Rhabdoviridae & Retroviridae
Rhabdoviridae & Retroviridae
Rhabdoviridae & Retroviridae
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Virologi ,
Disusun Oleh:
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Rabhdoviridae & Retroviridae.”
Makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penulisan makalah ini,
khususnya kepada Ni’matul Murtafiah, S.Pd.,M.Si selaku koordinator mata kuliah
Virologi tingkat III.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat
menjadi ilmu dan bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Rabhdoviridae
2.1.6 Epidemiologi
2.1.7 Patogenesis
2.1.9 Diagnosis
2.1.10 Penatalaksanaan
2.2 Retroviridae
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Virus Rabies
Gambar 2. Siklus Replikasi Virus Rabies
Gambar 3. Negri body di neuron
2.1 RABHDOVIRIDAE
2.1.1 Klasifikasi Rabhdoviridae
2.1.6 EPIDEMIOLOGI
Rabies pada umumnya ditularkan oleh hewan penderita melalui gigitan
atau luka yang terkontaminasi virus. Penularan dari manusia ke manusia
melalui transplantasi organ mata, ginjal, dan hati dari donor terinfeksi virus
rabies pernah terjadi. Semua hewan mamalia peka terhadap rabies, namun
pada dasarnya hewan yang efisien menularkan rabies adalah spesies dari
carnivora dan chiroptera (kelelawar). Rabies di negara tertentu seperti
Amerika Latin ditularkan oleh kelelawar (haematophagous vampire bats)
yang menyebabkan kematian pada manusia dan ribuan sapi setiap tahunnya.
Reservoir rabies di Eropa adalah rubah merah, sedangkan di Korea adalah
rakun (Nyctereutes procyonoides koreensis). Sementara di negara–negara
berkembang termasuk Indonesia, anjing merupakan hospes dan vektor utama
rabies ke manusia. Menurut WHO (2005), 99% kasus rabies pada manusia
disebabkan oleh gigitan anjing.
Kecepatan penyebaran rabies di perkotaan/pedesaan sangat tergantung
pada intervensi manusia. Masing-masing negara mempunyai bentuk
penularan rabies yang berbeda. Bentuk epidemiologi siklus penularan rabies
yang dikenal yakni urban rabies dan silvatik rabies. Urban rabies adalah siklus
penularan rabies yang terjadi pada anjing domestik di perkotaan. Anjing-
anjing domestik termasuk anjing yang diliarkan bertindak sebagai pelestari
siklus rabies, sedangkan silvatik rabies adalah siklus penularan rabies yang
terjadi pada hewan–hewan liar di hutan.
Distribusi Di Indonesia
Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan di Jawa Barat pada
tahun 1884, kemudian pada tahun 1953 rabies ditemukan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, selanjutnya menyebar ke Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta
(1971), dan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta pada tahun 1972. Setelah
program pemberantasan di Pulau Jawa dilaksanakan secara intensif, maka
pada tahun 1997 Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta
dinyatakan bebas rabies. Selanjutnya pada tahun 2004, Provinsi Banten, DKI
Jakarta dan Jawa Barat dinyatakan pula sebagai daerah bebas rabies. Namun,
pada tahun 2005, rabies muncul kembali di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa
Barat dan pada tahun 2008 di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Dalam sejarah penyebaran rabies di Indonesia tercatat bahwa Pulau
Sumatra tertular rabies pertama kali pada tahun 1953 yakni di Sumatra Barat,
selanjutnya pada tahun 1958 dilaporkan terjadi di Pulau Sulawesi yaitu di
Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Menurut Hardjosworo dan
Partoatmodjo (1977) kasus rabies di Pulau Kalimantan dilaporkan pertama
kali pada tahun 1974 di Samarinda, Kalimantan Timur.Berikutnya, pada akhir
tahun 1997, kasus rabies dilaporkan pula terjadi di Pulau Flores. Penyebaran
rabies di Indonesia terus berlanjut hingga Provinsi Maluku tertular pada tahun
2003. Dalam kurun waktu dua tahun yakni pada tahun 2005, rabies terus
menyebar ke Provinsi Maluku Utara. Provinsi terakhir yang tertular rabies di
Indonesia adalah Provinsi Bali pada tahun 2008. Saat ini lima provinsi yaitu
Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Papua
dan Papua Barat masih berstatus sebagai daerah bebas rabies secara historis.
2.1.7 PATOGENESIS
Virus rabies bersifat neurotropik, yang pada dasarnya memiliki
kecenderungan untuk menginfeksi jaringan saraf di sistem saraf pusat (SSP).
Virus tersebut mencapai jaringan saraf secara neurogenik yaitu melalui
serabut saraf. Virus pada umumnya masuk ke dalam tubuh hewan mamalia
atau manusia melalui gigitan hewan penderita atau luka yang terkontaminasi
air liur yang mengandung virus rabies. Sementara, virus rabies tidak dapat
masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang utuh.
Hewan dan manusia yang terinfeksi virus rabies memiliki periode
inkubasi yang sangat bervariasi. Inkubasi berkisar antara 13 hari sampai 2
tahun bahkan 6 tahun tetapi umumnya antara 14 dan 90 hari. Periode inkubasi
tergantung pada jumlah virus dalam luka gigitan, lokasi gigitan dan kehebatan
luka.
Virus pada SSP terus bereplikasi secara massive. Virus kemudian
bergerak secara sentrifugal dari SSP ke saraf-saraf perifer melalui aliran
anterograde axoplasmic menuju berbagai organ seperti kelenjar ludah, kulit,
kornea, pankreas, ginjal, dan saraf sekitar folikel rambut.
2.1.9 DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis penyakit Rabies ini dapat dilakukan 2 cara yaitu
diagnosis lapangan dan diagnosis laboratorium. Pada diagnosis lapangan
untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Riwayat penggigitan,
2) Ada tidaknya provokasi
3) Jumlah penderita gigitan.
Selama perawatan pasien tetap menderita demam (38°C - 40°C) tetapi tidak
didapatkan kejang lagi. Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 9.4 g/dL,
Ht 26,7 vol%, leukosit 8000/mL, trombosit 313000/ mL, LED 50 mm/jam,
hitung jenis (%): basofil 0, eosinofil 1, batang 0, segmen 61, limfosit 37,
monosit 1. Pemeriksaan urinalisis dalam batas normal, SGOT 1800 m/L,
SGPT 440 m/L. Hasil biakan darah didapatkan kuman Serratia marcescens,
sensitif terhadap amikasin, ceftazidime dan trimetoprim. Pemeriksan
lumbal pungsi didapatkan sel 3/mL, protein 120 mg/dL, uji protein likuor
protein None dan Pandy negatif.
Sejak usia dua bulan pasien sering sakit batuk pilek disertai demam. Riwayat
penyakit keluarga, ibu pasien menderita HIV yang diketahui pada saat
melahirkan. Ibu pasien sering melakukan hubungan sex bebas dengan
berganti-ganti pasangan. Ayah pasien pernah diperiksa serologi dan
dikatakan tidak menderita HIV. Pasien merupakan anak tunggal. Selama
hamil ibu pasien sering menderita demam disertai sariawan yang terus
menerus. Pasien lahir secara bedah kaisar, cukup bulan dan langsung
menangis dengan berat lahir 2400 g dan panjang lahir 46 cm. Saat ini pasien
sudah mendapatkan imunisasi BCG, DPT-1 dan polio-1. Sejak lahir pasien
tidak mendapat ASI.
Pada pemeriksaan fisis di Instalasi Gawat Darurat RSCM di dapatkan bayi
sadar, tidak sesak dan tidak sianosis. Laju nadi 160 x/menit, laju pernafasan
30 x/menit, suhu aksila 39,5°C. Berat badan 5000 g (<P5 NCHS), panjang
badan 62 cm (P25 NCHS). Kepala bulat, UUB datar, lingkar kepala 39cm
(normal). Pada pemeriksaan mata, pupil bulat isokor, reflek cahaya normal,
gerakan bola mata baik, sklera tidak ikterik, konjungtiva tampak pucat.
Pemeriksaan telinga hidung dan tenggorokan (THT) tidak ditemukan
kelainan. Teraba pembesaran kelenjar getah bening multiple di daerah leher
dan ketiak kanan dan kiri. Dada terlihat simetris tidak didapatkan retraksi,
suara napas vesikuler, tidak terdengar ronki maupun mengi, bunyi jantung
I-II normal, tidak terdengar bising maupun irama derap. Perut teraba lemas
dengan hati 5 cm di bawah lengkung iga kanan dan 3 cm di bawah processus
xiphoid dengan tepi tajam, kenyal dan permukaan rata. Limpa tak teraba,
bising usus normal. Alat gerak akral hangat, perfusi perifer baik dan
didapatkan BCG-itis didaerah deltoid atas.
Selubung Ada
Keterangan gambar:
e Capsid protein (p24) : inti dari virus HIV yang berisikan 2 kopi
dari RNA genom dan 3 macam enzim (reverse ranscriptase,
protease dan integrase).
Siklus relikasi
retrovirus dimulai dari periode
setelah adsorpsi virus ke dalam
sel inang sampai terbentuknya
partikel virus baru yang
infeksius.
1. Penempelan
Interaksi virus-inang terjadi karena ada reseptor spesifik pada
permukaan sel inang untuk virus tersebut. Adanya reseptor spesifik ini
dapat menjelaskan mengapa suatu virus hanya menyerang ke suatu sel
tertentu. Pada HIV, gp120 pada virus akan mengenali CD4 pada sel
limfosit atau makrofag.
2. Penetrasi dan pelepasan bungkus
Penetrasi adalah proses masuknya partikel virus ke dalam sitoplasma.
Pelepasan bungkus adalah pemisahan genom virus dari kapsid atau
envelop. Penetrasi virus biasanya terjadi melalui endositosis dan
pelepasan bungkus terjadi di dalam vesikel endosom, tetapi bisa juga
melalui fusi antar envelop virus dengan membran sel inang. Pada
retrovirus, transkripsi balik oleh reverse transkriptase berlangsung setelah
terjadinya pelepasan bungkus.
3. Integrasi
DNA yang terbentuk pada proses transkripsi balik akan masuk ke
dalam nukleus melalui nuclear pore dan akan terintegrasi pada kromosom
inang dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi pada
kromosom inang disebut dengan provirus.
4. Tahap sintesis
Apabila sel inang yang mengandung provirus teraktivasi maka akan
terjadi proses transkripsi untuk menghasilkan materi genetik dan proses
translasi untuk menghasilkan prekursor enzim-enzim dan protein-protein
struktural buat virus-virus baru yang akan dihasilkan. Protein-protein yang
perlu diglikosilasi akan diproses di dalam retikulum endoplasma dan
badan golgi.
5. Assembly dan maturasi
Untuk virus yang berenvelop seperti HIV, protein envelop akan
terinkorporasi ke dalam membran sel, sementara RNA dan prekursor
protein lainnya akan diassembly di dekat membran sel tersebut.
Selanjutnya akan terjadi proses budding (pelepasan virus-virus baru) dan
dilanjutkan dengan proses maturasi dengan bantuan protease.
2.2.7 TRANSMISI INFEKSI HIV
Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga jalan utama,
yaitu secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama
mengandung, persalinan, dan menyusui), secara transeksual (homoseksual
maupun heteroseksual), dan secara horizontal yaitu kontak darah atau
produk darah yang terinfeksi). Di Indonesia kasus HIV yang paling sering
menular melalui hubungan seksual, penyalahgunaan jarum suntik, perinatal,
dan melalui transfusi darah (Depkes RI, 2013).
CD4 adalah target utama dari HIV begitu virus masuk ke dalam
tubuh, karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4
yaitu gp120. Gp120 HIV akan berinteraksi dengan protein kedua pada
permukaan sel, yaitu reseptor kemokin seperti CXCR4 dan CCR5 (Weber,
2001). Gp41 membantu fusi antara selubung virus dan membrane sel, dan
virus masuk ke dalam sel. HIV masuk ke dalam CD4 memerlukan reseptor
kemokin. T-cell-tropik strains HIV berikatan dengan CXCR4 dan
macropage- tropic strains berikatan dengan CCR5. Tahap selanjutnya, virus
RNA-dependent DNA polymerase akan mentranskripsi genom RNA kepada
DNA yang akan berintegrasi dengan sel DNA manusia yang dimediasi
enzim integrase. mRNA virus ditranskripsi dari DNA proviral oleh RNA
polymerase sel tubuh manusia dan ditranslasikan pada beberapa bentuk
poliprotein besar (Levinson, 2008).
Sel T yang telah terinfeksi HIV akan berada dalam kelenjar getah
bening sehingga mencapai ambang replikasi dalam waktu 2-6 minggu dan
menjadi viremia. Proses ini disebut infeksi Primer dan puncak viremia akan
menurun secara spontan setelah 2-4 minggu, hal ini disebabkan karena
respon imun primer terhadap HIV. Plasma viremia dapat di tekan setelah
serokonversi namun virus.
HIV masih terdapat dalam tubuh dan genom HIV bisa ditemukan
dalam sel T. Sel CD4 akan kembali ke tingkat dasar karena puncak viremia
berkurang tetapi lebih rendah dari yang terlihat pada saat pre-infeksi, tahap
ini disebut infeksi HIV kronik Asimptomatik. Masa laten infeki ini berlaku
selama 10 tahun (Weber, 2001).
CD4 menurun pada tahap asimptomatik, membuktikan bahwa virus
HIV membunuh sel CD4 melalui cara lisis (Weber, 2001). Kematian sel
yang telah terinfeksi oleh HIV juga disebabkan oleh limfosit CD8 sitotoksik.
Efektifitas sel T sitotoksik ini terbatas karena protein virus yaitu tat dan nef
akan mengurangi sintesa protein MHC kelas I. Infeksi sel limfosit dan
produksi HIV berjalan terus menerus (Levinson, 2008). Sel CD4 yang turun
terus menerus bisa menyebabkan immunosupresi yang menyebabkan
terjadinya infeksi oportunistik (Weber, 2001).
Pengobatan HIV harus seumur hidup dan sebelum memulai terapi ARV
perlu di lakukan pemeriksaan psikologi dengan tujuan untuk mengetahui
status mental dan menilai kesiapan menerima pengobatan jangka panjang
(Anonim, 2006).