URBAN CRISIS:
Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
Agus Saputro
Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,
UIN Sunan Kalijaga
Email: agus.saputro@uin-suka.ac.id
Abstract
According to Lewis Mumford, “no one is satisfied with the
current form of the city”. This paper explains how crises occur
in cities. The purpose of this study is to look at the crisis that is
happening in urban areas using the method of study of literature.
The theory used is the risk society of Ulrich Beck. The crisis that
occurred in the city is not merely focus on economic problems,
such as poverty, unemployment, homeless people and street
children. Urban crises also include security, environmental,
energy and social aspects. As for the factors causing the crisis,
this paper sees it from an internal and external perspective.
Internally, the urban crisis is caused by the developing of the city
itself. A city that acts as a market has attracted producers and
consumers to come. Producers approach the suburbs to reduce
production costs because they are close to markets and human
resources. Meanwhile, consumers come to the city because of the
larger selection of goods and they also can get the best prices.
Developing cities cause industrial estates to no longer be on
the outskirts of cities, but many in the city center. Obviously,
this causes problems and crises in the middle of a dense urban
population. The crisis was also caused by external factors,
namely relations with the village. The failure of development in
the village caused by the choice of fragmented agricultural land
due to the distribution of inheritance and agrarian violations
so that land is owned by peasants. These conditions require
villagers to urbanize. A city that has developed physically and
has a population implicating in slum areas, squatters, green
open space crises and low social sensitivity.
Keywords: Crisis, Urban, Rural, Urbanization
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
173
Agus Saputro
Intisari
Menurut Lewis Mumford, “tidak ada satu pun orang yang
puas dengan wujud kota saat ini”. Penulis setuju dengan
pernyataan tersebut, sehingga tulisan ini berusaha
menjelaskan bagaimana krisis terjadi di perkotaan. Daya
tarik kota begitu menghipnotis masyarakat, hal tersebut
tidak terlepas dari keberhasilan pembangunan kota. Akan
tetapi, di sisi lain kota mengalami yang disebut krisis.
Tujuan dari penelitian ini adalah ini melihat krisis yang
terjadi di perkotaan dengan menggunakan metode studi
literatur-literatur. Adapun teori yang dipakai adalah
masyarakat resiko dari Ulrich Beck. Krisis yang terjadi
di perkotaan tidak hanya berbicara terkait masalah
ekonomi, misal; kemiskinan, pengangguran, gelandangan
dan anak jalanan. Krisis perkotaan juga meliputi krisis
keamanan, lingkungan, energi dan sosial. Adapun faktor
penyebab terjadinya krisis, dalam tulisan ini melihatnya
pada sudut pandang internal dan eksternal. Pada faktor
internal, krisis perkotaan disebabkan oleh kota itu
sendiri yang berkembang. Kota yang berperan sebagai
market, telah menarik produsen dan konsumen untuk
datang. Produsen mendekat ke pinggiran kota untuk
memperkecil biaya produksi karena dekat dengan pasar
dan SDM. Sedangkan konsumen, datang ke kota karena
banyak pilihan barang dan mendapatkan harga terbaik.
Kota yang berkembang menyebabkan kawasan industri
tidak lagi berada di pinggiran kota, akan tetapi banyak
di pusat kota. Tentu ini menyebabkan masalah dan
krisis di tengah penduduk kota yang padat. Krisis juga
disebabkan oleh faktor eksternal, yakni relasi dengan
desa. Kegagalan pembangunan di desa, kepemilikan lahan
pertanian yang terfragmentasi akibat pembagian warisan
dan pelanggaran-pelanggaran agrarian sehingga tanah
dimiliki oleh petani berdasi. Kondisi tersebut menuntut
penduduk desa untuk urbanisasi. Kota yang berkembang
secara fisik dan jumlah penduduk berimplikasi slum area,
penghuni-penghuni liar, krisis ruang terbuka hijau dan
rendahnya kepekaan sosial.
Kata Kunci: Krisis, Desa, Kota, Urbanisasi
Pendahuluan
Dalam wacana ruang hidup, relasi desa-kota selalu menarik
diperbincangkan. Desa dalam perspektif lama digambarkan dengan
174
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
lokasi asri, penduduk yang ramah, masyarakat masih menggunakan
teknologi tradisional, profesi mayoritas petani, jauh dari hiruk-pikuk
dan solidaritas masyarakatnya kuat. Keindahan desa juga terbangun
secara alamiah atau natural. Sedangkan kota, dapat dikatakan
bertolak belakang dengan kehidupan di desa. Kota yang umumnya
syarat dengan pembangunan menyediakan berbagai fasilitas publik,
berbagai kebutuhan hidup, sarana prasarana modern dan peluang
kerja yang lebih variatif. Setiap jengkal sudut kota seakan tumbuh dan
berkembang dengan perencanaan yang matang.
Gambaran keindahan desa-kota di atas, tidak serta merta
meniadakan sisi negatif dari desa-kota itu sendiri. Desa lekat
dengan gambaran dan stigma kemiskinan, keterbelakangan dalam
hal teknologi dan pengetahuan dan ketertinggalan pembangunan.
Sedangkan kota, sebagai pusat keramaian juga memiliki sisi negatif.
Sering digambarkan hidup di kota itu keras, individualisme, tingkat
polusi dan kriminalitas tinggi.
Dari berbagai masalah yang terdapat di desa-kota bahkan
bangsa dalam arti luas, kemiskinan menjadi masalah yang krusial dan
menarik untuk dibahas. Seorang tokoh Martin Luther King (1960)
mengingatkan bahwa, “Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar
jika mayoritas masyarakat masih miskin dan lemah. Maka untuk
menjadi bangsa yang besar mayoritas masyarakat tidak boleh hidup
dalam kemiskinan dan lemah”. Kemiskinan menjadi masalah yang
tidak dapat terelakkan. Kemiskinan yang awalnya identik dengan
desa, lambat laun juga menjadi masalah perkotaan yang tidak dapat
dihindari.1
Kemiskinan dari dimensi penyebabnya dibedakan menjadi
dua, yakni kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural/buatan.
Kemiskinan alamiah diartikan sebagai kemiskinan yang dikarenakan
oleh faktor kualitas dan kuantitas SDA serta SDM. Sedangkan
kemiskinan struktural/buatan diartikan sebagai kemiskinan, baik
langsung maupun tidak langsung yang dikarenakan faktor pranata
institusi yang memihak pada pribadi atau golongan tertentu, dan
merugikan pihak lain.2
Dari data terbaru, pada Maret 2020 menunjukkan angka
kemiskinan di Indonesia meningkat dari tahun sebelumnya. Pada
tahun 2019 tercatat jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan
Nasrullah Jamaludin, Adon, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat
Kota dan Problematikanya, (Bandung:Pustaka Setia, 2015), hlm. 231
2
Ibid, hlm. 233
1
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
175
Agus Saputro
14,93 juta orang, angka ini mengalami kenaikan 333,9 ribu orang pada
Maret 2020 menjadi 15,26 juta orang. Hal serupa juga terjadi di wilayah
perkotaan, angka kemiskinan juga mengalami kenaikan dari Maret
2019 berjumlah 9,86 juta, pada Maret 2020 jumlah masyarakat miskin
naik sebanyak 1,3 juta orang menjadi 11,16 juta orang.3
Masalah yang juga krusial adalah semakin banyaknya gepeng,
kriminalitas dan perumahan kumuh di perkotaan. Pada tahun 2019
diperkirakan jumlah gelandangan dan pengemis sebanyak 77.500
berada di berbagai kota besar di Indonesia. Akan tetapi jumlah ini
hanya sebatas perkiraan karena biasanya ketika mendekati hari besar
jumlah pengemis akan semakin meningkat. Menteri Sosial Agus
Gumiwang Kartasasmita, juga menyatakan ada kemungkinan jumlah
gelandangan dan pengemis lebih dari perkiraan, karena mengingat
banyaknya kendala dan tantangan pendataan di lapangan.4
Pada umumnya, orang melakukan urbanisasi dengan tujuan
mendapatkan penghasilan ekonomi dan taraf hidup yang lebih
baik. Klaim urbanisasi sebagai obat terutama untuk mengatasi
permasalahan ekonomi atau kemiskinan disampaikan oleh beberapa
pejabat pemerintahan, seperti BPS (Badan Pusat Statistik) dan PUPR
(Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Urbanisasi dapat secara
efektif menurunkan angka kemiskinan di desa.5 Urbanisasi jika
dikelola dengan baik akan menekan angka kemiskinan di kota.6 Dua
klaim ini berpatokan pada penurunan angka kemiskinan yang tercatat
di BPS pada tahun 2016 dan 2017. Menjadi menarik angka urbanisasi
Indonesia yang pernah tertinggi se-Asia pada tahun 2017 apakah
berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi masyarakat.
Melihat gambaran positif dan negatif desa-kota di atas, tentu
menjadi menarik melihat disetiap perkembangannya dari waktu ke
waktu. Artikel ini berusaha melihat proses krisis atau problem di
perkotaan lahir karena ada relasi dengan desa. Khususnya pada faktor
pendorong desa dan dan penarik kota sebab terjadinya urbanisasi.
Selain relasi dengan desa, artikel ini akan melihat krisis perkotaan juga
3
https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/1744/persentasependuduk-miskin-maret-2020-naik-menjadi-9-78-persen.html
4
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/22/21281421/
diperkirakan-ada-77500-gepeng-di-kota-kota-besar-di-indonesia
5
https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.
php?jdl=BPS__Urbanisasi_Efektif_Turunkan_Angka_Kemiskinan_di_
Desa&news_id=78871&group_news=IPOTNEWS&news_date=&taging_
subtype=INDONESIA&name=&search=y_general&q=INDONESIA,&halaman=1
6
https://properti.kompas.com/read/2016/07/19/172900021/jika.
dikelola.urbanisasi.tekan.angka.kemiskinan.perkotaan
176
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
sebagai akibat kota itu sendiri. Kota yang tetap secara wilayah, akan
tetapi berkembang secara kondisi sosial dan jumlah penduduknya.
Hal ini berdampak pada krisis yang terjadi di perkotaan. Krisis
perkotaan meliputi krisis energi dan sosial. Krisis lingkungan meliputi
krisis energi (udara dan air) sebagai akibat polusi yang dihasilkan
oleh kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Sedangkan
krisis sosial lebih mengarah pada kehidupan sosial yang tidak tertata
sehingga menimbulkan masalah sosial.
Penelitian ini menggunakan analisis wacana. Analisis wacana
ini berusaha untuk mengupas teks-teks yang berkaitan dengan subjek
yang diteliti. Data-data yang diperoleh dari berbagai sumber diperkuat
dengan data-data penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh peneliti.
Data-data teks baik dari media maupun media lainnya, dipilih dari
sumber-sumber yang kredibilitasnya diakui. Data tersebut online
kemudian diperkuat dengan konsep-konsep yang ada di literatur
buku dan di analisis menggunakan teori.
Kemiskinan Desa Sebagai Pendorong Urbanisasi
Kemiskinan diartikan sebagai standar tingkat hidup yang rendah,
yakni terdapat kekurangan materi pada sejumlah orang/golongan jika
dibandingkan dengan standar kehidupan masyarakat pada umumnya
yang dipakai pada masyarakat tersebut.7 Bank Dunia (1990) dan
Robert Chamber melihat kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan
warga yang diukur dari standar hidup tertentu, mengacu pada konsep
miskin relatif yang melakukan analisis perbandingan terhadap negara
kaya ataupun miskin. Pengertian absolut dari kemiskinan adalah
terdapat kasus kelaparan, ketidakmampuan untuk membesarkan
atau mendidik anak dan lain-lain. Pendapat lain terkait kemiskinan
diutarakan oleh Usman, ia mengutarakan bahwa kemiskinan
adalah kondisi kehilangan (deprivation) sumber-sumber pemenuhan
kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan
dan kesehatan serta hidup serba kekurangan.8
Kartasasmita menyebutkan ada beberapa penyebab mengapa
seseorang atau kelompok menjadi terperosok dalam miskin.
Pertama, masyarakat menjadi miskin dikarenakan rendahnya tingkat
pendidikan. Pendidikan yang rendah mengakibatkan proses selfactualization yang terbatas. Hal ini berakibat juga pada rendahnya
daya saing dan semakin sempitnya lapangan kerja yang dapat
Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan (Yogyakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1993), xi.
8
Nasrullah Jamaludin, Adon, (Bandung:Pustaka Setia, 2015), hlm. 231
7
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
177
Agus Saputro
diakses. Kalaupun ada pekerjaan biasanya di posisi pekerja kasar atau
bawahan tanpa spesialisasi kerja tertentu dengan penghasilan rendah.
Kedua, rendahnya derajat kesehatan. Kemampuan untuk mencukupi
kebutuhan gizi dan taraf kebutuhan sehat, menjadi faktor rendahnya
daya tahan tubuh atau fisik, daya pikir dan prakarsa. Tidak hanya
dalam kebutuhan akan makan, kesehatan ini juga dipengaruhi oleh
ketidakmampuan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang
baik untuk hidup sehat. Seperti kebutuhan akan air bersih untuk
berbagai aktivitas, hunian yang nyaman dengan ventilasi udara dan
pencahayaan yang cukup misalnya. Ketiga, terbatasnya lapangan
pekerjaan. Keterbatasan lapangan pekerjaan ini disebabkan oleh
beberapa faktor. Diantaranya dimulai dari rendahnya pendidikan,
tidak memiliki ketrampilan khusus yang menjadi daya tawar di
persaingan dunia kerja. Keterbatasan lapangan kerja ini juga sebagai
akibat tidak memiliki modal untuk berkembang secara mandiri untuk
menciptakan lapangan kerja. Sehingga hanya memiliki pilihan untuk
masuk pada lapangan kerja tersedia, sesuai dengan kriteria yang
mereka mampu masuk. Keempat, kondisi yang terisolir. Di Indonesia
khususnya masih banyak terdapat masyarakat yang terisolir, mereka
yang tinggal di pulau-pulau kecil, suku-suku pedalaman hutan yang
terisolasi dari kehidupan masyarakat luar. Hal ini berakibat pada
ketidakberdayaan ekonomi, karena mereka yang tinggal di wilayah
terisolir susah mendapatkan akses kesehatan, pendidikan dan gerak
kemajuan teknologi yang bisa dinikmati seperti di daerah lainnya.9
Dalam mengukur angka kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS)
menggunakan kriteria yakni, kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar dan menghitung garis kemiskinan. Adapun pengertian garis
kemiskinan merupakan standar minimal yang dibutuhkan seseorang
untuk mencukupi kebutuhan dasarnya termasuk pangan dan bukan
pangan.10 Berdasarkan perhitungan dari BPS pada September 2018,
kemiskinan di Indonesia tercatat 25,67 juta orang. Dari total kemiskinan
tersebut, desa menyumbangkan angka 15,54 juta. Ini berarti 60,54 %
masyarakat miskin berada di desa.11
Adapun faktor penyebab kemiskinan terjadi karena beberapa
hal. Diantaranya kemiskinan alami, kemiskinan karena kolonialisme,
9
Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. (Jakarta : CIDES, 1996), hlm. 240-241
10
Sutyastie dan Tjiptoherijanto, Prijono, Kemiskinan dan Ketidakmerataan di
Indonesia. (Rineka Cipta: Jakarta, 2002). hlm. 37
11
https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/01/15/1549/persentasependuduk-miskin-pada-september-2018-sebesar-9-66-persen.html
178
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
kemiskinan karena terisolasi, kemiskinan struktural, kemiskinan
karena sosio-kultural.12 Dari data BPS per Maret 2019 tentang persentase
kemiskinan menurut provinsi, lima besar persentase kemiskinan
tertinggi didominasi oleh Wilayah Indonesia Bagian Timur, yakni
Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan Gorontalo.13 Dari tipikal 5
provinsi tersebut sangat jelas kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh
faktor terisolir dan kondisi alam. Terisolasi karena akses transportasi
terbatas dan kemiskinan alami dikarenakan faktor alam yang tidak
subur dikarenakan curah hujan yang rendah, misalnya seperti di NTT.
Dari penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh peneliti,
kemiskinan di pedesaan juga dapat disebabkan oleh faktor sosiokultural yang dianut dan berkembang di masyarakat tersebut.14 Dalam
kehidupan sosial masyarakat desa biasanya memiliki ciri empati yang
rendah. Kondisi ini berakibat jika seseorang tidak ingin dikucilkan
dari kelompoknya, mereka harus mengikuti apa yang dilakukan oleh
anggota dalam kelompok tersebut. Dalam istilah jawa ini disebut
“ngumummi”. Kalau tidak ngumummi dia dianggap tidak umum, kalau
tidak umum dia disingkirkan dalam kehidupan umum.
Pada contoh di atas seseorang melakukan interaksi dengan
orang lain sudah tidak lagi mempertimbangkan benefit materil karena
nilai sosial yang mereka pertukarkan. Seperti yang diutarakan oleh
Homans dalam teori pertukaran sosial, ketika seseorang berinteraksi
dengan orang lain benefit atau reward tidak selamanya berupa materil.
Hal ini diperparah dengan karakteristik masyarakat desa yang
memiliki solidaritas kuat. Dalam kondisi tidak mampu pun, mereka
tetap membantu masyarakat lain meski mungkin itu berat bagi mereka
pribadi. Pada beberapa kasus yang justru terjadi adalah shared poverty.
Problem yang memperparah kondisi masyarakat desa adalah
terkait kepemilikan lahan pertanian yang semakin sempit, bahkan
tidak mempunyai hak milik sama sekali. Kepemilikan lahan pertanian
bagi masyarakat desa yang berciri agraris menjadi mutlak. Karena
lahan pertanian adalah tempat aktivitas ekonomi dan sumber ekonomi
masyarakat desa. Kepemilikan lahan pertanian terfragmentasi akibat
pembagian waris. Kondisi ini berakibat pada semakin sempitnya
lahan pertanian yang dimiliki setiap orang di desa. Sempitnya lahan
12
Bagong Suyanto, Perangkap Kemiskinan; Problem dan Strategi
Pengentasannya (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), 23-24.
13
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/16/provinsimana-yang-memiliki-angka-kemiskinan-terbesar
14
Agus Saputro, Skripsi: Masyarakat dalam Jerat Budaya Kemiskinan
(Surakarta: UNS, 2012)
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
179
Agus Saputro
pertanian menyebabkan hasil panen tidak cukup untuk dibarter
dengan kebutuhan lain melalui kegiatan ekonomi pasar. Bahkan hasil
panen tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sampai panen
tiba kembali pada keluarga petani tersebut.
Kepemilikan lahan pertanian yang terfragmentasi diperparah
dengan pelanggaran-pelanggaran peraturan agraria. Praktik ini
ditemukan oleh penulis dalam penelitian yang dilakukan di sebuah
kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.15 Dalam amanat Pasal 10 ayat 1
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), menerangkan seseorang
perlu mengerjakan dan mengusahakan tanah pertaniannya secara
aktif. Melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No.
224/1961 jo. PP No. 41/1964 larangan kepemilikan lahan pertanian
oleh siapapun di luar kecamatan dimana tanah itu berada. Akan tetapi
dalam praktiknya, ditemukan banyak lahan pertanian yang dimiliki
orang yang berdomisili dan tinggal di luar kecamatan dimana tanah
itu berada. Orang luar kecamatan dapat memiliki lahan pertanian
dengan cara secara sementara memindah domisili tempat tinggal.
Setelah urusan administrasi kepemilikan tanah selesai, ditandai
dengan atas nama pemilik tanah yang sudah berpindah tangan ke
pembeli. Kemudian pembeli mengurus domisili kembali ke tempat
semula sesuai dimana dia tinggal.
Penjualan lahan pertanian ke pihak luar dilakukan sebagai efek
beruntun karena fragmentasi lahan. Fragmentasi lahan terjadi karena
proses warisan dari orang tua ke anak dan berlanjut ke anak-cucu. Ini
berakibat pada semakin sempitnya kepemilikan lahan oleh masingmasing petani di desa. Ketika proses bercocok tanam dilakukan di
lahan yang semakin sempit, biaya produksi tidak sesuai dengan hasil
yang mereka dapatkan. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi
kelangsungan hidup petani.
Kondisi kepemilikan tanah yang berpindah ke orang luar,
diperparah dengan tidak diimbangi ketersediaan lapangan pekerjaan
baru di pedesaan. Hal ini berakibat orang desa tetap bekerja di sawah
bukan lagi sebagai petani pemilik akan tetapi mereka menjadi buruh
tani atau petani penyewa. Karena kepemilikan tanah sebagai faktor
utama dalam pertanian, dengan kondisi ini mereka tidak punya daya
tawar tinggi ketika proses bercocok tanam berlangsung. Faktor lain
tidak berkembangnya pertanian di desa sebagai penopang ekonomi
masyarakatnya adalah terkait minat anak muda untuk menjadi petani
15
Agus Saputro, Tesis: Rame Ngarep Antar dan Intra Kelas pada
Masyarakat Petani (Surakarta: UNS, 2016)
180
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
sangat rendah. Dalam penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya
di daerah Kabupaten Sragen, misalnya jarang ditemui pemuda yang
menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama mereka. Gagalnya
regenerasi petani menjadi efek beruntun dikarenakan efek lanjutan
kepemilikan alat produksi/lahan dan bertani dianggap sebagai
bukan pekerjaan anak muda. Kaum muda cenderung lebih suka
menggantungkan ekonomi dari sektor lain meski menjadi buruh
bagi orang lain tapi bukan dalam pertanian. Bahkan mengadu nasib
menjadi perantauan di kota orang untuk mengadu peruntungan.
Urbanisasi sebagai Jalan Atas Kegagalan Ekonomi Orang
Desa
Menurut Daljoeni urbanisasi diartikan suatu proses untuk
menjadi area perkotaan, perpindahan penduduk masuk ke kota,
konversi pekerjaan dari petani menjadi yang lain, juga terkait perubahan
dalam pola aktivitas manusia. Pengertian urbanisasi secara bahasa
berarti pengkotaan, yaitu proses untuk menjadi kota. Pengkotaan juga
dapat diterapkan pada suatu negara, sehingga berarti meningkatkan
jumlah atau proporsi penduduk yang tinggal di kota. Selanjutnya
perkotaan berkembang, pinggiran-pinggiran yang awalnya pedesaan
berubah menjadi perkotaan. Dalam pengertian sehari-hari urbanisasi
diartikan sebagai arus perpindahan penduduk baik secara individual
maupun kolektif dari desa ke kota.16
Thomas Malthus menyebutkan ada 3 faktor penyebab terjadinya
perubahan pertumbuhan penduduk, yakni fertilitas (kelahiran),
mortalitas (kematian) dan migrasi (mobilitas penduduk). Dalam
perkiraan BPS, angka penduduk yang tinggal di perkotaan waktu
ke waktu semakin meningkat. Diprediksikan proyeksi penduduk
yang tinggal di kota pada tahun 2020, terdapat 23 kota dengan angka
penduduk lebih dari 1 juta jiwa. Dari 23 kota tersebut, di Pulau Jawa
terdapat 11 kota dan 5 diantaranya jumlah penduduk lebih dari 5
juta jiwa. Jumlah atau angka kependudukan disuatu wilayah sangat
penting, karena biasanya dikaitkan dengan pertumbuhan pendapatan
per kapita suatu negara. Pendapatan per kapita ini mencerminkan
perekonomian negara, pendapatan per kapita berbanding lurus
dengan perekonomian suatu negara.17
Pada kasus urbanisasi, urbanisasi di negara maju biasanya
dijadikan menjadi tolak ukur pertumbuhan dan peningkatan ekonomi
Nia K. Pontoh & Iwan Kustiawan, Pengantar Perencanaan Perkotaan,
(Bandung: ITB Press, 2018), hlm. 92
17
Nasrullah Jamaludin, Adon, (Bandung:Pustaka Setia, 2015), hlm. 188
16
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
181
Agus Saputro
ekonomi. Semakin tingginya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
atau negara, maka urbanisasinya (level of urbanization) juga semakin
tinggi derajat. Hal ini telah ditunjukkan melalui data empirik yang
memperlihatkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi (dan juga
pendapatan per kapita) dengan derajat urbanisasi yang dicapai.
Wilayah perkotaan memiliki peranan yang sangat besar terhadap
ekonomi wilayah/negara. Setidaknya sebesar 50-60 persen Gross
Domestic Product/ Produk Domestik Bruto (GDP/PDB) digerakkan oleh
ekonomi yang berada di perkotaan melalui kegiatan industrialisasi,
kegiatan perdagangan dan penawaran jasa. Pertumbuhan ekonomi
perkotaan ditandai dengan adanya pergeseran atau perubahan
struktur ekonomi, sektor pertanian berubah menjadi sektor industri
dan sektor industri mengarah menjadi sektor jasa.18
Migrasi adalah perpindahan perpindahan seorang individu atau
kelompok dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tujuan tertentu.
Semakin peliknya kehidupan di desa, masyarakat desa mengadu nasib
sebagai kaum urban. Baik mereka sebagai kaum urban yang menetap
di kota, ataupun mereka melakukan urbanisasi ulak-alik/pulangpergi tanpa menginap.
Mengenai konteks urbanisasi ini, Sri Mulyani selaku Menteri
Keuangan menyatakan bahwa angka urbanisasi di Indonesia meningkat
di angka 4,1 persen. Tingkat urbanisasi ini lebih tinggi dibandingkan
negara-negara di Asia lainnya seperti India dan Tiongkok, yang
masing-masing di angka 3,8 persen.19 Hal senada juga diutarakan oleh
Sri Hartoyo selaku Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR,
beliau menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara di Asia dengan
tingkat urbanisasi paling tinggi. Pada tahun 2035, diprediksi jumlah
masyarakat yang bertempat di wilayah perkotaan meningkat diangka
68 persen. 20
Melihat angka urbanisasi di atas yang sangat fantastik, tentu
memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif adanya urbanisasi
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di perkotaan secara khusus dan
nasional pada umumnya. Di Indonesia, urbanisasi masih memiliki
kontribusi yang rendah terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data World Bank, setiap ada peningkatan angka 1 persen
urbanisasi di Indonesia hanya menyumbangkan 1,4 persen PDB per
Nia K. Pontoh & Iwan Kustiawan, (Bandung: ITB Press, 2018), hlm. 94
https://kbr.id/nasional/03 2017/pertumbuhan_urbanisasi_indonesia_
tertinggi_di_dunia__kebutuhan_rumah_jadi_masalah/89430.html
20
https://properti.kompas.com/read/2018/07/04/210000321/lajuurbanisasi-indonesia-tertinggi-di-asia
18
19
182
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
kapita. Menurut Bambang P.S. Brodjonegoro (3/10/2019) selaku
Menteri PPN (Perencanaan Pembangunan Nasional), di kawasan Asia
Timur dan Asia Pasifik, urbanisasi memiliki kontribusi terhadap PDB
sebesar 2,7 persen. Di China sendiri, setiap peningkatan urbanisasi
sebesar 1 persen, memberikan sumbangan peningkatan terhadap PDB
per kapita sebesar 3 persen.21
Melihat data di atas tentu urbanisasi maksimal yang terjadi di
Indonesia, masih memiliki kontribusi minimal terhadap pertumbuhan
ekonomi dibanding dengan negara-negara lain di Asia. Perlu ditakutkan
di sini adalah perpindahan manusia dari desa ke kota tidak diimbangi
oleh pendapatan per kapita yang meningkat. Karena kebanyakan
masyarakat melakukan urbanisasi motivasinya adalah motif ekonomi.
Sudah semestinya urbanisasi dikendalikan agar tidak terjadi urbanisasi
tidak terkendali atau over-urbanization. Urbanisasi tidak terkendali
ditandai dengan adanya ketidakseimbangan kependudukan terkait
keruangan. Hal ini menjadi suatu yang menghambat pembangunan
baik di desa maupun kota dan negara. Di desa akan kehilangan sumber
daya manusianya dalam mengolah alam, pertanian dan membangun
desa, sedangkan di kota karena mengalami over-population akan
timbul masalah-masalah baru khas perkotaan. Jika urbanisasi ini tidak
mampu dimanfaatkan sebagai peluang dan dikontrol akan membawa
dampak negatif. Masalah lingkungan, energi, kesehatan, administratif
kependudukan dan sosial akan menjadi masalah pelik yang dihadapi
oleh masyarakat kota khususnya dan nasional pada umumnya.
Problematika Krisis Perkotaan
Perkembangan masyarakat perkotaan atau urban, tercipta sebagai
akibat dari tiga pembangunan utama. Pertama, karena dunia ini adalah
bagian yang saling terintegrasi dan terpadu melalui globalisasi dalam
sektor ekonomi ekonomi dan social activity. Kedua, pembangunan yang
disebabkan peningkatan jumlah penduduk yang menyebar ke daerah
baru sehingga menyebabkan bertambahnya populasi ditempat lain
(tumbuhnya kota pinggiran/sub-urban). Ketiga, perubahan masyarakat
dunia/global. Semakin banyaknya orang sebagai akibat peningkatan
jumlah penduduk yang tinggal di kota-kota, lambat laun mereka juga
akan mengikuti gaya hidup dan karakter masyarakat asli kota.22
Pada tahun 2019, berdasarkan data dari Worldometers
jumlah
https://money.kompas.com/read/2019/10/03/164030626/
urbanisasi-di-indonesia-sebesar-apa-kontribusi-ekonominya
22
Drajat Tri Kartono, Sosiologi Perkotaan, (Jakarta: Universitas Terbuka,
2010), hlm.1.6
21
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
183
Agus Saputro
penduduk yang tinggal perkotaan di Indonesia sebanyak 150,9 juta jiwa.
Berarti sekitar 55,8 persen dari 270,6 juta jiwa total penduduk Indonesia.
Angka tersebut meningkat 0,7 persen dari tahun sebelumnya, yakni di
angka 147,6 juta jiwa atau 55,1 persen.23 Angka penduduk yang tinggal
di kota tersebut diproyeksikan akan selalu meningkat, bahkan di tahun
2035 diprediksi 68 % penduduk Indonesia tinggal di kota. Di sini yang
menjadi menarik adalah bagaimana laju urbanisasi yang tinggi, kota
semakin padat dan berkembang berdampak terhadap kota itu sendiri.
a. Krisis Lingkungan
Semakin banyaknya penduduk yang tinggal di kota, menuntut
kota untuk menyediakan tempat tinggal. Jika urbanisasi diharapkan
mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta ingin
menciptakan domectic source of growth yang sustainable, maka strategi
penyediaan perumahan menjadi sangat penting (core/inti utama). Ini
dikarenakan pembangunan perumahan memiliki pengaruh ke banyak
sektor (multiplier effect).
Adapun need akan rumah di Indonesia di angka 800 ribu hingga
satu juta rumah per tahunnya. Sedangkan kemampuan penyediaan
rumah oleh pihak swasta sebesar 40 persen, untuk kemampuan
intervensi pemerintah hanya mampu di angka 20 persen. Dari data
tersebut sangat jelas, ada kekurangan 40 persen perumahan yang
harus dipenuhi masyarakat secara mandiri atau swadaya.24 Akan tetapi
kebutuhan tempat tinggal yang menjadi primer ini tidak diimbangi
dengan daya beli masyarakat. Daya beli perumahan oleh masyarakat
yang rendah. Di sisi lain, masyarakat memiliki cara penyelesaian
sendiri atas kebutuhan hunian untuk dirinya. Seperti mendirikan
rumah alakadarnya, mendirikan rumah dilahan-lahan ilegal bukan
hak milik dan bukan diperuntukan perumahan.Hal ini berdampak
pada timbulnya pemukiman kumuh (slum area).
Menurut Rudiyantono (2000:8), suatu pemukiman dapat
dikategorikan kumuh melalui 2 standar. Pertama dari kondisi
rumahnya. Antara lain struktur, fungsi ruang, kepadatan hunian
dan penataan ruang bangunan. Kedua, dari ketersediaan sarana dan
prasarana dasar lingkungan. Sarana dan prasarana lingkungan
meliputi ketersediaan air bersih yang mencukupi untuk kebutuhan,
sanitasi, adanya fasilitas pendidikan, kesehatan, tempat ibadah, sarana
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/11/berapajumlah-penduduk-perkotaan-di-indonesia
24
https://kbr.id/nasional/03-2017/pertumbuhan_urbanisasi_
indonesia_tertinggi_di_dunia__kebutuhan_rumah_jadi_masalah/89430.html
23
184
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
ekonomi dan ketersediaan ruang terbuka di luar perumahan.25
Menurut Didiet Arif Akhdiat selaku Direktur Pengawasan
Pemukiman Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR, menyebutkan
data kawasan kumuh pada tahun 2014 seluas 38.000 hektare. Berselang
5 tahun tepatnya pada tahun 2019 jumlah kawasan kumuh tersebut
meningkat menjadi 87.000 hektare.26 Data tersebut didapat dari
Real Estate Indonesia (REI), yakni sebuah asosiasi yang anggotanya
merupakan para pengembang atau pengusaha jasa perumahan yang
sering disebut sebagai Developer. Melihat angka tersebut berarti selama 5
tahun kawasan kumuh meluas dua kali lipat. Kondisi ini tentu menjadi
tantangan dalam pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku).
Masalah pemukiman juga membuat resah terkait ketersediaan
ruang terbuka hijau (RTH), sebagai salah satu kriteria juga dalam
penentuan pemukiman layak huni. Dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 26 Tahun 2007 terkait penataan ruang mengatur ruang terbuka
hijau suatu kota setidaknya minimal 30 persen dari luas wilayah kota.
Ketentuan ini dapat diartikan bahwa setiap lahan yang kita singgahi,
misalnya idealnya minimal 70 persen digunakan untuk bangunan
sedangkan 30 persennya untuk lahan terbuka hijau bisa berupa taman
atau kolam.
Terkait penghitungan ruang terbuka hijau terjadi perubahan.
Dalam metode penghitungan, dulu jalan aspalnya juga dihitung sebagai
jalan hijau dalam hal ini tentu menambah penghitungan kawasan
RTH. Sedangkan saat ini, yang dihitung hanya taman dan pepohonan
saja. Seperti misalnya kota Yogyakarta, dengan penghitungan lama
RTH yang dimiliki adalah sebesar 32 %, sedangkan dengan cara
penghitungan baru menjadi 18 % sehingga masuk kategori wilayah
kurang RTH. Suyana selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH)
Kota Yogyakarta memberikan pernyataan, bahwa belum ada satupun
kota di Indonesia yang sudah mencapai 30 persen.27 Dengan alasan
apapun, pemerintah pasti sudah mempertimbangkan dan menghitung
30 persen RTH adalah standar dari kota layak huni. Minimnya RTH di
perkotaan bisa disebabkan karena tidak ada sanksi bagi kota yang tidak
mencapai angka 30 %. Diperkuat dengan masih minimnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya ruang terbuka hijau.
25
Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Perkotaan: Memahami masyarakat
kota dan problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 338.
26
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190903212554-20-427289/
kawasan-kumuh-indonesia-meluas-dua-kali-lipat
27
http://jogja.tribunnews.com/2017/07/25/rth-yogyakarta-turun-jadi18-persen.
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
185
Agus Saputro
Krisis energi di perkotaan seakan juga tidak dapat terpisahkan
dari krisis lingkungan. Adapun krisis energi meliputi tanah udara
dan air. Krisis tanah salah satunya sudah dijelaskan sebelumnya
terkait minimnya RTH. Sedangkan untuk krisis udara yakni terkait
ketersediaan udara bersih dan krisis air melibuti ketersediaan bersih.
Krisis energi ini disebabkan banyak hal seperti kegagalan pemerintah
dalam menyediakan angkutan publik, sehingga banyak orang yang
menggunakan angkutan pribadi berdampak pada kemacetan dan
polusi udara. Terkait ketersediaan air bersih yang minim sebagai
akibat kepadatan penduduk dan pencemaran sumber air oleh limbah
rumah tangga dan industri.
Terkait krisis lingkungan dan energi ini tidak hanya terkait
tentang urbanisasi saja, akantetapi industri di pinggiran kota yang
berkembang. Kebanyakan kawasan industri di Indonesia berada
pinggiran kota dekat dengan sungai, seperti yang pernah penulis
teliti di wilayah Solo, Jawa Tengah. Pemilik usaha memilih di
pinggiran kota dan dekat sungai dikarenakan alasan ekonomi yang
menguntungkan. Yakni, dekat dengan sumber daya, baik sumber daya
alam maupun SDM yang dari pedesaan dengan gaji murah. Selain itu
juga dekat dengan kota untuk menjual barang langsung ke konsumen
ataupun menyalurkan barang hasil produksi, karena kota berperan
sebagai pasar. Tentu dengan pertimbangan ini akan memangkas biaya
produksi, dan meningkatkan keuntungan. Sedangkan alasan dekat
dengan sungai, kebanyakan industri tersebut membuang limbah
cair ke sungai. Tentu ini menguntungkan karena pengusaha lebih
dimudahkan terkait limbah sisa produksi.
Perkembangan kota yang melebarkan sayapnya membuat
industri yang semula berada di pinggiran kota lambat laun berada
di pusat kepadatan penduduk. Kondisi ini menjadi masalah bagi
lingkungan hidup masyarakat perkotaan karena mereka harus
berkontak dengan polusi yang dihasilkan oleh industri. Hidup
berdampingan dengan energi air, udara dan tanah yang tercemar.
b. Krisis Sosial
Rumah kumuh dan hunian liar, membawa efek lanjutan
hadirnya penghuni-penghuni liar (squatters). Umumnya penghuni liar
pemukiman padat dan kumuh perkotaan tidak memiliki spesifikasi
keahlian kerja. Ini menimbulkan masalah sosial baru khas perkotaan
seperti gelandangan, pengemis dan anak jalanan.
Istilah gelandangan dan pengemis sering disebut dengan
186
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
“gepeng” diartikan sebagai peminta-minta, pekerja jalanan dan
sebagainya. Adapun pengertian gelandangan menurut Departemen
Sosial RI, gelandangan sebutan untuk orang-orang yang hidup dalam
kondisi tidak sesuai dengan aturan kehidupan yang layak dalam
masyarakat setempat. Mereka tidak memiliki tempat tinggal dan
pekerjaan yang tetap kehidupan berpindah-pindah biasanya dapat
ditemui seperti jalanan, kolong jembatan dan tempat umum lainnya.28
Terkait jumlah gelandangan, Jakarta sebagai kota metropolitan
menempati posisi ke-6 dunia dengan jumlah 28.000 orang.29 Menurut
Agus Gumiwang Kartasasmita (22/8/2019) selaku Menteri Sosial,
pada tahun 2019 ini jumlah gelandangan di Indonesia diperkirakan
sekitar 77.500 jiwa. Perkiraan ini memiliki kemungkinan jumlah yang
lebih besar dikarenakan dalam pendataan gelandangan di lapangan
memiliki banyak tantangan. Misalnya gelandangan-gelandangan
yang muncul pada momen-momen tertentu seperti mendekati
lebaran menjadi salah satu tantangan dalam mendata gelandangan.
Menurutnya, gelandangan dan pengemis muncul sebagai akibat
pembangunan yang tidak merata sehingga mendorong masyarakat
tidak mampu dan perekonomian kurang pedesaan yang berada di
pedesaan/daerah-daerah berspekulasi mengadu peruntungan ke kota
besar dengan urbanisasi.30 Penyataan ini tentu mempertegas kegagalan
pertumbuhan ekonomi di desa.
Yang menjadi miris, masalah pengemis di perkotaan untuk
sekarang bukan lagi karena faktor ketidakmampuan ekonomi. Justru
ini sudah berubah menjadi masalah mentalitas. Mengemis dijadikan
profesi atau pekerjaan dikarenakan lebih menjanjikan pendapatan
secara ekonomi. Tentu urusan mentalitas ini menjadi pekerjaan
pemerintah yang cukup berat. Mengubah mentalitas seseorang tidak
dapat dilakukan dalam waktu yang singkat karena terkait pola pikir
individu dalam merespon masalah. Mentalitas sendiri sesuatu yang
abstrak dan susah juga untuk mengukur perubahannya kalau tidak
dilihat dalam waktu yang panjang.
Urban: Potret Masyarakat Resiko
Aktivitas urbanisasi yang dilakukan oleh masyarakat tidak
terlepas dari adanya modernisasi sebagai penarik untuk datang ke
Adon Nasrullah Jamaludin, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 312.
https://bangka.tribunnews.com/2017/05/09/ini-10-negara-denganjumlah-gelandangan-terbanyak-coba-cek-indonesia-nomor-berapa?page=2
30
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/22/21281421/
diperkirakan-ada-77500-gepeng-di-kota-kota-besar-di-indonesia.
28
29
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
187
Agus Saputro
kota. Kota adalah potret kemajuan. Masyarakat dapat dengan mudah
menjumpai dan merasakan produk-produk modernisasi. Tercermin
dari produk itu adalah kecanggihan, kemudahan dan efisiensi, yang
mungkin akan susah ditemui di desa. Adapun ciri masyarakat dianggap
modern atau maju diantaranya (1) masyarakat yang berkembang di
bawah kontrol ilmu, teknologi, dan pola pikir rasional (2) pesatnya
perkembangan masyarakat menuju kondisi semakin mendunia
(global), baik kaitannya dengan teritorial (wilayah), gerak ekonomi
makro, tekanan politik, maupun pada perkembangan dan penyebaran
teknologi (3) Sebagai akibatnya, corak dan gerak kehidupan masyarakat
tidak hanya sebatas kepentingan lokal maupun nasional, akan tetapi
dijelaskan dalam konteks dunia/global.31
Alih–alih masyarakat urban menikmati produk kemajuan setelah
melakukan urbanisasi, tidak urung mereka justru terperosok dalam
kerasnya kehidupan kota. Jika ada peribahasa “ibu kota lebih kejam
dari ibu tiri”, mungkin saja benar. Gambaran mereka yang terperosok
dalam kemiskinan ditengah sikap individualis khas kota. Kepadatan
kota yang maksimal, berbanding terbalik dengan hunian sehat dan
nyaman yang minimal terlihat dari peningkatan hunian kumuh yang
meningkat dua kali lipat ditahun 2019 dari lima tahun sebelumnya.
Masyarakat yang melakukan urbanisasi dapat dikategorikan
dalam masyarakat beresiko (the risk society) seperti yang diutarakan
oleh Ulrich Beck seorang sosiolog kontemporer berasal dari Jerman.
Dimana kaum urban tersebut melakukan spekulasi atau untunguntungan, ketika mereka menentukan untuk bermigrasi ke kota.
Terutama bagi masyarakat yang berasal dari desa berpindah ke kota
tanpa dibekali dengan human capital. Baik tidak dibekali kapital dalam
wujud material atau skill yang mumpuni untuk dapat bersaing di kota.
Tentu kondisi ini akan membawa dampak terhadap kehidupan kota
dalam merespon kaum urban yang gagal tersebut. Adapun tiga hal
bahaya yang akan dihadapi kota adalah krisis ekologi, krisis ekonomi
global dan krisis jaringan teroris internasional.
Beberapa penting dari pemikiran Beck terkait resiko adalah
(1) Resiko bisa tidak terlihat. Dalam konteks lingkungan resikoresiko tidak bersifat jangka pendek, akibatnya kita baru sadar setelah
bencana itu terjadi. Tetapi hubungan sebab-akibat tentang gejala itu
sangat mudah dijelaskan. Misalnya banjir tahunan di Jakarta, awalnya
mungkin orang tidak sadar apa yang mereka lakukan akan membawa
31
Rachmad K. Dwi Susilo,. Sosiologi Lingkungan. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2019) hlm. 167-168
188
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
dampak banjir tersebut. Mereka sadar setelah banjir terjadi, ternyata
betonisasi, aktivitas membuang sampah dan minimnya kesadaran
akan pentingnya ruang terbuka hijau di perkotaan menjadi beberapa
faktor penyebab banjir. (2) Resiko diproduksi manusia lewat sumbersumber kekayaan dalam masyarakat industri. Masyarakat industri
memiliki fokus pada keuntungan-keuntungan ekonomi. Jalan untuk
melakukan itu adalah eksploitasi sumber daya baik alam maupun
manusia. Eksploitasi sumber daya alam akan berakibat pada krisis
energi, sedangkan eksploitasi sumber daya manusia berakibat pada
krisis rasa aman, krisis kehidupan sosial (teralienasi) dan krisis hidup
sehat. Misalnya perkembangan industri yang beroperasi 24 jam dengan
sistem shift (pergantian/pergeseram) kerja. (3) Resiko berhubungan
dengan masyarakat mencoba melepaskan diri dari tradisi dan
pengetahuan lalu. Ini berakibat terhadap hilangnya kearifan-kearifan
lokal, yang diganti dengan keyakinan-keyakinan yang bersifat global/
universal. Kondisi ini berakibat pada hilangnya nilai dan norma
lokal yang dianut, yang biasanya nilai dan norma itu berkaitan
dengan moralitas. Misalnya saja terkait tentang tata ruang kota, di
Indonesia ada kearifan lokal yang mengatur bangunan yang boleh
dan tidak boleh didirikan kalaupun didirikan harus. Misalnya di Jogja,
bangunan tidak boleh melebihi 32 meter. Aturan ini tertuang pada
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 1 tahun 2015 tentang Rencana
Detail Tata Ruang Kota Yogyakarta. Peraturan ini diberlakukan untuk
melestarikan cagar budaya supaya tidak tertutup oleh gedung. Hal
ini berbeda dengan kondisi masyarakat Kabupaten Sleman, ditengah
geliat pembangunan hotel-hotel dan mall mereka mengalami krisis air.
(4) Resiko tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Misalnya biasanya
penggunaan AC orang kota, baik pribadi atau di kantor-kantor, akan
berefek pada pemanasan global. Kondisi ini akan berdampak tidak
hanya pada kenaikan suhu di kota melainkan berpengaruh pada
kehidupan petani di desa, karena musim yang berubah karena efek
pemanasan global mempengaruhi proses bercocok tanam. (5) Resiko
dan kelas tidak terpisah. Dalam hal ini distribusi resiko melekat pada
pola kelas secara terbalik. Orang dengan kelas atas cenderung lebih
mudah mengatasi resiko, sedangkan orang yang di kelas bawah akan
cenderung susah mengatasi resiko.32
Penutup
Krisis perkotaan dapat menurunkan kualitas solidaritas dan
integrasi sosial dan desain kota. Kerusakan, kekerasan dan kejahatan
32
Ibid, hlm. 174-175
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
189
Agus Saputro
massa atau perilaku kolektif yang bersifat desktruktif merupakan
salah satu bentuk krisis sebagai akibat dari lemahnya kualitas kontrol
sosial dan rendahnya solidaritas-integrasi sosial. Sedangkan krisis
dalam desain kota seperti yang diungkapkan oleh Le Gates dalam
bukunya Urban Life Manifesto, yakni berupa buruknya kehidupan
(perumahan kumuh). Gigantisme yang berakibat pada hilangnya
kontrol masyarakat terhadap perkembangan kota. Privatisasi yang
tinggi sehingga hilangnya ruang-ruang publik. Fragmentasi sentrifugal
atau masyarakat yang terlepas dari dunia sosialnya karena tuntutan
industrialisasi menuntun pada kehidupan global yang mono kultur.
Hilangnya makna keruangan kota. Ketiadaan peran dan jabatan karena
semua kehidupan kota membuat manusia menarik diri dari kehidupan
sosial untuk menikmati kepunyaan privatnya. Ketidakadilan karena
di kota akan melihat sangat jelas kehidupan orang kaya dan miskin
sengaja diperlihatkan untuk merendahkan orang lain. Profesionalisme
yang tidak berakar pada kehidupan dan kebutuhan kota, ini sebagai
akibat orang tersebut profesional universal tetapi bukan profesional
lokal karena tidak mengenal budaya lokal dan masyarakatnya.33
Kalau melihat dari angka urbanisasi di Indonesia, jika dikaitkan
dengan peningkatan ekonomi belum memiliki kontribusi yang
signifikan. Skema urbanisasi harus direncanakan dan dirancang oleh
pemerintah, bukan spekulatif dari pelaku urbanisasi. Karena urbanisasi
jika dikendalikan dengan baik akan meningkatkan pendapatan
per kapita dan mendorong pembangunan wilayah tujuan migran.
Akantetapi jika tidak terkendali, urbanisasi akan menjadi bom waktu
yang siap meledak kapanpun di kota. Karena jika urbanisasi tidak
diimbangi pendapatan per kapita, akan timbul masalah baru kota yakni
kemiskinan meningkat, pemukiman kumuh semakin meluas, gepeng
bertambah dan angka kriminalitas juga tinggi. Jika sudah seperti ini
krisis perkotaan tidak dapat dihindari.
Urban Krisis bukanlah masalah yang sekejap lalu. Urban
Krisis adalah masalah besar yang akar penyelesaiannya tidak hanya
aspek yang ada di kota saja. Akan tetapi ada relasi dengan desa.
Memperbaiki kehidupan kota berarti juga memperbaiki kehidupan
di desa. Pertumbuhan ekonomi di kota juga harus diimbangi dengan
pertumbuhan ekonomi di desa. Harus segera ada penyelesaian
terkait kasus urbanisasi yang lajunya semakin tinggi. Dengan
demikian dampak positif urbanisasi semakin memberi kontribusi
pada pertumbuhan ekonomi nasional. Urban Krisis adalah masalah
33
190
Drajat Tri Kartono (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), hlm. 8.8-8.14
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
menurunnya kualitas solidaritas, integrasi dan tata ruang kota. Jika
tidak segera diselesaikan akan masalahnya akan berakibat pada
kehancuran kota itu sendiri.
Daftar Bacaan
Buku:
Adon Nasrullah Jamaludin. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat
Kota Dan Problematikanya. Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Agus Saputro, Skripsi : Masyarakat dalam Jerat Budaya Kemiskinan.
Surakarta: UNS, 2012.
Agus Saputro. Tesis: Rame Ngarep Antar dan Intra Kelas pada Masyarakat
Petani. Surakarta: UNS, 2016
Bagong Suyanto. Perangkap Kemiskinan; Problem dan Strategi
Pengentasannya Surabaya: Airlangga University Press, 1996.
Chambers, Robert. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. Jakarta:
LP3ES, 1987.
Daldjoeni. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung: Alumni, 1997.
Damsar dan Indrayanti. Pengantar Sosiologi Perdesaan. Jakarta:Kencana,
2016.
Drajat Tri Kartono. Sosiologi Perkotaan. Jakarta : Universitas Terbuka,
2010.
Kartasasmita, Ginandjar. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. (Jakarta : CIDES), 1996.
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Long, Norman. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Bina Aksara,
1987.
Nia K. Pontoh & Iwan Kustiawan. Pengantar Perencanaan Perkotaan,
Bandung: ITB Press, 2018.
Nurwati, Nunung. Kemiskinan : Model Pengukuran, Permasalahan dan
Alternatif Kebijakan. Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 10,
No. 1, 2008.
Parsudi Suparlan. Kemiskinan di Perkotaan. Yogyakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1993.
Rachmad K. Dwi Susilo. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
191
Agus Saputro
Persada, 2019
Ritzer, George. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2009.
Safari Imam Asy’ari. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional,
1993.
Sajogyo dan P. Sajogyo. Sosiologi Pedesaan. Jilid I dan II. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1986.
Sutyastie dan Tjiptoherijanto, Prijono. Kemiskinan dan Ketidakmerataan
di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 2002.
Sumber online:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/16/provinsimana-yang-memiliki-angka-kemiskinan-terbesar
https://money.kompas.com/read/2019/10/03/164030626/
urbanisasi-di-indonesia-sebesar-apa-kontribusi-ekonominya
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/11/berapajumlah-penduduk-perkotaan-di-indonesia
https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/01/15/1549/persentasependuduk-miskin-pada-september-2018-sebesar-9-66-persen.
html
http://jogja.tribunnews.com/2017/07/25/rth-yogyakarta-turun-jadi18-persen.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190903212554-20-427289/
kawasan-kumuh-indonesia-meluas-dua-kali-lipat
https://kbr.id/nasional/03-2017/pertumbuhan_urbanisasi_
indonesia_tertinggi_di_dunia__kebutuhan_rumah_jadi_
masalah/89430.html
https://bangka.tribunnews.com/2017/05/09/ini-10-negara-denganjumlah-gelandangan-terbanyak-coba-cek-indonesia-nomorberapa?page=2
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/22/21281421/
diperkirakan-ada-77500-gepeng-di-kota-kota-besar-diindonesia.
https://properti.kompas.com/read/2018/07/04/210000321/laju-
192
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
Urban Crisis: Produk Kegagalan Urbanisasi di Indonesia
urbanisasi-indonesia-tertinggi-di-asia
https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/1744/persentasependuduk-miskin-maret-2020-naik-menjadi-9-78-persen.html
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/22/21281421/
diperkirakan-ada-77500-gepeng-di-kota-kota-besar-diindonesia
https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=BPS__
Urbanisasi_Efektif_Turunkan_Angka_Kemiskinan_di_
Desa&news_id=78871&group_news=IPOTNEWS&news_
date=&taging_subtype=INDONESIA&name=&search=y_
general&q=INDONESIA,&halaman=1
https://properti.kompas.com/read/2016/07/19/172900021/jika.
dikelola.urbanisasi.tekan.angka.kemiskinan.perkotaan
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020
193
Agus Saputro
194
Sosiologi Reflektif, Volume 15, No. 1, Oktober 2020