkan 0,2 g serbuk HgSO4 dan beberapa batu didih.
3. Tambahkan 5 mL larutan kalium dikromat, K2Cr2O7 0,25 N.
4. Tambahkan 15 mL pereaksi asam sulfat perak sulfat perlahan-lahan sambil
didinginkan dalam air pendingin.
5. Hubungkan dengan pendingin Leibig dan didihkan diatas hot plate selama 2
jam.
6. Didinginkan dan cuci bagian dalam dari pendingin dengan air suling hingga
volume contoh uji menjadi lebih kurang 70 mL.
7. Dinginkan sampai temperature kamar, tambahkan indikator ferroin 2 sampai
dengan 3 tetes, titrasi dengan larutan FAS 0,1 N sampai warna merah
kecoklatan, catat kebutuhan larutan FAS.

19

8. Lakukan langkah 1 sampai dengan 7 terhadap air suling sebagai blanko. Catat
kebutuhan larutan FAS. Analisis blanko ini sekaligus melakukan pembakuan
larutan FAS dan dilakukan setiap penentuan COD.
3.4.1.1Flowchart Persiapan Uji Penentuan Harga COD
Mulai
Mulai
Aduk contoh uji hingga homogen dan segera lakukan analisis
Pipet 2 ml contoh uji, masukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml

Contoh uji diawetkan dengan menambahkan H2SO4 sampai pH lebih keci


Tambahkan 0,2 g serbuk HgSO4dan beberapa batu didih

Selesai
Tambahkan 5 ml larutan kalium dikromat 0,25 N
Gambar 3.3 Flowchart Persiapan Uji Penentuan Harga COD

Tambahkan 15 ml pereaksi asam sulfat perak sulfat perlahan-lahan sambil didinginkan dalam air

Hubungkan dengan pendingin Liebig dan didihkan di atas hot plate selama 2 jam
3.4.1.2 Flowchart Penentuan Harga COD

ginkan dan cuci bagian dalam dari pendingin dengan air suling hingga volume contoh uji menjadi le

r, tambhakan indicator ferroin 2 sampai dengan 3 tetes, titrasi dengan larutan FAS 0,1 N samapi wa

20

sebagai blanko. Catat kebutuhan larutan FAS. Analisis blanko ini sekaligus melakukan pembakuan la

Selesai
21

Gambar 3.4 Flowchart Penentuan Harga COD


Adapun perhitungan yang dialakukan antara lain:
1. Normalitas larutan FAS
( V 1 ) ( N 1)
Normalitas FAS =
V2
Dimana: V1 adalah larutan K2Cr2O7 yang digunakan, ml
V2 adalah volume larutan FAS yang dibutuhkan, ml
N1 adalah normalitas larutan K2Cr2O7
2. Kadar COD
( AB ) ( N ) 8000
COD (mg/L O2) =
ml sampel
Dimana: A adalah volume larutan FAS yang dibutuhkan untuk blanko, ml
B adalah volume larutan FAS yang dibutuhkan untuk contoh, ml
N adalah normalitas larutan FAS
3.4.2 Analisa Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS)
Prosedur analisa TSS awal dengan pengujian pada sisa hasil fermentasi
Mulai
(slurry) adalah kertas saring dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1
jam, kemudian dinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai berat konstan (B
gram). dipanaskan
Sebanyak 10 dalam
ml sampel
disaring.
saringoCdan
residu 1dipanaskan
Kertas saring
oven
pada Kertas
suhu 105
selama
jam
dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam, dinginkan dalam desikator dan
ditimbang sampai berat konstan (A gram).
Dinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai berat konstan (B gram)
Kadar zat padat tersuspensi dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Sebanyak 10 ml sampel disaring
mg padatan te rsuspensi total/L

(A - B) 1000
volume sampel, mL

panaskan dalam oven pada


suhu 105
oC selama
1 jam,
dinginkan
Keterangan:
A = berat
kertas saring
+ berat
residu, mgdalam desikator dan ditimbang sa
B = berat kertas saring, mg
3.4.2.1 Flowchart Penentuan Total Suspended Solid
Kadar zat padat tersuspensi dapat dihitung dengan persamaan berikut:
TSS =

22

Selesai

Gambar 3.5 Flowchart AnalisisTotal Suspended Solid

3.4.3 Analisa Volatile Suspended Solid (VSS)


Adapun prosedur analisis Volatile solids (VS) adalah:
1. Sampel residu hasil analisa TSS dibakar mengunakan api bunsen di dalam
cawan porselen yang telah dikering dan diketahui beratnya.
2. Setelah terbakar sempurna atau bebas asap, selanjutnya sampel diabukan di
dalam furnace pada suhu 550oC selama 1 jam.
3. Setelah 1 jam, furnace dimatikan dan sampel diambil setelah suhu furnace
sekitar 100oC dan disimpan di dalam desikator selama 15 menit lalu
ditimbang.

23

4. Kandungan VSS dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:


mg padatan te rsuspensi volatil/L

(A - B) 1000
volume sampel, mL

Dimana: A = berat residu + cawan porselen sebelum pembakaran, mg


B = berat residu + cawan porselen setelah pembakaran, mg
3.4.3.1 Flowchart Prosedur AnalisaVolatile Suspended Solid (VSS)

Gambar 3.6 Flowchart Analisis Volatile Suspended Solid(VSS)

3.5
Prosedur Pengamatan
Mulai
3.5.1 Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter.
Diambil 10 ml sampel dari dalam digester kemudian dimasukkan ke dalam wadah

pH meter dikalibrasi dengan air kemudian dimasukkan ke dalam wadah sampel

Dicatat pH sampel
24

Selesai

Gambar 3.7 Flowchart Pengukuran pH


3.5.2

Pengukuran Volume Biogas


Pengukuran volume biogas yang terbentuk dilakukan dengan mengamati

perubahan volume pada rangkaian gelas ukur.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakterisasi Limbah Organik dan Kotoran Sapi
Bahan baku yang digunakan adalah limbah sayuran yaitu kubis dan sawi putih
diperoleh dari pasar tradisional dan kotoran sapi dari peternakan sapi.

Menurut

Sutrisno, 2010 kandungan yang terdapat pada sampah sayuran yaitu air 30-60%, lemak
0,02 gr, protein 1,4 gr, karbohidrat 5,3 gr, rasio C/N 18,44 (Astuti dan Andang, 2010)
dan menurut Tampubolon, 2001 kandungan yang terdapat pada kotoran sapi yaitu
protein 6,74%, lemak 2,45%, karbohidrat 36,64%, rasio C/N 16,6-25% (Clinton, 2015).
Ketersediaan limbah sayuran sebesar 295,727 kg/hari (Ramadhani, 2013) dan menurut

25

BPS tahun 2011 kotoran sapi sebesar 20 kg/hari menjadikan perlunya integrasi langsung
terhadap pemanfaatannya. Sehingga pemanfaatan limbah sayuran dan kotoran sapi
menjadi salah satu alternatif pengurangan jumlah pencemaran lingkungan yaitu sebagai
bahan baku pembuatan biogas. Adapun karakterisasi campuran limbah sayuran dan
kotoran sapi dengan tanpa penambahan, penambahan trace metal Ni, Co dan Ni+Co
dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Karakterisasi Campuran Limbah Sayuran dan Kotoran Sapi dengan tanpa
penambahan, penambahan Ni, Co dan Ni+Co
pH

Suhu (oC)

COD
(mg/L)

TSS
(mg/L)

VSS
(mg/L)

Tanpa penambahan

4,3

30

25200

18200

16780

Nikel

4,3

30

24000

14860

13740

Cobalt

4,6

30

24200

17460

16540

Nikel + Cobalt

4,6

29

24600

16080

15280

Variasi

Nilai COD dan TSS yang besar menunjukan tingginya kandungan zat organik di dalam
campuran limbah sayuran dan kotoran sapi. Hal ini menunjukkan bahwa limbah ini
bersifat mudah dibiodegradasi untuk dijadikan sebagai salah satu bahan baku
pembuatan biogas.

4.2 Profil Temperatur terhadap Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan


Ni, Co, Ni+Co

26

30
25
20
15

Suhu Tanpa

Suhu Nikel

Suhu Cobalt

Suhu Ni+ Co

10
5
0

0
Suhu
(oC)

10

15

20

25

30

alam pembuatan biogas temperatur sangat mempengaruhi aktivitas mikroorganisme


dikarenakan biogas yang terbentuk dari pemecahan substrat disesuaikan dengan kondisi
adaptasi mikroorganisme dapat berkembang terhadap pengaruh tanpa penambahan
trace metal Ni, Co dan penambahan Ni, Co dan Ni+Co yang dilangsungkan secara
Waktu Fermentasi (Hari)

batch dengan temperatur 25-30oC. Adapun profil temperature terhadap variasi yang
dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4.1
Gambar 4.1 Profil Temperatur terhadap Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan
Ni, Co dan Ni+Co
Dari grafik diatas menunjukkan bahwa suhu yang diperoleh selama 30 hari
fermentasi untuk tanpa penambahan, penambahan Ni, Co dan Ni+Co berada pada
rentang suhu 25-30 oC yang memiliki kecenderungan suhu yang sama. Menurut Kon et
al, 2006 umumnya digester anaerob skala kecil yang terdapat disekitar kita bekerja pada
suhu mesophilik dengan suhu antara 25-37 oC karena rentang suhu ini tidak terlalu
sensitif terhadap perubahan lingkungan, sehingga bakteri metanogenesis dapat bekerja
untuk mencerna bahan organik dan memproduksi gas metana, karbon dioksida,
hidrogen sulfide dalam siklus hidupnya pada kondisi anaerob.

4.3 Profil pH terhadap Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni, Co


dan Ni+Co

27

Derajat keasaman (pH) mempunyai efek terhadap aktivitas mikroorganisme


dengan konsentrasi pH yang idealnya antara 6,6 7,6. Bila pH lebih kecil atau lebih
besar maka akan mempunyai sifat toksik terhadap bakteri metanogenik. Adanya variasi
tanpa penambahan trace metal Ni dan Co dan penambahan Ni, Co dan Ni+Co sebagai
nutrisi bagi mikroorganime membutuhkan kondisi konsentrasi keasaman yang
mendukung metabolismenya yang dilangsungkan dengan menjaga pH konstan 6,5-7,5.
Profil pH terhadap pengaruh tanpa penambahan dan penambahan Ni, Co dan Ni+Co
dapat dilihat pada gambar 4.2.
7
6
5
4
3
2
1
0

10

12

14

16

18

20

22

24

26

28

30

Gambar 4.2 Profil pH terhadap Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni,
Co dan Ni+Co
Dari grafik di atas pH awal tanpa penambahan 4,3; pH Ni 4,3; pH Co 4,6 dan pH
Ni+Co 4,6 sedangkan pada hari ke 2 (pengamatan pertama) selama 30 hari fermentasi
diperoleh pH tanpa penambahan 6,3 ; pH nikel 5,6 ; pH cobalt 5,7 dan pH Ni+Co 5,8.
Hal ini terjadi kemungkinan pada hari ke 0-2 masih berada pada tahap asidogenesis dan
asetogenesis dekomposisi bahan organik anaerobik untuk menciptakan suatu kondisi
anaerobik yang penting bagi mikroorganisme penghasil metana (Khaerunnisa dan Ika,
2013). Sehingga derajat keasaman (pH) dijaga sesuai dengan keinginan dengan
menambahkan NaHCO3, untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi mikroba dalam
proses pembentukan biogas. Dari grafik ditunjukkan bahwa pada hari ke 4 sampai hari
ke 30 fermentasi untuk semua variasi berada pada rentang pH dijaga konstan. Menurut
Yani dan Darwis, 1990 pertumbuhan bakteri penghasil gas metana akan baik bila pH
berada pada keadaan 6,5 7. Apabila nilai pH di bwah 6,5 maka aktivitas bakteri

28

metanogen akan menurun dan apabila nilai pH di bawah 5 maka fermentasi akan
terhenti.
4.4 Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni, Co, Ni+Co terhadap
Reduksi COD
Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan parameter yang menunjukkan
banyaknya senyawa organik yang terdapat dalam limbah sayuran dan kotoran sapi
sebagai sampel awal saat t0 dan keluaran dari fermentor sebagai ti. Menurut Yee-Shian
Wong et al, 2011 COD merupakan salah satu parameter yang menentukan kinerja
bakteri didalam fermentor. Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni, Co,
Ni+Co ditunjukkan pada gambar 4.3.
30000
25000
20000
15000

Tanpa

Nikel

Cobalt

Ni + Co

10000
5000
0

10

12

14

16

18

20

22

24

26

28

30

Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni. Co, Ni+Co
terhadap Reduksi COD
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa degradasi COD terhadap variasi dengan tanpa
dan penambahan trace metal Ni, Co dan Ni+Co mengalami fluktuasi. pada hari ke 4
untuk tanpa penambahan dan penambahan Ni, Ni+Co mengalami peningkatan
sedangkan penambahan cobalt mengalami penurunan. Hal ini diakibatkan oleh aktifitas
mikroba pada proses asidogenesis dan asetogenesis yang memproduksi asam dimana
membutuhkan oksigen lebih banyak pada tahapan prosesnya dan tidak tersebarnya
secara merata bahan organik yang akan dirombak oleh mikroorganisme sehingga
terjadinya penumpukan. Menurut Osuna et al, 2003 trace elemen dengan konsentrasi
yang tepat sebagai mikronutrien bagi mikroba berperan untuk mempercepat proses

29

anarobik yaitu merombak VFA yang menumpuk dalam sistem. Sehingga fluktuasi yang
terjadi selama 30 hari fermentasi memerlukan pengadukan untuk lebih mudah
menyesuaikan kondisi lingkungan bagi aktivitas mikroorganisme.
4.5 Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni, Co, Ni+Co terhadap
Reduksi TSS
TSS (Total Suspended Solid) merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya
zat yang tersuspensi dalam volume tertentu di dalam air. TSS akan mengalami
penurunan akibat aktivitas mikroorganisme. Menurunnya kadar TSS terjadi karena
bahan organik mengalami degradasi pada saat proses hidrolisis. Selama proses
hidrolisis, padatan tersuspensi berkurang karena telah berubah menjadi terlarut
(Paramitha, dkk., 2012). Pengaruh tanpa penambahan dan penambahan Ni, Co, Ni+Co
terhadap reduksi TSS ditunjukkan pada gambar 4.4.
25000

20000

15000
Tanpa Penambahan

Nikel

Cobalt

Ni + Co

10000

5000

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni, Co, Ni+Co
terhadap TSS
Dari gambar 4.4 dapat dilihat bahwa nilai TSS dari variasi yang ada mengalami
fluktuasi yaitu TSS awal hingga hari ke 6 cenderung menurun dan di hari ke 6 ke hari 8
meningkat pada variasi tanpa penambahan, penambahan Co, dan penambahan Ni+Co
dikarenakan kondisi lingkungan mikroorganisme sangat mempengaruhi aktivitas dan
jumlah mikroorganisme dalam merombak senyawa organik. Menurut Kahar, dkk., 2016
peningkatan laju TSS disebabkan oleh meningkatnya laju konsumsi substrat yang

30

semula

tidak

bisa

terbiodegradasi

menjadi

dapat

terbiodegradasi.

Aktivitas

mikroorganisme sangat dipengaruhi terhadap mikronutrien yang harus ditambahkan


untuk menyusun komponen selulernya sehingga mampu dalam merombak senyawa
organik dan diperlukannya senyawa organik tersebar secara merata sehingga tidak
terjadi penumpukan yang menghambat aktivitas mikroorganisme (Osuna et al, 2003).
4.6 Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni, Co, Ni+Co terhadap VSS
VSS merupakan salah satu cara pengukuran mikroorganisme secara tidak langsung
(Medina Herrera et al 2014). Dalam proses digestasi anaerob ketersediaan trace metal
sebagai mikronutrien bagi mikroorganisme tidak mencukupi sehingga perlu dilakukan
penambahan agar fermentasi dapat berlangsung secara optimum (Fatimah, 2012).
Pengaruh tanpa penambahan dan penambahan Ni, Co, Ni+Co terhadap VSS
ditunjukkan pada Gambar 4.5.
18000
16000
14000
12000
10000
8000

Tanpa Penambahan

Nikel

Cobalt

Ni + Co

6000
4000
2000
0

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni, Co, Ni+Co
terhadap VSS
Gambar 4.5 menunjukkan bahwa profil VSS pada variasi tanpa penambahan dan
penambahan Ni, Co, Ni+Co mengalami fluktuasi. Selama 30 hari fermentasi anaerob
pada tanpa penambahan diperoleh konsesntrasi VSS sebesar 1.280 16.780 mg/L, pada
penambahan Ni sebesar 4.580 13.380 mg/L, penambahan Co sebesar 2.880 16.540
mg/L dan pada penambahan Ni+Co diperoleh nilai VSS sebesar 2.500 16.480 mg/L.
Hal ini disebabkan karena perubahan konsentrasi mikroba dalam proses digestasi
anaerobik disebabkan oleh perubahan keadaan lingkungannya pH dan suhu. Parameter

31

parameter ini harus diketahui sehingga proses fermentasi anaerobik dapat memberikan
hasil yang maksimal dalam produksi biogas. Fluktuasi yang terjadi disebabkan karena
tidak tersebarnya secara merata senyawa organik yang akan dirombak oleh
mikroorganisme sehingga terjadinya penumpukan yang menyebabkan berubahnya
kondisi lingkungan di dalam fermentor yang menghambat aktivitas mikroorganime
(Osuna et al, 2003). Menurut penelitian yang dilakukan Rungrawee Yingyuad et al
kondisi pengadukan didalam reaktor sangat dibutuhkan yang menyebabkan bakteri
berkembang dengan lebih cepat, pengadukan menjaga keseragaman didalam fermentor
serta menghambat pengendapan.
4.7

Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni, Co, Ni+Co terhadap


Volume Biogas yang Dihasilkan
Produksi biogas harian dijadikan parameter untuk mengetahui perkembangan

bakteri metanogenesis di dalam campuran selama 30 hari fermentasi. Selain itu dapat
dijumlah untuk mengetahui jumlah gas yang dihasilkan setiap harinya (Kusumaningrum
and Oktavia, 2010). Dengan variasi tanpa penambahan dan penambahan Ni, Co, Ni+Co
dapat dilihat volume biogas yang dihasilkan perharinya dengan pengamatan dilakukan
dengan metode water displacement technique. Pengaruh tanpa penambahan dan
penambahan Ni, Co, Ni+Co terhadap volume biogas yang dihasilkan ditunjukkan pada
gambar 4.6.
1200
1000
800 Volume Tanpa Penambahan

Volume Nikel

Volume Cobalt

Volume Kumulatif Biogas (mL)


600
400
Volume Ni+Co
200
0

Waktu Fermentasi (Hari)


0

10

15

20

25

30

35

Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Tanpa Penambahan dan Penambahan Ni, Co, Ni+Co
terhadap Volume Biogas yang Dihasilkan

32

Gambar 4.6 menunjukkan volume kumulatif biogas yang diamati setiap hari selama 30
hari fermentasi dengan variasi tanpa penambahan dan penambahan Ni, Co, Ni+Co
mengalami peningkatan. Namun, dari keempat variasi yang menghasilkan volume
biogas paling banyak yaitu penambahan Nikel dan dilanjutkan dengan tanpa
penambahan, penambahan Co, dan Ni+Co. Menurut Sutarma, 2000 trace metal Ni
berfungsi sebagai enzim untuk metabolisme CO, urea dan metanogenesis. Sedangkan
Cobalt merupakan bagian dari vitamin B12 yang digunakan untuk membawa gugus
metil. Walaupun trace metal bukan merupakan kebutuhan pokok pada proses anaerobik
tetapi keberadaanya dapat mengingkatkan produksi metana (Fatimah, 2012).

DAFTAR PUSTAKA
33

[1] Fairuz, Adam, Agus Haryanto, Ahmad Tusi. Pengaruh Penambahan Ampas Kelapa
dan Kulit Pisang terhadap Produksi Biogas dari Kotoran Sapi. Jurnal Teknik
Pertanian Lampung Vol. 4, No. 2: 91-98 (2015).
[2] BPPT. Outlook Energi Indonesia 2013. Energy Development in Supporting
Transportation Sector and Mineral Processing Industry. ISBN 978-979-95202-96 (2013).
[3] Santosa, Sandra, Omil Charmyn Chatib dan Asep Dian Prima. Study og Biogas
Production with Organic Rubbish as Producing Material. Production and
Agricultural Machines and Equipments Management Laboratory, Agricultural
Engineering Department,

Faculty of Agricultural Technology, Andalas

University: Padang. Vol.5 No. 1 ISSN: 2088-5334 (2015).


[4] Fatimah, Novita Fara. Pengaruh Pengurangan Konsentrasi Trace Metal (Nikel dan
Kobal) pada Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit secara Anaerobik
Termofilik terhadap Produksi Biogas. Program Studi Magister Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara: Medan (2012).
[5] Mei, Xin Feng, Anna Karlson, Bo H. Svensson and Stefan Bertilson. Impact of
Trace Element Addition on Biogas Production from Food Industrial Waste
Linking Process to Microba Communities. Department of Water and
Environtmental Studies, Linkoping University, Linkoping, Sweden and
Limnology of Ecology and Evolution, Uppsala University, Uppsala, Sweden.
FEMS Microbiol Ecol 74 (2010) , hal 226-240.
[6] Clinton, Deril. Pengaruh Waktu Fermentasi dan Komposisi Limbah Kulit Buah Aren
(Arenga pinnata) dengan Starter Kotoran Sapi terhadap Biogas yang
dihasilkan. Skripsi Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Sumatera Utara: Medan (2015).
[7] Yenni, Yommi Dewilda, Serly Mutia Sari. Uji Pembentukan Biogas dari Substrat
Sampah Sayur dan Buah dengan Ko-Substrat Limbah Isi Rumen Sapi. Jurnal
Teknik Lingkungan UNAND (9) 1: 26-36. ISSN 1829-6084 (2012).

34

[8] Facchin, et al. Effect of Trace Element Supplementation on the Mesophillic


Anaerobic Digestion Foodwaste Batch Trials: Influence of Inoculum
Origin.Biochemical Engineering Journal 70 (2013), hal 71 77.
[9] Abdelsalam, et al. Effects of CoCl2, NiCl2 and FeCl3 Additives on Biogas

and

Methane Production.Misr J. Ag. Eng., 32 (2): 843 862 (2015).


[10] Mulyaningsih, Th Rina. Kandungan Unsur Besi (Fe) dan Seng (Zn) dalam Bahan
Pangan Produk Pertanian, Perikanan dan Peternakan Ditentukan dengan
Metode k0-AANI. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian
Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 2, (2009), hal 71-80.
ISSN 1411 3481.
[11]Ramadhani, Aprizal, Ahmad Perwira Mulia Tarigan. Studi Pengelolaan Sampah
Pasar Kota Medan. Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas
Sumatera Utara: Medan, (2013).
[12]Saputro, dkk. Studi Pustaka Pemanfaatan Proses Biokonversi Sampah Organik
sebagai Alternatif Memperoleh Biogas. Seminar Nasional Suber Energi
Hayati FMIPA UNS, (2006).
[13]Sutrisno, Joko. Pembuatan Biogas dari Bahan Sampah Sayuran (Kubis, Kangkung
dan Bayam). Jurnal Teknik WAKTU Volume 08 Nomor 01 (2010). ISSN:
1412-1867.
[14]Richardo, Budiman Saragih. Analisis Potensi Biogas untuk Menghasilkan Energi
Listrik dan Termal pada Gedung Komersil di daerah Perkotoan. Program
Magister Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia: Depok,
(2010).
[15]Sutarma. Kultur Media Bakteri. Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata 30
Bogor, (2000).
[16]Osuna, M. B., Iza, J., Zandvoort, M. dan Lens, P. N.. Essential Metal Depletion In
An Anaerobic Reactor. Water Sci Technol. 46:1 8, (2003).

35

[17]Suraya, Irma, Hari Tiarasti, Irvan, Bambang Trisakti. Pengaruh Kadar Fe terhadap
Kuantitas Biogas yang dihasilkan dari Fermentasi Limbah Cair Pabrik
Kelapa Sawit. Jurnal Teknik Kimia USU, Vol 1, No.1, (2012).

36

LAMPIRAN A
DATA PENELITIAN
A.1 Data Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan dengan variasi tanpa penambahan dan penambahan Ni,
Co dan Ni+Co dari hari pertama pengamatan sampai hari ke 30 fermentasi terhadap
volume biogas yang terbentuk, pengamatan suhu, pengukuran pH, analisa COD, TSS,
VSS dapat dilihat pada tabel A1.1.

37

LAMPIRAN B
CONTOH PERHITUNGAN
B.1 Perhitungan Volume Digester
Kapasitas digester

= 5 Liter

Ruang kosong digester

= 20%
= 20% x 5 L
=1L

Volume digester yang diisi

= Kapasitas Ruang kosong


=5L1L
= 4 Liter

B.2 Perhitungan Bahan


Kotoran sapi

= 1.000 gr

Limbah organik

= 1.000 gr

Kotoran sapi:limbah organik:air = 1:1:2


Air yang dibutuhkan

= 2.000 mL

B.3 Perhitungan TSS (Total Suspended Solid)


TSS

(A - B) 1000
volume sampel, mL

TSS

(0.759321 - 0.07758411) 1000


5 mL

38

TSS 18.200 mg/L

B.4 Perhitungan Persentase Penyisihan


%Penyisiha n TSS/COD

Awal - Akhir
x100%
Awal

Misalnya pada penambahan Nikel dengan COD awal = 25.600 mg/L dan
COD pada hari ke-30 adalah 17.400 mg/L maka persentase penyisihannya
adalah:
%Penyisiha n TSS/COD

25600 - 17400
x100%
25600

%Penyisiha n TSS/COD 32,03%

B.6 Perhitungan COD Terkonversi


COD Terkonvers i

COD input - COD output


xjumlahlim bah
1000

Misalnya pada penambahan Nikel dengan COD awal = 25.600 mg/L dan
COD pada hari ke-2 adalah 24.000 mg/ dengan jumlah limbah 4 Liter maka
jumlah COD terkonversi adalah:
COD Terkonvers i

25.600 - 24.000
x4 L
1000

COD Terkonvers i 92,8 gr

39

40

Anda mungkin juga menyukai