Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Rhabdoviridae & Retroviridae

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 38

RABHDOVIRIDAE & RETROVIRIDAE

MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Virologi ,

Koordinator Ni’matul Murtafiah, S.Pd.,M.Si

Disusun Oleh:

Nurlatifah Fitrianingsih. NPM:5116004

Dheanna Putri Shafa R. NPM:5116005

PROGRAM STUDI D-IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

STIKES RAJAWALI BANDUNG

2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Rabhdoviridae & Retroviridae.”

Makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penulisan makalah ini,
khususnya kepada Ni’matul Murtafiah, S.Pd.,M.Si selaku koordinator mata kuliah
Virologi tingkat III.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat
menjadi ilmu dan bermanfaat bagi pembaca.

Bandung,22 Oktober 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumususan Masalah

1.3 Tujuan Makalah

1.4 Manfaat Makalah

1.5 Metode Penyusunan

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Rabhdoviridae

2.1.1 Klasifikasi Rabhdoviridae

2.1.2 Studi Kasus Rabhdoviridae

2.1.3 Encephalis Rabies Virus

2.1.4 Struktur Rabies Virus

2.1.5 Replikasi Virus

2.1.6 Epidemiologi

2.1.7 Patogenesis

2.1.8 Gambaran Klinis

2.1.9 Diagnosis

2.1.10 Penatalaksanaan
2.2 Retroviridae

2.2.1 Studi Kasus Retroviridae

2.2.2 Klasifikasi Retroviridae

2.2.3 Struktur Genom Retrivorus

2.2.4 Lentivirus (Human Immunodeficienccy Virus) Hiv

2.2.5 Struktur Virus Hiv

2.2.6 Replikasi Retrovirus

2.2.7 Transmisi Infeksi Hiv

2.2.8 Gambaran Klinik Hiv

2.2.9 Patogenesis Hiv

2.2.1O Patofisiologi Hiv

2.2.11 Pengobatan Hiv

2.2.12 Diagnosis Laboratorium

2.2.13 Pencegahan Hiv

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Virus Rabies
Gambar 2. Siklus Replikasi Virus Rabies
Gambar 3. Negri body di neuron

Gambar 4. Limphoid Interstitial Pneumonitis

Gambar 5. Struktur Retrovirus dan Genom

Gambar 6. Anatomi Virus HIV (Departermen kesehatan RI, 2006)

Gambar 7. Replikasi Virus


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Virus berasal dari bahasa Yunani venom yang berarti racun. Virus
merupakan suatu partikel yang masih diperdebatkan statusnya apakah ia
termasuk makhluk hidup atau benda mati. Virus dianggap benda mati
karena ia dapat dikristalka, sedangkan virus dikatakan benda hidup, karena
virus dapat memperbanyak diri (replikasi) dalam tubuh inang.. Para ahli
biologi terus mengungkap hakikat virus ini sehingga akhirnya partikel
tersebut dikelompokkan sebagai makhluk hidup dalam dunia tersendiri
yaitu virus.Virus merupakan organisme non-seluler, karena ia tidak memilki
kelengkapan seperti sitoplasma, organel sel, dan tidak bisa membelah diri
sendiri.
Secara umum virus merupakan partikel tersusun atas elemen genetik
yang mengandung salah satu asam nukleat yaitu asam deoksiribonukleat
(DNA) atau asam ribonukleat (RNA) yang dapat berada dalam dua kondisi
yang berbeda, yaitu secara intraseluler dalam tubuh inang dan ekstrseluler
diluar tubuh inang. Partikel virus secara keseluruhan ketika berada di luar
inang yang terdiri dari asam nukleat yang dikelilingi oleh protein dikenal
dengan nama virion. Virion tidak melakukan aktivitas biosinteis dan
reproduksi. Pada saat virion memasuki sel inang, baru kemudian akan
terjadi proses reproduksi. Virus ketika memasuki sel inang akan mengambil
alih aktivitas inang untuk menghasilkan komponen-komponen pembentuk
virus.
Virus dapat bertindak sebagai agen penyakit dan agen pewaris sifat.
Sebagai agen penyakit, virus memasuki sel dan menyebabkan perubahan-
perubahan yang membahayakan bagi sel, yang akhirnya dapat merusak atau
bahkan menyebabkan kematian pada sel yang diinfeksinya. Sebagai agen
pewaris sifat, virus memasuki sel dan tinggal di dalam sel tersebut secara
permanen. Berdasarkan sifat hidupnya maka virus dimasukan sebagai
parasit obligat, karena keberlangsungan hidupnya sangat tergandung pada
materi genetic inang.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa saja jenis virus fsmili Rabhdoviridae & Retroviridae?
1.2.2 Bagaimana sifat infeksi virus Rabhdovirida & Retroviridae?
1.2.3 Bagaimana cara koleksi virus Rabhdoviridae & Retroviridae?
1.3 Tujuan Makalah
1.3.1 Untuk mengetahui jenis virus fsmili Rabhdoviridae & Retroviridae.
1.3.2 Untuk mengetahui sifat infeksi virus Rabhdovirida & Retroviridae.
1.3.3 Untuk mengetahui cara koleksi virus Rabhdoviridae & Retroviridae.
1.4 Manfaat Makalah
1.4.1 Manfaat teoretis
Memberikan mahasiswa pengetahuan baru.
1.4.2 Manfaat praktis
Dapat melakukan identifikasi virus Rabhdoviridae & Retroviridae..
1.5 MetodePenyusunan
1.5.1 Deskriftif kualitatif
Yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan
mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan alat, baik
berupa buku maupun informasi di internet
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 RABHDOVIRIDAE
2.1.1 Klasifikasi Rabhdoviridae

Rhabdoviridae merupakan salah satu family paling beragam dari virus


RNA. Rhabdoviridae telah diidentifikasi pada berbagai macam tumbuhan dan
hewan, termasuk mamalia, burung, reptil, dan ikan yang diltularkan oleh
vektor arthropoda (Kuzmin, dkk)
Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus
dan dapat menular pada orang. Karena itu, rabies di kategorikan sebagai
penyakit zoonotik. Agen penyebab penyakit ini memiliki daya tarik kuat
untuk menginfeksi jaringan saraf yang menyebabkan terjadinya peradangan
pada otak atau ensefalitis, sehingga berakibat fatal bagi hewan ataupun
manusia yang tertular. (Akoso, 2007)
Rhabdovirus berasal dari bahasa Yunani yaitu Rhabdo yang berarti
berbentuk batang dan Virus yang berarti virus. Jadi Rhabdovirus merupakan
virus yang mempunyai bentuk seperti batang. Rabies merupakan infeksi akut dari
susunan saraf pusat yang berakibat fatal. Virus ditularkan ke manusia melalui
gigitan dan kadang melalui jilatan (air liur) hewan yang terinfeksi rabies. Hewan
yang dapat menularkan penyakit rabies antara lain anjing, kucing, kera, dan
kelelawar. (Wikipedia)
2.1.2 STUDI KASUS RHABDOVIRIDAE
Dikutip dari laman berita online Kompas.com dengan judul Rabies
Meningkat di Poso, 317 orang positif dan 3 orang meninggal pada hari Selasa,
18 September 2018.
Dinas Kesehatan Kabupaten Poso Sulawesi Tengah terus bekerja keras
untuk memberantas penyebaran gigitan anjing rabies. Berdasarkan data yang
ada, mulai Januari hingga Juli 2018, jumlah penderita gigitan anjing sebanyak
380 orang dan yang dinyatakan positif gigitan anjing rabies ada 317 orang.
Peningkatan jumlah kasus tersebut dinilai cukup tinggi jika
dibandingkan data pada tahun 2017. Sepanjang tahun 2017, jumlah penderita
sekitar 400 orang dan satu orang diantaranya meninggal dunia. Sementara, di
tahun 2018, hingga bulan Juli tercatat 317 penderita rabies gigitan anjing dan
tiga orang diantaranya meninggal dunia.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Poso Dr. Taufan Karwur yang
dikonfirmasi pada Selasa (18/9/2018) mengatakan, dari besarnya jumlah
kasus, maka wilayah Poso masuk dalam kategori peningkatan kasus penderita
rabies gigitan anjing.
Menurutnya, selain terkendala pada mahalnya biaya pengobatan
penyakit rabies, Dinas Kesehatan juga mengalami keterbatasan pasokan
vaksin. Selama ini, vaksin dipasok dari Provinsi Sulawesi Tengah.
Dia menjelaskan, selain terkendala biaya pencegahan, partisipasi
pemilik anjing untuk menyerahkan ternaknya guna dimusnahkan jika sudah
terkontaminasi rabes juga masih kurang. Dinas kesehatan juga mengeluhkan
tidak adanya sarana dan prasarana termasuk karantina khusus anjing rabies.
Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Poso menunjukkan, penyebaran
gigitan anjing rabies tersebar di beberapa wilayah kecamatan dengan jumlah
terbesar berada di kecamatan Lage, Kecamatan Poso Pesisir, Kecamatan
Pamona Bersaudara dan Kecamatan Lore.
2.1.3 ENCEPHALITIS RABIES VIRUS
Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus
dan dapat menular pada orang. Karena itu, rabies di kategorikan sebagai
penyakit zoonotik. Agen penyebab penyakit ini memiliki daya tarik kuat
untuk menginfeksi jaringan saraf yang menyebabkan terjadinya peradangan
pada otak atau ensefalitis, sehingga berakibat fatal bagi hewan ataupun
manusia yang tertular. Sejak lama penyakit ini telah dikenal secara luas di
berbagai belahan dunia, bahkan daerah penyebarannya dari waktu ke waktu
bertambah luas. Salah satu bukti telah dikenalnya secara luas di dunia adalah
dengan disebutnya penyakit ini dalam berbagai bahasa sesuai dengan bahasa
masyarakat setempat dimana penyakit ini ditemukan.
Penyebab rabies adalah virus yang termasuk dalam genus Lyssavirus
dari keluarga Rhabdoviridae, kelompok Mononegavirales. Tujuh genotipe
Lyssavirus yang telah diklarifikasi yakni virus rabies (genotipe 1), Lagos bat
virus (genotipe 2), Mokola virus (genotipe 3), Duvenhage virus (genotipe 4),
European bat lyssavirus 1 (genotipe 5), European bat lyssavirus 2 (genotipe
6), dan Australian bat lyssavirus (genotipe 7).

2.1.4 STRUKTUR RABIES VIRUS


Virus rabies berbentuk seperti peluru dengan ukuran diameter 75
nanometer (nm) dan panjang 180 nm. Materi genetik virus rabies adalah
single stranded ribonucleic acid (ss RNA), tidak bersegmen, berpolaritas
negatif. Genom virus rabies berukuran sekitar 12 kilobase (kb) yakni 11.932
nukleotida untuk strain virus Pasteur dan mengandung lima gen yang
menyandi nukleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrik protein (M),
glikoprotein (G), dan RNA dependent RNA polymerase atau large protein
(L). Kelima gen struktural tersebut dipisahkan oleh sekuen nukleotida
intergenik yang diapit oleh sekuen leader (Le) RNA dan trailer (Tr) RNA.
Berat molekul dari masing–masing protein tersebut diuraikan oleh Smith
(1992) sebesar 190 kDa (L), 65-80 kDa (G), 58-62 kDa(N), 35-40 kDa (P),
dan 22-25 kDa (M).
Virus rabies mempunyai 2 komponen utama yakni bagian inti berupa
nukleokapsid atau ribonukleoprotein (RNP) dan bagian luar adalah amplop.
Ribonukleoprotein komplek (RNP) tersusun atas nukleoprotein,
phosphoprotein, RNA polimerase dan genom RNA yang berbentuk rantai
helik. Rantai heliks tersebut tertata secara rapi sehingga virus rabies
mempunyai bentuk seperti peluru. Lapisan terluar virion tersusun atas lipid
bilayer dengan ketebalan 7,5-10 nm. Lapisan ini berasal dari membran sel
hospes yang diperoleh pada saat budding dan merupakan amplop virus. Pada
amplop terdapat suatu trimeric spikes yang merupakan penonjolan
glikoprotein.

Gambar 1. Struktur Virus Rabies


(Sumber :http://expasy.org/viralzone/all_by_species/2.html)

2.1.5 REPLIKASI VIRUS


Virus hanya dapat bereplikasi dalam sel–sel hidup karena virus
menggunakan energi dan komponen sel hospes untuk mensintesis protein dan
asam nukleat virus yang diperlukan. Rangkaian proses replikasi virus rabies
seluruhnya terjadi di dalam sitoplasma sel hospes. Replikasi virus rabies
dikatalisis oleh enzim RNA dependent RNA polymerase. Proses replikasi
virus rabies diawali dengan proses infeksi melalui pengikatan (attachment)
virus pada reseptor spesifik yakni nicotinic acethylcholine pada permukaan
membran sel hospes. Reseptor tersebut merupakan reseptor essential untuk
virus rabies menuju sel target yaitu neuron. Virus selanjutnya akan
mengalami endositosis yaitu suatu proses internalisasi ke dalam endosom
yang diperantarai protein clathrin melalui kompartemen yang disebut
Clathrin-coated pits.

Gambar 2. Siklus replikasi virus Rabies


(Wunner, 2007).

Perubahan pH endosom pada saat fusi menjadi asam dan berefek


terhadap ikatan dan interaksi matrik protein dengan nukleokapsid, sehingga
terjadi disosiasi dan pelepasan protein M dari RNP. Nukleokapsid (RNP)
kemudian dilepaskan bebas ke dalam sitoplasma. Lima gen struktural genom
RNA di dalam nukleokapsid yakni N, P, M, G, dan L disalin (transcribed) ke
dalam lima untai (strand) mRNA monosistronik berpolaritas positif dan
sebuah untai antigenom RNA berpolaritas positif yang merupakan replicative
intermediate.
Antigenom RNA digunakan sebagai pola cetakan (template) untuk
replikasi progeni RNA genom berpolaritas negatif. Protein N, P, M, dan L
disintesis dari mRNA secara berturut-turut pada ribosom yang tidak terikat
pada membran retikulum endoplasmik (membrane-free ribosomes) dalam
sitoplasma, sedangkan protein G disintesis dari G mRNA pada ribosom yang
terikat pada membran retikulum endoplasmik kasar (membrane-bound
ribosomes).
Beberapa dari kompleks molekul N dan P memproduksi inclusion
bodies (Negri bodies) pada sitoplasma secara in vivo. Kompleks N-P
membungkus untai negatif viral RNA. Setelah progeni RNA genom
dibungkus (encapsidated) oleh NP protein kompleks dan digabung dengan L
protein membentuk progeni RNP (struktur). Matrik protein mengikat RNP
dan memadatkan RNP ke dalam struktur kerangka. Struktur kerangka
berinteraksi dengan struktur protein G trimeric yang terikat dalam membran
plasma dan merakit partikel-partikel virus menjadi virion. Selanjutnya terjadi
proses budding dari membran plasma sel terinfeksi ke dalam adjacent
extracellular atau interstitial space.

2.1.6 EPIDEMIOLOGI
Rabies pada umumnya ditularkan oleh hewan penderita melalui gigitan
atau luka yang terkontaminasi virus. Penularan dari manusia ke manusia
melalui transplantasi organ mata, ginjal, dan hati dari donor terinfeksi virus
rabies pernah terjadi. Semua hewan mamalia peka terhadap rabies, namun
pada dasarnya hewan yang efisien menularkan rabies adalah spesies dari
carnivora dan chiroptera (kelelawar). Rabies di negara tertentu seperti
Amerika Latin ditularkan oleh kelelawar (haematophagous vampire bats)
yang menyebabkan kematian pada manusia dan ribuan sapi setiap tahunnya.
Reservoir rabies di Eropa adalah rubah merah, sedangkan di Korea adalah
rakun (Nyctereutes procyonoides koreensis). Sementara di negara–negara
berkembang termasuk Indonesia, anjing merupakan hospes dan vektor utama
rabies ke manusia. Menurut WHO (2005), 99% kasus rabies pada manusia
disebabkan oleh gigitan anjing.
Kecepatan penyebaran rabies di perkotaan/pedesaan sangat tergantung
pada intervensi manusia. Masing-masing negara mempunyai bentuk
penularan rabies yang berbeda. Bentuk epidemiologi siklus penularan rabies
yang dikenal yakni urban rabies dan silvatik rabies. Urban rabies adalah siklus
penularan rabies yang terjadi pada anjing domestik di perkotaan. Anjing-
anjing domestik termasuk anjing yang diliarkan bertindak sebagai pelestari
siklus rabies, sedangkan silvatik rabies adalah siklus penularan rabies yang
terjadi pada hewan–hewan liar di hutan.
Distribusi Di Indonesia
Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan di Jawa Barat pada
tahun 1884, kemudian pada tahun 1953 rabies ditemukan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, selanjutnya menyebar ke Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta
(1971), dan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta pada tahun 1972. Setelah
program pemberantasan di Pulau Jawa dilaksanakan secara intensif, maka
pada tahun 1997 Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta
dinyatakan bebas rabies. Selanjutnya pada tahun 2004, Provinsi Banten, DKI
Jakarta dan Jawa Barat dinyatakan pula sebagai daerah bebas rabies. Namun,
pada tahun 2005, rabies muncul kembali di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa
Barat dan pada tahun 2008 di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Dalam sejarah penyebaran rabies di Indonesia tercatat bahwa Pulau
Sumatra tertular rabies pertama kali pada tahun 1953 yakni di Sumatra Barat,
selanjutnya pada tahun 1958 dilaporkan terjadi di Pulau Sulawesi yaitu di
Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Menurut Hardjosworo dan
Partoatmodjo (1977) kasus rabies di Pulau Kalimantan dilaporkan pertama
kali pada tahun 1974 di Samarinda, Kalimantan Timur.Berikutnya, pada akhir
tahun 1997, kasus rabies dilaporkan pula terjadi di Pulau Flores. Penyebaran
rabies di Indonesia terus berlanjut hingga Provinsi Maluku tertular pada tahun
2003. Dalam kurun waktu dua tahun yakni pada tahun 2005, rabies terus
menyebar ke Provinsi Maluku Utara. Provinsi terakhir yang tertular rabies di
Indonesia adalah Provinsi Bali pada tahun 2008. Saat ini lima provinsi yaitu
Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Papua
dan Papua Barat masih berstatus sebagai daerah bebas rabies secara historis.

2.1.7 PATOGENESIS
Virus rabies bersifat neurotropik, yang pada dasarnya memiliki
kecenderungan untuk menginfeksi jaringan saraf di sistem saraf pusat (SSP).
Virus tersebut mencapai jaringan saraf secara neurogenik yaitu melalui
serabut saraf. Virus pada umumnya masuk ke dalam tubuh hewan mamalia
atau manusia melalui gigitan hewan penderita atau luka yang terkontaminasi
air liur yang mengandung virus rabies. Sementara, virus rabies tidak dapat
masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang utuh.
Hewan dan manusia yang terinfeksi virus rabies memiliki periode
inkubasi yang sangat bervariasi. Inkubasi berkisar antara 13 hari sampai 2
tahun bahkan 6 tahun tetapi umumnya antara 14 dan 90 hari. Periode inkubasi
tergantung pada jumlah virus dalam luka gigitan, lokasi gigitan dan kehebatan
luka.
Virus pada SSP terus bereplikasi secara massive. Virus kemudian
bergerak secara sentrifugal dari SSP ke saraf-saraf perifer melalui aliran
anterograde axoplasmic menuju berbagai organ seperti kelenjar ludah, kulit,
kornea, pankreas, ginjal, dan saraf sekitar folikel rambut.

2.1.8 GAMBARAN KLINIS


Gejala klinis pada setiap jenis hewan yang terserang rabies tidak selalu
sama, umumnya akan menunjukkan tempramen dan tingkah laku yang
berbeda dari keadaan normal. Proses perjalanan penyakit pada stadium
prodromal adalah hewan tampak acuh dan sembunyi, kemudian dilanjutkan
dengan stadium eksitasi yang ditandai dengan agresif, galak dan menyerang
hewan lain, manusia atau benda-benda yang bergerak di sampingnya.
Stadium paralisis adalah stadium akhir perjalanan penyakit dengan
gejala hipersalivasi, sempoyongan, lumpuh dan mati. Hewan biasanya mati
1-10 hari setelah gejala klinis pertama kali muncul.
Sedangkan pada manusia gejala awal yang terjadi sewaktu virus
menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual,
sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan
rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari. Penderita merasa nyeri, rasa
panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala
cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan sensoris.
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala
berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap
rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih
sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak
nyaman dan ketidak beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan
berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar
atau kaku kejang.
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi.
Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan
paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang
belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

2.1.9 DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis penyakit Rabies ini dapat dilakukan 2 cara yaitu
diagnosis lapangan dan diagnosis laboratorium. Pada diagnosis lapangan
untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Riwayat penggigitan,
2) Ada tidaknya provokasi
3) Jumlah penderita gigitan.

Penahanan dan observasi klinis selama 10 - 15 hari dilakukan terhadap


anjing, kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit
orang. Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing menggigit lebih dari satu
orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam
masa observasi yang kemudian specimen otaknya diperiksa dilaboratorium
hasilnya adalah positif rabies, selanjutnya indikasi kecenderungan rabies di
lapangan tanpa adanya tindakan provokasi dapat ditentukan sebagai berikut :
1) Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif)
rabies 25 %
2) Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif)
rabies 50 %
3) Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif)
rabies 75 %
4) Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif)
rabies 100 %

Diagnosa rabies secara laboratorium dapat dilakukan dengan


pewarnaan Sellers, histopatologi, MIT, FAT dan RT-PCR. Antigen, badan
negri dan virus banyak ditemukan pada sel saraf (neuron) sedangkan kelenjar
ludah dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negri tidak selalu dapat
ditemukan pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi pada specimen dapat
mengganggu pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus” pengiriman harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam specimen
tetap terjamin sampai ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak, hippocampus,
cortex cerbri dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar ludah. Bila
negri body tidak ditemukan, supensi otak (hippocampus) atau kelenjar ludah sub
maksiler diinokulasikan intrakranial pada hewan coba (suckling animals),
misalnya hamster, tikus (mice) atau kelinci (rabbits).

Gambar 3. Negri body di neuron


2.1.10 PENATALAKSANAAN
Penderita gigitan Anjing, Kucing, Kera segera :
- Cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir selama 10
sampai 15 menit dan beri anti septik (betadine, alkohol 70 %, obat merah
dll)
- Segera ke Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit untuk mencari
pertolongan selanjutnya.
Di Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit di lakukan :
- Penanganan luka gigitan :
o Ulangi cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air
mengalir selama 10 – 15 menit dan beri anti septik (betadine,
alkohol 70 %, obat merah dll)
o Amamnesis apakah didahului tindakan provokatif, hewan yang
menggigit menunjukkan gejala rabies, penderita gigitan hewan
pernah divaksinasi dan kapan, hewan penggigit pernah
divaksinasi dan kapan.
Identifikasi luka gigitan dengan cara melihat letak luka gigitan yang
beresiko tinggi, diantaranya jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu
(mukosa, leher, kepala), luka pada jari tangan, kaki, genetalia, luka lebar/dalam
dan luka yang banyak multiple wound)
Pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies), yang diantaranya adalah
1) Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
Produksi Institute Merieux Perancis (Verorab) dengan dosis
Dewasa/anak sama yaitu : hari ke 0 (pertama berkunjung ke
Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit). Diberikan 2 dosis @ 0,5 ml
diberikan deltoideus kanan/kiri. Hari ke 7 dan 21 diberikan 0,5 ml lagi
secara intra muskuler di deltoideus kanan/kiri. Apabila VAR Verorab
+ SAR perlu diberikan booster pada hari ke 90.
2) Suckling Mice Brain Veccine (SMBV)
Produksi Bio Farma Bandung dengan dosis : Dewasa, dasar 2 ml,
diberikan 7x setiap hari sub cutan didaerah sekitar pusar/umbillus.
Ulangan 0,25 ml diberikan ke 11,15,30 dan 90 secara intra cutan
dibagian fleksor lengan bawah. Anak-anak 3 tahun ke bawah, dasar 1
ml diberikan 7x setiap hari sub cutan disekitar daerah sekitar
pusar/umbillus. Ulangan 0,1 ml diberikan hari ke 11,15,30,dan 90
secara intra cutan dibagian fleksor lengan bawah. Pemberian SMBV
+ SAR (Serum Anti Rabies) Jadwal pemberian VAR dasar sama
ulangan boostar jadwalnya 11, 15, 25, 35, dan 90.
3) SAR (Serum Anti Rabies)
SAR Heterolog (serum kuda) produksi Bio Farma Bandung, dosis 40
IU/Kg BB, harus dilakukan skin test positif tidak boleh diberikan,
kemasan vial = 20 ml(1 ml = 100 IU) Serum omolog, misal IMDGAM
produksi Pasteur Merieux Perancis, dosis 20 IU/Kg kemasan Vial 2
ml (1ml = 150 IU) cara pemberian disuntikkan secara infiltrasi
disekitar luka sebanyak mungkin sisanya intra muskuler di
gluleus/pantat.
2.2 RETROVIRIDAE

2.2.1 STUDI KASUS RETROVIRIDAE


Dikutip dari jurnal penelitian yang berjuduil Infeksi HIV Pada Bayi, oleh
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1, Juni 2004: 23-31. Diakses pada tanggal 22
Oktober 2018. Bayi perempuan, berusia 5 bulan datang ke Instalasi
Gawat Darurat RSCM dengan keterangan prolonged fever. Pasien
menderita demam yang sifatnya terus menerus dan tidak terlalu tinggi, dan
selama ini pasien tidak pernah dibawa berobat. Tiga minggu kemudian
pasien menderita kejang disertai demam tinggi, kejang satu kali, merupakan
kejang pertama kali, bersifat umum, kelojotan, selama satu menit. Setelah
kejang pasien menangis. Pasien kemudian dirawat di rumah sakit H. Pasien
mendapat terapi cefotaxim, meropenem, dan terakhir ceftazidime dengan
amikasin. Pasien dirujuk ke RSCM karena tidak terdapat perbaikan klinis.

Selama perawatan pasien tetap menderita demam (38°C - 40°C) tetapi tidak
didapatkan kejang lagi. Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 9.4 g/dL,
Ht 26,7 vol%, leukosit 8000/mL, trombosit 313000/ mL, LED 50 mm/jam,
hitung jenis (%): basofil 0, eosinofil 1, batang 0, segmen 61, limfosit 37,
monosit 1. Pemeriksaan urinalisis dalam batas normal, SGOT 1800 m/L,
SGPT 440 m/L. Hasil biakan darah didapatkan kuman Serratia marcescens,
sensitif terhadap amikasin, ceftazidime dan trimetoprim. Pemeriksan
lumbal pungsi didapatkan sel 3/mL, protein 120 mg/dL, uji protein likuor
protein None dan Pandy negatif.

Sejak usia dua bulan pasien sering sakit batuk pilek disertai demam. Riwayat
penyakit keluarga, ibu pasien menderita HIV yang diketahui pada saat
melahirkan. Ibu pasien sering melakukan hubungan sex bebas dengan
berganti-ganti pasangan. Ayah pasien pernah diperiksa serologi dan
dikatakan tidak menderita HIV. Pasien merupakan anak tunggal. Selama
hamil ibu pasien sering menderita demam disertai sariawan yang terus
menerus. Pasien lahir secara bedah kaisar, cukup bulan dan langsung
menangis dengan berat lahir 2400 g dan panjang lahir 46 cm. Saat ini pasien
sudah mendapatkan imunisasi BCG, DPT-1 dan polio-1. Sejak lahir pasien
tidak mendapat ASI.
Pada pemeriksaan fisis di Instalasi Gawat Darurat RSCM di dapatkan bayi
sadar, tidak sesak dan tidak sianosis. Laju nadi 160 x/menit, laju pernafasan
30 x/menit, suhu aksila 39,5°C. Berat badan 5000 g (<P5 NCHS), panjang
badan 62 cm (P25 NCHS). Kepala bulat, UUB datar, lingkar kepala 39cm
(normal). Pada pemeriksaan mata, pupil bulat isokor, reflek cahaya normal,
gerakan bola mata baik, sklera tidak ikterik, konjungtiva tampak pucat.
Pemeriksaan telinga hidung dan tenggorokan (THT) tidak ditemukan
kelainan. Teraba pembesaran kelenjar getah bening multiple di daerah leher
dan ketiak kanan dan kiri. Dada terlihat simetris tidak didapatkan retraksi,
suara napas vesikuler, tidak terdengar ronki maupun mengi, bunyi jantung
I-II normal, tidak terdengar bising maupun irama derap. Perut teraba lemas
dengan hati 5 cm di bawah lengkung iga kanan dan 3 cm di bawah processus
xiphoid dengan tepi tajam, kenyal dan permukaan rata. Limpa tak teraba,
bising usus normal. Alat gerak akral hangat, perfusi perifer baik dan
didapatkan BCG-itis didaerah deltoid atas.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 7.7 g/ dl, leukosit


10800/mL, trombosit 440000/mL dengan hitung jenis (%): Basofil 0,
eosinofil 0, batang 0, segmen 62, limfosit 32, monosit 6. SGOT 108 m/L,
SGPT 111 m/L, CD4+ 33%, Viral Load (VL) PCR RNA 3.034.420 kopi
RNA/ml, HIV Elisa reaktif, HIV Dipstik reaktif.
Pemeriksaan foto rontgen dada di dapatkan kardiomegali ringan dan
gambaran infiltrat pada kedua lapangan paru. Uji tuberkulin negatif.
Hasil konsultasi dengan Sub Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSCM dikatakan sesuai dengan limfoid interstitialis pneumonitis
(LIP). (Gambar 1)
Pasien didiagnosis terinfeksi HIV kategori C tanpa penekanan sistim
imun, dan diberikan terapi Zidovudin 4 x 10 mg, Lamivudine 2 x 20 mg,
tranfusi sel darah merah, trimetophrin sulfametoksasol 2 x 20 mg(TMP).
Pasien dianjurkan untuk konseling dan kontrol setiap bulan untuk
dilakukan pemeriksaan terhadap gejala klinis, darah tepi, fungsi hati dan
pemeriksaan CD4+ setiap tiga bulan.

Gambar4 : Limphoid Interstitial Pneumonitis

2.2.2 KLASIFIKASI RETROVIRIDAE


Retrovirus adalah virus berselubung yang mempunyai garis tengah
antara 90 nm dan 120nm, mempunyaigenom single- stranded RNA, dengan
virion yang mengandung reverse transcript.

Selama beberapa dekade terakhir retrovirus telah melakukan jumlah


yang cukup membahayakan kehidupan manusia dan menjadi ancaman besar
secara global. Ini adalah sekelompok virus yang milik keluarga Retroviridae
dan yang biasanya membawa materi genetik mereka dalam bentuk asam
ribonukleat (RNA), sedangkan materi genetik dari tuan rumah mereka
adalah dalam bentuk asam deoksiribonukleat (DNA). Retrovirus diberi
nama untuk sebuah enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase (RT),
yang ditemukan secara independen pada tahun 1971 oleh ahli virus Amerika
Howard Temin dan David Baltimore yang mereka telah menerima Hadiah
Nobel dalam fisiologi dan kedokteran di tahun 1975.
Retroviridae adalah keluarga menyelimuti, wajib parasit dengan
untai tunggal positivesense RNA (ssRNA) yang meniru dalam sel inang
melalui proses transkripsi terbalik. Kegiatan RT membuatnya layak untuk
materi genetik dari retrovirus untuk menjadi permanen diintegrasikan ke
dalam genom DNA (provirus) dari sel yang terinfeksi.

Gambar 1. Klasifikasi Retroviridae keluarga virus.

Retroviridae dibagi menjadi Orthoretrovirinae dan


Spumaretrovirinae (Gambar 1). Di bawah Orthoretrovirinae berbagai genus
yang Alpharetrovirus (Rous sarcoma virus, burung sarcoma virus
leukosis), Betaretrovirus (mouse virus tumor mammae, Jaagsiekte domba
retrovirus), Gammaretrovirus (murine leukemia virus, Abelson virus
murine leukemia, virus Teman, koala retrovirus, leukemia murine
xenotropic virus -terkait), Deltaretrovirus (virus Human T-lymphotropic
(HTLV) jenis 1-4, simian T-lymphotropic virus tipe 1-4, Bovine virus
leukemia), Epsilonretrovirus (Walleye virus hiperplasia epidermal), dan
Lentivirus (human immunodeficiency virus ( HIV), virus simian
immunodeficiency (SIV), feline immunodeficiency virus, puma lentivirus,
immunodeficiency virus sapi, caprine arthritis virus ensefalitis, virus Visna)
yang hadir, sedangkan di bawah Spumaretrovirinae hanya satu genus adalah
spumavirus (virus berbusa simian, virus berbusa manusia).
Rentang retrovirus tuan rumah termasuk manusia, murine, kucing
(cat), burung (burung), dan bovine (babi), dan itu tergantung pada amplop
virus, glikoprotein dan protein struktural, yang terlibat dalam integrasi.
Infeksi dengan sejumlah retrovirus dapat menyebabkan kondisi serius,
seperti AIDS, berbagai keganasan, penyakit saraf, dan menambahkan
kondisi klinis.

Selain itu, beberapa retrovirus bahkan bisa menjadi terpadu sebagai


DNA dalam garis kuman dan lulus sebagai virus endogen dari generasi ke
generasi. Menggunakan retrovirus dalam penelitian telah membangun
kebutuhan untuk memajukan investigasi secara detail mengenai partikel
virus dan genom, mode mereka replikasi, integrasi, dan murine, kucing
(cat), burung (burung), dan bovine (babi), dan itu tergantung pada amplop
virus, glikoprotein dan protein struktural, yang terlibat dalam integrasi.
Infeksi dengan sejumlah retrovirus dapat menyebabkan kondisi serius,
seperti AIDS, berbagai keganasan, penyakit saraf, dan menambahkan
kondisi klinis.

2.2.3 STRUKTUR GENOM RETROVIRUS

Gambar 5. Struktur retrovirus dan Genom.

Urutan genome retrovirus terdiri atas LTR- gag-pol-env-LTR.


1. LTR
LTR adalah Long Terminal Repeats. Urutan berulang ini mengapit
daerah gag, pol dan env serta berperan dalam proses transkripsi virus.
2. Gag (Protein “core”inti)
mRNA gag akan ditranslasi menjadi Gag prekursor, dimana Gag
prekursor ini akan diproses menjadi bentuk ”mature” dan menghasilkan
protein-protein matriks, kapsid, nukleokapsid dan p6.
3. Pol (enzim)
mRNA pol akan ditranslasi menjadi Gag-Pol prekursor, dimana Gag-Pol
prekursor ini akan diproses menjadi bentuk ”mature” dan menghasilkan
enzim protease, reverse transkriptase dan integrase.
4. Env (protein selubung)
RNA env akan ditranslasi menjadi Env prekursor, dimana Env prekursor
ini akan diproses menjadi bentuk ”mature” dan menghasilkan protein
envelope yaitu protein surface (SU) dan transmembran (TR).

2.2.4 LENTIVIRUS (Human Immunodeficienccy Virus) HIV


HIV adalah retrovirus yang termasuk golongan virus RNA yang
menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik.
Golongan retrovirus terutama HIV memiliki sifat khusus karena memiliki
enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang mengubah informasi
genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian
diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. HIV
dapat memfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi
virus HIV yang baru (Departemen Kesehatan RI, 2003).
HIV menginfeksi beberapa jenis sel darah putih, terutama sel CD4.
Sel CD4 dan makrofag memiliki fungsi penting dalam sistem kekebalan
tubuh (Pinsky dan Douglas, 2009). Virus yang masuk ke dalam tubuh akan
menghancurkan dan merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga orang yang
terinfeksi akan mengalami defisiensi imun secara bertahap (Anonim, 2013).

Sifat-Sifat Penting Lentivirus

Virion Bulat, berdiameter 100-140 nm, inti silindris.

Genom RNA untai-tunggal, linier, positive-sense, 9-10kb, diploid,


genom lebih kompleks daripada retrovirus onkogenik, paling
tidak mengandung enam gen replikasi tambahan.

Protein Selubng glikoprotein mengalami variasi antigenic, enxim


reverse transcriptase terkandung didalam virion.

Selubung Ada

Replikasi Reverse transcriptase mengkatalisis transkripsi RNA virus


menjadi DNA (DNA provirus), DNA provirus merupakan
cetakan untuk RNA virus. Sering timbul variabilitas genetik.

Pematangan Partikel bertunas dari selaput plasma.

Karakter Anggotanya adalah non onkogenik dan mungkin sitosidal.


yang Menginfeksi sel sistim imun. Provirus secara tetap berkaitan
menonjol dengan sel. Ekspresi virus terbatas in vivo, menyebabkan
penyakit kronik, progresif lambat. Repliksi sangat spesifik-
spesifik. Kelompoknya termasuk virus penyebab AIDS.

2.2.5 STRUKTUR VIRUS HIV

HIV termasuk dalam genus Lentivirus dari famili Retroviridae.


Struktur HIV berbentuk sferis yang terdiri atas capsid yang terselimuti
dengan envelope yang berupa komponen membran dan membran yang
berasal dari sel inang. Capsid berbentuk peluru yang terbentuk dari protein
p24 dari gen gag, capsid berisi dua duplikat utas RNA yang merupakan
genom virus. Capsid mengandung enzim reverse transcriptase (RT),
RNase-H, integrase, dan Protease. Bagian bawah membran inang yang
membungkus capsid terdapat matriks yang membentuk struktur virus yang
tersusun oleh protein p17 gag outer core. Permukaan luar membran terdapat
envelope glikoprotein yang terdiri atas dua komponen yaitu gp41 dan
gp120. Komponen gp41 merupakan protein transmembran dan bagian
eksternalnya terikat protein gp120 secara nonkovelan hidrofobik. Unit
gp41-gp120 terdapat pada permukaan virus dalam bentuk trimer dan
berperan dalam binding dan fusi virion pada sel target (Widodo & Lusida,
2007).

Keterangan gambar:

a. Lipid yang berasal dari membran


sel host.

b. Mempunyai 72 semacam paku


yang dibuat dari glikoprotein (gp) 120
dan gp 41, setiap paku disebut trimer
dimana dari 3 copy dari gp 120, gp 41.

c. Protein yang sebelumnya terdapat


pada membran sel yang terinfeksi.

Gambar 6.Anatomi Virus HIV (Departermen kesehatan RI, 2006)

a Gp 120 : glikoprotein yang merupakan bagian dari envelope


(sampul) yang tertutup oleh molekul gula untuk melindungi
dari pengenalan antibodi yang berfungsi mengenali secara
spesifik reseptor dari permukaan target sel dan secara tidak
langsung berhubungan dengan sampai menyebar.
b Gp 41 : transmembran glikoprotein yang berfungsi melakukan
trans membran virus, mempercepat fusion (peleburan) dari
penderita dan membran virus serta membawa HIV masuk ke
dalam tubuh penderita.
c RNA dimer dibentuk dari 2 single strand dari RNA.

d Matrix protein (p17) : garis dari bagian dalam membran virus


dan bisa memfasilitasi perjalanan dari HIV DNA masuk ke inti
tubuh penderita.

e Capsid protein (p24) : inti dari virus HIV yang berisikan 2 kopi
dari RNA genom dan 3 macam enzim (reverse ranscriptase,
protease dan integrase).

2.2.6 REPLIKASI RETROVIRUS

Siklus relikasi
retrovirus dimulai dari periode
setelah adsorpsi virus ke dalam
sel inang sampai terbentuknya
partikel virus baru yang
infeksius.

Berikut ini adalah


tahap-tahap yang terjadi pada
siklus replikasi retrovirus:

Gambar 7. Replikasi Virus

1. Penempelan
Interaksi virus-inang terjadi karena ada reseptor spesifik pada
permukaan sel inang untuk virus tersebut. Adanya reseptor spesifik ini
dapat menjelaskan mengapa suatu virus hanya menyerang ke suatu sel
tertentu. Pada HIV, gp120 pada virus akan mengenali CD4 pada sel
limfosit atau makrofag.
2. Penetrasi dan pelepasan bungkus
Penetrasi adalah proses masuknya partikel virus ke dalam sitoplasma.
Pelepasan bungkus adalah pemisahan genom virus dari kapsid atau
envelop. Penetrasi virus biasanya terjadi melalui endositosis dan
pelepasan bungkus terjadi di dalam vesikel endosom, tetapi bisa juga
melalui fusi antar envelop virus dengan membran sel inang. Pada
retrovirus, transkripsi balik oleh reverse transkriptase berlangsung setelah
terjadinya pelepasan bungkus.
3. Integrasi
DNA yang terbentuk pada proses transkripsi balik akan masuk ke
dalam nukleus melalui nuclear pore dan akan terintegrasi pada kromosom
inang dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi pada
kromosom inang disebut dengan provirus.
4. Tahap sintesis
Apabila sel inang yang mengandung provirus teraktivasi maka akan
terjadi proses transkripsi untuk menghasilkan materi genetik dan proses
translasi untuk menghasilkan prekursor enzim-enzim dan protein-protein
struktural buat virus-virus baru yang akan dihasilkan. Protein-protein yang
perlu diglikosilasi akan diproses di dalam retikulum endoplasma dan
badan golgi.
5. Assembly dan maturasi
Untuk virus yang berenvelop seperti HIV, protein envelop akan
terinkorporasi ke dalam membran sel, sementara RNA dan prekursor
protein lainnya akan diassembly di dekat membran sel tersebut.
Selanjutnya akan terjadi proses budding (pelepasan virus-virus baru) dan
dilanjutkan dengan proses maturasi dengan bantuan protease.
2.2.7 TRANSMISI INFEKSI HIV

Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga jalan utama,
yaitu secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama
mengandung, persalinan, dan menyusui), secara transeksual (homoseksual
maupun heteroseksual), dan secara horizontal yaitu kontak darah atau
produk darah yang terinfeksi). Di Indonesia kasus HIV yang paling sering
menular melalui hubungan seksual, penyalahgunaan jarum suntik, perinatal,
dan melalui transfusi darah (Depkes RI, 2013).

2.2.8 GAMBARAN KLINIK HIV

AIDS ditandai dengan penenkanan sistem imun secara


nyata dan perkembangan neoplasma yang tidak lazim
(khususnya sarcoma Kaposi) atau dengan berbagai infeksi
oportunistik yang berat. Gejala yang lebih serius pada orang
dewasa sering didahului prodromal (diare dan penurunan berat
badan) yang dapat meliputi rasa Lelah, malaise, demam, sesak
nafas diare kronik, bercak putih pada lidah dan limfadenopati.

Gejala penyakit pada saluran pencernaan mulai dari


esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan.
Jangka waktu antara infeksi primer dengan HIV dan penampakan
gejala klinik yang pertama biasanya cukup lama pada orang
dewasa, rata-rata sekitar 10 tahun. Kematian terjadi sekitar 2
tahun kemudian.
2.2.9 PATOGENESIS HIV

HIV mempunyai nukleosid yang berbentuk silindris yang dikelilingi


oleh glikoptotein spesifik virus. Tiga gen khas retrovirus yaitu gag, pol, dan
env yang berperan pada protein struktural, genom RNA mempunyai enam
gen tambahan yaitu gen tat dan rev berperan dalam replikasi dan empat gen
lain yaitu nef, vif, vpr, dan vpu adalah gen yang tidak berperan dalam
replikasi (Levy, 2007).

Menurut Levinson (2008) Gen gag memberikan kode untuk protein


p24. Gen pol memberikan kode untuk beberapa protein, seperti RT yang
berperan dalam mensintesa DNA dengan menggunakan genom RNA
sebagai cetakannya, enzim integrase yang mengintegrasikan DNA virus
kepada DNA seluler, dan protease yang membelah protein prekusor virus.
Gen env memberikan kode untuk protein gp160 yaitu prekusor yang dibelah
membentuk glikoprotein gp120 dan gp41. Gen tat berfungsi dalam
transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional
dari gen virus lainnya. Gen rev berperan dalam mengawal pengeluaran
mRNA dari nucleus ke sitoplasma. Ptotein tat dan nef akan menekan sintesa
protein MHC kelas I, yang mengurangi kemampuan sel T sitotoksik untuk
membunuh sel-sel yang terinfeksi oleh HIV.

Gen vif berperan meningkatkan infektifitas HIV dengan


menghambat apolipoprotein B RNA-editing enzyme (APOBEC3G). Enzim
ini menyebabkan hipermutasi dalam RNA retrovirus, dan juga
mendeaminasi sitosin yang ada pada mRNA dan DNA retrovirus, sehingga
molekul jadi terinaktivasi dan menyebabkan berkurangnya infeksifitas
(Levinson, 2008).

CD4 adalah target utama dari HIV begitu virus masuk ke dalam
tubuh, karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4
yaitu gp120. Gp120 HIV akan berinteraksi dengan protein kedua pada
permukaan sel, yaitu reseptor kemokin seperti CXCR4 dan CCR5 (Weber,
2001). Gp41 membantu fusi antara selubung virus dan membrane sel, dan
virus masuk ke dalam sel. HIV masuk ke dalam CD4 memerlukan reseptor
kemokin. T-cell-tropik strains HIV berikatan dengan CXCR4 dan
macropage- tropic strains berikatan dengan CCR5. Tahap selanjutnya, virus
RNA-dependent DNA polymerase akan mentranskripsi genom RNA kepada
DNA yang akan berintegrasi dengan sel DNA manusia yang dimediasi
enzim integrase. mRNA virus ditranskripsi dari DNA proviral oleh RNA
polymerase sel tubuh manusia dan ditranslasikan pada beberapa bentuk
poliprotein besar (Levinson, 2008).

Poliprotein gag, pol, dan env dibelah oleh enzim protease.


Poliprotein gag akan membentuk inti protein (p24) dan protein matriks
(p17). Poliprotein pol akan membentuk reverse transciptase, integrase, dan
protease. Virus muda/belum matang ini mempunyai prekusor poliprotein
yang dibentuk di sitoplasma dan di belah dari sel membran oleh enzim
protease. Pembelahan ini menjadikan virus menjadi matang/sempurna dan
infeksius (Levinson,2008).

Sel T yang telah terinfeksi HIV akan berada dalam kelenjar getah
bening sehingga mencapai ambang replikasi dalam waktu 2-6 minggu dan
menjadi viremia. Proses ini disebut infeksi Primer dan puncak viremia akan
menurun secara spontan setelah 2-4 minggu, hal ini disebabkan karena
respon imun primer terhadap HIV. Plasma viremia dapat di tekan setelah
serokonversi namun virus.

HIV masih terdapat dalam tubuh dan genom HIV bisa ditemukan
dalam sel T. Sel CD4 akan kembali ke tingkat dasar karena puncak viremia
berkurang tetapi lebih rendah dari yang terlihat pada saat pre-infeksi, tahap
ini disebut infeksi HIV kronik Asimptomatik. Masa laten infeki ini berlaku
selama 10 tahun (Weber, 2001).
CD4 menurun pada tahap asimptomatik, membuktikan bahwa virus
HIV membunuh sel CD4 melalui cara lisis (Weber, 2001). Kematian sel
yang telah terinfeksi oleh HIV juga disebabkan oleh limfosit CD8 sitotoksik.
Efektifitas sel T sitotoksik ini terbatas karena protein virus yaitu tat dan nef
akan mengurangi sintesa protein MHC kelas I. Infeksi sel limfosit dan
produksi HIV berjalan terus menerus (Levinson, 2008). Sel CD4 yang turun
terus menerus bisa menyebabkan immunosupresi yang menyebabkan
terjadinya infeksi oportunistik (Weber, 2001).

2.2.10 PATOFISIOLOGI HIV

Partikel virus dalam tubuh penderita bergabung dengan DNA sel


penderita, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan
tetap terinfeksi. Penderita HIV sebagian besar masuk ke tahap AIDS pada 3
tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS pada 10 tahun, dan sesudah
13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala
AIDS (Djoerban & Djauzi, 2009).

Infeksi HIV tidak langsung menimbulkan gejala tertentu, sebagian


menunjukkan gejala tidak khas pada infeksi akut HIV, 3-6 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang timbul adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Infeksi HIV
asimtomatik (tanpa gejala) mulai timbul setelah infeksi akut terjadi. Masa
tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Djoerban &
Djauzi, 2009).

Penderita HIV yang masih merasa sehat, tidak menimbulkan gejala,


namun terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 pertikel setiap hari. Replikasi
ini disertai mutasi dan seleksi virus sehingga virus menjadi resisten.
Replikasi virus yang semakin meningkat menyebabkan kehancuran limfosit
CD4 yang tinggi (Djoerban & Djauzi, 2009).
Kekebalan tubuh yang semakin memburuk mengakibatkan penderita
mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat
badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, dan herpes(Djoerban & Djauzi,
2009).

2.2.11 PENGOBATAN HIV

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang digunakan untuk memperlambat


pertumbuhan virus HIV (Depkes, 2007). Tujuan dan manfaat ARV adalah
menurunkan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan HIV,
memperbaiki kualitas hidup penderita HIV, menekan replikasi virus secara
maksimal, memulihkan atau memelihara fungsi kekebalan tubuh,
mencegah dan mengobati infeksi oportunistik, pasien tetap produktif,
memulihkan sistem kekebalan tubuh, dan mengurangi biaya rawat inap dan
terjadinya kematian(Depkes,2007).

Pengobatan HIV harus seumur hidup dan sebelum memulai terapi ARV
perlu di lakukan pemeriksaan psikologi dengan tujuan untuk mengetahui
status mental dan menilai kesiapan menerima pengobatan jangka panjang
(Anonim, 2006).

2.2.12 DIAGNOSIS LABORATORIUM

1. Isolasi dan identifikasi virus


Reaksi rantai polymerase dapat digunakan untuk mendeteksi DNA
HIV dalam uji coba. HIV dapat dibiakan dari limfosit di daerah tepi.
Jumlah sel terinfeksi yang bersirkulasi bervariasi sesuai stadium
penyakit.
2. Serologi
Uji antibodu berdasarkan ELISA digunakan untuk penyaringan
populasi dengan infeksi HIV prevalensi rendah, suatu uji positif dalam
contoh serum harus dikonfirmasi melalui uji ulang sebelum serum donor
dilaporkan. Jika uji ELISA ulangan negative, bahan harus diuji dengan
metode lain.
3. Deteksi anti HIV secara Imunofluoresensi
Protein HIV bertanda radioaktif diinkubasi dengan serum dan
selanjutnya dipresipitasi dengan menambah anti-imunoglobulin atau
protein -Staph-A. Adanya radioaktifitas yang tinggi pada presipitat
menandakan adanya anti HIV. Deteksi anti-HIV secara
radioimunopresipitasi menunjukan mekanisme dan hasil yang sama
dengan deteksi anti-HIV secara imunof;upresensi.
4. Cara sederhana pemeriksaan anti-HIV
Mekanisme yang bertujuan mempermudah, antara lain adalah cara
aglutinasi gelatin, aglutinasi lateks, dan dot enzyme immunoassay. Pada
cara aglutinasi gelatin /lateks, antigen diletakan pada partikel
gelatin/lateks, sehingga setelah bereaksi dengan antibody dalam serum
akan tampak adanya aglutinasi. Cara dot enzyme immunoassay, antigen
env yang dihasilkan dengan rekombinan DNA diteteskan diatas kartu
polysterene dan titambahkan serum, kemudian ditambahkan berturut-
turut anti I-g-G bertanda enzim dan subtract. Timbulnya bercak biru
menandakan adanya anti -HIV.
5. Cara reaksi polymerase (PCR)
Sejak tahun 1988 On dkk, mengemukaakan cara baru yang
menggunakan reaksi rantai polymerase, untuk mendeteksi adaya
rangkaian proviral HIV dalam sel monoklear darah. Pada Teknik ini,
DNA untaian ganda sel monuklear darah penderita dipisahkan menjadi
dua rantai dengan cara pemanasan. Selanjutnya dengan reaksi rantai
polymerase, bagian-bagian segmen proviral HIV-DNA diperbanyak
untuk mendapatkan DNA virus. Setelah reaksi rantai polymerase
berlangsung DNA yang sudah cukup banyak dapat dideteksi dengan
cara hibridasi kepada probe HIV-DNA sintetik yang dilabel dengan zat
radioaktif.
2.2.13 PENCEGAHAN HIV

1 Setiap hubungan seksual (kecuali hubunganmonogamis dengan


antbodi HIV negative secara mutuak) harus dilindungi dengan
pemakaian kondom.
2. Jangan menggunakan jarum atau alatsuntik yang tidak steril secara
bersama.
3. Semua wanita yang berpotensi untuk terpapar harus dilakukan
pengujian antibodi HIV sebelum hamil dan jika uji positif, harus
menghindari kehamilan. Wanita hamil yang seropositive HIV dapat
dianjurkan untuk melakukan pengakhiran kehamilan jika anita
tersebut juga menginginkannya.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rhabdoviridae merupakan salah satu family paling beragam dari
virus RNA. Rhabdoviridae telah diidentifikasi pada berbagai macam
tumbuhan dan hewan, termasuk mamalia, burung, reptil, dan ikan yang
diltularkan oleh vektor arthropoda (Kuzmin, dkk)
Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh
virus dan dapat menular pada orang. Karena itu, rabies di kategorikan
sebagai penyakit zoonotik. Agen penyebab penyakit ini memiliki daya tarik
kuat untuk menginfeksi jaringan saraf yang menyebabkan terjadinya
peradangan pada otak atau ensefalitis, sehingga berakibat fatal bagi hewan
ataupun manusia yang tertular. (Akoso, 2007).
Retrovirus merupakan jenis virus yang luar biasa karena mereka
menggunakan transkripsi terbalik RNA virus ke dalam DNA selama replikasi.
Anggota dari family ini salah satunya adalah Human Immunodeficiency virus
(virus yang menyebabkan AIDS), feline leukemia, dan beberapa kanker yang
disebabkan oleh virus. (Coffin et all, 1997)
Human immunodeficiency virus merupakan agen penyebab
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). AIDS merupakan penyakit
berat yang mengancam jiwa yang mewakili tahap akhir klinis infeksi HIV.
(Averts,2018).
3.2 Saran
Karena makalah ini memecahkan masalah dalam lingkup sederhana,
alangkah baiknya bagi penulis lain menyempurnakan pemecahan masalah
dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Akoso,Budi Tri. 2007. Pencegahan dan pengendalian rabies penyakit menular


pada hewan dan manusia. Kanisius
Bolzan VL and Consales CA, 2007. Rabies Review: imunopathology, Clinical
Aspect and Treatment. Journal Venom andToxin, Tropical diseases.
CDC. 2010. The Rabies virus. Centres for Diseases control and Prevention
Cruse Jm, Lewis RE, 2004. Atlas of Immunology 2nd Edition, CRC Press
Fekadu M.1998. Patogenesis of Rabies Virus infection in Dogs.Review of
Infectious diseases,10
Jackson AC. 2002. Rabies pathogenesis. J Neuro Virol 8:267-269
Jackson AC and Wunner WH, 2007. Rabies 2nd Edition, Academic Press USA
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Data Rabies di Indonesia . Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Kresno S Boedina. 2010. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.
Badan Penerbit FK UI
Moore Susan et al.2010. Rabies-Specific antibodies : Measuring surrogates of
Protection against a Fatal Disease. PLoS Negl Trop dis 4(3) Journal .ptnd.
OIE.2011. Rabies. Manual of Standard for Diagnostic Techniques. Chapter
2.2.13. Tersterial manual
OIE. 2014. World Health Animal Information Database: Rabies, Jenewa
Radji M. 2010. Imunologi dan Virologi. PT.ISFI Penerbitan. Jakarta.
Rahman A. dan Maharis. 2008. Analisis Keberhasilan Vaksin Oral Rabies
Sebagai Perbandingan Pengendalian Rabies di Indonesia, Balai Pengujian
Mutu obat Hewan.
Rahmadhani I, Fitria Y, Certoma A. 2014. Aplikasi Metode Rabies Indirect
Antigen Detection (RIAD) untuk mendeteksi antigen Virus Rabies
Jaringan Otak. Prosiding Dit jenakeswan Kementrian Pertanian, 32-36
Rantam, FA. 2005. Virologi. Airlangga University Press, Surabaya
Roositer JP and Jackson AC, 2007. Rabies 2nd edition, Edited by Alan C, Jackson
and William H Wunner , Elsievier, Inc

Anda mungkin juga menyukai