Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
REFLEKSI PENDIDIKAN KONTEMPORER INDONESIA: Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan Dipresentasikan Pada Rapat Majelis Guru Besar, UNY Pada Hari/Tg: Senin, 23 Juni 2014 Tempat: Ruang Sidang Utama Senat UNY Oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. Universitas Negeri Yogyakarta PENGANTAR Bismillaahirrohmaanirrohiim. Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, amin. Ketua Majelis Guru Besar UNY yang saya hormati Bapak Rektor UNY yang saya hormati Bapak Sekretaris dan Anggota Majelis Guru Besar UNY yang saya hormati Pertama, saya mengucapkan Puji Syukur ke Hadlirat Allah SWT yang telah memberi Karunia, Hidayah dan Rakhmat kepada kita semua sehingga kita dapat melakukan Rapat Mejelis Guru Besar pada pagi hari ini. Kedua, saya ingin mengucapkan rasa terimakasih saya yang tak ternilai harganya kepada Bapak Ketua Majelis Guru Besar UNY dan seluruh anggota, atas kepercayaan kepada saya untuk menyampaikan Refleksi/Analisis Politik dan Ideologi Pendidikan baik secara oral maupun tertulis di hadapan Sidang/Rapat Majelis Guru Besar UNY, pada hari ini Senin, 23 Juni 2014 pk 10.00 WIB di Ruang Sidang Utama Senat UNY. Ketiga, berkaitan dengan Isi Presentasi seperti tersebut di atas, sebagai prolog, perkenankanlah saya ingin menyampaikan beberapa hal bahwa: a). Tertunjuknya saya untuk meyampaikan Presentasi pada pagi ini adalah bersifat alami (natural) dari hasil perjalanan aktivitas dan interaksi saya sebagai Anggota Majelis Guru Besar. b) Untuk menyampaikan Presentasi pada hari ini, saya tidak mempunyai motif apapun kecuali berusaha untuk ikut (menurut hemat kami) berpartisipasi aktif mencari solusi Krisis Multi Dimensi Bangsa Indonesia, secara akademik, empiris dan independen. c) Sebagaimana dimaklumi oleh segenap Anggota Majelis Guru Besar dan komunitas/civitas yang lebih luas di UNY, seperti ditunjukkan dengan track-record saya, maka Presentasi saya pada pagi hari ini, insyaAllah terbebas dari segala kepentingan baik perorangan, kelompok maupun institusi lainnya, kecuali semata-mata untuk mengabdi pada UNY dan Pendidikan Nasional; dan bersifat netral sebagaimana ketentuan sebagai PNS. Oleh karena itu isi Presentasi semata-mata adalah Hak Cipta saya dan tanggung-jawab pribadi saya. d) Presentasi saya pagi hari ini adalah akumulasi hasil belajar, perenungan, kegiatan mengajar, penelitian, kerjasama akademik, dan pengalaman hidup sesuai dengan latar belakang dan profesi saya bidang Pendidikan (Matematika), Filsafat (Ilmu), dan Politik Pendidikan. Dengan demikian Presentasi saya sama sekali tidak bermaksud menggurui Anggota Majelis Guru Besar, tetapi lebih dapat dipandang sebagai Laporan Hasil Kajian, untuk selanjutnya bersifat terbuka dan ikhlas menerima saran dan perbaikan. e) Dengan selalu memohon Ridha dari Allah SWT dan ijin dari Ibu/Bapak semua perkenankanlah saya menyampaikan Presentasi saya secara Oral dilengkapi dengan: 1. Print Out Presentasi (Makalah), 2. Power Point. e) Akhirnya perkenankanah saya memohon maaf jika terdapat kekurangan atau kesalahan atas Presentasi saya dengan tetap selalu mengharap Bimbingan dan Arahan dari para Senior saya. Demikianlah Pembuka Presentasi saya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Prof. Dr. Marsigit, M.A. NIP.: 195707191983031004 REFLEKSI PENDIDIKAN KONTEMPORER INDONESIA: Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik Dan Ideologi Pendidikan Oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A Email: marsigitina@yahoo.com PENDAHULUAN Uraian saya tentang Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan sebagai upaya merefleksikan kondisi faktual pendidikan dan harapan di waktu yang akan datang, berbasis pada asumsi bahwa sekiranya kita menyetujui suatu tesis bahwa sebagai bangsa kita masih belum terlepas dari krisis multidimensi. Sekiranya kita semua memaklumi bahwa kondisi faktual kita dalam berbangsa, bernegara, bermayarakat, berpolitik, bergaul dengan bangsa-bangsa lain, menunjukan evidensi bahwa krisis multidimensi tersebut masih bersifat laten dan mendasar. Krisis mutidimensi bangsa ditandai dengan beragam konflik dalam dimensi kehidupan; centang perenang dan kekisruhan bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya; dekadensi moral; missing link berbagai peristiwa atau kejadian sehingga tidak dapat dijelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi dan perilaku warga yang mencari solusi dengan cara-cara irasional; menonjolnya primordialisme, egosektoral dan egosentrisisme; sikap dan berpikir parsial, tidak konsisten, klaim sepihak, mementingkan golongan; budaya instant dan hedonisme; kebijakan diambil tidak berdasarkan data empiris melainkan atas dasar kepentingan sesaat dan golongan; dan merajalelanya kolusi, korupsi dan nepotisme. Untuk mampu melihat secara jernih segala unsur yang terkandung di dalam krisis multidimensi tersebut, kita perlu melakukan kajian secara mendasar meliputi kajian filsafat, politik dan ideologi khususnya bidang pendidikan. Pada kesempatan ini, setidaknya saya bermaksud menyampaikan hasil telaah atau kajian saya perihal pendidikan di Indonesia dengan pendekatan filsafat, politik dan ideologi. Telaah filsafat telah memberi petunjuk adanya aliran-aliran pemikiran dalam sejarahnya; sedangkan politik dan ideologi telah memberikan konteks, persoalan dan solusi-solusinya. Terdapat benang merah secara filsafati, politik dan ideologis bahwa persoalan multidimensi bangsa Indonesia secara hermeneutika dapat didekati menggunakan narasi-narasi besar dunia di satu sisi, dan di sisi lain dapat didekati menggunakan dialog kecerdasan lokal (local genious). Hypothetical analyses memberikan petunjuk bahwa keadaan ontologis krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia dewasa ini berelasi linear dengan forma, wadah, bentuk atau struktur kehidupan Indonesia secara menyeluruh yang dapat digambarkan sebagai bentuk yang belum berbentuk, forma yang belum berforma, dan struktur yang belum berstruktur. Kondisi forma yang belum berforma tersebut secara kebetulan dan secara tidak kebetulan, dipengaruhi oleh dimensi forma eksternal bersubstansial dalam waktu (kala) terbuka (baik atau buruk). Sebagaian forma eksternal bersubstansial mempunyai dimensi lebih tinggi sehingga forma Indonesia yang belum berforma tidak mampu mengendalikannya. Apapun penyebabnya, yang pasti forma Indonesia yang belum berforma lebih banyak menimbulkan ketidakpastian, merugikan, melemahkan, dan merongrong jati diri bangsa dari dalam diri sendiri. Sedangkan segenap komponen dan komponen kunci terlibat dalam pusaran krisis multidimensi forma yang belum berforma, sehingga meraka tidak mampu dan tidak akan mampu mengatasi persoalan internal bangsa, jika mereka tidak mampu keluar dari dimensi forma yang belum berforma. Sebagian komponen kunci malah terpancing untuk mengambil peruntungan pribadi dan kelompok dari krisis multidimensi, dengan cara mencari dan memperkuat potensi multifacet (termasuk potensi negatif). Alhasil, krisis multidimensi forma yang belum berforma diperdalam, diperkuat dan diperluas dengan adanya interaksi potensi-potensi negatif komponen kunci. Potensi-potensi negatif komponen kunci telah memberikan pengaruh dan memperbesar daya ontologis krisis multidimansi bangsa untuk menjadi bola liar tak terkendali menuju subordinat potensi negatif dominan dunia di bawah pengendalian Power Now. Sebagian pendidikan telah digunakan potensi negatif dunia untuk memperkokohkan kedudukannya dengan membuka cabang di tiap-tiap pintu peradaban bangsa-bangsa dunia. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, sementara kita menjumpai anak kecil bersuka ria, menyanyi, menari, membaca Pantun dan Puisi dengan deklamasi, meminta dongeng dari orang tua, menanya arti dan maksud dari segala fenomena apa yang dihadapi, kreatif memproduksi dan menyusun cerita, dst. Anehnya, fenomena kehidupan anak kecil (anak-anak dan cucu-cucu kita) tersebut terkadang cepat berlalu bahkan kadang-kadang sangat cepat berlalu. Terkadang kegembiraan dan keceriaan anak-anak dan cucu-cucu kita, hanya sampai di TK; mungkin sampai di SD Kelas 1, Kelas 2; tetapi mulai Kelas 3 timbul gejala mereka cenderung menjadi pendiam, murung, sedih bahkan stress. Di Kelas IV dan Kelas V, kehidupan mereka sudah mulai dihantui cerita-cerita dan nasihat-nasihat bagaimana agar jangan sampai gagal dalam menghadapi UN. Semua Guru, Kepala Sekolah, tak terkecuali Keluarga, orang tua, kakak, dan famili semuanya mengkondisikan bahwa mengalami kegagalan menempuh UN SD adalah kegagalan hidup; jangankan mencari pekerjaan, sedang melamar gadis saja pasti akan ditanya calon mertua berapa nilai UN nya?. Dengan keadaan seperti ini, sudah dapat dipastikan bahwa berat rasanya bagi mereka anak-anak dan cucu-cucu kita untuk sekedar tersenyum sesaat; mereka stress, khawatir, takut dan mencari solusi pergi ke Dukun dan Orang Pintar untuk mendapat tuah dan ajimat; maka para Dukun dan Orang Pintarpun laris memberi solusi dengan memberi Pensil, Pulpen, Buku, air putih, batu kerikil semuanya yang sudah didoakan dan agar dibawa mengikuti UN. Ritual dan doa bersama diselenggarakan terkadang diikuti histeria dan tangisan para siswa, bahkan kesurupan; sampai di sini, hilanglah sudah masa-masa kekanakan mereka. Mengapa mengenyam pendidikan harus dilalui melalui cara-cara demikian? Semua aktivitas sekolah dan metode pembelajaran diarahkan untuk sebenar-benar agar di Sekolah tersebut semua siswa bisa lulus UN semua dengan hasil yang setinggi-tingginya. Lulus semua dengan hasil tinggi adalah pertaruhan kehormatan Sekolah beserta civitasnya, bahkan juga menjadi kriteria keberhasilan di wilayah tersebut; oleh karena itu, semua merasa penting dan bertanggung jawab bagi suksesnya UN termasuk Dinas Pendidikan, Bupati bahkan Gubernur sekalipun. Berbagai cara dilakukan termasuk membentuk Tim Sukses untuk UN; fenomenanya terdapat cara-cara yang melanggar etik an bahkan kriminal seperti Kepala Sekolah yang memerjual-belikan Soal UN, kebocoran soal UN, guru-guru berbuat curang demi membatu murid dan sekolah agar meraih sukses UN. Nasib anak-anak kecil dan cucu-cucu kita belum berhenti sampai di sini; masa anak-anak begitu cepat berlalu dikarenakan mereka sejak umur 2 (dua) tahun sudah dikenalkan dan sudah mampu menggunakan perangkat SmartPhone, Gadget, Iphone, Komputer dan Internet; itu semua merupakan prestis dan lambang kebanggan serta ukuran kemajuan sebuah keluarga; maka tanpa kecuali semua anak-anak dan cucu-cucu kita setiap hari mengonsumsi fenomena budaya kontemporer yang merangkum semua kehidupan positif-negatif sampai level orang dewasa termasuk video porno, kejahatan seksual, game kekerasan, dst; anak-anak dan cucu-cucu kita umur 3 (tiga) tahun sudah belajar dan mempunyai Password untuk melindungi aktivitasnya mengintip dunia gelap dan bejatnya orang dewasa. Maka yang terjadi adalah keluarga beserta anak-anak mereka, masyarakat dan semua orang mengalami krisis dan disorientasi mental dan budaya; maka tidaklah heran kita semakin hari semakin menjumpai fenomena bersifat masif: pelecehan seksual oleh anak-anak, bullying anak di sekolah, bahkan tindak kriminal dan pembunuhan sudah dapat dilakukan oleh anak-anak. Krisis multidimensi Bangsa tidak hanya pada level Waspada, Tanggap dan Siaga; tetapi sudah sampai level Darurat Krisis Multi Dimensi Berbangsa, Negara dan Masyarakat. MEMAHAMI FILSAFAT, IDEOLOGI, DAN POLITIK PENDIDIKAN Objek ontologis filsafat meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Jika yang ada dan yang mungkin ada bersifat berubah, maka lahirlah Filsafat Heraklitosianisme. Jika yang ada dan yang mungkin ada bersifat tetap maka lahirlah Filsafat Permenidesianisme. Jika objek filsafat ada di luar pikiran, maka lahirlah Filsafat Realisme atau Relativisme. Jika objek filsafat ada di dalam pikiran maka lahirlah Filsafat Idealisme atau Absolutisme. Jika sumber pengetahuan adalah rasio, maka lahirlah Filsafat Rasionalisme. Jika sumber pengetahuan adalah pengalaman, maka lahirlah Filsafat Empirisisme. Jika sumber pengetahuan adalah Tuhan maka lahirlah Filsafat Teologi atau Spiritualisme. Jika sumber pengetahuan adalah materi maka lahirlah Filsafat Materialisme. Jika yang dicari adalah substansi maka lahirlah Filsafat Substansialisme atau Esensialisme. Jika yang dicari adalah yang ada maka lahirlah Filsafat Eksistensialisme. Jika pusatnya adalah manusia maka lahirlah Filsafat Humanisme. Dengan cara yang sama saya berusaha mengidentifikasi semua jenis Filsafat termasuk Filsafat Modern, Filsafat Transendentalisme, Filsafat Manusia, Filsafat Nihilisme, Filsafat Kapitalisme, Filsafat Pragmatisme, Filsafat Scienticism, Filsafat Positivisme, dst. Dalam perkembangannya terdapat pola kesejajaran dan interaksi antara filsafat-filsafat tersebut. Secara garis besar dapat dibedakan 2 (dua) pola kesejajaran filsafat. Filsafat Permenidesianisme sejajar dengan Filsafat Idealisme, Filsafat Absolutisme, Filsafat Formalisme, dan Filsafat Rasionalisme. Filsafat Heraklitosianisme sejajar dengan Filsafat Realisme, Filsafat Relativisme, Filsafat Empirisisme dan Filsafat Pragmatisme. Filsafat yang mengandung komponen tetap sekaligus berubah, misalnya Filsafat Esensialisme, Filsafat Eksistensialisme, Filsafat Kantianisme, Filsafat Modern, Filsafat Pancasila dan Filsafat Kontemporer. Terdapat filsafat yang pusatnya saling berseberangan (anti-tesis), misalnya pusat-pusat dari filsafat Esensialisme, Filsafat Eksistensialisme, Filsafat Materialisme dan Filsafat Humanisme adalah berseberangan (anti-tesis) dengan pusat dari Filsafat Spiritualisme. Terdapat filsafat yang merupakan turunan dari filsafat yang lainnya, misalnya segala Filsafat yang didahului dengan Neo adalah turunan dari Filsafat yang diikutinya. Neo-liberalisme adalah turunan dari Filsafat Liberalisme, Neo-Kantianisme adalah turunan dari Filsafat Kantianisme, dst. Filsafat adalah wadahnya pikiran, karena filsafat adalah oleh pikir, sedangkan pikiran bersifat simpomatik sintetik-analitik; artinya, pikiran secara simtomatik merepresentasikan filsafat terisolasi oleh ruang dan waktunya. Immanuel Kant (1671) menyatakan “jika engkau ingin mengetahui dunia, maka tengoklah pikiranmu sendiri, karena dunia itu sama persis dengan apa yang sedang engkau pikirkan”. Implikasi dari pendapat di atas adalah bahwa segala macam Filsafat dan Aliran Filsafat sangat mungkin bukan di sana, melainkan dia ada sangat dekat dengan kita, yaitu pikiran kita sendiri. Simtomatik terikat oleh ruang dan waktu, artinya tahun lalu mungkin saya menerapkan Filsafat Otoritarianisme tetapi tahun ini saya sedang menjalankan Filsafat Demokratisisme. Kompleksitas pikiran manusia memungkinkan sebuah simtomatik terikat oleh ruang dan waktu merepresentasikan sebuah filsafat dominan disertai filsafat-filsafat subordinat lainnya. Misalnya pikiran atau sikap berfilsafat Absolutis tentu disertai sikap berfilsafat Formalisme dan Idealisme; sehingga terkomposisi perwujudan Filsafat Absolut-Formal-Idealisme. Juga dimungkinkan adanya representasi Filsafat Relative-Empiris-Realisme. Berubah adalah anti-tesis nya yang tetap; maka berubah sekaligus tetap adalah kontradiksi jika terbebas oleh ruang dan waktu. Namun jika tertangkap oleh ruang dan waktu, maka berubah dapat sekaligus yang tetap. Misal Kereta Api yang berubah posisi, tetaplah ia sebagai Kereta Api. Dalam Bhs Jawa :”ngono ya ngono ning aja ngono”, sekaligus disarankan dan tidak disarankan “ngono”. Dia akan menjadi benar jika “ngono” pertama diberi makna yang berbeda dengan “ngono” kedua. Solusi filsafat sering merekomendasikan kompromi kontradiktif antar representasi filsafat. Absolutisme, Formalisme, dan Rasionalisme sejalan dengan pola pikir analitik a priori. Sedangkan Realisme, Relativisme dan Empirisisme sejalan pola pikir sintetik a posteriori. Daripada mempertentangkan keduanya tiada henti, lagi Immanuel Kant (1671) memberi solusi kompromi untuk merepresentasikan sintetik a-priori. Maka menurut dia, dunia terangkum di dalam proposisi “sintetik a-priori”. Seperti dikatakan “ tanpa ilmu (filsafat) kita menjadi buta, tanpa pengalaman (penerapan) kita menjadi kosong”. Dari sini lahirlah dunia lengkap yang berhermeneutika terjemah dan saling menterjemahkan antara teori dan praktek, antara dunia dan akhirat, antara Idealisme dan Realisme. Seseorang atau bangsa yang survive adalah orang atau bangsa yang mampu secara dinamis dan kreatif menembus ruang dan waktu. Orang jahat (koruptor) adalah orang yang tertangkap ruang dan waktu buruk (Kala); sedangkan orang yang baik adalah orang yang berada di dalam ruang dan waktu yang baik (Cakra). Kebaikan diperoleh dengan cara meruwat keburukan, yaitu meruwat Kala dengan Cakra. Tradisi Ruwatan adalah Epistemologi Jawa untuk memeroleh Ilmu (wahyu/personifikasi). Beberapa ciri utama keburukan adalah sifat Parsialisme Absolut dan sifat Reduksionisme Absolut. Sifat Tetap dan Sifat Brubah objek filsafat sekaligus merupakan potensi baik dan buruk. Maka semua aliran Filsafat jika itu bersifat Egosentrisisme menjadi Potensi Buruk; dan diperlukan Filsafat Holisisme agar diperoleh komprehensivitas yang menuju Potensi Baik. Saya mendefinisikan Ideologi sebagai bentuk operasionalisasi Filsafat. Karena Ideologi adalah Filsafat yang dioperasionalkan, maka dia terkait dengan ruang dan waktu yang berupa konteks budaya dan sejarah seseorang atau suatu bangsa; dengan demikian Ideologi bersifat plural dan kontekstual dan merupakan cara untuk memeroleh keadaan yang di Ideal kan. Dengan demikian kita mengenal bermacam Ideologi misalnya Ideologi Kapitalisme, Ideologi Sosialisme, Ideologi Marxisme, Ideologi Industri, Ideologi Liberalisme, Ideologi Pragmatisme, Ideologi Utilitarianme, Ideologi Saintisisme, Ideologi Kontemporer, Ideologi Kapitalis, dan Ideologi Pancasila. Semua ideologi tersebut dapat sekaligus merefleksikan filsafatnya. Sementara Politik secara ontologis sebagai keadaan atau cara yang dikaitkan dengan keadaan masyarakat atau aktivitas memengaruhi masyarakat untuk memeroleh Kekuasaan. Kekuasaan yang di peroleh melalui Politik bisa saja digunakan untuk memeroleh Ideal yang diharapkan, tetapi tidak jarang mereka terjebak pada dimensi yang lebih rendah seperti Politik Uang, Politik Praktis atau Politik Transaksional. Dimensi ideal dari politik dapat berupa Politik Pancasila, Politik Demokrasi, Politik Fasisme, Politik Komunisme, Politik Otoritarian, Politik Politik Liberal, Politik Neo-Liberal, Politik Saintisisme dan Politik Sosialisme. Jika kedaulatan diberikan sepenuhnya ke tangan rakyat, maka dikenal sebagai Demokrasi. Dalam konteks Indonesia kita memunyai politik ideal sebagai Politik Pancasila. Paradigma atau kumpulan paradigma, disadari atau tidak, merupakan refleksi kontekstual dari ujung tombak filsafat, ideologi dan politiknya yang mendasari dan mempengaruhi arah kebijakan atau policy dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Thomas Kuhn mendefinisikan Ideologi dan Politik Saintisisme sebagai Pergeseran Paradigma yang bergerak tidak linear dan selalu menghasilkan paradigma baru dan bersifat kontradiktif. Menurut Kuhn, suatu Ilmu akan terbukti sebagai Ilmu jika telah dibuktikan Salah sebagaimana adanya. Diantara paradigma-paradigma tersebut dapat bersifat Sepadan atau Tidak Sepadan. Lingkup dan dimensi Paradigma tentu lebih rendah dari Ideologi dan Filsafat, dan mereka dapat merasuk dan menyebar ke dalam berbagai macam Ilmu. Pendidikan merupakan program yang dikaitkan dengan keadaan atau usaha hidup seseorang atau kelompok orang. Maka Pendidikan yang baik adalah Pendidikan yang menjamin hidup akan lebih hidup, dalam segala aspek dan dimensinya. Socrates mendefinisikan Pendidikan sebagai cara untuk mengetahui apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan dan apa yang dimengerti dan tidak dimengerti. Plato mendefinisikan Pendidikan sebagai usaha untuk mewujudkan masyarakat ideal seperti yang diuraikan dalam bukunya Republik. John Dewey mendefinisikan Pendidikan sebagai keberlangsungan hidup kelompok sosial tertentu. Ternyata ditemukan bahwa, setiap Filsafat, Ideologi dan Politik memunyai definisi Pendidikannya sendiri-sendiri tergantung dari konteks Ideologi dan Politiknya. Dari sisi filsafatnya, maka kajian Pendidikan terdiri dari aspek-aspek hakekat ontologis, epistemologis dan aksiologis dari unsur-unsurnya meliputi Manusia, Nilai, Tujuan, Relasi, Strategi, Model, Organisasi dan Asumsi-asumsi Dasarnya. Filsafat Pendidikan yang bersifat netral dapat didorong oleh kekuatan politik sehingga melahirkan kebijakan dan arah pendidikan sesuai dengan karakteristik Makropolitik Pendidikan nya. Untuk negara tertentu seperti Indonesia yang sedang dilanda krisis multidimensi, telaah Makropolitik Pendidikan lebih menarik dibanding Mikropolitik Pendidikan karena dampak yang ditimbulkan oleh vitalitas Makropolitik Pendidikan jauh lebih signifikan, terstruktur, masif dan sistemik. Selain dari itu, dalam situasi tidak menentu terkait krisis multidimensi di Indonesia, vitalitas Makropolitik Pendidikan terbukti telah menjadi sangat strategis dalam menentukan Indonesia ke depan sperti apa yang dikehendaki. Paul Ernest (1995), mendeskripsikan bahwa Politik Pendidikan berkaitan langsung dengan Ideologi Pendidikannya. Bangsa-bangsa tergolong berideologi Industrial Trainer cenderung mengimplementasikan Politik Pendidikan Radikal Kanan. Bangsa-bangsa tergolong berideologi Technological Pragmaticim cenderung mengimplementasikan Politik Pendidikan Konservatif. Bangsa-bangsa tergolong berideologi Old Humanism cenderung mengimplementasikan perpaduan antara Politik Pendidikan Konservatif dan Liberal. Bangsa-bangsa berideologi Progressive Educator cenderung mengimplementasikan Politik Pendidikan Liberal. Dan Bangsa-bangsa berideologi Public Educator cenderung mengimplementasikan Politik Pendidikan Demokrasi. Utopia Indonesia adalah menjadi Bangsa yang Demokratis yaitu Demokrasi Pancasila; maka konsekuensinya Ideologi Pendidikan Indonesia adalah menganut atau mengimplementasikan Ideologi Pendidikan Public Educator. Krisis multidimensi Bangsa Indonesia terjadi karena mindset kebangsaan para pemimpin dan pengambil kebijakan pendidikan mengalami kegamangan serta tidak mampu mendudukan Ideologi dan Politik Strategis Bangsa Indonesia, memerjuangkan dan memerebutkannya secara konsisten dan istiqomah di tataran global baik pada sekarang maupun yang akan datang (50 atau bahkan 200 tahun ke depan). TESIS, ANTI-TESIS DAN SINTESIS FILSAFAT, IDEOLOGI DAN POLITIK PENDIDIKAN Filsafat adalah kecenderungan. Kecenderungan dapat dipahami dengan Penomenologi Reduksionisme. Hasilnya adalah sebuah struktur atau dunia lengkap dengan unsur-unsur dan puncak atau pusatnya. Mudah dipahami pula bahwa pada akhirnya kesadaran kita akan sampai pada kesimpulan bahwa, dengan filsafat kita akan menemukan dunia yang plural, artinya banyak Dunia dan setiap yang ada dan yang mungkin ada merepresentasikan Dunianya masing-masing. Filsafat Esensialisme mengejar kebenaran dari segala esensi yang ada; maka mudah dipahami bahwa hakekat Esensi adalah pusat atau sentralnya Filsafat Esensialisme. Sementara Filsafat Spiritualisme mengejar Kebenaran Absolut yang diyakini berada di tangan Tuhan. Pendidikan Spiritualisme Mutlak akan bersifat Puritanisme, Akhiran-tertutup (Closed-ended) Mutlak. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa jika Filsafat Spiritualisme adalah tesis, maka Filsafat Esensialisme, Filsafat Eksistensialisme, Filsafat Materialisme, dst dapat dipandang sebagai anti-tesis nya. Di sinilah semestinya Karakter Timur atau Karakter Indonesia berhati-hati dalam mengklaim suatu Filsafat justifikasi pandangannya. Pendidikan terdiferensiasi dari Politik, Ideologi dan Filsafatnya. Dimensi pengalaman hipotesis intuisi mengidentifikasikan bahwa Pendidikan Esensialisme Mutlak dengan demikian akan bersifat Anti-Spiritualisme dengan sifat-sifat ikutan lain yang dapat diturunkan bahwa diapun pada akhirnya bersifat Materialisme, Realisme, dan Eksistensialisme. Di sisi lain, Pendidikan Eksistensialisme mengejar kebenaran kepada yang Ada dan yang Mungkin Ada, dan dengan sendirinya sekaligus sebagai pusatnya. Jika diekstensikan maka dengan mudah dapat dipahami bahwa Pendidikan Eksistensialisme pada akhirnya juga bersifat Anti-Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai sejalan dengan Humanisme,Empirisisme, Nihilisme, Reduksionisme, dan Resionalisme. Dikarenakan bersifat Anti-Spiritualisme, maka Pendidikan Esensialisme dan Pendidikan Eksistensialisme akan menghasilkan Hedonisme. Secara normatif, Realisme adalah anti-tesis dari Idealisme; maka Pendidikan Realisme Mutlak bersifat Anti-Idealisme, namun sejalan dengan Materialisme, Empirisisme dan Eksistensialisme. Rasionalisme mengejar hakekat kebenaran pada Rasio; maka Pendidikan Rasionalisme Mutlak berpusat pada Rasio, dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia adalah juga Anti-Spiritualisme, beserta sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan yaitu Egosentris, Eksploitasi Vital, Dunia yang terbelah, dan bersifat Laskar Pendidikan. Anti-tesis diametris dari Rasionalisme adalah Empirisisme; maka Pendidikan Empiris Mutlak mengejar hakekat kebenaran pada Pengalaman Manusia, dan dengan demikian bersifat Anti-Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan bersifat Materialisme, Eksploitasi Vital, Saintisisme Mutlak, Hedonisme, dan Berakhiran Terbuka (Open-ended) Mutlak. Pendidikan Relativisme Mutlak mengejar hakekat kebenaran pada Yang Mungkin Ada, dan demikian maka bersifat Anti-Spiritualisme dengan sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai bersifat Materialisme, Dunia yang Parsial, Berakhiran Terbuka (Open-ended) Mutlak, dan Hedonisme. Pendidikan Positivisme yang bersifat Saintisisme Mutlak, Anti-Spiritualisme, Pendidikan Laskar, Kapitalisme, Pragmatisme, Utilitarianisme, Materialisme, Liberalisme, Open-ended Mutlak. Jika kita menuju hilirnya Filsafat, kita akan menemukan Pendidikan Berbasis Rasio atau Berbasis Kognitif, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai atau berbentuk Cognitive-Based Education, Anti-Spiritualisme, Dunia Parsial dan Hedonisme. Dalam era Kontemporer (AFTA), terdapat main-set yang cukup kuat dan signifikan bahwa semua pengambil kebijakan Pendidikan di Indonesia akan mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Pasar, yang dengan sendirinya akan mencari hakekat kebenaran ada di dalam Pasar. Dengan metode yang sama seperti sudah dilakukan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Berbasis Pasar dengan sendirinya bersifat Anti-Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai Reduksionisme, Eksploitasi Vital, Kompetisi Mutlak, Egosentrik, Hegemoni, Dunia Terpotong, Materialisme, ragmatisme, Hedonisme, dan Pendidikan Laskar. Pendidikan Konseratif Mutlak mempunyai sifat Reduksionisme, Eksploitasi Vital, Monokulturisme, Egosentrik, dan Ethical Closed-ended Mutlak (Nilai Budaya Tertutup Mutlak). Dari Narasi Besar nya Dunia Kontemporer, kita menjumpai adanya Pendidikan Liberalisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Open-ended Mutlak, Kebebasan Mutlak, Heterogonomous Mutlak, dan Alienisasi. Pendidikan Kapitalisme yang bersifat Anti-Spiritualisme, Eksploitasi Vital, Materialisme, Pragmatisme, Hedonisme, Kapital Mutlak, Kompetisi Mutlak, Reduksionisme, Sosialisme, Dunia Terpotong , Closed-ended, dan Alienisasi. Pendidikan Humanisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Hedonisme, Egosentris, dan Dunia Terbelah. Pendidikan Konstruksi Sosial dengan sifat Eksploitasi Vital, Kolaborasi, Heterogonomous, Egosentris, dan Open-ended. Pendidikan Pragmatisme Mutlak yang bersifat Praktis (budaya instant), Anti-Spiritualisme, Hedonisme, dan Anti-Idealsime. Pendidikan Sentralistik yang bersifat Monokultur, Eksploitasi vital, Pendidikan Laskar, Closed-ended Mutlak, Egosentrik, Reduksionisme, Dunia Terbelah, Sosialisme, Kapitalisme, De-Alienisasi (Uniformitasisme). Pendidikan Formalisme yang bersifat Top-Down, Sosialisme, Monokultur, Transenden, Idealisme, Sentralistik, Eksploitasi Vital, Pendidikan Laskar, Egosentris, dan Dunia Terbelah. Pendidikan Demokrasi Pancasila yang seyogyanya bersifat Spiritualsme, Mono-Dualis (Habluminallah-Habluminanash), Terbuka-tertutup, Demokratis, Public Educator, Realis-Idealisme, Bhineka-Tunggal Ika (monokultur-heterogonomous), dan Dunia-Akhirat (seutuhnya). ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI MIKRO FILSAFAT DAN MIKRO IDEOLOGI PENDIDIKAN Berdasarkan uraian terdahulu, kita dapat membuat Ontologi Tabel Mikro Filsafat dan Mikro Ideologi Pendidikan sebagai berikut (Marsigit, 2014): Pendidikan Kapitalisme Pendidikan Saintisisme Pendidikan Sosialisme Pendidikan Spiritualisme Pendidikan Demokrasi Pendidikan Kontemporer Indonesia Filsafat Esensialisme Realisme Esistensialisme Esensialisme Realisme Esistensialisme Esensialisme Realisme Esistensialisme Absolutisme Esensialisme Realisme Esistensialisme Esensialisme Realisme Esistensialisme Ideologi Kapitalisme Liberalisme Pragmatisme Utilitarianisme Materialisme Kapitalisme Liberalisme Pragmatisme Utilitarianisme Materialisme Sosialisme Komunisme Komunis Fundamen-talisme Demokrasi Kapitalisme Liberalisme Pragmatisme Utilitarianisme Materialisme Politik Demokrasi-Kapital (Korporasi) Investasi Pasar Bebas Kapital Investasi Pasar bebas Sosialis Komunis Proteksi-hegemoni Demok-Negara Konservatif Demokrasi Nasionalisme Demokrasi-Transaksional Egosentris-Pasar Bebas Moral Relatif Hedonisme Relatif Hedonisme Egosentris Deontologi Absolut Spiritual Moral Deontologi Krisis Multidimensi Sosial Alienasi Multikultur Global-sistemik-networking Alienasi Multikultur Global-sistemik-networking Dealienasi Monokultur Egaliter Elitisme Dealienasi Monokultur Egaliter Elitisme Alienasi Multikultur Primordial Kolusi Nepotisme Korupsi Local-intrinsic-networking Budaya/Karak-ter Pos Modern Kontemporer Pos Modern Kontemporer Modern Klasik Tradisional Klasik Modern Pos Modern Pos Modern Konpemporer Ilmu Disiplin Disiplin Disiplin Absolut Kreatif Interaktif Disiplin-Egosentris Episte-mologi Pendidi-kan Pendidikan Laskar Indoktrinasi Pendidikan Laskar Fenomenologi Pendidikan Laskar Indoktrinasi Pendidikan Laskar Indoktrinasi Pendidikan Utk Semua Fenomenologi Pendidikan Laskar Indoktrinasi Kuriku-lum Sbg Instrumen Negara Sbg Instrumen Negara Sbg Instrumen Negara Sbg Instrumen Sebagai Kebutuhan Instrumen Egosentris Tujuan Pendidikan Investasi Status quo Investasi Relatif Absolut Hegemoni Egosentris Status quo Mono-dualis Status quo Pembebasan Kebutuhan Reformasi Investasi Egosentris Status quo Teori Menga-jar Berbasis Riset Behaviorisme Knowle-Based Investigasi Behaviorisme Knowle-Based Transfer of knowledge Behaviorisme Ekspositori Behaviorisme Konstruktivis Interaktif Trans of know. Ekspositori Behaviorisme Teori Belajar Modeling Motivasi-Eksternal Eksplorasi Motivasi-Eksternal Modeling Motivasi-Eksternal Modeling Motivasi-spiritual Otonomi Motivasi-intern Konstruktivis Modeling Motivasi-eksternal Peran Guru Think Tank Pengambang-terkendali ThinkTank Pelaksana Think Tank Pelaksana-terkendali Model Pelaksana-terkendali Fasilitator Pengembang Think Tank Pelaksana-terkendali Kedudu-kan Siswa Empty Vessel Empty Vessel Empty Vessel Empty Vessel Aktor Belajar Empty Vessel Teori Evaluasi Eksternal Ujian Nasional Eksternal Ujian Nasional Eksternal Ujian Nasioal Evaluasi-Intrinsik Penilaian-Berbasis Kelas PortoFolio Otentik-Asesm Egosentris- Eksternal Ujian Nasional Sumber/Alat Belajar ICT ICT Media/Alat Peraga Tradisional Kreativitas Guru Paket Pemerintah Gambar 1: Ontologi Mikro Filsafat dan Mikro Ideologi Pendidikan Pada Gambar 1. di atas, terlihat bahwa Politik dan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia belum menggambarkan pola dan struktur yang konsisten, kompak dan komprehensif; struktur yang demikian, secara filsafati dikatakan sebagai sebuah struktur yang belum sehat atau tidak sehat. Di dalam pola dan struktur yang tidak sehat, terdapat komponen satu dengan yang lainnya tidak konsisten dan tidak konformis bahkan bertentangan. Politik Pendidikan tidak selaras dengan Filsafat dan Ideologi Pendidikan. Implementasi Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia merepresentasikan Filsafat Esensialisme, Realisme, dan Eksistensialisme. Perlu dicatat bahwa representasi Filsafat demikian memuat kecenderungan Sebagai anti-tesis dari Filsafat Spiritualisme, artinya dalam implementasi Pendidikan Kontemporer kita ada kecenderungan atau godaan untuk mengambil jarak dengan Spiritualisme. Rongrongan pada level Ideologis terjadi melalui pilar-pilar Kapitalisme, Liberalisme, Pragmatisme, Utilitarianisme dan Materialisem; dalam mana, hal demikian sudah mulai terlihat pada level kehidupan bermasyarakat. Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia tersandera oleh praktek Politik Demokrasi Transaksional dan Politik Uang, serta godaan yang sangat besar karena tidak ada alternatif lain kecuali pelan tetapi pasti menuju Egosentrisitas Pasar Bebas seperti GATT, WTO, dan AFTA. Keadaan yang tidak sehat ini, karena tidak konsisten dan tidak mempunyai cukup Vitalitasnya untuk mengambil peran kendali, maka gilirannya Bangsa dan Masyarakat Indonesia telah, sedang dan akan terkena dekadensi moral dengan kondisi kehidupan masyarakat yang memprihatinkan bercirikan Primordialisme, Kolusi, Nepotisme, Korupsi serta interaksi dan hubungan yang masih bersifat intrinsik dan tidak atau sulit mencapai Strong Ditermination Global Networking. Implementasi Pendidikan Kontemporer Indonesia berbasis Disiplin Ilmu Egosentris dengan Epistemologi Pendidikan berupa Pendidikan Laskar dan Metode Pendidikan melalui cara Indoktrinasi untuk menuju Masyarakat Terdealienasi (Uniformitas) sebagai prasyarat terwujudnya hilirnya bagi Karakter Kontemporer Global (Power Now- (Neo)Kapitalisme). Oleh karena ini Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia sejalan dengan Politik Pendidikan Kapitalisme dan Politik Pendidikan Saintisisme; bahkan untuk aspek tertentu bersinggungan dengan Politik Pendidikan Sosialisme yaitu pada Epistemologi Dealienasi (Uniformitas). Perlu dicatat bahwa Ontologi Dealienasi merentang pada kesamaan sifat meliputi yang ada dan yang mungkin ada; sehingga terdapat wacana bagi diperolehnya Uniformitas hak dan kewajiban. Jika diekstensikan, maka akan diperoleh Dealienasi Universal termasukdidalamnya adalah Kesamaan Hasil, Kesamaan Hasil Ujian (UN), Standardisme, Kesamaan Keadaan Sehat, Sakit; dalam masyarakat berideologi Komunis dan Sosialis diterapkan Dealisnasi Universal Absolut sehingga manusia dianggap sebagai Materi yang sama dalam segala hal. Menakutkan kalau diskusi dan pemikiran sampai menyinggung Komunisme, karena Bangsa Indonesia telah mengalami trauma besar oleh Pemberontakan G30 S PKI. Tetapi pilar-pilar ontologis, epistemologis dan aksiologis dari filsafat menembus ruang dan waktunya Ideologi sehingga mampu melihat Karakter Macam Apa?, di Mana?, dan Mau Kemana? Bangsa Indonesia ke depan. Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia memandang Pendidikan sebagai Investasi (walaupun dapat bersembunyi di balik terminoligi Investasi Peradaban sekalipun); dan memandang Kurikulum sebagai Instrumen untuk mencapai Tujuan Egosentris Elitisme Populis; oleh karena itu dengan Megaprojek berapapun usaha Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran akan selalu kandas dan tidak berhasil memromosikan Pendidikan Inovatif, karena pada hakekatnya Pendidikan Inovatif hanya merupakan Slogan Populis yang sebenarnya disadari merupakan Dunia Lain yang tidak mungkin dicapai. Maka dalam Implementasi Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia masih tetap saja hampir semua guru mengajar dengan Paradigma Behavioral, metode Epsositori, Indoktrinasi, ceramah, Motivasi Eksternal, Siswa sebagai Empty vessel, Guru sebagai satu-satunya Think Tank, dan menerapkan Metode Penilaian Pembelajaran Eksternal UN. Sistem Ujian Nasional tidak selaras dengan cita-cita berkebangsaan Indonesia yang berdemokrasi Pancasila. Guru menjadi korban kebijakan Populis Pragmatis, tetapi menyukurinya sebagai berkah karena mental guru hanya sebagai Pelaksana Ketat dari kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pendidikan. Sebenar-benar guru akan merasa menjadi korban jika dimensi profesionalisme mereka meningkat menjadi Pengembang Pendidikan dengan mengembangkan Metode Pembelajaran Berbasi Class-room Based Researh, sehingga diperoleh level profesional tertinggi yaitu jika Guru sudah mampu memroduksi Perangkat dan Software Pembelajaran dan menyosialisasikan (dari guru untuk guru; guru menjual guru memberi produk berbasis riset. Kiranya masih di atas langit suatu konsep bahwa Kegiatan Mengajar sebenarnya adalah Kegiatan Riset. Sebenar-benar Perangkat Pembelajaran termasuk Teksbook adalah yang Terbaik jika dia merupakan karya Guru sendiri. Tetapi demi secara politis, maka Pemerintah dengan disosialisasikan melalui Iklan besar-besaran memromosikan Kurikulum 2013 dengan salah satu keungulannya adalah meringankan beban Orang Tua Murid, karena Pemerintah mencetak semua Teksbook. Dengan Politik Pendidikan Kontemporer yang demikian, maka sangat mudah dipahami mengapa Indonesia memasuki fase Krisis Multi Dimensi berkepanjangan. Para Partially Short-term and populist-oriented Contemporary-motivated Egocentricists akan memandang berbeda persoalan Krisis Muti Dimensi Bangsa karena Mindset mereka sejalan dengan Politik Pendidikan (Neo) Kapitalis. Bagi mereka hal demikian dapat dianggap suatu berkah untuk memeroleh kesempatan dan kekuasaan Politik Pendidikan seraya selalu memberi bahwa Bangsa Indonesia baik-baik saja, tidak perlu risau dan tidak ada krisis. Dealienisasi, Uniformitas, dan Standardisme adalah Ideologi yang sangat ampuh bagi Para Partially Short-term and populist-oriented Contemporary-motivated Egocentricists untuk memeroleh stabilitas semu, serta mencapai dan memelihara kekuasaan Politik Pendidikan. Namun sebetulnya pada akhirnya semua kerugian ditanggung oleh obyek pendidikan melalui keadaan krisis dan deontologis yang dipertanyakan pada akhir periode suatu kekuasaan Politik Pendidikan. Contoh dari mereka yang dirugikan adalah Nasib Buruh perusahaan yang gagal atau bubar, Para Penganggur Terdidik, dsb. Tak disadari ternyata bahwa kita telah menemukan bahwa para Partially Short-term and populist-oriented Contemporary-motivated Egocentricists ternyata adalah ksatria-ksatria dan prajurit-prajurit (Neo) Kapitalisme yang telah berhasil membuka Kantor Cabang di Indonesia. Secara anthropologis budaya, sejarah dan politik, fenomena pola dan struktur Sistem Pendidikan Nasional yang belum atau tidak sehat dapat dijelaskan melalui telaah kedudukan dan hubungan antara Karakter Indonesia dengan Karakter Global (atau Kontemporer), sebagaimana diuraikan oleh Marsigit (2014) pada “Perjuangan Mewujudkan Karakter Indonesia Di Tengah Persaingan Global: Kajian Filosofis dan Ideologis, UNY Press: Yogyakarta”. Sebab utamanya adalah karena Indonesia yang belum mempunyai karakter kokoh, berada di muara atau persimpangan pergulatan peradaban Dunia yang begitu sengit; sehingga memosisikan Indonesia bak anak bawang yang selalu kalah dalam kompetisi dengan Karakter Kontemporer/Global dalam semua aspek kecuali menang dalam hal jumlah penduduk, luas wilayah dan kekayaan sumber alam. KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN FILSAFAT, IDEOLOGI DAN POLITIK PENDIDIKAN INDONESIA (PANCASILA) DI ANTARA BANGSA-BANGSA DI DUNIA Secara filosofi, Kedudukan mempunyai makna Ruang, Waktu, Relasi dan Fungsi. Kedudukan Ideologi dan Politik Pendidikan Indonesia di antara Bangsa-bangsa di Dunia adalah ke arah mana pola karakterisasi time-line atau perjalanan Ideologi dan Politik Pendidikan Indonesia mengkristal atau mengakar/membudaya (enculture) ke dalam fatalitasnya dan mengarah ke dalam vitalitasnya. Budaya India/Jawa (Pewayangan) menggambarkan hubungan dan kedudukan antar Filsafat, Ideologi dan Politik sebagai Sesaji Rajasuya oleh Raja Amarta untuk menguji Akuntabilitas dan Legitimasi Kekuasaannya dengan mengundang 100 Raja seantero Dunia untuk mengadakan Sesaji yang kemudian dipimpinnya. Setiap Pemimpin dianggap pada suatu waktu tertentu perlu mengadakan Sesaji Rajasuya. Tetapi yang terjadi adalah bahwa kondisi Dunia sekarang belum sampai pada era Sesaji Rajasuya oleh Ratu Adil (Karakter Timur/Indonesia), melainkan masih berada pada era Sesaji Kalarudra, yaitu sesajinya Prabu Jarasanda (Kapitalisme) yang berhasil menawan 97 Raja seantero Dunia, tinggal tersisa 3 (tiga) Raja yang belum tertawan, yaitu Raja Yudistira, Raja Kresna, dan Raja Baladewa (Karakter Timur yang belum dapat dikuasai oleh (Neo) Kapitalisme. Krisis Multi Dimensi yang dialami Bangsa Indonesia sekarang, sesuai keadaan yang di Jangka kan atau di ramal oleh Raja Kediri, Prabu Jaya Baya (1157 M); beberapa di antaranya berbunyi (Ramalan Jayabaya, http://id.wikipedia.org/wiki/Ramalan_Jayabaya): “146. wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil\ sing ora abisa maling digethingi\ sing pinter duraka dadi kanca\ wong bener sangsaya thenger-thenger\ wong salah sangsaya bungah\ akeh bandha musna tan karuan larine\ akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe\” “147. bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret\ sakilan bumi dipajeki\ wong wadon nganggo panganggo lanang\ iku pertandhane yen bakal nemoni\ wolak-walike zaman\” “148. akeh wong janji ora ditepati\ akeh wong nglanggar sumpahe dhewe\ manungsa padha seneng ngalap,\ tan anindakake hukuming Allah\ barang jahat diangkat-angkat\ barang suci dibenci\” “149. akeh wong ngutamakake royal\ lali kamanungsane, lali kebecikane\ lali sanak lali kadang\ akeh bapa lali anak\ akeh anak mundhung biyung\ sedulur padha cidra\ keluarga padha curiga\ kanca dadi mungsuh\ manungsa lali asale\” “150. ukuman ratu ora adil\ akeh pangkat jahat jahil\ kelakuan padha ganjil\ sing apik padha kepencil\ akarya apik manungsa isin\ luwih utama ngapusi\” Intuitive Refensial Empirical Hypothetical analyses mendasarkan pada analises keadaan, peristiwa-peristiwa, Sejarah, Konteks Budaya, hubungan antar Negara, dan analises produk-produk perundangan pendidikan dan praktik-praktik pendidikan faktual, menghasilkan Deskripsi Pasti tentang Ketidak-pastian, Deskripsi Pola tentang Ketidak-berpolaan, Deskripsi Forma tentang Bukan Forma pendidikan Indonesia. Berikut beberapa langkah justifikasinya: Politik Pendidikan Pancasila versus Politik Pendidikan Positivisme Politik Pendidikan Pancasila semestinya menjadikan Pancasila sebagai sumber dan landasan bagi pengembangan Kurikulum di semua tingkat pendidikan. Karakter Indonesia seyogyanya dapat digali dan dikembangkan dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Gambar 2: Pancasila versus Positive Karakter Indonesia dapat dikembangkan melalui pendidikan sejarah perjuangan bangsa Indonesia agar generasi muda mampu memeroleh jiwa, semangat dan nilai-nilai atau karakter berbasis budaya Indonesia dan berbasis Nilai Spiritualisme. Pada perkembangannya, Politik Pendidikan Pancasila mengalami pasang surut dan pada akhirnya tidak begitu jelas skema pengembangannnya baik dari sisi forma maupun sisi substansinya. Fenomena yang ada semakin tampak di cakrawala, sosok Politik Pendidikan Positivisme yang umurnya lebih tua yaitu sekitar dua abad yang lalu, selalu berusaha dan telah berhasil secara sistemis menawarkan Karakter Alternatif bagi Bangsa Indonesia dan seluruh bangsa di dunia. Selagi Bangsa Indonesia belum jelas dan mengalami kegalauan dalam memedomani Pancasila sebagai Politik Pendidikan, Politik Pendidikan Positivisme telah menabuh Genderang Perang kepada Karakter Timur dan Karakter Indonesia dikarenakan nilai yang ditawarkan adalah dengan cara meminggirkan Karakter Spiritual. Tiwikrama Politik Pendidikan Positivisme menjadi Politik Pendidikan Kontemporer Politik Pendidikan Positivisme menganggap tidak dapat mengandalkan Karakter Spiritual untuk membangun dunia yang lebih maju, dikarenakan menganggap sebagian Karakter Spiritual mempunyai Karakter Irasional yang tidak dapat digunakan untuk mengembangkan metode saintifik. Sebagai solusi, Politik Pendidikan Positivisme meminggir bawahkan Karakter Spiritual dan menggantikannya dengan Karakter Saintifik. Fenomena Politik Pendidikan Positivisme sungguh membuat takjub semua warga Dunia dikarenakan prestasi-prestasi real yang mudah dipahami dan dirasakan manfaatnya. Pergulatan panjang selama lebih dari 2 (dua) abad telah mentrasformasikan Politik Pendidikan Positivisme menjadi Politik Pendidikan Kontemporer, seperti tampak pada Gamber 3. Gambar 3: Transformasi Politik Pendidikan Positivisme menjadi Politik Pendidikan Kontemporer Menghadapi fenomena dunia yang dikuasai oleh Power Now, maka rangkaian perjalanan evidensi telah menunjukkan bahwa Politik Pendidikan Pancasila dalam segala aspeknya tidak mampu berkompetisi dengan Power Now kecuali satu yaitu Jati Diri Bangsa. Tetapi sayangnya bahkan Jati Diri Bangsa pun sedang dalam proses selalu dipertanyakan eksistensinya. Karakteristik Implementasi Politik Pendidikan Pancasila Yang TERKOOPTASI oleh Politik Pendidikan Kontemporer (Power Now) Pancasila sebagai Filsafat dan Ideologi bangsa dan negara Indonesia secara ontologis merepresentasikan Filsafat Idealisme karena merupakan Landasan sekaligus Cita-cita luhur Bangsa Indonesia. Lebih lanjut, Filsafat Spiritualisme tercermin dalam Sila 1, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bersifat sebagai pusat segala kebenaran. Sila ke 2, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, merefleksikan Karakter Ideal (terbaik) Epistemologis Indonesia. Sila ke 3, Persatuan Indonesia, merupakan pangejawantahan epistemologis Tunggal Ika. Sila ke 4, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan, merepresentasikan Filsafat Demokrasi Kontekstual Indonesia. Sila ke 5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, secara epistemologis-aksiologis merepresentasikan Idealisme pola dan struktur relasi ke dalam dan ke luar di mana secara ontologis, Substansi Vitalnya ditentukan oleh perjalanan sejarah Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Secara idealis, Pancasila menjadi landasan dan arah bagi pengembangan Politik Pendidikan Pancasila untuk mewujudkan Karakter Indonesia yaitu karakter yang berbasis budaya dan berkepribadian Indonesia serta mampu berinteraksi dengan komunitas global. Hypothetical experienced-intuitively analyses menyimpulkan bahwa Politik Pendidikan Pancasila telah, sedang dan akan selalu terkooptasi oleh Politik Pendidikan Kontemporer. Dengan demikian mudah dipahami bahwa implementasi Pendidikan Kontemporer Indonesia bersifat Feudalisme, Monokultur, Reduksionisme, Eksploitasi Vitasl, Dunia Terbelah, Egosentris, Materialisme, Disorientasi, Positivistik, Saintisisme Mutlak, Orientasi pasar, Spekulatif, Sentralistik, Kapitalisme, Hedonisme, Sosialisme, Alienasi Ontologis, dan De-Alienasi Epistemologis. Keadaan atau sifat implementasi Pendidikan Konemporer Indonesia yang demikian terwujud melalui fase-fase seperti tampak pada Gambar 4 berikut: Gambar 4: Sintak Terbentuknya Karakter Indonesia Kontemporer Konteks latar belakang Pendidikan Kontemporer Indonesia bersifat Ontologis dari Tribal/Tradisional/ Feudal, Konservatif , Perebutan Kekuasaan (Power Disturbances), Disorientasi Mainset, dan Disorganisasi Vital memberikan Karakter Indonesia yang Lemah Vital terhadap Epistemologisnya. Kondisi Lemah Vital secara ontologis dan epistemologis kemudian dipicu (ignite) oleh Un-structured Motive dari pelaku Egosentriknya maka lahirlah Krisis Multi Dimensi denga sifat Alienasi Ontologis, De-alienasi Epistemologs, Egalitarian Ontologis, Elitisisme Ontologis, dan Standardisme Ontologis. Mainset Pendidikan Indonesia Kontemporer bersifat dan menuju karakter Pragmatisme, Kapitalisme, Saintisisme, Material, Liberalisme, Socialisme, Egalitarianisme, Standardisme, Elitisme, Meritokrasi, Pendidikan Laskar (Paramiliter). Dengan mainset demikian maka Pendidikan Indonesia Kontemporer menampilkan Wajah Persoalan Bangsa bersifat Nepotisme, Korupsi, Kolusi, Daya Saing Rendah, Daya Diterminasi Rendah, Disorientasi Karakter, Inkonsistensi Karakter, Monokultur, Uniformitas, Orientasi Simbol (UN , OSMN da Olimpiade Internasional), Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Pelecehan Seksual, Budaya Instant, dan Kebijakan Parsial (terputus). Dengan wajah implementasi Pendidikan Kontemporer Indonesia tersebut di atas, telah dan akan menghasilkan manusia Indonesia sebagai pribadi yang berkarakter Terbelah, Berkonteks Dunia Terbelah, Bersifat Materialis, Budaya Instant, Dominan pada Duniawiyah, Saintisme Absolut (Riset tanpa batas dan Anti-Spiritualisme), Hedonisme, Pribadi Plin-plan, dan Tergoda Spiritualismenya, Korupsi, Kriminal, Politik Uang, Budaya/Kesenian Palsu, Tuntunan menjadi Tontonan, dan Tontonan menjadi Tuntunan. SOLUSI YANG DITAWARKAN Menimbang bahwa dewasa ini Bangsa Indonesia sedang mengalami Krisis Multi Dimensi secara laten, masif, dan terstruktur dalam berbagai aspek kehidupan Berbangsa, Bernegara dan Bermasyarakat; serta menimbang berbagai pengertian Filsafat, Ideologi, Dan Politik Pendidikan; dan memperhatikan hasil analisis saya tentang berbagai Tesis, Anti-Tesis Dan Sintesis yang ada di dalam Filsafat, Ideologi Dan Politik Pendidikan; serta memperhatikan hasil analisis terhadap Ontologi Mikro Filsafat dan Mikro Ideologi Pendidikan serta analisis kedudukan dan hubungan Filsafat, Ideologi dan Politik Pendidikan Indonesia (Pancasila) di antara bangsa-bangsa di dunia, maka dengan selalu berusaha bersikap Istoqamah, Tuma’ninah, dan Tawakal, bersama ini saya, sebagai salah satu anggota Majelis Guru Besar UNY yang Mulia, perkenankanlah MENGAJUKAN Konsep Politik Pendidikan Indonesia dengan nama :”PENDIDIKAN DEMOKRASI PANCASILA”, sebagai SOLUSI untuk mengatasi Krisis Multi Dimensi Bangsa Indonesia. Adapun ciri-ciri Pendidikan Demokrasi Pancasila yang saya ajukan dapat disimak seperti tertera di dalam Gambar 5., berikut: PENDIDIKAN DEMOKRASI PANCASILA Filsafat Pancasila Ideologi Pancasila Politik Demokrasi UUD 45 Amandemen Moral Pancasila Sosial Bhineka – Tunggal Ika Budaya/Karakter Jati Diri Indonesia Hakikat Ilmu Saintifik-Spiritualisme Epistemologi Pendidikan Membangun hidup seutuhnya berlandaskan Pancasila, dengan mengedepankan Karakter Indonesia yang: Bernurani Adil Beradab Jujur Cendekia Mandiri Kerjasama Kurikulum Hermenitika Hidup berlandaskan Pancasila Tujuan Pendidikan Memeroleh hidup selamat, sejahtera seutuhnya lahir-bathin serta dunia-akhirat Teori Mengajar Ing Ngarso Sung Tuladha Ing Madya Mangun Karsa Tut Wuri Handayani Teori Belajar Membangun Ilmu/Hidup dengan sikap Tuma’ninah, Istiqamah, dan Tawakal untuk memeroleh Ilmu yang Amaliah dan Amal yang Ilmiah. Peran Guru Ing Ngarso Sung Tuladha Ing Madya Mangun Karsa Tut Wuri Handayani Kedudukan Siswa Ing Ngarso Tuma’ninah Ing Madya Istiqamah Tut Wuri dengan Tawakal Teori Evaluasi Refleksi Hidup Sumber/Alat Belajar Alam Semesta Ciptaan Tuhan Gambar 5: Politik Pendidikan Demokrasi Pancasila PENUTUP Objektivitas sudut pandang suatu konsep dipengaruhi oleh hakikat konsep, pendekatan atau metode serta nilai atau value yang menyertainya. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, maka Pendidikan Demokrasi Pancasila dipandang sebagai bentuk konsep Politik Pendidikan yang lebih berbasis pada kekuatan Jati Diri bangsa, namun tetap mempunyai vitalitas yang tinggi untuk berinteraksi dengan masyarakat Global. Sebagai suatu konsep, Pendidikan Demokrasi Pancasila mempunyai Forma dan Substansi yang mengakar pada sejarah budaya bangsa. Pola tata kehidupan kemasyarakatan Bangsa Indonesia yang mempunyai sejarah panjang merupakan konteks bagi Forma dan Substansinya, serta menentukan sikap/cara pandang sebagai sebuah epistemologi yang memberikan sumber-sumber , macam dan pembenaran pengetahuan dan pengalaman Bangsa Indonesia. Untuk mengatasi Krisis Multi Dimensi, tiada jalan lain bagi Bangsa Indonesia untuk mewujudkan Politik dan Ideologi Pendidikan berdasar Filsafat Pancasila dan Demokrasi UUD 45 Amandemen, agar diperoleh sikap moral berjati diri Indonesia yang sesuai butir-butir Pancasila dan struktur kemasyarakatan Bhineka-Tunggal Ika untuk membangun hidup manusia Indonesia seutuhnya dengan cara dan untuk memeroleh karakter bernurani, adil, beradab, jujur, mandiri dan mampu bekerjasama baik pada tataran lokal, nasional, maupun internasional. Untuk itu, Sistem Pendidikan Nasional dikembangkan agar mampu mengembangkan hakikat keilmuan sebagai Saintifik-Spiritualisme yang didukung dengan Kurikulum yang mampu mewadahi hermenitika hidup seutuhnya berdasarkan Pancasila. Tujuan Pendidikan hendaknya diarahkan untuk memeroleh hidup selamat, sejahtera lahir-batin dan dunia-akhirat, yang dapat dicapai melaui fasilitasi guru sesuai prinsip/ajaran Ki Hajar Dewantara: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun, dan tut wuri handayani. Sistem Pendidikan hendaknya mampu memberi kedudukan atau memposisikan siswa sebagai subjek didik yang diharapkan bersifat tuma’ninah, istiqamah dan tawakal dalam membangun sikap, pengetahuan, ketrampilan dan pengalamannya dengan memanfaatkan segenap alam semesta ciptaan Tuhan sebagai sumber belajarnya. Metode Pembelajaran hendaknya bersifat kritis, fleksibel, dinanis berdasarkan atau memanfaatkan hasil-hasil penelitian baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penilaian pencapaian belajar hendaknya berubah dari konsep mengukur menuju konsep asesmen untuk mencatat atau merefleksikan hidupnya. DAFTAR PUSTAKA Aristotle (384-322 BC)." The Internet Encyclopedia of Philosophy (On-line). Available http: / / www. utm. edu/ research/ iep/ a/ aristotl. htm. Ernest, P., 1991, The Philosophy of Mathematics Education, London: The Falmer Press. Kant, I., 1931, “The Critique of Judgment (tr. J.Bernard)”, New York: The MaCmillan Company. Kant, I., 1992, “Theoretical Philosophy 1755-1770 (tr. By David Walford)”, Cambridge: Cambridge University Press Klein, P.D., 1998, “Epistemology” In E. Craig (Ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy.London:Routledge.Retrieved 2004 <http://www.rep.routledge.com /article/P059> Mayer, F., 1951, A History of Modern Philosophy, California: American Book Company Marsigit, 2013, Urgensi Pemikiran Dalam Pendidikan Karakter Untuk Membentuk Karakter, Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya Kurikulum Fakultas Agama Karakter dan Pemikiran UNPAB Medan Marsigit, 2013, Tantangan Dan Harapan Kurikulum 2013 Bagi Pendidikan Matematika, Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Universitas PGRI Yogyakarta. Marsigit, 2013, Karakter Islam Dalam Sejarah Pergulatan Memperebutkan Kekuasaan, Filsafat, Ideologi, Ilmu(Matematika), Dan Pendidikan, Makalah Dipresentasikan pada Kuliah Umum (Studium Generale) untuk Mahasiswa Baru Tahun Akademik pada Jurusan Pendidikan Matematika, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Marsigit, 2013, Pergulatan Memperebutkan Filsafat, Ideologi Dan Paradigma: Sebuah Kesadaran untuk Lembaga Pendidikan Ke Islaman dalam rangka ikut Membangun Karakter Bangsa (Melalui KKNI dan Kurikulum 2013?), Makalah dimaksudkan sebagai Pengantar Presentasi pada Kegiatan Seminar dan Workshop dengan Tema Membangun Karakter Bangsa dengan Pendidikan Melalui Kurikulum 2013 yang diselenggarakan oleh Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Marsigit, 2013, Nilai Strategis Kurikulum 2013 Untuk Membangun Karakter (Islami) Bangsa Serta Tantangan Dan Harapan Bagi Pendidikan Matematika Di Indonesia, Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional dan Workshop Pendidikan Matematika IAIN Syekh Nurjati Cirebon McLaren, P., 2004, Critical Theory in Education: Power, Politics and Liberation, Graduate School of Education and Information Studies: Los Angeles Perry, R.B., 1912, “Present Philosophical Tendencies: A Critical Survey of Naturalism Idealism Pragmatism and Realism Together with a Synopsis of the Pilosophy of William James”, New York: Longmans Green and Co. Sunan Giri ke-3, 1157 M, Ramalan Jayabaya, Kitab Musasar, http: //id. wikipedia.org/ wiki/Ramalan_Jayabaya (Unduh 2014) PAGE \* MERGEFORMAT 0