RASIONALISASI TAFSIR AYAT-AYAT MUKJIZAT
Kajian Tafsir The Holy Qur’an Maulana Muhammad Ali
M. Syukri Ismail
1
Abstrak
Alquran telah menghasilkan kitab tafsir yang jumlahnya banyak sekali,
setiap mufassir memiliki corak dan metode masing-masing dalam
memahami ayat-ayat Alquran, Sehingga produk setiap kitab tafsir
berbeda dengan dengan kitab tafsir yang lainnya. Maulana Muhammad
Ali mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan metode
yang berbeda dari para mufassir sebelumnya, yaitu lebih rasional,
terutama ketika menafsirkan ayat-ayat yang Mutasya>bih. Walaupun
sebelumnya telah ada para mufassir yang menafsirkan Alquran dengan
rasional, seperti gurunya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, namun
Maulana Muhammad Ali lebih rasional bahkan lebih rasional dari
Muktazilah. Disini penulis mencoba untuk mengkaji penfasiran
Maulana Muhammad Ali dalam kitab tafsirnya The Holy Qur’an.
Penelitian ini menggunakan Library Research yaitu dengan mengkaji
penafsiran Maulana Muhammad Ali dalam kitab tafsirnya. Penulis juga
membandingkan dengan para mufassir sebelumnya dan sesudahnya
sehingga mendapatkan gambaran secara utuh bagimana metode yang
dibangun oleh Maulana Muhammad Ali dalam menafsirkan ayat-ayat
Alquran, apakah lebih rasional dari Muktazilah atau sama seperti
penafsiran yang telah dibangun oleh mufassir sebelumnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Maulana Muhammad Ali lebih rasional
ketika menafsirkan ayat-ayat mukjizat dibandingkan dengan penafsir
lainnya.
Kata kunci : Rasionalisasi, Mukjizat, The Holy Qur’an, Tafsir,
Muktazilah.
1
Dosen STAI YASNI Muara Bungo. E-mail : msyukri_ismail@yahoo.com.
Rasionalisasi Tafsir Ayat-Ayat Mukjizat
A. Pendahuluan
Kajian dalam penelitian ini berawal dari prinsip penafsiran
kesembilan Sir Ahmad Khan2 (1817-1898) terhadap Alquran. Dikatakan
bahwa tidak ada sesuatupun dalam Alquran sebagai firman Tuhan
(saying of God) yang bertentangan dengan ciptaan Tuhan (creation of
God). Karena Alquran sebagai firman Tuhan tidak mungkin menyalahi
hukum alam sebagai ciptaan-Nya. Keselarasan keduanya bersifat
esensial. Jika firman Tuhan bertentangan dengan ciptaan-Nya, maka
Alquran tidak layak disebut firman Tuhan yang suci.
Prinsip penafsiran Ahmad Khan ini menghantarkannnya pada
satu kesimpulan bahwa tidak satupun dalam Alquran yang bertentangan
dengan hukum alam dan akal. Dengan prinsip ini, Ahmad Khan telah
menolak hal-hal yang bersifat supranatural dalam Alquran seperti
penjelasan mengenai mukjizat para nabi tidak terkecuali mukjizat Nabi
2
Sir Ahmad Khan adalah seorang penafsir yang unik dan menarik untuk
dikaji. Prinsip-prinsip penafsirannya yang tertuang dalam bukunya al-Tahri>r fi> Ushu>l
al-Tafsi>r yang diselesaikan pada tahun 1892 membuka ranah baru bagi gerakan
penafsiran Alquran. Ignaz Goldziher mengatakan bahwa ada lima kecenderung
panafsiran; 1) penafsiran dengan bantuan hadits dan para sahabat Nabi 2)penafsiran
dogmatic 3) penafsiran mistik 4) penafsiran sectarian dan 5) penafsiran modernis.
Tipologi Goldziher memposisikan Sir Ahmad Khan sebagai seorang penafsir modern,
lebih jauh Baljon mengatakan bahwa Sir Ahmad Khan adalah penggagas tafsir modern,
karena secara kronologis, tafsir Sir Ahmad Khan jauh telah muncul dalam khazanah
tafsir sebelum Tafsir al-Mana>r pada tahun 1900. Taufik Adnan Amal. Sir Ahmad Khan
Bapak Tafsir Modernis (Jakarta: Teraju,2004), ix.
Azyumardi Azra mengemukakan bahwa rumusan neo-modernisme yang
dibangun oleh Ahmad Khan banyak diilhami oleh pemikiran rasionalistik Syah Wali
Allah (Quthb Al-Din Ahmad Syah Wali Allah ibn Abd Rahim Al-Dihlawi (1114-1176
H/ 1702-1762 M). Doktrin yang kembangkan oleh Syah Wali Allah adalah
keteguhannya dalam berprinsip tentang keunggulan akal dan urgensinya berijtihad. Dia
menolak keras dan mengecam orang-orang yang mengatakan bahwa aturan-aturan
syariat tidak mempunyai pijakan rasional. Dengan pemikiran itu, ia dituduh oleh
sebagian kalangan sebagai seorang pengembang neo Muktazilah. Lihat Azyumardi
Azra Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
(Bandung: Penerbit Mizan.1994), 144
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
2
M. Syukri Ismail
Muhammad saw. Pada akhirnya, Sir Ahmad Khan mengadopsi pendapat
Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa antara kebenaran menurut akal (alm’aqu>l) tidak boleh bertentangan dengan kebenaran menurut wahyu (almanqu>l). Jika keduanya terjadi kontradiksi, maka wahyu harus dipahami
secara metaforis.3
Senada dengan pemahaman Sir Ahmad Khan adalah Rasyid
Ridha (1865-1935), mengatakan bahwa Alquran tidak akan pernah
bertentangan dengan akal sehingga dengan tegas ia mengingkari semua
mukjizat Nabi Muhammad saw kecuali Alquran.4 Ia menolak hadishadis -sekalipun shahih yang menjelaskan tentang mukjizat Nabi
Muhammad saw selain Alquran. Penolakan itu disebabkan karena
mukjizat selain Alquran tidak sesuai dengan akal dan kalaupun ia
menerima hadis yang menjelaskan tentang mukjizat, maka ia akan
menafsirkan melalui takwil5 sehingga bisa selaras dengan akal.6
Sebetulnya, genetik pemikiran Rasyid Ridha (1865-1935)
tentang mukjizat berakar pada pemikiran gurunya, Muhammad Abduh
(1849-1905), yaitu memberikan keleluasaan menggunakan akal (alra’yu) dalam menafsirkan teks (al-wahyi). Muhammad Abduh
3
Taufik Adnan Amal, Sir Ahmad Khan Bapak Tafsir Modernis (Jakarta:
Teraju, 2004), 97
4
Muhammad Ali ‘Iya>zi, Al-Mufassiri>n; Haya>tuhum wa Mana>hijuhum (Mesir:
muassisha, tt), 72
5
Penggunaan kata takwil sudah dikenal sejak masa nabi Muhammad saw. Hal
ini biasa dilihat ketika beliau mendoakan Ibnu Abbas agar diberikan pemahaman
dalam urusan agama. Lihat al-Bukha>ri, al-Ja>mi al-S{ahi>h al-Bukha>ri, tahqiq al-Musthafa>
Di>b, (Beiru>t; Da>r Ibnu Kathi>r, 1987), cet. III, Juz I, 66. Sementara pemaknaan takwil,
pada era klasik masih sama dengan makna tafsir, lihat misalnya dalam tafsir Ibnu Jari>r
al-T{abari, kemudian kedua istilah yaitu takwil dan tafsir pada perkembangan
selanjutnya mempunyai makna yang berbeda. Al-Ra>ghib al-As}fahani berpandangan
bahwa tafsir lebih umum daripada takwil, yaitu tafsir lebih menitik beratkan pada
lahiriyah lafadh dan mufradatnya, sementara takwil adalah lebih menekankan pada sisi
batiniyah; makna dan kalimatnya. Al-Zarqa>ni, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qura>n (Beirut: alMaktabah al-‘As}riyah, 1972), Jilid II, 167
6
‘Abdul Qa>dir Muhammad S{a>lih, Al-Tafsi>r wa al- Mufassiru>n fi> al- ‘As}r alH{adi>th (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 2003), 323.
3
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
Rasionalisasi Tafsir Ayat-Ayat Mukjizat
mengemukakan bahwa dalam menyikapi ayat-ayat yang mutasya>bih,
ulama tafsir terbagi menjadi dua kelompok; pertama adalah mereka
yang menafsirkannya dengan cara menakwilkannya sehingga selaras
dengan akal (al-ma’qu>l). Sementara kelompok kedua adalah para ulama
yang mendiamkannya (al-mauqu>f). Muhammad Abduh, lebih cenderung
memilih pada kelompok yang pertama. Hal ini bisa dilihat dalam
pendapatnya tentang malaikat, mukjizat dan kejadiaan-kejadian luar
biasa lainnya yang diceritakan dalam Alquran7
Dalam hal ini, Maulana Muhammad Ali (1876-1951), seorang tokoh
dan pendiri Ahmadiyah Lahore tidak berbeda jauh dengan pola penafsiran
Ahmad Khan, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha8, yaitu memberi ruang
gerak yang dominan terhadap akal sehingga mengalahkan wahyu. Muhammad
Ali berperinsip bahwa mukjizat yang terjadi pada para nabi bukanlah sesuatu
yang luar biasa dan suprasional akan tetapi merupakan hal yang rasional.
Mukjizat dalam pengertian sesuatu yang luar biasa adalah bertentangan dengan
akal manusia sehingga mustahil terjadi.9
Berdasarkan dari beberapa penjelasan diatas, penulis tertarik untuk
mengelaborasi secara mendalam dan kritis metodologi panafsiran Maulana
Muhammad Ali dan pandangannya tentang mukjizat yang cenderung rasional
dibandingkan dengan para mufassir sebelumnya.
7
Quraish Shihab. Rasionalitas Alquran; Studi Kritis terhadap Tafsir al-Manar
(Jakarta: Lentera Hati. 2007), 266.
8
Harun Nasution mengatakan bahwa paham Muktazilah pada abad
kesembilan belas telah dihidupkan kembali oleh para pemikir Islam, diantaranya oleh
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, sementara di benua India
diwakili oleh Sir Ahmad Khan. Dan selanjutnya paham ini dilanjutkan oleh ‘muridmurid’ mereka, yaitu Ahmad Amin dalam buku Fajr al- Isla>m dan D{uha> al- Isla>m, Dr.
Ali Sami al Nashar dalam buku Nasy`ah al- Fikri al-Falsafi fi> al-Isla>m, Syaikh
Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Al- Madha>hib al-Isla>miyah dan Syaikh Ali
Musthafa> al-Ghurabi dalam bukunya Ta>ri>kh al-Firaq al-Isla>miyah. Harun Nasution
Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UPI. 2002), 39.
9
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam (USA: Ahmadiyah
Anjuman Ish’at Islam Lahore inc. 1990), 181
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
4
M. Syukri Ismail
B. Pembahasan
Penafsiran Maulana Muhammad Ali ini berbeda jauh dengan pendapat
Quraish Shihab (1944-.....) tentang mukjizat, ia mengatakan bahwa mukjizat
sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, ialah peristiwa “luar biasa”
yang terjadi dari seseorang yang mengaku Nabi sebagai bukti kenabiannya,
sebagai tantangan terhadap orang yang meragukannya, dan orang yang
ditantang tidak mampu untuk menandingi kehebatan mukjizat tersebut.
Pengertian peristiwa yang luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar
jangkauan sebab dan akibat yang lumrah terjadi atau yang umum dalam
pandangan manusia. 10
Menurutnya, kemustahilan terbagi menjadi dua, yaitu mustahil dalam
pandangan akal dan mustahil dalam pandangan kebiasaan. Bila dikatakan
bahwa 1+1= 11 atau 1 lebih banyak dari 11 maka pernyataan ini mustahil
dalam pandangan akal. Namun, bilamana dikatakan bahwa matahari terbit dari
sebelah barat, maka pernyataan ini mustahil dalam pandangan kebiasaan.
Lebih jauh Quraish Shihab berpendapat bahwa secara garis besar
mukjizat dapat dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat
material inderawi lagi tidak kekal, dan mukjizat immaterial, logis lagi bisa
dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat Nabi-Nabi terdahulu kesemuanya
merupakan jenis mukjizat pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan
inderawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau
10
Qurash Shihab, Mukjizat Alquran; Ditinjau dari Aspek Kebahasan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan yang Ghaib (Jakarta: Mizan. 1998), 26.
Harold H. Titus dalam bukunya berpendapat bahwa para filosof sejak
bertahun-tahun telah menyelidiki teori dalam mendefinisikan akal (mind), yaitu ;
pertama akal sebagai substansi immatrial yang berdiri sendiri dari materi. Pendapat ini
diwakili oleh Plato dan Descartes. Kedua Aristoteles dan Immanuel Kant berprinsip
bahwa akal adalah pengatur. Ketiga adalah David Hume yang mengatakan bahwa akal
adalah sekumpulan keseluruhan pengalaman. Dan keempat akal diposisikan sebagai
sebagai bentuk prilaku (Psikologikal Behaviorisme). Harold H. Titus, PersoalanPersoalan Filsafat terjem. H.M. Rosyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 94.
5
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
Rasionalisasi Tafsir Ayat-Ayat Mukjizat
langsung lewat
menyampaikan.11
indera
oleh
masyarakat
setempat
Nabi
tersebut
Hal senada juga diungkapkan oleh Said Aqil Al-Munawar, bahwa
mukjizat terbagi dua yaitu mukjizat hissi (material dan iderawi) dan mukjizat
m’anawi (immateral dan logis), karakteristik mukjizat yang kedua ini bersifat
immortal, sementara mukjizat yang pertama bersifat temporal. Dan ia
mengutip pendapat ulama bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi hal itu
dikatakan mukjizat, bila salah satu dari kelima itu tidak terpenuhi, maka itu
bukanlah mukjizat ; pertama mukjizat ialah sesuatu yang tidak sanggup
dilakukan oleh siapapun selain Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua Tidak
sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam. Ketiga Mukjizat
harus menjadi saksi terhadap risalah ilahiyah yang dibawa oleh orang yang
mengaku Nabi, sebagai bukti akan kebenarannya. Keempat Terjadi bertepatan
dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat
tersebut. Kelima Tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan dan
membandingkan dalam pertandingan tersebut.12
Menariknya, Syahrur13 berpendapat bahwa mukjizat para nabi sebelum
Rasulullah seperti pembakaran Nabi Ibrahim adalah fakta yang tidak bisa
dipungkiri. Menurutnya, mukjizat para nabi sama sekali tidak bertentangan
dengan rasio dan hukum alam, akan tetapi ia adalah lompatan hukum alam dari
kemajuan dibidang inderawi, fenomena alam yang melampaui rasio ketika
mukjizat itu diturunkan.
11
Qurash Shihab. Mukjizat Alquran; Ditinjau dari Aspek Kebahasan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan yang Ghaib (Jakarta: Mizan. 1998), 27
12
Said Aqil Husin al-Munawar. Alquran Membangun Kesalehan Hakiki
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), 31.
13
Muhammad Syahru>r al-Kita>b wa Alquran (Damaskus: al-Ahalli, 1992), 241.
Hakekatnya pemikiran Syahru>r terhadap rasionalitas mukjizat dibangun atas dasar
prinsip penafsirannya yang berpandangan bahwa penafsir harus berdialog dengan
Alquran melalui dua hal: pertama berdialog dengan teks tertulis yakni teks Alquran
dan teks terbuka yaitu alam, yang pada akhirnya kebenaran sebuah penafsiran terletak
pada kesesuaian dan keselarasan antara keduanya. Lihat Prof. Dr. Syahru>r, Kita tidak
Memerlukan Hadits terj. Muhammad Zaki Husein diambil dari Majalah Ummat, No 4
thn IV, 3 Agustus 1998/9 Rabiul Akhir 1419 H. Bandingkan dengan islamnetisnet.org.
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
6
M. Syukri Ismail
Keengganan Maulana Muhammad Ali mengakui terjadinya mukjizat
yang bersifat material inderawi dapat dibuktikan dalam menafsirkan Alquran
surah al-Anbiya: 21: 69 yang berbunyi :
“Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah
bagi Ibrahim",
Menurut Muhammad Ali, Alquran sama sekali tidak menyebutkan
secara konkrit bahwa Nabi Ibrahim as dilempar dan dibakar dalam kobaran api,
sehingga Allah mengintruksikan kepada api agar tidak membakar Nabi
Ibrahim. Dalam Alquran surah al-Ankabu>t: 29: 24 :
“Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah
atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi
orang-orang yang beriman.”
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Nabi Ibrahim memvonis untuk
membunuhnya atau membakarnya, dan Allah menyelamatkan dari kobaran api
itu. Akan tetapi dalam ayat tersebut, tidak terdapat redaksi ayat yang secara
konkrit menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim dibakar.
Dalam Alquran Surah al-Anbiya: 21: 70 :
7
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
Rasionalisasi Tafsir Ayat-Ayat Mukjizat
“Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, Maka Kami menjadikan
mereka itu orang-orang yang paling merugi.
Diceritakan bahwa kaum Nabi Ibrahim as hendak memperdaya Nabi
Ibrahim akan tetapi Allah menggagalkannya, dan Maulana Muhammd Ali
melanjutkan pada Alquran surah al-S{affa>t: 37: 98 :
“Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, Maka Kami jadikan
mereka orang-orang yang hina.”
Mengacu pada Alquran surah al-Anbiya>: 21: 71 :
“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah
memberkahinya untuk sekalian manusia.”
Dijelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim dari makar
mereka dan merekapun mengalami kehinaan, sedangkan Nabi Ibrahim dan anak
saudaranya, Luth hijrah ke negara yang aman yaitu Pelestiana atau Syam14
Empat ayat diatas merupakan data otoritatif dan argumentatif bahwa
Nabi Ibrahim tidak dibakar seperti dalam pemahaman mayoritas penafsir dan
kalangan umat Islam lainnya. Menurutnya, pengertian ayat yang menjelaskan
14
Mengutip pendapat Dawam Raharjo yang juga mengutip dari buku
Ensiklopedi Islam Indonesia, diedit oleh Harun Nasution (1992) mengatakan bahwa
menurut tradisi Israiliyat, Ibrahim bersama keponakannya Luth dan ayahnya Terah
berhijarah dari Urr ke Harran, Syiria Utara. Dan setelah ayahnya meninggal, maka
Ibrahim pindah lagi ke Kan’a>n, pada waktu itu, ia telah berusia 75 tahun. Sementara
Luth diangkat pula menjadi Nabi, memiliki kisah sendiri dengan bangsa Sodom.
Dawam Raharjo Ensiklopedi Alquran Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(Jakarta: Paramdina. 1996), 96.
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
8
M. Syukri Ismail
bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari api adalah
menyelamatkan dari kejahatan kaumnya dengan memerintahkan hijrah ke
negara lain sebagaimana Allah menyelamatkan Nabi Muhammad saw dari
kejahatan kaum musyrik Mekkah dengan memerintahkan hijrah ke Ethiopia
dan Yatsrib.15
Ini berbeda jauh dengan penafsiran Quraish Sihab yang
menafsirkan ayat-ayat mukjizaat dengan jelas dan renyah.16 Penafsiran
ia terhadap ayat-ayat mukjizat berangkat dari prinsip-prinsip penafsiran
yang ia bangun, yaitu ketertundukan akal pada wahyu, menurutnya akal
dan wahyu mempunyai wilayah masing-masing17
Ia meyakini bahwa peristiwa pembakaran yang dialami oleh Nabi
Ibrahim itu merupakan suatu peristiwa “keluarbiasan”, yakni diluar hukum
alam yang kita kenal yaitu yang menganut hukum kebiasaan yang sering
terjadi disekitar kita, karena itu kita tidak mengetahui hakikat daripada
15
Mengutip pendapat Maulana Muhammad Ali demikian ;
The fire was turned into coolnes and peace for Abraham. There many stories
related in the commentaries as to the size of this fire and time Abraham remained
therein. Reliables commentators, do not accept them as they are baseless” There many
versions of this story but according to Bahr al-Muhi>th many stories have been
fabricated in relating what happened to Abraham, while the truth is only what Allah
has stated (Ru>hul Ma’a>ni).
The Holy Alquran does not stated anywhere that Abraham was actually cast
into a fire. His opponents had no doubt decided to burn him, as stated here, or to kill
him or to burn him (29: 24). But here, in verses 70 as well as in (37: 98), we are told in
clear words that they intended a plan against him but We made them the greater losers
(v. 70), or We brought them low (37: 98). This show that thier plain was ineffective.
According to to 29: 24, Allah delivered him from the fire before being thrown into or
after being thrown into it, it does not say. V. 71 states the delivery was brought about
by means of a journey to another land. It was thus a flight to another place like the
Prophets Flight to Madinah, and in the history of Abraham there is a deeper reference
to the history of the Prophet him self. Maulana Muhammad Ali. The Holy Qur’an
Arabic Text, English Translation and Commentary, Seventh Edition (USA: AAII,
1991), 637
16
Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran
Vol 10 (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 33
17
Quraish Shihab Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 122
9
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
Rasionalisasi Tafsir Ayat-Ayat Mukjizat
peristiwa itu. Objek akal adalah sesuatu yang terjadi dan sering berulangrulang kemudian melahirkan hukum alam atau sunnatullah, misalnya air yang
mengalir ke tempat yang rendah dan api yang mempunyai daya bakar serta
matahari terbit dari barat, semua itu telah memunculkan teori tentang hukum
alam dan sebab akibat. Dan ini tentu berseberangan dengan pemaknaan
mukjizat 18
Penilaian bahwa sesuatu itu mustahil karena akal terpaku pada
kebiasaan atau hukum alam yang biasa terjadi di depan mata, atau yang
diketahui selama ini. Sehingga, bila ada sesuatu yang berseberangan dengan
jalan yang biasa dilihat atau biasa terjadi, boleh jadi kemudian ditolak bahkan
mustahil. Dari dulu, mustahil menurut pandangan akal seorang nenek akan
melahirkan cucunya. Akan tetapi, kemustahilan itu menjadi rapuh karena
kecanggihan tekhnologi rekayasa genetik.19
Ia mengutip pernyataan David Hume (1711-1776), seorang filosuf
terkenal dari Inggirs menyatakan bahwa cahaya yang kita lihat ketika
meletusnya meriam bukanlah sebab meletusnya meriam. Dan mengutip
pendapatnya al Ghazali (1059-1111) yang berkata bahwa ayam yang berkokok
sebelum fajar bukan menjadi sebab terbitnya fajar. Menurut sementara pemikir
lain, mungkin apa yang merupakan kebetulan hari ini, bisa jadi merupakan
proses dari kebiasaan atau hukum alam. ia juga mengutip riwayat yang
mengatakan bahwa Jibril datang ketika itu dan menawarkan pertolongan akan
tetapi Nabi Ibrahim menolaknya karena ia hanya mengharapkan pertolongan
Allah swt.
At-T{aba’t}aba’i (1321-1402/1903-1981) meyakini bahwa peristiwa
diselamatkannya Nabi Ibrahim dari panas api benar adanya sebagai mukjizat
Allah. Intruksi Tuhan agar api menjadi dingin merupakan bagian dari khitab
takwi>ni (perintah perwujudan), api mengganti dan merubah dirinya yang
semula panas membara menjelma dingin menyelamatkan ketika bersentuhan
dengan Nabi Ibrahim. Ini adalah peristiwa menakjubkan, keluar dari hukum
18
Quraish Shihab. Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran
Vol 8 (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 477
19
Qurash Shihab. Mukjizat Alquran; Ditinjau dari Aspek Kebahasan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan yang Ghaib (Jakarta: Mizan. 1998), 30
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
10
M. Syukri Ismail
kebiasaan (kha>riq min al-‘a>dah) dan hal ini mustahil diketahui hakekatnya
karena pembahasan yang logis hanya berkutat pada peristiwa yang sering
terjadi. Sedangkan peristiwa yang luar biasa tidak mungkin menemukan
hubungan-hubungan untuk diketahui penyebabnya. 20
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa hukuman bakar itu dilakukan oleh
kaum Namrudz sebagai bentuk pembalasan atas penghinaan, pengrusakan dan
pelecehan Nabi Ibrahim pada Tuhan-Tuhan mereka. Nabi Ibrahim kemudian
menyuruh mereka bertanya kepada Tuhan yang paling besar tentang siapa yang
telah menghancurkan Tuhan-Tuhan itu. Namrudz dan kaumnya menjadi berang
dan menganggap semua itu merupakan penistaan terhadap agama dan
keyakinan mereka. Sebagai bentuk hukuman bagi orang yang telah
mendustakan Tuhan tiada lain adalah neraka yaitu api.
Dalam kaca mata gramatikal arab ayat
ﻛﻮﻧﻰ
ﻗﻠﻨﺎ ﯾﺎ ﻧﺎر
(qulna> ya> na>ru ku>ni) merupakan kalimat fashl dari kalimat
sebelumnya.21 Terdapat pemenggalan kalimat yang merupakan penyanggah
dari qulna. Adapun perkiraan kalimat itu,” merekapun menyalakan api dan
melemparkan Nabi Ibrahim ke dalam kobaran api”. Pemenggalan semacam ini
sering kita temui dalam ayat-ayat Alquran disebabkan oleh situasi dan kondisi
yang menghendaki demikian. Selain itu, karena Alquran mengandung nilai
sastra yang sangat tinggi.
20
At-T{abat}aba’i, Al-Mi>za>n fi> al-Tafsi>r al-Qura>n Juz 14 (Teheran: Dar alKutub, tt), 332. Penjelasan at-T{abat}aba’i mengenai mukjizat Nabi Ibrahim hampir
sama pemikirannya dengan Quraish Shihab, bahkan tidak nampak perbedaannya
dengan Quraish Shihab. Penulis, berasumsi bahwa pendapat Quraish Shihab tentang
mukjizat Nabi Ibrahim yang ditulis dalam tafsir al Misbah sepertinya mengutip
pendapat at-T{abat}aba’i.
21
Fashal adalah pemisahan satu kalimat dengan kalimat sebelumnya walau
nampak menyatu dalam redaksi. Penyambungan dengan kalimat yang sebelumnya
dikenal dengan nama washal yang lumrahnya menggunakan huruf penghubung yaitu
wawu. Lihat juga Abdurrahman al Ahdhari. Jawa>hir al-Maknu>n dalam Majmu’ alMutu>n (Probolinggo: tim penerbit Nurul Qadim, 2008), 15.
11
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
Rasionalisasi Tafsir Ayat-Ayat Mukjizat
Kasus pemenggalan kalimat yang sama dalam Alquran bisa ditemukan
dalam QS. Yusuf (12) :45-46 yaitu ;
ﻓﺎرﺳﻠﻮﻧﻲ ﯾﻮﺳﻒ
اﯾﮭﺎ اﻟﺼﺪﯾﻖ, lengkapnya kalimat itu diperkirakan demikian ;
اﯾﮭﺎ
ﻓﺎرﺳﻠﻮه ﻓﺎﺗﻰ ﯾﻮﺳﻒ ﻓﻘﺎل
( اﻟﺼﺪﯾﻖfa arsalu>hu fa ata> yu>sufa faqa>la ayyuha al-s}iddi>qu).
Diceritakan bahwa raja Fir’aun bermimpi tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh
bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Mimpi itu
kemudian disampaikan kepada para pembantunya untuk ditakwilkan, namun
semua pakar mimpi ternyata tidak bisa menafsirkannya. Maka seseorang
teringat kepada Yusuf, salah satu dari tahanan yang pandai menafsikan mimpi.
Maka dia berkata,”utuslah aku untuk menemui Yusuf’”, mereka menutus dia
untuk menemui Yusuf, kemudian ia berkata kepada Yusuf,” wahai Yusuf,
orang yang jujur.....”. Dalam disiplin ilmu balaghah, pemenggalan kalimat
diatas dinamai i’ja>z hadhab 22(peringkasan kalimat melalui pemenggalan kata,
kalimat atau beberapa kalimat). Dan itu banyak ditemui dalam ayat-ayat
Alquran.23
Ibnu Asyu>r (1296-1393/1879-1973) dalam tafsirnya, al-Tah}ri>r wa alTanwi>r mengemukakan bahwa peristiwa itu adalah mukjizat yang dimiliki
Nabi Ibrahim as sebagai bukti kemaha kuasaan Allah. QS. al Anbiya: 21 : 69 :
“Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah
bagi Ibrahim",
22
Lihat juga Abdurrahman al-Ahdhari. Jawa>hir al-Maknu>n dalam Majmu’ alMutu>n (Probolinggo: tim penerbit Nurul Qadim, 2008), 16.
23
Abu Bakar Jala>luddi>n Al-Suyu>t}i dan Abdur Rahma>n Jala>luddi>n al-Mahalli.
Tafsi>r al- Jalalain Juz I (Surabaya: Ahmad ibn Nibhan, tt), 194.
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
12
M. Syukri Ismail
Menjelaskan tentang peristiwa yang luar biasa dimana Allah telah
menampakkan kekuasaannya kepada kaum Ibrahim yang enggan percaya. Allah
menyelamatkan Ibrahim dengan melenyapkan potensi panas dan daya bakar
yang dimiliki oleh api sekaligus menjadi penyelamat (bardan wa sala>ma> ) atau
dengan melapisi diri Ibrahim dengan sesuatu yang sanggup meredam dan
menahan hawa panas sehingga api yang demikian panas menjadi dingin
baginnya.24
Dua persepsi pemahaman yang ditawarkan oleh Ibnu Asyur berangkat
dari pemaknaan ayat “ya> na>ru ku>ni bardan wa sala>man ‘ala> Ibra>hi>m.”. Jika
kalimat tersebut dianggap sebagai bentuk kalimat hakiki, bukan metafora,
maka akan menimbulkan pemahaman bahwa Allah melenyapkan potensi panas
dan daya bakar api. Bila dimaknai sebagai maja>z isti’a>rah, maka bisa diartikan
24
Ibn ‘Asyu>r adalah salah satu ulama besar di Tunisia. Karirnya sebagai
pengajar bermula pada tahun 1930 sebagai mudarris (pengajar) tingkat kedua bagi
mazhab Maliki di Mesjid Zaitunah. Menjadi mudarris tingkat pertama pada tahun
1905. Pada tahun 1905 sampai 1913 ia mengajar di Perguruan Shadiqi. Dia terpilih
menjadi wakil inspektur pengajaran di Mesjid Zaitunah pada tahun 1908. pada tahun
berikutnya ia menjadi anggota dewan pengelola perguruan Shadiqi (Shadiqi College).
Ia diangkat menjadi q}ad}i (hakim) mazhab Maliki pada tahun 1913 dan
diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) mazhab Maliki di negara itu pada
tahun 1927, ia juga seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli sastra. ia terpilih
menjadi anggota Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah di Mesir pada tahun 1950 dan
anggota majma’ al-‘Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun 1955. ia banyak menulis
buku dan menulis berbagai majalah dan koran di Tunisia. Di antara karya-karyanya
adalah ; 1). Alaisa as-S{ubhi bi Qari>b, 2). Maqa>s}id asy-Syari>’ah al-Isla>miyah, 3). Us}ul>
an-Niz}a>m al-Ijtima ‘i fi al-Isla>m, 4). at-Tah}ri>r wat-Tanwi>r min at-Tafsi>r, 5). al-Waqfu
wa atharuhu fi al-Isla>m, 6). Usu>l al-Insya’i wa al-Khit}a>bah, 7). Muji>z al-Bala>ghah, 8).
Ha>syiyah ‘ala al-Qat}r, 9). Syarh ’ala Burdah al-Busyiri, 10). al-Ghaith al-Ifriqi, 11).
Ha>syiyah ’ala al-Mahalli ’ala jam’ al-Jawa>mi’, 12). Ha>syiyah ’ala Ibn Sa’id alUsymuni, 13). Ha>syiyah ’ala Syarh al-Is}am li Risalati al-Baya>n, 14). Ta’liq ‘ala ma
Qara’ahu min S{ahi>hi Muslim. http://haanadza.blogspot.com/2008/03/biografi-ibnasyur-penulis-tafsir-attahri wat tanwiri
13
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
Rasionalisasi Tafsir Ayat-Ayat Mukjizat
bahwa dalam diri Ibrahim ada pelindung yang mampu menahan hawa panas
api, ketika tubuh Ibrahim bersentuhan dengan api. Sedangkan penambahan
kata sala>ma sebagai pembatas terhadap gerak api yang telah menjadi dingin,
sebab tidak jarang hawa dingin membawa akibat buruk pada seseorang.
Pendapat ini dikokohkan oleh perkataan Ibnu Abbas, ”andaikata Allah tidak
menyertakan kata sala>man setelah bardan, niscaya Ibrahim akan mengalami
kecelakaan yang ditimbulkan oleh rasa dingin”.
Selanjutnya Ayat “fannajaina>hu wa lu>t}a”.25 merupakan penyelamatan
Allah yang kedua kalinya kepada Nabi Ibrahim. Diceritakan bahwa setelah
peristiwa itu, kerajaan Namrudz ditaklukan
oleh kerajaan Usyuriyin.
Penyelamatan pertama adalah penyelamatan fisik dari kobaran api yang daya
bakar dan penyelamatan yang kedua adalah penyelamatan akidah dari kaumnya
yang tetap menjadi kaum pagan. 26
Abi> Hafs (w.880 H) mengutip pendapat Abu> Muslim al-As}faha>ni
tentang tafsir “ya> na>ru ku>ni” bahwa Allah telah menjadikan api itu menjadi
dingin bukan karena ucapan tersebut sebab api benda mati yang tidak mungkin
bisa diajak berbicara27. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada perbedaan
tentang apakah api yang telah dihilangkan hawa panasnya atau di dalam diri
ibrahim diselimuti sesuatu sehingga kebal terhadap hawa panas seperti
malaikat penjaga neraka dan apakah hawa panas itu hilang ketika bersentuhan
dengan tubuh Ibrahim.
Al-Alu>si (w.127 H) dengan begitu gamblang menceritakan kronologis
peristiwa tersebut dengan berpijak pada riwayat Ibnu Jari>r dari Mujahid
25
Ayat inilah yang mendasari penafsiran rasionalitasnya Maulana Muhammad
Ali, bahwa Nabi Ibrahim tidak sempat dibakar dan diselamatkan oleh Allah yaitu
hijrah bersama Nabi Luth, keponakannya ke Pelestina (Kana’an). Pendapat ini tidak
sejalan dengan penafsiran mayoritas ulama, seperti al Bagha>wi yang mengatakan
bahwa setelah Nabi Ibrahim diselamatkan dari hukuman bakar, Allah
menyelamatkannya untuk yang kedua kali, yaitu hijrah ke Mekah atau Syam. Lihat
Abu Hafs Ibn Umar ibn Ali. Al- Luba>b Fi> ‘Ulu>m al- Kita>b Juz 13 (Beirut: Da>r alKutub, 1998), 540
26
Ibnu Asyu>r. at-Tahri>r wa at-Tanwi>r Jilid 8 (Tunisia: Da>r S{uhnun, tt), 106
27
Abu Hafs Ibn Umar ibn Ali, Al-Luba>b fi> ‘Ulu>m al-Kita>b Juz 13 (Beiru>t: Da>r
al-Kutub, 1998), 540
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
14
M. Syukri Ismail
tentang peristiwa tersebut dan mengutip hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari bahwa pada saat-saat genting, malaikat Jibril datang menemui Nabi
Ibrahim dan menawarkan bantuannya, akan tetapi ia menolak karena ia hanya
mengharapkan pertolongan Allah. Lalu malaikat Jibril berkata,” berdoalah
pada Tuhanmu”, Ibrahim menjawab,”Tuhanku sudah tahu apa yang aku mau
dan mengerti tentang keadaanku”. Dan diceritakan bahwa Nabi Ibrahim tinggal
di dalam kobaran api itu selama empat puluh lima hari.
Ia meyakini bahwa peristiwa pembakaran itu benar dan terjadi, api
menjadi penyelamat bagi Ibrahim walau sinarnya masih membara, ia mengutip
perkataan Imam Ali ibn Abi Thalib, bahwa andaikata Allah tidak menyertakan
kata sala>man, maka bisa dipastikan Nabi Ibrahim akan celaka. Ia tidak hanya
mengutip Ibnu Jari>r dari imam Mujahid, tapi juga menyinggung pendapat
beberapa ulama yang diungkapkan dalam kitab al-Bahru al-Muhi>t.28
Al-Kha>zin (w.725 H.) mengungkapkan hiruk pikuk persitiwa besar itu
dengan jelas dan argumentatif. Penjelasan ia lebih banyak melalui pendekatan
riwayat-riwayat. Dalam satu argumentasinya ia menyandarkan pada perkataan
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa andaikata Allah tidak menyertakan kata
sala>man, maka bisa dipastikan Nabi Ibrahim akan celaka. Penjelasan al-Khazin
dalam hal ini lebih ekstrim lagi, dijelaskan bahwa ketika itu, semua api yang
ada didunia padam, dan andaikata pada hari itu Nabi Ibrahim tidak
terselamatkan maka selamanya api akan padam.29
Ar-Ra>zi (544-604 H) bahkan mengungkapkan alasan kenapa Raja
Namrudz memilih api untuk membalaskan dendamnnya kepada Nabi Ibrahim,
ia mengatakan bahwa penyiksaan dengan api adalah penyiksaan yang sangat
mengerikan karena manusia dibakar hidup, dalam keadaan sadar bukan
28
Al Alusi. Al-Ru>h al-Ma’a>ni Juz VII (Beirut: Da>r al-Kutub, 1985), 68
Dawam mengklaim bahwa penafsiran Muhammad Ali dalam The Holy
Alquran tentang ayat mukjizat ini mengacu pada kitab al-Bahru al-Muhi>t}, sementara
al-Alu>si mengklaim bahwa penjelasan mengenai tragedi pembakaran Ibrahim itu justru
diterima oleh pengarang al-Bahru al-Muhi>t sebagai peristiwa yang maha dasyat. Lihat
Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alquran Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(Jakarta: Paramadina. 1996), 96
29
Al-Kha>zin. Tafsi>r Al-Kha>zin Jilid 3 (Beirut: Da>r al-Fikri, tt), 264
15
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
Rasionalisasi Tafsir Ayat-Ayat Mukjizat
pingsan. Selanjutnya, ia juga mengutip pendapat Abu Muslim al-Asfaha>ni yang
mengatakan api itu menjadi dingin bukan karena perkataan akan tetapi karena
kehendak Allah sebab api adalah barang mati yang tidak mungkin diajak
berbicara atau menerima perintah. Akan tetapi menurut mayoritas ulama
bahwa api itu menjadi disebabkan adanya sabda itu. Tentang siapa yang
mengatakan sabda itu, ada yang berpendapat malaikat jibril yang
mengatakannya namun menurut jumhur yaitu Allah swt dan pendapat yang
kedua inilah yang lebih mendekati kebenaran karena meninjau luarnya ayat.
Ada perbedaan pendapat mengenai prosesesi api menjadi dingin; 1)
Allah menghilangkan potensi panas dan daya bakar yang dimiliki oleh api,
namun tidak memadamkan sinar apinya dan itulah kekuasaan Allah, 2) Allah
menciptakan dalam diri Ibrahim perisai yang mampu menahan bahkan melebur
dengan hawa panas, seperti Allah menciptakan malaikat Zabaniyah, malaikat
penjaga neraka, 3) Allah menciptakan tabir diantara Ibrahim dan api ketika
kedua makhluk Tuhan yang berlawanan jenis itu bersentuhan. Dan menurut Ar
Razi, pendapat yang pertama yang lebih mendekati kebenaran.30
30
Fakhruddi>n Ar-Ra>zi. al-Tafsi>r al- Kabi>r Jilid XXII (Beirut: Da>r al-Kita>b,
1990), 164
Al-Razi dalam disiplin ilmu filsafat adalah Abu Bakar Muhamad ibn Yahya
al-Ra>zi, seorang filosuf rasionalis, di Barat dikenal dengan nama Rhazez atau The
Arabic Galen, diperkirakan beliau mempunyai 200 karya dalam berbagai disiplin ilmu,
akan tetapi karya yang masih ada ialah ; 1) Kita>b al-Asra>r (bidang kimia,
diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Gread of Cremon), 2) Kitab al-Ha>wi
(ensiklopedi kedokteran sampai abad ke-16 di Eropa, diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin dengan judul Continens, 3) Kitab al-Mansu>ri Liber al Mansoris (Bidang
kedokteran, 10 jilid), 4) Kitab al-Judar wa al-Hasbah (analisa tentang penyakit cacar
dan campak serta pencegahannya), 5) al-T{ib al-Ruha>ni, 6) al-Si>rah al-Falsafiyah, 7)
Amarah al-Iqbal al-Daulah, 8) Kitab al-Ladhdhah, 9) Kitab al-’Ilm al-Ila>hi, 10) Kitab
Maqa>lah fi mabda al-T{abi’iyah, 11) Kitab al Shukuk ‘ala Proclius. Selanjutnya di tulis
Al-Ra>zi
Ar- Ra>zi yang menjadi lawan debat al Razi ini, nama lengkapnya adalah Abu
Hatim ar-Ra>zi (w.322 H./933M). Ia dari kalangan Syi’ah Isma’iliyah. Perbedaan
pendapatnya dengan al Ra>zi adalah mengenai keNabian dan agama, ia menulis buku al
A’la>m al-Nubuwwah, dijelaskan bahwa al-Razi terlalu menggunakan filsafat dalam
memahami agama dan keNabian sehingga membawa pada khurafat dan kebodohan.
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
16
M. Syukri Ismail
C. Penutup
Maulana Muhammad Ali menafsirkan Alquran dengan corak yang
telah dibangun oleh para mufassir sebelumnya, seperti Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha yang juga berpikiran rasional, walaupun tidak se-Rasional
Maulana Muhammad Ali. penafsiran yang dibangun Maulana Muhammad Ali
juga di kritik oleh para Mufassir setelahnya seperti Muhammad Quraish Shihab
yang lebih ideologis, atau para mufassir lain yang menggunakan penafsiran bi
al-Ma’thu>r. sedangkan Maulana Muhammad Ali lebih kepada penafsiran Bi alRa’yi, dengan lebih banyak menggunakan Akal.
Perbedaan dalam menafsirkan Alquran ini telah ada sejak Alquran di
wahyukan kepada Rasulallah, namun penafsiran Alquran seharusnya tidak
boleh keluar dari kaidah-kaidah yang sudah diajarkan oleh Rasulallah kepada
para sahabat Nabi, walaupun berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran,
namun tetap harus mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh para ahli mufassir
sebelumnya. Sehingga dalam menafsirkan akal, dapat menggunakan Wahyu
dan Akal bersamaan, tanpa mengutamakan salah satunya.
Lihat Hasyimshah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta; Gaya Media Pratama, 1999), 26.
Selanjutnya di tulis al Ra>zi tanpa strip.
17
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
Rasionalisasi Tafsir Ayat-Ayat Mukjizat
DAFTAR PUSTAKA
Al-Alu>si. Al-Ru>h al-Ma’a>ni, Beirut: Da>r al-Kutub, 1985.
Al-Kha>zin. Tafsi>r Al-Kha>zin, Beirut: Da>r al-Fikri, tt.
Al-Ahd}ari, Abdurrahman. Jawa>hir al-Maknu>n dalam Majmu>’ul Mutu>n,
Probolinggo: tim penerbit Nurul Qadim, 2008.
Al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-S{ahi>h al-Bukha>ri, tahqiq al-Must}afa Di>b, Beiru>t;
Da>r Ibnu Kathi>r, 1987.
Ali, Muhammad, Maulana. The Holy Qur’an Arabic Text, English
Translation and Commentary, Seventh Edition, USA; AAII,
1991.
_______. The Religion of Islam, USA: Ahmadiyah Anjuman Isha’at
Islam Lahore inc. 1990.
Al-Munawar, Husin, Aqil, Said. Alquran Membangun Kesalehan Hakiki,
Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Al-Suyut}i, Jala>luddi>n, Bakar, Abu. Tafsi>r al-Jalalain, Surabaya: Ahmad
ibn Nibhan, tt.
Al-Zarqa>ni, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m Alquran, Beiru>t: al-Maktabah alAshriyah, 1972
Amal, Kamal, Taufik. Sir Ahmad Khan Bapak Tafsir Modernis, Jakarta:
Teraju, 2004.
Ar-Razi, Fakhruddin. al-Tafsi>r al-Kabi>r, Beirut: Daru al Kitab, 1990.
Asyu>r, Ibnu. at-Tahri>r wa at-Tanwi>r, Tunisia: Da>r al-Suhnun, tt
At-T{abat}aba’i, Al-Mi>za>n fi> al-Tafsi>r al-Qura>n, Teheran: Da>r al-Kutub, tt
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Penerbit Mizan.
1994.
Bleicher, Josep. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as method,
Philoshopy and Critique, London: Routledge and Kegand Paul.
1980.
Chittick, William C. Hermeneutikan Penafsiran Ibnu Araby, terj. Ahmad
Nijjam dkk, Yogyakarta: Qalam, 2001.
Hafs, Abu. Al-Luba>b fi> ‘Ulu>m al-Kita>b, Beirut: Da>r al-Kutub, 1998.
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016
18
M. Syukri Ismail
Iyazi, Ali, Muhammad. Al-Mufassiri>n; Haya>tuhum wa Mana>hijuhum,
Mesir: muassisa, tt.
K. Bertens. Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman, Jakarta:
Gramedia, 2002.
Maulidin, Sketsa Hermeneutika dalam Gerbang: Journal Studi Agama
dan Demokrasi Vol 5, No 14, Surabya: Lembaga Studi Agama
dan Demokrasi , 2005.
Muhsin, Wadud, Aminah. Perempuan dalam Alquran, terj. Y. Rudianto,
Bandung: Pustaka, 1994.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UIP.
2002.
______ . Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Palmer, Richard E. Heremeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidager and Gadamer, Evanston:
Northwestern University Press, 1969.
Raharjo, Dawam. Ensiklopedi Alquran Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramdina, 1996.
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir
Alquran menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002.
Shalih, Muhammad, Qadir, Abdul. Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n fi> al-‘As}r
al-H{adi>th, Beirut: Da>r al-Makrifah, 2003.
Shihab, Quraish. Logika Agama, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
______. Rasionalitas Alquran; Studi Kritis terhadap Tafsir al-Manar,
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
______. Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran,
Jakarta: Lentera Hati, 2006.
______. Mukjizat Alquran; Ditinjau dari Aspek Kebahasan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan yang Ghaib, Jakarta: Mizan, 1998.
Syahrur, Muhammad. al-Kita>b wa Alquran, Damaskus: al-Ahalli, 1992.
Titus, Harold H. Persoalan-Persoalan Filsafat, terjem. H.M. Rosyidi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
19
Nur El-Islam,Volume 3, Nomor 2, September 2016