Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

URBAN CRISIS: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia

2020, Jurnal Sosiologi Reflektif

Menurut Lewis Mumford, “tidak ada satu pun orang yang puas dengan wujud kota saat ini”. Penulis setuju dengan pernyataan tersebut, sehingga tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana krisis terjadi di perkotaan. Daya tarik kota begitu menghipnotis masyarakat, hal tersebut tidak terlepas dari keberhasilan pembangunan kota. Akan tetapi, di sisi lain kota mengalami yang disebut krisis. Tujuan dari penelitian ini adalah ini melihat krisis yang terjadi di perkotaan dengan menggunakan metode studi literatur-literatur. Adapun teori yang dipakai adalah masyarakat resiko dari Ulrich Beck. Krisis yang terjadi di perkotaan tidak hanya berbicara terkait masalah ekonomi, misal; kemiskinan, pengangguran, gelandangan dan anak jalanan. Krisis perkotaan juga meliputi krisis keamanan, lingkungan, energi dan sosial. Adapun faktor penyebab terjadinya krisis, dalam tulisan ini melihatnya pada sudut pandang internal dan eksternal. Pada faktor internal, krisis perkotaan disebabkan oleh kota itu sendiri yang berkembang. Kota yang berperan sebagai market, telah menarik produsen dan konsumen untuk datang. Produsen mendekat ke pinggiran kota untuk memperkecil biaya produksi karena dekat dengan pasar dan SDM. Sedangkan konsumen, datang ke kota karena banyak pilihan barang dan mendapatkan harga terbaik. Kota yang berkembang menyebabkan kawasan industri tidak lagi berada di pinggiran kota, akan tetapi banyak di pusat kota. Tentu ini menyebabkan masalah dan krisis di tengah penduduk kota yang padat. Krisis juga disebabkan oleh faktor eksternal, yakni relasi dengan desa. Kegagalan pembangunan di desa, kepemilikan lahan pertanian yang terfragmentasi akibat pembagian warisan dan pelanggaran-pelanggaran agrarian sehingga tanah dimiliki oleh petani berdasi. Kondisi tersebut menuntut penduduk desa untuk urbanisasi. Kota yang berkembang secara fisik dan jumlah penduduk berimplikasi slum area, penghuni-penghuni liar, krisis ruang terbuka hijau dan rendahnya kepekaan sosial. Kata Kunci: Krisis, Desa, Kota, Urbanisasi

URBAN CRISIS: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia Agus Saputro Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Email: agus.saputro@uin-suka.ac.id Abstract According to Lewis Mumford, “no one is satisfied with the current form of the city”. This paper explains how crises occur in cities. The purpose of this study is to look at the crisis that is happening in urban areas using the method of study of literature. The theory used is the risk society of Ulrich Beck. The crisis that occurred in the city is not merely focus on economic problems, such as poverty, unemployment, homeless people and street children. Urban crises also include security, environmental, energy and social aspects. As for the factors causing the crisis, this paper sees it from an internal and external perspective. Internally, the urban crisis is caused by the developing of the city itself. A city that acts as a market has attracted producers and consumers to come. Producers approach the suburbs to reduce production costs because they are close to markets and human resources. Meanwhile, consumers come to the city because of the larger selection of goods and they also can get the best prices. Developing cities cause industrial estates to no longer be on the outskirts of cities, but many in the city center. Obviously, this causes problems and crises in the middle of a dense urban population. The crisis was also caused by external factors, namely relations with the village. The failure of development in the village caused by the choice of fragmented agricultural land due to the distribution of inheritance and agrarian violations so that land is owned by peasants. These conditions require villagers to urbanize. A city that has developed physically and has a population implicating in slum areas, squatters, green open space crises and low social sensitivity. Keywords: Crisis, Urban, Rural, Urbanization Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 173 Agus Saputro Intisari Menurut Lewis Mumford, “tidak ada satu pun orang yang puas dengan wujud kota saat ini”. Penulis setuju dengan pernyataan tersebut, sehingga tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana krisis terjadi di perkotaan. Daya tarik kota begitu menghipnotis masyarakat, hal tersebut tidak terlepas dari keberhasilan pembangunan kota. Akan tetapi, di sisi lain kota mengalami yang disebut krisis. Tujuan dari penelitian ini adalah ini melihat krisis yang terjadi di perkotaan dengan menggunakan metode studi literatur-literatur. Adapun teori yang dipakai adalah masyarakat resiko dari Ulrich Beck. Krisis yang terjadi di perkotaan tidak hanya berbicara terkait masalah ekonomi, misal; kemiskinan, pengangguran, gelandangan dan anak jalanan. Krisis perkotaan juga meliputi krisis keamanan, lingkungan, energi dan sosial. Adapun faktor penyebab terjadinya krisis, dalam tulisan ini melihatnya pada sudut pandang internal dan eksternal. Pada faktor internal, krisis perkotaan disebabkan oleh kota itu sendiri yang berkembang. Kota yang berperan sebagai market, telah menarik produsen dan konsumen untuk datang. Produsen mendekat ke pinggiran kota untuk memperkecil biaya produksi karena dekat dengan pasar dan SDM. Sedangkan konsumen, datang ke kota karena banyak pilihan barang dan mendapatkan harga terbaik. Kota yang berkembang menyebabkan kawasan industri tidak lagi berada di pinggiran kota, akan tetapi banyak di pusat kota. Tentu ini menyebabkan masalah dan krisis di tengah penduduk kota yang padat. Krisis juga disebabkan oleh faktor eksternal, yakni relasi dengan desa. Kegagalan pembangunan di desa, kepemilikan lahan pertanian yang terfragmentasi akibat pembagian warisan dan pelanggaran-pelanggaran agrarian sehingga tanah dimiliki oleh petani berdasi. Kondisi tersebut menuntut penduduk desa untuk urbanisasi. Kota yang berkembang secara fisik dan jumlah penduduk berimplikasi slum area, penghuni-penghuni liar, krisis ruang terbuka hijau dan rendahnya kepekaan sosial. Kata Kunci: Krisis, Desa, Kota, Urbanisasi Pendahuluan Dalam wacana ruang hidup, relasi desa-kota selalu menarik diperbincangkan. Desa dalam perspektif lama digambarkan dengan 174 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia lokasi asri, penduduk yang ramah, masyarakat masih menggunakan teknologi tradisional, profesi mayoritas petani, jauh dari hiruk-pikuk dan solidaritas masyarakatnya kuat. Keindahan desa juga terbangun secara alamiah atau natural. Sedangkan kota, dapat dikatakan bertolak belakang dengan kehidupan di desa. Kota yang umumnya syarat dengan pembangunan menyediakan berbagai fasilitas publik, berbagai kebutuhan hidup, sarana prasarana modern dan peluang kerja yang lebih variatif. Setiap jengkal sudut kota seakan tumbuh dan berkembang dengan perencanaan yang matang. Gambaran keindahan desa-kota di atas, tidak serta merta meniadakan sisi negatif dari desa-kota itu sendiri. Desa lekat dengan gambaran dan stigma kemiskinan, keterbelakangan dalam hal teknologi dan pengetahuan dan ketertinggalan pembangunan. Sedangkan kota, sebagai pusat keramaian juga memiliki sisi negatif. Sering digambarkan hidup di kota itu keras, individualisme, tingkat polusi dan kriminalitas tinggi. Dari berbagai masalah yang terdapat di desa-kota bahkan bangsa dalam arti luas, kemiskinan menjadi masalah yang krusial dan menarik untuk dibahas. Seorang tokoh Martin Luther King (1960) mengingatkan bahwa, “Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar jika mayoritas masyarakat masih miskin dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar mayoritas masyarakat tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah”. Kemiskinan menjadi masalah yang tidak dapat terelakkan. Kemiskinan yang awalnya identik dengan desa, lambat laun juga menjadi masalah perkotaan yang tidak dapat dihindari.1 Kemiskinan dari dimensi penyebabnya dibedakan menjadi dua, yakni kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural/buatan. Kemiskinan alamiah diartikan sebagai kemiskinan yang dikarenakan oleh faktor kualitas dan kuantitas SDA serta SDM. Sedangkan kemiskinan struktural/buatan diartikan sebagai kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung yang dikarenakan faktor pranata institusi yang memihak pada pribadi atau golongan tertentu, dan merugikan pihak lain.2 Dari data terbaru, pada Maret 2020 menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia meningkat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2019 tercatat jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan Nasrullah Jamaludin, Adon, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya, (Bandung:Pustaka Setia, 2015), hlm. 231 2 Ibid, hlm. 233 1 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 175 Agus Saputro 14,93 juta orang, angka ini mengalami kenaikan 333,9 ribu orang pada Maret 2020 menjadi 15,26 juta orang. Hal serupa juga terjadi di wilayah perkotaan, angka kemiskinan juga mengalami kenaikan dari Maret 2019 berjumlah 9,86 juta, pada Maret 2020 jumlah masyarakat miskin naik sebanyak 1,3 juta orang menjadi 11,16 juta orang.3 Masalah yang juga krusial adalah semakin banyaknya gepeng, kriminalitas dan perumahan kumuh di perkotaan. Pada tahun 2019 diperkirakan jumlah gelandangan dan pengemis sebanyak 77.500 berada di berbagai kota besar di Indonesia. Akan tetapi jumlah ini hanya sebatas perkiraan karena biasanya ketika mendekati hari besar jumlah pengemis akan semakin meningkat. Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita, juga menyatakan ada kemungkinan jumlah gelandangan dan pengemis lebih dari perkiraan, karena mengingat banyaknya kendala dan tantangan pendataan di lapangan.4 Pada umumnya, orang melakukan urbanisasi dengan tujuan mendapatkan penghasilan ekonomi dan taraf hidup yang lebih baik. Klaim urbanisasi sebagai obat terutama untuk mengatasi permasalahan ekonomi atau kemiskinan disampaikan oleh beberapa pejabat pemerintahan, seperti BPS (Badan Pusat Statistik) dan PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Urbanisasi dapat secara efektif menurunkan angka kemiskinan di desa.5 Urbanisasi jika dikelola dengan baik akan menekan angka kemiskinan di kota.6 Dua klaim ini berpatokan pada penurunan angka kemiskinan yang tercatat di BPS pada tahun 2016 dan 2017. Menjadi menarik angka urbanisasi Indonesia yang pernah tertinggi se-Asia pada tahun 2017 apakah berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi masyarakat. Melihat gambaran positif dan negatif desa-kota di atas, tentu menjadi menarik melihat disetiap perkembangannya dari waktu ke waktu. Artikel ini berusaha melihat proses krisis atau problem di perkotaan lahir karena ada relasi dengan desa. Khususnya pada faktor pendorong desa dan dan penarik kota sebab terjadinya urbanisasi. Selain relasi dengan desa, artikel ini akan melihat krisis perkotaan juga 3 https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/1744/persentasependuduk-miskin-maret-2020-naik-menjadi-9-78-persen.html 4 https://nasional.kompas.com/read/2019/08/22/21281421/ diperkirakan-ada-77500-gepeng-di-kota-kota-besar-di-indonesia 5 https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail. php?jdl=BPS__Urbanisasi_Efektif_Turunkan_Angka_Kemiskinan_di_ Desa&news_id=78871&group_news=IPOTNEWS&news_date=&taging_ subtype=INDONESIA&name=&search=y_general&q=INDONESIA,&halaman=1 6 https://properti.kompas.com/read/2016/07/19/172900021/jika. dikelola.urbanisasi.tekan.angka.kemiskinan.perkotaan 176 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia sebagai akibat kota itu sendiri. Kota yang tetap secara wilayah, akan tetapi berkembang secara kondisi sosial dan jumlah penduduknya. Hal ini berdampak pada krisis yang terjadi di perkotaan. Krisis perkotaan meliputi krisis energi dan sosial. Krisis lingkungan meliputi krisis energi (udara dan air) sebagai akibat polusi yang dihasilkan oleh kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Sedangkan krisis sosial lebih mengarah pada kehidupan sosial yang tidak tertata sehingga menimbulkan masalah sosial. Penelitian ini menggunakan analisis wacana. Analisis wacana ini berusaha untuk mengupas teks-teks yang berkaitan dengan subjek yang diteliti. Data-data yang diperoleh dari berbagai sumber diperkuat dengan data-data penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh peneliti. Data-data teks baik dari media maupun media lainnya, dipilih dari sumber-sumber yang kredibilitasnya diakui. Data tersebut online kemudian diperkuat dengan konsep-konsep yang ada di literatur buku dan di analisis menggunakan teori. Kemiskinan Desa Sebagai Pendorong Urbanisasi Kemiskinan diartikan sebagai standar tingkat hidup yang rendah, yakni terdapat kekurangan materi pada sejumlah orang/golongan jika dibandingkan dengan standar kehidupan masyarakat pada umumnya yang dipakai pada masyarakat tersebut.7 Bank Dunia (1990) dan Robert Chamber melihat kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan warga yang diukur dari standar hidup tertentu, mengacu pada konsep miskin relatif yang melakukan analisis perbandingan terhadap negara kaya ataupun miskin. Pengertian absolut dari kemiskinan adalah terdapat kasus kelaparan, ketidakmampuan untuk membesarkan atau mendidik anak dan lain-lain. Pendapat lain terkait kemiskinan diutarakan oleh Usman, ia mengutarakan bahwa kemiskinan adalah kondisi kehilangan (deprivation) sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan serta hidup serba kekurangan.8 Kartasasmita menyebutkan ada beberapa penyebab mengapa seseorang atau kelompok menjadi terperosok dalam miskin. Pertama, masyarakat menjadi miskin dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan. Pendidikan yang rendah mengakibatkan proses selfactualization yang terbatas. Hal ini berakibat juga pada rendahnya daya saing dan semakin sempitnya lapangan kerja yang dapat Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan (Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), xi. 8 Nasrullah Jamaludin, Adon, (Bandung:Pustaka Setia, 2015), hlm. 231 7 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 177 Agus Saputro diakses. Kalaupun ada pekerjaan biasanya di posisi pekerja kasar atau bawahan tanpa spesialisasi kerja tertentu dengan penghasilan rendah. Kedua, rendahnya derajat kesehatan. Kemampuan untuk mencukupi kebutuhan gizi dan taraf kebutuhan sehat, menjadi faktor rendahnya daya tahan tubuh atau fisik, daya pikir dan prakarsa. Tidak hanya dalam kebutuhan akan makan, kesehatan ini juga dipengaruhi oleh ketidakmampuan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang baik untuk hidup sehat. Seperti kebutuhan akan air bersih untuk berbagai aktivitas, hunian yang nyaman dengan ventilasi udara dan pencahayaan yang cukup misalnya. Ketiga, terbatasnya lapangan pekerjaan. Keterbatasan lapangan pekerjaan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya dimulai dari rendahnya pendidikan, tidak memiliki ketrampilan khusus yang menjadi daya tawar di persaingan dunia kerja. Keterbatasan lapangan kerja ini juga sebagai akibat tidak memiliki modal untuk berkembang secara mandiri untuk menciptakan lapangan kerja. Sehingga hanya memiliki pilihan untuk masuk pada lapangan kerja tersedia, sesuai dengan kriteria yang mereka mampu masuk. Keempat, kondisi yang terisolir. Di Indonesia khususnya masih banyak terdapat masyarakat yang terisolir, mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil, suku-suku pedalaman hutan yang terisolasi dari kehidupan masyarakat luar. Hal ini berakibat pada ketidakberdayaan ekonomi, karena mereka yang tinggal di wilayah terisolir susah mendapatkan akses kesehatan, pendidikan dan gerak kemajuan teknologi yang bisa dinikmati seperti di daerah lainnya.9 Dalam mengukur angka kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan kriteria yakni, kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dan menghitung garis kemiskinan. Adapun pengertian garis kemiskinan merupakan standar minimal yang dibutuhkan seseorang untuk mencukupi kebutuhan dasarnya termasuk pangan dan bukan pangan.10 Berdasarkan perhitungan dari BPS pada September 2018, kemiskinan di Indonesia tercatat 25,67 juta orang. Dari total kemiskinan tersebut, desa menyumbangkan angka 15,54 juta. Ini berarti 60,54 % masyarakat miskin berada di desa.11 Adapun faktor penyebab kemiskinan terjadi karena beberapa hal. Diantaranya kemiskinan alami, kemiskinan karena kolonialisme, 9 Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. (Jakarta : CIDES, 1996), hlm. 240-241 10 Sutyastie dan Tjiptoherijanto, Prijono, Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia. (Rineka Cipta: Jakarta, 2002). hlm. 37 11 https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/01/15/1549/persentasependuduk-miskin-pada-september-2018-sebesar-9-66-persen.html 178 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia kemiskinan karena terisolasi, kemiskinan struktural, kemiskinan karena sosio-kultural.12 Dari data BPS per Maret 2019 tentang persentase kemiskinan menurut provinsi, lima besar persentase kemiskinan tertinggi didominasi oleh Wilayah Indonesia Bagian Timur, yakni Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan Gorontalo.13 Dari tipikal 5 provinsi tersebut sangat jelas kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh faktor terisolir dan kondisi alam. Terisolasi karena akses transportasi terbatas dan kemiskinan alami dikarenakan faktor alam yang tidak subur dikarenakan curah hujan yang rendah, misalnya seperti di NTT. Dari penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh peneliti, kemiskinan di pedesaan juga dapat disebabkan oleh faktor sosiokultural yang dianut dan berkembang di masyarakat tersebut.14 Dalam kehidupan sosial masyarakat desa biasanya memiliki ciri empati yang rendah. Kondisi ini berakibat jika seseorang tidak ingin dikucilkan dari kelompoknya, mereka harus mengikuti apa yang dilakukan oleh anggota dalam kelompok tersebut. Dalam istilah jawa ini disebut “ngumummi”. Kalau tidak ngumummi dia dianggap tidak umum, kalau tidak umum dia disingkirkan dalam kehidupan umum. Pada contoh di atas seseorang melakukan interaksi dengan orang lain sudah tidak lagi mempertimbangkan benefit materil karena nilai sosial yang mereka pertukarkan. Seperti yang diutarakan oleh Homans dalam teori pertukaran sosial, ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain benefit atau reward tidak selamanya berupa materil. Hal ini diperparah dengan karakteristik masyarakat desa yang memiliki solidaritas kuat. Dalam kondisi tidak mampu pun, mereka tetap membantu masyarakat lain meski mungkin itu berat bagi mereka pribadi. Pada beberapa kasus yang justru terjadi adalah shared poverty. Problem yang memperparah kondisi masyarakat desa adalah terkait kepemilikan lahan pertanian yang semakin sempit, bahkan tidak mempunyai hak milik sama sekali. Kepemilikan lahan pertanian bagi masyarakat desa yang berciri agraris menjadi mutlak. Karena lahan pertanian adalah tempat aktivitas ekonomi dan sumber ekonomi masyarakat desa. Kepemilikan lahan pertanian terfragmentasi akibat pembagian waris. Kondisi ini berakibat pada semakin sempitnya lahan pertanian yang dimiliki setiap orang di desa. Sempitnya lahan 12 Bagong Suyanto, Perangkap Kemiskinan; Problem dan Strategi Pengentasannya (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), 23-24. 13 https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/16/provinsimana-yang-memiliki-angka-kemiskinan-terbesar 14 Agus Saputro, Skripsi: Masyarakat dalam Jerat Budaya Kemiskinan (Surakarta: UNS, 2012) Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 179 Agus Saputro pertanian menyebabkan hasil panen tidak cukup untuk dibarter dengan kebutuhan lain melalui kegiatan ekonomi pasar. Bahkan hasil panen tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sampai panen tiba kembali pada keluarga petani tersebut. Kepemilikan lahan pertanian yang terfragmentasi diperparah dengan pelanggaran-pelanggaran peraturan agraria. Praktik ini ditemukan oleh penulis dalam penelitian yang dilakukan di sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.15 Dalam amanat Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), menerangkan seseorang perlu mengerjakan dan mengusahakan tanah pertaniannya secara aktif. Melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 larangan kepemilikan lahan pertanian oleh siapapun di luar kecamatan dimana tanah itu berada. Akan tetapi dalam praktiknya, ditemukan banyak lahan pertanian yang dimiliki orang yang berdomisili dan tinggal di luar kecamatan dimana tanah itu berada. Orang luar kecamatan dapat memiliki lahan pertanian dengan cara secara sementara memindah domisili tempat tinggal. Setelah urusan administrasi kepemilikan tanah selesai, ditandai dengan atas nama pemilik tanah yang sudah berpindah tangan ke pembeli. Kemudian pembeli mengurus domisili kembali ke tempat semula sesuai dimana dia tinggal. Penjualan lahan pertanian ke pihak luar dilakukan sebagai efek beruntun karena fragmentasi lahan. Fragmentasi lahan terjadi karena proses warisan dari orang tua ke anak dan berlanjut ke anak-cucu. Ini berakibat pada semakin sempitnya kepemilikan lahan oleh masingmasing petani di desa. Ketika proses bercocok tanam dilakukan di lahan yang semakin sempit, biaya produksi tidak sesuai dengan hasil yang mereka dapatkan. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup petani. Kondisi kepemilikan tanah yang berpindah ke orang luar, diperparah dengan tidak diimbangi ketersediaan lapangan pekerjaan baru di pedesaan. Hal ini berakibat orang desa tetap bekerja di sawah bukan lagi sebagai petani pemilik akan tetapi mereka menjadi buruh tani atau petani penyewa. Karena kepemilikan tanah sebagai faktor utama dalam pertanian, dengan kondisi ini mereka tidak punya daya tawar tinggi ketika proses bercocok tanam berlangsung. Faktor lain tidak berkembangnya pertanian di desa sebagai penopang ekonomi masyarakatnya adalah terkait minat anak muda untuk menjadi petani 15 Agus Saputro, Tesis: Rame Ngarep Antar dan Intra Kelas pada Masyarakat Petani (Surakarta: UNS, 2016) 180 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia sangat rendah. Dalam penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya di daerah Kabupaten Sragen, misalnya jarang ditemui pemuda yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama mereka. Gagalnya regenerasi petani menjadi efek beruntun dikarenakan efek lanjutan kepemilikan alat produksi/lahan dan bertani dianggap sebagai bukan pekerjaan anak muda. Kaum muda cenderung lebih suka menggantungkan ekonomi dari sektor lain meski menjadi buruh bagi orang lain tapi bukan dalam pertanian. Bahkan mengadu nasib menjadi perantauan di kota orang untuk mengadu peruntungan. Urbanisasi sebagai Jalan Atas Kegagalan Ekonomi Orang Desa Menurut Daljoeni urbanisasi diartikan suatu proses untuk menjadi area perkotaan, perpindahan penduduk masuk ke kota, konversi pekerjaan dari petani menjadi yang lain, juga terkait perubahan dalam pola aktivitas manusia. Pengertian urbanisasi secara bahasa berarti pengkotaan, yaitu proses untuk menjadi kota. Pengkotaan juga dapat diterapkan pada suatu negara, sehingga berarti meningkatkan jumlah atau proporsi penduduk yang tinggal di kota. Selanjutnya perkotaan berkembang, pinggiran-pinggiran yang awalnya pedesaan berubah menjadi perkotaan. Dalam pengertian sehari-hari urbanisasi diartikan sebagai arus perpindahan penduduk baik secara individual maupun kolektif dari desa ke kota.16 Thomas Malthus menyebutkan ada 3 faktor penyebab terjadinya perubahan pertumbuhan penduduk, yakni fertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian) dan migrasi (mobilitas penduduk). Dalam perkiraan BPS, angka penduduk yang tinggal di perkotaan waktu ke waktu semakin meningkat. Diprediksikan proyeksi penduduk yang tinggal di kota pada tahun 2020, terdapat 23 kota dengan angka penduduk lebih dari 1 juta jiwa. Dari 23 kota tersebut, di Pulau Jawa terdapat 11 kota dan 5 diantaranya jumlah penduduk lebih dari 5 juta jiwa. Jumlah atau angka kependudukan disuatu wilayah sangat penting, karena biasanya dikaitkan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita suatu negara. Pendapatan per kapita ini mencerminkan perekonomian negara, pendapatan per kapita berbanding lurus dengan perekonomian suatu negara.17 Pada kasus urbanisasi, urbanisasi di negara maju biasanya dijadikan menjadi tolak ukur pertumbuhan dan peningkatan ekonomi Nia K. Pontoh & Iwan Kustiawan, Pengantar Perencanaan Perkotaan, (Bandung: ITB Press, 2018), hlm. 92 17 Nasrullah Jamaludin, Adon, (Bandung:Pustaka Setia, 2015), hlm. 188 16 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 181 Agus Saputro ekonomi. Semakin tingginya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau negara, maka urbanisasinya (level of urbanization) juga semakin tinggi derajat. Hal ini telah ditunjukkan melalui data empirik yang memperlihatkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi (dan juga pendapatan per kapita) dengan derajat urbanisasi yang dicapai. Wilayah perkotaan memiliki peranan yang sangat besar terhadap ekonomi wilayah/negara. Setidaknya sebesar 50-60 persen Gross Domestic Product/ Produk Domestik Bruto (GDP/PDB) digerakkan oleh ekonomi yang berada di perkotaan melalui kegiatan industrialisasi, kegiatan perdagangan dan penawaran jasa. Pertumbuhan ekonomi perkotaan ditandai dengan adanya pergeseran atau perubahan struktur ekonomi, sektor pertanian berubah menjadi sektor industri dan sektor industri mengarah menjadi sektor jasa.18 Migrasi adalah perpindahan perpindahan seorang individu atau kelompok dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tujuan tertentu. Semakin peliknya kehidupan di desa, masyarakat desa mengadu nasib sebagai kaum urban. Baik mereka sebagai kaum urban yang menetap di kota, ataupun mereka melakukan urbanisasi ulak-alik/pulangpergi tanpa menginap. Mengenai konteks urbanisasi ini, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menyatakan bahwa angka urbanisasi di Indonesia meningkat di angka 4,1 persen. Tingkat urbanisasi ini lebih tinggi dibandingkan negara-negara di Asia lainnya seperti India dan Tiongkok, yang masing-masing di angka 3,8 persen.19 Hal senada juga diutarakan oleh Sri Hartoyo selaku Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR, beliau menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara di Asia dengan tingkat urbanisasi paling tinggi. Pada tahun 2035, diprediksi jumlah masyarakat yang bertempat di wilayah perkotaan meningkat diangka 68 persen. 20 Melihat angka urbanisasi di atas yang sangat fantastik, tentu memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif adanya urbanisasi meningkatkan pertumbuhan ekonomi di perkotaan secara khusus dan nasional pada umumnya. Di Indonesia, urbanisasi masih memiliki kontribusi yang rendah terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data World Bank, setiap ada peningkatan angka 1 persen urbanisasi di Indonesia hanya menyumbangkan 1,4 persen PDB per Nia K. Pontoh & Iwan Kustiawan, (Bandung: ITB Press, 2018), hlm. 94 https://kbr.id/nasional/03 2017/pertumbuhan_urbanisasi_indonesia_ tertinggi_di_dunia__kebutuhan_rumah_jadi_masalah/89430.html 20 https://properti.kompas.com/read/2018/07/04/210000321/lajuurbanisasi-indonesia-tertinggi-di-asia 18 19 182 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia kapita. Menurut Bambang P.S. Brodjonegoro (3/10/2019) selaku Menteri PPN (Perencanaan Pembangunan Nasional), di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik, urbanisasi memiliki kontribusi terhadap PDB sebesar 2,7 persen. Di China sendiri, setiap peningkatan urbanisasi sebesar 1 persen, memberikan sumbangan peningkatan terhadap PDB per kapita sebesar 3 persen.21 Melihat data di atas tentu urbanisasi maksimal yang terjadi di Indonesia, masih memiliki kontribusi minimal terhadap pertumbuhan ekonomi dibanding dengan negara-negara lain di Asia. Perlu ditakutkan di sini adalah perpindahan manusia dari desa ke kota tidak diimbangi oleh pendapatan per kapita yang meningkat. Karena kebanyakan masyarakat melakukan urbanisasi motivasinya adalah motif ekonomi. Sudah semestinya urbanisasi dikendalikan agar tidak terjadi urbanisasi tidak terkendali atau over-urbanization. Urbanisasi tidak terkendali ditandai dengan adanya ketidakseimbangan kependudukan terkait keruangan. Hal ini menjadi suatu yang menghambat pembangunan baik di desa maupun kota dan negara. Di desa akan kehilangan sumber daya manusianya dalam mengolah alam, pertanian dan membangun desa, sedangkan di kota karena mengalami over-population akan timbul masalah-masalah baru khas perkotaan. Jika urbanisasi ini tidak mampu dimanfaatkan sebagai peluang dan dikontrol akan membawa dampak negatif. Masalah lingkungan, energi, kesehatan, administratif kependudukan dan sosial akan menjadi masalah pelik yang dihadapi oleh masyarakat kota khususnya dan nasional pada umumnya. Problematika Krisis Perkotaan Perkembangan masyarakat perkotaan atau urban, tercipta sebagai akibat dari tiga pembangunan utama. Pertama, karena dunia ini adalah bagian yang saling terintegrasi dan terpadu melalui globalisasi dalam sektor ekonomi ekonomi dan social activity. Kedua, pembangunan yang disebabkan peningkatan jumlah penduduk yang menyebar ke daerah baru sehingga menyebabkan bertambahnya populasi ditempat lain (tumbuhnya kota pinggiran/sub-urban). Ketiga, perubahan masyarakat dunia/global. Semakin banyaknya orang sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di kota-kota, lambat laun mereka juga akan mengikuti gaya hidup dan karakter masyarakat asli kota.22 Pada tahun 2019, berdasarkan data dari Worldometers jumlah https://money.kompas.com/read/2019/10/03/164030626/ urbanisasi-di-indonesia-sebesar-apa-kontribusi-ekonominya 22 Drajat Tri Kartono, Sosiologi Perkotaan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), hlm.1.6 21 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 183 Agus Saputro penduduk yang tinggal perkotaan di Indonesia sebanyak 150,9 juta jiwa. Berarti sekitar 55,8 persen dari 270,6 juta jiwa total penduduk Indonesia. Angka tersebut meningkat 0,7 persen dari tahun sebelumnya, yakni di angka 147,6 juta jiwa atau 55,1 persen.23 Angka penduduk yang tinggal di kota tersebut diproyeksikan akan selalu meningkat, bahkan di tahun 2035 diprediksi 68 % penduduk Indonesia tinggal di kota. Di sini yang menjadi menarik adalah bagaimana laju urbanisasi yang tinggi, kota semakin padat dan berkembang berdampak terhadap kota itu sendiri. a. Krisis Lingkungan Semakin banyaknya penduduk yang tinggal di kota, menuntut kota untuk menyediakan tempat tinggal. Jika urbanisasi diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta ingin menciptakan domectic source of growth yang sustainable, maka strategi penyediaan perumahan menjadi sangat penting (core/inti utama). Ini dikarenakan pembangunan perumahan memiliki pengaruh ke banyak sektor (multiplier effect). Adapun need akan rumah di Indonesia di angka 800 ribu hingga satu juta rumah per tahunnya. Sedangkan kemampuan penyediaan rumah oleh pihak swasta sebesar 40 persen, untuk kemampuan intervensi pemerintah hanya mampu di angka 20 persen. Dari data tersebut sangat jelas, ada kekurangan 40 persen perumahan yang harus dipenuhi masyarakat secara mandiri atau swadaya.24 Akan tetapi kebutuhan tempat tinggal yang menjadi primer ini tidak diimbangi dengan daya beli masyarakat. Daya beli perumahan oleh masyarakat yang rendah. Di sisi lain, masyarakat memiliki cara penyelesaian sendiri atas kebutuhan hunian untuk dirinya. Seperti mendirikan rumah alakadarnya, mendirikan rumah dilahan-lahan ilegal bukan hak milik dan bukan diperuntukan perumahan.Hal ini berdampak pada timbulnya pemukiman kumuh (slum area). Menurut Rudiyantono (2000:8), suatu pemukiman dapat dikategorikan kumuh melalui 2 standar. Pertama dari kondisi rumahnya. Antara lain struktur, fungsi ruang, kepadatan hunian dan penataan ruang bangunan. Kedua, dari ketersediaan sarana dan prasarana dasar lingkungan. Sarana dan prasarana lingkungan meliputi ketersediaan air bersih yang mencukupi untuk kebutuhan, sanitasi, adanya fasilitas pendidikan, kesehatan, tempat ibadah, sarana https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/11/berapajumlah-penduduk-perkotaan-di-indonesia 24 https://kbr.id/nasional/03-2017/pertumbuhan_urbanisasi_ indonesia_tertinggi_di_dunia__kebutuhan_rumah_jadi_masalah/89430.html 23 184 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia ekonomi dan ketersediaan ruang terbuka di luar perumahan.25 Menurut Didiet Arif Akhdiat selaku Direktur Pengawasan Pemukiman Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR, menyebutkan data kawasan kumuh pada tahun 2014 seluas 38.000 hektare. Berselang 5 tahun tepatnya pada tahun 2019 jumlah kawasan kumuh tersebut meningkat menjadi 87.000 hektare.26 Data tersebut didapat dari Real Estate Indonesia (REI), yakni sebuah asosiasi yang anggotanya merupakan para pengembang atau pengusaha jasa perumahan yang sering disebut sebagai Developer. Melihat angka tersebut berarti selama 5 tahun kawasan kumuh meluas dua kali lipat. Kondisi ini tentu menjadi tantangan dalam pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Masalah pemukiman juga membuat resah terkait ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH), sebagai salah satu kriteria juga dalam penentuan pemukiman layak huni. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 terkait penataan ruang mengatur ruang terbuka hijau suatu kota setidaknya minimal 30 persen dari luas wilayah kota. Ketentuan ini dapat diartikan bahwa setiap lahan yang kita singgahi, misalnya idealnya minimal 70 persen digunakan untuk bangunan sedangkan 30 persennya untuk lahan terbuka hijau bisa berupa taman atau kolam. Terkait penghitungan ruang terbuka hijau terjadi perubahan. Dalam metode penghitungan, dulu jalan aspalnya juga dihitung sebagai jalan hijau dalam hal ini tentu menambah penghitungan kawasan RTH. Sedangkan saat ini, yang dihitung hanya taman dan pepohonan saja. Seperti misalnya kota Yogyakarta, dengan penghitungan lama RTH yang dimiliki adalah sebesar 32 %, sedangkan dengan cara penghitungan baru menjadi 18 % sehingga masuk kategori wilayah kurang RTH. Suyana selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta memberikan pernyataan, bahwa belum ada satupun kota di Indonesia yang sudah mencapai 30 persen.27 Dengan alasan apapun, pemerintah pasti sudah mempertimbangkan dan menghitung 30 persen RTH adalah standar dari kota layak huni. Minimnya RTH di perkotaan bisa disebabkan karena tidak ada sanksi bagi kota yang tidak mencapai angka 30 %. Diperkuat dengan masih minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya ruang terbuka hijau. 25 Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Perkotaan: Memahami masyarakat kota dan problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 338. 26 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190903212554-20-427289/ kawasan-kumuh-indonesia-meluas-dua-kali-lipat 27 http://jogja.tribunnews.com/2017/07/25/rth-yogyakarta-turun-jadi18-persen. Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 185 Agus Saputro Krisis energi di perkotaan seakan juga tidak dapat terpisahkan dari krisis lingkungan. Adapun krisis energi meliputi tanah udara dan air. Krisis tanah salah satunya sudah dijelaskan sebelumnya terkait minimnya RTH. Sedangkan untuk krisis udara yakni terkait ketersediaan udara bersih dan krisis air melibuti ketersediaan bersih. Krisis energi ini disebabkan banyak hal seperti kegagalan pemerintah dalam menyediakan angkutan publik, sehingga banyak orang yang menggunakan angkutan pribadi berdampak pada kemacetan dan polusi udara. Terkait ketersediaan air bersih yang minim sebagai akibat kepadatan penduduk dan pencemaran sumber air oleh limbah rumah tangga dan industri. Terkait krisis lingkungan dan energi ini tidak hanya terkait tentang urbanisasi saja, akantetapi industri di pinggiran kota yang berkembang. Kebanyakan kawasan industri di Indonesia berada pinggiran kota dekat dengan sungai, seperti yang pernah penulis teliti di wilayah Solo, Jawa Tengah. Pemilik usaha memilih di pinggiran kota dan dekat sungai dikarenakan alasan ekonomi yang menguntungkan. Yakni, dekat dengan sumber daya, baik sumber daya alam maupun SDM yang dari pedesaan dengan gaji murah. Selain itu juga dekat dengan kota untuk menjual barang langsung ke konsumen ataupun menyalurkan barang hasil produksi, karena kota berperan sebagai pasar. Tentu dengan pertimbangan ini akan memangkas biaya produksi, dan meningkatkan keuntungan. Sedangkan alasan dekat dengan sungai, kebanyakan industri tersebut membuang limbah cair ke sungai. Tentu ini menguntungkan karena pengusaha lebih dimudahkan terkait limbah sisa produksi. Perkembangan kota yang melebarkan sayapnya membuat industri yang semula berada di pinggiran kota lambat laun berada di pusat kepadatan penduduk. Kondisi ini menjadi masalah bagi lingkungan hidup masyarakat perkotaan karena mereka harus berkontak dengan polusi yang dihasilkan oleh industri. Hidup berdampingan dengan energi air, udara dan tanah yang tercemar. b. Krisis Sosial Rumah kumuh dan hunian liar, membawa efek lanjutan hadirnya penghuni-penghuni liar (squatters). Umumnya penghuni liar pemukiman padat dan kumuh perkotaan tidak memiliki spesifikasi keahlian kerja. Ini menimbulkan masalah sosial baru khas perkotaan seperti gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Istilah gelandangan dan pengemis sering disebut dengan 186 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia “gepeng” diartikan sebagai peminta-minta, pekerja jalanan dan sebagainya. Adapun pengertian gelandangan menurut Departemen Sosial RI, gelandangan sebutan untuk orang-orang yang hidup dalam kondisi tidak sesuai dengan aturan kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat. Mereka tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap kehidupan berpindah-pindah biasanya dapat ditemui seperti jalanan, kolong jembatan dan tempat umum lainnya.28 Terkait jumlah gelandangan, Jakarta sebagai kota metropolitan menempati posisi ke-6 dunia dengan jumlah 28.000 orang.29 Menurut Agus Gumiwang Kartasasmita (22/8/2019) selaku Menteri Sosial, pada tahun 2019 ini jumlah gelandangan di Indonesia diperkirakan sekitar 77.500 jiwa. Perkiraan ini memiliki kemungkinan jumlah yang lebih besar dikarenakan dalam pendataan gelandangan di lapangan memiliki banyak tantangan. Misalnya gelandangan-gelandangan yang muncul pada momen-momen tertentu seperti mendekati lebaran menjadi salah satu tantangan dalam mendata gelandangan. Menurutnya, gelandangan dan pengemis muncul sebagai akibat pembangunan yang tidak merata sehingga mendorong masyarakat tidak mampu dan perekonomian kurang pedesaan yang berada di pedesaan/daerah-daerah berspekulasi mengadu peruntungan ke kota besar dengan urbanisasi.30 Penyataan ini tentu mempertegas kegagalan pertumbuhan ekonomi di desa. Yang menjadi miris, masalah pengemis di perkotaan untuk sekarang bukan lagi karena faktor ketidakmampuan ekonomi. Justru ini sudah berubah menjadi masalah mentalitas. Mengemis dijadikan profesi atau pekerjaan dikarenakan lebih menjanjikan pendapatan secara ekonomi. Tentu urusan mentalitas ini menjadi pekerjaan pemerintah yang cukup berat. Mengubah mentalitas seseorang tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat karena terkait pola pikir individu dalam merespon masalah. Mentalitas sendiri sesuatu yang abstrak dan susah juga untuk mengukur perubahannya kalau tidak dilihat dalam waktu yang panjang. Urban: Potret Masyarakat Resiko Aktivitas urbanisasi yang dilakukan oleh masyarakat tidak terlepas dari adanya modernisasi sebagai penarik untuk datang ke Adon Nasrullah Jamaludin, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 312. https://bangka.tribunnews.com/2017/05/09/ini-10-negara-denganjumlah-gelandangan-terbanyak-coba-cek-indonesia-nomor-berapa?page=2 30 https://nasional.kompas.com/read/2019/08/22/21281421/ diperkirakan-ada-77500-gepeng-di-kota-kota-besar-di-indonesia. 28 29 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 187 Agus Saputro kota. Kota adalah potret kemajuan. Masyarakat dapat dengan mudah menjumpai dan merasakan produk-produk modernisasi. Tercermin dari produk itu adalah kecanggihan, kemudahan dan efisiensi, yang mungkin akan susah ditemui di desa. Adapun ciri masyarakat dianggap modern atau maju diantaranya (1) masyarakat yang berkembang di bawah kontrol ilmu, teknologi, dan pola pikir rasional (2) pesatnya perkembangan masyarakat menuju kondisi semakin mendunia (global), baik kaitannya dengan teritorial (wilayah), gerak ekonomi makro, tekanan politik, maupun pada perkembangan dan penyebaran teknologi (3) Sebagai akibatnya, corak dan gerak kehidupan masyarakat tidak hanya sebatas kepentingan lokal maupun nasional, akan tetapi dijelaskan dalam konteks dunia/global.31 Alih–alih masyarakat urban menikmati produk kemajuan setelah melakukan urbanisasi, tidak urung mereka justru terperosok dalam kerasnya kehidupan kota. Jika ada peribahasa “ibu kota lebih kejam dari ibu tiri”, mungkin saja benar. Gambaran mereka yang terperosok dalam kemiskinan ditengah sikap individualis khas kota. Kepadatan kota yang maksimal, berbanding terbalik dengan hunian sehat dan nyaman yang minimal terlihat dari peningkatan hunian kumuh yang meningkat dua kali lipat ditahun 2019 dari lima tahun sebelumnya. Masyarakat yang melakukan urbanisasi dapat dikategorikan dalam masyarakat beresiko (the risk society) seperti yang diutarakan oleh Ulrich Beck seorang sosiolog kontemporer berasal dari Jerman. Dimana kaum urban tersebut melakukan spekulasi atau untunguntungan, ketika mereka menentukan untuk bermigrasi ke kota. Terutama bagi masyarakat yang berasal dari desa berpindah ke kota tanpa dibekali dengan human capital. Baik tidak dibekali kapital dalam wujud material atau skill yang mumpuni untuk dapat bersaing di kota. Tentu kondisi ini akan membawa dampak terhadap kehidupan kota dalam merespon kaum urban yang gagal tersebut. Adapun tiga hal bahaya yang akan dihadapi kota adalah krisis ekologi, krisis ekonomi global dan krisis jaringan teroris internasional. Beberapa penting dari pemikiran Beck terkait resiko adalah (1) Resiko bisa tidak terlihat. Dalam konteks lingkungan resikoresiko tidak bersifat jangka pendek, akibatnya kita baru sadar setelah bencana itu terjadi. Tetapi hubungan sebab-akibat tentang gejala itu sangat mudah dijelaskan. Misalnya banjir tahunan di Jakarta, awalnya mungkin orang tidak sadar apa yang mereka lakukan akan membawa 31 Rachmad K. Dwi Susilo,. Sosiologi Lingkungan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2019) hlm. 167-168 188 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia dampak banjir tersebut. Mereka sadar setelah banjir terjadi, ternyata betonisasi, aktivitas membuang sampah dan minimnya kesadaran akan pentingnya ruang terbuka hijau di perkotaan menjadi beberapa faktor penyebab banjir. (2) Resiko diproduksi manusia lewat sumbersumber kekayaan dalam masyarakat industri. Masyarakat industri memiliki fokus pada keuntungan-keuntungan ekonomi. Jalan untuk melakukan itu adalah eksploitasi sumber daya baik alam maupun manusia. Eksploitasi sumber daya alam akan berakibat pada krisis energi, sedangkan eksploitasi sumber daya manusia berakibat pada krisis rasa aman, krisis kehidupan sosial (teralienasi) dan krisis hidup sehat. Misalnya perkembangan industri yang beroperasi 24 jam dengan sistem shift (pergantian/pergeseram) kerja. (3) Resiko berhubungan dengan masyarakat mencoba melepaskan diri dari tradisi dan pengetahuan lalu. Ini berakibat terhadap hilangnya kearifan-kearifan lokal, yang diganti dengan keyakinan-keyakinan yang bersifat global/ universal. Kondisi ini berakibat pada hilangnya nilai dan norma lokal yang dianut, yang biasanya nilai dan norma itu berkaitan dengan moralitas. Misalnya saja terkait tentang tata ruang kota, di Indonesia ada kearifan lokal yang mengatur bangunan yang boleh dan tidak boleh didirikan kalaupun didirikan harus. Misalnya di Jogja, bangunan tidak boleh melebihi 32 meter. Aturan ini tertuang pada Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 1 tahun 2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Yogyakarta. Peraturan ini diberlakukan untuk melestarikan cagar budaya supaya tidak tertutup oleh gedung. Hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat Kabupaten Sleman, ditengah geliat pembangunan hotel-hotel dan mall mereka mengalami krisis air. (4) Resiko tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Misalnya biasanya penggunaan AC orang kota, baik pribadi atau di kantor-kantor, akan berefek pada pemanasan global. Kondisi ini akan berdampak tidak hanya pada kenaikan suhu di kota melainkan berpengaruh pada kehidupan petani di desa, karena musim yang berubah karena efek pemanasan global mempengaruhi proses bercocok tanam. (5) Resiko dan kelas tidak terpisah. Dalam hal ini distribusi resiko melekat pada pola kelas secara terbalik. Orang dengan kelas atas cenderung lebih mudah mengatasi resiko, sedangkan orang yang di kelas bawah akan cenderung susah mengatasi resiko.32 Penutup Krisis perkotaan dapat menurunkan kualitas solidaritas dan integrasi sosial dan desain kota. Kerusakan, kekerasan dan kejahatan 32 Ibid, hlm. 174-175 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 189 Agus Saputro massa atau perilaku kolektif yang bersifat desktruktif merupakan salah satu bentuk krisis sebagai akibat dari lemahnya kualitas kontrol sosial dan rendahnya solidaritas-integrasi sosial. Sedangkan krisis dalam desain kota seperti yang diungkapkan oleh Le Gates dalam bukunya Urban Life Manifesto, yakni berupa buruknya kehidupan (perumahan kumuh). Gigantisme yang berakibat pada hilangnya kontrol masyarakat terhadap perkembangan kota. Privatisasi yang tinggi sehingga hilangnya ruang-ruang publik. Fragmentasi sentrifugal atau masyarakat yang terlepas dari dunia sosialnya karena tuntutan industrialisasi menuntun pada kehidupan global yang mono kultur. Hilangnya makna keruangan kota. Ketiadaan peran dan jabatan karena semua kehidupan kota membuat manusia menarik diri dari kehidupan sosial untuk menikmati kepunyaan privatnya. Ketidakadilan karena di kota akan melihat sangat jelas kehidupan orang kaya dan miskin sengaja diperlihatkan untuk merendahkan orang lain. Profesionalisme yang tidak berakar pada kehidupan dan kebutuhan kota, ini sebagai akibat orang tersebut profesional universal tetapi bukan profesional lokal karena tidak mengenal budaya lokal dan masyarakatnya.33 Kalau melihat dari angka urbanisasi di Indonesia, jika dikaitkan dengan peningkatan ekonomi belum memiliki kontribusi yang signifikan. Skema urbanisasi harus direncanakan dan dirancang oleh pemerintah, bukan spekulatif dari pelaku urbanisasi. Karena urbanisasi jika dikendalikan dengan baik akan meningkatkan pendapatan per kapita dan mendorong pembangunan wilayah tujuan migran. Akantetapi jika tidak terkendali, urbanisasi akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapanpun di kota. Karena jika urbanisasi tidak diimbangi pendapatan per kapita, akan timbul masalah baru kota yakni kemiskinan meningkat, pemukiman kumuh semakin meluas, gepeng bertambah dan angka kriminalitas juga tinggi. Jika sudah seperti ini krisis perkotaan tidak dapat dihindari. Urban Krisis bukanlah masalah yang sekejap lalu. Urban Krisis adalah masalah besar yang akar penyelesaiannya tidak hanya aspek yang ada di kota saja. Akan tetapi ada relasi dengan desa. Memperbaiki kehidupan kota berarti juga memperbaiki kehidupan di desa. Pertumbuhan ekonomi di kota juga harus diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi di desa. Harus segera ada penyelesaian terkait kasus urbanisasi yang lajunya semakin tinggi. Dengan demikian dampak positif urbanisasi semakin memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Urban Krisis adalah masalah 33 190 Drajat Tri Kartono (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), hlm. 8.8-8.14 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia menurunnya kualitas solidaritas, integrasi dan tata ruang kota. Jika tidak segera diselesaikan akan masalahnya akan berakibat pada kehancuran kota itu sendiri. Daftar Bacaan Buku: Adon Nasrullah Jamaludin. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota Dan Problematikanya. Bandung: Pustaka Setia, 2015. Agus Saputro, Skripsi : Masyarakat dalam Jerat Budaya Kemiskinan. Surakarta: UNS, 2012. Agus Saputro. Tesis: Rame Ngarep Antar dan Intra Kelas pada Masyarakat Petani. Surakarta: UNS, 2016 Bagong Suyanto. Perangkap Kemiskinan; Problem dan Strategi Pengentasannya Surabaya: Airlangga University Press, 1996. Chambers, Robert. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. Jakarta: LP3ES, 1987. Daldjoeni. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung: Alumni, 1997. Damsar dan Indrayanti. Pengantar Sosiologi Perdesaan. Jakarta:Kencana, 2016. Drajat Tri Kartono. Sosiologi Perkotaan. Jakarta : Universitas Terbuka, 2010. Kartasasmita, Ginandjar. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. (Jakarta : CIDES), 1996. Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002. Long, Norman. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Bina Aksara, 1987. Nia K. Pontoh & Iwan Kustiawan. Pengantar Perencanaan Perkotaan, Bandung: ITB Press, 2018. Nurwati, Nunung. Kemiskinan : Model Pengukuran, Permasalahan dan Alternatif Kebijakan. Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 10, No. 1, 2008. Parsudi Suparlan. Kemiskinan di Perkotaan. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. Rachmad K. Dwi Susilo. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT Raja Grafindo Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 191 Agus Saputro Persada, 2019 Ritzer, George. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009. Safari Imam Asy’ari. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional, 1993. Sajogyo dan P. Sajogyo. Sosiologi Pedesaan. Jilid I dan II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986. Sutyastie dan Tjiptoherijanto, Prijono. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 2002. Sumber online: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/16/provinsimana-yang-memiliki-angka-kemiskinan-terbesar https://money.kompas.com/read/2019/10/03/164030626/ urbanisasi-di-indonesia-sebesar-apa-kontribusi-ekonominya https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/11/berapajumlah-penduduk-perkotaan-di-indonesia https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/01/15/1549/persentasependuduk-miskin-pada-september-2018-sebesar-9-66-persen. html http://jogja.tribunnews.com/2017/07/25/rth-yogyakarta-turun-jadi18-persen. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190903212554-20-427289/ kawasan-kumuh-indonesia-meluas-dua-kali-lipat https://kbr.id/nasional/03-2017/pertumbuhan_urbanisasi_ indonesia_tertinggi_di_dunia__kebutuhan_rumah_jadi_ masalah/89430.html https://bangka.tribunnews.com/2017/05/09/ini-10-negara-denganjumlah-gelandangan-terbanyak-coba-cek-indonesia-nomorberapa?page=2 https://nasional.kompas.com/read/2019/08/22/21281421/ diperkirakan-ada-77500-gepeng-di-kota-kota-besar-diindonesia. https://properti.kompas.com/read/2018/07/04/210000321/laju- 192 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia urbanisasi-indonesia-tertinggi-di-asia https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/1744/persentasependuduk-miskin-maret-2020-naik-menjadi-9-78-persen.html https://nasional.kompas.com/read/2019/08/22/21281421/ diperkirakan-ada-77500-gepeng-di-kota-kota-besar-diindonesia https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=BPS__ Urbanisasi_Efektif_Turunkan_Angka_Kemiskinan_di_ Desa&news_id=78871&group_news=IPOTNEWS&news_ date=&taging_subtype=INDONESIA&name=&search=y_ general&q=INDONESIA,&halaman=1 https://properti.kompas.com/read/2016/07/19/172900021/jika. dikelola.urbanisasi.tekan.angka.kemiskinan.perkotaan Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020 193 Agus Saputro 194 Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020