Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

LP Cholangitis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN CHOLANGITIS


DI RUANG 19 RSUD SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH:
ZAKIYA ISNAINI FITRI
NIM. 1401100054

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIII KEPERAWATAN MALANG
2017
1

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA KLIEN DENGAN CHOLANGITIS
DI RUANG 19 RSUD SAIFUL ANWAR MALANG

A. ANATOMI FISIOLOGI
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang
terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai
fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung
nya buntu dari kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari
kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu
(Brunicardi, 2005).
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke
saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati
sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus.
1. DUKTUS SISTIKUS
Duktus sistikus merupakan lanjutan dari vesika fellea, terletak pada
porta hepatis yang mempunyai panjang kira-kira 3-4 cm. Pada porta
hepatis duktus sistikus mulai dari kollum vesika fellea, kemudian
berjalan ke postero-kaudal di sebelah kiri kollum vesika fellea. Lalu
bersatu dengan duktus hepatikus kommunis membentuk duktus
koledokus. Mukosa duktus ini berlipat-lipat terdiri dari 3-12 lipatan,
berbentuk spiral yang pada penampang longitudinal terlihat sebagai
valvula disebut valvula spiralis (Heisteri).
2. DUKTUS HEPATIKUS
Duktus hepatikus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister yang
bersatu membentuk duktus hepatikus komunis pada porta hepatis dekat
pada processus papillaris lobus kaudatus. Panjang duktus hepatikus
kommunis kurang lebih 3 cm terletak disebelah ventral arteri hepatika
propria dexter dan ramus dexter vena portae. Bersatu dengan duktus
sistikus menjadi duktus koledokus
3. DUKTUS KOLEDOKUS
Duktus koledokus mempunyai panjang kira kira 7 cm dibentuk oleh
persatuan duktus sistikus dengan duktus hepatikus kommunis pada
porta hepatis, dimana dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi tiga
bagian.
Pada kaput pankreas duktus koledokus bersatu dengan duktus
pankreatikus wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada
2

dinding posterior pars desenden duodeni membentuk suatu benjolan ke


dalam lumen disebut papilla duodeni major.

Gambar. 1. Anatomi saluran empedu

Gambar. 1. Anatomi saluran empedu

B. DEFINISI CHOLANGITIS
Kolangitis akut merupakan infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi
saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun dapat
pula ditimbulkan oleh neoplasma ataupun striktur.
Cholangitis merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier, yang
bervariasi tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri
sampai berat dan dapat mengancam nyawa.
Kolangitis adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu
yang tersumbat baik secara parsial atau total; sumbatan dapat disebabkan
oleh penyebab dari dalam lumen saluran empedu misalnya batu
koledokus, askaris yang memasuki duktus koledokus atau dari luar lumen
misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus koledokus, atau
dari dinding saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur
saluran empedu.

C. ETIOLOGI CHOLANGITIS
3

Tumor yang bersifat obstruktif dapat menyebabkan cholangitis. Obstruksi


parsial berhubungan dengan peningkatan tingkat infeksi dibandingkan
dengan obstruksi neoplastik total. Tumor-tumor yang dapat menyebabkan
cholangitis adalah:
a. Kanker pancreas
b. Cholangiocarcinoma
c. Kanker ampulla vateri
d. Tumor porta hepatis atau metastasis
Penyebab lain yang dapat menimbulkan cholangitis adalah:
a. Kolangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang
semuanya akan berakhir dengan statis aliran empedu dan akhirnya
terjadi infeksi
b. Choledocholitiasis
c. Striktur bilier sistem
d. Neoplasma pada sistem bilier
e. Parasit cacing Ascaris
f. Pankreatitis kronis
g. Tumor pankreas
h. HIV/AIDS

D. MANIFESTASI KLINIS CHOLANGITIS


a. Penyakit ini biasanya dimulai secara bertahap dengan kelelahan yang
amat sangat, gatal-gatal dan jaudince.
b. Seringkali didapatkan nyeri hebat di epigastrium atau perut kanan atas
karena adanya batu koledokus. Nyeri ini bersifat kolik, menjalar ke
belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan
c. Terdapat pembesaran hati dan limpa, atau gejala-gejala sirosis.
d. Bisa juga terjadi hipertensi portal, asites dan kegagalan hati, yang bisa
berakibat fatal.
e. Pada sebagian kecil kasus ini tidak didapatkan ikterus, hal ini dapat
diterangkan karena batu di dalam duktus koledokus tersebut masih
mudah bergerak sehingga kadang-kadang aliran cairan empedu lancar,
sehingga bilirubin normal atau sedikit saja meningkat
f. Kadang-kadang tidak jelas adanya demam, tetapi ditemukan lekositosis.
g. Fungsi hati menunjukkan tanda-tanda obstruksi yakni peningkatan yang
menyolok dari GGT atau fosfatase alkali. SGOT/SGPT dapat meningkat,
pada beberapa pasien bahkan dapat meningkat secara menyerupai
menyerupai hepatitis virus akut.

E. PATOFISIOLOGI CHOLANGITIS
Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah
obstruksi saluran bilier, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi
saluran empedu. Saluran bilier yang terkolonisasi oleh bakteri namun tidak
mengalami pada umumnya tidak akan menimbulkan cholangitis. Saat ini
4

dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier menurunkan pertahanan


antibakteri dari inang. Walaupun mekanisme sejatinya masih belum jelas,
dipercaya bahwa bakteria memperoleh akses menuju saluran bilier secara
retrograd melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta. Sebagai
hasilnya, infeksi akan naik menuju ductus hepaticus, menimbulkan infeksi
yang serius. Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju
kanalikuli bilier, vena hepatica, dan saluran limfatik perihepatik, yang akan
menimbulkan bacteriemia (25%-40%). Infeksi dapat bersifat supuratif
pada saluran bilier.
Saluran bilier pada keadaan normal bersifat steril. Keberadaan batu
pada kandung empedu (cholecystolithiasis) atau pada ductus choledochus
(choledocholithiasis) meningkatkan insidensi bactibilia. Organisme paling
umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah Escherischia coli (27%),
Spesies Klebsiella (16%), Spesies Enterococcus (15%), Spesies
Streptococcus (8%), Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas
aeruginosa (7%). Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama
dengan yang ditemukan dalam empedu. Patogen tersering yang dapat
diisolasi dalam kultur darah adalah E coli (59%), spesies Klebsiella (16%),
Pseudomonas aeruginosa (5%) dan spesies Enterococcus (4%). Sebagai
tambahan, infeksi polimikrobial sering ditemukan pada kultur empedu (30-
87%) namun lebih jarang terdapat pada kultur darah (6-16%).
Saluran empedu hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran
empedu tetap steril karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan
keberadaan substansi antibakteri seberti immunoglobulin. Hambatan
mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi kontaminasi bakteri.
Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan cholangitis
secara klinis; kombinasi dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi
bilier diperlukan bagi terbentuknya cholangitis.
Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada keadaan
bactibilia dan tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan nodus
limfatikus perihepatik bersifat steril, namun apabila terdapat obstruksi
parsial atau total, tekanan intrabilier akan meningkat sampai 18-29 cm
H2O, dan organisme akan muncul secara cepat pada darah dan limfa.
Demam dan menggigil yang timbul pada cholangitis merupakan hasil dari
bacteremia sistemik yang ditimbulkan oleh refluks cholangiovenososus
dan cholangiolimfatik.
Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah choledocholithiasis,
striktur jinak, striktur anastomosis bilier-enterik, dan cholangiocarcinoma
5

atau karsinoma periampuler. Sebelum tahun 1980-an batu


choledocholithiasis merupakan 80% penyebab kasus cholangitis yang
tercatat.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAN PENUNJANG


a. Laboratorium darah
Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada
sebagian besar pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi
13.000. Lekopeni atau trombositopenia kadang kadang dapat
ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar penderita
mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin yang
tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali
fosfatase dan transaminase serum juga meningkat yang
menggambarkan proses kolestatik (Shojamanes, 2006)
b. Foto polos abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto
polos abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya
sekitar 15% batu saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi
dengan gambaran radioopak yang dapat dilihat. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar hidrops, kandung empedu
kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatika
c. Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau edema karena peradangan
maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal
kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus. Dengan
ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai
dengan gaya gravitasi (Brunicardi, 2005)
d. CT Scan
Ct Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis
batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan
pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan
sekitar 70-90 persen.
e. ERCP
6

Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang


menggunakan lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro
intestinal. Endoscope Retrograde Cholangiopancreotography (ERCP)
dapat lebih akurat menentukan penyebab dan letak sumbatan serta
keuntungannya juga dapat mengobati penyebab obstruksi dengan
mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.
f. Skintigrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi
hati dan kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan
sensitifitas dan spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun test ini
paling bagus untuk melihat duktus empedu dan duktus sistikus, namun
skintigrafi bilier tidak dapat mengidentifikasi batu saluran empedu atau
hanya dapat memberikan informasi sesuai dengan letak anatominya.
Agent yang digunakan untuk melakukan test skintigrafi adalah derivat
99m
asam iminodiasetik dengan label Tc.
g. Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier
melalui prinsip kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat
memberikan informasi yang lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral
selama 12-16 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras tadi
diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan di ekskresi
ke dalam empedu dan dikirim ke kandung empedu.
h. Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien
dengan kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan
untuk menentukan patologi biliaris dan penyebab obstruksi saluran
empedu sebelum terapi definitif. Jadi, kolangiografi jarang diperlukan
pada awal perjalanan kolangitis dan dengan demikian harus ditunda
sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah pasien yang
datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap
antibiotik saja. Pada kasus tersebut, kolangiografi segera mungkin
diperlukan untuk menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi retrograd
endoskopik ataupun kolangiografi transhepatik perkutan dapat
digunakan untuk menentukan anatomi atau patologi billiaris. Tetapi,
kedua teknik tersebut dapat menyebabkan kolangitis pada sekitar 5
persen pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik yang tepat
harus diberikan sebelum instrumentasi pada semua kasus.
7

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Konservatif
Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal
adalah konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi
dan perlindungan antiobiok dimulai. Pasien yang sakit ringan dapat
diterapi sebagai pasien rawat dengan antibiotik oral. Dengan kolangitis
supuratif dan syok septik mungkin memerlukan terapi di unit perawatan
insentif dengan monitoring invasif dan dukungan vasopresor.
Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus
mencerminkan bakteriologi yang diduga. Secara historis, kombinasi
aminoglikosida dan penicillin telah dianjurkan. Kombinasi ini adalah
pilihan yang sangat baik untuk melawan basil gram negatif yang sering
ditemukan dan memberikan antivitas sinergistik melawan enterokokus.
Penambahan metronidazole atau clindamycin memberikan perlindungan
antibakterial terhadap anaerob bakteroides fragilis, jadi melengkapi
perlindungan antibiotik. Perlindungan antibiotik jelas diubah jika hasil
biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia.
Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan
antibiotik untuk terapi kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat
dalam empedu. Secara teoritis antibiotik saluran biliaris yang ideal
harus merupakan antibiotik yang bukan saja mencakup organisme yang
ditemukan dengan infeksi saluran biliaris, tetapi juga yang dieksresikan
dalam konsentrasi tinggi ke dalam cairan empedu.
b. Dekompresi Biliaris
Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akan
berespon terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam
menghilang dan tes fungsi hati kembali ke normal seringkali dalam 24
sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan atau malahan
memburuk dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris
darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi
biliaris segera paling baik dilakukan secara non operatif baik dengan
jalur endoskopik maupun perkutan. Yaitu:
Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau
malah semakin buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik,
untuk pengaliran empedu dan nanah serta membersihkan duktus
koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier. Apabila batu
duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm,
sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini.
Pada penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih dahulu
8

Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin
berhasil pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita
dengan pengobatan selama satu sampai dua tahun. Lisis kontak
melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metil
eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi
invasif walaupun kerap disertai dengan penyulit

H. KOMPLIKASI YANG DAPAT TERJADI


Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat tinggi
(kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut:
a. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini
pada anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan
pada orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran empedu seperti
kolangitis. Infeksi pada saluran empedu intrahepatik menyebabkan
kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses
multiple.
b. Bakteremia, sepsis bakteri gram negatif
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%).
Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi
utama penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam
merupakan keluhan utama sekitar 10-15% (Josh, 2006).
c. Peritonitis sistem bilier
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan
peritonitis. Jika empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan
peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal.
d. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan
kolesistektomi atau pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai
dengan anatominya. Kesalahan yang sangat fatal adalah tidak
mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.

I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian
Identitas
Keluhan utama
Pada penderita kolangitis, klien mengeluh nyeri perut kanan atas
nyeri tidak menjalar /menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan
nyeri seperti ditusuk tusuk
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit dahulu
9

Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu contohnya riwayat


dari keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis, seperti
:
- Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
- Pasca cholecystectomy
- Manipulasi endoskopik atau ERCP cholangiogram
- Riwayat cholangitis sebelumnya
- Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids
memliki cirri edema bilier ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi
bilier
Riwayat penyakit sekarang
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak
memiliki gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh
nyeri abdomen kuadran lateral atas. Gejala lain yang dapat terjadi
meliputi: jaundice, demam, menggigil dan kekakuan, nyeri
abdomen tinja yang acholis.
Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti
diabetes mellitus, hipertensi, anemia.
Pemeriksaan fisik
System pernafasan
Inspeksi : dada tampak, pernafasan dangkal klien tampak gelisah
Palpasi : vocal vremitus teraba merata
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)
System kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaphoresis
System neurologi
Tidak terdapat gangguan pada system neurologi
Sistem pencernaan
Inspeksi : tampak ad distensi abdomen diperut kanan atas klien
mengeluh mual muntah
Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan
atas nyeri tekan epigastrium
System eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat
System integument
Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal
System musculoskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP
b. Diagnose keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi
3. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen
5. Dehidrasi berhubungan dengan mual muntah
c. Intervensi keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
10

Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam nyeri


berkurang
Kriteria hasil :
- Keadaan umum normal pasien tampak nyaman
- Nyeri berkurang pasien tampak rileks ditunjukkan dengan skala
nyeri 1-3
- Pasien melakukan managemen nyeri saat nyeri kembali datang
- TTV dalam batas normal
Intervensi :
1) BHSP
R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses
keperwatan
2) Observasi, catat lokasi dan skala nyeri dan karakter nyeri
R/ membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan
informasi tentang kemajuan / perbaikan penyakit
3) Anjurkan pasien dalam posisi nyaman
R/ pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra abdomen
4) Anjurkan managemen nyeri distraksi relaksasi nafas dalam
R/ untuk melakukan koping pasien terhadap nyeri
5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic
R/ untuk mengatasi nyeri
6) Observasi tanda tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
7) Kaji respon pasien
R/ wajah menunjukkan perasaan yang dirasakan klien
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam
suhu tubuh kembali normal
Kriteria hasil :
- Suhu tubuh kembali normal pasien nyaman
- Tanda vital dalam bats normal
- Pasien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi suhu tubuh
Intervensi :
1) BHSP
R/ dengan hubunga saling percaya mempermudah proses
keperawatan
2) Observasi tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3) Anjurkan menggunakan pakaian tipis dan minum air putih
R/ menggunakan pakaian tipis dan minum air putih yang bnaya
dapat menurunkan panas
11

4) Anjurkan untuk melakukan kompres dingin pada daerah dada dan


ketiak
R/ kompres dapat membantu menurunkan panas
5) Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
R/ antripiretik unutk menurunkan suhu
6) Kaji respon pasien
R/ wajah dapat menggambarkan apa yang dirasakan klien

3. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah


Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam
keseimbangan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
- Asupan nutrisi kembali seimbang
- Pasien menunjukkan energy yang adekuat
- TTV dalam batas normal
- Mual muntah berkurang
Intervensi :
1) BHSP
R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses
keperawatan
2) Observasi tanda tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3) Anjurkan untuk makan sedikit tapi sering
R/ untuk mencegah mual muntah
4) Berkolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian program diet
R/ setiap pasien mempunyai diet yang berbeda
5) Monitoring asupan gizi pasien
R/ mengetahui perkembangan nutrisi pasien
6) Kaji respon pasien
R/ menggambarkan apa yang dirasakan pasien

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen


Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam
pasien dapat tidur dengan nyaman
Kriteria hasil :
- Klien dapat tidur dengan nyaman
- TTV dalam batas normal
- Klien tidak pucat
- Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi :
1) BHSP
12

R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses


keperawatan
2) Observasi tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3) Anjurkan untuk mengatur posisi nyaman
R/ dengan posisi nyaman dapat membantu tidur
4) Anjurkan untuk relaksasi nafas dalam
R/ untuk merilekskan tubuh
5) Kaji respon pasien
13

DAFTAR PUSTAKA

Luhulima, JW. 2001. Abdomen, Anatomi II, Bagian Antomi FKUH. Makassar.

Wim, DJ. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Barbara Engram . 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Jilid


I. Jakarta: EGC.

CM Townsend, RD Beauchamp et al. 2004. Sabiston Textbook of Surgery,


Biological basis of modern surgical practice, 17th Ed, Elsevier-Saunders.

Marylin E. Doenges (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai