Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Ushul Fiqh Kel 1

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 19

MAKALAH USHUL FIQH

Sejarah perkembangan dan pembukuan Ushul Fiqh

Dosen Pengampu:
Drs, H. Henderi kusmidi, M.H.I

Disusun oleh:
Elsa Tri Wulan Ningrum (2323420018)
Ewang Kardiansyah (2323420019)

PROGRAM STUDI ILMU QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS


USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
FATMAWATI SOEKARNO BENGKULU
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirraahiim

Alhamduillah puji syukur tak lupa kita ucapkan kepada Allah SWT karena dengan lim
pahan rahmat dan kuasaNya sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk dapat menghad
iri majelis ilmu yang insyaAllah diridhoi olehNya, kemudian atas izinnya pula kami dapat me
yelesaikan makalah ini dengan tema Sejarah perkembangan dan pembukuan ushul fiqh.
Kemudian sehubungan dengan itu pula kami juga mengucapkan terimakasih kepada d
osen pengajar mata kuliah dasar-dasar Pendidikan yakni Drs, H. Henderi kusmidi,M.H.I ya
ng telah mempercayai kami untuk membuat makalah dengan tema tersebut. Kami menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu kami
selaku pembuat makalah ini mengharapkan kritik dan saran dari dosen mata kuliah Bahasa Ar
ab serta teman teman yang menghadiri pemaparan makalah kami ini.
Kami berharap dengan adanya pembuatan makalah ini dapat menjadikan teman teman
semua mengerti tentang tema yang kami bahas ini dan dapat menjadi manfaat untuk kita sem
ua Amiin Ya Rabbal’alamin.

Bengkulu, Agustus 2024

Penulis

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

BAB I............................................................................................................................iv

PENDAHULUAN........................................................................................................iv

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH...............................................................

BAB II............................................................................................................................1

PEMBAHASAN..........................................................................................................VI

A. Sejarah Periodesasi perkembangan ushul fiqh.........................................1

B. Karakteristik periodesasi ushul fiqh...........................................................3

C Sejarah pembukuan ushul fiqh...................................................................7


BAB III.........................................................................................................................14

PENUTUP....................................................................................................................14

KESIMPULAN......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................15

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

iii
Hukum Islam menghadapi tantangan lebih serius, terutama pada abad kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai permasalahan baru yang berhubung an
dengan hukum Islam, para ahlinya sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang iki
h, hasil ijtihad di masa lampau. Alasannya, karena ternyata warisan ikih yang terdapat dalam
buku-buku klasik, bukan saja terbatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-masalah b
aru yang belum ada sebelumnya, melainkan juga di sana-sini mungkin terdapat pendapatpend
apat yang tidak atau kurang relevan dengan abad kemajuan ini. Oleh karena itu, umat Islam p
erlu mengadakan penyegaran kembali terhadap warisan ikih, dan yang paling penting lagi aga
r mampu menemukan rumusan-rumusan baru ikih dalam rangka memberikan jawaban terhad
ap masalah-masalah sekarang yang belum ada jawabannya dalam buku-buku ikih masa silam.
Dalam konteks ini, ijtihad menjadi suatu kemestian dan metode ijtihad mutlak harus dikuasai
oleh mereka yang akan melakukannya. Metode ijtihad itulah yang dikenal dengan ushul fiqh.1

Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, Ushul Fiqh tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat.
Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis
sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah SAW, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua
permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah SAW lewat penjelasan beliau
mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau SAW.

Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka
ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada
fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan
mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para
ulama ketika itu.
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada
masa Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan
juga semakin jelas beragam bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan
istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari
pada hadis ahad.

1
Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Kencana, 2005),

iv
B.Rumusan Masalah

1. Sejarah Periodesasi perkembangan ushul fiqh?


2. Karakteristik periodesasi ushul fiqh?
3. Sejarah pembukuan ushul fiqh?

C. Tujuan
1. Memahami Sejarah Periodesasi perkembangan ushul fiqh
2. Memahami Karakteristik periodesasi ushul fiqh
3. Memahami Sejarah pembukuan ushul fiqh

BAB II

v
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Periodesasi perkembangan ushu fiqh

1. Definisi Ushul Fiqh Dilihat dari Sisi Dua Kata yang Membentuknya
Untuk mendefinisikan ushul fiqh dari sisi ini lebih dahulu perlu mengetahui definis
i masing-masing dari dua kata yang membentuknya. Kemudian apa yang dimaksud dengan us
hul iqh dari sisi ini adalah gabungan dari dua pengertian tersebut. Ushul fiqh berasal dari bah
asa Arab ushul al fiqh yang terdiri dari dua kata, yaitu al ushul dan al fiqh. Masing-masing ka
ta itu mempunyai pengertian tersendiri.

a. Al-Ushul
Kata al ushul adalah jamak (plural) dari kata al ashl, menurut baha
sa berarti “landasan tempat membangun sesuatu” ( ‫(غره عليه يبى ما‬.
Menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, guru besa
r Universitas Damaskus, kata alashl mengandung beberapa penger
tian:
1. contohnya ,dalil Bermakna) ‫( الصل ى وجوب الصلوة الكتاب والسن‬dalil wajib s
halat adalah Al-Qur’an dan Sunnah).
2. Bermakna kaidah umum, yaitu satu ketentuuan yang bersifat umum yang berlaku
pada seluruh cakupannya, seperti di dibangun Islam ( ‫ بن اإسلم على مسة أصول‬:
contoh dalam atas lima kaidah umum).
3. Bermakna alrajih (yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan), seperti dalam co
ntoh: ‫ )القيقة الكلم ى الصل‬pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adala
h pengertian hakikatnya).
4. Bermakna asal tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari r
ukun qiyas. Misalnya, khamar merupakan asal (tempat meng-qiyas-kan) narotika
5. Bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah.
Misalnya, seseorang yang meyakini bahwa ia telah berwudhu, kemudian ia ragu
apakah wudhunya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan ikih mengatakan
‫ )الطهارة الصل‬yang diyakini adalah keadaan ia dalam keadaan berwudhu). Arti
nya, dalam hal tersebut yang dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu.

Demikianlah beberapa pengertian kata alashlu yang populer dalam literatur-literatur k


eislaman. Pengertian alashlu yang dimaksud, bila dihubungkan dengan kata fikih adalah peng

vi
ertian yang disebut pertama di atas, yaitu dengan makna al dalil. Dalam pengertian ini, maka
kata ushul al fiqh berarti dalil-dalil fikih, seperti Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’, qiyas,
dan lain-lain.

b. Al-fiqh
Kata kedua yang membentuk istilah ushul al fiqh adalah kata al fiqh. Kata al fiqh menurut ba
hasa berarti “pemahaman”. Contohnya, irman Allah dalam menceritakan sikap kaum Nabi Syu’aib dal
am ayat Mereka berkata:

“Hai Syu`aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kam
i benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami. … (QS. Hud 11:91).

Menurut istilah, al fiqh dalam pandangan az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat tent
ang deinisi fikih. Abu Hanifah mendeinisikannya sebagai “pengetahuan diri seseorang tentan
g apa yang menjadi haknya, dan apa yang menjadi kewajibannya” ( ‫عليها وما ال ما النفس‬
‫(معرفة‬, atau dengan kata lain, “pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan
apa yang merugikannya.” Deinisi yang diajukan Abu Hanifah ini sejalan dengan keadaan ilm
u pengetahuan keislaman di masanya, di mana belum ada pemilahan antara ilmu ikih dalam p
engertian yang lebih khusus dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Oleh sebab itu, sesuai deng
an pengertian ikih yang disebutkannya itu, istilah ikih mempunyai pengertian umum, mencak
up hukum yang berhubungan dengan akidah seperti kewajiban beriman dan sebagainya, ilmu
akhlak, dan hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia, seperti huku
m ibadah dan muamalah.

Setelah masa Abu Hanifah, masing-masing ilmu telah mengambil namanya tersendir
i sebagai satu disiplin ilmu. Maka ada yang disebut ilmu tauhid yang membahas masalah, ada
pula yang dikenal dengan ilmu akhlak atau ilmu tasawuf, dan ada pula yang disebut ilmu ikih
yang khusus membahas hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia.
Ketika masing-masing ilmu telah mempunyai disiplin ilmu tersendiri, maka kalangan pengik
ut Abu Hanifah (kalangan Hanaiyah) menambah kata ‘amalan di akhir deinisi tersebut, sehing
ga dengan itu deinisi ikih berarti: “pengetahuan diri seseorang tentang hak dan kewajibannya
dari segi amal perbuatan”. Dengan adanya tambahan tersebut, maka kata ikih tidak lagi menc
akup selain hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan.

Ulama yang datang kemudian, seperti Ibnu Subki dari ka langan Syai’iyah, mendeinisikannya
sebagai:

vii
“Pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari satu p
er satu dalilnya.”

Kata al’ilmu (pengetahuan) secara umum mencakup pengetahuan secara yakin dan pe
ngetahuan yang sampai ke tingkat zhan (perkiraan). Namun yang dimaksud dengan kata al’il
mu dalam deinisi tersebut ialah pengetahuan yang sampai ke tingkatan zhan atau asumsi. Fiki
h adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya sampai ke tingkatan zhan, karena dita
rik dari dalil-dalil yang dzanny. Bahwa hukum ikih itu adalah zhanny sejalan pula dengan kat
a almuktasab dalam deinisi tersebut yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian
adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam penarikannya dari Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang hukum Islam yang tidak dicampuri oleh akal
pikiran manusia, dalam ushul iqh tidak disebut sebagai ikih. Misalnya pengetahuan tentang k
ewajiban melaksanakan shalat lima waktu, kewajiban menunaikan zakat, dan haji. Hal-hal ya
ng sudah pasti seperti itu kekuatan hukumnya bersifat pasti (qath’i).

Demikianlah pengertian dari masing-masing kata tersebut. Seperti dikemukakan di ata


s, yang dimaksud dengan kata alashl di sini adalah dengan makna dalil. Atas dasar itu, istilah
ushul fiqh berarti dalil-dalil fikih, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, dan lain-lain. Nam
un pengertian seperti ini tidak populer dipakai dalam kajian ushul iqh.

B. Karekteristik periodesasi ushul fiqh


1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan yaitu. Ushul Fiqh Masa Rasulullah Saw.

Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan umat Is
lam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk agama Islam. Karena itu bany
ak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan kaida
h-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh, ya
ng menjadi penuntun dalam memahami nash.

Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan ushul f
iqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Musthafa Said al-Khin memberikan argume
ntasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasannya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pon
dasi, sedangkan fiqh merupakan bangunan yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah suda
h tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh. Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum a
danya fiqh.

viii
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan huku
m secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya diha
dapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat al-Qur’an atau mencari jawaban dari
Rasulullah Saw., maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah
punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari al-Qur’an atau bertanya ke
pada Rasulullah Saw. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai se
buah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masi
h perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.

Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergia
n, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu’. Keduany
a lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka me
nemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lai
n tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah Saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kep
ada yang tidak mengulang, Rasulullah Saw bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan s
halatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu’ dan mengulang shalatnya, Rasulullah sa
w. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”2

2. Pada masa sahabat

Meskipun kenyataan sejarahnya ikih sebagai produk ijtihad lebih dahulu dikenal dan
dibukukan dibandingkan dengan ushul iqh, namun menurut Muhammad Abu Zahrah, ushul iq
h dalam praktiknya telah muncul berbarengan dengan munculnya ikih. Alasannya, karena sec
ara metodologis, fikih tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbat, dan metode istinbat itul
ah sebagai inti dari ushul iqh. Fikih sebagai produk ijtihad mulai muncul pada masa sahabat.
Dalam melakukan ijtihad, kata Muhammad Abu Zahrah, secara praktis mereka telah menggu
nakan kaidah-kaidah ushul iqh meskipun belum dirumuskan dalam satu disiplin ilmu. Kema
mpuan mereka dalam bidang ini, di samping berakar dari bimbingan Rasulullah SAW, juga k
emampuan bahasa Arab mereka yang masih tinggi dan jernih. Mereka, khususnya yang kemu
dian terkenal banyak melakukan ijtihad di bidang hukum Islam, mengikuti langsung praktik-p
raktik tasyri’ (pembentukan hukum) dari Rasulullah SAW. Mereka adalah orang-orang yang d
ekat dengan Rasulullah SAW dan selalu menyertainya dan menyaksikan sendiri peristiwa-per
istiwa hukum yang dipecahkan Rasulullah, sehingga mereka tahu betul bagaimana cara mema

2
Ramli S,ag, Ushul fiqh, ( Yogyakarta: Citra kreasi sahabat,2021

ix
hami ayat dan dapat menangkap tujuan pembentukan hukumnya. Di samping itu, mereka adal
ah generasi yang masih bersih dan kuat kemampuan bahasa Arabnya sebagai bahasa Al-Qur’a
n. Hal itu semuanya membuat mereka mampu memahami teks-teks Al-Qur’an dan melakuka
n qiyas (analogi) sebagai metode pengembangan hukum lewat substansinya. Oleh karena itu,
seperti disimpulkan Khudari Bik, ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir, begitu Rasulullah waf
at mereka sudah siap untuk menghadapi perkembangan sosial yang mengehendaki pemecaha
n hukum dengan melakukan ijtihad meskipun kaidah-kaidah ushul iqh belum dirumuskan sec
ara tertulis. Dalam melakukan ijtihad, seperti disimpulkan Abd. al-Wahhab Abu Sulaiman, gu
ru besar ushul fiqh Universitas Ummul-Qura Mekkah, mula-mula mereka pelajari teks Al-Qu
r’an dan kemudian Sunnah Rasulullah. Jika hukumnya tidak ditemukan dalam dua sumber ter
sebut, mereka melakukan ijtihad, baik perorangan atau dengan mengumpulkan para sahabat u
ntuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan mereka di kenal dengan ijma’ sahabat. Di samping b
erijtihad dengan metode qiyas, mereka berijtihad dengan metode istishlah yang di dasarkan at
as maslahah mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak ada dalil secara khusus yang mendukun
g dan tidak pula ada yang menolak, namun mendukung pemeliharaan tujuan syariat. Misalny
a mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf (naskah Al-Qur’an).

Dengan demikian, menurut Abd. al-Wahhab Abu Sulaiman, para sahabat telah mempra
ktikkan ijma’, qiyas, dan istislah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah tidak d
i temukan secara tertulis dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Praktik ijtihad para sahabat dengan m
emakai metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang baru m
ulai berkembang waktu itu. Menurut Muhammad Abu Zahrah, ushul iqh yang dirumuskan ke
mudian berakar dan diramu dari praktik-praktik ijtihad para sahabat.

3. Masa tabi’in

Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar
kepada sahabat. Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas diseba
bkan bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. Ba
nyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan ber
ijtihad, antara lain Sa’id ibn al-Musayyab di Madinah dan Al-qamah ibn al-Qays serta Ibrahi
m al Nakha’i di Irak.

x
Metode istinbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istinbath sahabat. Hanya saj
a pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:

a. Pemalsuan hadits.

b. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Irak (ahl al-ra’yi) d
an kelompok Madinah (ahl al-hadits).

Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tab
i’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mer
eka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah memili
ki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa as
h shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.

4. Ushul Fiqh Masa Imam-imam Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i

Imam Abu Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi menjelaskan dasar-dasar isti
nbath-nya yaitu, berpegang kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegan
g pada Sunnah Rasulullah Saw. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapa
t yang disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu dari
pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat sahabat.
Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.

Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, dalam berijtihad mem
punyai metode yang cukup jelas, seperti tergambar dalam sikapnya dalam mempertahankan p
raktik penduduk Madinah sebagai sumber hukum.

Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah.
Ketika ada hadits Rasulullah Saw. diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beb
erapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madi
nah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madi
nah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari
Rasulullah Saw. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tida
k mungkin menyalahi ajaran Rasulullah Saw., yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.

Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam oran
g Mesir, yang isinya mengajak Imam Laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. A

xi
kan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan had
its, meskipun hadits itu ahad.

C.Sejarah pembukuan ushul fiqh

1. ushul Fiqh Masa Rasulullah

Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian dibanding
kan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya:
“Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?”tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demiki
an sama denganpertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor. Musthafa S
aid al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adal
ah bahwaushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas
pondasi.Karenaitulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh (Muhammad Sa
‘id al-Khinn,1994:122-123) Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh

sebelum adanya fiqh Jawaban demikian benar apabilaushul fiqhdilihat sebagai


metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Keti
ka seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari a
yat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai
metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum har
us dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan de
mikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah pr
ototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut
sebagai ilmuushul fiqh. Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada m
asa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-pe
rsoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat
dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama
dikemudian hari Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sah
abat bepergian, kemudian tiba lah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk
wudhu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan sh
alat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu men
gulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan
menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “En
gkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudhu dan

xii
mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”(Kisah di atas berasa
l dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’idari Abu Sa‘id al-Khudr
i).

Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan per


soalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum.
Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat d
engan wudhu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil
ijtihad dua sahabat tersebut. Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ad
a pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasul
ullah.

Suatu saat seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa i
bunya meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemu
dian berkata yang artinya: “Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah en
gkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah

berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”(H.R.al-Bayhaqi dari Ibn
u Abbas,Hadits dengan makna yang sama diriwayatkan oleh Muslim).

Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak me


njawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-k
an terhadap hutang piutang. Jadi,hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dun
ia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasa
r qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.

Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasululla
h. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemeca
han masalah praktis. Sama halnya seperti ketika orang Nusantara mempergunakan baha
sa Melayu pada abad XVII atau XVIII. Mereka mengerti bagaimana mengucapkan bah
asa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan dan pemahaman yang ada dalam otak m
ereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa Melayu, yang kemudian disempurnakan
menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru ditulis dan dirumuskan belakangan dari prakte
k orang Melayu berbahasa.

2. Tokoh-tokoh dan Karya-karya Besar Ushul Fiqh

xiii
Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa t
ersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi rujukan kita
b-kitab ushul fiqh di kemudian hari.Di antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada
abad ke-5 tersebut antara lain:

1.Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w.415H/1024M)

2.Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H1044M)

3.Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M)

4.Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w.456H/1062M)

5.Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083M)

6.Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)

7.Kitab Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w.490H/1096M).

Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagia
n hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu,kitab al-Mustashfa karya al-Ghazal
i dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad ke-5.

Di antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh peng
akuan sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya
di kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar, al Mu‘tamad karya Abu
Husayn al-Bashri,al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa karya al-Ghazali. Kitab-kita
b tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh terbaik. Empat kitab tersebut ke
mudian diringkas dan dijabarkan kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama
abad ke-7 Hijriyyah, seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan se
bagainya. Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul menge
nai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah, kaidah keb
ahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di semua kitab us
hul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi
dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam,dan tenta
ng huruf, yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul yang
lain.(Lihat Wael B. Hallaq,1997:127)

3. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh

xiv
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mand
eg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan us
hul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul
fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fukaha (Aliran Hanafiyah).
Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan se
bagai berikut:

 Aliran Mutakallimin

Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut b
isa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalanga
n Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsu
l karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam

fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi,Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi
dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli
ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir k
arya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan
dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi I
lmay al-Ushul wa al-Jadalkarya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam
fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi.

Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintasmadzhab . Ada penulis dari kalangan
Hanbali, seperti

1) Abu Ya’la (pengarang al-Uddah),

2) Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir),

3) Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan IbnuTaimiyyah be


serta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah),

4) Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah Dan Syarh Mukhtashar


al-Rawdlah).

Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti: Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Su
l) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa alJadal).Ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, sep
erti: Ibnu Hazmal-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam). Sebutan m
utakalliminadalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adala

xv
h orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak
memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli
Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun ter
masuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis b
uku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwayni,dipandang sebagai Syaikh a
l-Ushuliyyin.

 Aliran Hanafiyah
Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulam
a madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pen
gembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembanga
n ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Ha
nafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yan
g khas madzhab Hanafi.
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-
persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat
kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum Furu tersebut. Jadi, kaidah-
kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa
berubah dengan munculnya kasus- kasus hukum yang menuntut pemecahan huku
m yang lain. Karena itu,ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang n
yata.
Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dandirujuk. Ki
tab-kitabushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain: al-Fushul
fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai
pengantar Ahkam al-Quran.Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi K
anz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al
Bazdawi.Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushulal-Syarakhsi).

 Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh
aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan ad
alah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-Persoalan fiqh Persoala
n hukum yang dibahas imam-Imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang m
enjadi sandarannya.

xvi
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti k
alangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘
bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Us
hul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh M
udzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi.

Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam Ushul fiqh Sebenarnya
ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-Ushul dan aliran khusus sebag
ai aliran lain dalam ushul fiqh Aliran takhrij al-furu’‘ala al-Ushul dipandang berw
ujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab
Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karyaal-Isnawi al-Syafi‘i danTakhrij al-Furu’ ‘ala a
l-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran ya
ng mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti me
ngenai mashlahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwa
faqatatau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalamMaqashid al-Syariah.
.

4. Pembukuan ushul fiqh

Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Imam Muhammad bin Idris al-Sya
i’i (150-204 H) tampil berperan dalam meramu, menyistematisasi dan membukukan ushul iqh.
Upaya pembukuan ushul iqh ini, seperti disimpulkan Abd.

al-Wahhab Abu Sulaiman, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman


di masa itu. Perkembangan pesat ilmu ilmu keislaman dimulai dari masa Harun al-Rasyid (14
5-193 H), khalifah kelima Dinasti Abbasiyah yang memerintah selama 23 tahun (170-193 H)
dan dilanjutkan dalam perkembangan yang lebih pesat lagi pada masa putranya bernama al-M
a’mun (170-218H), khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun (198-218 H).

Pada masa ini ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan keislaman, bah
kan dikenal sebagai masa keemas an Islam. Dengan didirikannya BaitulHikmah, yaitu sebuah
perpustakaan terbesar di masanya, kota Baghdad menjadi me nara ilmu yang didatangi dari b
erbagai penjuru wilayah Islam. Lembaga ini, di samping sebagai perpustakaan juga berfungsi
sebagai balai penerjemah buku-buku yang berasal dari Yunani ke dalam bahasa Arab. Perkem

xvii
bangan pesat ilmu-ilmu keis laman ini, secara disiplin ilmu mengehendaki adanya pemisah an
antara satu bidang ilmu dan bidang yang lain.

Dalam suasana pesatnya perkembangan ilmu-ilmu keis laman tersebut, ushul iqh mun
cul menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Sebagai ulama yang datang kemudian, Imam Syai’i
banyak mengetahui tentang metodologi istinbat para imam mujtahid sebelumnya, seperti Ima
m Abu Hanifah, Imam Ma lik, dan metode istinbat para sahabat, dan mengetahui di mana kel
emahan dan di mana keunggulannya.

Ushul fiqh dirumus kannya di samping untuk mewujudkan metode istinbat yang jelas
dan dapat dipedomani oleh peminat hukum Islam, juga dengan itu ia membangun mazhab iki
hnya serta ia ukur ke benaran hasil ijtihad di masa sebelumnya. Maka oleh Imam Syai’i disus
unlah sebuah buku yang diberinya judul AlKitab, dan kemudian dikenal dengan sebutan Al-R
isalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal demikian karena buku itu pada mulanya merupaka
n lembaran-lembaran surat yang dikirimkannya kepada ‘Abdurrahman al-Mahdi (w.198 H), s
eorang pembesar dan ahli Hadis ketika itu. Munculnya buku AlRisalah merupakan fase awal
dari perkembangan ushul iqh sebagai satu disiplin ilmu. Secara umum pembicaraan dalam bu
ku ini berkisar pada landasan-landasan pembentukan ikih, yaitu Al-Qur’an, Sun nah Rasulull
ah, ijma’, fatwa sahabat, dan qiyas.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Ushul fiqh mempunyai pengertian sebagai ilmu yang menjelaskan kepada Mujtahid te
ntang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil hukum-hukum dari nash dan dari da
lil-dalil lain yang disandarkan kepada nash itu sendiri seperti Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, I
jma’, Qiyas, dan lain-lain.

Objek Kajian Ushul Fiqh membahas tentang hukum syara’, tentang sumber-sumber da
lil hukum, tentang cara mengistinbathkan hukum dan sumber-sumber dalil itu serta pembahas

xviii
an tentang ijtihad dengan tujuan mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseor
ang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat dan lain-lain.

Ruang lingkup ushul fiqhyang dibahassecara global adalah sebagai sumber dan dalil
hukum dengan berbagai permasalahannya, bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil huku
m tersebut dan lain lain.

Perbedaan antara ilmu fiqh dengan ilmu ushul Fiqh adalah kalau ilmu fiqh berbicara te
ntang hukum dari suatu perbuatan, sedangkan ilmu ushul fiqh berbicara tentang metode dan p
roses bagaimanamenemukan hukum itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafin
do Persada, 2000
Arifin, Miftahul dan Haq, A. Faisal, Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, Ce
t. I, Surabaya: Citra Media, 1997.
al-Baidawi, ‘Abdullah bin Umar bin Muhammad. Minhaj al-Wu sul i ‘Ilm al-Ushul. Kairo:
Matba’ah Muhammad ‘Ali Subeih wa Awladuhu, t.th
al-Buti, Muhammad Sa’id Ramadan. 1977. Mabahis al-Kitab wa al-Sunnah. Beirut: Muassas
ah al-Risalah.
JurnalAt-Tafkir Vol. XI No. 2 Desember 2018
A. Hanafie, Ushul Fiqh, cetakan Ke-3, Jakarta: Widjaya, 1963.
Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.

xix

You might also like