PENERAPAN TAFSIR AL-QUR`AN BI AL-QUR`AN
(Studi Atas Kitab Tafsir al-Mizan Fi Tafsir al-Qur`an
Karya Muhammad Husain al-Thabathaba’i)
Irhas
STAIN Gajah Putih Takengon Aceh Tengah, Aceh
Email: irhassaputra@gmail.com
Abstract
The Book of Tafsir al-Mizan i Tafsir al-Qur`an was a greatest work of Muhammad Husain
al-Thabathaba’i, an exegete of the Shiite Muslims. Some interesting things can be found in
this book for the discussion in the commentaries which spread not only among Shiite Muslims,
but also Sunni Muslims. Some factors due to this commentary can be also accepted by Sunni
Muslims because the interpretation prioritized on the use of resources bi al-ma’tsur which
is meant that the interpretation truly came from the al-Qur’an. The focus of this paper was
about how Muhammad Husain al-Thabathaba’i used the Qur`an as the main resource of his
interpretation.
Keywords: Tafsir al-Qur`an bi al-Qur`an, Al-Mizan and al-Thabathaba’i.
Abstrak
Kitab tafsir al-Mizan i Tafsir al-Qur`an adalah karya terbesar Muhammad Husain alThabathaba’i, yaitu seorang mufassir dari kalangan muslim Syi’ah. Ada hal menarik dari
kitab tafsir ini yaitu kitab tafsir ini tersebar tidak hanya di kalangan muslim Syi’ah, tapi
juga tersebar luas di kalangan muslim Sunni. Di antara faktor penyebab diterimanya tafsir
ini di kalangan muslim Sunni adalah karena kitab tafsir ini mengutamakan penggunaaan
sumber bi al-ma’tsûr sebagai sumber penafsirannya. Satu di antara sumber penafsiran bi
al-ma’tsûr adalah tafsir al-Qur’an yang berasal dari al-Qur’an. Fokus tulisan ini adalah
tentang bagaimana Muhammad Husain al-Thabathaba’i menggunakan al-Qur’an sebagai
sumber utama penafsirannya.
Kata Kunci: Tafsir al-Qur`an bi al-Qur`an, al-Mizan, dan al-Thabathaba’i.
Pendahuluan
Tafsir
al-Mizan
merupakan
karya
monumental
Muhammad
Husain
al1
Thabathaba’i. Kelahiran tafsir ini bermula
Nama lengkap al-Allamah al-Thabathaba’i adalah Muhammad
bin Husain bin al-Sayyid Muhammad bin al-Sayyid Muhammad
Husein bin al-Mirza al-Asghar Syaikh al-Islam al-Thabathaba’i
al-Thibriziy al-Qadhi. Julukan al-Thabathaba’i dinisbahkan
kepada salah seorang kakeknya yang bernama Ibrahim alThabathaba’i bin Isma’il al-Dibaj. Lihat Muhammad Husain
1
150
dari permintaan para mahasiswanya ketika
beliau mengajar di Universitas Qum Iran untuk
al-Thabathaba’i (selanjutnya ditulis al-Thabathaba’i), al-Mizan
i Tafsir al-Qur`an (selanjutnya ditulis al-Mizan), jilid ke-1
(Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbû’ah, 1991), A-b; AlThabathaba’i, Memahami Esensi al-Qur`an, diterjemahkan oleh
Agus (Jakarta: Lentera, 2000), cover; lihat juga al-Thabathaba’i,
al-Mizan, b; Sayyid Husein Nashr (selanjutnya ditulis Nashr), “alAllamah Muhammad Husain al-Thabathaba’i” dalam pengantar
Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya, diterjemahkan
oleh Djohan Efendi (Jakarta: Pustaka Utama Graiti, 1989), 28.
Irhas: Penerapan Tafsir al-Qur`ân bi al-Qur`an
mengumpulkan materi perkuliahan dalam
bentuk kitab tafsir yang lengkap. Ternyata
al-Thabathaba’i menanggapi secara positif
permintaan mahasiswanya. Maka tersusunlah
tafsir al-Mizan dari jilid 1 hingga jilid 20.2
Tafsir ini diberi nama dengan al-Mizan,
seolah-olah al-Thabathaba’i ingin menjadikan
tafsirnya sebagai timbangan keseimbangan
yang cemerlang guna memberikan pendapat
yang kuat dan berimbang dalam menyelesaikan
persoalan yang dialami dan dihadapi oleh umat
Islam dengan mengutamakan penafsiran alQur`an dengan al-Qur`an dibanding harus terikat
dan fanatik dengan teori tertentu. Pada saat
membicarakan suatu masalah, ia lebih banyak
merujuk kepada sumber penafsiran kepada ayatayat al-Qur`an dan menyimpulkan maksudnya
daripada merujuk pendapat yang dikemukakan
mufasir dan pengkaji al-Qur`an.
Dalam kajian ulûm al-Qur`an, sumber
tafsir ada dua, yaitu tafsir bi al-ma’tsûr dan
tafsir bi al-ra’yi.3 Sumber tafsir bi al-ma’tsûr
dianggap sebagai sumber pertama dan utama
dalam menafsirkan al-Qur`an. Tafsir bi alma’tsûr adalah tafsir yang bersumber dari ayat
al-Qur`an, riwayat yang berasal dari Rasulullah
dan para sahabat. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi
adalah tafsir yang bersumber dari ijtihad seorang
mufasir. Dengan kata lain, tafsir bi al-ma’tsûr
adalah tafsir yang bersumber dari riwayat dan
tafsir bi al-ra’yi adalah tafsir yang bukan berasal
dari riwayat, tapi dari kreasi intelektual seorang
mufasir.
Al-Thabathaba’i dalam menafsirkan alQur`an tentunya juga mempunyai sumbersumber tertentu. Layaknya sebuah kitab
tafsir, penulis kitab tafsir al-Mizan i Tafsir
al-Qur`an ini berpedoman kepada banyak
sumber seperti al-Qur`an, hadis, sejarah, dan
sumber-sumber lain. Sumber-sumber itu tidak
hanya berasal dari kalangan Syi’ah,4 akan tetapi
juga banyak berasal dari Sunni.5 Inilah yang
membukakan banyak aspek dan segi dalam
penafsirannya dan pandangannya yang adil
dan seimbang antara kedua mazhab ini. Hal itu
jugalah yang menyebabkannya bisa memenuhi
pembahasan dengan mengutamakan materi
tanpa mengabaikan pandangan dan pendapat
orang lain. Dari sini juga dipahami bahwa dia
tidak hanya menerima pendapat itu, tetapi juga
menganalisa dan mencari pendapat mana yang
paling benar dan kuat kehujjahannya.6
Tafsir ini kendatipun tidak banyak tersebar
di masyarakat Indonesia – selain terdapat di
perpustakaan Perguruan Tinggi Keagamaan –
ternyata sebagian isi, ide, dan gagasannya telah
tersebar luas ke tengah masyarakat Indonesia
melalui kitab tafsir lain yang populer dan
tersebar di Indonesia. Satu di antara kitab tafsir
yang populer dan tersebar di tengah masyarakat
Islam Sunni adalah tafsir al-Mishbah karya
Muhammad Quraish Shihab. Tafsir ini banyak
mengutip tafsir al-Mizan karya al-Thabathaba’i.
Khairunnas Jamal menyebutkan bahwa Quraish
Shihab mensejajarkan al-Thabathaba’i dengan
Al-Thabathaba’i, al-Mizan, jilid 1, g.
Muhammad Husain al-Dzahabi (selanjutnya ditulis al-Dzahabi),
al-Tafsir wa al-Mufassirûn, juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), 125.
Istilah Syiah secara hariah berarti pengikut, partai, kelompok,
rekanan, pendukung atau penyokong. Dalam al-Qur`an, misalnya
Q.S. Maryam [19]: 69, al-Qashshash [28]: 15, dan al-Shaffat [37]:
83. Secara teknis, istilah ini merujuk kepada orang-orang muslim
yang mengambil aturan agama dan inspirasi spiritualnya setelah
Nabi Muhammad, dari keturunan beliau, ahlu bait. Kekhasan
paham Syiah terletak pada sumber petunjuk keagamaan setelah
Nabi Muhammad; kendati kaum sunni menerimanya dari sahabat
nabi, kaum syiah membatasinya hanya pada anggota-anggota
ahlu bait. Titik tolak ini, yang membedakan Islam Syiah dengan
Sunni, didasarkan pada dua faktor penting: satu bersifat sosial
budaya dan yang lain diturunkan dari konsep al-Qur`an tentang
sifat keagungan dan kesalehan keluarga nabi. Lihat Jhon. L.
Elposito (ed.), (selanjutnya ditulis Elposito), Ensiklopedi Oxford
Dunia Islam Modern, jilid 6, cet. Ke-1 (Bandung: Mizan, 2001),
302.
5
Istilah Sunni berasal dari kata sunnah dan memiliki arti umum
"praktik kebiasaan". Praktik ini terpelihara dalam hadis. Hadis,
di samping al-Qur`an, adalah sumber keagamaan Sunni. Sumber
lainnya adalah konsensus ulama, ijma'. Konsep konsensus
ini mencerminkan penekanan Sunni pada komunitas dan
kebijaksanaan kolektifnya, dibimbing olek al-Qur`an dan hadis.
Oleh karena itu, muslim Sunni menyebut diri mereka dengan
Ahlu Sunnah wal Jama'ah (pengikut sunnah dan komunitas).
Sunni tidak monolitik. Ia terdiri atas berbagai aliran teologi dan
ikih yang berbeda. Lihat ibid., jilid 5, 260
6
Al-Thabathaba’i, al-Mizan, jilid 1, g.
Jurnal ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016
151
2
3
4
pandangan ulama sunni lainnya seperti al
Sya’rawi, Thahir bin Asyur, al Biqa’i dan lain
sebagainya.7
Penelitian tentang penerapan tafsir alQur`an bi al-Qur`an yang diterapkan oleh alThabathaba’i dalam kitab tafsir al-Mizan Fi
Tafsir al-Qur`an belum ada ditemukan. Sejauh
pelacakan penulis terhadap kajian yang relevan
dan pernah ada terkait dengan tafsir al-Mizan
i Tafsir al-Qur`an setidaknya ada 3 penelitian.
Pertama, Rosihon Anwar membahas “Tafsir
Esoterik Menurut al-Thabathaba’iy” dalam
Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2004. Ia hanya
merumuskan prinsip-prinsip tafsir esoterik
versi al-Thabathaba’iy.8 Penelitian lainnya,
Disertasi Andian Parlindungan di UIN Syarif
Hidayatullah dengan judul “Konsep Jihad
menurut al-Thabathaba’i dalam tafsir al-Mizan”.
Disertasi ini menyimpulkan bahwa konsep jihad
menurut al-Thabathaba’i cenderung berorientasi
jihad sosial – bukan jihad militeristik (perang) –
berupa jihad sosial pendidikan, sosial ekonomi,
sosial politik, dan sosial budaya.9 Terakhir,
disertasi Evra Willya di UIN Syarif Hidayatullah
dengan judul “Hubungan antar Umat Beragama
Menurut Thabathaba’i dalam tafsir al-Mizan”.
Disertasi ini berisi pemikiran al-Thabathaba’i
yang berkaitan dengan hubungan antar umat
beragama dalam tafsir al-Mizan.10
Fokus tulisan ini adalah pada tata cara
penerapan tafsir al-Qur`an bi al-Qur`an yang
diterapkan oleh al-Thabathaba’i dalam kitab
tafsir al-Mizan yang disusunnya.
Lihat Khairunnas Jamal, “Pengaruh Pemikiran Husain
Thabathaba’i dalam Tafsir Al Mishbah”, dalam Jurnal
Ushuluddin, Vol. XVII, No. 2 (2011): 209.
8
Lihat Novizal Wendry, “Tafsir Esoterik Al-Majlisiy Dalam
Bihar Al-Anwar”, dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7,
No. 1 (2010): 6.
9
Andian Parlindungan, "Konsep Jihad menurut al-Thabathaba’i
dalam tafsir al-Mizan" (Disertasi Doktor, Jakarta: Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008), i.
10
Evra Willya, "Hubungan antar Umat Beragama Menurut
Thabathaba’i dalam Tafsir al-Mizan" (Disertasi Doktor, Jakarta:
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008), iii.
7
152
Pandangan al-Thabathaba’i tentang
Penafsiran al-Qur’an
Sebelum menguraikan tentang apa sumber
tafsirnya dan bagaimana al-Thabathaba’i
menggunakan sumber itu¸ perlu diketahui
bahwa tafsir dapat dilihat dalam beberapa cara
pandang, yaitu: sumber, metode, dan corak.
Ketiganya adalah hal yang berbeda. Namun,
dalam praktik penafsiran, ketiganya terpadu
dalam satu kesatuan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
pertanyaan “apa” mengacu kepada sumber yang
digunakan oleh al-Thabathaba’i. Pertanyaan
“bagaimana” menggunakan sumber itu akan
bersentuhan dengan metode yang digunakan
al-Thabathaba’i
terkait
dengan
sumber
penafsirannya itu.
Dalam bukunya Al-Qur`an i al-Islam,
al-Thabathaba’i menyebutkan bahwa untuk
menafsirkan al-Qur`an dapat ditempuh dengan
salah satu dari tiga cara berikut:
1. Menafsirkan ayat al-Qur`an tanpa dikaitkan
dengan ayat lain, dan hanya menggunakan
bantuan data dan premis ilmiah dan non
ilmiah.
2. Menafsirkan ayat al-Qur`an dengan bantuan
riwayat dari imam-imam suci.
3. Menafsirkan ayat al-Qur`an dengan bantuan
ayat al-Qur`an yang lain dan dengan hadishadis yang relevan.11
Menurut al-Thabathaba’i, cara pertama
tidak boleh diikuti. Sebab, pada hakikatnya ia
merupakan penafsiran dengan menggunakan
pendapat pribadi. Adapun cara kedua adalah
cara yang digunakan oleh mufasir periode
awal dan telah dipraktikkan selama beberapa
abad. Cara ini juga telah dipraktikkan oleh para
penulis hadis baik dari kalangan Ahlu Sunnah
maupun kalangan Syi’ah. Hanya saja, cara
11
Al-Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia al-Qur`an (selanjutnya
ditulis Mengungkap), diterjemahkan dari judul asli Al-Qur`an i
al-Islam oleh A. Malik Hamdaniy dan Hamim Ilyas, cet. ke-1
(edisi 2 in 1) (Bandung: Mizan, 2009), 115-116.
Irhas: Penerapan Tafsir al-Qur`ân bi al-Qur`an
kedua ini terbatas dan tidak dapat memenuhi
ketidakterbatasan kebutuhan, karena lebih dari
enam ribu ayat dalam al-Qur`an menghadapi
beratus-ratus ribu pertanyaan ilmiah mapun
non ilmiah. Dari mana akan ditemukan jawaban
pertanyaan itu? Bagaimana mungkin untuk lari
dan menghindar – padahal al-Qur`an adalah
pedoman – dengan tidak menjawab pertanyaan
itu? Apakah akan mencarinya dalam hadis dan
riwayat? Dalam hal ini jumlah hadis dan riwayat
itu sangat terbatas sedangkan jawaban yang akan
diberikannya sangat tidak terbatas. Di samping
itu, ada ayat yang tidak satupun ditemukan hadis
yang menjelaskannya baik dari kalangan Ahlu
Sunnah maupun Syi’ah.12
Berdasarkan kondisi di atas, apa tindakan
dan langkah yang akan diambil? Jawabannya
tidak lain adalah merujuk kepada ayat al-Qur`an.
Hal ini tidak dilarang. Mungkin sebagian
orang menolak untuk membahas ayat itu dan
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan ilmiah yang
menuntut untuk melakukan pembahasan. Jika
demikian, apa yang akan diperbuat dengan ayatayat berikut yang menganjurkan pengkajian,
perenungan dan pembahasan?13
(Dan ingatlah) kepada hari (ketika) Kami
bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang
saksi atas mereka dari mereka sendiri dan
Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi
saksi atas seluruh umat manusia. Dan
Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri (Q.S. al-Nahl [16]: 89).
Maka apakah mereka tidak memperhatikan
al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya (Q.S. al-Nisa’ [4]: 82).
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah supaya
Ibid., 117.
Ibid., 119.
12
13
Jurnal ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai ikiran (Q.S. Shad [38]:
29).
Maka apakah mereka tidak memperhatikan
perkataan (Kami), atau apakah telah datang
kepada mereka apa yang tidak pernah datang
kepada nenek moyang mereka dahulu? (Q.S.
al-Mu’minun [23]: 68).
Berdasarkan argumentasi di atas, maka
menurut al-Thabathaba’i pilihan pertama dan
utama menafsirkan al-Qur`an adalah dengan
al-Qur`an. Karena al-Qur`an adalah satu
kesatuan yang saling menjelaskan satu sama
lain. Al-Qur`an berisi pedoman, petunjuk,
rahmat, keberkahan yang mesti ditangkap dan
dipelajari dengan cara mengkaji, merenungi dan
membahasnya. Sebagai bukti bahwa al-Qur`an
itu datang dari Allah, maka ayatnya tidak saling
bertentangan, tapi justru saling menjelaskan satu
sama lain.
Bentuk Tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an
yang Diterapkan al-Thabathaba’i
Yang dimaksud dengan tafsir al-Qur`an
dengan al-Qur`an adalah bahwa ada ayat alQur`an yang ditafsirkan oleh ayat al-Qur`an
yang ada di tempat lain. Karena keberadaan
al-Qur`an sebagai wahyu Allah tentunya tidak
saling bertentangan, tetapi saling menjelaskan.
Mustahil perkataan Tuhan saling berlawanan
atau bertolak belakang. Seandainya di satu
tempat ada perkataan Tuhan yang membolehkan,
dan di tempat lain ada perkataan Tuhan yang
melarang, ini menunjukkan sisi lemah Tuhan.
Sisi lemah seperti ini tidak ditemukan dalam alQur`an. Yang ada sebaliknya, yaitu keberadaan
ayat al-Qur`an menjelaskan ayat lain.
Muhammad Husain al-Thabathaba’i dalam
kitab tafsirnya menampilkan bahwa al-Qur`an
saling menjelaskan satu sama lainnya. AlQur`an tidak muncul dalam bentuk yang saling
153
bertentangan. Lebih lanjut al-Thabathaba’i
menyebutkan:
Jika selintas ada ditemukan pertentangan,
maka pertentangan itu akan hilang dengan
merenungkan al-Qur`an itu sendiri.
Seandainya dalam menjelaskan maksudmaksud kitab ini dibutuhkan sesuatu yang
lain, maka kedudukannya sebagai hujjah
tidak sempurna. Karena andaikata seorang
kair menemukan suatu pertentangan dalam
al-Qur`an yang tidak dapat dihilangkan
dengan merujuk kepada ayat-ayat lain alQur`an itu sendiri, maka ia tidak akan dapat
menerima dihilangkannya pertentangan itu
melalui jalan lain, dengan menggunakan
hadis, umpamanya. Hal itu dikarenakan
orang kair tidak mempercayai kebenaran
Nabi dan tidak mempercayai kenabian serta
kesuciannya, sehingga ia akan menolak
pernyataan Nabi. Dengan kata lain, akan
sia-sia bila Nabi menjelaskan untuk
menghilangkan pertentangan-pertentangan
dalam al-Qur`an tanpa menggunakan bukti
verbal dalam al-Qur`an itu sendiri kepada
orang-orang yang tidak mempercayai
kenabian dan kesuciannya.14
Dari paparan di atas, al-Thabathaba’i
menjelaskan bahwa mustahil terdapatnya
pertentangan dalam al-Qur`an. Ia juga ingin
menegaskan bahwa keberadaan al-Qur`an
memang berasal dari Allah Swt dan bukan
dari selain-Nya, termasuk bukan buatan Nabi
Saw. Dalam hal ini al-Thabathaba’i juga
mengemukakan dalil dari al-Qur`an sendiri yaitu
surat al-Nisa’ [4]: 82.15
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan
al-Quran? kalau kiranya al-Quran itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya.
Seandainya al-Qur`an adalah buatan selain
Allah Swt. tentunya akan ditemukan ayat
yang bertentangan. Pertentangan itu tentunya
menunjukkan kelemahan al-Qur`an. Kelemahan
al-Qur`an berarti adalah kelamahan Allah Swt.
Ibid., 114.
Ibid., 113.
14
15
154
sebagai yang mempunyai kalam. Artinya,
dengan demikian tidak ada, dan tidak pantas
ada, kelemahan bagi Allah dan bagi kalam-Nya.
Dari penelusuran dan penelitian penulis
terhadap bentuk dan pola penggunaan ayat
al-Qur`an sebagai sumber penafsiran, maka
setidaknya ada dua bentuk. Pertama, alThabathaba’i memunculkan ayat lain yang
secara langsung terkait dengan ayat yang
dibahas. Kedua, dengan cara menjadikan ayat
al-Qur`an sebagai argumen terhadap penjelasan
dan penafsiran.
1) Memunculkan ayat lain yang juga terkait
langsung dengan tema yang dibahas
Bentuk dominan penafsiran al-Qur`an
dengan al-Qur`an yang ditampilkan
oleh al-Thabathaba’i adalah dengan cara
memunculkan ayat-ayat lain yang juga
terkait langsung dengan tema yang dibahas.
Al-Thabathaba’i menampilkan seolah-olah
al-Qur`an adalah satu-kesatuan yang saling
memberikan informasi, kendatipun dia
terletak di surat atau ayat lain.
Sebagai contoh adalah ketika menafsirkan
surat al-An’am ayat 83.
Dan Itulah hujjah Kami yang Kami
berikan
kepada
Ibrahim
untuk
menghadapi kaumnya. Kami tinggikan
siapa yang Kami kehendaki beberapa
derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Bijaksana lagi Maha mengetahui (Q.S.
al-An’am [6]: 83).
Ayat ini adalah penutup rangkaian
kelompok ayat yang berisi tentang kisah
Ibrahim a.s. dalam pencariannya terhadap
Tuhan dan bagaimana beliau mengemukakan
alasan dan dalil tentang lemahnya tuhantuhan yang disembah oleh kaumnya. Pada
ayat 83 ini Allah menyebutkan bahwa Ia yang
menunjuki Ibrahim dalam mengemukakan
alasan dan dalil yang digunakan untuk
mengemukakan kelemahan tuhan yang
disembah oleh kaumnya. Petunjuk Allah
Irhas: Penerapan Tafsir al-Qur`ân bi al-Qur`an
anugerahkan kepada Ibrahim hidayah
kebenaran sebelum Musa dan Harun).17
(dan sungguh Kami telah memilihnya di
dunia, dan sesungguhnya Dia di akhirat
benar-benar
Termasuk
orang-orang
yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman
kepadanya: «Tunduk patuhlah!» Ibrahim
menjawab: «Aku tunduk patuh kepada
Tuhan semesta alam»).18 Ibrahim a.s. juga
adalah orang yang menyerahkan dirinya
kepada Tuhannya (dengan cenderung
kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan).19 Ibrahim a.s.
juga adalah orang yang tenang dan yakin
hatinya dengan ketentuan Allah dan apa
yang diperlihatkan Allah swt. kepadanya
berupa (tanda-tanda keagungan Allah
yang terdapat di langit dan bumi). 20
(Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayangan-Nya)21 dan menjadikan rahmat
dan berkah-Nya kepada Ibrahim a.s. serta
keluarganya dan menyifatinya dengan sifat
yang baik.22 Allah juga memujinya dengan
dengan mengatakan (Sesungguhnya Ibrahim
itu benar-benar seorang yang penyantun lagi
penghiba dan suka kembali kepada Allah)23
dan ia (seorang imam yang dapat dijadikan
teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif
dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan
lagi yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah.
Allah telah memilihnya dan menunjukinya
kepada jalan yang lurus. Dan Kami
berikan kepadanya kebaikan di dunia. dan
sesungguhnya dia di akhirat benar-benar
termasuk orang-orang yang saleh).24
Swt. tersebutlah yang menjadikan Ibrahim
a.s. diangkat derajatnya oleh Allah Swt.
Dalam kaitannya dengan keberadaan
Ibrahim a.s. ini di hadapan Allah, alThabathaba’i
mencoba
menampilkan
ayat lain yang juga menjelaskan bentukbentuk lain dari keberadaan dan kedudukan
Ibrahim a.s. Dalam hal ini al-Thabathaba’i
menyebutkan:
أثى اه تعاى على إبراهيم عليه السام ي كامه أمل ثناء
وكرر ذكره بامه ي نيف,و مد حنته ي جنبه أبلع احمد
وستن موضعا من كتابه وذكر من مواهبه ونعمه عليه شيئا
) (ولقد آتيناه رشده من قبل: وهاك ما من ذلك.كثرا
(ولقد اصطفيناه ي الدنيا وإنه ي اآخرة من الصاحن إذ
قال له ربه أسلم قال أسلمت لرب العامن) وهو الذي
وجه وجهه إى ربه (حنيفا وما أنا من امشركن) وهو
الذي اطمأن قلبه باه وأيقن به ما أراه اه من (ملكوت
.)السماوات واأرض
(واخذ اه إبراهيم خليا) وجعل رمته وبركاته عليه و على
أهل بيته ووصفه بالتوفية ومدحه (إن إبراهيم حليم أواه
منيب) ومدحه أنه (كان أمة قانتا ه حنيفا وم يك من
امشركن شاكرا أنعمه اجتباه وهداه إى صراط مستقيم
.)وآتيناه ي الدنيا حسنة وإنه ي اآخرة من الصاحن
(وكان صديقا نبيا) وعده اه (إنه من عبادنا امؤمنن ومن
احسنن وسلم عليه) وهو من الذين وصفهم بأهم (أوي
.)اأيدي واأبصار) (وإنا أخلصناهم خالصة ذكرى الدار
وقد جعله اه (للناس إماما) وجعله أحد اخمسة أوي العزم
الذين آتاهم الكتاب والشريعة وآتاه اه العلم (واحكمة ة
)الكتاب) و املك واهداية (وجعلها كلمة باقية ي عقبه
(وجعلنا ي ذريتهما النبوة والكتاب) (واجعل ي لسان
صدق ي اآخرين) فهذه مل ما منحه اه سبحانه من
... امناصب اإهية و مقامات العبودية
وقد حفظ اه سبحانه حياته الكرمة وصخصيته الدينية ما
مى هذا الدين القوم باإسامكما ماه عليه السام ونسبه
(ملة أبيكم إبراهيم هو ماكم امسلمن: إليه قال تعاى
(قل إني هداي ري إى صراط مستقيم: من قبل) وقال
16
)دينا قيما ملة إبراهيم حنيفا وما كان من امشركن
Allah Swt. memuji Ibrahim a.s. di
banyak tempat dalam al-Qur`an dengan
pujian yang bagus dan indah. Di antaranya
adalah: (Dan Sesungguhnya telah Kami
Ibid., 113.
16
Jurnal ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016
Ibid., 113.
Ibid., 113.
19
Ibid., 113.
20
Ibid., 113.
21
Ibid., 113.
22
Ibid., 113.
23
Ibid., 113.
24
Ibid., 113.
17
18
155
di-nishbah-kan agama Islam kepada Ibrahim
a.s., sebagaiman irman Allah Swt. (Ikutilah
agama orang tuamu Ibrahim. Allah telah
menamai kamu sekalian orang-orang Muslim
dari dahulu).33 (Katakanlah: “Sesungguhnya
aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada
jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar,
agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu
bukanlah termasuk orang-orang musyrik”).34
(Sesungguhnya ia adalah seorang
yang sangat membenarkan dan seorang
Nabi).25 Allah Swt. menyebutnya dengan
(sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba
Kami yang beriman dan berbuat kebaikan dan
Allah senantiasa mencurahkan keselamatan
kepadanya)26 Ibrahim a.s. juga salah seorang
nabi yang disifati Allah Swt. dengan (yang
mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar
dan ilmu-ilmu yang tinggi). (Sesungguhnya
Kami telah mensucikan mereka dengan
menganugerahkan kepada mereka akhlak
yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan
manusia kepada negeri akhirat).27
Sesungguhnya
Allah
Swt.
telah
menjadikan Ibrahim a.s. sebagai (imam
bagi manusia)28 dan termasuk satu dari lima
nabi yang digelari dengan ulul azmi, kepada
mereka diberikan oleh Allah Swt. kitab suci
dan syari’at.29 Ibrahim a.s. juga diberi oleh
Allah Swt. Ilmu, dan (hikmah dan kitab
suci), kekuasaan, hidayah, (dan lbrahim a.s.
menjadikan kalimat tauhid sebagai kalimat
yang kekal pada keturunannya supaya
mereka kembali kepada kalimat tauhid itu).30
(dan Kami jadikan keturunan Nuh a.s dan
Ibrahim a.s. kenabian dan kami berikan
Kitab)31 (dan jadikanlah aku buah tutur
yang baik bagi orang-orang yang datang
kemudian).32 Itulah beberapa ayat al-Qur`an
yang menyebutkan bagaimana kedudukan
dan keberadaan Ibrahim a.s. di hadapan
Allah Swt…
Allah Swt. juga memelihara dan
menyelamatkan kehidupan, kepribadian dan
keyakinan beragama Ibrahim a.s sehingga
Ibid., 113.
Ibid., 113.
27
Ibid., 113.
28
Q.S. al-Baqarah [2]: 124.
29
Q.S. al-Ahzab [33]: 7; al-Syûra [42]: 13; dan al-A’la [87] :28.
30
Ibid., 113.
31
Ibid., 113.
32
Ibid., 113.
25
26
156
Dari kutipan di atas diketahui
bagaimana al-Thabathaba’i menggambarkan
keberadaan Ibrahim a.s. di hadapan Allah
Swt. Gambaran di atas sebenarnya adalah
gambaran al-Qur`an sendiri yang letaknya
terpisah di beberapa tempat atau surat
dan ayat lain di dalam al-Qur`an. Dalam
hal ini dapat dikatakan bahwa al-Qur`an
menjelaskan sendiri tentang tema-tema
keberadaan Ibrahim a.s. di hadapan Allah
Swt. Seolah-olah al-Thabathaba’i ingin
menjawab pertanyaan apa yang dikatakan
al-Qur`an tentang keberadaan Ibrahim a.s. di
hadapan Allah Swt.
Itulah contoh bagaimana al-Thabathaba’i
memunculkan penjelasan dan keterangan
tentang satu ayat dengan mengambil sumber
penjelasan itu dari ayat al-Qur`an yang
terdapat di tempat lain.
2) Memunculkan ayat dalam rangka
menjelaskan argumen dan penafsiran
Bentuk lain penafsiran al-Qur`an
dengan al-Qur`an yang ditampilkan
oleh al-Thabathaba’i adalah dengan cara
menjelaskan argumen dan penafsiran dengan
ayat lain yang mungkin sekilas tidak terkait
secara langsung. Tapi jika dikaji secara
mendalam, maka sebenarnya ayat lain itu
menjelaskan apa yang dikaji pada ayat yang
ditafsirkan. Dalam hal ini, al-Thabathaba’i
ingin menjelaskan sesuatu. Penjelasannya
Q.S. al-Hajj [22]: 78.
Q.S. al-An’am [6]: 161.
33
34
Irhas: Penerapan Tafsir al-Qur`ân bi al-Qur`an
diberi argumen yang dilandasi dengan ayat
lain. Sebagai contoh, irman Allah surat alZumar ayat 62 yang menjelaskan tentang
Allah dan keadaan ciptaan-Nya.
Allah menciptakan segala sesuatu dan
Dia memelihara segala sesuatu (Q.S. alZumar [39]: 62).
jahat, keberadaan manfaat sebagai lawan
keberadaan mudharat, keberadaan bagus
sebagai keberadaan jelek, indah sebagai
lawan buruk. Al-Qur`an memandang banyak
perbuatan, ucapan, dan pikiran sebagai bagus
atau buruk. Tetapi keburukan, kejelekan dan
kejahatan itu hanya akan tampak dengan jelas
jika dibandingkan dengan lawannya. Oleh
karena itu, keberadaan itu adalah relatif, tidak
dengan sendirinya. Sebagai contoh, ular dan
kalajengking itu menyakitkan, tetapi hanya
bagi manusia dan binatang yang merasa sakit
karena terkena racunnya, tidak bagi batu dan
debu. Sesuatu yang rasanya pahit dan baunya
tidak sedap, tidak disenangi, tetapi hal itu
hanya berlaku bagi rasa dan penciuman
manusia, tidak bagi rasa dan penciuman
semua binatang. Beberapa perbuatan serta
ucapan tampak menyimpang, tetapi hal
ini hanya bagi lingkungan tempat manusia
hidup, tidak bagi semua lingkungan.36
Jika masalah relativitas dan perbandingan
tidak diperhatikan, segala yang ada akan
menjadi indah dan menawan. Keindahan
tidak dapat digambarkan dan diungkapkan,
karena penggambaran dan pengungkapan
keindahan-keindahan itu sendiri termasuk
keindahan-keindahan alam, makhluk, dan
keduanya juga memerlukan penggambaran.
Ayat tadi bermaksud memalingkan
pandangan manusia dari keindahan dan
keburukan yang relatif, mengarahkannya
kepada keindahan yang mutlak, dan
melengkapi akal dengan pandangan dan
pengetahuan yang menyeluruh. Apabila
dipahami pokok-pokok yang dijelaskan
dalam ratusan ayat al-Qur`an yang
menggambarkan bagian demi bagian,
gugusan demi gugusan, dan berbagai sistem
universal ataupun parsial alam, dapat
diketahui bahwa alam merupakan bukti
paling kuat tentang ke-Mahakuasa-an Allah
Gagasan ini diulang dalam al-Qur`an
di empat tempat, yaitu al-Zumar ayat 62,
al-Anam ayat 102, al-Ra’du ayat 16, dan
Ghair ayat 62. Menurut gagasan ini, semua
makhluk yang ada di alam ini adalah ciptaan
Allah Swt. Harus selalu dicamkan bahwa
al-Qur`an, dalam ratusan ayat, menegaskan
masalah sebab dan akibat. Dalam ayat-ayat
itu, semua perbuatan di-nisbah-kan kepada
pelakunya. Sebab selalu dikaitkan dengan
akibat, seperti membakar selalu dikaitkan
dengan api, tumbuh dihubungkan dengan
bumi, hujan dikaitkan dengan bumi, dan
lain-lain. Kesimpulannya ialah bahwa orang
yang berbuat dan mengerjakan sesuatu,
maka perbuatan dan pekerjaannya dikaitkan
dengannya. Hanya saja pewujud hakiki dari
perbuatan itu adalah Allah Swt. bukan yang
lain.35
Setelah mengungkapkan generalisasi
penciptaan, Allah Swt. berirman:
Yang membuat segala sesuatu yang
Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang
memulai penciptaan manusia dari tanah.
(Q.S. al-Sajadah [32]: 7).
Jika ayat ini dipadukan dengan ayat
yang sebelumnya, tampak bahwa kehidupan
dan penciptaan selalu terjadi bersamaan,
sehingga semua ciptaan yang dijumpai di
alam makhluk adalah bagus dan indah.
Hendaknya juga selalu dicamkan bahwa
ayat-ayat al-Qur`an mengakui keberadaan
baik sebagai lawan dari keberadaan
Lihat al-Thabathaba’i, al-Mizan, jilid ke-17, 288-289; lihat
juga ibid., jilid ke-7, 302; Al-Thabathaba’i, Mengungkap, 121.
35
Jurnal ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016
36
Ibid., 122.
157
Swt. dan petunjuk terhandal untuk mengenal
Allah Swt. dan kesempurnaan kekuasaanNya.37
Setelah merenungkan kedua ayat di
atas, diketahui bahwa keindahan yang
mempesona yang memenuhi seluruh alam
ini hanyalah secercah keindahan yang
diketahui melalui tanda-tanda yang ada di
langit dan di bumi ini. Setiap bagian dari
alam ini merupakan celah, dan dari celah
ini dapat diketahui kekuasaan yang tidak
terbatas sehingga diketahui bahwa bagianbagian ini tidak memiliki kekuasaan
sedikitpun kecuali yang telah dilimpahkan
kepadanya. Oleh karena itu, dalam
beberapa ayat al-Qur`an dapat dilihat
penisbatannya kepada berbagai keindahan
dan kesempurnaan kepada Allah Swt.
Seperti ayat-ayat berikut.38
Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan
dia; Maka sembahlah Dia dengan
memurnikan ibadat kepada-Nya. segala
puji bagi Allah Tuhan semesta alam (Q.S.
al-Mu’min [40]: 65).
Dan di antara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman Amat
sangat cintanya kepada Allah. dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat
zalim itu mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya,
dan bahwa Allah Amat berat siksaanNya (niscaya mereka menyesal) (Q.S. alBaqarah [2]: 165).
(Yaitu) orang-orang yang mengambil
orang-orang kair menjadi temanIbid., 123.
Lihat Ibid., 124-124.
37
38
158
teman penolong dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Apakah mereka
mencari kekuatan di sisi orang kair itu?
Maka Sesungguhnya semua kekuatan
kepunyaan Allah (Q.S. al-Nisa [4]: 139).
Allah, Dialah yang menciptakan kamu
dari Keadaan lemah, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah Keadaan
lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu
lemah (kembali) dan beruban. Dia
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah yang Maha mengetahui lagi
Maha Kuasa (Q.S. al-Rûm [30]: 54).
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia
menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan
dari jenis binatang ternak pasanganpasangan (pula), dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha mendengar dan
melihat (Q.S. al-Syura [42]: 11).
Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan
Dia. Dia mempunyai al-asma’ al-husna
(Q.S. Thaha [20]: 8).
Berdasarkan
ayat-ayat
di
atas,
pada hakikatnya semua keindahan dan
kesempurnaan yang ada dan tampak di
permukaan bumi ini adalah milik Allah
Swt. Adapun kesempurnaan dan keindahan
yang ada pada selain Allah Swt. hanyalah
kesempurnaan dan keindahan perlambang
dan pinjaman.
Untuk menguatkan apa yang telah
disebutkan tadi, al-Qur`an menjelaskan
dengan cara lain, bahwa keindahan dan
kesempurnaan yang dititipkan pada makhluk
di alam ini terbatas dan berkesudahan.
Sedangkan keindahanan dan kesempurnaan
pada Allah Swt. tidak terbatas dan tidak
Irhas: Penerapan Tafsir al-Qur`ân bi al-Qur`an
berkesudahan. Firman Allah Swt.39
Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu menurut ukuran (Q.S. al-Qomar
[54]: 49).
dan kemerdekaannya kepada Allah Swt.
Kemudian ia berlindung di bawah panji
kebenaran dan masuk ke dalam kasih-Nya.
Sebagaimana Firman-Nya.41
Sesungguhnya orang yang paling dekat
kepada Ibrahim ialah orang-orang yang
mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad),
beserta orang-orang yang beriman
(kepada Muhammad), dan Allah adalah
Pelindung semua orang-orang yang
beriman (Q.S. Ali Imran [3]: 68).
Dan tidak ada sesuatupun melainkan
pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan
Kami tidak menurunkannya melainkan
dengan ukuran yang tertentu (Q.S. alHijr [15]: 21).
Ketika
menerima
kebenaran
yang dikemukakan al-Qur`an, manusia
mendapati dirinya berhadapan dengan
keindahan dan kesempurnaan yang tidak
ada batasnya. Keindahan dan kesempurnaan
itu mengelilinginya dari segala arah
dan sama sekali tidak ada celanya; yang
membuatnya lupa akan segala keindahan
dan kesempurnaan di dunia ini sampaisampai ia melupakan dirinya sendiri yang
sebenarnya merupakan sebagian dari
tanda-tanda keindahan dan kesempurnaan
Allah. Ia melupakannya dan tertarik
kepada Yang Menciptakan keindahan dan
kesempurnaan. Firman Allah Swt.40
Dan di antara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman amat
sangat cintanya kepada Allah. dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat
zalim itu mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya,
dan bahwa Allah Amat berat siksaanNya (niscaya mereka menyesal) (Q.S. alBaqarah [2]: 165).
Allah Pelindung orang-orang yang
beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekairan) kepada cahaya
(iman). Dan orang-orang yang kair,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan,
yang mengeluarkan mereka daripada
cahaya kepada kegelapan (kekairan).
Mereka itu adalah penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya (Q.S. alBaqarah [2]: 257).
Kemudian ia menemukan jiwa yang
lain dan menjalani kehidupan yang baru,
dan bersinarlah di dalam hatinya cahaya
kebenaran sehingga terbukalah baginya
jalan-jalan kebahagiaan dalam perjalanannya
yang mulia di tengah-tengah masyarakat.
Allah Swt. berirman.42
Dan apakah orang yang sudah mati
kemudian dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang,
yang dengan cahaya itu dia dapat
berjalan di tengah-tengah masyarakat
manusia, serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita
yang sekali-kali tidak dapat keluar dari
padanya? Demikianlah Kami jadikan
orang yang kair itu memandang baik
apa yang telah mereka kerjakan (Q.S. alAn’am [6]: 122).
Di sinilah, karena tuntunan cinta, manusia
sebagai hamba menyerahkan kehendak
Ibid., 125.
Ibid., 126.
Ibid., 127.
Ibid.
39
41
40
42
Jurnal ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016
159
Kamu tak akan mendapati kaum yang
beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orangorang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapakbapak, atau anak-anak atau saudarasaudara ataupun keluarga mereka.
Meraka itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam hati
mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan yang datang daripada-Nya.
Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai,
mereka
kekal
di
dalamnya. Allah ridha terhadap mereka,
dan merekapun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah
golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya hizbullah itu adalah
golongan yang beruntung (Q.S. alMujadalah [58]: 22).
Tentang mengikuti Rasul Saw. dijelaskan
dalam ayat berikut ini.44
(Yaitu) orang-orang yang mengikut
Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat
dan Injil yang ada di sisi mereka,
yang menyuruh mereka mengerjakan
yang ma’ruf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya. memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya
yang
terang
yang
diturunkan
kepadanya (Al Quran), mereka itulah
orang-orang yang beruntung (Q.S. alA’raf [7]: 157).
Dalam
ayat
lain,
Allah
Swt.
memberitahukan cara mendapatkan cahaya
ini. Firman Allah Swt.43
Hai orang-orang yang beriman (kepada
para rasul), bertakwalah kepada Allah
dan berimanlah kepada Rasul-Nya,
niscaya Allah memberikan rahmat-Nya
kepadamu dua bagian, dan menjadikan
untukmu cahaya yang dengan cahaya
itu kamu dapat berjalan dan Dia
mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S.
al-Hadid [57]: 28).
Dalam ayat yang lain terdapat pengertian
lebih jelas tentang mengikuti Rasul Saw.45
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) itrah
Allah yang telah menciptakan manusia
menurut itrah itu. Tidak ada peubahan
pada itrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (Q.S. al-Rûm [30]: 30).
Berdasarkan ayat-ayat ini, maka
keseluruhan
program-sempurna
Islam
merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh
manusia yang hidup di dunia ini. Program
itu ialah undang-undang dan hukum-hukum
yang ditunjukkan oleh itrah manusia dan
kehidupan yang dijalani oleh manusia yang
lurus, sebagaimana yang diirmankan oleh
Allah Swt.46
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosadosamu.” Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang (Q.S. Ali Imran [3]:
31).
Ibid.
Ibid., 129.
46
Ibid., 130.
44
45
Ibid., 128.
43
160
Irhas: Penerapan Tafsir al-Qur`ân bi al-Qur`an
Demi
jiwa
dan
penyempurnaan
(ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan
ketakwaannya.
Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya (Q.S. alSyams [91]: 7-10).
pertama adalah pola yang dominan dilakukan
dalam sub bahasan ( بيانbayan). Sedangkan
pola kedua biasanya akan ditemukan ketika
al-Thabathaba’i
memunculkan
tema-tema
pembahasan tertentu dalam tafsirnya.
Daftar Kepustakaan
Al-Qur`an adalah satu-satunya kitab suci
yang mempersamakan antara kehidupan
manusia yang bahagia dan kehidupan
itrah yang bersih. Berbeda dengan kitabkitab suci dan jalan-jalan hidup yang lain,
al-Qur`an memadukan antara programprogram ibadah dan program-program
kehidupan. Selain memiliki pandangan
khusus tentang individu dan masyarakat,
al-Qur`an juga memiliki ajaran tentang
segala hal. Sesungguhnya al-Qur`an
memasrahkan manusia kepada dunia,
dan dunia kepada manusia, dan keduanya
kepada Allah Swt.
Begitulah al-Thabathaba’i memberikan
argumen dan penjelasannya bahwa alQur`an memberikan banyak sifat formal dan
spiritual kepada kekasih-kekasih dan hambahamba Allah yang ikhlas. Sifat-sifat dan ciriciri ini menjadi hiasan diri mereka. Hal ini
merupakan hasil dari iman yang murni dan
keyakinan yang mantap.
Kesimpulan
Demikianlah gambaran tentang bagaimana
al-Thabathaba’i menerapkan tafsir al-Qur`an
dengan al-Qur`an dalam kitab tafsirnya alMizan i Tafsir al-Qur`an. Dari dua bentuk
pola penggunaan ayat al-Qur`an dalam rangka
menjelaskan kandungan al-Qur`an, maka pola
al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa alMufassirûn. Juz ke-1. Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.
Elposito, Jhon L. (ed.). Ensiklopedi Oxford
Dunia Islam Modern. Diterjemahkan
oleh Femmy Syahrani dkk. cet. Ke-1,
jilid ke-6 cetak ke-1, Bandung: Mizan,
2001.
Nashr, Sayyid Husein. “al-Allamah Muhammad
Husain
al-Thabathaba’i”.
Dalam
pengantar Islam Syi’ah Asal Usul dan
Perkembangannya. diterjemahkan oleh
Djohan Efendi. Jakarta: Pustaka Utama
Graiti, 1989.
al-Thabathaba’i, Muhammad Husain. al-Mizan
i Tafsir al-Qur`an. Jilid ke-1. Beirut:
Muassasah al-A’lami li al-Mathbû’ah,
1991.
-------.
Memahami
Diterjemahkan
Lentera, 2000.
Esensi
al-Qur`an.
oleh Agus. Jakarta:
-------.
Mengungkap Rahasia al-Qur`an.
Diterjemahkan dari judul asli Al-Qur`an
i al-Islam oleh A. Malik Hamdaniy dan
Hamim Ilyas. Cet. ke-1. edisi 2 in 1.
Bandung: Mizan, 2009.
Ibid.
47
Jurnal ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016
161