Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Urbanisasi: Kegagalan Pemerataan Pembangunan Urbanisasi merupakan perpindahan penduduk secara masif dari pedesaan (tradisional) ke perkotaan (maju). Fenomena urbanisasi tidak bisa dilepaskan dari konsep modernisasi. Dapat dikatakan bahwa munculnya urbanisasi berarti telah berjalannya konsep modernisasi disuatu wilayah. Urbanisasi dalam konsepsi modernisasi sebenarnya memang menjadi salah satu tujuan, kapitalisme membuat terkonsentrasinya faktor-faktor produksi (industrialisasi), mendorong masyarakat sebagai komoditas produksi beralih dari pedesaan menuju perkotaan. Tujuan utama dari perpindahan tersebut untuk mendorong ekonomi perkotaan dan diharapkan turut mempengaruhi pedesaan. Namun urbanisasi yang terjadi di negara berkembang menunjukkan bahwa urbanisasi disisi lain turut serta mendorong laju pertumbuhan ekonomi, disisi lainnya urbanisasi memberikan dampak negatif dan masalah sosial yang cukup kompleks. Konsepsi Pembangunan dalam Modernisasi Seperti yang telah diketahui bahwa orientasi pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan merupakan salah satu hasil dari pendekatan modernisasi yang digunakan digunakan di negara berkembang. Peet dan Hartwick (2009) menjelaskan bahwa modernisasi mendorong masyarakat yang ingin mengembangkan diri harus membuka perbatasan mereka dan membiarkan perubahan menjadi bagian dari sistem kapitalis global, menyambut dan mendorong perusahaan multinasional, teknologi canggih, dan berorientasi pasar bebas, menarik bantuan negara dan privatisasi ekonomi serta harus memungkinkan pasar untuk mendisiplinkan ekonomi mereka. Modernisasi menuntut negera berkembang bila menginginkan adanya kemajuan, maka harus menempatkan negara barat sebagai “kiblat” dari proses pembangunan. Karakteristik struktural dari modernisasi diidentifikasi oleh Eisenstadt (dalam Peet dan Hartwick, 2009) menjelaskan bahwa pembangunan penempatkan perhatian yang tinggi pada perbedaan pengembangan sumber daya netral, kelompok askriptif, industrialisasi, identifikasi nasional, mekanisme pasar, pengembangan kelembagaan, meninggalkan politik tradisional, sekularisasi, dan munculnya intelektual baru. Modernisasi mengandung tiga makna, pertama makna yang sangat umum meliputi seluruh perubahan sosial yang progresif dimana masyarakat bergerak maju. Kedua bermakna historis menyangkut transformasi sosial, politik, ekonomi, kultural dan mental. Makna yang kedua ini sering disebut dengan “modernitas” yang meliputi proses industrialisasi, urbanisasi, rasionalisasi, birokratisasi, demokratisasi, pengaruh kapitalisme, individualisme dan motivasi untuk berprestasi, meningkatnya pengaruh akal dan sains. Makna modernisasi yang ketiga paling khusus dan hanya mengacu pada masyarakat terbelakang atau tertinggal dan berupaya untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat yang lebih maju terlebih dahulu (Sztompka, 1993: 149). Konsep modernisasi yang pada awalnya ditujukan sebagai jalan keluar permasalahan ekonomi yang meliputi negara berkembang ternyata justru menghasilkan dampak yang terbalik dari tujuan awalnya. Hal ini berarti dengan masuknya konsep pembangunan dan modernisasi ke negara berkembang tidak dapat menghapuskan kemiskinan dan keterpurukan ekonomi, yang terjadi adalah meningkatnya angka pengangguran, semakin bertambahnya angka kemiskinan, serta jarak antara masyarakat miskin dengan kaya semakin jauh. Pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan (growth) ekonomi yang selama ini diterapkan negara-negara berkembang termasuk negara Indonesia telah membawa sejumlah perubahan yang cukup signifikan. Namun sesungguhnya kemajuan dan pertumbuhan tersebut bersifat semu, sebab kemiskinan riil yang ada di masyarakat makin parah dan perekonomian negara yang rapuh. Pembangunan dengan orientasi pertumbuhan ekonomi mengakibatkan manfaat pembangunan hanya dirasakan oleh segelintir kalangan. Industrialisasi yang diciptakan di kawasan perkotaan mempersulit akses masyarakat kalangan bawah untuk ikut serta menikmati pembangunan. Hal ini tidak saja menyebabkan ketidakadilan dan ketidakmerataan sebagai perwujudan dari pembangunan nasional, namun juga lebih luas akan berdampak luas pada sosial ekonomi masyarakat luas. Dalam kenyataanya, hakikat pembangunan nasional seperti negara berkembang (Indonesia) sebenarnya berdasarkan pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedoman pembangunan nasional. Upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan Pancasila diarahkan pada perwujudan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketidakmerataan pembangunan dapat dilihat pada pemusatan modal berupa industrialisasi yang berpusat pada perkotaan. Perkotaan sebagai faktor penggerak daerah lain dalam konsep modernisasi tidak tercermin dalam fakta empiris yang menunjukkan bahwa terjadi jurang kesenjangan yang sangat besar antar perkotaan dengan daerah lainnya. Pembangunan infrastruktur dan suprastruktur perkotaan yang masif sebagai penopang industrialisasi justru menyebabkan putaran ekonomi dan pembangunan hanya terpusat di perkotaan. Evers dan Korff (2002) menggambarkan fenomena kota di Asia Tenggara (negara berkembang) yang memonopoli ekonomi, sosial dan politik sebagai perwujudan modernisasi. Terkosentrasinya lembaga-lembaga dalam perkotaan menunjukkan peran perkotaan dalam perubahan sosial sangat besar, perkotaan dengan lembaga elitenya cenderung mencega munculnya kota-kota baru karena dianggap dapat mengancam posisi dan kekuasaan lembaga tersebut. Akibatnya urbanisasi menjadi prasyarat untuk mendapat akses terhadap pembangunan, ekonomi, sosial dan politik yang terpusat dikota. Urbanisasi menjadi solusi karena negara lebih memilih pembangunan di perkotaan seperti tempat tinggal kualitas baik, kawasan industri, mendesain ulang, memperluas dan memperkenalkan infrastruktur baru. Penekanan pada urbanisasi ditunjukkan oleh fakta bahwa hampir setiap pembangunan oleh negara terletak di kota-kota, masyarakat di pedesaan apabila ingin membuat tempat tinggal mereka lebih baik harus menunggu lama bahkan hingga mereka berusaha membangun sendiri (Dalakoglou 2010b). Benar atau tidaknya gambaran fenomena tersebut, namun yang pasti industrialisasi yang terpusat di perkotaan pada kenyataannya tidak bisa secara baik dapat mendorong pembangunan di daerah lain (pedesaan). Pemerataan pembangunan yang tidak terwujud tersebut mendorong perpindahan penduduk secara masif dari desa ke kota dengan harapan akan memperoleh manfaat pembangunan lebih besar. Sheppard (2008) menyatakan kedekatan pedesaan dengan perkotaan dalam banyak kasus tidak mewujudkan arti modernisasi, namun sebagai ledakan untuk melakukan urbanisasi karena infrastruktur yang sudah baik antar kota dan desa, hal ini menyebabkan kawasan pedesaan tetap tidak berkembang karena tidak dirawat oleh penduduk asli.Dalam perspektif modernisasi memang menempatkan urbanisasi sebagai salah esensi dari pembangunan. Urbanisasi ini dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat meninggalkan faktor-faktor produksi tradisional pedesaan dengan beralih pada industri skala besar. Tidak ada yang salah dalam konsep ini, karena dengan perpindahan ke pusat pembangunan juga akan memberikan multiplier effect yang luas baik bagi kota maupun desa. Berbeda dengan negara yang sudah maju di mana urbanisasi terjadi sebagai akibat dari pergeseran struktur mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian di pedesaan ke sektor jasa di kota melalui sektor industri manufaktur. Urbanisasi di negara-negara berkembang terjadi karena tekanan perubahan yang dahsyat yang terjadi di pedesaan dan mendorong pergeseran akupansi dari sektor pertanian langsung menuju kesektor jasa di daerah perkotaan tanpa melalui fase perkembangan industri manufaktur (Gilbert dan Gugler, 1996). Sebagai akibat di negara berkembang kecepatan urbanisasi lebih tinggi disbanding ekspansi industri manufaktur. Selain itu karakteristik penduduk desa yang datang ke kota adalah tingkat pendidikan, keterampilan serta kemampuan sosio-ekonominya terbatas, sehingga urbanisasi yang terjadi mempengaruhi perkembangan kondisi kota yang cenderung mengalami penurunan kualitas hidup per kapita penduduknya. Salah satu akibat meningkatnya urbanisasi di kota yaitu rusaknya tata kota daerah tujuan para urban. Pembangunan perkotaan yang dilihat sebagai suatu yang positif dengan adanya ekspansi kapitalis, akan menyentuh sisi heterogenitas bahwa pembangunan kapitalis akan mengorbankan banyak hal seperti lingkungan, kultur, kesenjangan dan sebagainya (Weinstein, 2008). Urbaniasi pada kenyataannya memberikan dampak lingkungan yang besar, perumahan illegal, tidak layak huni, sanitasi buruk, kemiskinan dan lain sebagainya (Carrero, 2009, Memon et al., 2007). Urbanisasi memberikan dampak negatif bila tidak dikontrol baik kualitas maupun kuantitasnya, permsalahan yang dapat ditimbulkan diantanya; tata kota tidak teratur karena meningkatnya bangunan liar tidak layak huni, kemiskinan, penganguran, kriminalitas, kesenjangan dan fenomena sosial lainnya. Disinilah letak mengapa para urban yang tidak memiliki kemampuan dikatakan mempunyai dampak negatif, walaupun sesungguhnya mereka dapat memberikan dampak positif, antara lain meningkatnya aktifitas perekonomian kota. Kota bertambah ramai, perdagangan semakin meningkat sehingga kehidupan di kota semakin berkembang dengan banyaknya pendatang-pendatang baru dari luar kota. Fenomena Urbanisasi di Negara Berkembang dan Upaya Pemerataan Pembangunan Urbanisasi merupakan gejala yang terjadi dengan ditandai perpindahan dan pemusatan penduduk secara nyata. Dalam hal ini berpindahnya penduduk mengalami bermacam-macam dampak didalam hubungannya dengan masyarakat setempat dan masyarakat baru (Koyano Ed. 1996). Definisi ‘urban’ dapat berdasarkan jumlah penduduk, bentuk kegiatan ekonomi nya (bergerak di bidang agrikultur atau tidak), kondisi infrastrukturnya (jalan, penerangan dan air bersih) atau fungsinya (sebagai pusat administratif). Karena dasar dari pembuatan definisi tersebut berbeda, maka tidaklah mudah untuk membandingkan tingkat urbanisasi antar negara. Sebagai contoh, pemerintah cenderung untuk mengklasifikasikan desa dan daerah pinggiran sebagai kota, sehingga pemekaran lingkup ini otomatis meningkatkan populasi (pada saat desa tersebut memiliki karakter perkotaan akibat perubahan kegiatan ekonominya, ataupun adanya infrastruktur khas perkotaan dan pelayanan publik). Atau pada saat terjadi konversi guna lahan menjadi industri atau residensial, menjadikan daerah tersebut bagian dari kota, namun di luar batas administrasi kewilayahan. Migrasi adalah proses berpindahnya penduduk dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas wilayah administrasi tertentu yang dilalui dalam perpindahan tersebut. Perpindahan yang melewati batas desa/kelurahan saja disebut sebagai migrasi antar desa/kelurahan. Perpindahan yang melewati batas kecamatan disebut migrasi antar kecamatan, yang melewati batas kabupaten/ kota disebut migrasi antar kabupaten/kota dan yang melewati batas provinsi disebut migrasi antar provinsi. Penduduk yang melakukan perpindahan disebut migran. Proses urbanisasi yang tidak terkendali menunjukkan adanya ketidakseimbangan demografi secara keruangan, yang sering disebut dengan istilah urbanisasi berlebih atau overurbanization, dalam istilah lain sering disebut juga sebagai urbanisasi semu atau pseudo-urbanization, jika ini terjadi bisa menjadi penyebab yang menghambat pembangunan. Berkenaan dengan hal itu, Smith dan Nemeth (1988) menyatakan bahwa urbanisasi harus dikendalikan, sebab jika tidak terkendali dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap penduduk kota, penduduk pedesaan, maupun pengaruh makro terhadap negara. Bentuk dan hasil dari urbanisasi yang dilakukan dengan pemikiran kapitalis, akan memberikan dampak yang berbeda secara signifikan antara kota dan desa (Peck et.,al, 2009). Dociu dan Dunarintu (2012) mengatakan bahwa dampak sosial dan ekonomi dari urbanisasi perlu untuk diperhatikan karena dapat mengancam kondisi kota bersangkutan. Urbanisasi (Nadkarny 2011, Murphy, 2008) juga memiliki pengaruh besar untuk mendorong ekonomi sebuah negara, jika proses urbanisasi bisa dikendalikan akan memberikan dampak positif. Laporan Bank Dunia (1994) yang dikutip oleh Keban (1996) menyebutkan, ada hubungan positif antara tingkat urbanisasi di suatu negara dengan tingkat pendapatan per kapita. Korelasi positif tersebut telah didukung dengan data empiris, sehingga memberikan keyakinan bahwa urbanisasi mempunyai peranan penting dalam pembangunan, artinya peningkatan urbanisasi dapat mempercepat pembangunan. Penduduk merupakan modal dasar dalam pembangunan. Penduduk merupakan modal dasar dalam pembangunan. Jumlah penduduk yang besar di suatu daerah merupakan potensi pembangunan, dalam artian daerah mempunyai sumber daya manusia yang cukup, akan tetapi walaupun jumlahnya banyak kalau tanpa kualitas bukan merupakan potensi pembangunan, namun menjadi ancaman bagi pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, jika di suatu wilayah memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, perlu dilakukan upaya penanganan pengendalian dan peningkatan kualitas agar tidak menjadi beban bagi proses pembangunan yang akan dilaksanakan. Menurut UNESCAP (2008), ada lima faktor yang mempengaruhi urbanisasi. Pertama,f faktor Pendukung dan Penghambat Migrasi. Penduduk bermigrasi karena mereka terpaksa keluar dari daerah asalnya akibat rendahnya kualitas hidup atau adanya daerah yang menjanjikan kesempatan untuk hidup lebih layak. Seringkali seseorang memutuskan untuk bermigrasi karena kombinasi dari kedua faktor di atas. Beberapa penduduk terpaksa keluar dari daerah asalnya karena mereka tidak bisa mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk kehidupan yang layak. Faktor lain adalah kerawanan bencana di daerah tersebut, seperti banjir, kemarau ataupun gempa bumi, atau perubahan ekologis yang berkelanjutan seperti gurun-isasi atau erosi tanah. Pada saat yang bersamaan, seseorang merasa ditarik ke kota karena adanya kesempatan kerja, pendidikan dan fasilitas kesehatan yang lebih baik, atau lebih adanya kebebasan dari struktur sosial dan budaya yang dirasa mengekang. Kedua, minimnya Kesempatan untuk memiliki penghasilan yang layak dari kegiatan agrikultur. Kebanyakan penduduk desa bekerja di sektor agrikultur yang merupakan sektor yang sangat tergantung dengan kondisi cuaca, ketersediaan lahan dan tingkat kesuburan tanah. Selain itu, tanah miliknya tergolong kecil sehingga mereka terpaksa berhutang dan seringkali terpaksa menjual tanahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan melunasi hutang. Akibatnya, penghasilan di desa cenderung kecil. Untuk meningkatkannya, maka para petani harus meningkatkan produktivitas mereka, yang membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit untuk membayar teknologi yang dibutuhkan, bibit tanaman unggul ataupun obat anti hama yang relatif mahal. Pilihan yang tersedia adalah menambah penghasilan mereka dengan pekerjaan tambahan yang tidak terkait dengan sektor agrikultur, baik pekerjaan di desa, ataupun di kota untuk sementara, sebagai buruh bangunan, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima, dan pekerjaan informal lainnya yang umum ditemukan di perkotaan. Ketiga, migrasi ke kota meningkatkan kesempatan mencari pekerjaan yang lebih baik. Bahkan bagi rumah tangga yang mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya dari hasil pertaniannya, umumnya hasil tersebut digunakan untuk mendanai anak mereka mencari pekerjaan di kota. Selain ketersediaan lapangan kerja yang jauh lebih besar dibanding di desa, kota juga menawarkan sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang lebih baik, serta kebebasan untuk melakukan kegiatan sosial. Karena budaya kota cenderung lebih permisif dibanding nilai-nilai tradisional dan struktur hirarkis yang ketat di desa, kota juga menawarkan para migran muda dan anak-anaknya kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal ke strata sosial yang lebih tinggi. Keempat, informasi mengenai apa yang kota bisa tawarkan. Walaupun beberapa rumah tangga tidak punya pilihan lain selain meninggalkan kampungnya, namun kebanyakan bermigrasi berdasarkan pilihan. Peningkatan jaringan transportasi, ketersediaan telepon selular, meningkatkan komunikasi dan jejaring dengan kenalan mereka di kota, telah membuat penduduk desa paham mengenai keuntungan (ataupun kerugian) untuk pindah ke kota. Terutama informasi mengenai kesempatan kerja serta kondisi huni di perkotaan. Kelima, memenuhi kebutuhan rumah tangga di desa. Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, anggotanya seringkali bekerja terpencar di berbagai tempat: daerah pedesaan, kota kecil dan kota besar; bahkan ke luar negeri. Hal ini dilakukan untuk memastikan keragaman sumber penghasilan sehingga tidak rentan terhadap kondisi ekonomi di satu tempat yang dapat mempengaruhi keamanan finansial mereka. Bentuk pengaturan seperti ini membuat anak-anak dan orang tua dapat tetap tinggal di desa, sementara anggota keluarga mereka termasuk dalam kategori angkatan kerja, dapat bekerja di kota. Upaya pemerataan pendapatan sebenarnya dapat dilakukan dengan paradigma otonomi daerah. Kebijakan pada saatnya akan memperlihatkan perubahan dalam hubungan negara-masyarakat sipil sebagai fungsi pemerintahan yang diperkecil ke tingkat perkotaan. Ini termasuk peningkatan penekanan pada partisipasi dan konsultasi sebagai dasar formulasi kebijakan, perbedaan tipe pembangunan dari kemitraan dalam pemerintah daerah dan peran baru bagi organisasi masyarakat (Beaumont dan Nicholls, 2008). Perkembangan terakhir dapat dilihat sebagai bagian dari "peluncuran kembali-pembangunan ekonomi kebijakan dan perencanaan pada skala regional" (Wetzstein, 2008). Proyek ini merupakan salah satu dari banyak contoh kontemporer sirkuit global pengetahuan kebijakan, yang diartikulasikan melalui keahlian aktor tertentu kebijakan perkotaan (McCann, 2008). Dalam hal ini, proses rescaling saat ini dan upaya untuk menciptakan lembaga-lembaga politik lokal dan praktek mungkin menawarkan kemungkinan untuk jalur sosial-politik alternatif, tapi ini tidak berarti dijamin. Penekanan baru pada masyarakat yang telah muncul dalam pemerintahan lokal dan regional tentu merupakan reposisi dari penduduk perkotaan dalam kaitannya dengan struktur politik dan proses pengambilan keputusan di kota-kota. Pertanyaan yang tersisa adalah sejauh mana ini reposisi adalah pemberdayaan warga perkotaan dalam kaitannya dengan produksi ruang dalam kota atau apakah itu hanya nominal dan melalui konsensus berfungsi untuk mengalihkan dari konflik yang diperlukan untuk praktik demokrasi dan politik transformasi (McCann, 2008). Pergeseran tanggungjawab yang lebih luas antara pemerintaha lokal dan regional dalam pembangunan perkotaan menjadi serangkaian inisiatif gabungan dari stakeholder lokal, regional dan pemerintah pusat. Stakeholder yang terkait ini memiliki tingkatan peran yang berbeda dan ditambah dengan peran yang dimiliki kelompok bisnis. Inisiatif dari stakeholder tersebut diharapkan dapat menjawab kebutuhan kota. Dengan memahami bahwa hakikat urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari luar ke dalam wilayah perkotaan karena dorongan motif ekonomi-kesejahteraan, maka penanganan yang harus dikembangkan adalah penanganan ekonomi wilayah regional. Dalam pergeseran yang lebih luas tanggung jawab lokal dan regional untuk pertumbuhan perkotaan telah menjadi serangkaian inisiatif bersama. Peringkat aktor yang berbeda dalam pemerintahan lokal, regional dan nasional, lembaga kuasi-negara seperti Selandia Baru dan Industri Perdagangan Selandia Baru dan Enterprise serta kelompok bisnis. Inisiatif ini menempatkan penekanan khusus mereka pada persaingan ruang dalam kota (Le Heron, 2009). Pendekatan kebijakan kontemporer keragaman budaya semakin berfokus pada perkotaan, menandai keberangkatan yang cukup dari konfigurasi seperti bikulturalisme dan multikulturalisme di mana ruang bangsa dipandang sebagai arena utama untuk pembuatan masyarakat yang beragam dan kohesif. (Collins dan Friesen, 2011) Di sini perlu disinggung sedikit mengenai masalah otonomi daerah. Konsepsi otonomi daerah, antara lain diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan seluasnya kepada daerah dalam pengembangan wilayah. Otonomi daerah memungkinkan pemerintah setempat untuk mengembangkan potensi-potensi lokal. Namun di sisi lain egoisme pemerintah setempat membuat kebijakan pembangunan wilayah sering tidak sinkron, malahan saling bertentangan, dengan kebijakan pembangunan wilayah tetangga. Tidak sinkron (sinergis)-nya pembangunan antarkota/antarwilayah menimbulkan ketimpangan ekonomi-kesejahteraan. Kota-kota besar terus memegang peran sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sementara daerah-daerah tidak cukup kuat mengimbangi. Kondisi ini akhirnya memunculkan gelombang migrasi penduduk atau urbanisasi. Urbanisasi membawa akibat terhadap wilayah yang didatangi maupun terhadap wilayah yang ditinggalkan. Akibat terhadap wilayah yang dikunjungi antara lain terciptanya kantong-kantong pemukiman ilegal; berkurangnya ruang publik karena okupasi ilegal; dan overload daya tampung jalanan. Terhadap wilayah yang ditinggalkan, urbanisasi mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja potensial bagi pembangunan. Kurangnya tenaga kerja di daerah memantik siklus kegagalan pembangunan; kegagalan pembangunan mengakibatkan daerah setempat menjadi statis dan tidak bisa menarik minat generasi mudanya untuk tetap tinggal dan berkarya di daerah asal; yang terjadi kemudian adalah tumbuhnya minat untuk migrasi ke kota besar; memunculkan mitos bahwa perekonomian keluarga hanya bisa dibangun jika anggota keluarga bekerja di kota-kota besar; terjadi migrasi tenaga kerja potensial dari daerah ke kota. Tidak terkendalinya urbanisasi berbanding lurus dengan kegagalan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Maka untuk menekan laju urbanisasi adalah dengan mengupayakan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Kegiatan ini harus dan hanya bisa dimulai dari daerah. Dibutuhkan keberanian ekstra untuk keluar dari kungkungan paradigma urban-bias theory yang menganggap bahwa pemerataan pembangunan menyebar secara sentrifugal dari kota sebagai pusat pembangunan. Bersamaan dengan dinamika pembangunan, keterkaitan desa-kota mengalami perubahan substansi dan bentuk. Karenanya selalu terdapat berbagai variasi keterkaitan, baik di dalam suatu wilayah, di dalam suatu negara, maupun antar wilayah dan antar negara. Hal itu sangat bergantung pada faktor pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di wilayah bersangkutan. Untuk itu, keterkaitan perlu diperlakukan sesuai kondisi suatu wilayah tanpa perlu menerapkan generalisasi. Keterkaitan desa-kota perlu dipahami dalam suatu rentang wilayah yang relatif tanpa batas. Karenanya, para analis pembangunan tidak perlu lagi membuat dikotomi antara pembangunan desa dan pembangunan kota. Demikian halnya dengan pemahaman yang komprehensif tentang dimensi ekonomis dan finansial, spasial dan sosial, serta dimensi-dimensi relevan lainnya dalam pembangunan regional. Semuanya harus diperhatikan dan diperlakukan sebagai satu kesatuan. Kecenderungan lama akan pengkotak-kotakan analisis perlu segera ditinggalkan. Salah satu tujuan pembangunan perdesaan adalah mempercepat kemajuan kegiatan ekonomi dan industrialisasi perdesaan, dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan, penyediaan bahan pangan dan bahan lain untuk kebutuhan konsumsi dan produksi melalui : keterkaitan wilayah perdesaan dan perkotaan, penguatan pengelolaan ekonomi lokal, serta peningkatan kapasita lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat perdesaan. Sementara itu pembangunan perkotaan berorientasi kepada peningkatan kualitas pelayanan kepada daerah sekitarnya, perdesaan dan kaitan dengan sistem ekonomi nasional dan global yang menjamin kelangsungan hidup ekonomi lokal dan kesempurnaan fungsi ekonomi nasional dalam mensejahterakan masyarakat umum. Didasarkan pada tujuan tersebut, dalam strategi pembangunan perdesaan harus memprioritaskan komponen-komponen pembangunan yang meliputi : (1) prasarana dan sarana sistem agribisnis; (2) pengembangan industri kecil dan rumah tangga; (3) penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat; (4) pengembangan jaringan produksi dan pemasaran; (5) penguasaan teknologi tepat guna; (6) pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Disamping keenam komponen dalam program prioritas tersebut, secara khusus pembangunan perdesaan harus juga menekankan pada upaya peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok masyarakat dan keluarga miskin secara terpadu dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin. Pendekatan regional daerah akan mengintegrasi kota dan desa dalam pembangunan mengarah pada berkembang secara bersama dan sejalan. Daftar Pustaka: Beaumont, J. and Nicholls, W. 2008. Plural governance, participation and democracy in cities, International Journal of Urban and Regional Research, 32, pp. 87–94. Carrero, R et. Al. 2009. Negative impacts of abandoned urbanisation projects in the Spanish coast and its regulation in the Law. Journal of Coastal Research SI 56 1120 - 1124 ICS2009. ISSN 0749-0258 Collins L, F and Friesen, W. 2011. Making the Most of Diversity? The Intercultural City Project and a Rescaled Version of Diversity in Auckland, New Zealand. Urban Studies Journal Limited.usj.sagepub.com Dalakoglou, D. 2010b. Migrating-remitting-‘building’-dwelling: house-‘making’ as proxy presence inpostsocialist Albania. The Journal of the Royal Anthropological Institute, 16 (4), 761–777. Dalakoglou, D. 2012. ‘The Road from Capitalism to Capitalism’: Infrastructures of (Post)Socialism in Albania, Mobilities, 7:4, 571-586 Dociu, M and Dunarintu, A. 2012. The Socio-Economic Impact of Urbanization. International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences Volume 2, Special Issue 1 (2012), pp. 47-52. ISSN: 2225-8329 Evers, H dan Korff, R. 2002. Urbanisasi di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Gilbert, A dan Josef, G. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, PT.Tiara Wacana, Yogyakarta Karaman, O. 2011. An Immanentist Approach to the Urban. Antipode Vol. 00 No. 0 2011 ISSN 0066-4812, pp 1–20 Keban, Yeremias T. 1996. “Analisis Urbanisasi di Indonesia Periode 1980-1990”, dalam Agus Dwiyanto dkk. (ed.), Penduduk dan Pembangunan. Aditya Media. Yogyakarta. Koyano, S. 1996. Pengkajian tantang Urbanisasi di Asia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Le Heron, R. 2009. ‘Rooms and moments’ in neoliberalising policy trajectories of metropolitan Auckland, New Zealand: towards constituting progressive spaces through post-structural political economy, Asia Pacific Viewpoint, 50, pp. 135–153. McCann, E. 2008. Expertise, truth, and urban policy mobilities: global circuits of knowledge in the development of Vancouver, Canada’s ‘four pillar’ drug strategy, Environment and Planning A, 40, pp. 885–904. Memon, A., Davies, T. G. and Fookes, T. 2007. Institutional arrangements for metropolitan government and strategic planning in Auckland, New Zealand Geographer, 63, pp. 43–54. Murphy, L. 2008. Third-wave gentrification in New Zealand: the case of Auckland, Urban Studies, 45, pp. 2521–2540. Nadkarny, S. 2011. Tactical Cooption And The Right To The Neoliberal City, The History of City Planning. UC Berkeley Peck, J., Theodore, N. and Brenner, N. 2009. Neoliberal urbanism: models, moments, mutations, SAIS Review, 29, pp. 49–66. Peet, R and Hartwick, E. Theories of development : contentions, arguments, alternatives, 2nd ed. USA: Guilford Publications, Inc. Sheppard E. 2008. Geographic dialectics? Environment and Planning A 40(11):2603– 2612 Smith, D.A. dan R.J. Nemeth. 1998. “Urban Development in South East Asia: an Historical Structural Analysis”, dalam Drakakis dan Smith (ed.). Urbaniazation in Developing World. Routledge. New York. Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Prenada Media. Weinstein L. 2008. Mumbai’s development mafias: Globalization, organized crime and land development. International Journal of Urban & Regional Research 32(1):22–39 Wetzstein, S. 2008. Relaunching regional economic-development policy and planning for Auckland: remaking the state and contingent governance under neoliberalism, Environment and Planning C, 26, pp. 1093–1112. UNESCAP. 2008. Perumahan bagi Kaum Miskin di kota-kota di Asia. United Nations