IndonesIa Pascanegara
IndonesIa Pascanegara
Agus Hilman
IndonesIa Pascanegara
agus Hilman
Hak Cipta © Agus Hilman, 2013
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Editor: A. Fathoni
Penata Letak: Dadang Kusmana
Desain cover: M. Zahruddin
Lingkar Publishing
Green Sakinah Residence, No. 17 Jl. H. Moch Nail
Baktijaya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat 16418
Telp. 021-8313247
e-mail: lingkar_publishing@yahoo.co.id
Cetakan Pertama, Maret 2013
Daftar Isi
Pengantar Penulis
Catatan Berdemokrasi di Indonesia
BagIan I
Haru BIru demokrasI IndonesIa
Akankah yang Baru Tenggelam?
Haruskah Memilih Tidak Memilih?
Kampanye Multikulturalisme
Melampaui Dikotomi Sipil-Militer
Meluruskan Niat Berpolitik
Memilih untuk Mengawasi
Menjaga Sportivitas dalam Pilpres
Mungkinkah Menindak Pencuri Start?
Police of Democracy Party
Tak Berdaya Kok Pakai Uang?
Kontrak Politik Bukan Segalanya
ix
1
3
6
10
14
17
20
24
27
31
35
39
vi
IN Do N E S IA P A SC A N EG A R A
BagIan II
Pemuda antara gerakan dan PolItIk
Gerakan yang Tersadap
Melacurkan Idealisme Mahasiswa?
Pemuda Indonesia, Bangkitlah!
Terdepak Primordialisme
Kegamangan Gerak HMI Pascanegara
43
45
49
53
57
61
BagIan III
PendIdIkan, kekerasan dan kekuasaan
Memutus Sumbu Kekerasan
Menghentikan Bola-Bola Kekerasan
Pendidikan, Antara Kekerasan dan Kekuasaan
Dana Muslihat AS?
Kepentingan di Balik Pengawasan
Tidak Cukup dengan Bantuan
Gaung Semangat Gotong-Royong
Menerapkan Pendidikan Tanpa Kelas
65
67
71
75
80
84
88
92
96
BagIan IV
demokrasI suBstantIF
Memaknai Ulang Keterlibatan Kiai dalam Politik
Meluruskan Gerak Partai Politik
Media dan Regulasi Bangsa
Perselingkuhan Uang dengan Kekuasaan
Uang di Balik Perang
Bencana ketika Pemilu Berlalu
MPR Harus Konsisten
Wakil Rakyat Bertekuk Lutut
101
103
107
112
116
120
123
127
131
BagIan V
agama, IdentItas, dan gloBalIsasI
Kritik Ilmu Keislaman, Menyuarakan Islam di Era Kekinian
Merobohkan Teologi Langit
Agama Bernalar Manusiawi
Spiritualitas yang Kering
Nalar Agama yang Hilang
Menyempurnakan Agama?
Merancang Fikih Bumi
Edisi Kritik Agama
135
137
166
171
175
179
184
188
192
DAFTAR ISI
Lebaran Topat dan Teologi Lokal
Deislamisasi Identitas
Identitas Bersyariat di Kampung Global
Menggugat Keidentitasan Agama
Fatwa Hati
Jihad Memelihara Kejujuran
Kasih Sayang
vii
197
203
208
213
217
220
224
Pengantar Penulis
Catatan
Berdemokrasi
di Indonesia
S
ekalipun Indonesia meneguhkan demokrasi sebagai sis
tem politik, tetapi hingga kini suara gugatan terhadap
nya bukan berarti mereda. Demokrasi kadang digadang,
tidak jarang pula ditentang. Bagi yang menentang, demokrasi
dianggap gagal membangun satu tatanan kehidupan bernegara
yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Tapi pembela demokra
si justru beranggapan, tidak ada sistem politik yang lebih baik
dari demokrasi. Demokrasi satusatunya sistem yang membuka
ruang akses publik terhadap negara, karena baginya kepenting
an rakyat (keadilan dan kesetaraan) diletakkan di atas segala
nya, vox populi vox dei.
Wajah demokrasi terlihat tidak elok acap kali disebabkan
oleh tata kelola dan pengelola demokrasi yang justru abai ter
hadap aturanaturan prinsipil demokrasi itu sendiri. Demokrasi
yang terangkum dari kata demos (rakyat) dan cratein/cratos
x
I ND o NE S I A P ASC A N EG A R A
(pemerintahan) mengandaikan antara negara dan rakyat adalah
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam artian substansial,
bukan formal. Ruh pengelolaan negara terletak pada upaya un
tuk melindungi dan memelihara kepentingan seluruh warga ne
gara dengan asas kesetaraan dan keadilan, karena spirit utama
demokrasi tidak menegasikan nilainilai tersebut.
Dalam lintasan sejarah, tata kelola demokrasi kerap tidak
berkesesuaian dengan aras yang sebenarnya. Anomali aplikasi
demokrasi inilah yang kadangkala mendorong penilaian tidak
elok terhadap sistem demokrasi. Alur sejarah di Indonesia,
demokrasi cenderung diracik berdasarkan naluri personalitas
kepemimpinan. Akhirnya, kearifan lokal (local wisdom) demo
krasi tidak bersandar pada ruang di mana sistem itu dijalankan,
melainkan beradaptasi pada alur kepemimpinan personal. Tidak
heran jika di berbagai negara, demokrasi acap kali melenceng
dari arahnya sehingga cenderung abai dalam melindungi ke
pentingan rakyatnya. Di sinilah anomali demokrasi muncul se
hingga melahirkan resistensi terhadap demokrasi itu sendiri.
Hadir sebagai bangsa yang unik—karena merangkum kera
gaman suku, bahasa, pulau dan warna kulit, Indonesia melalui
berbagai sistem tidak sertamerta mendaulat demokrasi menjadi
sistem tata pengelolaan politik. Sebelum Indonesia terbentuk
sebagai negarabangsa (nation-state), Nusantara terdiri dari
pulaupulau yang digerakkan oleh dinasti kerajaankerajaan mo
narkis dari daerah timur hingga barat. Mungkin demokrasi bu
kanlah kata dan sistem yang tepat, bahkan bisa menjadi masalah
jika diterapkan dalam mileu monarki yang masih kuat saat itu.
Lebih satu dasawarsa lalu, hadirnya Reformasi menjadi ti
tik terbaru wajah demokrasi di Indonesia. Gema pembaruan
perlahan hadir di berbagai bidang melalui momentum politik,
meski harus melalui pengorbanan yang tidak murah dari darah
generasigenerasi terbaik bangsa ini. Ibarat gesekan lempeng
PEN GANTAR PENULIS
xi
bumi yang menghadirkan getaran, pembaruan itu pun meng
alami gejolak. Sekalipun demikian, kita mesti hadir dengan se
juta optimisme jika etape pembaruan yang dijelajahi saat ini
akan hadir membawa kebaikan untuk bangsa Indonesia.
Kendati demikian, perjalanan satu dasarwarsa tersebut ha
rus dievaluasi agar dapat memberikan gambaran yang menyelu
ruh. Pertama, terbukanya keran kebebasan politik pada sisi lain,
serta hadirnya revolusi teknologi informasi abad milenium. Ke
nyataan ini dapat menggeser pola dan perkembangan demokrasi
ke arah partikular dan artiisial, jika tidak disediakan instrumen
perangkat penyeimbang. Secara logis, kebebasan politik jika
ditopang dengan teknologi informasi dapat menciptakan tata
komunikasi yang dapat memelihara demokrasi berjalan dengan
baik. Tetapi, ini dapat berbalik jika suprastruktur masyarakat ti
dak menghadirkan daya iniltrasi terhadap pesan-pesan politik
yang dihadirkan melalui teknologi informasi, seperti televisi
dan berbagai media lainnya.
Dalam kondisi demikian, artiisialitas akan mendominasi
iklim politik. Pesanpesan politik banyak disampaikan melalui
mediamedia dengan perkembangan kecanggihan yang terus
maju. Dalam langgam ini, citra menjadi bagian yang tidak terpi
sahkan untuk dikelola dalam menjalankan proses politik sehing
ga yang hadir di hadapan masyarakat adalah potonganpotong
an yang belum tentu sama dengan realitas yang sebenarnya.
Akhirnya, siapa yang menguasai media, dialah yang me
miliki kans besar untuk mendapat simpati rakyat. Tidak heran
muncul tren baru di mana kepemimpinan popular menjadi as
pek dominan yang sanggup mengabaikan kepemimpinan kapa
bel. Di sinilah suprastruktur yang menghadirkan daya iniltrasi
di dalam diri masyarakat dibutuhkan. Dengan iniltrasi itu, masyarakat mampu menelisik citra yang disuguhkan secara kritis,
tidak diterima secara dogmatis. Jika nalar perangkat kritis tidak
xii
I ND o NE S I A PA SC A N EG A R A
tumbuh, perkembangan demokrasi pun terancam akibat kapa
bilitas kepemimpinan dikesampingkan oleh popularitas.
Kedua, gelombang arus warga negara (citizen) dalam me
nyampaikan aspirasinya tereskpresi dalam beragam varian, baik
bergerak di dunia maya maupun disalurkan secara langsung.
Sebuah geliat yang “luar biasa” sebagai bukti menguatnya iklim
demokrasi melalui jangkar terbukanya ruang publik (free public
sphere) dalam iklim perpolitikan kita.
Aspirasi masyarakat mewujudkan diri melalui gerakan secara
langsung dan yang teranyar, gerakan virtual. Kita sebut gerakan
virtual untuk merujuk pada gerakan yang dilakukan melalui dunia
maya, seperti beberapa gerakan yang muncul akhirakhir ini
untuk memprotes ragam kebijakan negara yang dianggap tidak
adil dan tidak memihak kepentingan rakyat. Pada wilayah yang
nyata, kontrol masyarakat terhadap negara dilancarkan melalui
gerakangerakan terbuka. Meskipun ragam ekspresi itu terkadang
bergerak secara radikal sebagai akibat makin tipisnya jarak antara
citizen dan state atau rakyat dengan negaranya. Dulu, negara
seolah tak tersentuh dan antikritik, tetapi kini para pemimpin
negara tidak dapat melakukan tindakan sewenangwenang
karena kontrol masyarakat semakin kuat. Tipisnya disparitas ini
tidak hanya karena keterbukaan informasi, tapi juga didukung
oleh sistem elektoral yang meniscayakan adanya kontak langsung
antara pemimpin dengan rakyatnya.
Kondisi tersebut bukan berarti tidak memunculkan problem
jika tidak ditata dengan pendidikan demokrasi yang terkelola.
Demokrasi yang terkelola adalah sistem yang digerakkan berda
sarkan prinsipprinsip etis demokrasi itu sendiri. Jika tidak di
tata dengan baik, demokrasi hanya melahirkan mobokrasi atau
gerombolan gerakan kontrol masyarakat yang tidak terorganisir,
tidak memiliki tujuan, minus langkah strategistaktis, sangat
sporadis, dan cenderung anarkis. Kecenderungan mobokrasi ini
PEN G ANTAR PENULIS
xiii
terlihat dengan tampilnya gerakan masyarakat yang brutal dan
tanpa kontrol sebagaimana acap terlihat akhirakhir ini.
Mobokrasi politik kemudian bergeser dengan bentuk ka
pitalisasi politik di tingkat grass-roots secara massal. Kualitas
pendidikan masyarakat yang masih rendah berkonstribusi mem
perlemah nalar kritis mereka, sehingga mudah terjebak pada
mental instan dan pragmatis. Meski bukanlah sebab utama, suk
sesi kepemimpinan dari pusat hingga daerah (provinsi/kota/ka
bupaten) yang dihelat secara langsung cukup mendulang mental
pragmatis di masyarakat. Uang menjadi bagian dari titik sentral
yang menentukan sikap politik masyarakat, sehingga cenderung
menghadirkan model kepemimpinan modal. Karenanya, hal
tersebut menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kita
bersama.
Ketiga, demokrasi sejatinya dibangun untuk menghadirkan
tata kelola negara yang benarbenar dipersembahkan untuk ke
sejahteraan dan keadilan rakyat. Untuk mencapai itu, hal yang
diperlukan adalah politik yang digerakkan dan disatukan oleh
ideide mulia. Partai politik memainkan peranan penting di sini,
karena sistem perpolitikan kita tidak bisa lepas dari pengaruh
sentral partai politik di semua aspek perpolitikan kita. Karena
sejatinya, partai dibentuk sebagai manifestasi mesin politik
rakyat agar berpartisipasi aktif dalam setiap proses politik
(Hartmut Hess,15: 2007)
Akan tetapi, itu juga menjadi problem ketika jalinan partai
politik belum bertolak pada domain di mana nilai keadilan
sosialpolitik menjadi landasan langkahnya. Koalisi politik par
pol, misalnya, masih belum mampu bersandar pada upaya kerja
sama yang didasari oleh kesamaan tujuan atau, lebih tepatnya,
ideologi. Dalam bahasa yang lebih lugas, koalisi partai politik
semestinya terbangun untuk citacita kebenaran, kesetaraan,
dan keadilan sosial, bukan yang lainnya.
xiv
IN Do N E S IA P A SC A N EG A R A
Koalisi kebenaran, ideologically connected coalition atau
koalisi berbasis ideologi seolah utopis untuk diterapkan dalam
sistem kepartaian kita saat ini. Senantiasa pertimbangan di luar
ideologi selalu dikalahkan oleh kalkulasi politik jangka pendek.
Sehingga, menghadirkan koalisi permanen menjadi sulit tercipta
akibat kepentingan, kebutuhan, dan eskalasi politik selalu lebih
dominan menentukan arah koalisi daripada ideologi. Sementara
ragam kepentingan dalam perpolitikan tidak pernah absolut,
melainkan selalu bergerak semu dan nisbi.
Kenyataan tersebut sebenarnya lazim terjadi di beberapa
negara dan memang masih menjadi momok yang belum da
pat dieliminasi sistem demokrasi. Kendati demikian, meng
hadirkan kondisi sistem di mana partai politik bergerak dan
menyatu berdasarkan ideologinya bukanlah realitas yang mus
tahil diwujudnyatakan, namun harus tetap dilakukan mela
lui perombakan sistem. Artinya, sistem kepartaian kita ma
sih memberikan ruang terbangunnya iklim politik yang tidak
didasarkan oleh nilai kebenaran. Sudah barang tentu, mewu
judkannya membutuhkan ikhtiar dan iktikad sungguhsungguh
dari seluruh elemen yang terlibat dalam pengelolaan demokrasi
di negara ini.
Menelisik postulat pemikiran di atas, membangun demokra
si yang mampu menghadirkan perubahan bagi bangsa Indonesia
dengan menyemai spirit substansi demokrasi niscaya dibumi
kan (down to earth) dalam sistem politik kita. Inilah yang di
sebut sebagai demokrasi transformasional sebagai bagian upa
ya untuk mematangkan demokrasi kita. Yakni, benarbenar
berpijak pada prinsip dan nilainilai hakiki demokrasi yang
mampu melakukan transformasi bagi negara, khususnya rak
yat Indonesia. Sehingga, demokrasi tidak lagi dianggap sebagai
kambing hitam atas kegagalan negara dalam mengelola kehi
dupan yang layak bagi rakyatnya. Di sini, kita bukan berarti men
PEN GANTAR PENULIS
xv
dewakan demokrasi sebagai sistem paling absah dan terbaik, tapi
hanya menegaskan bahwa sebenarnya kita belum sepenuhnya
menjalankan demokrasi yang sesungguhnya, yakni demokrasi
transformasional.
Karena itu, hadirnya perubahan yang membawa perbaikan
bagi iklim demokrasi di Indonesia ke arah yang lebih baik ha
rus terus diupayakan. Di sinilah hadirnya kepemimpinan mu
da yang mampu membawa perbaikan menjadi penting. Kita
perlu membedakan antara kepemimpinan muda dengan kepe
mimpinan pemuda. Kepemimpinan muda lebih pada aspek
substansi kualitas muda, seperti visioner, progresif, memiliki
responsibilitas, sense of social yang kuat, integritas tinggi, dan
berani melakukan transformasi. Sedangkan ketika menyebut
kepemimpinan pemuda, kita akan cenderung terjebak pada di
mensi biologis pemuda. Pada dasarnya, pemuda memiliki aspek
kualitas muda sebagaimana yang disebutkan tadi, kendati tidak
semuanya pemuda memiliki jiwajiwa muda tersebut. Begitu
pula mereka yang secara biologis tua, umumnya tidak lagi me
miliki kualitas muda, tetapi tidak semua yang berusia tua tidak
memiliki nilai dan spirit muda.
Perbaikanperbaikan iklim demokrasi di Indonesia sangat
membutuhkan pola kepemimpinan muda. Tanpa mental kepe
mimpinan muda yang visioner dan memiliki daya dobrak yang
kuat, maka percepatan perubahan yang diharapkan akan jauh
dari panggang. Suksesnya pemilu pada satu sisi menjadi para
meter kedewasaan demokrasi di Indonesia, tetapi tidak hanya
berhenti pada aspek prosedural tersebut. Melainkan semesti
nya memiliki dampak dalam membangun kesejahteraan dan
kemajuan masyarakat. Tanpa memberikan implikasi, roda ja
lan demokrasi kita masih tumpul dan mandul. Dan, yang mam
pu membawa ke arah penyeimbangan antara prosedural dan
substansial demokrasi adalah kepemimpinan muda. Kepemim
xvi
IN Do N E S IA P A SC A N EG A R A
pinan muda mengandaikan adanya sistem yang memberikan
ruang berjalannya ragam perubahan visioner dan kreatif yang
ditransformasikan untuk menghadirkan perbaikan kehidupan
berbangsabernegara.
Dalam konteks demokrasi, hal yang harus dilakukan dalam
menghadirkan kepemimpinan muda adalah menyediakan ruang
terbangunnya etika demokrasi di tengah pesatnya kemajuan
teknologi dan kebebasan politik. Etika demokrasi bukan sarana
untuk memberikan label “baik” dan “buruk”, melainkan menjadi
etika moral di mana segala aktivitas demokrasi dijalankan. Arti
nya, demokrasi memang mensyaratkan adanya kebebasan, teta
pi bukan kebebasan yang dimaknai secara radikal dan abai ter
hadap peran dan tanggung jawab. Nilai harus dijadikan acuan
dalam menjalankan dan meramaikan demokrasi. Dan, kepe
mimpinan muda akan mudah tumbuh di dalam iklim di mana
etika moral demokrasi dikedepankan.
Kita semua berharap agar pematangan ke arah demokrasi
transformasional benarbenar mampu kita wujudkan sehingga
memberikan perubahan bagi kehidupan rakyat Indonesia, yakni
kesejahteraan, keamanan, dan keadilan sosial. Menghadirkan
kepemimpinan muda akan memudahkan jalan menuju demo
krasi transformasional karena hakikat dari transformasi selalu
dinamis dan tidak pernah statis sebagaimana sejatinya spirit
muda. Spirit muda seperti roda yang terus berputar mengalami
perubahan menuju capaian ideal. Penulis sendiri meyakini jika
di dalam diri para pemuda Indonesia, jiwa kepemimpinan muda
itu terus mengalir yang akan membawa perubahan berarti bagi
kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Jakarta, 10 Maret 2013
Agus Hilman
BAGIAN I
HARU BIRU
DEMoKRASI
INDoNESIA
Akankah
yang Baru
Tenggelam?
(Jawa Pos, 18 Desember 2003)
M
inggu 7 Desember 2003, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) telah meresmikan 24 partai politik lolos seba
gai kontestan Pemilu 2004. Ke24 partai tersebut
akan bertarung dalam pesta demokrasi yang paling meriah da
lam sejarah perpolitikan Indonesia. Secara kuantitas, diban
dingkan Pemilu 1999, jumlah kontestan Pemilu 2004 kali ini
terbilang menurun.
Ditinjau dari kalkulasi stabilitas politik dalam konteks
Indonesia, jumlah 24 partai bukan merupakan sebuah kenyataan
yang tanpa masalah. Ada banyak problem yang akan timbul dalam
jumlah yang tergolong banyak untuk ukuran Indonesia itu, meski
pada Pemilu 1999 lebih dari jumlah tersebut. Misalnya, akan
marak praktik money politics dan pencurian start kampanye.
Dengan jumlah yang relatif banyak itu, setiap partai politik
tentu akan bertarung mencari dan merebut hati rakyat dengan
4
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
melegalkan beragam cara. Money politics merupakan tren
umum dalam kecurangan pemilu. Jadi, bisa diprediksikan, de
ngan banyaknya jumlah partai tersebut, money politics akan
marak, persis seperti maraknya money politics pada 1999.
Pada Orde Baru yang hanya tiga partai, money politics tetap
mewabah, apalagi Pemilu 2004 yang lebih banyak parpolnya.
Lebihlebih, tingkat pendidikan politik rakyat bawah sangat
rendah dan mudah memberikan suaranya kepada partai yang
bisa memenuhi kebutuhan materi mereka. Bisa diterka, yang
paling diuntungkan atas kondisi tersebut hanya partai yang
kuat basis inansialnya.
Karena itu, jika tidak disiasati dengan strategi yang lebih
jitu, sangat mungkin partaipartai baru yang tidak memiliki ke
kuatan basis inansial hanya akan menjadi penonton, bahkan
tenggelam di bawah kekuatan partai besar. Lebihlebih, pada
pemilu kali ini, tingkat apatisme rakyat terhadap partai politik
cukup tinggi.
Misalnya, membangun kekuatan koalisi dengan partai
partai baru yang cukup memiliki idealisme serta kekuatan basis
kultur untuk menandingi kekuatan partaipartai besar dan ber
kuasa. Pemikiran tersebut berkaca pada Pemilu 1999. Saat itu,
partaipartai baru (partai selain PDIP, Golkar, dan PPP) ber
munculan bak jamur di musim hujan. Tetapi, di antara sekian
banyaknya partai baru kala itu, ternyata hanya PKB dan PAN
yang bisa menembus electoral threshold dua persen. Selain itu
hanya menjadi penyemarak pemilu.
Itu pun PAN dan PKB bernaung di bawah basis kultur
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Bisa dibayangkan,
sekitar 18 partai baru sangat sulit menjadi peserta Pemilu 2004.
Selain berhadapan dengan partaipartai lama seperti PKB,
Golkar, PDIP, PPP, PKB, dan PAN, mereka harus menembus
batas electoral threshold yang naik menjadi tiga persen.
A K A N K A H y A N G B ARU TENGGELAM?
5
Berkualitas kerupuk?
Berdasarkan polling Jawa Pos kemarin (Jawa Pos, 16/12), ma
syarakat masih memandang bahwa partai baru yang muncul saat
ini memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda dari partaipartai
lama (Golkar, PKB, PPP, PAN, dan PDIP). Polling tersebut me
nyatakan, tingkat respons masyarakat yang memandang partai
baru sama dengan partai lama mencapai 32,5 persen, meng
anggap lebih baik 25,9 persen, lebih buruk 23,5 persen, dan me
nyatakan tidak tahu 18,1 persen.
Kalau dilihat lebih jauh, penyebab utama pandangan pesi
mistis masyarakat tersebut adalah mereka merasa dikhianati
partai politik. Harapan rakyat dengan kemenangan PDIP secara
telak pada Pemilu 1999 yang merupakan ikon Orde Reformasi
ternyata tetap tidak bisa membawa perubahan bagi bangsa ini.
PAN dan PKB pun tidak jauh berbeda. Sehingga, lahirlah
kecenderungan dalam diri rakyat bahwa partai baru atau partai
lama sama saja. Keberadaan mereka tetap tidak akan membawa
perubahan signifikan bagi bangsa. Partaipartai reformasi
(PDIP, PAN, PKB, dan PBB) dipandang gagal membawa negeri
ini keluar dari krisis multidimensi. Praktik KKN kian merajalela.
Bahkan, berdasarkan penelitian International Transparency,
praktik kotor itu semakin terangterangan di masyarakat. Fe
nomena tersebut memunculkan pandangan apatisme dan pe
simisme rakyat atas keberadaan partaipartai baru (apalagi
yang lama). Karena itu, akankah partaipartai baru dalam 24
parpol peserta pemilu tersebut tenggelam?
Haruskah Memilih
Tidak Memilih?
(Suara Karya, 22 Desember 2008)
M
antan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) me
wantiwanti golongan putih (Golput) akan meningkat
hingga 70 persen jika pemerintah tidak adil menyi
kapi dualisme di PKB (Kompas,13/10). Terlepas dari nada an
caman itu, pernyataan Gus Dur terkait golput menarik diper
bincangkan kembali di tengah prediksi jumlah golput akan
meningkat pada pemilu mendatang.
Wacana golput atau tidak menggunakan hak pilih bukan
hal asing dalam demokrasi yang seluruh aspirasi masyarakat
diberikan ruang untuk berekspresi secara bebas (free public
sphere). Tidak ada kekangan, tidak ada dominasi mayoritas atas
minoritas. Semua elemen berhak mengajukan pendapat. Karena
itu, golput sebagai bentuk ekspresi politik tanpa menggunakan
hak pilihnya, pada langgam ini, tidak dapat disalahkan, bahkan
moralitas demokrasi harus “membelanya” secara politik.
H A R U SK A H MEMI LI H TIDAK MEMILIH?
7
Pada Pemilu 2004, jumlah golput sekitar 23,34 persen
dengan melebihi perolehan suara seluruh partai. Sementara
Pemilu 1999, angka golput 10,4 persen. Jaringan Pendidikan
Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melihat pada rentang 2005
2008, golput ternyata unggul di 13 pilkada provinsi. Sementara
di kota/kabupaten, golput unggul di 39 dari 130 pilkada.
Kondisi di atas membuka kembali peluang besar mem
bengkaknya golput pada Pemilu 2009. Bahkan tidak menutup
kemungkinan melebihi prevalensi golput Pemilu 2004. Kekece
waan masyarakat terhadap para politikus dan partai politik saat
ini yang tidak mampu membawa perubahan bagi rakyat bisa
menjadi salah satu pedorong golput.
tanpa efek
Secara substansial, golput dapat diamini sebagai bentuk opo
sisi tanpa suara atas sistem politik yang berjalan. Masih lemah
nya sistem politik kita dalam melahirkan kepemimpinan yang
kokoh menempatkan event suksesi (pemilu) tidak lagi berwi
bawa sehingga melahirkan ketidakpercayaan (distrust) rakyat.
Kenyataan itu diperparah oleh oligarki partai politik yang masih
menjadi batu sandungan bagi lahirnya pemimpin berkualitas di
negeri ini.
Sangat salah jika menganggap warga negara yang golput
sebagai orang yang apatis dan tidak peduli terhadap perubahan
bangsa. Justru kebanyakan orang yang memilih golput dilandasi
motif yang rasional dan tanpa suap. Mereka mengharapkan
masa depan demokrasi lebih bagus. “Sama saja, Mas. Nyoblos
nggak nyoblos, hidup tetap susah.” Hanya ungkapan itu yang
sering kita dengar dari rakyat yang emoh menggunakan hak
suaranya saat pilkada maupun pemilu.
Karena menjadi releksi kekecewaan rakyat atas kinerja pemerintah, politikus maupun partai, golput tersudutkan sebagai
8
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
anomali. Sikap ini akan menjadi citra pemerintahan sebelumnya.
Wajar jika kemudian penguasa berusaha mengeliminir golput.
Menelisik “ancaman” Gus Dur di atas jadi relevan.
Perlu diingat, golput tidak signifkan memengaruhi sistem
meski prevalensinya cukup tinggi. Roda kepemimpinan terus
berlanjut. Sekalipun dengan banyaknya golput diklaim unlegitimate, tetapi hanya berjalan pada aras wacana semata,
tidak pada ranah praksis (gerakan). Alihalih menjadi ancam
an, tingginya tingkat golput tidak memiliki ekses politik bagi
pemerintahan terpilih.
Kenyataan tersebut disebabkan sifat penyebaran golput yang
berserak, tanpa titik koodinasi. Sekalipun, seandainya, sikap
golput rakyat dilatari motif yang sama, mereka tidak mudah un
tuk disatukan menjadi sebuah gerakan. Inilah keunikan golput
yang, pada pengalaman, laju geraknya mengalir bak air dan
bahkan sifatnya personal. Sikap mereka murni untuk tidak me
milih, tanpa uang suap, tanpa biaya.
konsolidasi nurani
Memang, siapa pun berharap agar rakyat menggunakan hak
pilihnya. Tetapi, memaksakan seluruh rakyat untuk tidak golput
sama tidak benarnya dengan memaksakan kehendak agar me
reka semua menjadi golput. Sikap warga untuk memilih, apa
pun pilihan politiknya asal sesuai nurani mereka, harus dihor
mati setinggitingginya. Inilah kebijaksanaan demokrasi yang
belum integral dalam perilaku politik berbangsa kita dalam se
gala sendi.
Tidak hanya jarang bertindak sesuai kejujuran, demokrasi
kita belum terbiasa menghormati rakyat yang memilih sesuai
kehendak murni mereka. Sikap kekecewaan politik rakyat yang
tereleksi di dalam golput harus dimaknai secara positif sebagai
kecerdasan demokratik. Kendati begitu, golput juga akan “ter
H A R U SK A H MEMI LI H TIDAK MEMILIH?
9
nodai” jika digerakkan hanya karena kecewa akibat tidak dapat
jatah kekuasaan.
Inilah momen agar elite benarbenar bergerak berdasarkan
kepentingan rakyat yang saat ini membutuhkan kepedulian
sosialekonomi yang praksis, bukan sekadar wacana. Nurani pe
mimpin harus dihidupkan agar berusaha melayani dan menye
jahterakan rakyat. Bagi mereka yang akan mencalonkan diri di
legislatif dan eksekutif agar kembali meluruskan niatnya untuk
mengayomi rakyat. Jika hal itu tidak atau belum ada, haruskah
besok kita memilih untuk tidak memilih?
Kampanye
Multikulturalisme
(Jawa Pos, 11 Maret 2004)
S
angat beralasan beberapa kalangan memprediski bahwa
pemilu kali ini rentan sekali dengan konlik horizontal/
vertikal. Kasus bentrokan antara pendukung Golkar dan
PDIP di Bali bulan Oktober lalu kiranya merupakan satu indi
kasi ancaman tersebut. Padahal, tragedi itu terjadi jauh hari se
belum kampanye nanti, sedangkan KPU menjadwalkan setiap
hari ada sekitar 12 parpol yang berkampanye?
Beberapa tindak kekerasan dalam event pemilu memang
tidak terlepas dari dampak masyarakat Indonesia yang multi
kultural. Di Indonesia, terdapat beragam ras, suku, dan agama
yang sewaktu-waktu dapat menciptakan konlik horizontal. Hal
itu terjadi karena entitas primordial tersebut sangat mudah di
eksploitasi untuk kepentingan politik golongan tertentu.
Pengalaman hitam dalam kurun 19962002 cukup menja
di contoh bagaimana pluralitas mengobrakabrik sendisendi
K A MPA N y E MU LT IKULTURALISME
11
kehidupan kebangsaan kita. Tragedi berdarah dengan meng
atasnamakan agama yang terjadi di Ambon, Poso, Situbondo,
dan Mataram ternyata banyak memakan korban jiwa. Belum lagi
berbicara tentang perang etnis di Sambas beberapa tahun silam
yang memberikan luka dan trauma mendalam sehingga tentu
sulit dihilangkan dari alam pikir pihakpihak bersengketa.
Karena itu, sangat logis jika public khawatir terhadap partai
politik yang menggunakan bahasabahasa SARA dalam meng
ambil simpati masyarakat. Ketakutan dan kekhawatiran rakyat
tersebut sangat wajar karena dapat dipastikan dalam setiap
event kampanye terjadi tindakantindakan yang mengarah pada
isu SARA yang tidak sedikit memakan korban jiwa.
Di sinilah kita memerlukan sebuah metode dan manajemen
kampanye yang berbasis pada semangat multikulturalisme. Se
buah model kampanye yang sesuai dengan konteks masyarakat
kita. Kalau kita mau kritis, budaya kekerasan yang sering ter
jadi saat kampanye dalam kurun sejarah pemilu di negeri ini
sesungguhnya akibat model kampanye yang tidak memiliki se
mangat multikulturalisme.
Sering kali para juru kampanye (jurkam) menggunakan
bahasabahasa SARA untuk meneguhkan partainya sebagai yang
terbaik. Agama senantiasa dibajak untuk kepentingan politik
sesaat. Salah satu pembajakan agama adalah pemelintiran ayat
yang menyatakan bahwa jangan sekalikali kamu mendekati po
hon ini, (jika kamu dekat), kamu termasuk orangorang zalim
(lâ taqraba hadzihi al-syajarata fatakûna minal-zhâlimîn). Sa
sarannya, siapa lagi kalau bukan Golkar. Akhirnya, para pendu
kung partai sering kali menghalalkan diri menggunakan keke
rasan kepada orang yang mendekati pohon itu (Golkar). Inilah
bentuk terorisme terselubung partai.
Kampanye yang bersemangat multikulturalisme enggan
berdiri di atas ego yang selalu menjelekjelekkan rival politik
12
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
nya dan mengagungkan golongan/partai sendiri. Model kam
panye seperti ini harus segera ditinggalkan karena hanya mem
bodohkan rakyat. Memang, tak salah menganggap partai kita
adalah partai paling bagus. Tetapi, yang salah adalah anggapan
partai kita adalah partai paling bagus, seraya dibarengi dengan
menjelekjelekkan dan merendahkan martabat partai lain. Biar
lah orang lain yang menentukan mana yang baik dan mana yang
buruk. Tentu, jika baik, mereka akan ikut. Jika jelek, mereka
akan jauh.
Dalam kampanye multikulturalisme, perbedaan tidak di
pandang seolah sebuah bencana yang harus dimusnahkan. Per
bedaan dipahami sebagai keniscayaan yang tidak dapat dielak
kan. Perbedaan dimaknai sebagai sarana untuk berlombalomba
mengejar kebaikan.
Karena itu, tindakantindakan damai merupakan salah satu
cara partai untuk berlomba menunjukkan bahwa dirinya benar
benar baik. Dengan demikian, apa pun partai yang dipilih tidak
menjadi masalah, toh kita semua tetap bernaung dalam satu
bendera persaudaraan: Indonesia.
Jangan Pilih yang rusuh
Menebar tindak kekerasan akan menciptakan kecemasan komu
nal di tingkat masyarakat bawah. Siapa pun yang menciptakan
kecemasan di dalam masyarakat adalah teroris yang harus ditin
dak tegas. Karena itu, partaipartai yang memberikan kecemas
an saat kampanye nanti merupakan partai teroris. Terorisme
partai bisa berwujud sikap pembajakan bahasa Tuhan (agama),
ras, dan suku untuk kepentingan dirinya. Membajak ayatayat
Tuhan dengan tujuan menghadang rival politiknya.
Di sinilah dibutuhkan sebuah sanksi hukum tegas terhadap
partai yang sering membuat onar dan menggunakan isuisu
SARA sebagai komoditas politik (UU No. 12/2003). Jika sanksi
K A MPA N y E MU LT IKULTURALISME
13
hukum belum cukup dipandang efektif dalam menghilangkan
partai teroris, diperlukan sebuah sanksi sosial dengan cara ja
ngan mencoblos partai teroris, rusuh, dan membuat orang
cemas.
Dengan demikian, parpol, caleg, serta massanya akan ber
pikir ulang untuk melakukan tindakan anarkis. Sebab, standari
sasi keabsahan suara terletak pada dicoblos dan tidaknya partai
politik. Gerakan itu diharapkan bisa efektif mengontrol partai
dan massa agar tidak terjerumus dalam kekerasan politik saat
kampanye.
Melampaui
Dikotomi
Sipil-Militer
(Jawa Pos, 31 Juli 2004)
P
ada Senin kemarin, 26 Juli, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) mengumumkan secara resmi bahwa pasangan
SBYJK dan MegawatiHasyim lolos mengikuti pilpres
putaran kedua. Di antara total pemilih yang menggunakan hak
suaranya, pasangan SBYJK mampu meraup suara sekitar 33,58
persen, MegawatiHasyim sekitar 26,61 persen, WirantoWahid
22,16, AmienSiswono 14,66 persen, dan pasangan Hamzah
Agum hanya meraup suara 3,01 persen.
Berdasarkan statistika kemenangan di atas, di luar dugaan,
ternyata pasangan SBYJK mampu mengalahkan beberapa
rival politiknya yang notabene sudah tidak asing dalam kancah
perpolitikan nasional kita. Bahkan, MegawatiHasyim hanya
memperoleh 26 persen suara. Kemenangan telak SBYJK itu
menunjukkan bahwa dikotomi sipilmiliter tidak terlalu dilihat
masyarakat. Aura igur sosok SBY lebih dominan daripada
stigma negatif latar belakangnya sebagai militer.
MELA MPA U I D I K oToMI SIPIL-MILITER
15
Memang, selama ini, sipil dan militer menjadi dua kata
yang senantiasa dimaknai dengan paradigma oposisi biner, kon
tradiktif, dan dikotomik. Garis kontradiksi itu semakin tajam,
terutama pada detikdetik jatuhnya rezim Soeharto pada 1998.
Wacana oposisi biner sipilmiliter tersebut menggema kembali
pada saat pilpres putaran pertama. Itu terlihat dari beberapa
gerakan yang menolak tampilnya capres militer sebelum pelak
sanaan pilpres kemarin. Meski demikian, garis kontradiksi sipil
militer tersebut hanya mendengung di permukaan, tetapi kurang
popular di grass-roots. Jika diamati, ada beberapa hal mengapa
dikotomi sipilmiliter tidak begitu kuat memengaruhi sikap
politik pemilih. Pertama, secara sosiologis, masyarakat kita
adalah masyarakat yang tertumpu pada pengaruh igur. Dalam
struktur psikologi sosial masyarakat yang seperti itu, simpati dan
empati masyarakat akan mudah diperoleh, jika igur tersebut
memiliki keahlian beretorika yang cantik atau cerdas menam
pilkan kewibawaan dan kelembutan. Pada kerangka itu, yang
dilihat masyarakat bukan latar belakangnya yang buruk, melain
kan penampilannya yang manis dan wibawa. Ingat, Golkar pada
1998 dihujat, tetapi pada 2004 malah menjadi kampiun.
Untuk menguatkan tesis tersebut, coba kita lihat fenomena
Akademi Fantasi Indonsiar (AFI) yang sempat menghebohkan
dunia entertainment dan mampu menyedot jutaan pemirsa dari
berbagai kalangan. Fenomena yang disuguhkan AFI tidak hanya
fenomena budaya pop dan instan, melainkan menyuguhkan
cermin psikologi sosial masyarakat yang lebih melihat aspek isikalnya. Bagaimana Fery bisa mengalahkan Kia hanya karena
secara isik Fery lebih sempurna, meski suara Kia lebih bagus.
Karena itu, jangan heran, struktur psikologi sosial masya
rakat yang seperti itu juga berlaku ketika menentukan sikap pi
lihan politiknya. Akhirnya, sipilmiliter pun tidak banyak berpe
ngaruh. Masyarakat telah melampaui dikotomi sipilmiliter.
16
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
Kedua, antimiliterisme lebih didominasi nuansanuansa
politis. Sekalipun beberapa elemen gerakan benarbenar murni
menentang antimiliterisme karena trauma akan masa kelam
Orde Baru, upaya imagologisasi tersebut hanya mengendap
pada garis permainan politik tingkat elite semata. Karena itu,
jangan heran jika masyarakat awam pun tidak tahu apa mak
na militerisme dan kenapa harus ditentang. Tetapi, ada juga
gerakan antimiliterisme yang sengaja digerakkan capres dari
militer. Alhasil, yang dibaca masyarakat adalah gerakan itu me
rupakan gerakan politis dan gerakan bayaran. Alihalih meraih
simpati, justru cemoohan yang didapat.
Berdasar dua pandangan di atas, tampilnya dua pasangan
caprescawapres SBYJK dan MegawatiHasyim menarik untuk
dicermati. Dikatakan menarik bukan dikarenakan masing
masing pasangan tersebut sebagai representasi pertarungan
sipil dan militer pada tataran asumsi grass-roots.
Namun, kedua pasangan itu merupakan simbol pertarungan
dua wibawa/aura igur. Harus diakui, kemenangan SBY-JK dan
fenomena politik yang ditunjukkan Partai Demokrat saat pemilu
legislatif lalu tidak lepas dari sosok SBY. Demikian juga Megawati
telah terlepas dari aura Soekarno yang telah menjadi mitos bagi
masyarakat. Karena itu, jika manuver politik sentimen oposisi
biner sipilmiliter tetap dilemparkan saat pemilu putaran kedua,
menurut saya, tidak akan memengaruhi pemilih.
Apalagi, jika seandainya salah satu pasangan caprescawa
pres dari kalangan sipil yang tidak lolos putaran pertama lalu
menyatakan dukungannya kepada SBYJK, misalnya, dikotomi
sipilmiliter pun akan lenyap. Namun, semua prediksi itu di
tentukan di lapangan nanti. Sebab, jalan politik tersebut zigzag
dan tidak berdiri di atas logika matematispositivistik.
Meluruskan
Niat Berpolitik
(Jawa Pos, 12 April 2004)
S
uatu hal yang paling ditakuti dalam dunia politik adalah
keputusan yang cepat dan selalu berubahubah. Sekarang
mengatakan A, pada lain kesempatan bisa jadi terucap
lafal yang berbeda. Sekarang kawan, pada detik yang berbeda
bisa menjelma menjadi monster yang menyeramkan.
Perubahanperubahan itu berjalan di atas kepastian yang
zigzag, tanpa arah, dan susah terdeteksi, sehingga sering me
lenceng dari perhitungan awal. Kepentingan merupakan motor
penggerak di balik perubahan zigzag. Kawan hanya akan ter
jaga selama kepentingan terpelihara. Karena itu, di satu sisi, cu
kup sulit—untuk tidak mengatakannya mustahil—mencari kata
konsisten dalam politik. Akar kemustahilannya disebabkan poli
tik masih dimaknai sebagai entitas yang selalu berkait kelindan
dengan kekuasaan. Yakni, berpolitik untuk berkuasa.
18
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
Keberhasilan berpolitik ditentukan sejauh mana kita sukses
dalam membangun serta merebut kekuasaan. Hasilnya, komit
men menjadi monotafsir bagi elite, yakni komitmen menjaga
kepentingan masingmasing.
Pola kerja politik yang demikian itulah yang menjadi mindset eliteelite politik kita. Yakni, berpolitik untuk merebut dan
melanggengkan kekuasaan, tidak untuk kehidupan serta ke
sejahteraan rakyat. Tiga etape sejarah perpolitikan yang mengi
ringi bangsa ini seperti rezim Orde Lama, Orde Baru, dan kini
Orde Reformasi yang ditandai dengan kemenangan PDIP pada
1999 cukup menjadi contoh. Ketika kekuasaan, komitmen untuk
memperjuangkan harkat serta martabat bangsa tergadaikan
oleh komitmen melanggengkan kekuasaan, programprogram
negara diproyeksikan untuk mengemukakan golongan sendiri.
Menyimpangnya komitmen eliteelite politik sesungguhnya
berakar dari cara pandang dan motivasi elite terjun ke dunia
politik. Politik dilihat sebagai kapital yang bisa menguntungkan
kantong pribadi. Karena itu, banyak politikus yang berbondong
bondong menjadi caleg, sekalipun harus mengeluarkan uang
yang banyak dan ijazah palsu. Jangan heran jika mereka tak
segansegan membeli suara rakyat.
Contoh riil pada pemilu 5 April 2004, beberapa caleg dan
parpol menghargai Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu per kepala
yang menyemarakkan kampanye parpol. Bagaimana ketika pen
coblosan? Coba bayangkan, jika membutuhkan enam juta suara,
berapa uang yang harus keluar? Itulah cikal bakal prostitusi ke
kuasaan di negeri ini.
Dalam kerangka tersebut, membangun kekuatan yang ku
kuh pada basis sipil (civil society) kelas bawah nonbirokrat da
lam meluruskan niat serta komitmen para elite politik menjadi
hal penting. Masyarakat sipil bawah (rakyat) memiliki kekuatan
untuk mengontrol elite politik agar berjalan pada komitmen
MELU R U SK A N NIAT BERPoLITIK
19
serta niat berpolitik untuk kesejahteraan rakyat dan negara.
Dan, kekuatan tersebut hanya akan tercipta jika rakyat
menyatukan tekad bersama. Yakinlah, berpolitik untuk mengua
sai dan melanggengkan kekuasaan tidak akan pernah membawa
kebaikan bagi bangsa ini.
Bangsa yang sudah parah dan bobrok dalam segala lini ini
jangan diperparah oleh kegiatan politik yang melulu untuk ke
kuasaan dan menguasai, apalagi untuk mengeruk uang rakyat
serta menjual asetaset negara. Bangsa ini membutuhkan poli
tikus yang siap menjadi martir demi martabat serta kesejahte
raan rakyat, bangsa, dan negara.
Berpolitik untuk rakyat. Iktikad itu tidak membutuhkan se
buah retorika (apalagi janji), melainkan tindakan yang nyata.
Berpolitik untuk rakyat bukan sebuah gambaran politikus yang
selalu mengatasnamakan rakyat. Berpolitik untuk rakyat berarti
berpolitik untuk mengabdi kepada kepentingan, kesejahteraan,
dan kecerdasan bangsa.
Rakyat tidak dibodohi dengan janjijanji politik, apalagi
menyuguhkan pernyataan politik yang membingungkan rakyat.
Elite politik harus mengerti kondisi rakyat dan tidak menjadikan
mereka korban hasrat berkuasa.
Pada 10 April lalu, beberapa elite yang mengatasnamakan
aliansi 19 parpol menolak hasil Pemilu 2004, sekalipun hasil
pemilu belum dinyatakan inal. Berarti, 6 parpol lainnya menerima hasil pemilu. Pada saat bersamaan, Forum Rektor menilai
bahwa pemilu berjalan sukses dan berjalan transparan sesuai
UU Pemilu Nomor 12/2003. Terlepas benar atau tidaknya tin
dakan tersebut, bagaimanapun, pernyataanpernyataan itu ten
tu sangat membingungkan rakyat. Hanya satu pertanyaan yang
sanggup terlontar, masihkah para elite politik kita memiliki niat
dan komitmen menyejahterakan rakyat?
Memilih
untuk
Mengawasi
(Jawa Pos, 20 September 2004)
J
ika tiada aral membentang, hari ini, seluruh rakyat Indonesia
sedang memilih dan menentukan presiden mereka, yakni
pemilu presiden putaran kedua. Sebuah jalan pemilu yang
melelahkan setelah pemilu legislatif dan pilpres pertama dilalui.
Di sini, masa depan bangsa akan sangat ditentukan. Siapa yang
akan dipilih oleh rakyat Indonesia di antara dua kandidat yang
bertarung, MegaHasyim atau SBYJK. Karena itu, sudah se
harusnya, sikap pemilih tidak didasari emosional, apalagi ber
dasarkan imingiming uang/materi yang hanya nikmat sesaat.
Kendati demikian, satu hal yang perlu dicatat, pengawasan
atas presiden yang terpilih nanti jauh lebih penting daripada
partisipasi kita dalam memilih saat ini. Atau dengan kata lain,
pengawasan merupakan esensi sekaligus konsekuensi dari
sikap memilih kita. Entah, apakah yang kita pilih menang atau
kalah.
MEMI LI H U N TUK MENGAWASI
21
Hal itu berangkat atas beberapa hal. Pertama, presiden saat
ini dipilih secara langsung. Implikasi pemilihan presiden lang
sung adalah kekuasaan legitimasi rakyat. Kuatnya legitimasi
rakyat yang dimiliki presiden terpilih nanti tentu akan membuka
peluang lebar bagi presiden terpilih untuk menjadi percaya diri
sehingga bertindak sewenangwenang. Itu berbeda dengan pe
milihan sebelumnya, yang dipilih oleh segelintir orang di par
lemen.
Logikanya, presiden yang dipilih melalui sistem demokrasi
tak langsung (baca: perwakilan) oleh beberapa orang di parlemen
saja berani mengatasnamakan rakyat secara keseluruhan dan
bertindak sewenangwenang tanpa mendengar aspirasi rakyat
bawah, lantas bagaimana jika melalui pemilihan yang dipilih
langsung oleh rakyat?
Di sinilah proses pengawasan tersebut menjadi penting.
Karena itu, memilih bukan berarti lepas tanggung jawab atau
terhenti pada saat pencoblosan saja. Akan tetapi, memilih ber
arti juga mengemban amanah untuk meluruskan komitmen dan
janji presiden terpilih nanti.
Kedua, pengawasan terhadap presiden terpilih sangat pen
ting mengingat adanya reduksi fungsi kontrol lembaga yudika
tif, yang semula sebagai lembaga tertinggi negara yang bisa me
lakukan kontrol kuat terhadap lembaga eksekutif, kini hampir
setara dengan lembaga tinggi lain (baca: eksekutif/legislatif).
Longgarnya mekanisme legalformal itu tentu akan semakin
membuka keran kesewenangwenangan presiden terpilih. Per
ubahan ketatanegaraan kita, jika tidak diantisipasi oleh gerakan
masyarakat sadar di luar struktur dalam mengontrol gerak lang
kah eksekutif (baca: presiden terpilih) ke depan, akan sangat
berbahaya dalam membangun kesewenangan presiden.
Karena itu, pengawasan adalah tindakan yang harus kita
ambil setelah presiden terpilih melalui pemilu saat ini. Peng
22
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
awasan tersebut menjadi penting tidak hanya sebagai kontrol
atas kecenderungan kesewenangan karena kuatnya legitimasi
rakyat, melainkan juga sebagai bentuk monitoring dan pressure
terhadap presiden terpilih dalam menjalankan amanah kepre
sidenannya.
Tindakan monitoring tersebut tentu harus diambil alih oleh
tekanan massa di luar struktur parlemen. Sebab, entitasentitas
gerakan itulah yang masih steril dari kepentingan pragmatisme
politik sesaat.
Mengandalkan suatu oposisi strukturalparlemen yang
kuat sangat tidak memungkinkan dilakukan saat ini. Alihalih
memimpikan oposisi strukturalparlemen yang kuat, legislatif
justru melakukan konspirasi terselubung dengan eksekutif.
Karena itulah, satusatunya gerakan yang bisa diandalkan
dalam mengontrol presiden terpilih nanti adalah kekuatan
gerakan basis civil society (ekstraparlementer) seperti OKP,
ornop, ormas, dan organisasiorganisasi nonparlementer lain.
Karena itu, tampilnya dua kandidat pasangan capres putaran
kedua saat ini tentu sangat memudahkan kita dalam mengingat
janjijanji mereka. Sebab, salah satu di antara pasangan SBYJK
dan MegaHasyim pasti akan menjadi presiden dan wakil presi
den Indonesia untuk lima tahun ke depan.
Meski demikian, melakukan kontrol dan tekanan keras ke
pada presiden terpilih agar tetap berkomitmen pada amanah ke
rakyatan bukanlah kerja yang gampang dan ringan. Efektivitas
kontrol akan bergantung pada masivikasi dan konsolidasi gerak
an antarelemen civil society yang intensif. Tanpa itu, realisasi
sistem kontrol menjadi utopis untuk dipetik hasilnya.
Dengan demikian, pengawasan mutlak harus kita lakukan
terhadap presiden terpilih nanti. Yakni, mengawasi komitmen
kerakyatan dan janjijanji yang dilontarkan mereka saat kampa
nye lalu. Bagaimanapun, watak dasar kekuasaan/birokrasi cen
MEMI LI H U N TUK MENGAWASI
23
derung sewenangwenang, sedangkan sangat mengharapkan
kerja kontrol hukum formal pun masih belum bisa dipercaya
untuk saat ini.
Maka itu, memilih untuk mengawasi berarti seluruh elemen
masyarakat (baik yang memilih ataupun golput) mutlak wajib
mengawasi presiden terpilih nanti. Hal itu dilakukan sebagai
langkah untuk mengontrol komitmen dan janjijanji mereka.
Menjaga
Sportivitas
dalam Pilpres
(Jawa Pos, 3 Juli 2004)
J
ika tidak ada halangan, lusa nanti (Senin, 5 Juli 2004) Ne
gara Republik Indonesia akan melaksanakan pemilihan
presiden (Pilpres) putaran pertama yang paling monu
mental dalam sejarah. Pasalnya, pemilu presiden kali ini me
rupakan kali pertama diterapkan dalam putaran sejarah per
politikan Indonesia dengan memilih presiden secara langsung
oleh rakyat. Melalui mekanisme pemilihan langsung, diharap
kan rakyat dapat menentukan pimpinannya sendiri, tidak di
tentukan segelintir orang di Senayan lagi.
Meski demikian, yang perlu dicatat, jalan politik itu tidak
monolit, melainkan liar serta penuh trik dan intrik. Jalan politik
sangat terjal dan tidak dapat diprediksi ke arah mana ia akan
melangkah. Karena itu, elite tak jarang bermain politik yang di
artikan sebagai bentuk ikhtiar untuk menampilkan kebohongan,
asal bisa menjadi kampiun. Pada tataran ini, bukan hanya peng
MEN J A G A SPoR TI v I TA S DALAM PILPRES
25
awasan yang dibutuhkan saat pemilihan nanti, melainkan ke
arifan para caprescawapres peserta pemilu untuk memilih cara
berpolitik yang sportif dan dewasa.
Pemilu legislatif 5 April 2004 lalu menjadi pelajaran kita
bersama. Saat itu, parpol peserta pemilu sudah tidak lagi meng
indahkan caracara berpolitik sebagaimana ikatan kontrak yang
telah disepakati bersama. Karena itu, jangan heran, pada pe
milu legislatif lalu banyak pelanggaran. Hal itu juga berkaitan
dengan riskannya bahaya kecurangan pada saat penghitungan
suara yang kurang diantisipasi kita bersama.
Yang sangat disayangkan, pelanggaran pemilu legislatif lalu
disebabkan kurangnya ketegasan pihak pengawas pemilu dalam
menegur dan menindak para pelanggar, terutama pada saat
pencoblosan. Kecurangan hanya menjadi catatan di atas kertas,
tetapi dalam realitas tidak ada tindakan tegas. Kenyataan ter
sebut menumbuhkan semangat binal dan bengal dari parpol
untuk tidak mengindahkan segala bentuk sportivitas dalam
berpolitik.
Fenomena di atas tidak menutup kemungkinan akan ter
ulang pada saat pencoblosan pemilu presiden putaran pertama
nanti. Itulah yang harus diantisipasi. Jika tidak, sangat mungkin
putaran kedua—jika tidak ada yang memenuhi kuota suara di
atas 50 persen lebih satu—akan menemukan banyak hambatan.
Karena itu, tindakan tegas dari pihak pengawas terhadap segala
bentuk pelanggaran saat pemilihan nanti sangat dibutuhkan.
Memang, harus diakui, puncak dari usaha promosi capres
cawapres untuk menarik simpati rakyat adalah pada saat
pencoblosan. Segala bentuk usaha melelahkan yang telah dila
kukan dua bulan penuh dengan menghabiskan uang yang tidak
sedikit, hasilnya akan ditentukan dalam beberapa jam saja.
Karena melihat elan vital hari H pencoblosan tersebut, sa
ngat dibutuhkan keseriusan seluruh elemen masyarakat, baik
26
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
masyarakat umum maupun Panwaslu untuk lebih fokus pada
pengawasan saat pencoblosan hingga penghitungan suara nanti.
Jika hal itu tidak diantisipasi, sangat dimungkinkan kecurangan
sulit untuk dihindari. Sebab, bagaimanapun juga, caprescawa
pres, pendukung, dan tim suksesnya pasti ingin menang agar
segala usahanya yang memakan biaya besar tidak siasia begitu
saja.
Selain itu, satu hal yang harus ditinggalkan dan diantisipasi
adalah tindakan intimidasi yang sering dilakukan masing
masing peserta pemilu. Itu juga berkaitan dengan pengalaman
pemilu legislatif lalu. Parpol peserta pemilu melancarkan inti
midasi terhadap pendukung rivalnya, baik dengan cara inti
midasi represif maupun intimidasi persuasif. Intimidasi per
suasif sering dilakukan, seperti melancarkan serangan fajar
seraya memberi imingiming uang kepada pemilih. Demikian
juga sebagaimana pengalaman sebelumnya, intimidasi represif,
misalnya mengancam pemilih saat mencoblos.
Apa pun itu, kecurangan tetaplah kecurangan. Sekalipun
politik yang sering diterjemahkan elite politik kita tidak menge
nal kata kecurangan, nurani tidak dapat dibohongi. Karena itu,
sudah seharusnya seluruh caprescawapres, elite politik serta
para pendukungnya tetap berjalan di atas logika politik yang
sehat.
Menjaga agar pemilihan presiden nanti tetap berjalan lancar
merupakan harapan kita bersama. Maka itu, penandatanganan
“siap kalah siap menang” oleh masingmasing caprescawapres
harus dibuktikan dengan cara menjaga sportivitas.
Mungkinkah
Menindak
Pencuri Start?
(Jawa Pos, 11 September 2003)
B
ukan politik namanya jika tidak ada trik dan manuver
manuver yang licin dan penuh muslihat. Kecurangan
hampir dan pasti akan ada dalam politik. Maka janganlah
heran, jauh sebelum jadwal resmi kampanye dilaksanakan, su
dah banyak yang mengorupsi waktu berkampanye. Beragam
dalih kita dengar, mulai sosialisasi calon presiden hingga ke
giatan silaturrahmi dengan kader. Ironisnya, itu dilakukan sa
ngat mencolok, sehingga terkesan terlalu rendah untuk dikata
kan sebagai sosialisasi.
Karena itu, KPU boleh saja menetapkan berlangsungnya
pelaksanaan kampanye pemilu secara resmi tahun depan, tetapi
hirukpikuk dan haru biru kampanye tetap tak berbendung.
Bahkan, sebagian besar peserta pemilu telah melakukan
kampanye walaupun dengan cara sembunyi dan samar. Di jalan
jalan sudah banyak terpampang atributatribut partai. Padahal,
28
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
itu bertentangan dengan UU No. 23/2003 Bab VIII Pasal 71
ayat (3) mengenai jadwal kampanye dan pantas diberi ganjaran
hukuman sebagaimana tertuang dalam Bab XV Pasal 137.
Banyak hal yang melatari merebaknya pencurian start kam
panye oleh sejumlah partai, terutama partaipartai besar. Seba
gaimana pun, waktu tiga minggu yang telah ditentukan tetap
akan dipandang belum cukup untuk bisa menarik perhatian
masyarakat. Apalagi saat rival politik yang lain bermunculan
dengan posisi siap tarung. Hal itu jelas berbeda jika upaya pe
narikan simpatik rakyat dilakukan jauh sebelum yang telah
ditentukan dengan rentang relatif lama. Tentu, bentuk pende
katan dalam jenis ini lebih halus, samar, dan persuasif.
Strategi pencurian start dengan pembalutan terselubung
dalam berbagai macam kegiatan akan lebih menguntungkan
partai, terutama yang kuat basis inansialnya. Kegiatan dikemas
dalam simbolsimbol partai, pencurian start kampanye dengan
melakukan kegiatankegiatan akbar yang bisa mengundang
perhatian khalayak. Dengan begitu, wajar potensi besar pen
curian start kampanye dimiliki partaipartai besar yang memiliki
banyak uang, sehingga kegiatankegiatan yang mereka kemas
sangat meriah dan diadakan di tempattempat mencolok.
Selain itu, indikasi utama yang bisa kita jadikan faktor tin
dakan pencurian start kampanye adalah tiadanya penjelasan
konkret, deinitif, dan kategori mengenai apa yang dimaksud
dengan kampanye. UU Pemilu No. 23/2003 tidak memberikan
secara jelas deinisi kampanye. Ketiadaan penjelasan itu menjadi peluang tersendiri bagi partai untuk bebas menafsirkan
kampanye sesuai kehendak.
Pasal 27 hanya menyatakan, kampanye pemilu dilakukan
melalui: pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui
media cetak dan media elektronik atau televisi, penyebaran ba
han kampanye kepada umum, rapat umum, dan kegiatan lain
MU N G K I N K A H MEN I N D A K P ENCURI START?
29
yang tidak melanggar peraturan perundangan. Pasat tersebut
sesungguhnya bukan merupakan penjelasan bentuk yang dapat
dikategorikan sebagai kampanye, sebagaimana yang dimaksud
oleh Sofyan di harian ini (Jawa Pos,8/9), melainkan penjelasan
terhadap bentuk sarana penyampaian yang dapat dilakukan
dalam berkampanye. Partai akan persis seperti iklan/reklame
reklame produk di mediamedia cetak maupun elektronik.
Atas ketiadaan itu, Panwaslu tentu akan sulit menentukan
apakah suatu tindakan yang dilakukan partai merupakan ben
tuk pencurian start kampanye atau bukan. Sangat susah menga
tegorikan apakah demonstrasi atau kegiatankegiatan yang
membawa atribut partai politik masuk dalam bentuk pencurian
kampanye atau tidak. Padahal, hal tersebut bisa saja dikatego
rikan sebagai kampanye walaupun diformat secara terselubung.
Sebab, kegiatan itu dijadikan alat propaganda untuk memopu
lerkan partai. Di situlah kelemahan UU Pemilu.
Otomatis, ekses lain yang dapat timbul oleh problem di atas
adalah mekanisme penjatuhan sanksi terhadap pelanggar/pen
curi start kampanye tidak bisa dijalankan pada Pasal 137 ter
hadap pihak pelanggar jadwal kampanye dengan sekurangku
rangnya 15 hari dan paling lama selama tiga bulan atau denda
paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 1 juta. Sebab,
para pelanggar kampanye tidak dapat diidentiikasi.
Tambahan pula, hingga saat ini, KPU belum mengumumkan
siapa saja partaipartai politik yang telah legal menjadi peserta
pemilu. Bagaimana bisa menindak sementara status kepesertaan
partai saja masih belum diumumkan dan ditentukan. Padahal,
objek atruan dalam undangundang pemilu atas pelanggar ke
tentuan jadwal kampanye di atas adalah partaipartai yang di
nyatakan sebagai peserta pemilu.
Atas pertimbangan itulah, merumuskan ketegori deinitif
kampanye secara jelas perlu dilakukan. Dengan begitu, partai
30
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
partai yang mencuri start kampanye bisa secepatnya ditindak
secara tegas. UU Pemilu juga menjadi tidak terkesan setengah
hati. Panwaslu pun bisa mengoptimalkan peranannya sebagai
pengawas pemilu. Tanpa upaya ini, tidak mungkin bagi kita me
nindak orang atau partaipartai yang melanggar jadwal kam
panye pemilu yang sudah ditetapkan.
Police of
Democracy
Party
(Jawa Pos, 3 Juli 2003)
R
agu. Itulah kesan pertama yang saya tangkap dari tulisan
Donald Banjarnahor berjudul “Awasilah Diri Sendiri
Dulu”, pada rubrik ini kemarin (Jawa Pos, 1/7). Ada ke
san ragu terhadap kinerja Panwaslu dalam memaksimalkan pe
rannya sebagai pengawas pemilu yang jurdil.
Atas keraguan itu, Donald memberikan solusi alternatif
agar Panwaslu lebih fokus pada penguatan idealisme internal
mereka. Tujuannya, lembaga tersebut bisa menjalankan tugas
nya sesuai amanat yang diemban. Sekalipun begitu, ada bebe
rapa hal yang luput dari pemikiran Saudara Ronald yang akan
kita diskusikan bersama.
Politik dengan politriknya tidak akan pernah menggu
nakan strategi garis lurus (monolit) dalam berpolitik. Ia akan
menggunakan trik apa pun demi ketercapaian politiknya. Bah
kan, para Machiavellian menganggap bahwa bagaimanapun dan
32
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
apa pun bentuk penyimpangan manuver politik dalam kaca mata
moral, pada ranah politik ia tetap dikatakan sebagai yang etis.
Dalam langgam gerak politik yang demikian itulah, keada
an panitia pengawas pemilu (Panwaslu) menjadi sangat dibu
tuhkan sebagai keniscayaan untuk mengontrol kelancaran pesta
demokrasi pada pemilu mendatang. Karena itu, secara moral,
tugas Panwaslu lebih berat dibandingkan Komite Pemilihan
Umum (KPU) yang banyak mengurus masalah teknis. Keber
sihan pada seluruh tahapan pemilu dari kecurangan merupakan
tanggung jawab penuh Panwaslu.
Walau demikian, Panwaslu tidak hanya semata berpangku
tangan, menunggu, dan mengkaji laporan peserta/pengawas
pemilu mengenai adanya pelanggaran perundangundangan pe
milu. Pengawas ditantang untuk berperan aktif sebagai wasit yang
siap meniup peluit jika terjadi kecurangan. Dengan demikian,
menciptakan keadilan politik menjadi tugas utama Panwaslu.
Tugas Panwaslu tersebut tentu harus dilakukan konsisten,
tegas, dan penuh tanggug jawab. Tanpa komitmen ini, fungsi
Panwaslu sebagai pengontrol dan pengawas tidak akan berja
lan maksimal. Konsistensi itu dibutuhkan elan vital fungsi
Panwaslu, yang tertutup kemungkinan akan menjadi fokus
perhatian parpol untuk membayangbayangi dengan money
politics, seperti ketakutan Donald.
Kecuali itu, Panwaslu (pusat) juga harus mampu melakukan
konsolidasi dan komunikasi secara intensif dengan Panwaslu di
provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Upaya konsolidasi
dan komunikasi dari jajaran Panwaslu (pusat) ke bawah akan
sangat mendukung kelancaran Panwaslu sendiri dalam meme
rankan tugasnya.
Namun permasalahannya, Panwaslu belum mengerti secara
jelas terhadap job description dan wilayah wewenangannya.
Setidaknya, ini terlihat dari pengakuan salah seorang anggota
PoLI C E oF D EMoCRACy PARTy
33
yang tidak mengakui kejelasan fokus kerja Panwaslu itu sendiri
(Jawa pos, 28/6). Sebab, garis kewenangan Panwaslu masih
sangat umum (lihat jika ada perubahan bab dan pasal Bab XIV
Pasal 122 (1) UU Pemilu, Wewenang Panwaslu).
Karena itu, sangat beralasan jika Donald ragu terhadap
efektivitas Panwaslu dalam mengontrol proses Pemilu 2004.
Apalagi jika memperhatikan di antara lima undangundang
yang seharusnya menaungi proses pemilu mendatang, ternyata
yang telah diputuskan pemerintah (Keppres) menjadi undang
undang hanya UU Pemilu dan UU Parpol. Sementara itu, UU
Mahkamah Konstitusi (MK), UU Pemilihan Presiden (Pilpres),
serta UU Susunan dan Kedudukan (Susduk) belum terselesaikan
hingga kini. Hal itu jelas sangat memengaruhi kinerja Panwaslu
ke depan.
Karena itu, sebelum mengutarakan fokus pengawasan
Panwaslu, terlebih dahulu harus ada ikhtiar dan tindakan se
rius dari Panwaslu sendiri untuk mengupayakan kejelasan
garis wewenangnya. Tidak mungkin Panwaslu akan bisa men
jalankan fungsinya secara penuh sebagai pengawas, tanpa me
miliki pijakan dan landasan hukum yang jelas. Jika ini tidak
diantisipasi sejak dini, upaya Panwaslu untuk menindak tegas
parpol yang curang akan mudah dimentahkan. KPU juga berke
wajiban mempertegas daerah wewenang Panwaslu yang berada
di bawah tanggung jawabnya.
titik Fokus
Sesungguhnya, tugas Panwaslu di atas tidaklah gampang dilak
sanakan. Dengan demikian, selain melakukan pengupayaan
penguatan idealisme internal Panwaslu agar tidak mudah
terampas badai politik kotor (money politics) sebagaimana ga
gasan Donald, seyogianya juga Panwaslu mengupayakan peng
awasannya hanya pada beberapa titik strategis.
34
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
Pertama, saat pencoblosan dan penghitungan suara, karena
kecurangan banyak terjadi di sana. Selain itu, upaya tersebut
untuk menghindari terjadinya pemungutan dan penghitungan
suara ulang, yang lebih besar lagi.
Kedua, menekan dan menindak tegas parpol yang terbukti
melakukan politik uang hingga titik minimum. Pada wilayah
ini, semoga Panwaslu bisa mengikuti suara nuraninya dalam
menumpas budaya politik kotor (baca: money politics) itu
dan tidak tergoda olehnya. Jika tidak, berarti Panwaslu meng
alami lonceng kematian nurani dan demokrasi (demise of
democracy).
Sebagai polisi pada pesta demokrasi, menjadi sangat hina
dinalah jika Panwaslu kemudian bisu dalam mengungkap segala
kecurangan pada pemilu nanti. Apalagi jika terlibat di dalam
nya. Namun, benar dan tidaknya keraguan itu akan dijawab
oleh kinerja Panwaslu pada Pemilu 2004.
Tak Berdaya
Kok Pakai
Uang?
(Jawa Pos, 14 Juni 2003)
P
emilu 2004 bakal menjadi ajang paling panas dalam
sejarah pemilu di Indonesia. Performansi pemilu dengan
mekanisme pemilihan presiden secara langsung oleh rak
yat bukan disebabkan hal itu baru kali pertama dilakukan dalam
sejarah Indonesia. Tapi, mekanisme tersebut sangat aspiratif
dan demokratis. Walau begitu, ia sangat rentan terjangkit oleh
trik/manuver politik yang tidak sehat seperti money politics.
Jika pada Pemilu 1999 praktik money politics begitu mewa
bah, pada Pemilu 2004, yang direbut tidak semata kursi legis
latif, melainkan juga kursi eksekutif. Dengan demikian, kom
petisi pemilu mendatang akan sangat panas dan rawan terjadi
kecurangan.
Pada dasarnya, money politics merupakan indikasi dari ke
tidakberdayaan parpol untuk bersaing secara fair dengan parpol
lain dalam berpolitik. Ironisnya, money politics sering dilakukan
36
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
oleh parpol besar yang memiliki basis massa cukup banyak. Hal
itu berarti praktik money politics tidak hanya disebabkan oleh
ketidakberdayaan dan kurangnya self conidence parpol. Tapi,
money politics juga dilakukan karena adanya semacam pe
nyakit paranoid yang menghinggapi parpolparpol itu sendiri.
Mereka takut ditinggalkan massanya, lebihlebih jika agenda
kebangsaan dan kerakyatan belum/tidak terselesaikan pada
saat mereka berkuasa.
Dari aspek apa pun, baik politik, budaya, maupun hukum,
money politics merupakan tindakan yang tidak akan pernah
wajar. Sebab, ia cacat moral. Hanya mereka yang berduit ba
nyaklah yang akan memenangkan kompetisi semacam itu.
Sehingga, parpolparpol miskin akan tetap abadi dalam keke
cilan serta kelemahannya. Selain itu, money politics menem
patkan manusia lebih rendah daripada materi. Nilai esensial
dan eksistensial manusia untuk bersuara dan memilih sesuai
nuraninya secara bebas ditukar dengan uang atau materi.
Sesungguhnya, orang yang menerima money politics sama
rendahnya dengan orang yang memberi. Si pemberi memper
budak dirinya terhadap uang dan kekuasaan. Sebaliknya, sang
penerima lebih rela menjual nilai esensi dan eksistensinya demi
seonggok materi daripada harus memperjuangkan eksistensi
dirinya sebagai manusia yang bernurani.
Politik uang tumbuh subur dalam dunia politik karena ia
dipandang cukup/sangat efektif untuk memengaruhi masya
rakat, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Karena itu, salah satu sasaran utama dalam strategi money
politics adalah kalangan bawah yang berekonomi lemah.
Pada masa rezim Orde Baru, money politics juga banyak
mengincar kantongkantong yang memiliki kekuatan strategis.
Misalnya, media massa, institusi keagamaan, fungsionaris aga
ma, atau elemenelemen gerakan ekstraparlementer/organisasi
TA K B ER D A y A K o K PAKAI UANG?
37
kepemudaan (OKP). Sehingga, pada saat itulah masingmasing
idealisme mereka, baik mahasiswa, jurnalis, maupun para ula
ma, dipertaruhkan. Mereka harus mengambil satu di antara dua
pilihan. Yakni, setia pada ibu pertiwi dan nurani atau memper
budak materi.
Perilaku politik uang merupakan fenomena yang menggam
barkan bahwa kekuasaan bagi para politikus negeri ini tidak di
pandang sebagai amanat/titipan rakyat. Tapi, hal itu dipandang
sebagai kapital yang bisa menguntungkan kantongkantong go
longan/pribadi. Budaya tersebut menumbuhsuburkan praktik
money politics dan KKN di negeri ini. Sebab, yang digunakan
untuk mencari dukungan akan didapatkan kembali setelah
memperoleh kekuasaan. Karena itu, sesungguhnya, money
politics lebih menakutkan daripada praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
gerakan Preventif
Untuk mencegah terjadinya atau merebaknya perilaku politik
uang, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, op
timalisasi fungsi panitia pengawas pemilihan umum (Panwaslu)
sebagai badan pengontrol kelancaran proses pemilihan umum
secara demokratis, adil, dan bijaksana. Panwaslu harus berani
menindas tegas terhadap partaipartai politik yang terbukti
melakukan money politics. Sebab, dilihat dari sudut pandang
mana pun, money politics itu cacat moral, hukum, budaya, dan
politik.
Kedua, untuk mencegah kebisuan dalam mengungkap kecu
rangan berpolitik dan mencegah kemungkinan mewabahnya
money politics di tingkat Panwaslu, elemen ekstraparlementer,
terutama gerakangerakan mahasiswa, dipandang perlu (bah
kan harus) membentuk panitia khusus untuk memantau proses
yang independen.
38
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
Ketiga, dibutuhkan partisipasi aktif seluruh elemen masya
rakat seperti institusi keagamaan, agamawan, dan media massa.
Sebab, dalam sejarah perpolitikan, tiga elemen itulah yang se
ring menjadi sasaran utama money politics. Hal itu didorong
oleh efektivitas ketiga elemen tersebut dalam menciptakan citra
baik dan buruk di hadapan masyarakat.
Keempat, melakukan strategi gerakan bawah tanah dengan
menggunakan gerakan penyadaran dan pendidikan berpolitik
kepada masyarakat bawah agar mereka tidak terjebak bayang
bayang gairah politik uang.
Apa pun upaya kita untuk mencegah praktik money politics,
hal itu tidak akan pernah berhasil jika dikembalikan kepada
masingmasing nurani si pelaku dan si penerima. Hanya kekuat
an bahasa nuranilah yang bisa meluluhkan praktik tersebut.
Kontrak
Politik Bukan
Segalanya
(Jawa Pos, 7 September 2004)
T
ulisan Ikhsan Putra Kurniawan di harian ini kemarin yang
bertajuk “Kontrak Politik Wajib Hukumnya” menggelitik
penulis untuk turut menyumbangkan gagasan. Ikhsan
menggambarkan sedikit keironisan kontrak politik dengan
dewan yang hanya terhenti pada kontrak di atas meja, namun
nyatanya di lapangan dewan tetap saja mengelabui rakyat dan
mengkhianati kontrak itu.
Sayangnya, Ikhsan tidak mengulas lebih jauh mengapa
hal tersebut terjadi, padahal bagi Ikhsan kontrak politik wajib
hukumnya. Poin itulah yang akan didiskusikan penulis pada ke
sempatan ini.
Watak dasar yang dimunculkan dalam diri para pemegang
kekuasaan (baca: jabatan birokrasistruktural) adalah selalu
menyandarkan diri pada gerak arogansi, tanpa kontrol, dan
sewenangwenang. Apalagi, jika kerja kontrol hukum tidak kuat
dan mudah dimanipulasi, hal itu semakin membuat geliat pe
40
HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A
megang kekuasaan tersebut semakin liar dan sa-enak’e dewe.
Di sinilah kontrak politik antara para pemegang kekuasaan
dengan masyarakat di luar struktur (baca: civil society/OKP/
ornop) penting dilakukan.
Ada beberapa alasan yang melandasi hal tersebut. Pertama,
kontrak politik menjadi penting sebagai langkah untuk meng
imbangi kelemahan sektor hukum dalam menindak para dewan
yang bermasalah. Sistem kontrol di luar struktur itu pun oto
matis akan menjadi kontrol atas hukum yang tidak tegak secara
utuh di negeri ini.
Kedua, kontrak politik sebagai alat legitimasi agar rakyat
lebih leluasa menagih janjijanji yang pernah dilontarkan (de
wan). Dengan demikian, rakyat pun secara hukum menjadi le
gal untuk menuntut ketika janji mereka tidak dipenuhi. Ketiga,
kontrak politik sebagai bentuk penegasan dan upaya penyadaran
bahwa dewan adalah kurir/babu rakyat, bukan sebaliknya.
Karena itulah, momen pelantikan yang diambil beberapa
gerakan ekstraparlementer untuk meminta DPR melakukan
kontrak politik merupakan langkah yang bagus untuk meng
awali proses kerja anggota dewan baru untuk lima tahun ke
depan. Pengambilan kontrak politik pada momen itu sangat
berbeda dengan pengambilan kontrak politik pada saat sebelum
pencoblosan.
Bisa saja, kontrak politik sebelum kampanye dilakukan ka
rena untuk menarik simpati dan empati rakyat guna mendong
krak perolehan suara pada saat pemilihan. Sekalipun demikian,
hal yang perlu dipertegas kembali adalah jika kekuasaan itu cen
derung liar dan lepas kontrol, mekanisme kontrak pun bukanlah
segalanya, untuk menjamin para dewan akan menjalani begitu
saja kontrak yang telah terjalin itu. Alihalih akan menjalankan
kontrak politik yang telah disepakati, Pancasila dan UUD 1945—
yang merupakan hukum tertinggi di negeri ini dan menjadi
K oN TR A K PoLI TI K B U KAN SEGALANyA
41
kontrak antara negara dengan seluruh rakyat Indonesia—justru
berani dilanggar. Apalagi, kontrak politik yang hanya dilakukan
dengan segelintir kelompok rakyat sadar (OKP/ornop).
Kesalahan terbesar kontrak politik yang digagas para aktivis
gerakan adalah sering menganggap kontrak politik sebagai akhir
dari perjuangan. Kita sering puas dan merasa menang ketika
dewan bersedia kita paksa menandatangani draf kontrak politik
yang kita ajukan. Padahal, yang terpenting dari kontrak politik
bukan tanda tangan di kertas perjanjian bermaterai itu, melain
kan pada proses monitoring dan upaya pressure yang intensif
dari aktivis gerakan terhadap anggota dewan untuk menjalan
kan kontrak yang telah ditandatangani itu.
Jangan bermimpi tuntutan kontrak politik menjadi nyata
jika tidak ada gerakan pascakontrak politik. Itulah jawaban atas
keresahan Ikhsan mengapa kontrak politik tidak pernah di
realisasikan dewan. Jika mau jujur, kelemahan gerakan maha
siswa pasca1998 adalah karena tiadanya proses pengawalan
dan kontinuitas monitoring yang intensif dari gerakangerakan
ekstraparlementer terhadap kontrak politik yang sudah digagas.
Walhasil, reformasi tanpa memedulikan keberhasilan sektor
lain justru menggiring lembaga legislatif membangun tirani
baru (baca: oligarki partai), sehingga mereka lebih leluasa me
rampas hakhak rakyat.
Sebab itu, menurut saya, gerakan ekstraparlementer harus
lebih memfokuskan pada proses pemantauan terhadap kontrak
politik yang sudah dilakukan, minimal untuk skala gerakan tiga
tahun ke depan. Dengan begitu, gerakan pemuda ekstraparle
menter tak lagi menyelesaikan masalah secara temporal dan
sporadis, sehingga kesalahankesalahan yang lalu tidak terulang
kembali. Bagaimanapun, perubahan tidak mungkin bisa datang
dari demonstrasi semata, apalagi jika dilakukan hanya saat mo
mentum tertentu.
BAGIAN II
PEMUDA
ANTARA GERAKAN
DAN PoLITIK
Gerakan
yang Tersadap
(Ditulis pada 20 Mei 2009)
P
ada 21 Mei kurang lebih satu dasawarsa yang lalu, gegap
gempita jutaan pemuda turun ke jalan menyambut satu
fase baru kehidupan demokrasi di Indonesia. Yakni, ta
tanan yang diharapkan tidak hanya memberikan kebebasan,
tetapi juga kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat
Indonesia. Orde people power. Fase itu dibayar dengan nyawa,
darah, dan perjuangan pemikiran kelas muda terdidik dengan
menyuarakan reformasi untuk berdiri tegak menumbangkan
era terkatup, otoriter, dan hegemonik.
Babak baru tersebut kini tengah berlangsung. Berbagai per
ubahan mendasar telah terjadi. Kebebasan bersuara tidak lagi
terbungkam. Civil society tidak lagi berada dalam genggaman
kuat negara, melainkan menemukan tempat yang disebut oleh
Jurgen Habermas (1962) sebagai public sphere. Kehidupan de
mokrasi mulai menjalar ke segala aspek ruang sosialpolitik,
dari organisasi di tingkat RT hingga ruang kultural lainnya.
46
P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K
Dalam kecenderungan demikian, menutup public sphere
berarti melawan arus mainstream yang pada akhirnya akan
mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Karenanya, kebebas
an berpendapat bukan hasil jerih payah pemerintah atau rezim
penguasa pascaOrde Baru, melainkan hasil keinginan publik
untuk menciptakan public sphere di mana jika penguasa menen
tangnya akan bernasib tragis seperti Soeharto. Maka, mau tidak
mau, negara/penguasa “terpaksa” untuk menjaga public sphere
tetap terbuka.
Dus, reformasi harus diakui telah membuka ruang kebe
basan berpendapat dan nalar kritis. Banyak yang mencibir jika
reformasi telah gagal dalam menghantarkan perubahan karena
nyawa dan jerih perjuangan para mahasiswa yang mendesak
reformasi telah dibajak oleh kelas elite politik. Tapi, nada itu
bukan lantas menjadi dalih romantisme untuk kembali ke masa
lampau. Pada level tertentu, reformasi telah berhasil membuka
ruang kebebasan di mana negara tidak ditempatkan sebagai
aktor tunggal pemasok kebenaran.
Runtuhnya poros kekuasaan tunggal dan otoriter negara,
gerak elemenelemen civil society mengalami perubahan konigurasi dan orientasi. Perubahan ketatanegaraan dan wajah ne
gara (baca: Pemilu/Pilkada) buah hasil perjuangannya gagal
diantisipasi. Kelompokkelompok sosial tersebut yang mulanya
menjadi “penyambung lidah” masyarakat bergerak menjadi ba
gian dari kelompok yang menopang dan menjadi elite yang di
kontrol secara halus oleh buaian politik dan kekuasaan. Civil
society justru tercerabut dari societynya sendiri seperti gerakan
mahasiswa terlepas dari citra agen sosialnya.
Akhirnya, reformasi yang didorong berubah menjadi ma
ta badik yang membunuh. Para aktor dan elite tinggi di dalam
civil society seperti organisasi mahasiswa, buruh, tani, dan
berbagai elemen lainnya mulai mendistribusikan diri bukan
G ER A K A N yANG TERSADAP
47
sebagai penyeimbang kekuatan penguasa, tetapi beralih orien
tasi untuk menjadi bagian dari perebutan kekuasaan. Hal nyata
yang tampak adalah banyak dari mereka yang terlibat secara
langsung dalam suksesisuksesi politik, baik di tingkat lokal
hingga nasional, ending goalnya bukan didasarkan oleh nilai.
Demonstrasi terjebak ke dalam logika proyek yang hanya dige
rakkan oleh seonggok kapital/uang/kekuasaan. Gerakan pun
tersadap, senyap dan lenyap.
Laju demokrasi yang terus menanjak yang meletakkan sua
ra rakyat sebagai penentu (vox populi vox die) seharusnya men
jadi sarana untuk menggelontorkan penguatan peran politik
masyarakat bawah.
Sayangnya, alihalih bergerak demikian, justru peran social
agent tersebut tereduksi oleh gerakan yang berorientasi kekuasaan.
Menyuarakan isu tertentu hanya untuk menguntungkan kepen
tingan politik elite yang mereka dukung. Inilah mata badik
yang mematikan gerakan civil society, tapi alpa diantisipasi.
Kegalauan di atas kemudian diperparah oleh ketidakberlanjutan
gagasan dan ketidakberlangsungan ide/nilai yang dijadikan pe
gangan. Selama satu dasawarsa reformasi berembus, estafet ga
gasan terputus dari satu generasi ke generasi lainnya. Gagasan
menyeluruh tentang konsep, arah, dan langkah antisipasi struk
tur sosial, budaya, dan implikasi politik setelah reformasi yang
belum tuntas itu pun hilang sebelum berkembang.
merebut momentum
Karena itu, tahun 2009 ini harus dijadikan momentum bagi se
luruh elemen civil society untuk merekonsolidasi diri menyusun
langkah ke depan dalam menjawab perubahan konigurasi politik nasional. Sistem demokrasi yang memberikan ruang keter
bukaan bagi rakyat untuk menentukan pilihan mereka sendiri
sesungguhnya menjadi momentum untuk lebih mempertegas
48
P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K
diri sebagai elemen “penyambung lidah” masyarakat. Orientasi
kekuasaan, yang seolah memerankan diri laiknya partai politik,
harus dikikis jika nilai etis tidak dinihilkan.
Krisis ekonomi global terhebat pascakrisis 1930an saat ini
yang melanda dunia akibat sistem laissez faire kapitalisme ke
depan akan menentukan formasi ekonomi dan politik dunia
mendatang. Dan Indonesia akan termasuk di dalamnya. Tentu,
dalam kondisi itu, pihakpihak internasional pun memiliki ke
pentingan besar terhadap potensi ekonomipolitik Indonesia.
Dalam momentum di tahun 2009 ini, Indonesia berada dalam
kubangan pertarungan beragam kepentingan; kepentingan indi
vidu lokal, nasional, hingga elite/negara internasional.
Karena itu, kejadiankejadian politik pada tahun ini tidak
hanya akan membawa Indonesia lima tahun ke depan, mungkin
juga akan menjadi awal formasi Indonesia puluhan tahun men
datang. Persis seperti saat Soekarno digulingkan Orde Baru
sebagai awal dari tertancapnya developmentalisme ala Talcott
Parson selama tiga dasawarsa di Indonesia.
Pertanyaannya, peran dan gerakan seperti apa yang akan
diambil oleh mahasiswa, buruh, tani, dan elemenelemen civil
society lainnya dalam momentum Pemilu 2009 ini? Mungkin
kah akan semakin terjerembab dalam tikaman badik politik
hasil reformasi tanpa antisipasi yang pernah digaunginya?
Entahlah.
Melacurkan
Idealisme
Mahasiswa?
(Jawa Pos, 9 Januari 2004)
olitik selalu berada di atas jalan yang bersifat luktuatif,
tidak dapat diprediksikan secara matematis. Lawan bebu
yutan bisa menjadi kawan. Sebaliknya, kawan sejati bisa
menjadi lawan yang menakutkan. Semua itu bisa berbaur sepan
jang masingmasing kepentingan terpenuhi. Golkar pun yang
dahulu dihujat kini seolah telah dianggap sebagai tempat teduh
dalam berpolitik. Tidak tertutup kemungkinan jika Orde Baru
dan Soeharto kelak akan menjadi pujaan seperti Soekarno yang
dahulu dihujat sebagai agen PKI, tetapi kini berubah bak dewa.
Karena itu, keberadaan sejumlah aktivis mahasiswa yang
dahulu menghujat dan menuntut pemerintah membubarkan
Golkar, justru kini menjadi calegnya, bukanlah fenomena yang
luar biasa dalam kancah politik. Sekalipun begitu, kehadiran
ak ti vis Front Aksi untuk Demokrasi (Famred) Bernard
Hamombong Halomoa, aktivis Forum Kota (Forkot) M. Luti
P
50
P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K
Iskandar, dan mantan Ketua Umum PMII Nusron Wahid seba
gai caleg jadi Golkar tetap saja menggemparkan dan menimbul
kan tanda tanya.
Karena, pertama, bukankah pada 1999 yang kemudian
kembali hangat pada 2001, aktivis yang meletakkan diri sebagai
caleg Golkar di atas adalah yang paling keras menuntut dibu
barkannya Partai Golkar? Forkot dan Famred, misalnya, ada
lah elemen yang paling getol melancarkan kecaman terhadap
Golkar. Sangat dipahami jika kemudian para aktivis Forkot
yang lain, sebagaimana diberitakan harian lokal terbitan
Yogyakarta beberapa hari lalu (31/12/2003), malah menuduh
keterlibatan (kader) mereka di Golkar sebagai pengkhianat re
formasi. Langkah yang diambil ibarat menjilat ludah sendiri,
dahulu menghujat agar dijauhi, tetapi sekarang bukan hanya
dekat, melainkan telah dipanjat.
Kedua, mengapa harus menjadi caleg Golkar? Apakah Par
tai Golkar yang paling representatif dan kapabel di antara 24
parpol yang ada? Golkar pernah menguasai sistem pemerintah
an selama 32 tahun. Dosa besar Golkar kepada negara ini masih
belum dapat dilenyapkan dan dimaafkan. Rasanya, sangat mus
tahil sifat yang telah melekat 32 tahun itu dapat dihilangkan
dalam jangka lima tahun.
Karena itu, sulit diterima akal jika bergabungnya beberapa
aktivis mahasiswa ke Golkar hanya dengan dalih Golkar saat
ini berbeda dengan Golkar dahulu. Alihalih berbeda, Akbar
Tandjung saja mengklaim bahwa Partai Golkar yang sekarang
memiliki keterkaitan dengan Golkar yang dulu.
Metamorfosis kebaikan Golkar selama lima tahun masih
perlu diuji dan belum cukup untuk dijadikan sebagai pilihan.
Berkuasa 32 tahun tentu saja memberikan pengalaman yang ba
nyak dalam melakukan manuvermanuver politik yang cantik.
Bisa saja taktik kemurahan hati Golkar untuk memberikan
MELA C U R K A N I D EA LI SME MAHASISWA?
51
ruang kepada aktivis yang dahulu kritis kepada mereka punya
maksud licin di dalamnya.
Perekrutan Partai Golkar terhadap sejumlah aktivis kritis
mengingatkan kita kepada apa yang dilakukan Soeharto (maskot
dan dedengkot Golkar saat itu). Strategi Soeharto meredam ke
kritisan dan kevokalan mahasiswa terhadap pemerintahannya
adalah dengan merangkul mereka untuk duduk dalam sistem
dan struktur yang telah dikendalikannya.
Pada saat itu, aktivis kritis sering menjadi bisu setelah di
hadapkan dengan gelimang harta dan kekuasaan. Kelantangan
suara perlawanan mereka di jalanan terhadap pemerintah ter
makan arus kekuasaan. Mau tidak mau, idealisme pun dilacur
kan kepada seonggok materi.
Dapat diprediksikan, pilihan menjadi caleg Golkar dengan
apa pun idealisme yang dibangun akan mudah dimentahkan
oleh sistem domino yang berlaku di tubuh Partai Golkar, persis
yang dialami Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang kemudian me
mutuskan mengundurkan diri dari konvensi capres.
Sebab itu, tujuan keterlibatan aktivis mahasiswa tanpa ter
kecuali bergabung menjadi caleg Golkar untuk membenahi dan
melakukan perubahan di dalamnya—untuk tidak mengatakan
hal utopis—tidak akan dapat membuahkan hasil signiikan.
Alih-alih membuahkan hasil signiikan, tidak terempas dan
larut mengikuti arus saja sudah merupakan keberhasilan yang
patut diacungi jempol.
Ada beberapa citra yang akan timbul dalam fenomena no
ngolnya beberapa aktivis mahasiswa sebagai caleg Golkar. Tentu
Partai Golkar diuntungkan, yakni akan berkembang citra dalam
masyarakat bahwa Golkar telah berubah dan berbeda dengan
Golkar lima atau enam tahun yang lalu.
Buktinya, mahasiswa yang dahulu menghujat dan mencer
ca Golkar kini malah menjadi calegnya. Hal ini semakin me
52
P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K
numbuhkan kerinduan rakyat awam akan tampilnya Golkar dan
sistem Orde Barunya sebagai kampiun di negeri ini. Sebalik
nya, gerakan mahasiswa tercoreng. Idealisme yang diagung
agungkan di lapangan ternyata ciut ketika berhadapan dengan
harta dan kekuasaan.
Pemuda
Indonesia,
Bangkitlah!
(Suara Karya, 31 oktober 2008)
D
alam sejarah, pemuda memainkan peranan penting
dalam menopang kemajuan bangsa. Beberapa tokoh
muncul menjadi pemimpin di kala mereka berusia
muda, sebut saja Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka. Ji
wa muda yang terdidik menjadi modal signiikan dalam menjemput perubahan. Dari tahun 1908 hingga kemerdekaan 1945,
dari Malari 14 Januari 1974 hingga Reformasi 1998, kolaborasi
darah muda nan terdidik menjadi kekuatan yang mampu me
runtuhkan tirani koloni.
Lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah bukti
sejarah betapa pemuda menjadi inspirator pemersatu. Seluruh
unsur pemuda berkumpul dalam satu tujuan seperti Trikoro
Darmo atau Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917),
Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong
Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun, dan beberapa kelompok
54
P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K
pemuda lainnya. Ikrar tersebut menginspirasi uniikasi kebangsaan.
Dengan spirit membangun persatuan, mereka mampu me
matahkan tuduhan Hendrikus Colijn saat itu yang menganggap
gagasan kesatuan Indonesia sebagai gagasan utopis. Sejarah se
nantiasa memihak kaum muda. Di banyak bangsa, perubahan
dikendalikan kelompok muda. Sebab, kaum muda diyakini me
miliki gagasangagasan yang cemerlang, brilian, dan inovatif
dalam menyusun perubahan sehingga lebih cepat menangkap
semangat zaman.
Pemuda hingga kini masih menjadi jantung pembaruan na
sional. Kiprah dan sumbangsih kaum muda dalam segala sektor
diharapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam mem
besarkan bangsa yang sampai saat ini berada dalam krisis mul
tidimensi. Semangat perubahan pemuda harus tetap berjalan
dan tertanam. Sebab, dalam kondisi apa pun, posisi pemuda
berpotensi menjadi penyeimbang sistem atau semacam kontrol
bagi ruang sosial di sekelilingnya. Inilah peran yang selalu di
nantikan anak zamannya.
Selalu ada kesenjangan antara das sein dan das sollen. Ren
tangan tidak selamanya berjalan dalam garis yang linier. Begitu
juga dengan gerak pemuda Indonesia, senantiasa berada dalam
gerakan yang luktuatif. Terkadang berada dalam garis yang
progresif dan menanjak, tetapi juga tidak jarang mengalami
masamasa kritis. Jika kondisi pemuda sudah mengalami
kondisi kritis, ini menandakan tantangan makin besar. Ada
sistem yang tidak berjalan yang cenderung memperlemah peran
dan kekuatan pemuda sebagai agent of social change.
Kini, eksistensi pemuda sebagai pembaru dan penerus gene
rasi untuk masa mendatang kian lumpuh dan rapuh. Pandangan
tersebut ditopang oleh kenyataan bahwa pemuda dominan ter
jerembab dalam perilaku yang tidak lagi produktif. Mereka
PEMU D A I N D oN ESI A, BANGKITLAH!
55
cenderung konsumtif dalam segala hal. Serangan budaya pop
(pop culture) yang menerjang gaya hidup pemuda menjelma
menjadi fakta sosial yang mengimpit dan menekan perilaku
kaum muda bangsa dewasa ini. Misalnya, penyalahgunaan nar
koba dan perilaku seks bebas yang terus meningkat.
Wacana nasionalisme tidak lagi menjadi wacana praksis
yang populer di kalangan muda. Mereka larut dalam kebang
gaan budaya luar dan dunia pop yang mengikis semangat na
sionalisme. Nilainilai tradisi yang menjadi kebanggaan dan
inspirasi pemersatu pemuda tahun 1928 terkikis. Kepedulian
terhadap kondisi bangsa dan negara tidak lagi mewarnai peri
laku pemuda. Akhirnya, semangat Jong Java, Jong Celebes, dan
Jong Sumatranen Bond nyaris hilang dari perilaku generasi mu
da Indonesia dewasa ini.
Memang, ada kelompokkelompok kecil (small groups)
pemuda yang masih bergeliat menyongsong perubahan demi
perubahan di Indonesia. Kelompok ini tidak hanya minoritas di
kalangan muda secara umum, tetapi juga tereksklusi di tengah
lingkungan mereka sendiri (universitas/kampus). Secara do
minan, hanya segelintir pemuda yang terlibat aktif di dalam
organisasiorganisasi kepemudaan. Sisanya adalah kalangan
terdidik yang apatis terhadap realitas sosial.
Kendati demikian, bukan berarti krisis tidak melanda pe
muda terdidik minor tersebut. Organisasiorganisasi kepemu
daan mengalami disorientasi gerakan dan miskin imajinasi
perubahan; gamang merespons dan tidak mampu mengawal
Reformasi 1998. Karena itu, krisis yang menimpa pemuda
sudah merasuk ke seluruh lini sosial yang melumpuhkan pe
ran strategis pemuda untuk membangun kemajuan bangsa
Indonesia.
Wacana menghimpun kembali kekuatan pemuda yang tidak
hanya berserak perlu dilakukan. Peran sosial pemuda harus
56
P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K
dikembalikan. Jika tidak, martabat, moral, dan keberlangsungan
bangsa Indonesia akan dipertaruhkan pada masa yang akan
datang.
Tantangan pada masa depan bagi bangsa Indonesia jauh
lebih besar daripada satu abad yang lalu. Kondisi ekonomi yang
terus mengimpit di Indonesia, pada masa yang akan datang,
akan menjadi ledakan besar yang dapat mengancam keutuhan
negara Indonesia jika tidak diantisipasi dengan menelurkan
pemudapemuda yang berkualitas sebagai pemimpin masa
depan.
Krisis ekonomi global saat ini mungkin akan menjadi titik
balik formasi ekonomi baru di dunia pada masa yang akan da
tang, sebagaimana krisis global pada 1930an yang menimpa
belahan Eropa. Lantas, jika kaum muda Indonesia masih dihiasi
oleh perilaku yang tidak lagi produktif dan apatis akan kondisi
bangsanya, Indonesia tidak hanya akan dipandang sebelah
mata, tetapi juga akan digilas oleh kekuatankekuatan bangsa
di luar dirinya.
Terdepak
Primordialisme
(Jawa Pos, 6 September 2006)
M
embicarakan gerakan kaum muda Islam di Tanah
Air, tidak salah jika penulis mengawali dengan per
nyataan Martin van Bruinessen ketika melihat per
ubahan pola gerakan pemuda Islam Indonesia.
Dalam pengantar bukunya, Rakyat Kecil, Islam dan Politik (1998), Bruinessen mengomentari kaum muda Islam di
Indonesia pada akhir 1980an yang begitu gandrung pada pe
mikiranpemikiran Islam pembebasannya Ali Syari’ati, Farid
Esack, Khomeini.
Tidak hanya di kampuskampus Islam, komunitaskomuni
tas mahasiswa Islam di fakultas dan kampus umum pun mem
perbincangkan wacana teologi pembebasan. Teologi pembebas
an menjadi materimateri training.
Seting sosialpolitik yang saat itu berada dalam cengkeram
an rezim diktator Soeharto turut andil memengaruhi wacana
58
P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K
teologi Islam yang dikembangkan kaum muda saat itu. Tetapi,
corak teologi yang dicobakembangkan sebagai spirit perlawan
an terhadap rezim tersebut perlahan mulai bergeser secara sig
niikan pasca-Reformasi.
Pada fase ini, gerakan Islam, khususnya yang terpresentasi
dalam organisasiorganisasi pemudanya, mulai gamang dalam
menatap perubahan Indonesia ke depan. Di tengah kebimbang
an itu, tibatiba perjuangan formal mulai menguat.
Organisasiorganisasi pemuda Islam hanya bersuara lan
tang ketika lafal Allah dibakar atau Nabi Muhammad dihina me
lalui karikatur. Tetapi, mereka bungkam saat hak rakyat Papua
dirampas oleh PT Freeport Indonesia atau diam saat para ko
ruptor lepas bebas. Pengecaman agresi Israel ke Palestina dan
Lebanon hanya dilandasi solidaritas agama an sich.
Padahal, saat ketidakadilan terjadi, saat itulah ajaran Tuhan
diinjak dan sabda para nabi dihina. Islam harus dipahami se
bagai sebuah ajaran yang menentang kebiadaban manusia atas
manusia lain, tidak disempitkan menjadi identitas yang justru
akan mengaburkan kebenaran hakikinya.
Bukankah Tuhan memberikan teladan melalui sabda
utusanNya untuk selalu meneriakkan kebenaran tanpa pandang
agama, ras, kulit, dan suku? Berbuat adil tanpa pandang agama,
ras, kulit, dan suku? Berbuat adil tanpa pandang identitasnya
(QS Al Mâ’idah [5]: 8 & Al An‘âm [6]: 152).
Pada sisi lain, selain semakin kuatnya semangat Islam for
mal dalam spirit perjuangan OKP Islam di Indonesia dewasa
ini, perlu dicermati atas ketidakmampuannya mengambil jarak
dengan kekuasaan/politik praksis.
Gesekan itu sudah terjadi pada fase awal rezim pemba
ngunanisme Soeharto dilakukan. Harus diakui, sadar atau ti
dak, selain OKP Islam lain, yang paling mencolok menopang re
zim Soeharto saat itu (bahkan hingga Reformasi) adalah HMI.
TER D EPA K PRIMoRDIALISME
59
Cengkeraman Orba dan pengaruh alumnialumninya tidak
mampu dibendung sekalipun teks normatif organisasinya me
negaskan independensi.
Konsekuensi objektif yang kemudian timbul adalah ter
pangkasnya spirit kritisisme pemuda terhadap negara. Kooptasi
kekuasaan (negara) turut menopang perpecahan internal yang
tidak dapat dielakkan. Organisasi pun kemudian dijadikan batu
loncatan/investasi politik di kemudian hari.
Penetrasi politik praksis itu tidak hanya menggumpal men
jadi benalu yang memecahbelah intra dan antarOKP Islam,
tetapi juga menjadikannya semakin jauh dengan isuisu kerak
yatan. Demonstrasi hanya marak menjelang pesta demokrasi
(pemilu), tetapi sepi saat tanah para petani dirampas dan keka
yaan negeri ini dirampas oleh perusahaanperusahaan asing.
Karena itu, sudah seharusnya problemproblem tersebut se
cepatnya dijawab oleh kaum muda Islam Indonesia. Keniscayaan
itu semakin kuat seiring dengan tantangan kebangsaan yang
muncul, seperti kapitalisme global yang mengukuhkan negara
maju mengeksploitasi/menjajah dunia ketiga (Indonesia), atau
pun penyakit mental korupsibirokrasi di negeri ini.
kerakyatan-keindonesiaan
Ada beberapa hal yang niscaya dilakukan. Pertama, meru
muskan kembali corak dasar teologi sebagai spirit perjuangan.
Bagaimanapun, OKP Islam memainkan peranan penting dalam
setiap epos perubahan politik negeri ini dan turut mewarnai ge
rakan pemuda Indonesia.
Ajaran Islam yang memiliki peran sentral menggerakkan
organisasi kepemudaan Islam menjadi alasan mengapa corak
dan dasar teologi Islam harus dirumuskan kembali oleh setiap
OKP Islam sehingga tidak lagi terjerembab kepada perjuangan
formal (baca: primordialisme Islam), melainkan memperjuang
60
P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K
kan nilai. OKP Islam harus keluar dari doktrin corak teologi
yang jumud semacam ini.
Dengan demikian, perjuangan OKP Islam diharapkan lebih
objektif dan universal demi menegakkan kemerdekaan hakiki
untuk seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, mengambil jarak dengan kekuasaan. Sudah saatnya
OKP Islam tidak lagi mengambil pola gerakan yang cenderung
mendistribusikan para kadernya ke jalur politik. Memang, sa
ngat disayangkan OKPOKP Islam yang lahir pascaReformasi,
dan semestinya menjadi harapan, pun terlalu dini bersentuhan
dengan parpol tertentu sehingga mengundang penyakit sosial
(baca: elitisme) dan menjadikannya kini kurang bergema.
Tugas utama OKP Islam adalah menyatu, mendidik, dan
berjuang bersama rakyat/umat. Itulah peran utama yang harus
dijalankan organisasi pemuda/mahasiswa Islam. Jika kedua
hal di atas mampu dilakukan, OKP Islam akan kembali bangkit
dan negara Indonesia akan memperoleh kemerdekaan yang
hakiki. Tanah, air, dan alam menjadi milik rakyat Indonesia se
utuhnya.
K EG A MA N G A N G ER A K H MI PASCANEGARA
61
Kegamangan
Gerak HMI
Pascanegara
(Jawa Pos, 6 Februari 2013)
E
nam puluh enam tahun yang lalu (5 Februari 1947), seke
lompok mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (sekarang
Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta mendirikan
Himpunan Mahasiwa Islam (HMI), organisasi mahasiswa Islam
pertama di Indonesia. Dua mainstream besar latar berdirinya
adalah mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dan menjaga syiar Islam. Keislamankeindonesiaan menggela
yuti awal berdirinya HMI. Itulah awal perjalanan sejarah HMI
yang di kemudian hari, sejujurnya, menopang pemerintahan
Orde Baru.
Pada generasigenerasi awal HMI, telah muncul pemikir
pemikir yang menitikberatkan pada penguatan pemikiran
keislamankeindonesiaan. Pada saat itu, negara berupaya mem
bangun identitas diri, HMI mengambil jarak dengan pemikiran
formalisasi Islam sebagai kiblat negara Indonesia. Dalam hal
62
P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K
ini, HMI tidak sependapat dengan pemikiran mendirikan
Indonesia menjadi negara Islam. Dalam pertarungan ideologi
global, panIslamisme, komunisme, dan nasionalisme, HMI
mencoba berposisi moderat.
Pada peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru,
HMI terlibat menyokong secara penuh Orde Baru. Pemikiran
moderat HMI yang lebih mengedepankan Islam substantif da
lam bernegara dan tidak sependapat dengan formulasi negara
komunis menjadi titik temu pemikiran HMI dengan Orde Ba
ru. Dengan pemikiran moderat HMI tersebut, Soeharto dengan
Orde Barunya pun berkepentingan memberikan ruang kepada
mereka untuk mewarnai pemerintahan yang sedang dibangun
nya. HMI perlahan mulai mengakar ke elite pemerintahan.
Fase negara
Harus diakui, Orde Baru merupakan babak baru sejarah Indonesia
yang sebelumnya gamang dalam membangun identitas negara
di tengah pertarungan ideologi masa Perang Dingin. Pada masa
itu, setting dunia sedang mengalami ketegangan tinggi yang
berakhir dengan konlik militer seperti Blokade Berlin (19481949), Perang Korea (19501953), Krisis Suez (1956), Krisis
Berlin (1961), Krisis Rudal Kuba (1962),Perang Vietnam (1959
1975), Perang Yom Kippur (1973), dan lainlain.
Akhirnya, tren negaranegara Asia Tenggara dan dunia ke
tiga saat itu menempatkan pemimpinpemimpin dari militer
dan ”bertangan besi” untuk mengendalikan negara (Tania
Muray Li: 2012). Maka, formulasi saat itu, negara menjadi sen
trum perubahan sosial dan politik yang berlangsung beberapa
dasawarsa. Itulah fase negara pascakolonialisme setelah
Indonesia merdeka. Pada era itu, ruang apa yang diambil HMI
pada fase negara tersebut?
Karena negara didesain dalam sistem sentralismetotali
K EG A MA N G A N G ER A K H MI PASCANEGARA
63
tarian, HMI kemudian menempatkan perjuangannya dengan
menempel dan menyokong negara pada era Orde Baru. Ada dua
grand design gerakan yang dilakukan HMI saat itu untuk me
nyokong negara. Yakni, gerakan pemikiran dan gerakan politik.
Gerakan pemikiran lebih berfokus pada aspek pembaruan pe
mikiran keislaman dan di dunia politik mendistribusikan kader
kadernya untuk menyokong pemerintahan Orde Baru.
Formulasi negara sebagai sentrum dengan program develop
mentalisme (pembangunan) meniscayakan harus adanya ke
terbukaan pemikiran masyarakat Indonesia. Karena itu, Islam
sebagai agama yang mayoritas dipeluk rakyat Indonesia harus
berpikir terbuka dan maju agar orientasi pembangunan serta
modernisasi berjalan baik. Karena itu, Nurcholish Madjid yang
notabene saat itu menjadi anggota HMI mengeluarkan jargon
”Islam Yes Partai Islam No?” pada akhir 1960an. Di HMI juga
disusun nilainilai dasar perjuangan (NDP) oleh Nurcholish de
ngan semangat pemikiran yang sama.
Di langgam politik, HMI memainkan peran politik yang
signiikan dalam menyokong negara. Pada perkembangan selanjutnya, gerakan politik itulah yang lebih dominan mewarnai
gerakan HMI ke depan. Bahkan mampu menggerus kekuatan
gerakan intelektualnya. Dan, Akbar Tandjung menjadi repre
sentasi kader politik, sedangkan Nurcholish menjadi repre
sentasi gerakan intelektual Islam HMI kala itu. Akbar ter
pilih menjadi Ketua Umum PB HMI pada kongres ke10 di
Palembang pada 1971. Sementara itu, Nurcholish terpilih pada
kongres ke8 dan ke9 pada 1966 dan 1969. Itulah masamasa
awal tonggak era negara.
Connected Kids
Kini, etape negara sudah berakhir. Sistem yang mulanya sen
tralisasi berganti ke sistem desentralisasi. Abad pun berganti
64
P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K
dari abad ke20 kini memasuki abad ke21. Negara yang awal
nya pengatur secara totaliter tidak lagi berdiri tunggal. Negara
bukan lagi satusatunya komponen untuk melakukan perubahan
sosial. Sistem politik yang sebelumnya terdesain pada demokrasi
representatif sekarang bergeser menjadi demokrasi partisipatif
(baca: pemilihan langsung). Di tengah perubahan itulah, HMI
kini berdiri memasuki usia ke66 tahun.
Di tengah pergantian zaman dan sistem tersebut, tidak ada
alasan lagi bagi HMI untuk tidak berubah dan menegok ulang
sistemnya saat ini agar kompatibel dengan semangat perubahan
zaman. Dalam pemikiran Islam, HMI harus mampu merespons
perkembangan gerakan Islam yang cenderung terjebak pada
identitas simbolis Islam. HMI pun harus tidak lagi memandang
negara sebagai satusatunya sentrum perubahan sosialpolitik
yang harus direbut.
Saat ini, kaderkader baru HMI merupakan generasi
connected kids alias anakanak zaman yang saling terkoneksi
karena kemajuan teknologi informasi. Janganjangan, badai po
litik di internal HMI saat ini merupakan gerak efek dari belum
terjadinya pembenahan di dalam organisasi HMI yang sesuai
dengan era kekinian. Orde Baru yang tertutup, pada dasarnya,
juga sudah tidak kompatibel dengan perkembangan zaman yang
kian terbuka dan terkoneksi. Pertanyaannya, ke mana HMI akan
melangkah pascanegara ini pada usianya yang ke66 tahun?
K EG A MA N G A N G ER A K H MI PASCANEGARA
BAGIAN III
PENDIDIKAN,
KEKERASAN DAN
KEKUASAAN
65
Memutus
Sumbu Kekerasan
(Suara Karya, 10 Februari 2011)
“Kekerasan itu mudah menular,
berjangkit bagai wabah penyakit.”
—Sindhunata
K
ekerasan begitu akrab dengan praktik kehidupan ber
bangsa kita. Seakan tidak ada bahasa ‘damai’ yang
terselip. Mulai dari ranah domestik hingga ke ruang
publik, kekerasan tidak pernah luput mewarnai kehidupan ber
negara kita, entah itu di ruang budaya, agama, maupun politik.
Kekerasan seakan sebuah laku yang inheren dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara kita yang terus mengintai siapa pun
untuk menjadi korbannya.
Barubaru ini, mengemuka aksi kekerasan yang mengatas
namakan agama. Esok, bisa jadi saya atau Anda yang akan men
jadi korban keganasan tindakan kekerasan selanjutnya. Tentu,
68
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
bahasa keprihatinan pemimpin ketika menyaksikan bahasa
kekerasan yang terus dipraktikkan di negeri ini tidak mungkin
menghela praktik kekerasan. Ketika sikap pembiaran terhadap
kekerasan dilestarikan, ancaman kekerasan di ranah lain pun
semakin terbuka lebar.
Gustave Le Bond (1896) menganalisis kekerasan kolektif
semacam itu sebagai bentuk tindakan replikatif dari hubungan
antara irasionalitas, emosionalitas, dan peniruan individu. Di
dalam kelompok terjadi resiprokalitas tindakan tiruan di an
tara anggota yang dapat memperkuat dan memperbesar emo
sionalitas dan irasionalitas sesamanya.
Kekerasankekerasan yang terusmenerus dilakukan, se
perti insiden kekerasan massa berlatar belakang agama dalam
kasus penyerangan kelompok Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang, Banten, (6/2); dan kasus perusakan rumah ibadah,
sekolah serta fasilitas umum di Temanggung, Jateng (7/2), da
pat dilihat sebagai daur ulang tindakan (tiruan) anggota atau
tokoh kelompok tersebut.
Karenanya, perilaku kekerasan pada dasarnya tidak menja
lar secara personal, tetapi acap kali menelusup ke dalam keru
munan komunal. Manakala ini terjadi, maka perilaku kekerasan
sudah bergerak secara institusi yang sangat berbahaya. Insti
tusionalisasi kekerasan pun akan semakin beringas jika kemu
dian berelasi dengan ruang kekuasaan. Sikap pembiaran aparat
keamanan terhadap beberapa kekerasan massa mendatangkan
curiga bahwa kekerasan tidak steril dari kekuasaan.
Kekerasan acap kali terjadi ketika kebenaran diklaim seca
ra tunggal dan sepihak. Klaim absolut atas kebenaran mencuat
karena kebenaran dilihat dalam kaca mata tunggal yang me
munculkan persoalan ketika berbenturan dengan mileu kebe
naran di luar yang diyakini. Saat inilah, kebenaran telah dijadi
kan sebagai seperangkat yang mutlak.
MEMU TU S SU MBU KEKERASAN
69
Hasrat kekuasaan
Absoludisasi kebenaran salah satunya karena dianggap memiliki
dimensi sakral (ideologisasi/indoktrinasi) di dalam kebenaran
yang dipegang. Akhirnya, kekerasan pun diterjemahkan sebagai
tindakan doktrinal yang sakral, suci, dan mulia. Inilah yang
menggiring para pelaku kekerasan memekikkan katakata
sakral ketika memproduksi kekerasan. Jika kekerasan atas na
ma negara, maka pekikan berubah untuk membela negara dan
bangsa. Namun, jika klaim kebenaran bersembunyi di balik
jubah agama, yang terpekik adalah kalimatkalimat ‘Tuhan’.
Kebenaran yang hakiki dan abadi hanya milik Tuhan. Ma
nusia hanya mengendalikan serpihanserpihan dari kebenaran
sejati. Akal manusia tidak akan pernah mampu menggapai se
penuhnya kebenaran mutlak yang tanpa cela dan tanpa koreksi.
Saat manusia berusaha mengidentiikasi kebenaran, di kala itulah dia melakukan proses penafsiran. Karena dia melakukan
proses penafsiran, makna yang ditangkapnya pun bukan kebe
naran mutlak, melainkan kenisbian yang masih memberi ruang
residu kesalahan.
Karena itu, kekerasan sejatinya tidak dekat dengan kebe
naran, melainkan merupakan wajah lain dari hasrat kekuasaan.
Membela kebenaran hakikatnya adalah membela kekuasaan. Ke
kerasan merupakan strategi subjek untuk membungkam gerak
sesuatu yang dianggap mengancam kekuasaan di luar dirinya
(the other), bukan untuk melindungi kebenaran sebagaimana
diyakini pelaku kekerasan. Rasa keterancaman yang sangat ke
pada entitas lain kemudian memunculkan reaksi menumpas en
titas yang mengancam tersebut, sehingga kekerasan dijadikan
medium untuk menumpasnya.
Kekerasan meluluhkan dan mencederai etika berbangsa
kita. Pertikaian dan perpecahan sesama anak bangsa tidak dapat
dielakkan. Semua entitas ingin menguasai orang lain dengan
70
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
menghunjamkan kekerasan, bukan kedamaian. Etika dan moral
berbangsa pun terancam roboh. Inikah tesis yang dimaksud
Rene Girard (Sindhunata, 2007: 333) bahwa tatanan sosial,
khususnya agama, dibangun dari batubatu cadas kekerasan?
Segala kekerasan dan atas nama apa pun tidak dapat dibiar
kan. Perilaku kekerasan yang kita mainkan secara telanjang ke
publik tidak akan melahirkan keharmonisan dalam membangun
tatanan sosial dan politik yang kukuh. Kekerasan hanya mela
hirkan realitas semu. Rezim kekerasan tidak akan mampu mem
bangun stabilitas esensial, melainkan menyuguhkan stabilitas
artiisial. Sebab, di dalamnya akan bergemuruh dendam dan kebencian untuk menularkan kekerasan baru, saling bunuh, dan
saling menumbangkan.
Rezim kekerasan harus ditumbangkan dan diganti dengan
bangunan tatanan yang indah dan menenteramkan. Jika keke
rasan terus kita mainkan dalam segala ruang aktivitas politik,
sosial, budaya, dan berbangsa kita, maka bangsa dan bahasa
persatuan kita akan diganti oleh bahasa kekerasan. Bangsa ini
sudah jengah dengan bahasa kekerasan yang dapat menengge
lamkan ke jurang perpecahan komunal.
Karenanya, siapa pun percaya bahwa kekerasan tidak akan
pernah bisa tumbang melalui pidato keprihatinan, apalagi itu
terucap dari mulut pemimpin. Butuh ketegasan pemimpin un
tuk tidak menolerir segala macam kekerasan. Kini, seluruh pe
mimpin bangsa ini harus merenung akan memilih yang mana,
menghentikan atau membiarkan kekerasan itu bergerak menja
di ‘penyakit’ yang berjangkit ke dalam seluruh kehidupan kita?
Menghentikan
Bola-Bola Kekerasan
(Jawa Pos, 23 Juni 2008)
Keadilan tanpa kekuatan adalah kosong.
Kekuatan tanpa keadilan hanya melahirkan kekerasan.
KALIMAT yang dilontarkan kesatria Chio Beadal dalam ilm
Fighter in the Wind karya Yang YunHo di atas menarik untuk
menjadi prolog tulisan ini sebagai respons atas menguatnya
perilaku kekerasan dalam kehidupan berbangsa kita. Pernyataan
tersebut menegaskan bahwa kekerasan hanya muncul dalam
kekuatan yang tidak dilandasi moral dan etika. Sebuah nilai ha
rus memiliki kekuatan. Tetapi jika kekuatan tanpa nilai, ia cen
derung represif dan brutal.
Karena itu, kebenaran yang berdiri tegak di atas kekerasan
bukanlah kebenaran sejati, karena tidak akan melahirkan ta
tanan baik, melainkan akan mereproduksi dan melanggengkan
ketidakadilan dan ketimpangan.
72
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
Mulai ranah domestik hingga ke ruang publik, kekerasan ti
dak pernah luput mewarnai kehidupan bernegara kita, entah itu
ruang pendidikan, agama, maupun politik. Kekerasan menjadi
semacam laku yang inheren dari kehidupan berbangsa.
Aksi kekerasan di berbagai institusi pendidikan, munculnya
Geng Nero, bahkan awal bulan lalu kekerasan menyelimuti tin
dakan beragama kita. Apa pun bentuknya, aksi kekerasan atas
kekerasan tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah.
kebenaran dan kekuasaan
Kekerasan acapkali terjadi ketika kebenaran diklaim secara tung
gal dan sepihak. Klaim absolut atas kebenaran mencuat karena
kebenaran dilihat dalam kacamata tunggal yang memunculkan
persoalan ketika berbenturan dengan mileu kebenaran di luar
yang diyakini. Absoluditas dan klaim kebenaran tersebut ke
mudian akan berakhir tragis ketika dipahami adanya dimensi
sakral di dalam kebenaran yang dipegang.
Kebenaran yang hakiki dan abadi adalah milik Tuhan. Akal
manusia tidak akan pernah mampu menggapai sepenuhnya ke
benaran mutlak. Saat manusia berusaha mengidentiikasi kebenaran, saat itulah dia melakukan proses hermeneutis. Karena
dia melakukan proses hermeneutis, makna yang ditangkapnya
bukan kebenaran mutlak, melainkan kenisbian.
Di ruang agama, kebenaran yang diimani cenderung diang
gap manifestasi keuniversalan, sehingga corak di luar keyakin
annya diklaim salah dan sesat.
Praktik beragama dipersepsi sebagai ajaran agama yang
sebenarnya, bukan sebagai bentuk tafsir atas nilainilai agama
yang universal. Sementara itu, fatwa melabelkan sesat dan me
nyesatkan terhadap kelompok lain pun tidak dapat dihindari.
Saat itulah, kekerasan menjalar dan terlegalkan.
Pada dasarnya, kekerasan tidak dekat dengan kebenaran,
MEN G H EN TI K A N B oLA -B o LA KEKERASAN
73
melainkan merupakan wajah lain dari kekuasaan. Kekerasan
merupakan strategi subjek untuk membungkam gerak objek
yang dianggap mengancam kekuasaannya. Rasa keterancaman
yang sangat kepada entitas lain kemudian memunculkan reaksi
menumpas entitas yang mengancam tersebut. Salah satu cara
nya adalah melalui kekerasan.
Mengapa? Sebab, kekerasan masih diyakini sebagai me
diasi paling ampuh melumpuhkan lawan, seperti kekerasan
negara ketika memangkas gerakan rakyat yang mengancam ke
kuasaan.
Kebenaran yang dibarengi dengan hasrat berkuasa cende
rung menutupi celah salah dalam kebenaran itu sendiri.
Kekuasaan bersembunyi dalam jubah kebenaran. Seperti keya
kinan Max Weber, Machiavelli, maupun Hobbes, kekuasaan dan
kekerasan tibatiba menjadi dua kata yang tidak terpisahkan.
Kebenaran dan hasrat berkuasa menjadi kabur karena sama
sama berada di balik bolabola kekerasan yang dimainkannya.
memutus
Kekerasan meluluhkan dan mencederai etika berbangsa kita.
Kekerasan seolah menjadi bola yang terus dikejar, direbut, dan
digiring. Karena itu, melesakkan kekerasan ke jantung lawan
menjadi kepuasan yang tiada tara.
Akhirnya, etika dan moral berbangsa pun roboh. Pertikaian
dan perpecahan sesama anak bangsa tidak dapat dielakkan.
Semua entitas ingin menguasai orang lain dengan menghun
jamkan kekerasan, bukan kedamaian. Inikah tesis yang dimak
sud Rene Girard bahwa tatanan sosial dibangun dari batubatu
kekerasan?
Segala kekerasan dan atas nama apa pun harus dihentikan.
Bolabola kekerasan yang kita mainkan secara telanjang ke
publik tidak akan melahirkan kebenaran dalam membangun
74
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
tatanan sosial dan politik yang kukuh. Kekerasan hanya mela
hirkan realitas semu. Rezim kekerasan tidak akan mampu mem
bangun stabilitas esensial, melainkan menyuguhkan stabilitas
artiisial. Di dalamnya bergemuruh dendam dan kebencian untuk melahirkan kekerasan baru, saling bunuh, dan saling me
numbangkan.
Karena itu, bolabola kekerasan harus segera digantikan
oleh bola yang indah dan menenteramkan. Memutus rantai ke
kerasan tidak dapat ditawar lagi. Jika bolabola kekerasan ter
sebut kita mainkan dalam segala ruang aktivitas politik, sosial,
budaya, dan berbangsa kita, bangsa dan bahasa persatuan kita
akan diganti oleh bahasa kekerasan.
Kini, bangsa Indonesia harus merenung akan memilih yang
mana, menghentikan atau membiarkan bolabola kekerasan itu
bergerak liar dalam seluruh kehidupan kita?
Pendidikan,
Antara Kekerasan
dan Kekuasaan
(Radar Jogja, 27 April 2007)
R
entetan kekerasan dalam dunia pendidikan kini mulai
terkuak. Tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga
telah merambah dunia perguruan tinggi. Kasus yang
menimpa Cliff Muntu hingga tewas di tangan para seniornya,
serta kasus kekerasan di IKIP Mataram oleh pihak rektorat be
berapa hari setelah kasus Cliff Muntu, merupakan bukti begitu
mengakarnya kekerasan di dalam sistem pendidikan kita. Cerita
Cliff Muntu di IPDN dan kekerasan di IKIP Mataram adalah satu
deret cerita kekerasan di dunia pendidikan dari ribuan cerita
yang tidak mencuat ke permukaan. Ada apa dengan pendidikan
kita sehingga dikotori aroma kekerasan? Bukankah IPDN dan
IKIP Mataram samasama belajar dari kejadian sebelumnya
yang sudah menewaskan mahasiswanya melalui kekerasan.
Pendidikan sejatinya diperuntukkan untuk menciptakan
manusia meningkatkan daya kreativitasnya agar bisa menegak
76
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
kan kesejahteraan manusia. Dalam bahasanya Freire, pendi
dikan diperuntukkan untuk memanusiakan manusia. Di dalam
usaha untuk memanusiakan, pendidikan harus bergerak pada
visi membebaskan. Membebaskan artinya senantiasa membe
rikan ruang kritik dan “tanda tanya” dalam setiap ilmu yang
dipelajari, tidak lantas menutup ruang kritis secara absolut.
Doktrindoktrin kepatuhan tanpa ada ruang kritik hanya me
munculkan kesadarankesadaran magis dan naif. Corak pen
didikan demikian tidak menjadikan manusia menjadi manusia
yang sesungguhnya, melainkan seperti robot karena otaknya di
lumpuhkan oleh sistem yang absolut (tanpa ruang kritik).
Apa yang terjadi di IPDN dan IKIP Mataram tidak jauh
seperti di atas. Pendidikan justru dijadikan alat untuk meman
jangkan kuasa terhadap anak didik oleh dosen maupun junior
oleh para senior. Ruangruang perdebatan dalam transformasi
pengetahuan ditutup rapatrapat. Pengetahuan di sini tidak ha
nya ilmuilmu yang disampaikan di dalam kampus, melainkan
juga seluruh totalitas tradisi dan sistem yang berjalan dalam ins
titusi pendidikan, seperti aturanaturan kampus hingga sistem
birokrasi kampus. Pertanyaan yang menjatuhkan kredibilitas
pengetahuan dosen akan “disikat”, begitu juga dengan aktivitas
yang mengancam wibawa kampus. Harapan sistem pendidikan
semacam ini bukan melahirkan kelompok intelektual yang
kritis, melainkan intelektual yang patuh.
Kenyataan demikian inilah yang sedang terjadi di dunia
pendidikan kita. Hanya saja kejadian di IPDN dan IKIP
Mataram menyuguhkan secara vulgar. Sistem pendidikan
semacam ini mendeskripsikan sosok intelektual dan akademisi
secara parsial. Seorang mahasiswa atau anak didik yang disebut
akademisi dan intelek adalah mereka yang duduk manis di seko
lah, rajin masuk, dan tidak boleh protes atas segala hal yang
diperintahkan oleh kampus, guru/dosen maupun senior. Anak
P E ND I D I K A N , A N TA R A K EK ER A SA N DAN KEKUASAAN
77
didik hanya ikut dan bergerak seperti robot atas segala sistem
yang berjalan dalam institusi pendidikan tanpa boleh bertanya
mengapa sistem itu dijalankan, apalagi memprotesnya. Sadar
atau tidak, demikianlah mainstream paradigma pendidikan
kita saat ini.
Praktik tersebut dapat dilihat dari bagaimana reaksi rektorat
ketika sosok Inu Kencana membeberkan kekerasan di IPDN dari
hasil penelitian disertasi doktoralnya. Bukan penghargaan yang
didapat, justru Inu Kencana sempat tidak diperbolehkan lagi
mengajar di IPDN dengan alasan yang kurang jelas oleh rekto
rat. Ternyata, hasil ijtihad akademik yang diramu secara objektif
tidak selamanya akan dihargai oleh pihak kampus yang nota
bene pabrik ilmu pengetahuan, jika itu mengancam kredibilitas
kampus. Tapi, mungkinkah kredibilitas institusi pendidikan yang
terancam? Janganjangan yang terancam justru para penggerak
institusinya? Jika pertanyaan yang kedua yang benar, itulah
yang menghancurkan dunia pendidikan Indonesia saat ini.
kekerasan untuk apa?
Kekerasan adalah sisi lain manusia yang masih dipertahankan
oleh sistem pendidikan kita dewasa ini. Padahal, pendidikan
bergerak untuk mengukuhkan keberakalan manusia (homo
sapien), bukan menegaskan sisi kekerasannya (homo violens).
Dahulu, kekerasan begitu melekat di dunia pendidikan sebagai
cara untuk menegakkan kedisiplinan. Dalam pendidikan tra
disional, seorang anak didik yang tidak mengerjakan tugas
atau tidak hafal rumus matematika dipukuli penggaris hingga
tangannya memar. Alihalih memancing kesadaran pengeta
huan, hukuman tersebut justru membekukan segala aktivitas
belajar anak bersandar pada ketakutan, bukan bersumber pada
kesadaran. Menghafal matematika karena takut dipukuli oleh
guru atau menghadiri kuliah karena takut mendapat nilai D.
78
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
Pelestarian kekerasan di dunia pendidikan meluas tidak
hanya bertujuan untuk mendidik, tetapi acap digunakan un
tuk mempertahankan kekuasaan. Berbicara kekuasaan, me
narik melihat pemikiran Michael Foucault dalam konsep
“cinta sang tuan” bahwa “sang tuan” bebas melakukan sensor
dan memberikan larangan kepada bawahannya (Michel
Foucoult:2002). Konsep Foucault ini menjadi relevan ketika di
benturkan dengan pranata sosial yang dijalankan dalam institusi
pendidikan yang masih berkelindan pada stratiikasi atas-bawah
(top down). Seorang guru/dosen ditempatkan sebagai sumber
pengetahuan dan murid/mahasiswa sebagai bejana kosong yang
pasif dan harus diisi (tabularasa). Paradigma ini menjadikan
dosen pada posisi atas, sementara siswa/mahasiswa di bawah.
Relasi antara dosenmahasiswa, gurusiswa, seniorjunior,
bukan relasi partner, melainkan “tuan” dan “bawahan”.
Pola hubungan tuan (top) dan bawahan (down) ini menegas
kan siapa yang berkuasa atas siapa. Di sinilah kekerasan dunia
pendidikan dilestarikan. Seorang junior tidak boleh melawan
senior dan anak didik tidak boleh menentang pengetahuan
yang diberikan oleh dosen. Walhasil, kritik, masukan dan pem
bangkangan tidak dilihat sebagai bentuk wacana alternatif yang
berfungsi sebagai pengayaan pengetahuan, melainkan dilihat
sebagai upaya penyerangan terhadap kekuasaan. Misalnya,
junior yang tidak mau disuruh push up dilihat sebagai ancaman
bagi keseniorannya (kekuasaan) senior, bukan sebagai bentuk
“masukan” bahwa push up tiada gunanya. Begitu juga dengan
protes mahasiswa atas kebijakan kampus tidak dipahami seba
gai perdebatan ilmiah dalam ekspresi yang berbeda, tetapi
sebagai upaya perongrongan terhadap kekuasaan rektorat.
Kekerasan pun kemudian dijadikan alat untuk melindungi
kekuasaan, karena protes bukan ekspresi ilmiah melainkan
ancaman stabilitas kekuasaan di kampus.
P E ND I D I K A N , A N TA R A K EK ER A SA N DAN KEKUASAAN
79
Humanisasi Pendidikan
Apa pun alasannya, kekerasan tetaplah perbuatan yang tidak
manusiawi dan tidak relevan diterapkan dalam dunia pendi
dikan. Selain adanya persoalan seperti di atas, jaringjaring
kekerasan itu masih ada di dunia pendidikan, misalnya dengan
masih dilestarikannya resimen mahasiswa (Menwa) ala militer.
Tidak heran jika Francis Wahono menjelaskan, sistem pendi
dikan kita masih mewarisi kedisiplinan cara tentara Jepang
(Francis Wahono: 2011). Karena itu, melihat kenyataanke
nyataan yang ada (kasus IPDN dan IKIP Mataram), humanisasi
di dalam ruang pendidikan seperti pembenahanpembenahan
sistem mendesak dilakukan, bukan lagi pada wilayah wacana.
Paradigma ing ngarso sung tolodo, ing madyo mangun karso,
tutwuri handayani dari Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah
ajaran di mana relasi guru dan murid lebih dari sekadar peng
ayom, tapi juga layaknya partner. Wallâhu A’lam.
Dana Muslihat AS?
(Jawa Pos, 30 oktober 2003)
T
awaran Presiden Amerika George Walker Bush dalam
pertemuan dengan beberapa pemimpin organisasi ke
agamaan pekan lalu (22/10) di Bali, untuk memberikan
bantuan pendidikan US$ 157 juta bagi pesantren menuai pro
kontra di kalangan pemuka Islam (ulama) sendiri. Sebagian ma
sih melihat bantuan tersebut sebagai hal yang wajar dan baik,
tetapi sebagian yang lain memandang bantuan itu berlatar bela
kang kepentingan AS yang sangat bias dan karenanya tawaran
itu harus ditolak.
Pertemuan tokohtokoh ulama NU di Ponpes Assidiqiyah,
Batu Ceper, Tangerang, Banten, kamis pekan lalu (24/10), misal
nya, menolak dana yang ditawarkan oleh Presiden Amerika terse
but, karena dinilai membawa embelembel kepentingan tertentu.
AS memberikan bantuan kepada pesantren dengan
embelembel agar kurikulum di pesantren dirombak dengan
D A N A MUSLIHAT AS?
81
“kurikulum” yang ditawarkan AS. Sebuah kurikulum baru yang
bebas dari pelajaran mengenai jihad. Sebab, di mata AS, dokrin
jihadlah yang menggerakkan beberapa aksi kekerasan seperti di
Legian, Ambon, JW Marriott, Mataram, dan WTC.
Namun, sebelum menentukan setuju dan tidak setuju,
ada beberapa hal yang patut dicermati dalam melihat bantuan
Amerika untuk pesantren ini. Pertama, klaim Amerika terha
dap pesantren sebagai basis persemaian terorisme di Indonesia.
Negaranegara Barat, khususnya Amerika Serikat, melihat
peran strategis dan taktis pesantrena dalam melahirkan apa
yang dalam standar Amerika disebut sebagai gerakan teror
isme. Pesantren dengan sistem pendidikan tradisionalkaris
matis sangat berpotensi untuk menjadi basis penggodokan per
lawanan terhadap ideologi kapitalismeglobalisasi Barat (baca:
Amerika).
Kedua, anggapan AS bahwa Islam merupakan penghambat
globalisasi. Teori Samuel P. Huntington (The Clash of Civilization) yang digembargemborkan beberapa decade ini bukan
hanya menempatkan Islam sebagai satusatunya entitas yang
akan mengalami clash (benturan) dengan dunia barat, melain
kan memetakan bahwa Islam merupakan satusatunya musuh
ideology kapitalisme (baca: globalisasi) Amerika. Motor peng
obar semangat perlawanan Islam terhadap ideologi kapitalisme
adalah doktrin jihad (crusade). Teori inilah yang seolah menjadi
pegangan negara Amerika dalam melihat Islam. Karena itulah,
Amerika bermaksud menghapus jihad dari memori kurikulum
pendidikan pesantren.
Ketiga, umat Islam Indonesia melihat bahwa terorisme
yang sesungguhnya itu adalah Amerika Serikat dengan pene
rapan kebijakan standarnya, di satu sisi menjunjung HAM dan
demokrasi, di sisi lain justru menginjakinjak prinsipprinsip
tersebut. AS berlaku tidak adil terhadap umat Islam. Terbukti,
82
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
ketika AS menyerang Iraq, seluruh organisasi Islam di tanah air,
seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI, mengecam dan meng
klaim tindakan AS sebagai bentuk invasi dari terorisme. Karena
itu, wajar kemudian yang ditemui George W. Bush di Bali adalah
pemimpin organisasiorganisasi keagamaan tersebut.
Melihat tiga hal di atas, ada beberapa target yang ingin di
capai Bush dalam rencana bantuannya untuk pesantren. Di an
tara target itu adalah AS ingin meminimalisasi ajaranajaran
kekerasan agama yang sering diajarkan di pesantren, seperti
konsep jihad. Selama ini jihad dalam pandangan Islam garis
radikal masih dimaknai sebagai perjuangan isikal (berperang)
melawan orang kair (agama lain) semata. Terlihat dari aksi
teror terhadap warga Barat—yang diasosiasikan sebagai orang
kair—didorong oleh keinginan untuk menjadi mujahidin (orang
yang berjihad). Karena itulah, AS berkeinginan merombak kuri
kulum yang diterapkan pesantren dengan mengeluarkan jihad
dari perbincangan pendidikan pesantren.
Secara kasat mata, tawaran ini sesungguhnya sangat bagus.
Memang, harus diakui bahwa sistem pendidikan di pesantren
(salaf/modern) sangat jauh untuk dikatakan sebagai sistem
pendidikan agama ideal yang menghasilkan anak didik yang
toleran dan welas asih.
Karena itu, tawaran perombakan sistem kurikulum pen
didikan pesantren yang diajukan Amerika patut dipertimbang
kan selama dalam kerangka positif. Tetapi, yang harus ditolak
adalah tawaran meniadakan pembicaraan jihad dalam kuriku
lum pendidikan pesantren. Sebab, jihad adalah roh Islam (M.
Anshori, JP, 27/10). Justru yang harus dilakukan adalah mela
kukan reinterpretasi terhadap konsep jihad yang selalu dimak
nai sebagai konfrontasi isikal itu.
Selanjutnya terkait tawaran dana US$ 157 juta, sikap pe
nolakan ulama NU di Batu Ceper, Banten, patut kita dukung
D A N A MUSLIHAT AS?
83
bersama. Hal ini sedikitnya mengacu pada beberapa hal. Mi
salnya, AS ingin membangun citra baik di hadapan umat Islam.
Amerika sendiri memang menyadari bahwa kebijakan stan
dar gandanya telah menorehkan kebencian komunal dari ma
syarakat Indonesia.
Kepentingan
di Balik Pengawasan
(Jawa Pos, 8 Desember 2005)
T
erorisme yang beberapa tahun ini mengguncang
Indonesia tidak hanya memakan korban manusia
yang tidak bersalah, tapi menelan juga tumbal citra
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamîn (QS AlAnbiyâ’
[21]:107). Islam identik dengan terorisme. Citra itu semakin
membeku di alam bawah sadar masyarakat dunia bahwa Islam
sangat menakutkan (Islamofobia).
Pandangan tersebut terus mengendap ke alam pikiran kita
dan menyusup ke segala sektor ruang sosial. Uniknya, koruptor
yang meneror negara ini dan membunuh rakyat miskin secara
pelanpelan bukanlah tindakan terorisme.
Salah satu bentuk islamofobia yang menyusup ke segala
celah ruang sosial kita itu adalah rencana negara (baca: pemerin
tah) mengawasi pesantren. Rencana tersebut merupakan reaksi
atas pelbagai bom yang mengguncang tanah air beberapa tahun
K EPEN TI N G A N D I B A LI K PENGAWASAN
85
terakhir, seperti Bom Bali I dan II, JW Marriott dan Mataram,
yang hampir semua dilakukan kaum santri (Ali Imron, Amrozi,
Asmar Latin Sani, dan Muklas).
Rencana tersebut dilontarkan Jusuf Kalla saat acara buka
puasa bersama dengan jajaran Majelis Ulama Indonesia (MUI)
beberapa bulan lalu (13/10) di kantor wapres Jakarta. Bahkan,
wapres terangterangan menyebut meniru seperti Orba.
Kontan, rencana pemerintah untuk mengawasi pesantren
itu mendapat reaksi keras dari berabagi kalangan, terutama pe
santren sendiri. Bagaimanapun, lontaran dan rencana peme
rintah (negara) untuk mengawasi pesantren mengigatkan kita
terhadap cara Soeharto dengan rezim Orba yang kejam dan
otoriter dalam mendikte kaum sarungan (santri/pondok/pe
santren). Tujuannya, membungkam kekritisan dan melumpuh
kan gerak pesantren yang mengancam pemerintah.
Sekalipun motif pengawasan pemerintah terhadap pe
santren berbeda dengan Orba, tetapi substansinya sama, yakni
deteksi negara terhadap segala aktivitas pesantren.
Karena itu, tidak menutup kemungkinan pemerintah men
jadi mudah menstigmatisasi “teroris” terhadap pesantren yang
kritis terhadap kebijakan pemerintah, sebagaimana rezim Orba
yang membungkam perlawanan rakyat dengan stigma “komu
nis” dan “pengganggu stabilitas nasional.”
Perlu diketahui, sejarah pesantren adalah sejarah perla
wanan. Pada masa penjajahan, pesantren menjadi satu basis
yang sangat ditakuti kaum colonial Belanda. Kemerdekaan
yang dicapai Indonesia tidak lepas dari peran dan kontribusi
pesantren. Sebab, inti dari peran strategis pesantren adalah ke
kuatan memobilisasi massa dan sensitive terhadap penjajahan
asing (barat).
Ketakutan pemerintah semakin mendalma ketika Indonesia
sudah memasuki gerbang pasar bebas. Perusahaanperusa
86
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
haan transnasional (TNCs) berbondongbondong masuk dan
menguasai (privatisasi) segala aset publik (minyak, air, dan
tanah).
Parahnya, pasar bebas bagi Indonesia dalah penjajahan ber
wajah lain. Di sinilah ancaman sensitivitas pesantren terhadap
penjajahan mengemuka sehingga mendorong pemerintah meng
awasi gerak langkahnya. Bisa dibayangkan, betapa bahayanya
jika penguasaan asetaset publik oleh pihak asing menyulut se
mangat perlawanan sekitar 170 ribu pesantren yang tersebar di
Indonesia laiknya perang melawan kolonial Belanda dulu.
Bukan solusi
Karena itu, alihalih penjinakan, justru pesantren akan melaku
kan gerakan perlawanan melawan pemerintah jika pemerintah
melakukan pengawasan yang berujung pada pengekangan ruang
gerak pesantren. Apalagi, pengawasan tersebut dibarengi de
ngan upaya menghidupkan kembali Komando Teritorial (Koter)
dan Badan Pembina Desa (Babinsa).
Deskripsi di atas cukup menggambarkan karakter pe
santren yang jika ditekan akan semakin melawan. Karena itu,
pengawasan bukan menjadi solusi.
Memang, ada beberapa doktrin dan ajaran Islam yang
dikembangkan dalam kurikulum di beberapa pesantren (baik
salaf atau modern) yang tidak sesuai perkembangan zaman dan
harus dirombak, seperti makna jihad yang tidak harus bermakna
perang (qitâl) dan istilah kair yang tidak melulu diartikan nonIslam. Namun, itu menjadi persoalan ketika perubahan tersebut
dilakukan intervensi dan pengawasan negara dan – apalagi –
pihak luar. Kondisi itu sangat resisten melahirkan dominasi dan
otoriterianisme yang sarat kepentingan.
Karena itu, bukan pengawasan dan pendeteksian (apalagi
menghidupkan kembali Koter dan Babinsa) terhadap pesantren
K EPEN TI N G A N D I B A LI K PENGAWASAN
87
yang harus dilakukan untuk menumpas aksi terorisme di
Indonesia.
Tetapi, pemerintah setidaknya melakukan pendekatan
persuasive dengan memberikan ruangruang politik kepada
pesantren yang selama ini suaranya ter(di)sumbat. Bagaimana
pun, pengawasan terhadap pesantren tidak hanya menyem
pitkan makna teroris itu sendiri, tetapi juga berimplikasi me
nempatkan pesantren sebagai tertuduh dan malah tidaak akan
menyelesaikan masalah.
Tidak Cukup
dengan Bantuan
(Jawa Pos, 14 Januari 2006)
D
i mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kata
kata itu memberikan etika sangat dalam dan universal
yang patut kita renungkan kembali di tengah bencana
alam yang terus menyanyat negeri ini. Bahwa setiap ruang, baik
mikro maupun makro, memiliki aturan dan logika hukum ter
sendiri yang berfungsi menata tatanan agar berjalan pada jalur
yang harmonis.
Struktur organisme keharmonisan itu akan hancur dan
mengundang kekacauan manakala setiap entitas bergerak di
luar kepatuhan terhadap hukum ruang yang mengikatnya.
Kearifan petuah tersebut mengalami tantangan ketika rasio
manusia mendominasi gerak peradaban ini. Sebenarnya, tidak
ada yang salah dengan rasionalitas. Sebab bagaimanapun, ma
nusia adalah makhluk rasional (homo sapiens/alhayawan al
nathiq).
TI D A K C U K U P D ENGAN BANTUAN
89
Tetapi, dia menjadi bencana manakala rasio manusia ter
sebut (baca teknologi) acap memberikan tempat yang dominan
bagi keserakahan dan kelobaan manusia tanpa batas. Walhasil,
bukan langit (norma/tata nilai) yang dijunjung, melainkan ha
srat untuk meraup keuntungan dan kelobaan berdiri di atas
segalanya.
Bencana alam yang silih berganti menerpa bangsa ini me
rupakan akibat ketidakhormatan kita terhadap alam karena
kuatnya pemujaan terhadap hasrat kelobaan kita.
Alam juga memilki hukum dan logika sendiri. Ketika
aturanaturan alam (menajaga keseimbangan ekologis) terca
bik, saat itulah riakriak alam tidak dapat kita hindari. Karena
alam dianggap objek, seolah ia tidak memiliki jiwa yang harus
dipelihara. Karena itu, bencana alam bukan semata takdir yang
tidak bisa dihindari, melainkan ia tercipta dari ulah manusia.
Tidak bisa dibayangkan, pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Badan Geologi Departemen Energi Sumber Daya
Mineral telah membeberkan data bahwa untuk tahun 2006,
ada 246 Kecamatan di Pulau Jawa yang berpotensi longsor. Itu
menunjukkan bahwa keadaan ekologi bangsa ini sudah kronis.
Kenyataan tersebut tidak hanya mengancam jiwajiwa ma
nusia, tetapi juga meneror kehidupan berbangsa kita. Laporan
itu baru wilayah jawa, belum berbicara mengenai kondisi alam
di Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi Selatan, Aceh,
dan lain sebagainya.
Ironis, yang selalu menjadi kambing hitam atas setiap ben
cana itu adalah mereka yang terkena musibah tersebut, seperti
di Banjarnegara dan Jember. Ibarat sudah jatuh terkena tangga.
Sudah terkena musibah, disalahkan pula. Mereka sering dikata
kan sebagai penebang liar, tidak tahu manfaat alam, musibah
itu akibat tindakan mereka, dan sederet prasangka lain.
90
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
Sayang, pemerintah (presiden) justru terkesan parsial da
lam melihat bencana itu, seolah persoalan akan selesai hanya
dengan kembali menanam pohon di hutanhutan yang gundul.
Karena itu, menyikapi bencana alam tersebut dengan ha
nya berhenti pada seruan berupa dukungan doa dan bantuan
material tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Sebab, hal
itu akan menyembunyikan sekian faktor utama yang mengaki
batkan bencana. Dalam perkara kampanye solidaritas semacam
itu, media massa dan masyarakat bawah sudah menanganinya,
bahkan lebih efektif.
Sayang, para pejabat kita terjebak menjadi juru khotbah
penggalangan solidaritas atas berbagai bencana alam yang ter
jadi saat ini, tetapi mengabaikan masalahmasalah mendasar.
Karena itu, menata kembali secara harmonis kondisi alam
kita yang semakin kronis tersebut tidak bisa diselesaikan secara
parsial (doa dan bantuan an sich). Diperlukan kerja menyeluruh
seluruh komponen bangsa ini, tanpa terkecuali.
Salah satu yang paling penting adalah jalur structural (ne
gara). Selain dituntut menindak tegas pelaku illegal logging,
pemerintah juga harus memprioritaskan kebijakankebijakan
yang ramah terhadap lingkungan, terutama dalam kebijakan
ekonomi. Kebijakan pemerintah yang sangat kapitalis tak jarang
mengorbankan aspek ekologis demi membangun kemegahan
artiisial daerah.
Membangun kebijakan publik yang berpijak pada penghor
matan tinggi terhadap hukum alam (baca etika terhadap alam)
adalah niscaya. Alihalih demikian, pemerintah (pusat/daerah)
selama ini justru sering menggunakan legitimasinya untuk me
mereteli alam secara liar tanpa memperhatikan pertimbang
anpertimbangan alam dan lingkungan dengan menjual nama
“untuk kepentingan umum”.
TI D A K C U K U P D ENGAN BANTUAN
91
Baik sadar atau tidak, kenyataan inilah yang memberikan
andil besar atas berbagai reaksi alam yang terjadi saat ini, se
perti gempa dan longsor di Banjarnegara dan jember barubaru
ini.
Selain itu, peran media massa dan institusi pendidikan
pun tidak kalah penting. Media massa sudah seharusnya mem
berikan ruang lebih besar untuk khalayak pada arah penghar
gaan dan penghormatan terhadap problemproblem ekologis
dan nilainilai luhur budaya yang melihat alam sebagai entitas
berjiwa.
Selain itu, institusi pendidikan pun tidak kalah penting.
Logika pembangunanisme dalam pendidikan yang menggurita
cenderung menciptakan anakanak didik tidak peka terhadap
nilainilai penghormatan terhadap alam.
Karena itu, bantuan yang kita salurkan sekarang hanya un
tuk saat ini, tetap tidak akan menyelesaikan masalah selama be
berapa elemen di atas masih berjalan semula. Jika tetap, ben
cana alam yang jauh lebih besar akan menunggu kita?
Gaung Semangat
Gotong-Royong
(Suara Karya, 21 November 2011)
F
enomena berbangsa dan bernegara kian tercabik dan
terberai. Disintegrasi pun tetap mengancam tali per
satuan. Perasaan saling curiga, membudayanya saling
hujat, nihilnya saling percaya, dan ragam pemandangan lainnya
yang tak sedap, pun merebak. Pada sisi lain, praktik korupsi
dan tindakan tak terpuji semakin jamak telanjang dilakukan
secara berjamaah. Kondisi ini, kian menggumpalkan kelusuhan
berindonesia kita dalam rentang 66 tahun kemerdekaan ini.
Sejak Indonesia berdiri, komitmen persatuan menjadi
pengikat yang meleburkan segala ego personal dan kelompok
menjadi ego Indonesia Raya. Sebuah ikrar yang lazim terjadi di
setiap negara dan bangsa mana pun, karena hanya tekad per
satuan itulah sebuah negara berdiri tegak dan dapat mengelola
dirinya dengan baik. Tanpa persatuan, tidak ada lagi rumusan
negara dapat bertahan lama. Uni Soviet sebagai negara adidaya
G A U N G SEMA N G A T G oToNG-RoyoNG
93
pun, runtuh tak berdaya akibat leburnya persatuan menjadi
fanatisme etnik. Jika disintegrasi mengental, berarti jurang ke
hancuran negara menanti.
Menelisik kondisi bangsa kini, sepantasnya kita cemas.
Nilainilai yang semestinya menjadi pijakan dalam berbangsa
kian luntur, sementara arus tantangan begitu kuat menerjang
di segala aspek budaya, politik, dan ekonomi. Korupsi mewabah
dan kian menggurita serta ikatan sosial antarwarga negara me
longgar. Globalisasi yang tidak terelakkan, misalnya, telah ba
nyak menghentak struktur nilai konvesional masyarakat kita
hingga ruang terkecil dan remehtemeh. Akhirnya, kelemahan
daya imunitas bangsa akan rentan menghadirkan sebuah bang
sa yang ringkih dan lemah.
Sisi lain, hampir tidak ada satu ruang pun yang hampa dari
praktik korupsi. Sistem kartel dengan mengakumulasi kapital
(baca: uang) merasuk menjadi predator yang merusak tatan
an berbangsa dan bernegara kita. Hubungan pemimpin dengan
rakyat tereduksi oleh sebongkah uang. Relasi aparat/penyeleng
gara dengan institusi negara pun tergerus oleh nalar kapital.
Akhirnya, kartelisasi yang merasuki segala lini tersebut mulai
merontokkan fondasi bangsa kita.
Jika kenyataan tersebut tidak diantisipasi secara dini dan
abai direspons, sungguh bisa menjadi ancaman nyata bagi ke
berlangsungan negara Indonesia ke depan. Pernyataan ini tidak
lah hiperbolik, apalagi bombastis, karena persoalannya begitu
dekat dan lekat dengan kehidupan seharihari kita. Setiap hari
kita disuguhi dengan beritaberita korupsi pejabat tinggi, keti
dakadilan hukum negeri, dan kian maraknya kemiskinan.
Untuk melerai segala potensi yang merontokkan sendi ber
bangsa, kita harus kembali kepada nilainilai luhur bangsa kita.
Gotongroyong adalah salah satu nilai luhur utama bangsa yang
seharusnya dijadikan ruh dalam segala aspek bertindak. Karena,
94
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
nilai gotongroyong bukan sekadar seremonial yang hanya ter
jebak pada praktikpraktik slogan tanpa ruh. Gotongroyong
merupakan tindakan bersama saling bahumembahu untuk
kemajuan bangsa, bukan sebaliknya. Nilai ini harus dijalarkan
agar menjadi landasan pijak dan tindak dalam membangun
bangsa yang lebih baik.
Soekarno menegaskan semangat gotongroyong lebih dina
mis dari nilai kekeluargaan dan menjadi intisari Pancasila. Para
founding fathers meletakkannya sebagai prinsip nilai bangsa
yang tidak lagi bisa ditawar. Tetapi, sangat memprihatinkan
ketika nilai gotongroyong yang merupakan ejawantah Pancasila
dan selalu didengungkan, senyap menjadi pajangan di dinding
yang tidak lagi bergelora dalam tindakan berbangsa. Gaung
gotongroyong pun pudar dalam tindakan.
Bangsa kita telah mencapai banyak pembaruan dan per
ubahan. Keterbukaan politik dilakukan, restrukturasi ekonomi
diupayakan, reformasi terus digelorakan. Tetapi, sayang, se
mangatnya masih jauh dari muara prinsip gotongroyong. Keter
bukaan politik justru disadap oleh hasrat an sich ingin berkuasa,
hukum hanya menjadi alat pelindung kaum penguasa dan kelas
elite, perbaikan ekonomi dipoles untuk mengeruk kekayaan de
mi diri sendiri (korupsi), dan gelora reformasi dijadikan ajang
kontestasi saling menjatuhkan demi kekuasaan.
Lambannya pembenahan bangsa sejak reformasi bergulir,
akibat tumpulnya ketajaman dalam menjadikan gotongroyong
sebagai pijakan pembaruan. Kebebasan dan keterbukaan politik
bergerak secara liar tanpa mengindahkan sendisendi solidaritas
kolektif sebagai bangsa. Jalan perubahan kita telah melenceng
dari semangat gotongroyong. Jika kondisi ini terus terbiarkan,
bangsa kita tidak semata akan mengalami turbulensi, tapi men
jadi lubang yang mematikkan bagi keutuhan negarabangsa
(nation-state) Indonesia.
G A U N G SEMA N G A T G oToNG-RoyoNG
95
Gotongroyong mengandaikan leburnya benteng ego perso
nal ke dalam ego kolektif untuk saling menopang demi kema
juan bangsa. Membangun gotongroyong berarti samasama
saling menopang dan bahumembahu untuk mewujudkan ke
baikan bagi negara dan bangsa, bukan sebaliknya. Namun, ke
tika keadilan harus ditegakkan, rasa kekeluargaan dan gotong
royong bukan berarti harus ditutupi atas nilai kebersamaannya.
Ketercabikan persatuan di tengah masyarakat akibat ego
yang demikian menyeruak harus dihentikan dengan menyemai
kembali semangat gotongroyong. Seruan untuk merekatkan
lagi rasa persaudaraan dan kebersamaan sebagai sebuah bang
sa yang besar oleh para pemimpin serta tokoh masyarakat sa
ngat diperlukan. Seruan gotongroyong yang digemakan terus
menerus, dapat membangun suasana baru dalam batin kebang
saan kita.
Tetapi, yang jauh lebih penting, seruan gotongroyong ha
rus digerakkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari jerat ko
rupsi yang merasuk ke seluruh sendi kebangsaan kita. Rapuh
nya negara akibat korupsi yang menggurita dan lusuhnya
persatuan harus dibangun dengan menumbuhkan kembali se
mangat gotong royong untuk menumbangkan korupsi. Inilah
kerja sama seluruh anak bangsa yang kuat dan ikhtiar untuk
menjaga moral bangsa.
Menerapkan
Pendidikan
Tanpa Kelas
(Jawa pos, 28 Mei 2004)
P
endidikan merupakan elan vital bagi kemajuan peradaban
suatu bangsa dan negara. Sebab, lewat pendidikan itulah
manusia berkualitas dan produktif bisa tercipta. Manu
sia yang berkualitas akan menjadi tolak ukuru kemajuan suatu
bangsa. Sebaliknya, manusia yang berilmu pengetahuan terbe
lakang akan menjadi cermin keterbelakangan bangsanya.
Dalam konteks ini, pendidikan menjadi satusatunya ru
yang rekayasa manusia agar bisa bersaing dengan manusiama
nusia bangsa lain. Pada tataran itulah relevansi menciptakan
putra bangsa agar bisa bersaing dalam kancah internasional.
Dengan demikian, tugas Indonesia sebagai negara adalah
harus mampu menggali serta merekayasa sumber daya manu
sianya. Sehingga, Indonesia bisa berjalan bareng negaranegara
internasional melalui prestasiprestasi gemilang anak bangsanya.
Dalam upaya ini, paradigm pasif yang diterapkan negara dengan
MEN ER A PK A N PEN D I D I K AN TANPA KELAS
97
hanya mencari bibitbibit (SDM) unggul harus diubah dengan
upaya aktif menciptakan bibit unggul. Suatu ikhtiar negara un
tuk memberikan ruang pendidikan bagi seluruh rakyatnya.
Tetapi, alihalih negara memberikan upaya rekayasa ma
nusia berkualitas melalui pendidikan, problem pendidikan justru
tidak dijadikan sebagai entitas prioritas. Negara terkesan lepas
tangan terhadap pendidikan. Terlihat, upaya yang diterapkan
pemerintah melalui otonomi kampus (PP No 61/1999) yang
kemudian berdampak pada kurangnya akses pendidikan bagi
rakyat secara menyeluruh.
Saat ini, sangat sulituntuk tidak mengatakannya mustahil
mencari pendidikan yang bisa dijangkau seluruh masyarakat
Indonesia. Bahkan, institusi pendidikan ada yang cenderung
melihat biaya mahal sebagai suatu kebanggaan. Pihak institusi
pendidikan yang murah merasa malu dari institusi pendidikan
yang bisa menerapkan biaya mahal. Sampaisampai, sulit mem
bedakan antara institusi pendidikan dan perusahaan.
Akhirnya, pendidikan menjadi sangat diskriminatif dan de
ngan sendirinya membentuk fragmentasi kelas antara kaya dan
miskin. Pendidikan hanya bisa dinikmati orang yang sanggup
secara inansial.
Pada level tersebut, yang menjadi persoalan mendasar ada
lah tingkat akses pendidikan yang bisa didapatkan masyarakat
secara menyeluruh. Dengan memberikan tingkat akses pendi
dikan secara menyeluruh, potensipotensi manusia Indonesia
yang belum dijamah pendidikan bisa dioptimalkan. Dengan
demikian, kesempatan anakanak bangsa meraih prestasipres
tasi di kancah internasional menjadi besar. Nah, jika biaya pen
didikan, lantas bagaimana nasib mereka yang kurang mampu?
Hal itulah yang saya maksud dengan pendidikan tanpa kelas.
Realitas yang harus dibangun dalam pendidikan tanpa
kelas adalah kompetisi kecerdasan. Yakni, orangorang yang
98
P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N
mampu secara kualitaslah yang bisa mendapat pendidikan,
bukan direduksi menjadi kompetensi kuantitas (baca: biaya).
itulah esensi pendidikan kompetitif.
Memang, beberapa institusi pendidikan menerapkan sema
cam tes penerimaan anak didik. Tetapi, lagilagi, kelulusan tes
tersebut tidak otomatis bisa diterima begitu saja, melainkan
harus membayar sekian biaya pendidikan.
Akhirnya, banyak sekali orang dari kalangan bawah yang
tidak lulus tes kognitif, gagal merasakan pendidikan karena
tidak tidak bisa memenuhi biaya yang begitu mahal. Jika de
mikian, kapan masyarakat Indonesia bisa cerdas dan meraih
prestasiprestasi internasional?
Banyak sekali putra bangsa yang memiliki kecerdasan luar
biasa. Tetapi, kecerdasan tersebut tidak terasah hanya karena
akses pendidikan yang diterima sangat rendah. Untuk menda
patkan pendidikan, mereka harus membayar mahal, sedangkan
biaya itu tidak bisa dipenuhi.
Pada sisi paling mendasar, realitas tersebut tentu akan me
rugikan negara yang sampai saat ini tercatat sebagai negara
yang kualitas penduduknya tergolong bodoh dan terbelakang
di dunia (lihat survei Human Development Index/HDI 2002).
Prestasi internasional dan potensi yang diperlihatkan putra
daerah Papua merupakan contoh kecil asumsiasumsi tersebut.
Septianus George Saa berasal dari keluarga kurang mampu.
Bahkan, dia sering membolos hanya karena kekurangan ongkos
kendaraan untuk pergi ke sekolahnya. Kecerdasan septinus yang
berasal dari keluarga bawah dan pelosok itu ternyata mampu
mebawa medali emas serta menyisihkan 73 kontestan negara
lain dalam lomba eksperimen isika melalui papernya, “ininite
triangle and hexagonal lattie networks of identical resistor”.
Karena itu, berdasarkan pemikiranpemikiran tersebut,
sebaiknya pihak institusi pendidikan (PTN/PTS) tidak memper
MEN ER A PK A N PEN D I D I K AN TANPA KELAS
99
besar biaya pendidikan. Jika persoalannya adalah subsidi pen
didikan dari negara sangat rendah, bukan berarti lantas pene
rapan biaya yang mahal dilegalkan. Tetapi, negara harus serius
merealisasikan subsidi yang diamanatkan undangundang.
Dengan demikian, ruang serta peluang anakanak bangsa
bisa bersaing dan mampu meraih prestasi dalam kancah inter
nasional secara optimal terbuka lebar.
BAGIAN Iv
DEMoKRASI
SUBSTANTIF
Memaknai Ulang
Keterlibatan Kiai
dalam Politik
(Jawa Pos, 29 Februari 2008)
S
ejak reformasi bergulir, sepak terjang kiai di dunia politik
meningkat. Politik seolah menjadi entitas yang tidak bisa
dipisahkan. Kenyataan tersebut mendeskripsikan bahwa
kenyentrikan dunia politik yang dahulu dianggap tabu mampu
menggoda siapa pun untuk terjun dan terlibat di dalamnya.
Tidak terkecuali para ulama dan kiai.
Nilai politik kiai berangkat dari dunia sosial dan kultur ber
beda. Dalam sejarah perpolitikan nasional, politik kiai memiliki
karakter yang unik, nyentrik, dan menukik. Dikatakan demikian
karena setiap manuver politik para kiai selalu mengandung dua
unsur sekaligus, sakral dan profan atau antara kejujuran/ketu
lusan dan kekuasaan.
Politik kiai mengalami jatuhbangun dalam panggung seja
rah politik nasional. Para kiai pernah bergabung dengan Partai
104
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
Masyumi sebelum memisahkan diri pada 1952 dengan men
dirikan Partai Nahdhatul Ulama.
Pada Pemilu 1955, NU menjadi kekuatan yang diperhi
tungkan dengan menempati urutan penting dan membayang
bayangi kekuatan partai besar seperti PNI dan PKI. Pada 1973,
NU melebur ke dalam PPP. Saat itulah, politik kiai terus ber
gerak luktuatif. Kiai/ulama tetap menempatkan dirinya sebagai
kekuatan politik nasional.
Latar belakang kiai yang melibatkan diri mengurusi politik
memang memiliki kekerabatan erat (ilogeni) dengan NU. Itu
menjadi tanda bahwa dalam ormas Islam terbesar tersebut,
daya tarik politik masih kuat. Meski kembali ke Khittah 1926
kemudian diambil ketika muktamar di Situbondo 1984.
Akan tetapi, akhirnya sikap tersebut tetap tidak mampu
membendung politik kiai yang kembali meledak seiring angin
reformasi berembus. Kenyataan tersebut seolah menegaskan
pernyataan Endang Turmudi (2004: 324) bahwa maklumat
kembali ke Khittah 1926 pada dasarnya merupakan kekecewaan
para kiai karena tergusur di PPP, seolah tidak murni untuk
menjauhi politik.
Menjelang Pemilu 2009, para kiai mulai memasang strategi
dan taktik untuk melakukan gerakan politik. Indikasinya terlihat
dari beberapa faksi partai yang mengatasnamakan kiai dan NU
yang sangat beragam.
Kekuatan kiai dan NU pun bukannya kukuh, melainkan
akan semakin lemah dan rapuh. Selain memecah kekuatan, ti
dak tertutup kemungkinan umat bingung dan jenuh sehingga
mereka lebih memilih berhijrah ke partai lain.
memaknai ulang
Dalam menghadapi pesta Pemilu 2009, sudah seharusnya politik
kiai dimaknai ulang. Bisa saja, perpecahan dalam tubuh ulama
M E M A K NA I U LA N G K ETER LI B A TA N K I A I DALAM PoLITIK
105
dan NU di daerah bukan disebabkan pilkada langsung, tetapi
keterlibatan para ulama yang terlalu jauh dalam perebutan ke
kuasaan di daerah. Umat di bawah terbelah seiring faksi yang
dimunculkan para kiai. Karena itu, memaknai ulang politik kiai
jelang 2009 ini menjadi sangat penting.
Pernyataan di atas bersandar pada beberapa hal. Pertama,
keterlibatan kiai dalam mengurusi politik tidak berjalan selaras
dengan proses pendewasaan politik di tingkat grass-roots. Ke
tika hal itu timpang dan tidak seimbang, kekerasan politik sulit
dihindari.
Pengalaman aksi sweeping sebagai pembelaan terhadap
Gus Dur pada 2001 adalah contoh ketidakseimbangan gerak
politik kiai dengan kedewasaan politik umat. Itu disebabkan
komunikasi politik kiai lebih cenderung dogmatis.
Kedua, sakralisasi partai politik. Bahasa agama acap keluar
untuk melegitimasi pilihan politik sehingga tidak jarang partai
politik yang seharusnya profan terlihat sebagai entitas yang
sakral. Semua orang di luar partai kiai dilihat sebagai entitas
yang salah, kotor, dan musuh yang mengancam. Ekslusivitas
muncul dan kekerasan pun terlegalkan.
Ketiga, politik kiai lebih berorientasi pada kekuasaan an
sich. Keterlibatan kiai dalam politik bukan berarti terjun dan
turut terlibat langsung dalam merebut kekuasaan. Kiai harus
tetap berpolitik, tetapi tidak diorientasikan pada kekuasaan,
melainkan pencerdasan dan penguatan civic education.
Politik seharusnya tidak dimaknai sebatas mendirikan par
tai dan menjadi kepala pemerintahan. Mendampingi umat agar
mengerti hakhak kewarganegaraannya juga merupakan bagian
dari perjuangan politik yang sangat strategis bagi kiai (ulama).
Dengan demikian, sudah waktunya memaknai ulang politik
kiai agar tidak an sich berorientasi kekuasaan. Kiai dan ulama
yang lebih dekat dengan umat (baca: rakyat) bukan saatnya lagi
106
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
membicarakan kekuasaan. Persoalan nyata yang dihadapi umat
saat ini adalah kebodohan dan kemiskinan.
Peran politik kiai dalam konteks tersebut bisa memberikan
penyadaran politik akan hakhak umat untuk memperoleh
pendidikan murah/layak, jaminan kesehatan, dan keadilan
dari negara. Itulah misi kenabian yang harus dijalankan para
ulama.
Meluruskan
Gerak
Partai Politik
(Seputar Indonesia, 28 April 2008)
S
ekalipun negara dibentuk untuk melindungi rakyatnya,
ia tetap berpotensi menjadi sosok raksasa yang ganas.
Bahkan Machiavelli menghalalkan negara melakukan
apa pun untuk melindungi kekuasaannya. Karena itulah, harus
ada sistem yang mampu menjinakkan langkah negara. Di sini
lah rakyat harus memainkan peranan yang kuat sehingga gerak
kekuasaan negara yang liar dapat diikat oleh tangantangan
rakyat. Sistem demokrasi yang menopang kekuatan rakyat se
bagai kedaulatan tertinggi dalam negara kemudian menjadi ja
waban atas itu.
Demokrasi sebagai sistem dari, oleh, dan untuk rakyat te
tap membutuhkan perangkat politik yang menjadi alat untuk
menjalankan dan mengontrol negara. Karena itulah, partai
politik kemudian diciptakan sebagai kendaraan rakyat untuk
menundukkan kekuasaan negara. Hal itu masih diyakini se
108
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
bagai sistem tak terpisahkan dari demokrasi bahwa tanpa alat
tersebut, kedaulatan rakyat atas negara seolah tidak dapat di
wujudnyatakan.
Sejatinya, peran partai politik diciptakan dan diperuntukkan
sebagai alat untuk menyeimbangkan kekuatan negara agar ber
gerak sesuai dengan kepentingan rakyat. Ketika negara melen
ceng, partailah yang meluruskan. Dalam logika tersebut, partai
pun diciptakan dari, oleh dan untuk rakyat, karena dia merupa
kan jelmaan tangantangan rakyat. Partai dan rakyat menjadi
satu kesatuan yang utuh, tak terpisahkan. Derita rakyat, derita
partai.
Ibarat api yang jauh dari panggang. Alihalih menjadi ba
gian dari derita rakyat, tidak jarang partai politik justru menjual
jeritanjeritan rakyat hanya untuk memenuhi hasratnya agar
menjadi bagian dari negara (baca: kekuasaan). Orientasi partai
politik tidak lagi merunduk dan menyatu dengan rakyat, me
lainkan mendongak ke kekuasaan. Maka, jangan heran jika di
internal partai ada yang saling gontokgontokan merebut ke
kuasaan, padahal di pojokpojok kota banyak orang miskin ke
laparan.
Dalam paradigma itu, partai politik pun kemudian begitu
mudah dibuat. Jika memiliki banyak modal, siapa pun dapat
mendirikan partai politik. Partai yang seharusnya dibentuk
dari konsolidasi kegelisahan politik rakyat justru menjadi ajang
unjuk gigi politik para elite. Inilah yang menjadikan ruh partai
tidak berada di jantung rakyat, melainkan berada dalam geng
gaman para elite politik. Partai pun diciptakan dari, oleh, dan
untuk mengamankan kepentingan dan ambisi para elite.
Jauhnya partai dari jamahan rakyat dikarenakan partai ti
dak lagi memosisikan dan menerjemahkan diri mereka sebagai
bagian dari rakyat. Partai lebih banyak mengidentiikasi dirinya
sebagai bagian state daripada society. Walhasil, kritisisme par
MELU R U SK A N G ER A K PARTAI PoLITIK
109
tai meleleh oleh gelembungan hasrat untuk menjadi state. Ke
bobrokan negara dalam mengurus rakyatnya pun abai dilihat.
Terkadang sekalipun kritis, tetapi bukan karena rakyat, melain
kan sakit hati karena kepentingannya tergerus oleh partai yang
menjadi penguasa.
Disorientasi politik partai di atas kemudian memakzulkan
ideologi negara menjadi “abuabu”. Boleh saja Pancasila diang
gap sebagai ideologi inal negara, tetapi klaim itu tidak berjalan
selaras dengan kenyataan yang ada. Gerak ideologi negara
yang “abuabu” merupakan efek dari kekosongan ideologi par
tai. Asumsi ini muncul karena sistem politik yang kita jalani
saat ini—diakui atau tidak—digerakkan oleh partai. Yakni,
memberikan ruang yang sangat besar terhadap partai untuk
menjalankan dan mewarnai kiprah negara.
Hegemoni partai terhadap negara yang berlebihan menjadi
masalah ketika partai mengalami anomali dan disorientasi
politik secara besarbesaran, tidak lagi memiliki misi profetik
untuk melindungi rakyat dalam gerak politiknya. Fenomena se
karang ini menjadi bukti kegagalan partai politik dalam men
jalankan tugas sebenarnya. Bahkan, penyimpangan kekuasaan
dari kaum elite tidak jarang justru dipicu oleh sistem kerja par
tai itu sendiri yang menciptakan penyedotan pundipundi (ko
rupsi, kolusi) dari harta rakyat.
Berbenah diri
Dalam langgam ini, harus ada rekayasa untuk membangun
sistem yang mampu meneguhkan kembali keberadaan partai
politik yang benarbenar menjadi penyambung lidah ketika
negara melakukan pengabaian suara societynya. Jika keber
adaan ini tetap dibiarkan, pamor partai politik lambat laun
akan redup dan ditinggalkan oleh rakyat yang semakin cerdas.
Keniscayaan sistem kepartaian dalam demokrasi pun dapat di
110
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
runtuhkan karena perannya akan diambil alih oleh kantong
kantong society yang netral dari “berahi” kekuasaan yang tanpa
spirit profetik.
Kemenangan igur-igur dalam pilkada di beberapa daerah
yang justru tidak berasal dari partai mayoritas sebenarnya indi
kasi bahwa partai politik tidak lagi menjadi satusatunya wadah
yang dipercaya akan memperjuangkan kepentingan masyarkat
secara utuh. Ekspektasi perubahan mulai digeser oleh kekuatan
igur, tidak lagi partai politik. Tampaknya, partai politik harus
kembali mereleksikan dirinya dengan melakukan reorientasi
atas misi politik yang dijalankannya.
Berdasarkan postulat pemikiran di atas, ada dua langkah
mendasar yang harus dilakukan partai. Pertama, merumuskan
dan mempertegas kembali ideologi. Partai yang tidak memiliki
ruh gerak (baca: ideologi) tidak hanya menjadikan platform
partai kabur, tetapi juga akan menjadikan partai hanya sebagai
ajang berkumpulnya politikuspolitikus oportunis. Apalagi jika
ideologinya adalah uang. Semua partai harus memiliki nilai
luhur yang diperjuangkan secara ideologis. Karena nilai itulah
yang akan menjadi spirit gerak partai dan kadernya. Tanpa itu,
partai mudah rapuh.
Kedua, membongkar paradigma dan redeinisi peran serta
fungsi partai politik yang sebenarnya. Proses pembongkaran ini
sebagai upaya menentukan posisi sejati partai politik di mata
rakyat dan mempertegas visi profetiknya, yakni keberpihakan
pada citacita menyejahterakan rakyat dan karakter kebangsa
an. Kedekatan partai dengan pusaran kekuasaan akan menjadi
bahaya jika peran dan fungsi partai yang sejati sebagai penyam
bung lidah rakyat belum tertancap dengan kuat.
Kedua poin di atas penting untuk dilakukan sebagai jalan
untuk mengembalikan posisi partai yang sebenarnya. Partai
politik harus berani untuk melakukan perombakan dan pem
MELU R U SK A N G ER A K PARTAI PoLITIK
111
benahan jika tidak ingin dilibas oleh kekuatankekuatan baru,
seperti akan munculnya igur-igur perseorangan yang lebih
menampung harapan masyarakat yang membutuhkan kesejah
teraan. Akhirnya nanti, waktulah yang akan menentukan bahwa
partai politik yang tidak bermanfaat pasti akan ditinggalkan
oleh rakyatnya.
Media dan
Regulasi Bangsa
(Jawa Pos dan Padang Ekspress, 28 Juli 2011)
A
khirakhir ini, media sering dituding berada di posisi
yang salah. Serangan itu tidak hanya datang dari masya
rakat, tapi juga mulai muncul dari penguasa. Penguasa
mulai bersuara mengambinghitamkan media ketika gerak me
dia dirasa mengancam kekuasaannya (state regulation). Protes
rakyat pun tidak kalah membahana ketika poros media lebih
dominan tunduk pada pasar (market regulation).
Di sinilah, penulis akan mendiskusikan peran media yang
demikian penting dan vital di tengah kebebasan informasi yang
masih menyisakan dilema. Denis McQuail sangat meyakini pe
ran besar media sebagai mesin citra pada abad modern. Media
bukan sekadar jejaring mesin yang memberikan kabar dan be
rita kepada khalayak semata, tapi juga mampu mengontrol serta
mengarahkan pikiran publik.
Dengan suguhan pesan yang disampaikan media, masya
rakat mencernanya sebagai pesan apa adanya, tanpa tendensi,
MED I A D A N R EG ULASI BANGSA
113
sampai membangun zona pengetahuan baru. Itulah alasan
McQuail menegaskan media sebagai mesin pembentuk opini
dan pengetahuan pada abad ini.
Di Indonesia, keterbukaan media dan informasi tidak ha
nya memberikan ruang besar bagi kebebasan publik, tapi juga
kebebasan media. Ranah kebebasan bagi media merupakan
salah satu capaian era Reformasi yang paling dirasakan. Pada
masa Orba, media dikanalkan menjadi satu melalui legitimasi
dan otoritas negara. Mediamedia pelat merah tersebut menye
barkan beritaberita untuk menopang kekuasaan pemerintahan
Orde Baru. Tepatnya, menurut istilah Althusser, media men
jadi manifestasi ideological state apparatus pemerintahan
Soeharto.
Ketika era keterbukaan itu sedang berlangsung, media ber
gerak bebas, namun tidak berarti tanpa muara dan sentrum.
Keruntuhan tangan negara membuka jeruji yang memenjarakan
kebebasan, mendorong terjadinya pergeseran sentrum di da
lam tubuh media. Negara tidak lagi memainkan peran stra
tegis, melainkan hanya berpartisipasi dalam menjamin keter
sediaan ruang kebebasan melalui regulasi serta kekuatan
legitimasinya.
Hal itu terlihat dalam upaya negara mengeluarkan undang
undang yang mencoba mengontrol kebebasan media. Dilema
StateMarket pascaReformasi, pergeseran media berada
dalam dua sentrum, yakni kekuatan modal dan relasi kuasa.
Pergeseran itu beralih dari kuasa negara ke arus sentrum mo
dal dengan menguatnya industrialisasi media. Di sinilah, pe
rangai media bergeser dari mesin ideologi negara (istilah
Althusser, ideological state apparatus) ke ruang kompetisi pa
sar. Logikanya pun beralih, tidak lagi mengawal kepentingan
negara dan penguasa, tapi mengawal kepentingan akumulasi
modal yang sebanyakbanyaknya.
114
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
Nalar media sebagai bisnis pun kian menggurita. Kiblat
akumulasi modal media menggerakkan aktivitas media ke arah
komersialisasi. Kualitas program kemudian tereduksi sejauh
mana program tersebut mencapai rate dan share yang tinggi
sebagai syarat untuk meraup keuntungan, sedangkan nilai dan
efek pesan tidak lagi menjadi penting. Walhasil, media pun ber
gerak liar dan berubah menjadi mesin ideologi pasar yang kon
sumtif. Pemberitaan video mesum artis yang menghebohkan
sebulan penuh menjadi contoh betapa ideologi pasar itu begitu
kuat karena mendatangkan rate dan share yang tinggi.
Media tidak lagi beragam, melainkan bergerak dalam war
na yang seragam dalam akumulasi kapital. Pada masa Orba,
media terbelah ke dalam dua wajah, sebagai “oposisi” atau ba
gian dari pelindung negara. Kompetisi dan pertarungannya sa
ngat ideologis. Tapi, pascaReformasi, media berlombalomba
dalam satu semangat komersialisasi, ajang untuk mendongkrak
keuntungan sebanyakbanyaknya melalui industrialisasi berita.
Karena itu, nilai ideologis berita acap tereduksi oleh neraca aku
mulasi keuntungan dan nalar bisnis.
Nalar kapitalisasi media tidak jarang melabrak fondasi eti
ka yang sudah terbangun di tengah masyarakat. Dengan kebe
basan, media yang diharapkan mampu memperkuat karakter
dan fondasi kebangsaan terjungkirbalikkan menjadi media
sebagai sarana mengeroposkan etika bangsa. Peran dan tugas
mulia media terabaikan karena etika kebangsaan ditelakkan di
bawah kepentingan bisnis.
Kekuatan media akan mengerikan ketika zona bisnis yang
demikian kuat didukung masuknya kepentingankepentingan
untuk menguasai politik negara. Di sinilah kekuatan bisnis me
dia bersenyawa dengan kekuatan politik berlangsung. Media
tidak hanya menjadi alat akumulasi kapital, tapi juga menjadi
alat kontestasi kekuasaan.
MED I A D A N R EG ULASI BANGSA
115
Media benarbenar menjadi alat konstruksi opini sebagai
mana keyakinan McQuail tersebut ketika kekuatan pengusaha
dan penguasa bersenyawa menggerakkan media.
Segala pesan yang disampaikan kepada masyarakat berubah
menjadi bungkus yang menyembunyikan sekian kepentingan,
baik kepentingan modal maupun kepentingan kekuasaan.
Akibatnya, sangat jarang spirit edukasi menggelayuti napas
dunia media, kecuali pertarungan penanda dan pertanda untuk
modal serta kekuasaan. Penanda dan pertanda tersebut disu
guhkan melalui beritaberita dan program lainnya. Itulah yang
kita saksikan akhirakhir ini yang mulai ditunjukkan secara
vulgar di hadapan publik.
Nation apparatus mengharapkan negara kembali mengon
trol media tentu tidak mungkin. Membiarkan media bergerak
liar pun tidak dapat dibenarkan. Karena itu, dibutuhkan
entitasentitas independen yang kuat untuk mengontrol (bukan
mengendalikan) gerak media. Selama ini, entitas formal belum
maksimal melakukan kontrol kuat terhadap media. Sementara
itu, mengharapkan civil society juga tidak cukup tenaga untuk
menghadangnya. Diperlukan keberpihakan nilai untuk menyo
kong daya kontrol terhadap media.
Tapi, yang lebih penting dari itu, diperlukan kesadaran
tulus bagi penggerak media agar memainkan fungsinya sebagai
alat penguat kebangsaan (ideological nation apparatus).
Media harus tunduk pada regulasi bangsa (nation regulation), tidak lantas semakin mencabik dan meruntuhkan fon
dasi bangsa. Peran tersebut sangat dinanti di tengah kecamuk
nasionalisme dan rasa persatuan yang rapuh di Indonesia.
Daya konstruksi pengetahuan media sejatinya diarahkan untuk
mengonstruksi penguatan spirit kebangsaan, sehingga bangsa
kita tidak runtuh oleh anak bangsa sendiri.
Perselingkuhan
Uang dengan
Kekuasaan
(Jawa Pos, 4 Juli 2007)
U
ang bukan segalagalanya, tapi segalagalanya membu
tuhkan uang. Pernyataan tersebut menjadi falsafah hi
dup yang merasuki seluruh aktivitas politikus kita. Uang
tidak hanya menjadi alat tukar barang, tetapi juga telah mampu
mengontrol totalitas kehidupan manusia dalam segala hal.
Dalam politik, uang bagian dari kekuatan yang dapat meng
antarkan kemenangan. Itulah yang kini merasuki segala insti
tusi politik negeri ini. Tak pelak, keterlibatan sejumlah anggota
DPR dalam penggunaan dana Departemen Kelautan dan Per
ikanan (DKP) merupakan contoh ketidakberpisahan uang de
ngan politik.
Uang dan kekuasaan ibarat dua mata uang, tidak terpi
sahkan, tetapi saling menopang satu sama lain. Politik mem
butuhkan uang untuk mengatrol kemenangan, sementara uang
PER SELI N G K U H A N U A N G D EN G A N KEKUASAAN
117
membutuhkan politik sebagai kendaraan untuk memperoleh
keuntungan (more money).
Dalam bahasa berbeda, penguasa membutuhkan pengusaha
dan pengusaha membutuhkan penguasa. Sinergisitas keduanya
akan memunculkan kekuatan luar biasa. Dalam percaturan po
litik Indonesia, tren take and give antara uang dan kekuasaan
atau antara penguasa dan pengusaha begitu terlihat.
Karena itu, seorang yang ingin menjadi penguasa, dia harus
mengeluarkan sekian triliun uang rupiah dari koceknya. Dengan
demikian, hanya mereka yang berduit yang dapat berkompetisi
merebut kemenangan. Tanpa uang, kekuasaan hanya menjadi
angan yang mengawang.
Selain problem sistem politik, pergeseran sosial budaya ma
syarakat merupakan satu faktor yang membuka kans merapatnya
kekuasaan kepada uang. Misalnya, kondisi masyarakat yang
memuja banalitas dan artiisialitas, memaksa para politikus
berpromosi seperti iklan. Sementara iklan membutuhkan biaya.
Dus, tidak heran jika Amien Rais menerima dana DKP hanya
untuk berkampanye di depan layar televisi.
Perselingkuhan uang dan kekuasaan, diakui atau tidak,
merupakan bagian dari problem demokrasi yang belum dapat
dieliminasi hingga saat ini. Di Amerika Serikat, uanglah yang
menentukan kemenangan. Amy dan David Goodman (2004),
misalnya, di dalam bukunya The Exception to the Rulers, mem
bongkar konspirasi antara perusahaan minyak dengan George
W. Bush untuk merebut kursi presiden di AS. Pada lain sisi,
Bush membutuhkan konglomerat untuk meraih kemenangan
yang otomatis juga mendatangkan keuntungan (more money).
Begitu juga yang terjadi di negeri ini. Keterlibatan sejumlah
pemimpin kita dalam kasus DKP merupakan bagian kecil dari
sekian gundukan perselingkuhan kekuasaan. Dus, bisa saja
118
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
penguasa memiliki kekuasaan yang tiada tara, tetapi ia tidak
akan mempunyai kekuatan ketika berhadapan dengan uang.
Soeharto boleh saja tampak perkasa (baca: otoriter) di ha
dapan rakyatnya, tetapi keperkasaan itu luluh di hadapan geli
mang harta. Dengan hak interpelasi, DPR boleh perkasa di ha
dapan eksekutif. Tapi, jangan harap mereka bersuara ketika
uang sudah menginterupsi.
Logika dan sistem yang demikian barang tentu akan meron
tokkan segalagalanya. Kebenaran akan diukur seberapa jauh
uang dapat diperoleh. Gerak langkah kekuasaan pun menjadi
liar.
Parahnya, kenyataan tersebut semakin diperkuat oleh sis
tem perpolitikan kita. Kepartaian dalam demokrasi memaksa
setiap orang yang bertarung di gelanggang politik untuk “me
nyedekahkan” sekian uangnya agar mendapat restu partai dan
menempati urutan utama.
Syahdan, lengkap sudah kepungan uang dalam bahasa po
litik kita. Dengan demikian, ketika menjadi DPR, mereka meng
abdikan diri pada uang, bukan kepada rakyat. Tidak heran jika
DPR minta naik gaji sekalipun rakyat bawah dalam kondisi ke
laparan.
Akhirnya, mereka yang tidak memiliki uang akan berusaha
sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Sebab, dengan begitulah
dia akan mendapatkan kemenangan. Di sinilah ruang dan pe
luang penyimpangan uang yang semestinya milik publik
(res publica), justru digunakan untuk kepuasan pribadi (res
private), acap terjadi.
Seperti yang terjadi pada kasus DKP yang dijadikan modal
berkampanye pada Pemilu 2004 lalu. Para politikus kita terje
pit pada posisi hasrat berkuasa yang tidak terbendung, tetapi
kemampuan modal sangat minim. Sementara, meraih kekuasa
PER SELI N G K U H A N U A N G D EN G A N KEKUASAAN
119
an membutuhkan uang yang banyak. Dus, menilap uang rakyat
pun jadi “solusi”.
Karena itu, mengembalikan tanggung jawab perbaikan se
penuhnya pada individu pun belum tentu dapat dilakukan. Perlu
ada perombakan sistem secara besarbesaran. Sinergi sistem de
ngan perbaikan individu para dewan akan menciptakan nuansa
politik yang benarbenar berpijak pada suara nurani, bukan lagi
pada keinginan akan money. Mengubah aturan politik dan me
nindak kejahatan korupsi mereka merupakan salah satu cara.
Bagaimanapun, keterlibatan sejumlah anggota DPR dan
politikus lain dalam masalah dana DKP merupakan contoh ke
cil dari keterbudakan para pemimpin kita oleh uang dan ke
kuasaan. Semuanya dapat dieliminasi jika ditopang dengan
perombakan sistem serta pembenahan moral individu secara
integral.
Uang di Balik
Perang
(Media Indonesia, Jumat 24 Februari 2006)
P
erang tidak bisa dilihat sebatas cermin dari kecongkakan
manusia atas manusia lainnya: Mustahil, perang murni
digerakkan semangat agama, perdamaian, apalagi dile
galkan semata demi menegakkan demokrasi (baca: invasi lrak).
Pada era sistem kapitalisme yang liar bebas, dan mengglobal
ini; hanya satu bahwa perang senantiasa dibalut kepentingan
dan keserakahan, yakni kepentingan dan keserakahan pemodal
dalam melakukan ekspansi ekonomi.
Itulah yang ingin dibongkar Amy Goodman melalui buku
The Exception to the Rulers: Exposing Oily Politicians War
Profiteers, and the Media That Love Them. Menurut Amy
Goodman, perang adalah rekayasa belaka. Karya Amy Goodman
yang dialihbahasakan Evi Setyarini menjadi Perang Demi Uang:
Kebusukan Media, Politikus dan Pebisnis Perang seakanakan
mewakili penulisnya yang memiliki semangat kemanusiaan.
U A N G D I BALIK PERANG
121
Panggilan kemanusiaanlah yang mendorong Amy untuk
kritis dan berteriak atas nama kemanusiaan dalam menentang
segala bentuk perang. Dari pengalamannya sebagai jurnalis
yang bergelut di lapangan, Amy Goodman membongkar secara
tajam dan akurat perselingkuhan antara negara, pemodal, dan
media dalam perang Irak.
Misalnya, tulisan Amy yang cukup memukau dalam buku itu
adalah saat membongkar konspirasi pembagian harta ghanimah
atau pampasan perang antara Amerika Serikat (AS) dan
pemodal: Tahun 2003, sekitar 90 perusahaan yang membantu
US$ 500 ribu untuk kampanye George W. Bush memenangkan
kontrak proyek pascaperang di Irak dan juga Afghanistan.
Beberapa perusahaan itu, Science International Corporation
(SAIC), Flour Corporation, Dyn Corp, Vinnel Corporation,
Bechtel Group, dan Washington Group Internation. Adapun
nilai kontrak masingmasing perusahaan berkisar mulai US$
48 juta hingga US$ 1 miliar untuk 20022003.
Tidak mengherankan jika di mata penguasa, Amy Goodman
lebih lekat sebagai sosok ancaman daripada teman. Misalnya,
mantan Presiden AS, Bill Clinton, menganggap jurnalis yang
mendapat penghargaan George Polk Award ini sebagai orang
yang senantiasa bermusuhan, memicu adu mulut, dan bahkan
tidak hormat.
Wacana yang dicobahadirkan oleh buku ini sangat relevan
dengan konstelasi politik global saat ini, seperti ketegangan
Iran (Timur) dengan AS dan Eropa (Barat) mengemuka seolah
tinggal menunggu letupan perang dunia jilid III. Saatnya dunia
mengatakan “tidak” pada perang.
Buku karya Amy Goodman dan dibantu saudara lelakinya,
David Goodman, ini wajib bagi mereka yang ingin keluar dari
kegemarannya berperang mengatasnamakan perdamaian. De
ngan pengalihbahasaan yang lunak dan enak dibaca, nuansa
122
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
meledakledak dan provokatif tapi kontemplatif dari tulisan
Amy Goodman ini tetap hadir.
Pada akhirnya, melalui radio Pacipica dan Democracy
Now!nya, Amy memberikan contoh pentingnya menghadirkan
media yang memihak, selain juga membebaskan media sebagai
alat penguasa dan pengusaha.
Karena itu, media apa pun tidak akan terkikis hanya karena
menghadirkan wacanawacana populis dan kritis, sekalipun
melawan arus wacana media massa mainstream yang diken
dalikan penguasa yang bengis.
Bencana ketika
Pemilu Berlalu
(Jawa Pos, 9 September 2009)
K
etika musibah Situ Gintung meledak (27/3), Presiden
dan Wakil Presiden langsung terjun ke lokasi hari itu
juga. Reaksi solidaritas bermunculan, khususnya dari
politikus (baca: calon legislatif) dan partai politik. Bahkan, SBY
rela dibonceng menggunakan sepeda motor menerjang kema
cetan jalanan menuju tempat bencana.
Inilah momen paling strategis bagi politikus untuk menun
jukkan kepedulian kepada masyarakat. Sebab, bencana itu “da
tang tepat” pada waktunya. Yakni, kurang lebih satu minggu
sebelum pemilu legislatif berlangsung.
Namun, kepedulian yang ditunjukkan para elite politik ter
sebut kini berbanding terbalik saat terjadi gempa di Tasikmalaya
beberapa hari lalu (2/9). Tak ada satu pun pejabat penting yang
langsung terjun ke lokasi, kecuali pejabat lokal. Padahal, ribuan
pengungsi korban gempa berkekuatan 7,3 skala Richter ter
124
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
sebut hingga hari ini masih telantar di Tasikmalaya. Lengkap
sudah derita mereka ketika bantuan dari para pemimpin dan
pemerintah yang diharapkan pun tidak datang dengan mudah.
Sungguh sebuah respons dan sikap yang jauh berbeda ke
tika bencana terjadi sebelum pemilu. Gempuran bantuan dan
empati seakan lenyap seiring kepentingan politik itu selesai.
Bencana memang benarbenar bencana bagi rakyat ketika
pemilu berlalu. Bandingkan dengan reaksi terhadap bencana
Situ Gintung, misalnya. Semestinya, bencana—apalagi yang
menewaskan korban jiwa—bagaimanapun dan sekecil apa pun,
tidak boleh dibedakan; melepas segala kepentingan.
***
Absennya kepedulian para politikus dan partai dalam bencana
ketika pemilu usai dapat menyeruakkan keraguan publik bahwa
para politikus tidak benarbenar memedulikan nasib rakyat.
Mereka peduli ketika butuh suara rakyat saat pemilu. Ironisnya,
justru tatkala korban bencana merana, para wakil terpilih, DPR
DPD 20092014, rencananya menghabiskan biaya pelantikan
yang sangat besar, sekitar Rp 75,61 miliar.
Para politikus seolah hanya memikirkan bagaimana men
dapatkan pundipundi untuk kelompoknya semata; merebut
kabinet dan jabatan di parlemen. Sementara rakyat yang terkena
bencana tidak lagi diperhatikan karena momen kepentingan
politik itu telah usai. Bukankah mereka tidak akan pernah du
duk sebagai wakil tanpa dukungan para korban bencana ter
sebut?
Beberapa catatan perlu disampaikan terkait kondisi terse
but. Pertama, bencana mudah dijadikan komoditas politik, ka
rena mampu mereproduksi citra populis/peduli para donatur
untuk korban. Inilah yang disebut pseudopopulis atau populis
B EN C A N A K ETI K A PEMILU BERLALU
125
tipuan (Agus Hilman, Jawa Pos, 1/4). Partai dan politikus hanya
melihat bencana dalam kalkulasi politik. Jika menguntungkan
bagi citra dan kekuasaannya, bencana diperhatikan. Tetapi,
bencana diabaikan jika dianggap tidak produktif.
Kedua, fenomena tersebut menegaskan diskontinuitas/in
konsistensi perilaku politikus dan partai terhadap konstituen.
Keberjarakan politikus dan parpol akibat menguatnya mindset
pragmatisme politik yang transaksional antara politikus dan
konstituen. Politik uang (money politics) yang dikeluarkan
untuk merayu pemilih dikalkulasi sebagai bentuk transaksi jual
beli suara. Tesis yang terbangun kemudian, politikus merasa
relasi tanggung jawabnya terhadap konstituen sudah putus
ketika pemilu usai, karena relasinya jualbeli.
Arjen Boin dan Paul Hart pernah menganalisis bagaimana
politik merespons bencana di Belgia yang mampu menjelaskan
varian respons terhadap bencana. Terkadang, bencana yang
lebih besar tiada respons, tetapi di sisi lain bencana yang lebih
kecil justru mendapat porsi respons yang cukup besar dari po
litikus. Hal ini bisa jadi disebabkan aspek “keuntungan” politik
yang terkandung di dalamnya lebih menguntungkan daripada
bencana lain yang lebih besar.
Cerita bencana yang selalu dimanfaatkan, baik secara poli
tik atau bahkan ekonomi, memang bukanlah lembar cerita ba
ru. Selalu ada aktor yang menunggangi bencana untuk kepen
tingan sendiri. Di dunia ekonomi, bencana acap menjadi ladang
konspirasi untuk mengeruk keuntungan oleh kaum pemodal
yang sering disebut kapitalisme bencana (disester capitalism).
Menurut Naomi Klein (2007), bencana acap kali dijadikan mo
mentum yang tepat untuk memengaruhi kebijakan publik dan
menancapkan pasar bebas.
Nyatanya di beberapa negara, pascabencana dijadikan lahan
untuk mengeruk keuntungan modal melalui proyek recovery.
126
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
Ini terjadi, baik pada bencana alam maupun yang sengaja di
ciptakan, seperti perang. Di Irak, misalnya, pascaagresi tentara
Amerika Serikat, para konglomerat yang turut memenangkan
George W. Bush sebagai Presiden AS langsung mendapat jatah
untuk menguasai kilangkilang minyak di sana (Amy Goodman,
2003). Sebuah bencana yang diciptakan melalui perang untuk
kepentingan korporasi. Inilah salah satu perangai disester
capitalism.
Bencana memang selalu tidak memihak kepada korban.
Ibarat jatuh tertimpa tangga, duka karena lenyapnya harta
benda dan ancaman rusaknya tata nilai lokal akibat bencana
malah menjadi bahan komoditas. Bencana benarbenar menjadi
bencana ketika kejujuran mata hati ditutupi oleh kabut hasrat
kekuasaan dan kapital.
Kini, bencana alam akan terus mengancam ke depan. Se
mentara harapan terhadap para pemimpin/politikus untuk
benarbenar berpihak tanpa pamrih semakin tipis. Haruskah
menunggu pemilu lagi agar kepedulian politikus dan partai ber
gairah kembali?
MPR Harus
Konsisten
(Jawa Pos, 7 Agustus 2003)
H
asil amandemen UUD 1945 mengubah wajah dan sis
tem pemerintahan Indonesia, jika dahulu MPR ber
fungsi dan berperan sebagai lembaga tertinggi negara
yang kewenangannya meliputi apa saja (omnipotent), kini ke
dudukannya terbatasi (hampir) setara dengan legislatif dan
eksekutif sebagai lembaga tertinggi.
Karena itu, ST MPR 2003 dan untuk masa yang akan da
tang berbeda dengan ST MPR 2002 maupun 2001. Karena
progress report menjadi tidak penting pascaamandemen UUD
1945 tersebut, MPR tidak lagi berhak meminta progress report
dan pertanggungjawaban presiden yang berkaitan dengan
pelaksanaan GBHN.
Tetapi, yang berkenaan dengan UUD, MPR masih memiliki
kewenangan penuh. Hal ini mengacu pada Pasal 2 aturan per
alihan UUD hasil amandemen, namun berbeda jika kita meng
128
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
acu pada Pasal 3 UUD yang asli yakni MPR memiliki tugas dan
wewenang menetapkan UUD dan GBHN.
Perbedaannya makin terasa kala melihat Pasal 3 ayat (1)
UUD 1945 amandemen yang menggariskan bahwa kewenangan
MPR hanya mengubah dan menetapkan UUD. Sementara itu,
di dalam ayat (2) dan (3), tugas MPR adalah melantik presiden
dan wakil presiden serta dalam masa jabatan mereka menurut
UUD 1945 hasil amandemen.
Atas perubahan kewenangan itu, keluasan wewenang MPR
tidak seperti dahulu. MPR kini hanya bertugas mengangkat
presiden dan tidak berhak melakukan impeachment. Demikian
diungkapkan Ketua MPR Amien Rais pada suatu kesempatan di
harian nasional terbitan ibu kota. Bahkan, pengkajian masalah
UUD kini diserahkan pada Komisi Konstitusi (KK) yang ren
cananya dibentuk pada ST MPR 2003 ini.
Maka itu, ST MPR yang berlangsung saat ini merupakan
sidang yang terakhir mendengarkan laporan progress report
presiden, karena jika berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen,
MPR tidak berwenang lagi meminta presiden maupun lembaga
tinggi lainnya menyampaikan progress report. Demikian juga,
presiden ataupun lembagalembaga tinggi negara lainnya ti
dak perlu lagi melakukan pertanggungjawaban kinerja di ha
dapan MPR dan MPR tidak bisa berbuat semuanya terhadap
presiden.
Berdasarkan pernikpernik pemikiran di atas, desakan se
jumlah fraksi agar pimpinan dan seluruh anggota majelis mem
bentuk komisi rekomendasi sebagai koreksi/evalusai terhadap
kinerja presiden menjadi kurang relevan dan ironis. Dikatakan
ironis karena bukankah yang mengamandemen UUD 1945 yang
melegalkan presiden tidak menyampaikan progress report dan
pertanggungjawabannya adalah anggota MPR? Toh tetap saja
hal itu dilabrak.
MPR H A R US KoNSISTEN
129
Sesungguhnya, di sinilah kita patut mempertanyakan kon
sistensi anggota majelis terhadap UUD 1945 yang diamandemen
bersama, UUD amandemen yang telah disepakati bersama itu
haruslah dijalankan secara saksama dan konsisten. Kalaupun
penerapan UUD tersebut masih menimbulkan polemik yang
tak berkesudahan, sahsah saja UUD 1945 hasil amandemen
tersebut ditinjau kembali.
Mengacu tahun sebelumnya, ST MPR memang berwenang
mendengar, mengevaluasi, serta meminta presiden menyampai
kan progress report dan pertanggungjawabannya. Hal itu me
rupakan turunan fungsi yudikatif untuk mengoreksi hasil kerja
dan program kerja yang telah dirancang pemerintah. Dengan
begitu, pemerintah tidak dapat semenamena menerapkan ke
bijakan yang tidak sesuai dengan konstitusi (UUD/GBHN).
Permasalahannya, selama ini ‘kan tidak ada reasoning yang
jelas mengapa kewenangan itu diamandemen MPR sehingga
progress report dan laporan pertanggungjawaban ditiadakan
dalam ST MPR. Padahal, laporan progress report dan per
tanggungjawaban presiden beserta lembagalembaga tinggi ne
gara sangat penting diadakan sepanjang berada pada koridor
tertentu. Yakni murni untuk meluruskan dan mengoreksi
pemerintah.
Bisa jadi, peniadaan progress report maupun pertanggung
jawaban presiden karena berkaca pada sejarah. Yakni sejarah
perpolitikan Indonesia yang acap menjadikan progress report
dan pertanggungjawaban dalam ST MPR sebagai batu loncatan
atau modus operandi untuk menggulingkan dan mencitrane
gatifkan presiden. Akibatnya, hal itu berpeluang mengabaikan
objektivitas sisi kebenaran dan keadilan kolektif, sebagaimana
tragedi ST MPR 2001 yang kemudian dipercepat menjadi Sidang
Istimewa (SI) MPR dan membawa Presiden KH Abdurrahman
Wahid lengser dari tampuk kekuasaannya.
130
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
Alasan kedua, bisa saja peniadaan tersebut dilakukan karena
melihat mekanisme keanggotaan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang telah diatur dalam UUD amandemen. Ber
dasarkan UUD tersebut, keanggotaan MPR terdiri atas Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Akibatnya,
hal itu mengakibatkan kurangnya efektivitas fungsi pengawasan
MPR terhadap presiden dan apalagi DPR.
Karena itu, anggota MPR haruslah berpikir jernih dengan
nurani yang bersih. Konsistensi terhadap UUD yang telah dise
pakati adalah jalan terbaik bagi kita menuju negara yang lebih
bermartabat. Toh, UUD 1945 amandemen dibuat berdasarkan
kesepakatan bersama. Jika dipandang tidak efektif pun, UUD
1945 amandemen bisa ditinjau kembali dan diamandemen se
suai dengan kesepakatan bersama tanpa merugikan pihak mana
pun.
Wakil Rakyat
Bertekuk Lutut
(Jawa Pos, 24 Februari 2006)
M
antan presiden Abdurrahman Wahid pernah melon
tarkan pernyataan “DPR seperti taman kanakkanak”
selang beberapa hari setelah dilantik MPR sebagai
presiden pada 1999. Karena pernyataan itu, dia terseret konlik
dengan legislatif hingga mengantarkannya (di)lengser(kan) dari
tampuk kekuasaan.
Namun, mencermati DPR sekarang, pernyataan Gus Dur
tersebut, tampaknya, mulai mendekati kebenaran. Bukankah
baku hantam antardewan tahun lalu dan noraknya DPR dalam
mempertontonkan fungsi legislasi menunjukkan sifat kekanak
kanakan?
Pada dasarnya, peran dan fungsi DPR terletak pada
monitoringnya terhadap segala kinerja pemerintah. Fungsi
kontrol dan legislasi menjadi niscaya ketika melihat perubahan
perubahan sistem ketatanegaraan kita yang mengonversi trias
132
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
politika konvensional (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) men
jadi setara.
Jika dulu MPR sebagai lembaga yudikatif merupakan
lembaga tertinggi, kini mereka setara dengan DPR (legislatif)
dan presiden (eksekutif) sebagai lembaga tinggi negara.
Keniscayaan selanjutnya dari perubahan sistem tersebut
adalah diperlukan keberadaan satu struktur di luar eksekutif
untuk berperan lebih masif serta kritis. Dan, DPRlah satu
satunya lembaga struktur negara sebagai alat strategis, legal,
dan prosedural. Karena bagaimanapun, tingkat kepercayaan
diri dan arogansi kepala negara (eksekutif) yang dipilih secara
langsung oleh rakyat lebih besar daripada kepala negara yang
dipilih segelintir kelompok di parlemen (baca: MPR) seperti
dulu.
Namun, alihalih memerankan diri sebagaimana mestinya,
DPR tanpa malu justru menampakkan realitas sebaliknya kepa
da publik. Dewan justru bertekuk lutut kepada pemerintah. Itu
lah kritik Amien Rais atas peran DPR yang cenderung mengarah
menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah.
Ketidakberdayaan DPR tersebut begitu terlihat dari mu
dahnya pemerintah mengobokobok dewan saat ingin meng
ajukan hak angket dan interpelasi impor beras. Ibarat anak
anak, seolah DPR cukup dinasihati dan diberi permen seharga
lima puluh perak. Maka, ia tidak akan lagi merengek dan banyak
cuap karena terbius kenikmatan melumat manisnya permen
pemberian bapak.
Di sinilah kedewasaan DPR dalam mengemban amanah
politik rakyat harus dijalankan. Politik yang dewasa adalah poli
tik rasional, bergerak berdasarkan nurani dan rasionalitas. Men
jalankan amanah politik berdasar rasionalitas akan senantiasa
berpihak pada kebenaran. Sebab, hakikat rasionalitas adalah
pemihakan dan berani mengatakan kebenaran.
WA K I L R A K y A T B ERTEKUK LUTUT
133
Ciri pemihakan itu tentu harus direpresentasikan dengan
kepekaan atas problem rakyat dan peran kritis DPR terhadap
pemerintah serta tidak asal setuju dan mengetok palu. Tindak
an DPR yang asal setuju, memihak kelompok, dan tidak meng
gunakan akal budi merupakan cermin ketidakdewasaan politik.
Itulah tanda politik yang kanakkanak (baca: tidak rasional dan
tidak memihak kebenaran).
refleksi sistem
Secara objektif dan menyeluruh, lemahnya kontrol DPR terha
dap pemerintah tidak hanya menjadi problem individu DPR,
tetapi juga merupakan akibat efek domino atas kerja sistem yang
selama ini berjalan, terutama sistem politik yang diterapkan.
Hal tersebut bisa dilihat dari kuatnya kontrol dan pengaruh
partai dalam mengubah kebijakan di parlemen. Dalam hal itu,
sistem kontrol partai dialirkan ke dutaduta mereka yang ber
cokol di parlemen. Kuatnya kontrol partai di parlemen menjadi
masalah ketika melihat kenyataan bahwa hampir seluruh partai
di parlemen tidak benarbenar serius melaksanakan agenda
menyejahterakan rakyat.
Walhasil, segala keputusan di parlemen harus selaras de
ngan logika kepentingan partai. Di situlah kelemahan sistem
kepartaian yang harus ditanggalkan.
Kenyataan tersebut kemudian mengancam tumbuhnya oli
garki partai di DPR. Oligarki partai bisa dilihat dari kuasa par
tai dalam merecall anggota dewan yang menentang kebijakan
partai. Mengendalikan DPR cukup dengan memegang pengen
dali partainya.
Permasalahan bertambah ketika sosok eksekutif merang
kap menjadi ketua partai. Apalagi, partai yang dipegang me
miliki komposisi kursi terbesar di parlemen. Permasalahan keti
dakkritisan DPR lebih merupakan problem sistem politik dalam
134
DE M o K R A S I SU B STA N TI F
menjalankan roda negara ini. Itulah salah satu alasan DPR (di)
bungkam. Perilaku politik yang berpijak pada logika ekonomi
bahwa modal (money) harus kembali menjadi keuntungan
(laba/more money) pun turut andil sebagai spirit.
Karenanya, dana kampanye yang menelan ratusan juta
hingga miliaran rupiah untuk merebut kursi dewan harus kem
bali menjadi laba. Oportunisme dalam politik pun tidak bisa
dihindari. Wajar kemudian DPR bungkam dan tidak lagi me
rengek selama gaji pokok dinaikkan atau memaksa sang ayah
(baca: pemerintah) untuk selalu memberikan permen sebelum
mengeluarkan kebijakan.
Maka itu, sistem politik yang kita terapkan harus ditinjau
kembali. Jika tidak, tontonantontonan DPR yang memuakkan
akan terus menghiasi deretan masalah politik di negeri ini.
BAGIAN v
AGAMA, IDENTITAS,
DAN GLoBALISASI
Kritik Ilmu Keislaman,
Menyuarakan Islam
di Era Kekinian
(Karya Ilmiah Juara I LKTI Tingkat Nasional)
S
ejarah membuktikan, agama mampu menembus dan
membelah jeruji ruang dan waktu yang dilintasi manusia
sekalipun dalam wujud dan bentuk yang berbeda. Sifat
agama yang omnipresent tersebut menegaskan bahwa peradaban
manusia, baik secara langsung atau tidak, dirangkai oleh agama.
Keyakinan kaum rasionalis dan eksistensialis termentahkan oleh
fakta semakin menguatnya bukti kebangkitan agama. Mungkin
kenyataan itulah yang mendorong Hisanori Kato untuk berani
dengan tegas mengatakan, agama selalu ada dan akan selalu
ada sepanjang perjalanan sejarah manusia bahkan agama dan
peradaban hampir tidak dapat dipisahkan.1
Keutuhan agama melintasi sejarah manusia menggambar
kan bahwa agama, dalam artian luas, merupakan kebutuhan
dasariah yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Bahkan, Al
Quran menggambarkan manusia sebagai makhluk yang secara
138
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
itrah membutuhkan Tuhan.2 Dengan demikian, agama ditu
runkan tidak lain hanya untuk manusia. Sifat agama yang tidak
bisa lepas dari manusia itulah tertancapkan sebuah ikhtiar
untuk selalu memberikan ruangruang pemikiran kembali di
dalam setiap ajaran agama. Sebagai pegangan hidup (the way
of life) bagi manusia yang terus hadir, agama harus mampu ber
bicara dan menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan dan tun
tutan zaman di mana dan kapan pun ia dihayati.
Islam melihat, kecenderungan beragama merupakan itrah
dari Tuhan. Ketika manusia mencoba menjauh dari agama
(Tuhan), keterasingan justru akan muncul dalam jiwanya. Se
bab, kecenderungan tersebut merupakan hasil kontrak manusia
dengan Sang Pencipta di zaman azali. Sebuah ruang ahistoris
yang mengandaikan ketercukupan dan keberlimpahan yang
penuh di dalamnya.3 Inilah relevansi agama untuk diketengah
kan di dalam ruang zaman yang bergerak pada aras rasional
an sich tetapi mengabaikan halhal yang bersifat spiritual yang
cenderung mengalienasikan manusia dari dirinya sendiri. Ma
syarakat modern merupakan satu tatanan masyarakat yang ter
bangun di atas rasio yang kini mulai mendapat gugatan kuat,
seperti yang terlihat dengan gejala kebangkitan spiritualitas
New Age pada akhir abad ke21 ini.4
Pada sisi lain, agama kini juga mulai bangkit dan menam
pakkan taringnya, pun demikian Islam. Masjid, gereja, sinagog,
wihara, dan tempattempat ibadah lainnya mulai dibanjiri oleh
umatumat. Pengajian keagamaan di kantorkantor semakin
marak. Di lain bilik, kita menyaksikan aksi teror yang menewas
kan ribuan manusia di WTC pada 11 September 2001, Hotel JW
Marriott, Bom Bali I & II, dan berbagai aksi kekerasan di be
lahan dunia saat ini. Mereka mengatasnamakan agama. Inikah
yang disebut sebagai kebangkitan agama? Mungkinkah itu me
rupakan satu jawaban bahwa agama telah menjawab perkem
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
139
bangan zaman saat ini? Di sinilah perlu kiranya kembali me
narik agama agar mampu berbicara di tengah perubahan zaman
yang demikian cepat ini. Dan dalam wilayah itu jugalah perlu
mengupas dan mereleksikan kembali relevansi dan kekuatan
respons, ilmuilmu keislaman dalam menjawab tantangan za
man di era globalisasi ini.
Islam dalam arus globalisasi
Kini, dunia sudah memasuki era yang jauh berbeda dengan satu
abad lalu. Revolusi pemikiran manusia yang membawa era yang
disebut modernisme hingga era informasi saat ini telah meng
hadirkan produkproduk teknologi yang menakjubkan. Revolusi
itu tidak hanya meruntuhkan ketidakmungkinan (imposibility)
menjadi mungkin (posibility), tetapi juga menggulingkan tirani
alam yang dahulu dianggap sebagai subjek pemberi keselamatan
dan pusat ketakutan manusia menjadi objek yang memberikan
kepuasan hasrat manusia. Rasionalitas manusia duduk dalam
posisi superior dari segalanya.
Kemajuan pemikiran manusia di era modern tersebut mau
tidak mau memaksa segala entitas yang melingkupi perjalanan
sejarah manusia, baik di bidang politik, sosial, budaya, dan
bahkan ranah agama sekalipun untuk turut berubah. Perubahan
yang dibawa oleh modernisme sebagai produk pemikiran ma
nusia merupakan keniscayaan sejarah yang tidak bisa lagi di
elakkan. Pernyataan ini muncul dikarenakan modernisme tidak
hanya melahirkan barang teknologi (televisi, handphone, inter
net), tetapi juga secara bersamaan mampu menggoyang dan
bahkan meruntuhkan tata nilai yang melekat erat di dalam din
ding budaya, politik, sosial, dan agama yang telah dijalani dan
diimani oleh manusia sendiri berabadabad lamanya.5
Pergeseranpergeseran di dalam tata nilai dan kompleksitas
problematika masyakarat modern dan postmodern kini sedang
140
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
memaksa agama untuk menjawab semua itu. Memang, aga
ma bukan obat segala macam penyakit (panacea), tetapi tun
tutan tersebut disebabkan selain agama sebagai pegangan
hidup manusia (the way of life), ia juga selalu mengitari ke
hidupan manusia sebagai kenyataan dari itrah manusia yang
tidak bisa terlepas darinya. Di dalam ruang budaya dan tata
hidup, bagaimana agama memperlakukan mereka yang meng
alami kompleksitas persoalan seksualitas manusia, seperti
homoseksual dan heteroseksual. Atau akankah agama sela
lu menempatkan perempuan sebagai subordinat yang tidak
memiliki peranperan publik sedikit pun dan berbagai pro
blematika yang muncul di zaman kekinian yang tidak ada pada
zaman di mana agama itu muncul kali pertama?
Di tengah tuntutan dan desakan zaman tersebut, agama
tidak akan mampu mengelak dari letupan ketegangan dalam
setiap etape perubahan. Sebuah gejala yang lazim terjadi, tidak
bisa dihindari, dan merupakan konsekuensi dari kehadiran aga
ma dalam ruang sejarah manusia yang terus bergerak berubah.
Karena itu, ketegangan agama dengan perubahan zaman bukan
berupaya untuk dihindari melainkan diolah agar agama bergerak
produktif sesuai dengan tuntutan perubahan. Menghindari kete
gangan sama dengan menghindari perubahan dan menghindari
perubahan berarti agama harus siap dikeluarkan dari panggung
sejarah manusia, sebagaimana dienyahkannya dewadewi Arab
Jahiliyah dan diganti oleh Islam yang dianggap lebih menjawab
persoalan zaman.
Dalam pada itu, ada tiga bentuk respons masyarakat Islam
dalam melihat perubahan akibat arus modernisme/globalisasi
menurut Ma'an Ziyadah. Pertama, fundamentalisme yang
sertamerta menolak bentuk pemikiran modernisme karena ia
merupakan produk pemikiran Barat (kair) yang tidak Islami.
Kedua, sikap western oriented, yang menerima segala bentuk
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
141
pemikiran Barat mentahmentah karena dianggap sebagai
representasi modernitas. Untuk menjadi modern, maka harus
menjadi Barat. Ketiga, tauqiiyah. Pandangan yang ketiga ini
berusaha memadukan antara pemikiran modern dengan Islam.
Ada sisi yang baik dari modernisme yang dapat dikawinkan
dengan Islam.6 Tiga respons tersebut menggumpal akibat
keteganganketegangan, tetapi melahirkan reaksi yang berbeda
beda.
Ketegangan mengandaikan sebuah dialektika antara tun
tutan zaman di ruang mana agama itu berpijak yang nantinya
akan memperkaya khazanah ajaran yang dikembangkan agama
itu sendiri. Pada aras inilah Islam sebagai sebuah agama ha
rus memainkan peranan. Akan tetapi, ibarat api jauh dari
panggang, Islam secara keseluruhan belum mampu menjawab
problematika yang datang dari zaman kekinian. Misalnya,
bagaimana agama Islam menjawab perubahanperubahan ta
tanan hidup masyarakat dunia di era globalisasi ini di mana
kemiskinan semakin menganga, perang global terus membara,
despotisme hasrat manusia memberhalakan materi, dan sema
kin menguatnya identitas kelompok (bangsa, bahasa, ras, dan
budaya)?
Di tengah perubahan yang dahsyat dan problem globalisasi
yang semakin memperkuat sentimen identitas sebuah bangsa,
Islam justru bergerak menjadi identitas eksklusif. Islam yang
secara historis seharusnya memainkan peranan meruntuhkan
segala bentuk dinding pembatas manusia malah membangun
pembataspembatas baru dan bahkan tampil dalam identitas
yang lebih mengerikan beberapa tahun terakhir ini. Semua
entitas luar dan yang lahir dari luar Islam (the other) dilihat
sebagai sebuah ancaman. Respons yang emosional dari ke
lompok Islam.7 Di dalam rotasi perubahan zaman itu, Islam
justru bergerak ke belakang dan mengangkangi kemajuan. Hal
142
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
tersebut bisa jadi merupakan tindakan tak sadar akan ketidak
mampuan Islam untuk tampil memberikan kontribusi di zaman
kini yang pada sisi lain mengungkung Islam dalam belenggu
keterbelakangan dan kebodohan.
Secara normatif, Islam merupakan agama yang meletakkan
prinsip reponsif terhadap perubahan sebagai jalan yang niscaya
ditempuh,8 karena Islam memosisikan akal manusia pada
posisi yang sangat tinggi sementara akal manusia tidak pemah
stagnan alias terus mengalami perkembangan (evolution) dan
pengayaan.9 Karenanya, di dalam setiap perubahan zaman
yang dihasilkan manusia, Islam akan bergerak releks untuk
menjawab perubahanperubahan yang datang, baik perubahan
di dalam budaya, sosial, dan politik. Akan tetapi, yang hadir
justru sebuah kesenjangan antara “yang seharusnya” dengan
“yang senyatanya”. Islam tidak mampu untuk beradaptasi apa
lagi bersuara di tengah perubahan zaman. Skripturalitas justru
menjadi landasan untuk merespons perubahan. Islam yang
seharusnya bergerak mewarnai malah mengalami involusi di
dalam perubahan zaman yang demikian cepat ini. Jika meng
ikuti pemikiran Ma'an Ziyadah di atas, respons yang pertama
lebih dominan daripada respons ketiga di dalam dunia Islam
terhadap perkembangan zaman kini.
Merebaknya corak Islam yang rigid beberapa dekade ini
merupakan contoh dari gerak Islam yang gamang merespons
perubahanperubahan yang datang. Lahirnya produkproduk
modernisme yang menggiring pada pembentukan satu tatanan
dunia global yang mungil (global village) di mana satu sisi me
nyeragamkan, tetapi sisi lain meneguhkan perbedaan, malah
dijawab oleh Islam dengan pengembangan agama formal. Di
beberapa belahan dunia Islam semakin menguatkan citacita
dan impian untuk membangun satu komunitas Islam dunia
yang berprinsip romantik dan mengejar “ridha” teksteks agama
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
143
tanpa releksi, kontemplasi, dan kontekstualisasi makna. Di sini,
agama bergerak tidak semata sebagai the way of life (hudan li
al-nâs), tetapi juga menjadi bagian dari jejaring identitas bagi
pemeluknya.
Dalam cara demikian, respons Islam justru melihat bukan
Islam yang hadir dalam sejarah manusia, melainkan sebaliknya.
Dengan begitu, segala bentuk yang muncul dalam sejarah ma
nusia harus dibersihkan dengan segala aturan dan ajaranajaran
yang dianggap Islami. Misalnya, ketika datang perubahan di
dalam politik dan budaya, maka serta-merta akan diilter oleh
Islam, apalagi jika perubahan itu dipandang menghancurkan
Islam secara formal. Teksteks agama tidak lebih hanya berperan
sebagai polisi tetapi pasif dalam memberikan sumbangan per
ubahan. Sementara Islam berperan layaknya lembaga sensor
atas perkembangan dan perubahan yang terjadi, baik di dalam
budaya, sosial, maupun ilmu pengetahuan. Hal itu terjadi karena
Islam diperlakukan sebagai kosmos dalam artian ruang dan
waktu yang di dalamnya terdapat hukum sejarah dan budaya
manusia. Implikasi dari melihat Islam sebagai kosmos, yang
beradaptasi adalah kesejarahan manusia, bukan Islam yang
beradaptasi dengan logika dan hukum kesejarahan manusia.
Teksteks normatif agama (AlQuran dan hadis) tidak di
pahami lahir di dalam sebuah ruang budaya, seting sosial dan
politik masyarakat Arab dahulu, tetapi AlQuran dianggap ber
sih dari campur tangan budaya, karena ia murni merupakan
irman Allah SWT dan berposisi sebagai kosmos. Doktrin normatif yang mendorong pemaknaan Islam sebagai kosmos selalu
diambil dari klaim AlQuran yang sholih fî kulli al-zamân wa
al-makân, abadi dalam melintasi ruang dan waktu.10 Pada ta
taran ini, teks agama ditarik dari sejarah manusia dan saat itu
lah dia berubah menjadi transenden dan tersakralkan. Posisi
AlQuran yang transenden itu menggiringnya menjadi se
144
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
kumpulan doktrin yang tak terjamah (untouchable) oleh se
gala seting sosial, budaya, dan politik yang mengitarinya. Di
sinilah cara pandang Islam mainstream yang berkembang
dalam menanggapi perubahan yang dibawa modernisme dan
globalisasi.
Produk paradigma pemikiran Islam yang demikian bisa
dilacak dari munculnya corak Islam formal yang begitu me
nguat saat ini, baik di tingkat global maupun nasional. Di
Indonesia, semakin menguat desakan untuk memformulasikan
hukumhukum Islam untuk diimplementasikan di dalam ruang
kehidupan sosial dan budaya, seperti upaya untuk mema
sukkan kembali Piagam Jakarta.11 Sebagai bentuk dari ekspresi
keberagamaan dan dilindungi oleh undangundang negara,
tuntutan itu sahsaha saja. Tetapi yang perlu diketengahkan
sebagai diskursus adalah syariat yang hendak diimplementasikan
tersebut bercorak klasik yang notabene produk teksteks Islam
abad pertama. Misalnya, kini mulai muncul perdaperda syariat
Islam di berbagai daerah seperti di Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD), Sulawesi Selatan, MataramNTB, dan daerahdaerah
lainnya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, sepuluh tahun
yang akan datang Indonesia akan dikuasai pemikiranpemikiran
Islam formal yang terus menguat. Ini juga yang digelisahkan
oleh Martin van Bruinessen dalam melihat pergeseran pemikir
an Islam di Indonesia sejak 1990an.
AIQuran sebagai teks normatif menempati posisi yang
sangat sentral di dalam Islam, terutama Islam era pascaNabi
Muhammad. la tidak hanya dianggap sebagai irman Allah, tetapi juga diimani oleh pemeluknya sebagai petunjuk hidup ma
nusia di dalam menjawab segala macam problematika kehidup
an manusia. Tidak salah jika Nasr Hamid Abu Zaid mengklaim
bahwa peradaban Islam sebagai peradaban teks.12 Karena, per
adaban yang didulang Islam berangkat dan dibentuk oleh teks
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
145
teks normatif agamanya. Karena itu, agar Islam bisa bersuara
di kancah zaman kekinian, terlebih dahulu harus dibongkar
bagaimana teksteks Islam berbicara di tengah arus perubahan
zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang cepat. Yakni,
membongkar metodologi dan epistemologi keilmuankeilmuan
Islam yang dikembangkan saat ini.
Di sinilah pentingnya melihat kembali keilmuankeilmuan
Islam yang dikembangkan selama ini untuk dikontekskan de
ngan gerak zaman kekinian. Posisi AlQuran yang demikian
penting di dalam Islam memungkinkan kita untuk melakukan
perombakan keilmuan Islam agar bisa menjawab tuntutan
zaman. Hampir semua produk pemikiran di dalam Islam dipe
ngaruhi dari bagaimana cara memperlakukan AlQuran. Misal
nya, melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi di dalam ilmu
ikih, harus membongkar lebih dalam terhadap bangunan dasar paradigma dalam melihat AlQuran, tidak cukup dengan
cara mengontekstualisasikan ikih-ikih produk klasik tetapi
tidak membongkar bagaimana paradigma dalam melihat Al
Quran.13 Gerak penyakralan pemikiran (taqdis al-afkar aldieny) keagamaan yang dikritik oleh Muhammad Arkoun pada
dasarnya dikarenakan adanya pengaruh determinan dalam
melihat AlQuran secara berlebihan sebagai teks yang kosmik,
transenden, dan tak terjamah oleh ruang dan waktu.14
Fakta yang terjadi di dalam modernisme adalah kehadiran
teknologiteknologi yang satu sisi memberikan kemudahan bagi
manusia, tetapi pada sisi lain membangun jejaring keterasingan
(alienasi) manusia. Sementara, globalisasi yang juga merupakan
kelanjutan sejarah dari modernisme telah membuka tabir jarak
teritori dan identitas menjadi kabur sehingga memunculkan ke
gelisahan di dalam diri manusia ketika melihat di luar diri seba
gai the other yang mengancam. Perbedaan dan keseragaman
tidak dapat dielakkan. Pada sisi lain, agama, khususnya Islam,
146
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
tidak mampu memenuhi ruang dan mendamaikan ketegangan
tersebut. Alihalih mendamaikan, agama justru memperparah
keadaan dengan muncul sebagai identitas baru yang juga ter
ancam atas keberadaan yang lain di luar dirinya. Inilah salah
satu tahap krisis yang ditegaskan Malachi Martin sebagaimana
dikutip Djohan Effendi ketika memberikan pengantar buku The
Religions of Man, karya Huston Smith edisi Indonesia.15
teks yang Berbahasa
Hal utama yang harus dilakukan agar teks bersuara dalam kan
cah perubahan zaman adalah dengan cara keluar dari hegemoni
teks AlQuran yang dianggap berada di luar sejarah manusia.
AIQuran sebagai sebuah teks hadir di dalam dunia sejarah
manusia, bukan dunia sejarah yang hadir di dalam kosmos teks
AlQuran. Dunia sejarah manusia merupakan sebuah ruang du
nia simbolik yang penuh dengan banyak reduksi dan hukum
hukum kesejarahan lainnya. Di dalam langgam itulah AlQuran
harus dipahami. Kenyataan ini bukan berarti merendahkan Al
Quran sebagai irman Allah, melainkan untuk menegaskan bahwa Al-Quran sebagai irman Tuhan yang menjelma dalam teks
dengan sendirinya tidak akan bisa terlepas dari hukumhukum
sejarah. Dan karena itulah, dia tidak menjadi antisejarah,
transcendental, dan untouchable, melainkan merupakan teks
yang berposisi tunduk pada hukum sejarah.
Apa pun yang dikandung dan ditegaskan secara tekstual
oleh AlQuran tidak boleh tidak akan diuji oleh kenyataan seja
rah manusia yang melingkupi budaya, sosial, politik, dan ilmu
pengetahuan. Alasan tersebut dikarenakan Islam diturunkan
untuk manusia tidak untuk Tuhan.16 Pada persoalan ini,
Muhammad ‘Imarah, sebagaimana dikutip juga oleh Tolak
Imam Putra, memberi istilah bahwa Islam bersumber dari
Tuhan tetapi berorientasi manusia (al-Islâm ilâhiy al-mashdar
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
147
insâniy al-maudhû).17 Orientasi manusia yang ditekankan Islam
berimplikasi untuk kepentingan manusia membawa keniscayaan
pada paradigma kita dalam melihat Islam sebagai produk seja
rah. Dikatakan produk sejarah, karena kemunculan Islam atau
pun lahirnya AlQuran didorong oleh faktorfaktor sejarah yang
melingkupinya. Bahkan, faktorfaktor sejarah ataupun seting
sosial dan budaya tersebut memberikan pengaruh besar dalam
merangkai Islam dan teks AlQuran saat itu.
Selain itu, persoalan yang paling penting diketengahkan
adalah konsekuensi kesejarahan irman Allah SWT (Al-Quran)
ketika ia menggunakan bahasa Arab sebagai kode agar irman
itu bisa dipahami oleh manusia. Penggunaan bahasa Arab di
dalam AlQuran ditegaskan berkalikali oleh Allah sendiri di
dalam AlQuran.18 Kurang lebih terdapat dalam delapan ayat,
Allah menegaskan di dalam AlQuran bahwa AlQuran itu
menggunakan bahasa Arab.19 Allah menurunkan AlQuran de
ngan menggunakan bahasa Arab menunjukkan bahwa irman
yang suci dan melintasi batas waktu itu sengaja digunakan Allah
agar mudah dipahami oleh manusia dan agar manusia bisa
menggali makna yang tidak terungkap oleh bahasa itu sendiri.
Allah menggunakan bahasa Arab sebagai media untuk menyam
paikan irman-Nya yang Mahaluas itu, saat itulah kesejarahan
AlQuran terjadi.
Arti dari kesejarahan AlQuran memiliki banyak aspek.
Kesejarahan berarti bahwa saat AlQuran menjelma ke dalam
bahasa Arab atau lebih tepatnya bahasa manusia, maka saat itu
lah ia bergumul dengan segala kenisbian budaya manusia. Arti
nya, irman Allah dan atau Islam dalam artian yang lebih luas
tidak bisa terlepas dari seting sosial dan budaya yang berjalan
di wilayah Arab saat itu. Ini berari, apa pun yang diungkap oleh
AlQuran, tidak dengan sertamerta mencerminkan totalitas
gagasan yang hendak diirmankan oleh Allah SWT. Sebuah
148
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
keniscayaan yang tidak bisa dielakkan oleh AlQuran di saat dia
memasuki ruang bahasa manusia yang di dalamnya merupakan
hasil akumulasi dan endapan dari dialektika budaya, sosial, dan
politik masyarakat Arab.20
Penegasan AlQuran tidak hanya pada penggunaan oleh
AlQuran tetapi juga Tuhan misalnya berkalikali menegaskan
bahwa Muhammad sebagai manusia biasa yang bisa lapar, haus,
marah, sedih, menangis, tidur dan mati sebagaimana manusia
biasanya. Bahkan, dia tidak mampu membaca dan menulis.21
Dia tidak digambarkan oleh AlQuran sebagai dewa atau
pun malaikat. Penegasan Muhammad sebagai manusia biasa
menjadi bermakna bahwa AlQuran juga masuk dalam sejarah
(kesemestaan bahasa dan budaya manusia) jika dikontekskan
dengan peran dan fungsi Muhammad sebagai utusan Allah dan
penyampai pesanpesanNya untuk memberi kabar kepada
manusia.22 Inilah alasan mengapa AlQuran saat dia menjel
ma menjadi teks atau nash yang berbahasa Arab berarti juga
ia telah masuk dalam dunia kesejarahan manusia yang tidak
mampu mengungkap semua hamparan ke dalam segala se
suatu yang kasat mata. Di dalam kesejarahan manusia terdapat
bahasa dan budaya. Segala bentuk ekspresi budaya tidak bisa
mengejawantahkan kedalaman nilai dan pengalaman yang
diekspresikan ke dalam budaya tersebut. Demikian juga dengan
bahasa.
AlQuran merupakan gagasan Allah yang masuk ke dalam
dunia simbolik bahasa. Dalam kajian strukturalisme, bahasa
merupakan cerminan dari budaya induk semangnya. Misal
nya, bahasa Batak mengarakterkan budaya Batak, bahasa Jawa
mengarakterkan budaya Jawa, dan bahasa Arab akan meng
arakterkan budaya Arab. Dengan demikian, ketika Allah me
milih bahasa Arab sebagai wadah menyemayamkan irman-Nya,
maka irman-irman itu tidak akan lepas dari nilai-nilai budaya
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
149
yang menempel di dalam kesadaran bahasa Arab tersebut. Ma
suknya irman atau kalam Allah dalam simbol bahasa Arab
menunjukkan ketidakmampuan bahasa manusia dalam me
nampung seluruh gagasan Allah. Pada level ini, secara teks, Al
Quran bersejajar dengan teksteks lainnya, tetapi dia bernilai
lebih karena menampung gagasan Allah yang tersembunyi dan
tidak dapat terkatakan di dalam keterbatasan bahasa.
Masuknya irman Tuhan ke dalam simbol bahasa manusia
tidak bisa dipisahkan karena memang manusia merupakan
animal symbolicum, sebagai satusatunya alat yang bisa di
gunakan agar pesan yang disampaikan bisa dipahami oleh
manusia.23 Cakrawala bahasa manusia mampu mengirim sebuah
pesan kepada komunikan. Bisa dibayangkan jika manusia tidak
mempunyai bahasa. Inilah yang membedakan manusia dengan
binatang.
Penegasan AlQuran berkalikali bahwa dia menggunakan
bahasa Arab yang jelas, ingin menekankan bahwa seluruh kali
mat yang disampaikan AlQuran tidak dapat merangkum ga
gasan Allah karena bahasa yang digunakan adalah bahasa ma
nusia. Akan tetapi, makna penegasan AlQuran berbahasa Arab
di dalam kajiankajian studi Islam konvensional justru terjebak
pada pengultusan bahasa Arab sebagai bahasa yang paling
baik di bumi ini sehingga Allah memilih bahasa tersebut un
tuk AlQuran. Jangankan gagasan dan alam pikir Allah Yang
Mahaluas, pikiran yang mengendap di dalam diri manusia saja
tidak dapat diungkapkan semua oleh bahasa. Karena itulah,
Lacan melihat bahasa sebagai simbol dari kekurangan yang
tidak bisa memenuhi gagasan apa pun dan karenanya ia tidak
menjelaskan makna (petanda/signiied), melainkan simbol
simbol bahasa yang lain (penanda/signiier).
Memahami kesejarahan AlQuran berarti juga menegaskan
bahwa teksteks yang diungkapkan AlQuran terbatas, dan
150
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
karenanya tidak bisa dipahami secara tekstual begitu saja, tanpa
menggali irman yang tidak terkatakan dalam Al-Quran. Dalam
konteks inilah yang dimaksud Ali Harb bahwa AlQuran tidak
bisa dipersempit sebagai cermin realitas, melainkan ia ber
gumul dan berkutat dalam waktu yang sedang terjadi dan yang
mungkin akan terjadi.24 Saat teks hanya dimaknai cermin dari
realitas saat dia turun sama dengan mempersempit makna teks
dan membenarkan apaapa yang tertuang dalam teks AlQuran
benar-benar keinginan Allah tanpa mengungkap irman-irman
yang tak terkatakan.
Bahasa merupakan dunia simbolik manusia yang terbatas.
Bahasa tidak bisa menampung seluruh cakrawala pemikiran
yang tidak terkatakan yang masih tersisa di alam ide. Bahasa
mengharuskan berbagai makna terkondensasi dan direpresi
oleh simbol bahasa.25 Akhirnya, teks itu pun menjadi terbatas
karena ia tidak menampung seluruh gagasan Tuhan. Dengan
demikian, ada irman Allah pada tataran ini terbagi menjadi
dua, firman “yang transenden” dan firman “yang imanen”.
Firman yang transenden adalah irman atau wahyu Allah yang
belum memasuki wilayah simbol bahasa yang mana ketika ma
suk dalam keterbatasan bahasa manusia, ia menjadi imanen.
Firman yang transenden tersebut merupakan irman yang tidak
terkatakan dan tidak tertulis (lâ shauthin wa lâ harin).26 Saat
itulah wahyu atau irman Allah tersebut mengalami kepenuhan
alias tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dan saat ia memasuki
ruang bahasa manusia, ia tidak mampu ditampung oleh bahasa
tersebut. Meminjam istilah Lacan, irman yang pertama masuk
dalam tatanan The Real, sedangkan ruang bahasa merupakan
tatanan The Symbolic dan mungkin juga The Imaginary.27
Allah sendiri di dalam AlQuran menegaskan, sekiranya
lautan dijadikan sebagai tinta untuk menulis kalimatkalimat
Allah, maka tidak akan cukup untuk menjelaskan kalimat
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
151
kalimat tersebut.28 Kenyataan tersebut cukup menjadi penegas
naqli bahwa bahasa Arab yang digunakan AlQuran saat ini
tidak bisa menampung kalimatkalimat Allah. Menganggap
apa yang tercantum di dalam AlQuran sebagai tampungan dari
seluruh kalimatkalimat Allah dengan sendirinya telah meng
anggap pengetahuan Allah lebih rendah dari manusia. Dengan
demikian, AlQuran merupakan sebuah teks yang imanen yang
bergumul dengan beragam efekefek budaya, sosial, politik, dan
pengetahuan masyarakat Arab. Dengan begitu, AlQuran tidak
hanya didekati dengan ilmu keislaman yang stagnan metode
dan bangunan epistemologi klasik tanpa ada pembaruan dan pe
nambahan metode baru yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Skema:
keluar dari kejumudan Ilmu keislaman
Dengan demikian, AlQuran harus dipahami dalam lokus budaya
dan sejarah manusia yang tidak bisa ditolak oleh AlQuran. Da
lam bahasa yang lebih radikal, hal tersebut dikarenakan ada
campur tangan dimensi budaya, sosial, dan politik yang tidak
terungkap di dalam teks agama. Implikasi dari memahami dan
melihat AlQuran sebagai teks yang menyejarah adalah dia
152
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
menjadi nisbi. Kenisbian teks bukan pada wilayah substansial,
melainkan pada wilayah kultural, sehingga maknamakna yang
terungkap masih sementara, bukan inal, dan terus bergerak
dinamis. Upaya pembaruan dan pengayaan ilmu dalam disiplin
kajian keislaman niscaya dilakukan jika melihat perubahan
sistem interaksi budaya, sosial, ekonomi, dan politik masyarakat
dunia kontemporer saat ini.
Berangkat dari postulatpostulat pemikiran tersebut,
maka untuk menggeser pemahaman masyarakat Islam dalam
pengembangan pemikiran agama yang mampu menjawab
tantangan zaman, diperlukan satu upaya perombakan pemi
kiran. Ikhtiar untuk merombak pemikiran Islam bukanlah
hal baru. Banyak pemikirpemikir kontemporer yang muncul
dalam usaha tersebut di dalam berbagai aspek bidang keilmuan
Islam maupun paradigma dalam memahami AlQuran, seperti
Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu
Zaid, Ali Jum'ah, Jamaluddin Athiyah, Jamal alBanna, Yusuf
Qardhawi, dan berbagai pemikir kontemporer lainnya.
Akan tetapi, pemikiranpemikiran yang diketengahkan oleh
para pemikir tersebut masih belum mendapat tempat, untuk
tidak mengatakan disingkirkan, di dalam pemikiran mainstream
dunia pemikiran Islam.29 Artinya, mereka masih tergolong pe
mikiran minoritas di dalam kancah wacana keilmuan Islam
yang menjadi praktik dan memengaruhi umat Islam di level
bawah (grass-roots). Gagasangagasan pembaruan tersebut
sementara ini hanya menjadi konsumsi bagi para intelektual
Islam yang duduk di perguruan tinggi. Namun demikian,
anehnya, pemikiran mereka hanya dikaji sebagai produk te
tapi tidak dilihat bagaimana metodologi, fondasi ontologi, dan
epistemologi yang dibangun oleh pemikirpemikir Islam kon
temporer tersebut ketika memahami teks Islam (AlQuran), se
perti pemikiran Nasr atau Arkoun.
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
153
Karena itu, pembaruan dalam bidang studi Islam (Islamic
Studies) mendesak untuk dilakukan mengingat desakan zaman
yang menuntut Islam untuk bergerak cepat. Jika tidak demikian,
tidak menutup kemungkinan Islam, yang kini sudah terbukti
berabadabad lamanya, hanya akan mempraktikkan corak ke
beragamaan yang statis, jumud, dan terbelakang terutama dalam
pemahaman dan penggalian makna teksteks agama. Sebuah
bukti yang semakin memperkuat tesis Malachi Martin akan
kekrisisan yang dialami Islam dalam menghadapi arus zaman
yang semakin lepas landas ini. Basis yang strategis untuk mela
kukan pembaruan dan pengembangan Islamic Studies tersebut
tentu harus mulai dilakukan di dalam ruangruang pendidik
an Islam sebagai pusat pengembangan ilmu keislaman. Untuk
konteks Indonesia, pembaruan strategis itu tidak lain di per
guruanperguruan tinggi agama Islam (PTAIN/PTAIS), pondok
pesantren, dan lembagalembaga pendidikan Islam lainnya.
Secara umum, pembaruan dalam bidang kajian Islam tidak
hanya diperlukan di dalam bidang kajian AlQuran, tetapi di
dalam bidang keilmuan yang lain. Upayaupaya untuk pengem
bangan pemikiran Islam dan khususnya pembaruan kajian Islam
di berbagai perguruan tinggi maupun pesantren di Indonesia
masih terkesan usang dan hanya fokus pada metodologi klasik.
Pada persoalan ini, ada beberapa hal perlu dilakukan untuk
keilmuan Islam agar mampu menjawab kebutuhan zaman
umatnya, terutama dalam pengembangan keilmuan studi teks
teks agama supaya teks agama tidak tertutup melainkan terus
ada negosiasi makna untuk diperdebatkan tanpa ada otoritas
tertinggi yang memegang kendali kebenaran tafsir teks.30
Perombakan paradigma studi Islam yang masih diterap
kan selama ini, terutama pada wilayah epistemologi dan meto
dologinya, untuk disesuaikan dengan keilmuan kontemporer
sangat perlu dilakukan, mengingat studi Islam yang dikete
154
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
ngahkan selama ini tidak mampu lagi menjawab problematika
zaman yang demikian kompleks dan ruwet. Metodologi dan
epistemologi studistudi yang dikembangkan saat ini sangat
buta akan ilmu alatalat dukung yang pada konteks tertentu
menjadi salah satu keilmuan yang mendasar diketahui oleh para
intelektual Islam, misalnya ilmu linguistik, hermeneutika, ilsafat bahasa, ilsafat ilmu, antropologi dan ilmu-ilmu humaniora
lainnya. Keharusan penguasaan ilmuilmu pendukung tersebut
dikarenakan basis yang dikaji di dalam studi Islam lebih ba
nyak pada pengkajian teksteks agama, baik itu teksteks suci
seperti AlQuran dan hadis, ataupun teksteks hasil pemikiran
para ulama dalam bidang ikih, ilmu kalam, sejarah, dan lain
sebagainya.
dedikotomisasi Ilmu
Penempatan ilmuilmu humaniora tersebut sebagai the second
knowledge di berbagai institusi pendidikan agama Islam baik
perguruan tingginya ataupun yang dikembangkan di pesantren
pesantren dikarenakan berbagai faktor. Salah satunya adalah
adanya dikotomisasi ilmu agama dan ilmu umum. Beberapa
teori dalam pengembangan studi AlQuran periode klasik tidak
dilihat sebagai hasil pemikiran ulama yang profan, melainkan
direpresentasikan sebagai hasil pemikiran yang Islami dan tidak
dapat digugat. Alihalih digugat, metodemetode itu justru men
jadi metode yang wajib dipakai jika menyapa teks AlQuran. Pa
da wilayah yang ekstrem, ilmuilmu seperti antropologi, herme
neutik, linguistik, dan berbagai ilmu humaniora lainnya tidak
layak digunakan karena ia merupakan ilmu produk Barat yang
dalam mindset dunia Islam menjadi representasi dari kaum
kair.
Karena itu, harus mencari titik temu ilmuilmu yang didiko
tomisasikan tersebut yang pada dasarnya antara ilmu agama
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
155
dan ilmu umum samasama berposisi sebagai ilmu. Jantung
dikotomisasi tersebut sudah berdetak berabadabad lamanya
di dunia Islam. Persoalan yang paling mencolok sebagai cikal
bakal dikotomisasi tersebut adalah “diharamkannya” berilsafat
di Islam oleh para ulama terdahulu karena dinilai akan merusak
fondasi dasar agama dan meruntuhkan keimanan umat.31
Tidak mengherankan jika kemudian studi keislaman yang
dikembangkan di berbagai pesantren dan bahkan di Perguruan
Tinggi Agama Islam, khususnya di Indonesia, masih jauh
dari harapan untuk memberikan porsi pengembangan ilsafat
sebagai metode untuk menguak pesan ilahi di dalam teks agama.
Filsafat sebagai sebuah ilmu dan metodologi berpikir masih
dilihat sebagai momok yang menakutkan dan menyeramkan
di kalangan Islam. Kenyataan ini jauh berbeda dengan para in
telektual di kalangan umat Kristen. Jika di Islam ilsafat menjadi momok, justru di kalangan intelektual Kristen menjadi
ilmu yang primer bagi mereka sebagai perangkat berpikir untuk
membaca teksteks agama mereka. Seorang pendeta di kalang
an mereka sangat mahir berbicara teoriteori sosiologi, antro
pologi, linguistik, hermeneutik, dan lain sebagainya. Sebuah
pemandangan yang langka, untuk tidak menyebut tidak pernah
sama sekali, ditemukan di dalam pengetahuan ulamaulama
Islam.
Amin Abdullah melalui paradigma integratifinterkonektif,
sekalipun mungkin bukanlah merupakan gagasan baru, menco
ba mendamaikan epistemologi agama dengan ilmu pengetahuan
agar berjalan sinergis dan tidak saling sikat dan sikut.32
Menurut Amin, selama ini keilmuan Islam yang dikem
bangkan masih terhenti dan terfokus pada pengembangan ilmu
ilmu ikih, kalam, tasawuf, dan lainnya yang di dalam jejaring
teori integratifinterkonektifnya masuk Iingkar lapis dua. Akan
tetapi, pengembangan ilmuilmu sosial dan humaniora masih
156
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
kurang dikembangkan, seperti sosiologi, antropologi, psikologi,
dan ilsafat. Dengan demikian, di dalam pengembangan studi
Islam, khususnya dalam ilmuilmu dasar Islam seperti tafsir,
ilmu kalam, hukum Islam, dan lainnya, perlu mengetahui dan
menggunakan ilmuimu humaniora kontemporer saat ini.
Misalnya, untuk memahami teks AlQuran, selain pembekalan
ilmuilmu alat lainnya, perlu pula dibekali ilmu antropologi,
linguistik, dan hermeneutik.
Ilmu (Bukan) sebagai Identitas
Kendati pemikir postmodernisme memproklamirkan ketidakbe
basan nilai ilmu pengetahuan sudah dilakukan beberapa dekade
lalu, tetapi bukan berarti segala bentuk ilmu pengetahuan itu
buruk. Logika modernisme yang linier, positivis, memang cen
derung mengabaikan berbagai bentuk nilai yang tidak terungkap.
Tokohtokoh postmodernis seperti Nietzsche misalnya meng
gugat bahwa di dalam ilmu ada hasrat will to power. Sebuah
keinginan untuk berkuasa yang tersembunyi di balik penggagas
ilmu yang tidak pernah diungkap oleh modernisme. Pun
demikian dengan Michel Foucault yang meyakini pengetahuan
tidak terlepas dengan kekuasaan, karena itulah dia menulis
buku Power/Knowledge yang seolaholah antara kuasa dengan
pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Karena pengetahuan dan
kuasa hampir tidak bisa dipisahkan, maka Foucault meyakini
bahwa setiap kebenaran yang dijalankan selalu terkait dengan
kuasa.
Gugatangugatan yang diajukan kaum postmodernis ter
hadap ilmu lebih merupakan sebuah usaha agar kita kritis ter
hadap segala bentuk ilmu, baik yang datang kepada kita mau
pun pengetahuan yang kita jalani. Tidak dengan sertamerta
diterima begitu saja. Kritik terhadap pengetahuan tidak hanya
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
157
dilakukan terhadap segala bentuk pengetahuan yang datang
dari luar tetapi lebih pada upaya untuk mengkritik secara tajam
ilmu pengetahuan yang kita yakini, kembangkan, dan jalankan
selama beradababad. Akan tetapi sayang, para pemikir Islam
mainstream melakukan kritik dan rasa curiga lebih besar ditu
jukan terhadap segala bentuk ilmu yang datang dari luar Islam
(baca: Barat). Ilmu-ilmu Barat adalah ilmu kair dan tidak
Islami, tidak bisa digunakan untuk mendekati dan membaca
agama Islam. Demikian ungkapan yang sering keluar untuk
menolak ilmuilmu humaniora di dunia Islam.
Dengan demikian, penolakan terhadap ilmuilmu kontem
porer dalam mendekati teks tidak semata persoalan penolakan
pada wilayah epistemologi dan metodologi yang berbeda, tetapi
juga karena adanya justiikasi ilmu-ilmu kontemporer yang datang dari Barat sebagai ilmu kair dan sekuler yang akan menghancurkan Islam. Bahkan mungkin tindakan emosional inilah
yang paling dominan mendorong penolakan para pemikir Islam
mainstream terhadap ilmuilmu kontemporer untuk dijadikan
alat batu dalam kajian Islam. Sudah barang tentu, kenyataan
ini harus dirobohkan, karena hal inilah yang menjadikan ilmu
ilmu keislaman tidak mampu menjawab tantangan zaman yang
semakin kompleks dewasa ini.
Otokritik terhadap pengetahuanpengetahuan yang diyakini
dan dijalani Islam selama beradababad niscaya dilakukan.
Usahausaha yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zaid melalui
Mafhûmu al-Nash Dirâsah fî Ulûmu al-Qur’ânnya dan
pemikirpemikir Islam kontemporer lainnya harus dilihat dalam
kerangka pembongkaran tersebut. Jika ini tidak dilakukan, ke
ilmuan Islam tidak akan mampu bersuara di pentas zaman
kon temporer. Sekalipun demikian, hambatanhambatan
akan penentangan pemikiran itu tentu tidak dapat dielakkan.
Hambatanhambatan yang dialami oleh kebanyakan para
158
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
pemikir Islam kontemporer di Mesir dalam mengembangkan
pemikirannya untuk memajukan Islam menarik untuk dijadikan
pelajaran berharga, oleh siapa pun yang hendak melakukan
pembaruan paradigma dalam pengembangan kajian Islam, baik
di pesantren dan IebihIebih di Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) di Indonesia.
Kuatnya pengaruh kekuasaan (baca: politik) dalam insti
tusiinstitusi pendidikan Islam merupakan sebuah ancaman
yang sangat serius dalam pengembangan keilmuan Islam, ti
dak terkecuali di Indonesia. Sebuah problem lama yang sulit
dihindari akibat cara pandang Islam yang melihat kesatuan
Islam dengan dunia politik, berbeda dengan Kristen yang me
nempatkan keduanya secara terpisah. Keberagaman pemikiran
yang dibebaskan oleh Islam selalu dikotori oleh munculnya satu
otoritas tertinggi yang represif untuk menentukan kebenaran
dan makna tunggal. Penetrasi politik ini menjadikan segala
bentuk pemikiran Islam yang langgeng selalu ada dukungan
dari otoritas kekuasaan, baik secara langsung maupun tidak.
Di Mesir misalnya, perlakuan yang dialami oleh Nasr Hamid,
dan Muhammad Syahrur, pemikir berkebangsaan Syiria, adalah
tentangan yang sangat kuat di dunia Arab. Bahkan, Nasr diusir
dari negerinya oleh Pemerintah Mesir.
Kenyataan tersebut harus diperhitungkan, terutama dalam
rangka melakukan pembaruan kajian Islam. Hal serupa juga
terjadi di Indonesia sekalipun dengan wajah yang lebih halus.
Misalnya, pembaruan kajian Islam di Perguruan Tinggi Agama
Islam seperti UIN/IAIN/STAIN selalu mengalami gesekan
politik yang kuat. Kenyataan politik di UIN/IAIN/STAIN sela
lu mengaburkan dan menghilangkan keberadaan institusi pen
didikan tersebut sebagai ruang pengetahuan yang bersih dari
segala kepentingan. Dus, probem yang muncul adalah ilmu tidak
dilihat sebagai ilmu pengetahuan an sich, tetapi digeser menjadi
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
159
identitas dia dan kelompok kepentingan (NU/Muhammadiyah/
Tarbiyah/Persis, dan lainlain). Primordialisme kelompok yang
sangat kuat tersebut kemudian mengaburkan objektivitas
pengetahuan yang hendak dikembangkan. Entitas di Perguruan
Tinggi Agama Islam lebih melihat siapa yang menelurkan gagas
an daripada gagasan apa yang ia keluarkan.33
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pergeseran
zaman yang demikian maju saat ini memaksa kita untuk mem
bongkar segala bentuk prapaham kita terhadap AlQuran yang
menempatkannya berada di luar jangkauan sejarah manusia.
AIQuran yang masuk sejarah manusia membawa implikasi
bahwa dalam mengkaji dan memahami AlQuran, mengha
dirkan ilmuilmu humaniora yang berkembang kontemporer
sebagai pengayaan alat baca, tidak dapat ditolak. Karena itu
lah, keilmuankeilmuan Islam yang dijalankan saat ini harus
membuka diri (welcome) pada ilmuilmu sosial dan humaniora
seperti antropologi, hermeneutika, sosiologi, ilsafat sosial, dan
sebagainya.
Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah, selain mela
kukan perombakan metodologi dan epistemologi di dalam kajian
Islam, perlu juga dilihat metode dan cara praksis pembumian.
Dan, salah satu yang dilakukan, khususnya di Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAIN/PTAIS), adalah melepaskan diri dari he
gemoni melihat ilmu pengetahuan sebagai identitas. Perguruan
tinggi harus membersihkan dirinya dari penetrasi politik, ter
utama politik identitas (NU/Muhammadiyah/Persis/Tarbiyah)
yang tentu sangat menghambat pembaruan paradigma Islam
melalui perombakan struktur bangunan pengetahuan Islamic
Studies yang dikembangkan dewasa ini, baik itu dalam bidang
tafsir hadis, syariat, ilmu kalam, dan lain sebagainya. Wallâhu
A'Iam.
160
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
catatan akhir
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hisanori Kato, Agama dan Peradaban, Jakarta: Dian Rakyat) 2002.
Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama yang
hanief. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
itrah itu. Tidak ada perubahan pada itrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Al
Rûm [30]: 30).
Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi.” (Kami melakukan demikian) agar di hari kiamat kalian ti
dak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orangorang yang
lengah terhdap ini (keesaan Tuhan)” (QS AIA‘râf [7]: 172).
Spiritualitas New Age merupakan jalan keberagamaan yang sangat
yang ngetren sejak 1980an hingga 1990an. Selain merupakan cer
min dari kebutuhan manusia modern akan spiritualitas, di Barat
New Age lebih merupakan bentuk pemberontakan spiritualitas yang
dikungkung oleh sekatsekat agama formal. Karena itu, spiritualitas
New Age bergerak limas iman. Lihat, Sukidi, New Age, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama), 2001.
Budiawan, “Globalisasi, Primordialisme, dan Agama”, dalam Dr. Th.
Sumartana, Reformasi Politik, Kebangkitan Agama, dan Konsumerisme, Yogyakarta: Dian/Interidei), 2001, hlm. 85-87.
AlZastrouw, Reformasi Pemikiran: Respons Kontemplatif terhadap
Persoalan Kehidupan dan Budaya, Jakarta: LKPSM, 1998, hlm. 166.
Ibid., hlm 167.
...sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum sehingga
mereka sediri mengubah keadaan mereka sendiri... (QS Al–Ra‘d
[13]: 11).
Ulasan mendalam dalam melihat Islam sebagai ajaran agama yang
menghormati akal terletak pada pemberian ruang Islam dalam kebe
basan berpikir manusia/umatnya dapat dilihat, Abdul Majid al
Najjar, Kebebasan Berpikir dalam Islam: Upaya Mempersatukan
Visi Pemikiran dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Salah satu dasar naqli yang selalu digunakan dalam pengukuhan
AlQuran yang melintasi ruang dan waktu tersebut adalah ayat Al
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
11
12
13
14
161
Quran yang berbunyi: innâ nahnu nazzalnâ al-dzikra wa innâ nahnu
lahâizhûn. Sesungguhnya Kami yang menurunkan dan Kami-lah
pemelihara-pemeliharanya (QS AlHijr [15]: 09). Selain itu, doktrin
yang sering digunakan juga Surah AlIsrâ’ ayat 88 yang berbunyi:
Katakanlah (hai Muhammad): sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.
Jika dilihat kencenderungan untuk memasukkan Piagam Jakarta,
justru terjadi pada saat Negara Indonesia mengalami krisis dan me
masuki tahap "penyusunan". Misalnya, gaung Piagam Jakarta kembali
digulirkan setelah Reformasi 1998 berembus, yakni pembangunan
kembali struktur negara sebagaimana pada pembangunan fondasi
negara yang dilakukan setelah Indonesia menyatakan diri merdeka
dari kaum penjajah.
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Teks Keagamaan,
Yogyakarta: eLSAQ press, 2003, hlm. 60.
Perombakan cara pandang dalam melihat AlQuran terlebih dahulu
dilakukan tidak hanya dikarenakan adanya pengaburan antara hasil
intrepretasi dengan teks AlQuran itu sendiri, melainkan karena ke
nyataan bahwa para ulama dahulu tidak pernah mengklaim pemi
kiran mereka yang paling benar, seperti Imam Syai'i, Imam Abu
Hanifah, dan Ibnu Hazm. Lihat, Mun'im A. Sirry (ed.), Fiqh Lintas
Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Yayas
an Wakaf PARAMADINA, 2004, hlm. 1. Selain itu, alSuyuthi juga
pernah menegaskan bahwa ilmu itu luas, sehingga terbuka lebar
dari masa ke masa untuk menggali sesuatu yang tidak terjamah
oleh para ulama terdahulu. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûmu
al-Nash Dirâsah fî Ulûmu al-Qur'ân, dalam Khoiron Nahdhiyyin
(terj.), Tekstualitas al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumu al-Qur’an,
Yogyakarta: LKiS, 2003, hIm. 4
Cara pandang masyarakat Islam yang melihat AlQuran tidak da
pat "dikritik" karena melihat AlQuran sebagai entitas kosmik,
transenden, dan tidak bisa dijamah oleh teoriteori umum sebagai
alat baca merupakan cara Islam mainstream. Karena bagaimanapun
juga, di dalam melihat AlQuran, secara emosi, kultur, dan sikap
intelektual berbedabeda. Lihat, op.cit., Hilman Latief..., hlm. 23.
162
15
16
17
18
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
Malachi Martin, sebagaimana dikutip Djohan mengatakan: "...tidak
satu pun dari agama (Yahudi, Kristen, dan Islam) mampu mengen
dalikan perkembangan umat manusia dewasa ini.... Akhir dominasi
oleh ketiga agama ini bisa terjadi bila agama mengulangulangi
cerita mengenai kepercayaan individu tentang semua hal yang tidak
esensial, tentang semua hal yang diraih oleh perstiwa sejarah dan
rasionalisme dalam berbagai bentuk...." Lihat, Huston Smith, The
Religions of Man, dalam Saafroedin Bahar (penerj.), Agama-agama
Manusia, Jakarta: Obor, 1999, hlm. 12.
Bulan Ramadhan bulan yang di dalamnya diturunkan AlQuran seba
gai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (benar dan salah)...." (QS AlBaqarah [2]: 185).
Tolak Imam Putra, “Pembaruan Fikih Mesir: Dari Kritik Formalisme
Teks menuju Kontekstualisasi”, dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 08,
Tahun 2000, (Jakarta: Lakpesdam NU), hlm. 41.
Penegasan AlQuran dalam bentuk bahasa Arab terdapat di dalam
ayatayat berikut: 1). QS Yûsuf [12]: 02): Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya. 2). QS AlRa‘d [13]: 37): Demikianlah Kami
turunkan Al-Quran sebagai peraturan dalam bahasa Arab. Dan
seandainya kamu mengikuti mereka setelah datang pengetahuan
kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara
bagimu terhadap (siksa) Allah. 3). QS Thâ Hâ [20]: 113): Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab dan Kami
telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebagian
dari ancaman agar mereka bertakwa atau (agar) Al-Quran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka. 4). QS alZumar [39]: 28): AlQuran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan, supaya
mereka bertakwa. 5). QS Fushshilat [41]: 03): Kitab yang dijelaskan
ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui. 6). QS AlSyûrâ [42]: 07): Demikianlah kami wahyukan kepadamu Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Quro (penduduk Mekkah) dan
penduduk negeri sekelilingnya. Serta memberi peringatan tentang
hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga segolongan masuk neraka. 7). QS AlAhqâf
[46]: 12): Dan sebelum Al-Quran itu telah ada kitab Musa sebagai
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
19
20
21
22
23
24
25
26
163
petunjuk dan rahmat. Dan ini (Al-Quran) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan
kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. 8). QS AlZukhruf [43]: 03):
Sesungguhnya kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.
Mengenai jumlah berapa ayat AlQuran yang menegaskan bahwa Al
Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab dapat dilihat,
Muhammad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufabras li Alfâdh al-Qur'ân.,
Daar alFikr, 1981, hlm. 456
Soepomo Poedjosoedarmo, Filsafat Bahasa, Surakarta:
Muhammadiyah University Press), 2001, hIm. 186189.
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitab pun
dan kamu tidak pemah menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. Andaikata (kamu bisa membaca dan menulis), benar-benar
ragulah orang yang mengingkari(mu) (QS Al‘Ankabût [29]: 48).
Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan
sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan (QS Al
Furqân [25]: 56).
M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik AlQuran, Mencurigai Makna
Tersembunyi di Balik Teks, Bekasi: PT Gugus Press, 2002, hlm. 1819.
Ali Harb, Naqd al-Nash, dalam M. Faisal Fartawi (penerj.), Kritik
Nalar Al-Quran, Yogyakarta: LKiS, 2003, hlm. 9.
Mark Bracher, Lacan Discourse, and Social Change: A Psycoanalytic
Cultural Criticism, dalam Gunawan Admiranto (penerj.), Jacques
Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial, Pengantar KritikBudaya
Psikoanalisis, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
“Lâ shauthin wa lâ harin” menandakan bahwa irman Allah sangat
luas, tidak bisa direpresentasikan dalam bentuk apa pun. Saat irman
itu terkatakan, maka sekian distorsi terjadi. Sebab, katakata di da
lam bahasa selalu mengurangi dan tidak bisa menampung makna.
Hal tersebut sama seperti di saat orang yang begitu bahagia tetapi dia
mengatakan, “Aku tidak bisa mengatakan apaapa, betapa bahagia
nya aku.” Orang itu sadar bahwa kata “betapa bahagia” tidak mampu
menggambarkan kondisi jiwanya yang begitu bahagia. Lebihlebih
juga yang terjadi dengan irman Allah SWT. Dengan demikian, ada
irman “yang tak terkatakan” dan “yang terkatakan”. Lebih jauh,
164
27
28
29
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
irman Allah yang menjelma dari “yang tak terkatakan” menjadi
“yang terkatakan” tidak jauh berbeda dengan cerita kelahiran ma
nusia. Sebelum memasuki dunia, si manusia memasuki fase di mana
dia tidak dapat dikatakan apaapa. Sebuah dunia nonsimbolik
yang tanpa katakata. AlQuran mengatakan, Bukankah telah
datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu
belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (lamyakun syai'an
mazdkûrâ) (QS AlInsân [76]: 01). Di dalam fase “yang tak terkata
kan”, manusia mengalami keterpenuhan (kedamaian dalam pelukan
Allah), tetapi ketika lahir ke bumi, dia menjadi makhluk yang selalu
kekurangan karena ia masuk ke dalam dunia “yang terkatakan”
yang berbeda dengan dunia sebelumnya (“yang tak terkatakan”). Di
dunia “yang terkatakan”, dia kemudian disebut manusia (vis-a-vis
binatang), ada yang dipanggil “Muhammad”, “Udin”, atau “Budi”.
Saat itulah fase “yang terkatakan” mengondensasi dan menghilang
kan apaapa yang ada dalam fase “yang tak terkatakan”. Jacques
Lacan menyebut fase “yang tak terkatakan” itu sebagai tatanan the
real di mana semua di dalamnya terpenuhi dan fase “yang terkata
kan”, yakni dunia kekurangan (lack), sebagai tatanan the imaginar
dan the symbolic. Demikian juga dengan AlQuran, saat memasuki
ruang bahasa (yang terkatakan), ada sesuatu yang hilang dari
"yang tak terkatakan" karena memang irman dalam fase itu tidak dapat dikatakan oleh apa pun, di mana pun, dan kapan pun.
Tanpa suara dan tanpa huruf AlQuran "yang tak terkatakan" inilah
yang dimaksud Allah sebagai AlQuran di dalam Lauh alMahfuzh:
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah AlQuran yang mulia,
yang (tersimpan) dalam Lauh al-Mahfuzh (QS AlBurûj [85]: 21
22)
op. cit.
Katakanlah: kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah laut-laut itu sebelum
habis kalimat-kalimat Tuhanku.
Gagasan para pemikir Islam kontemporer tidak jarang mendapatkan
perlakuan yang tidak baik. Muhammad Syahrur misalnya karena
karyanya yang berjudul al-Kitâb wa alQur'ân harus mendapat
tuduhan sebagai a Western and Zionist agent dan karyanya tidak
boleh beredar di Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab.
KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN
30
31
32
33
165
Lihat, Shahiron Syamsuddin, Metode Intratekstualitas Muhammad
Shahrur dalam Penafsiran Al-Quran, dalam Abdul Mustaqim (ed.),
Studi Al-Quran Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002,
hlm.132. Konsekuensi yang diterima Nasr Hamid Abu Zaid tidak
kalah tragis dengan Muhamad Syahrur. Nasr tidak hanya dicap
murtad, melainkan dia harus kehilangan segalagalanya, dipisahkan
dari istrinya oleh otoritas Mesir dan diekstradisi ke luar negeri. Nasr
dituduh telah menyebarkan pemikiran kair dan darahnya dihalalkan
untuk menerima hukum had jika tidak segera bertobat. Dan hampir
pemikiranpemikiran yang dianggap radikal dan liberal tidak menda
pat tempat, terutama oleh para pemegang kekuasaan. Lihat, op.cit.,
Hilman Latief... hlm. 3751.
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm.
277278.
Dalam hal ini, Fazlur Rahman menegaskan pentingnya ilsafat dikembangkan di dalam berbagai ilmu, karena ia merupakan alat
intelektual yang terus diperlukan. Filsafat menurut Rahman harus
dibiarkan berkembang secara alamiah karena ia melatih kita untuk
berpikir dan memunculkan gagasangagasan segar yang sangat ber
manfaat untuk kajian agama dan teologi. Dan karenanya, orang yang
menjauhi ilsafat akan kehilangan inspirasi dan selalu tidak pernah berkembang. Lihat, Fazlur Rahman, Islam Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago and London: The
University of Chicago Press, 1982, hlm. 157158.
op.cit., Amin Abdullah... hlm. 107108.
Undzhur mâ qalâ wa lâ tandzhur man qalâ. “Lihatlah apa yang di
katakannya, jangan lihat siapa yang mengatakan.” Pernyataan Nabi
tersebut merupakan sebuah penegasan bahwa ilmu harus dilihat se
bagai ilmu bukan sebagai identitas.
Merobohkan
Teologi Langit
(Media Indonesia, 8 Agustus 2003)
B
eberapa pekan, Media Indonesia kembali menggulirkan
wacana yang sangat menggugah penulis untuk turut ber
partisipasi. Wacana itu adalah sebuah tawaran agar ada
upaya untuk membumikan persepsi teologi ke dalam realitas
sosial, sehingga teologi tidak begitu melangit dan seakan enggan
menemui umatnya yang kelaparan, miskin, dan tertindas.
That human civilization is largely the product of human
religiuosity. Kiranya tidak berlebihan jika penulis memilih
adagium ini yang dilontarkan seorang pemikir terkemuka,
Muhammad Ayoub, sebagai ungkapan yang tepat untuk meng
awali tulisan sederhana ini. Bahwa peradaban yang diulang ma
nusia tidak pernah terlepas dari campuran tangan agama. Aga
ma senantiasa hadir (omnipresent) ke dalam ruang dan jiwa
peradaban manusia. Sebab, agama yang senantiasa hadir itu
adalah entitas yang sesuai dengan itrah manusia, yakni hadir
MER oB oH K A N TEoLoGI LANGIT
167
di dalam ruang untuk mengembangkan nilai sifat universal
manusia yang selalu rindu akan kedamaian, kasih sayang, ke
tenangan, dan keadilan.
Sejarah telah mendeskripsikan degan jelas baagaimana
kerasnya penindasan struktural dan kultural yang dialami ma
syarakat jahiliyah praIslam (sebelum 610 M). Secara struk
tural, para pemilik modal melakukan pemerasan terhadap
kaum lemahpapa (mustadh‘afîn) dengan menguasai sistem
politik Mekkah. Dan, dalam skala penindasan kultural, perem
puan berada hina di bawah bayangbayang subordinasi budaya
patriarki. Perempuan tidak diberikan ruang maupun peluang
untuk bergerak secara bebas. Konteks itulah, Islam sebagai aga
ma lahir dengan visi meluruskan ketidakadilan terhadap kaum
lemah dengan memberikan mereka hak sederajat tanpa kecuali,
yang membedakan khayalan ketakwaan (QS AlHujurât [49]:
13; QS AlBaqarah [2]: 228).
Dengan demikian, agama sesungguhnya bukanlah sebuah
jalan hidup (way of life) manusia yang eksklusif, melangit,
dan jauh dari realitas sosial. Sebab, agama terhimpun karena
dan untuk kesejahteraan seluruh umat manusia (rahmatan
lil ‘âlamîn). Ia pun tidak akan pernah bertentangan dengan
struktur sosial masyarakat. Jika demikian, lantas mengapa
dalam sejarah, agama acap berposisi vis-a-vis dengan realitas
sosial dan itrah manusia? Bahkan, agama justru sering menjadi penindas dan sumber malapetaka bagi peradaban manu
sia (human civilization)? Di sinilah keniscayaan gagasan untuk
masuk atau membumikan (down to earth) persepsi kemanu
siaan (antropologis) dan ketuhanan (teologi) agama ke dalam
kehidupan sosial manusia.
Sebagai konsekuensi derevasi agama ke bumi untuk ma
nusia, ia pun niscaya terkena virus sejarah yang selalu bergerak
cepat mengalami perubahan di tengah rasionalitas manusia.
168
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
Sebuah perubahan dari rasio manusia yang acap melakukan
deviasideviasi terhadap sesuatu yang berbau suci dan transen
dental. Tak alang kepalang, deviasi itu adalah karakter manusia
yang selalu mengotori kesucian agama dengan kepentinganke
pentingan pribadinya. Ketika itulah agama mulai kehilangan
fungsi dan tujuan utama keterciptaannya, yakni untuk kesejah
teraan kehidupan.
Keniscayaan akan adanya campur tangan manusia dalam
agama sering kali tidak diakui oleh pemeluknya. Nilainilai ke
manusiaan malah diposisikan sebagai entitas inferior yang ber
ada jauh di bawah kekuasaan agama (mahasuperior). Padahal,
agama bahkan Tuhan sekalipun ‘tercipta’ untuk manusia dan
akan kembali untuk manusia pula.
Asumsi dan ungkapan keterciptaan Tuhan di atas membawa
kita kepada persepsi bahwa keberadaan Tuhan di muka bumi ini
akan benarbenar terasa manakala ia menyejukkan kehidupan
manusia, tidak menjajah dan membelenggu, melainkan mem
berikan semangat pembebasan kepada manusia untuk saling
mengasihi dan tolongmenolong. Karena sejatinya, Tuhan yang
dipahami manusia tidaklah bertolak belakang dengan suara
dan bisikan hati terdalam manusia. Sebab itulah, Tuhan lebih
memilih hati terdalam Muhammad sebagai tempat menyema
yamkan irman dan pesan-pesan suci-Nya untuk disampaikan
kepada semua manusia (QS AlSyu‘arâ’ [26]: 193194).
Berteologi dengan memahami agama dan Tuhan seperti
itu, mengabdi kepada Tuhan berimplikasi pada ikhtiar untuk
menyerahkan seluruh totalitas kehidupan hanya untuk Tuhan
yang kemudian dibuktikan dengan bentuk pengabdian kepada
manusia. Karenanya, antara manusia dan Tuhan tidak bisa
dipisahkan. Tuhan dengan manusia ibarat ruh dan jasad yang
apabila salah satu keduanya tiada, tidak bisa dikatakan seba
gai entitas yang sempurna. Tujuan untuk mengabdikan atau
MER oB oH K A N TEoLoGI LANGIT
169
pun seruan yang diyakini sebagai perintah Tuhan harus pula
diselaraskan dengan nilainilai kemanusiaan (hati nurani).
Tanpa itu, Tuhan dalam kehidupan ibarat ruh yang tidak me
miliki jasad. Keberadaannya hanya akan menjadi pengganggu
dan penghancur peradaban manusia. Inilah jawaban dari per
tanyaan mengapa Tuhan dan agama sering kali bertindak se
bagai penghancur peradaban manusia (destroyer of human
civilization). Persis, seperti tuduhan Clarkson yang menganggap
dosa merupakan fantasi manusia dan kejahatan merupakan
wahyu Tuhan.
Atas semua itu, kinilah saatnya membangun kembali ser
pihanserpihan kehidupan yang telah hancur akibat keangkuhan
kita dengan menyatakan agama lebih suci daripada kehidupan
manusia. Seolah, agama merasa hina menghampiri umatnya
yang dilanda kemiskinan karena itu, bukan saatnya lagi mem
pertahankan performansi teologi yang melangit dan enggan
meluangkan waktunya untuk sekadar menengok manusia yang
tertindas, miskin, dan tak berdaya. Sudah semestinya teologi
langit itu dirobohkan dan digantikan dengan teologi yang mem
bumi, yang menghampiri seluruh umat manusia dengan belaian
kasih.
Merobohkan teologi langit bukan berarti menegasi sisi sa
kralitas, mitos, dan transendensi agama, karena semua itu meru
pakan entitas yang tak terpisahkan dari agama, melainkan men
coba mengikis nalar teologis yang membawa kepada pemikiran/
tindakan teosentrisme yang ahistoris. Membunuh sakralitas dari
agama sama halnya kita membunuh agama dan Tuhan (mitos)
dari kehidupan manusia, persis seperti nada yang dilontarkan
Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. Sementara, itrah manusia
tidak bisa memisahkan dirinya dari agama (mitos).
Berdasarkan pemikiran itu, dalam upaya merobohkan teo
sentrisme agama (Islam), ikhtiar utama yang harus dilakukan
170
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
adalah merombak ajaranajaran yang membawa kepada pe
mikir jumud, melangit, dan teosentrisme, sehingga teologi ber
tindak sebagai way of life yang memanusiakan (to humanize)
kehidupan manusia. Itulah bentuk teologi masa depan, yakni
teologi yang tidak melulu membahas Tuhan yang menyebabkan
lupa terhadap tujuan utamanya untuk membebaskan manusia
dari derita sosialkomunal. Wallâhu A’lam.
Agama Bernalar
Manusiawi
(Jawa Pos, 2 Mei 2004)
A
gama mana pun hadir ke dunia dengan membawa
seperangkat tujuan mulia untuk membebaskan (to
liberate), mendidik (to educate), dan memanusiakan
(to humanize) kehidupan manusia. Demikian juga dengan
Islam, yang disebut oleh pemikir Ali Ashgar Engineer, hadir un
tuk menyelamatkan, membela, dan membawa prinsipprinsip
keadilan universal. Sebuah keadilan yang tidak mengenal batas
dan sekatsekat identitas simbolis manusia: ras, suku, bahasa,
dan agama.
Agama memang ada dan lahir untuk kepentingan manusia,
bukan untuk kepentingan Tuhan. Karena Tuhan Mahakuasa
yang tidak membutuhkan pertolongan dan pengakuan dari
hambaNya, tetapi manusialah yang membutuhkan pertolongan
dariNya. Perintah Tuhan kepada manusia agar menyembah–
Nya tidak menunjukkan bahwa Tuhan itu butuh disembah, me
172
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
lainkan Tuhan memberikan jalan bahwa manusia diciptakan
secara itrah agar menyembah Tuhan demi mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan batini.
Sebab itu, sangat disayangkan bahwa cara berteologi kita
secara praktis masih berbanding terbalik dengan hal di atas.
Bukan manusia yang membutuhkan Tuhan, tetapi seolah Tuhan
lah yang membutuhkan pertolongan dan pengakuan manusia.
Urusan manusia menjadi hal yang nomor dua. Keridhaan
Tuhan (li mardhatillah) hanya dilihat pada satu perspektif
yang sempit, melangit, simbolis, dan an sich untuk Tuhan.
Maka jangan heran banyak orang yang rajin beribadah ritual:
salat lima waktu, haji berkalikali, tidak pernah memperhatikan
nasib tetangganya. Padahal, tidak dikatakan sebagai orang yang
beriman orang yang tidur pulas sementara tetangga sekitarnya
kelaparan, kata Rasullullah.
Untuk mencapai Tuhan, manusia tidak boleh menelantarkan
sesamanya. Kesadaran sosial yang tinggi kepada sesama meru
pakan tiket utama jika ingin mencapai keridhaan Tuhan. Se
gala prolematika yang mendera manusia, seperti kekerasan,
kelaparan, dan penindasan menjadi dosa besar bila diabaikan
begitu saja. Agama sendiri menyuruh manusia agar menjaga
jalinan tali hubungan dengan Tuhan serta manusia. Ibadah ini
integral dan tidak bisa dipisahkan.
Implikasi ekstrem yang akan dilahirkan dengan pola ber
teologi hanya untuk Tuhan adalah agama akan mengalienasikan
manusia dari dirinya sendiri. Agama yang sejatinya memberikan
ruang kebebasan kepada manusia untuk bergerak sesuai dengan
itrahnya (QS Al-Rûm [30]: 30) malah justru akan menjadi belenggu dan akan memperbudak manusia untuk bertindak di
luar apa yang ia kehendaki (itrah kemanusiaannya).
Akibatnya, manusia menjadi rentan kehilangan nilainilai
kemanusiaannya. Kekerasan yang disandarkan kepada Tuhan
A G A MA B ER N A LAR MANUSIAWI
173
dan agama dianggap bukanlah merupakan suatu hal yang salah
dan dosa, sekalipun agama mengajarkan kepada umatnya agar
senantiasa menggunakan hati menimbang suatu tindakan. Pada
saat itu, yang akan terjadi persis seperti apa yang dikatakan pe
nyair Irlandia, WB Yeats (18651939), bahwa rasa tak bersalah
ditenggelamkan, dan terbaik kehilangan pendirian dan keya
kinan. Pada taraf inilah agama menjadi sangat ironis mandul,
karena agama cenderung kaku dan tidak bergerak dinamis.
Dengan demikian, kita harus kembali mempertegas bahwa
beragama bukan untuk Tuhan, melainkan untuk dan akan kem
bali kepada manusia. Pada perspektif ini, baikburuknya Islam
akan teruji pada sejauh mana cara keberislaman kita bisa mem
beri manfaat bagi kehidupan manusia, terutama dalam mengem
bangkan nilainilai esensial manusia. Atau dalam bahasanya
Emile Durkheim, mendukung dan melestarikan masyarakat
yang sudah ada. Maka, pemihakan terhadap kemanusiaan men
jadi modal utama style keberislaman semacam ini. Seruan ini
bersandar pada beberapa hal.
Pertama, agama (Islam) adalah itrah. Tuhan menggambarkan bahwa kehadiran agama di dalam lubuk hati manusia
karena dorongan itrah manusia yang haus akan spiritualitas.
Itulah sebabnya agama disebut juga sebagai itrah. Fitrah spiritualitas manusia tidak pernah mengamini tindakan kekerasan,
menggunjingkan teman, dan apatis terhadap masyarakat sosial.
Fitrah itu berada di dalam hati manusia.
Sering kali Rasullullah SAW mengajak agar umatnya ber
Islam menggunakan itrah kemanusiaannya dengan senantiasa
menanyakan hati (istafti qolbaka) untuk menimbang baik dan
buruknya tindakan yang diperbuat. Jika hati (nurani) mengata
kan baik maka tindakan itu adalah baik, tetapi jika ia mengata
kan salah berarti perbuatan itu adalah dosa dan tercela. Dan,
atas dasar itu jualah, Tuhan lebih memilih hati terdalam
174
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
Rasullallah sebagai tempat menyuarakan titah suciNya (QS
AlMu’minûn [23]: 193194).
Kedua, agama Islam diturunkan sebagai penunjuk dalam
meluruskan moralitas peradaban manusia. Rasullullah SAW
menegaskan keterutusannya ke muka bumi untuk memperbaiki
dan meluruskan moralitas manusia yang pada saat itu sedang
mengalami degradasi besarbesaran, terutama di wilayah Jazirah
Arab (innamâ buitstu li utammima makârima al-akhlâq).
AlQuran juga secara tegas menyatakan bahwa Muhammad
(Islam) tidak akan diutus ke bumi kecuali untuk kemaslahatan
dan kesejahteraan seluruh makhluk yang ada di alam ini, yakni
sebagai rahmatan lil ‘âlamîn.
Ketiga, tujuan akhir (ultimate goal) ritual formal agama
Islam (al-ibadah al-mahdhah) senantiasa dikreasikan dan di
kembalikan untuk kebaikan manusia, seperti shalat dengan
tujuannya membentuk insan humanis, antidestruksi (QS Al
Jâtsiyah [45]: 45); puasa membentuk manusia bermoral (QS
AlBaqarah [2]: 183) ataupun simbol ritual haji yang berharap
mampu membangun kesadaran manusia bahwa dirinya sama
(equality/egalitarian) di hadapan manusia yang lain.
Mengacu dari beberapa hal itulah, baragama bukan lantas
menjauhkan kita dari realitas sosial manusia, akan tetapi malah
harus membawa kita lebih bersentuhan dalam problempro
blem kemanusiaan. Teksteks kekerasan (makna sempit jihad/
crusade) yang sekiranya bertentangan dengan sisi dan sendi
sendi kemanusiaan selayaknya untuk diinterpretasi dengan
aksiaksi sosialkemanusiaan. Wallâhu A’lam.
Spiritualitas
yang Kering
(Jawa Pos, 1 November 2005)
M
anusia merupakan makhluk dualitas, berdiri di titik
antara rasional (homo sapiens) dan irasional (homo
religious), di samping perannya sebagai makhluk
sosial (homo socio). Karena itulah, agama senantiasa hadir
(omnipresent) dalam setiap zaman kehidupan manusia. Semua
hal tersebut harus berdiri seimbang. Jika komponen itu tidak
seimbang, akan terjadi gejolak dalam diri manusia.
Tetapi, saat ini kita dihadapkan pada kenyataan sosial ma
nusia yang sangat paradoks dengan hal di atas. Kekerasan dan
pembantaian terhadap sesama datang silih berganti; Bom JW
Marriott, WTC, Mataram, Situbondo, Bom Bali I dan II, tragedi
di Palestina dan Irak, ketidakpekaan para pemimpin bangsa ter
hadap derita rakyat, hingga yang teranyar kasus pembunuhan
tiga siswi SMA di Poso barubaru ini.
176
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
Belum lagi, sederet kekerasan, kekejian, dan kelobaan ma
nusia yang menghiasi kehidupan kita dewasa ini. Persoalan itu
tidak hanya menyisakan permasalahan, tapi menjadi releksi
bahwa manusia di samping memiliki sifat positif, juga memiliki
kecenderungan negatif (QS AlSyams [91]: 8). Manusia bisa le
bih buas daripada binatang terbuas. Melihat dimensi kebuasan
manusia itu, Hobbes kemudian menyebut manusia sebagai
homo homoni lupus.
Inilah kecenderungan ambigu manusia. Dimensi mana yang
mendominasi dirinya, kecenderungan itukah yang akan meng
gerakkan dirinya. Jika demikian, mengapa aspek sosial, rasio
nal, dan terutama spiritual manusia tercabut dan digerus oleh
kebuasan dan kelobaan manusia. Kemenangan logos (rasionali
tas) atas mitos (irasionalitas) yang menemukan ketidakjayaan
pada abad ke19 tidak hanya mampu menggeser agama sebagai
the second class, tetapi juga telah merombak pandangan dunia
manusia (world view) menjadi material oriented. Kebenaran,
kesenangan, dan kebahagiaan dipersempit menjadi pemenuhan
terhadap materi yang seiring dengan munculnya ciptaanciptaan
manusia yang spektakuler. Itulah cikal bakal ketidakseimbangan
manusia nantinya.
Pesatnya kemajuan dalam bidang informasi tidak hanya
melipat dunia menjadi kecil, meleburkan batas teritorial, dan
mengaburkan garis hijau identitas primordial (ras, bahasa, bu
daya), tapi juga menyuguhkan realitas keberingasan manusia
dalam memuja materi, imaji, kehormatan, dan gengsi tanpa
batas.
Dalam impitan ruang zaman yang demikian, manusia men
jadi terasing dengan diri sendiri. Spiritualitas kehidupan terce
rabut, manusia tidak lagi mengerti untuk apa dia hidup di du
nia, ibarat robot, terasing dari diri sendiri akibat dorongan kuat
hasrat penguasaan terhadap materi yang merupakan ciptaannya.
SPI R I TU A LI TA S yANG KERING
177
Ketakutan dan kecemasan kemudian menggerayangi jiwanya.
Ketika ketidakseimbangan itu muncul, depresi sosial pun ter
jadi.
Pada level itulah, manusia menerapkan segala cara. Ti
dak peduli dunia kehidupan menjadi medan untuk saling ban
tai dan bunuh sesama asalkan materi mampu dikuasai. Yang
kuat mencaplok yang lemah, yang lemah memeras yang lebih
lemah lagi. Sementara itu, eksploitasi alam secara liar dan
penuh keserakahan pun dilakukan. Sebab, dengan begitu
lah, kebahagiaan bisa dicapai. Di sinilah letak kekeringan spi
ritualitas di balik keterasingan manusia dengan diri dan kehi
dupannya.
Bersama dengan itu, agama sebagai basis spiritualitas pun
terjebak pada formalisme yang kuat akibat dari positivisme mo
dernitas. Agama pun diseret menjadi wajah lain dari keserakahan
manusia. Agama yang seharusnya mengambil peran penting
pada kondisi itu, tibatiba juga diubah menjadi beringas dan
nirmanusiawi. Agama ditunggangi untuk melampiaskan hasrat
materi dan kekuasaan.
spiritualisme Humanistik
Karena itu, di tengah tantangan kemanusiaan yang demikian
keras, pembumian nilainilai spiritual menjadi keharusan se
mua pihak. Agama sebagai basis spiritual dituntut untuk me
lakukan perombakan secara besarbesaran agar spiritualisme
yang ditawarkannya benarbenar menjadi problem solving atas
penyakit yang diderita manusia saat ini. Terutama di negeri kita
(krisis kemanusiaan dan kepekaan sosial).
Spiritualisme tersebut harus berpusat pada manusia dan
pengembangan dimensi positif yang ada di dalam diri manusia
(sosial, rasional, spiritual). Sebuah jalan melakukan humanisme
spiritual. Proses pemusatan spiritualisme pada manusia itu
178
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
merupakan ikhtiar untuk merombak kesadaran manusia me
nuju manusia yang lebih manusiawi. Yakni, menancapkan ke
sadaran manusia agar mengarahkan tindakannya sesuai jalur
kemanusian yang sejati.
Kesadaran spiritual humanis lebih mengedepankan aspek
kemanusiaan. Ilmu dikreasikan untuk kemaslahatan manusia,
bukan untuk perang. Senjata diciptakan bukan untuk saling
memberangus kehidupan dan antarsesama. Karena itu, dalam
upaya pengembangan spiritualisme yang berbasis kemanusiaan
tersebut, peran agama sangat sentral untuk masuk ke seluruh
ruang kehidupan; sosial, budaya, politik dan lainnya. Begitu
juga, agama harus lebih banyak menghadirkan spiritualitas
yang lebuh menggiring pada proses penyadaran kemanusiaan
yang selama ini telah lama ditinggalkan.
Nalar Agama
yang Hilang
(Media Indonesia, 29 oktober 2004)
H
arus diakui, agama yang kita anut dan jalani saat ini
sudah jauh dari bentuk bangunan ideal agama pada
masa Muhammad, Yesus, Musa, Buddha, dan bahkan
Ibrahim. Agama dewasa ini sudah tidak bisa lagi diharapkan
untuk menjadi obat (untuk tidak mengatakannya panacea) bagi
kesuraman peradaban yang penuh dengan sifat destruktivisme
dan vandalisme komunal dari modernisme. Bahkan ironisnya,
agama malah acap kali menjadi ladang pertikaian, pertumpahan
darah, dan alat pencari kekuasaan. Di sini, saya tidak bermaksud
menghujat agama, tapi itulah kenyataannya, bahwa agama de
wasa ini sangat jauh dari tipe ideal pada saat ia lahir.
Perang dingin antara mitos (teolog) dan logos (ilsuf), yang
kemudian menghantarkan kepada kemenangan logos sehing
ga memunculkan Renaisans dan Aufklarung, cukup membawa
manusia tercerabut dari akar spiritualnya. Herannya, agama
180
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
tidak berperan sebagai counter balancing terhadap arus gerak
logos, tetapi malah masuk ke dalam jaringjaring logosceterism
tersebut. Agama menjadi kehilangan mitos dan sakralitas
sebagai ruh fundamentalnya. la berjalanjalan di atas per
mukaan logos yang serba rasionalsentria dan objektif. Iman di
rasionalkan (idesquerens intellectum) dan ajaran Tuhan (baca:
wahyu) diprofansentriakan.
Rekayasa yang coba dibangun agama hanyalah rekayasa
semu, karena terbangun dari logos semata. Kekeringan makna,
itulah kata yang tepat untuk menggambarkan agama pada taraf
seperti ini. Simbol tidak lagi bermakna, ritual hanya sekum
pulan doktrin dan simbol yang harus dilaksanakan, namun ti
dak memberikan kontribusi apa pun bagi kehidupan manusia.
Bahkan ironisnya, ritual hampa nilai spiritualitas.
Tetapi pada sisi lain, ada juga wajah agama (teologi?) yang
justru terangterangan mengabaikan sisi rasionalitas. Agama
hanya dipandang sebagai sekumpulan mitos belaka yang pada
akhirnya, manusia seolah hanya menjadi budak agama. Keke
rasan dan pembunuhan tidak lagi menjadi perbuatan keji ketika
disandingkan dengan doktrin agama. la hanya menjalankan
agama, namun tidak mengerti untuk apa dan siapa ajaran itu
diturunkan dan dilaksanakan. Apa pun itu, jika diyakini ber
sumber dari agama, akan diterjemahkan ke dalam realitas se
kalipun dengan kekerasan dan perusakan yang bertentangan
dengan nalar kemanusiaan. Benarlah apa yang dikatakan se
orang penyair Irlandia WB Yeats (18651939), rasa tak bersa
lah ditenggelamkan, yang terbaik kehilangan pendirian dan
keyakinan. Pun, menjadi benar juga tuduhan Clarkson yang
menyatakan bahwa dosa merupakan fantasi manusia, sedang
kan kejahatan merupakan wahyu Tuhan.
Nalar agama adalah nalar profetik, nalar profetik adalah
nalar kemanusiaan, dan nalar kemanusiaan adalah nalar yang
N A LA R A G A MA yANG HILANG
181
bersumber pada nurani. Tetapi, agama mainstream dewasa ini
adalah agama yang tidak lagi memiliki nalar demikian. Watak
agama dengan nalar kemanusiaan tidak berada pada posisi
mutual-interest. Agama dan Tuhan menjadi sesuatu yang
superior, melebihi segalanya. Sedangkan nalar manusia yang
bersumber pada nurani diposisikan pada ruang yang inferior.
Akhirnya, gerak agama tidak lagi selaras dengan bahasa nurani.
Padahal, hati nurani merupakan instrumen Tuhan untuk me
naruh dan menyemayamkan irman-Nya (QS Al-Syu‘arâ’ [26]:
193194) agar manusia bergerak pada koridor hukumhukum
Tuhan cinta kasih.
Dengan demikian, harus diakui bahwa nalar agama mainstream saat ini tidak lebih dari sebuah nalar yang mencoba me
rekayasa kehidupan manusia dengan (apa yang dianggapnya)
hanya bersumber pada perspektif Tuhan (agama) an sich atau
semata murni rasional. Dan, tidak pernah menjadikan nurani
manusia sebagai referensi rekayasa idealnormatif. Nalar
(nurani) manusia dikesampingkan. Semua tindakan yang
mengikutsertakan blessing Tuhan ataupun semata rasio tampak
begitu suci dan aksiomatik, walaupun meminta tumbal seribu
darah manusia; pembunuhan dan pembantaian. Rekayasa aga
ma ini tidak memberikan keteduhan bagi manusia, malah justru
menelanjangi manusia dari kehidupan dan ketenangan jiwanya.
Agama dan manusia bak dua buah entitas yang terasing dan
menjadi orang asing (alien) di antara mereka.
Ada dua sebab mengapa agama demikian. Pertama, keter
geseran spiritualisme agama oleh kerasnya empasan badai rasio
(baca: logos) manusia. Manusia berusaha melogosentriakan
(desakralisasi) Tuhan dari tarikan napas agama. Pada persolan
ini, pemikir besar Karen Amstrong menegaskan bahwa manusia
sama saja dengan membunuh Tuhan manakala hendak menja
dikan Tuhan (agama) murni rasional (Karen Amstrong, 2001).
182
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
Dan ketika agama demikian, ia tidak menjadi peneduh, tetapi
mengasingkan manusia dari dunia spiritual. Kedua, adanya
rasiophobia. Yakni, terlalu memandang negatif terhadap rasio
yang telah membuat agama kehilangan spiritualismenya. Se
hingga apa yang terjadi? Mitos pun menjadi pujaan. Bara
dendam dan kekerasan tidak dipandang sebagai bagian yang
dilarang Tuhan, melainkan sesajen yang seolah bisa membuat
Tuhan ‘tersenyum’ dan ‘bangga’. Atas hadirnya dua faktor inilah,
agama menjadi tidak memiliki nalar, baik nalar spiritualitas dan
(lebihlebih) nalar kemanusiaan (baca: nurani).
Melihat pandangan tersebut, berpijak pada nalar kema
nusiaan adalah suatu keharusan bagi agama agar mampu me
nyetir kembali peradaban dunia. Agama tidak akan lagi dicibir
sebagai perusak peradaban (destroyer of human civilization)
yang berkeadilan dan berkedamaian, sebagaimana nada WB
Yeats dan Clarkson di atas. Karenanya, tawaran yang mendesak
untuk diaplikasikan adalah membangun konsepsi dan rekayasa
agama yang selalu berasas dan mengacu pada nurani kemanu
siaan. Nurani manusia tidak pernah meridhai segala bentuk ke
kerasan pembantaian, dan penindasan. Nurani manusia selalu
menginginkan kedamaian, kasih sayang, dan spiritualitas. Ini
lah sesungguhnya nilai agama yang selama ini lepas dan hilang
dari pelukannya. Inilah yang disebut oleh Tuhan sebagai agama
itrah (QS Al-Rûm [30]: 30)
Rekayasa yang berasas pada nurani kemanusiaan tidak
akan mencerabutkan spiritualitas agama dan tidak pula men
dikotomisasikan agama dengan logos. Melainkan keduanya
harus saling bersimbiosismutualis dan bahumembahu. Logos
haruslah legawa untuk tidak merasionalisasikan seluruh ma
terial agama. Pun, agama (mitos) janganlah mengklaim salah
manakala logos mencoba meluruskan gerak langkahnya.
N A LA R A G A MA yANG HILANG
183
Sehingga, agama tidak lagi menjadi asing dan mengasingkan
manusia dari dunia spiritualitas serta tidak memperbudak dan
membunuh nalar (baca: nurani) manusia dalam mengukur baik
dan benarnya tindakan. Kiranya seperti itulah bangunan ideal
agama untuk masa kini, yang dahulunya pernah bersemayam
mesra di zaman Muhammad, Yesus, Konfusius, dan Musa.
Wallâhu A'lam.
Menyempurnakan
Agama?
(Media Indonesia, 2 Mei 2003)
S
ekalipun yang ditawarkan tiada hal yang baru, tulisan
Hatim Gazali yang bertajuk “Agama Edisi Revisi” (Media
Indonesia,11/4) sangat menggugah penulis untuk ikut
memperbincangkannya. Bagi Hatim, agama saat ini sudah se
layaknya direvisi, karena ia telah kehilangan fungsionalnya.
Seraya mengutip pendapat pemikir Hendrik Khraemer dan
Malachi Martin, Hatim berkesimpulan bahwa zaman keberha
silan agama telah berakhir. Ini bisa dilihat dari, agama menjadi
tunggangan politik para penguasa dan fungsionarisnya serta
kesenjangan das sein dan das sollen agama. Menurut Hatim,
lahirnya fenomena tersebut karena agama ditempatkan sebagai
suatu yang profan oleh masyarakat modern. Walau begitu, pada
dasarnya saya sepakat dengan tawaran Hatim Gazali, kendati
ada beberapa hal yang masih problematis dan akan didiskusikan
pada kesempatan ini.
MEN y EMPU R N AKAN AGAMA?
185
Harus diakui, agama memiliki andil besar dalam memaju
kan peradaban dunia. Agama menjadi semacam inspirator un
tuk mengonstruk tatanan primordial peradaban, kedamaian,
keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan. Bahkan, berawal dari
agamalah ideide revolusioner, liberatif, dan humanis lahir. Jauh
ke belakang sejak kemunculannya, agama mendekonstruksi bu
daya feodalisme, tribalisme, khauvinisme, dan vandalisme yang
merupakan bentuk keterbelakangan peradaban manusia.
Sayangnya, Hatim Gazali terlalu keburu mengambil kesim
pulan bahwa zaman keberhasilan agama telah berakhir. Sembari
mengambil petuah Hendrik Khraemer dan Malachi Martin
bahwa agama telah memasuki periode krisis, baik pada wilayah
personal concern maupun communal community. Padahal, era
ini merupakan titik balik dari argumen tersebut. Agama mulai
bangkit dan mereleksikan dirinya ke dalam jiwa zaman kemanusiaan. Sejarah membuktikan, citacita materialisme manu
sia tak kuasa menggeser agama ke pinggiran. Usaha Jean Paul
Sartre, Nietzsche, Karl Marx, dan para converse yang lain (isti
lah ini digunakan Karen Amstrong) tak terbukti. Manusia tidak
mungkin mengalienasikan diri dari agama (spiritualitas). Ia ada
lah homo yang tegak di atas dua apitan alam, mitos dan logos
(irasional dan rasional). Bahkan, Harvey Cox menggambarkan
zaman saat ini dengan kebangkitan agama dan kebangkitan
dunia sakral (Syamsul Ariin, 2001).
Memang, harus diakui, agama acap menorehkan luka merah
sejarah kemanusiaan. Terpaan arus logosentrisme dunia modern
telah menggeser nilai dan fungsi agama. Agama berkelindan di
atas altar sejarah manusia yang profan dan rasionalistik. Sehing
ga, agama berubah menjadi legitimasi kekuasaan dan kepen
tingan para fungsionarisnya. Agama digiring dan diramu layak
nya bendabenda profan yang lain. Akhirnya, pernyataan Hatim
Gazali bahwa pemandangan jauhnya antara das sein dan das
186
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
sollen agama tak dapat dielakkan. Cita suci ideal agama tampak
seperti cita utopia yang kontras dengan realitas faktualnya.
Melihat hal itu, ada dua yang tak terjamah dari pemikiran
Hatim Gazali dalam memandang disfungsi agama saat ini. Pertama, dari segi doktrin. Kemandulan agama karena lembaga
doktrin agama itu sendiri. Kekrisisan agama tidak an sich faktor
polarisasi dan politisasi agama. Tidak mungkin agama menjadi
legitimasi kebijakan tanpa ada dorongan tekstual doktriner
agama.
Persetubuhan agama dengan kekuasaan memang senan
tiasa mengundang polemik yang tak jarang meminta tumbal.
Kenyataan sejarah ini mendesak kita untuk melakukan upaya
redoktrinasi atau bahkan dedoktrinasi kesatuan agama dengan
kekuasaan. Pakar agama John L. Esposito mengungkapkan,
doktrin Kristen berbeda dengan doktrin Islam. Islam menya
kini kesatuan antara agama dan kekuasaan, sementara Kristen
terpisah. Agama terlalu suci, jujur, dan polos untuk disanding
kan dengan kekuasaan yang penuh muslihat, picik, dan arogan.
Ini tidak berarti menempatkan agama dengan politik secara
diametral, tapi agama harus mengambil jarak dengan kekuasaan.
Sebab itu, harus ada upaya redoktrinasi ajaran agama. Pun, ini
harus dilakukan pada ajaranajaran agama yang berpotensi
menyulut keberingasan dan kekerasan, terutama doktrin jihad
dan crusade yang acap diartikan konfrontasi secara isikal.
Kedua, kurangnya penghayatan terhadap nilainilai agama.
Suasana disekuilibrium antara das sein (idealitas teks) dan das
sollen (realitas konteks) dalam agama adalah fenomena kons
tan yang sudah ada semenjak agama itu lahir. Dan, ini terjadi
karena nilainilai agama yang diinternalisasi ke dalam jiwa
tidak disertai penghayatan dan pemaknaan mendalam. Reka
yasa normatif yang diidealkan teks menjadi terhambat karena
kenihilan penghayatan itu. Tak heran yang kemudian acap
MEN y EMPU R N AKAN AGAMA?
187
tampak adalah distorsi dan reduksi ajaranajaran normatif aga
ma yang mengandung kedamaian, keadilan, kebebasan, dan
persaudaraan universal (universal brotherhood) yang lintas
identitas (cross identity of humanity). Tanpa penghayatan ter
hadap nilai cita ideal agama, utopis penyelarasan das sein dan
das sollen tergapai. Karenanya, kesenjangan kedua wilayah ter
sebut bukanlah sebab kekrisisan agama, ia merupakan akibat
dari sebuah sebab, yakni luluhnya penghayatan tadi.
Mengairmasi pemikiran di atas, upaya Hatim Gazali merevisi agama yang semula dianggap profan oleh masyarakat
modern menjadi agama yang berdiri di atas dua pijakan, antara
sakral (irasional) dan profan (rasional), akan mengalami ham
batan. Ini terjadi jika cara beragama belum dibarengi dengan
penghayatan terhadap nilai dan doktrin agama. Kendati berupa
ya menempatkan agama pada middle place, agama akan tetap
membius umatnya dalam kepongahan dan arogansi destruktif.
Tuduhan Marx bahwa agama adalah candu, Nietzche bahwa
Tuhan telah mati, Hendrik Khraemer dan Martin Malachi bah
wa agama telah memasuki masa krisis, lahir karena penghayat
an terhadap agama sudah tidak menaungi kehidupan manusia.
Agama masih ditempatkan pada wilayah eksoteris, sehingga ia
menjadi kering. Apa pun bungkus sebuah agama tanpa peng
hayatan berpotensi membawa manusia kepada keterasingan.
Tanpa penghayatan inilah yang menyebabkan agama “sakral”
mengalienasikan dan membius masyarakat menuju penga
laman. Sebaliknya, agama “profan” menempatkan agama seba
gai barang rongsokan yang menjadikan manusia teralienasi dari
dunia spiritualitasnya. Pun, agama middle place (antara sakral
dan profan) tidak jauh dari kedua fenomena tersebut jika tidak
dibarengi dengan penghayatan dan pemaknaan terhadap nilai
nilai ilahiah agama secara mendalam. Wallâhu A‘lam.
Merancang
Fikih Bumi
(Media Indonesia, 27 April 2007)
A
gama tidak hanya diperuntukkan bagi manusia, tetapi
juga untuk keberlangsungan rotasi kehidupan di muka
bumi, itulah esensi rahmatan lil ‘âlamîn. Yakni mem
beri rahmat dan manfaat bagi seluruh alam yang mengitari ga
laksi ini. Tetapi, semua berbanding terbalik. Agama seolah ha
nya untuk manusia, tidak untuk bumi. Dus, kini bumi menjadi
second class dan objek eksploitasi manusia karena agama
(monoteisme) menempatkan manusia sebagai wakil Tuhan di
muka bumi (khalifah i alardhi).
Manusia pun menjadi pusat dari segala subjek yang ada di
bumi. Tetapi benarkah agama tidak memberikan ruang untuk
memperhatikan bumi?
Kemajuan teknologi, sebagai simbol perkembangan pesat
akal manusia, cenderung menjadikan manusia semakin liar ter
hadap alam. Pada era mitos, alam manusia ditempatkan pada
MER A N C A NG FIKIH BUMI
189
posisi agung dan sakral. Rasio berada di bawah bayangbayang
supremasi irasionalitas, alam menjadi titik sentrum, alam
menjadi Tuhan bagi manusia yang menyeramkan sekaligus
dipuja, disebut Rudolf Otto sebagai sang mysterium fascinan
et tremendum. Manusia tidak berani memperlakukan alam
semenamena karena ia adalah entitas yang harus dipuja.
Akan tetapi, pada era logos (modernisme), supremasi
alam diruntuhkan oleh rasionalitas Cartesian, cogito ergo sum
manusia menjadi ada ketika ia mampu menaklukkan kekuatan
irasionalitas alam. Tunduk terhadap alam berarati takluk ter
hadap irasionalitas. Membiarkan diri takluk terhadap irasio
nalitas berarti manusia belum menjadi being (baca: ada) yang
sesungguhnya. Logos dan rasionalitas menjadi citra yang nis
caya melekat dalam diri manusia untuk menggada yang dieja
wantahkan dengan cara menundukkan alam semaunya dan
semenamena.
Hegemoni nalar Cartesian tersebut menenggelamkan ma
nusia pada peminggiran alam dan segala sesuatu yang di luar
kelogisan. Alam harus tunduk pada segala kreasi akal manusia
berupa pembangunan dan kemajuan. Arus kencang logos atau
rasionalitas telah membunuh jiwa alam dan menjadikannya
an sich objek yang dapat dieksploitasi secara destruktif. Demi
membangun segala fasilitas yang menunjang kehidupan ma
nusia, seperti perkantoran, pertokoan, mall, dan transportasi,
menjaga alam dan keberlangsungan ekosistemnya menjadi
marginal.
Segala sendi kehidupan kita saat ini bergerak demikian.
Bahkan, dalam ranah agama pun, hegemoni logos begitu be
sar dengan menundukkan agama di bawah ketiak rasio (ide
squerens intellectum). Dus, agama pun tidak mampu mengge
rakkan keliaran logos manusia atas alam. Di sinilah memantap
kan kembali peran agama dalam menyeimbangakan akal ma
190
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
nusia perlu ditancapkan agar mampu memberikan kontribusi
dalam menyeimbangkan alam dan manusia, tentu dalam mem
berikan ruang agama berbicara, meletakkan agama di hadapan
akal secara profesional terlebih dahulu harus dilakukan.
Jika tidak, upaya tersebut akan siasia karena, bagaimana
pun juga, sisasisa hegemoni logos dan nalar modernisme pada
masyarakat dunia tidak hanya meminggirkan alam, tetapi juga
telah menendang untuk tidak mengatakan membuang agama
menjadi persoalan yang tidak penting, antara rasio dan irasio
nalitas harus bergerak seimbang.
Karena itu, mengembangkan nilainilai berbasis lingkungan
mendesak dilakukan, agama memandang manusia dan alam
tidak berjajar secara hierarkis, melainkan berposisi sejajar.
Terutusnya manusia sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah i
al-ardhi) bukan lantas ia berhak sewenangwenang atas alam
dan melihat jagat raya lebih inferior darinya yang menjadi dalil
kita mengeksploitasi alam. Sebagai wakil Tuhan, manusia harus
memperlakukan alam dengan penuh kasih sayang. Dengan kasih
sayang itulah, alam dan manusia bisa berjalan harmonis. Alam
tidak lagi diperlakukan sebagai objek rasio manusia secara liar.
Agama menginformasikan bahwa jauh sebelum manusia
tercipta, alam dan jagat raya ini sudah ada terlebih dahulu. Ma
nusia ditugaskan menjaga dan melestarikan alam sekalipun di
dalam diri manusia terdapat potensi perusak (baca: fujur) yang
sewaktuwaktu akan membahayakan keberlangsungan bumi
(baca: ekosistem). Berkalikali Tuhan menjelaskan bahwa ma
nusia terbuat dari tanah yang berarti antara manusia dan alam
merupakan satu kesatuan yang saling bergantung satu sama lain
(QS AlRa‘d [13]: 04 dan QS AlNâzi‘ât [79]: 3033). Dengan
demikian, rasio dan logos memerankan dirinya dalam kerangka
menjaga keberlangsungan alam semesta menjadi bagian dari
diri manusia.
MER A N C A NG FIKIH BUMI
191
Manusia tidak boleh mengedepankan rasionya untuk
mengeksplorasi alam hanya untuk kepentingannya, melainkan
mengedepankan spesies lainnya (QS AlRahmân [55]:10). Me
mahami alam dan manusia sebagai entitas yang integral akan
menggiring pada keseimbangan bahwa alam juga memiliki ba
ngunan rasionalitasnya masingmasing. Sehingga, tak pelak,
bencana pun datang bertubitubi karena rasio manusia sering
melabrak rasionalitas dan moralitas alam itu sendiri.
Sebab itu, dalam memberikan ruang agama memecah pro
blem ekologis, perlu adanya rekayasa teologi yang aplikatif da
lam pemikiran agama itu sendiri. Merancang ikih bumi atau
lingkungan adalah salah satu solusi aplikatif tersebut. Memang
sangat disayangkan, pembicaraan lingkungan dalam khazanah
ikih klasik tidak mendapatkan porsi yang besar. Alih-alih memberikan porsi, ikih yang kita kembangkan dan jalankan justru
bergerak stagnan tanpa ada pengembangan dan proses ijtihad
yang disesuaikan dengan problem kontemporer. Di sinilah cen
dekiawan Muslim dan lembagalembaga keagamaan memain
kan peranan penting dalam menjawab krisis ekologi saat ini.
Fikih lingkungan akan mengatakan dengan tegas bahwa
orang yang mengabaikan, menyianyiakan, dan merusak tatan
an ekosistem di atas bumi dapat dikatakan sebagai orang yang
memerangi Allah dan rasulNya (QS AlMâ’idah [5]: 33). Karena
tindakannya dikategorikan memerangi Allah, orang yang me
rusak alam dapat disebut sebagai kair yang harus dihukum.
Hal tersebut bukan lantas alam tidak dieksplorasi, melain
kan diletakkan secara seimbang demi manfaat seluruh spesies
bumi. Dengan demikian, rasio tidak menjadi penguasa yang
liar, menebang untuk pembangunan dan kemajuan kota dan
peradaban, tetapi menjadi pengelola alam secara arif dan bijak
sana.
Edisi Kritik Agama
(Media Indonesia, 17 oktober 2003)
P
ada saat agama dipahami dalam lingkup formal (organized religion), niscaya akan tampil dalam dua wajah pa
radoks, sangar dan lembut. Itulah standar ganda (double
standard) agama sebagai konsekuensi dari eksistensinya yang
selalu berbaur dengan logika objektifempiris sejarah. Pemikir
Mahmoed Mohammad Toha menyebutnya dengan istilah
spatio temporal. Konsekuensi dari double standard atau spatio
temporal tersebut adalah, agama acap kali bertolak belakang
antara idealitastekstual yang diinginkan dari realitas kon
tekstual yang terjadi di lapangan. Tak heran jika agama justru
kerap menjadi pemecahbelah (sentrifugal) daripada sebagai
pemersatu (sentripetal).
Tak heran jika kemudian seorang pemikir bernama AN
Wilson berucap secara radikal bahwa agama pada dasarnya le
bih berbahaya daripada candu. Karena, ia tidak hanya membuat
ED I SI KRITIK AGAMA
193
orang tertidur, tetapi juga mendorong manusia untuk meng
aniaya dan membunuh sesamanya. Pelbagai kasus kekerasan
seperti tragedi WTC, bom Legian, kasus Situbondo, Mataram,
Ambon, dan tragedi Bom JW Marriott di Jakarta merupakan
segelintir dari sejumlah rentetan keterlenaan manusia oleh
buaian agama untuk berjalan dalam logika sejarah, sesekali
membantai sesamanya.
Sekalipun dalam garis historisnya agama muncul sebagai
upaya harmonisasi dan humanisasi bangunan sosial dan bu
daya yang runtuh akibat egoisme despotik manusia, akan tetapi
ketika berjalan dalam logika sejarah, sesekali saja polos aga
ma menampakkan keberingasan. Dan di situlah, sisi lain aga
ma mengemuka, yakni sisi yang memiliki potensi perusak dan
penghancur. Pada saat itu, agama tidak lagi dipahami secara
itrah yang sebenarnya, melainkan berjalan di atas ego kebenaran yang menenggelamkan sisi kemanusiaan.
Proyeksi lapangan yang coba dibangun agama menjadi
an sich dilihat dalam perspektif yang monistik, melangit dan
tidak pernah salah. Ruang kritik terhadap agama tertutup ra
pat, karena logika manusia dianggap ‘haram’ mengkritik apalagi
merevisi agama yang mahaparipurna dan mahasegalasegala
nya. Semua jalan kebenaran hanya milik agama yang dianutnya
dan pada saat yang bersamaan manusia tidak bisa memberikan
masukan terhadap agamanya itu.
Melihat hal itu, agama harus bisa memberi ruang kritik ter
hadap wacana yang disuguhkannya. Memberikan ruang kritik
terhadap agama tentu akan memberikan wajah baru dan lebih
menghidupkan keadaan agama itu sendiri. Bukan berarti agama
harus diprofansentriskan, dilogosentriskan atau dipisahkan dari
nilai sakralitas dan mitos yang antirasio, tetapi mencoba memo
sisikan agama secara proporsional bahwa agama adalah entitas
menyejarah yang sewaktuwaktu bisa saja salah.
194
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
Peran agama dengan fungsinya sebagai pegangan hidup
tetap manusia, yang senantiasa bercampur baur dengan logika
logika sejarah yang dinamis, merupakan dasar argumen dari
pernyataan di atas. Agama yang bercampur baur dengan sejarah
tersebut merupakan hasil interpretasi intrasubjektif manusia
yang selalu mementingkan egonya di atas kepentingan bersama.
Dalam rangka ini, agama tidaklah antikritik. Memang benar
agama mengajarkan kebaikan, tetapi agama tidak mengatakan
bahwa hanya dirinyalah yang paling baik. Islam mengajarkan
kebenaran, namun bukan berarti ia memproklamasikan dirinya
selalu benar dan lepas dari kritik.
Kesalahan terbesar kita dalam memahami agama saat ini
adalah melupakan sisi kesejarahan agama yang selalu berbaur
dengan faktorfaktor eksternal itu; sebuah kondisi objektif se
jarah yang memengaruhi gerak tubuh agama itu sendiri. Atas
pemahaman itu, agama kemudian hanya diyakini sebagai yang
absolut dan terpisah dari realitas empiris sejarah. Apa pun itu
jika diyakini datang dari agama (Tuhan) akan dikatakan sebagai
sesuatu yang benar, tanpa interpretasi, dan bersifat taken for
granted. Padahal, ketika agama turun ke bumi, saat itu juga ia
menjadi sebuah interpretasi.
Sebab itu, kita harus berani mengatakan bahwa memang
ada sisi–sisi agama yang melegitimasi dan menjadikan keke
rasan sebagai langkah perjuangan. Logikanya, tidak mungkin
sebuah kekerasan dilakukan oleh umat beragama sebagai jalan
perjuangan tanpa ada legitimasi tekstualdoktriner dari agama
itu sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya konsep jihad dan
crusade yang memberikan jalan kekerasan sebagai langkah un
tuk melawan the others enemy.
Hal di atas bisa saja disebabkan oleh kondisi objektif agama
yang tidak hanya bergerak secara natural, melainkan bisa dige
rakkan dan ditunggangi oleh manusia. Memang benar agama
ED I SI KRITIK AGAMA
195
muncul ke bumi untuk membawa nilainilai kesejahteraan,
akan tetapi setelah ia ditinggalkan oleh pembawanya (nabi),
agama akan mengalami beberapa deviasi disebabkan oleh ma
nusia itu sendiri yang selalu memuja egonya. Dan, kalau melihat
perjalanan panjang sejarah agama, kepentingan politik merupa
kan salah satu entitas yang paling berpotensi besar melahirkan
deviasideviasi tersebut.
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita untuk mengata
kan bahwa agama kebal dari kritikan, lepas dari campur tangan
manusia. Bagaimanapun, wacanawacana yang disuguhkan
agama berada dalam konteks sejarah yang diproyeksikan untuk
kesejahteraan manusia. Selama ini umat beragama masih takut
untuk mengkritisi agamanya, karena itu, ketika ada orang mela
kukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, selalu di
pandang sebelah mata sebagai bentuk pemahaman yang keliru
terhadap agamanya. Cara pandang ini menempatkan agama
hanya pada posisi yang tak pernah salah, sebaliknya manusia
berada dalam ruang yang selalu salah.
Dalam memberikan kritik terhadap agama, hal utama yang
harus dilakukan adalah menyatukan persepsi bahwa agama
adalah entitas historis. Sebuah upaya kritis dengan memandang
agama dalam konteks sejarah. Selain itu, kita juga harus bisa
memberikan batasan terhadap upaya kritik kita kepada (teks)
agama, hanya pada sisi fungsionalitasnya bagi konteks sosial dan
kemanusiaan. Dengan demikian, citacita agama untuk mem
bangun dan menyejahterakan manusia benarbenar bisa me
wujud di alam nyata manusia. Ajaranajaran yang tidak mem
berikan kemajuan terhadap nilainilai sosial dan kemanusiaan
haruslah dikritik dan dipertanyakan relevansinya, bahkan bila
perlu dinegasi dari agama itu sendiri.
Sehingga, agama tidak akan pernah lagi dituduh sebagai
entitas yang lebih berbahaya daripada candu, sebagaimana yang
196
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
diungkapkan AN Wilson di atas. Pun, agama tidak akan pernah
menjadi perusak dan pemusnah peradaban, tetapi akan benar
benar berperan sebagaimana tujuan ia hadir di muka bumi ini,
sebagai penenteram bagi kehidupan manusia, rahmatan lil
‘âlamaîn. Wallâhu A‘lam.
Lebaran Topat
dan Teologi Lokal
(Lombok Post, 2 Desember 2003)
S
udah menjadi tradisi, satu minggu setelah Idul Fitri,
masyarakat Lombok merayakan lebaran ketupat (baca:
topat). Lebaran ketupat sebenarnya tidak hanya terdapat
di Lombok semata. Selain Lombok, seperti Jawa dan Madura
pun mengenal adanya lebaran ketupat. Belum jelas dari mana
akar tradisi tersebut, namun kalau boleh dibilang pada dasarnya
lebaran ini merupakan gelindingan tradisi yang menjadi ritual
setelah satu minggu melakukan puasa sunnah syawal. Kebiasaan
ini sesungguhnya sangat menarik diulas lebih dalam. Dikatakan
menarik karena tradisi tersebut an sich budaya, melainkan juga
ada kooptasi nilainilai teologis yang kental di dalamnya.
Apa yang terlihat dalam lebaran ketupat di sini menunjuk
kan, antara agama dengan budaya lokal pada dasarnya tidak
bersifat konfrontatif, sebagaimana yang sering kita pahami
198
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
selama ini, melainkan bersifat kooperatif, akomodatif dan
bersinggungan secara dialektis.
Agama tidak bisa melepaskan atau mencerabutkan dirinya
dari budaya manusia, sebab budaya merupakan simbol ins
trumental utama manusia dalam mentransformasikan sebuah
makna. Pesan agama akan meresap dalam jiwa manakala ia di
sampaikan melalui budaya setempat. Nabi Muhammad SAW
telah menunjukkan caracara semacam itu. Budaya Arab tidak
dieliminir semuanya melainkan dengan mengambil mana yang
baik dan mana yang buruk dari budaya itu sendiri.
Proses dialektika agama dengan budaya tidak saling
mengalahkan dan menghakimi satu sama lain melainkan saling
melengkapi ibarat air dengan gelas. Air sebagai ajaranajaran
nilai yang suci sedangkan gelas mewakili budaya yang berfungsi
sebagai wadah untuk menampung nilai ajaran suci itu. Karena
itu, agama tidak sertamerta meninggalkan budaya lokal, apa
lagi berpandangan sinis atau bahkan selalu menempatkan bu
daya sebagai penyakit masyarakat yang harus dieliminir.
Sikap ini tidak akan memberikan ruang positif bagi agama
dalam mengaktualisasikan ajaranajaran sucinya di tengah
kehidupan manusia. Agama bekerja untuk mengisi kekosongan
atau sisi regresivitas sebuah budaya, sedangkan budaya ber
usaha menerjemahkan pengalaman religiusitas mendalam
(erlebnes) manusia ke dalam simbolsimbol kebudayaan dengan
seperangkat aksinya.
Dengan demikian, terjadilah persenyawaan antara agama
dengan budaya lokal secara harmonisnondikotomis. Dari sini,
meminjam teori hermeneutikanya Hans George Gadamer, ajar
an murni agama dengan budaya lokal seolah mengalami sema
cam fusion of horizon (peleburan horizon; horizon agama dan
horizon lokal) yang kemudian terbentuklah suatu cara kebera
gamaan (teologi) yang khas lokalitas.
LEB A R A N ToPA T D A N TEoLoGI LoKAL
199
Atau dalam bahasanya seorang sosiolog kawakan, Peter L.
Berger, mengalami tahap objektivikasi itu lahir setelah terjadi
proses eksternalisasi dan internalisasi dalam masyarakat. Di
dalam lanskap fusion of horizon atau objektivikasi itulah, lahir
perbedaan corak antara Islam yang ada di Arab, Islam di Jawa,
Islam di Lombok dan Islam yang bernaung di dalam lokus bu
daya yang lainnya.
Fenomena lebaran topat atau selakaran misalkan telah me
nunjukkan hal itu, sekalipun dalam tradisi seperti lebaran topat
kurang menunjukkan ritual yang bersifat religius, melainkan
terkesan lebih menonjolkan arus budaya yang berorientasi
hedonisme, seperti pergi ke tempattempat rekreasi dan hura
hura.
Hanya sebagian kecil yang mengisinya dengan ziarah ke
makammakam raja dan para wali. Sekalipun demikian, tradisi
tersebut harus kita akui didorong oleh kerasnya arus semangat
religiusitas atau kentalnya spatio domino spirit agama yang
ada di masyarakat Lombok. Inilah yang memberikan corak
tersendiri dalam tradisi lebaran topat.
Perlu digarisbawahi, teologi lokal atau Islam lokal bukanlah
sebuah upaya untuk mengagungkan budaya yang kemudian
sertamerta disenyawakan dengan agama begitu saja. Teologi
lokal bukan sebuah cara keberagamaan yang hanya tunduk ter
hadap tradisi sehingga kehilangan daya kritisnya, melainkan
mencoba bersikap proporsional, kritis tetapi tidak antitradisi.
Agama dalam teologi lokal harus kritis melihat tradisi yang
tidak memberikan nilai positif bagi kehidupan sosial. Karena
itu, diharapkan teologi berbasis lokalitas berperan aktif dalam
menopang arus euforia budaya massa yang demikian kerasnya
apalagi di era globalisasi ini.
Istilah Islam lokal tidak mengasumsikan bahwa Islam itu
banyak secara akidah atau doktrin ketuhanan, melainkan hanya
200
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
menunjukkan keragaman dalam hal ekspresi keberagamaannya
semata. Secara akidah tetap berpegang teguh kepada AlQuran
dan hadis, akan tetapi dalam hal ekspresi keberagamaannya
membawa tradisi atau kulturkultur lokal tertentu.
Artinya, nilai lokalitas sebuah agama terletak pada wilayah
wilayah eksoteris (riil) sedangkan dalam ruang esoterik (ideal)
tetap menunjukkan unitas ajaran Islam yang menyembah Allah
Yang Maha Esa dan menyakini wahyu serta utusanNya.
Karena itu, dalam teologi lokal kita tidak mengenal kata
kata bid’ah dan khurafat dalam artian yang sering kita pahami
selama ini, yakni sebagai bentuk membuat halhal baru dalam
agama (baca: syariat). Sebab, pandangan ini sering kali men
jebak budaya ke dalam garis alienasi.
Dialektika agama dan budaya akan berjalan harmonis
manakala kedua entitas (agama dan budaya) tersebut bersama
sama berparadigma empatik, bukan dengan paradigma konlik.
Agama harus menghargai setinggitingginya budaya lokal
tempat ia berpijak dan sebaliknya budaya harus menghormati
agama sebagai entitas yang datang dari Tuhan, tetapi tidak un
tuk memusuhi budaya itu sendiri. Mutatis mutandis budaya
para aras kerangka ini, agama harus dipahami sebagai nilai mo
ral atau kerangka nilai yang bersifat ideal (immaterial, abstrak)
dan budaya merupakan sistem simbolik manusia yang bersifat
riil (material, konkret).
Agama sebagai sistem dan nilai moral yang bersifat ideal
itu menyemayamkan dirinya ke dalam simbol budaya setempat.
Keniscayaan ini disebabkan kelemahan manusia dalam menang
kap sesuatu yang ideal dengan mata indranya.
Jangankan gagasan ideal Tuhan, gagasan ideal yang ada di
kepala orang saja selaku manusia tidak bisa menangkapnya, ke
cuali diterjemahkan ke dalam bahasa manusia. Jika demikian,
apalagi hendak menangkap pesanpesan ideal Tuhan Yang
LEB A R A N ToPA T D A N TEoLoGI LoKAL
201
Mahaluas itu tentu manusia mana pun (kecuali Nabi) tidak
akan sanggup menerjemahkannya.
Pandangan ini dijustiikasi sendiri oleh Al-Quran. Allah
SWT memilih bahasa Arab sebagai instrumen untuk menyam
paikan irman suci-Nya yang mana objek langsung saat itu adalah orang Arab abad VII masehi. AlQuran sendiri begitu tegas
menyatakan bahwa wahyu itu tidak diturunkan kecuali dengan
bahasa suatu kaum untuk ia diturunkan. Tujuannya jelas, yakni
agar bisa memberikan pemahaman yang jelas bagi kaum itu
(QS Yûsuf [12]: 02).
Dalam kajian antropologi, bahasa merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari budaya. Atau dengan kata lain, bahasa
adalah budaya itu sendiri. Bahkan, seorang antropolog terkemu
ka seperti de Saussure pun menganggap bahasa sebagai entitas
yang menyimbolkan dan mengondisikan suatu budaya tertentu.
(Hedi Shri Ahimsa Putra, Strukturalisme Claude Levi Strauss,
2001). Bahasa Arab mengondisikan budaya Arab, bahasa Jawa
mengondisikan budaya induk semangnya, dan bahasa Lombok
mengondisikan budaya Lombok, begitu seterusnya. Kita akan
merasakan perbedaan karakter budaya Jawa dan batak dengan
cukup melihat bahasanya saja.
Dengan demikian, ketika Allah memilih bahasa Arab abad
VII sebagai instrumen untuk menyampaikan pesan suciNya,
saat itu pula kemahauniversalitasan pesan itu menyempit ke
dalam bahasa manusia (Arab) yang maha terbatas dan maha
partikular.
Dan itu berarti, seperangkat simbol (bahasa dan budaya)
yang digunakan Allah dalam menyampaikan wahyuNya terse
but bukanlah pesan Tuhan secara keseluruhan. Ia adalah ba
gian dari kemahaluasan ayat Tuhan itu, sehingga apa yang
dikatakannya secara tekstual simbolik tidak sertamerta ditah
biskan mutlak maksud Tuhan yang sesungguhnya. Di dalam
202
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
nya tersimpan juga budaya Arab saat itu. Bagaimanapun, ba
hasa manusia tidak dapat menampung keluasan wahyu Tuhan.
Keniscayaan itu seolah memberikan pesan bahwa pada dasar
nya agama dengan budaya bersifat mutual interest tidak saling
hujat.
Tradisi lebaran topat ataupun selakaran, nyatusan, haul,
tahlilan dan tradisitradisi ritual keagamaan lainnya yang ada
di Pulau Lombok tersebut telah menunjukkan hal itu sebagai
bukti adanya dialektika agama dengan budaya dan bentuk ke
beragaman ekspresi budaya dalam menampilkan pengalaman
religiusitas manusia.
Deislamisasi Identitas
(Catatan Pribadi)
K
onsekuensi meyakini Islam sebagai the way of life me
maksa untuk merelevansikan nilainilainya dalam se
tiap epos perubahan sejarah manusia. Ajarannya harus
menemukan aktualitas dalam meruang dan mewaktu. Keterge
seran agama oleh nalar modernisme dengan sekularisasi dija
dikan Islam sebagai momentum untuk bangkit ketika modern
isme ditemukan boroknya. Islam tibatiba dimunculkan seolah
memberikan jawaban atas persoalan manusia. Seluruh ma
nusia rindu merengkuh kembali spiritualitas yang pernah hi
lang. Rating stasiunstasiun televisi tibatiba naik setelah mena
yangkan program yang berbau agama. Setiap tahun jamaah haji
Indonesia tidak pernah surut, sekalipun lilitan ekonomi bangsa
terus melorot. Lain bilik, manusia berani membantai sesama
ketika agamanya diusik oleh orang yang dia anggap sebagai
204
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
yang lain (the other), tapi diam seribu bahasa melihat jutaan
manusia tewas karena kelaparan.
Islam kadung terlanjur diimani oleh para pemeluknya ti
dak hanya sebagai agama, tetapi juga menjadi satu sistem yang
menyuguhkan aturanaturan di dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Since its origin, Islam has always been not
only a religion but also a deinite religiosocial system with
this worldly interests. Demikian ungkap Montgomerry Watt
(1961). Dalam nalar yang demikian, Islam merupakan ajaran
yang universal (kâffah), mencakup jawaban segala komponen
persoalan manusia. Islam laiknya panacea (obat segala penya
kit) bagi seluruh totalitas persoalan yang dihadapi manusia.
Setiap ada persoalan, Islam akan menyelesaikannya. Demi
kianlah Islam yang diyakini para pemeluknya selama berabad
abad lamanya. Maka, muncul kemudian, ekonomi Islam, demo
krasi Islam, dan IslamIslam lainnya. Kata Islam seolah niscaya
hadir dalam bahasa ilmu pengetahuan. Jika tidak menampilkan
Islam, sesuatu itu menjadi tidak Islami. Term Islami direduksi
hanya sebatas simbol.
Arus globalisasi yang menyeragamkan identitas pada satu
sisi dan membangkitkan kontestasi identitas lokal pada sisi lain
menggiring kerinduan manusia akan identitas “azali” mereka
(Amin Maalouf: 2004). Kontestasi mengandaikan adanya
ketegangan antaridentitas, yakni identitas dominan vis-avis devian. Islam yang niscayanya menjadi pendamai identitas
yang bersitegang (QS AlHujurât [49]: 13) justru membakukan
dirinya menjadi identitas baru. Islam tibatiba muncul di mana
mana. Perang dan pembantaian atas nama agama yang seha
rusnya jadi pendamai pun lebih parah dari perang atas nama
bangsa/negara. Alihalih akan memberikan solusi krisis iden
titas manusia, justru saat itulah agama menjadi problem. Pem
bakuan identitas menjadikan Islam mudah dibajak untuk me
D EI SLA MI SASI IDENTITAS
205
lindungi segala kepentingan yang bukan kepentingan mulia
agama.
Menyemayamkan Islam (agama) menjadi identitas mendo
rong hasrat politisasi terhadap agama. Paradigma ini secara tak
sadar menggiring diagnosis salah dalam melihat konlik agama, sehingga cenderung segala kesalahan diletakkan terhadap
mereka yang memolitisasi agama, tetapi luput melihat faktor
yang mendorong terjadinya politisasi terhadap agama itu sen
diri. Islam yang diendapkan menjadi identitas mengundang
hasrat untuk dipolitisasi. Tidak hanya untuk akumulasi kekuasa
an di dalam pemilu atau pilkada, tetapi juga untuk mengum
pulkan kapital. Reaksi berlebihan umat Islam terhadap aliran
seperti alQiyadah alIslamiyah dan Komunitas Eden menun
jukkan betapa mudahnya Islam dimobilisasi hanya cukup de
ngan sedikit mengusik simbolsimbol identitasnya. Karena itu,
praktik politisasi terhadap Islam merupakan akibat dari mem
perlakukan Islam sebagai sebuah identitas.
Pada aras selanjutnya, pergumulan tidak hanya terjadi da
lam Islam secara eksternal, tetapi juga menjadi masalah di da
lam tubuh Islam sendiri. Seperti berhadaphadapannya Islam
bercorak Arab dengan Islam yang berakulturasi dengan budaya
Nusantara. Islam yang bercorak Nusantara dengan peci dan
sarungnya digerus oleh supremasi Islam yang bercorak Arab
dengan serban dan jubahnya, karena Islam yang pertama tidak
sesuai dengan identitas Islam. Corak yang pertama diposisikan
sebagai yang salah dan menyimpang (baca: bid’ah), sementara
yang kedua dianggap sebagai pemegang otentisitas Islam. Hal
itu menunjukkan betapa Islam yang merupakan sebuah nilai
moral disempitkan sebatas simbol dan identitas.
Dalam ranah pengembangan ilmu pengetahuan, Islam yang
mengidentitas tidak lagi menjadi produktif dalam menyumbang
kan ilmu pengetahuan. Hampir tidak ditemukan pemikir Islam
206
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
yang menyumbang kemajuan ilmu kontemporer kecuali hanya
sibuk mencari pembenaran teks atas ilmu yang sudah ada. Islam
pada posisi ini hanya bergerak defensif dan pasif yang hanya
memberikan stempel halal atau haram terhadap sejarah dan
ilmu pengetahuan. Islam berposisi bertahan serta enggan terjun
langsung dan bertarung dalam pergulatan ilmu pengetahuan.
Inilah yang menyebabkan Islam hanya menjadi penonton bagi
perkembangan pengetahuan. Bahasa teks agama dianggap me
lampaui segalanya. Parahnya, ayat Tuhan hanya dipahami lem
baran teks (qauliyah) an sich, tetapi tidak dalam hamparan
alam semesta ini (kauniyah).
Menggumpalnya Islam sebagai identitas absolut berakar
dari struktur keyakinan yang tidak mampu memilah sakralitas
dan profanitas teks AlQuran. Islam mainstream cenderung
melihat teks AlQuran mutlak sepenuhnya maksud Tuhan. Ti
dak ada ilmu dan kebenaran di luar AlQuran. Sehingga, hasil
pemahaman terhadap teks yang kemudian menjadi praktik
diklaim sebagai identitas Islam yang otentik. Padahal, wahyu
Tuhan yang tidak terbatas menggunakan bahasa manusia (QS
Yûsuf [12]: 02) yang terbatas (QS AlIsrâ’ [17]: 109), karenanya
teks pun menjadi terbatas. Teks terbatas dan hasil pemahaman
pun terbatas. Karena pemahaman terbatas, maka praktik yang
dihasilkan dari pemahaman teks tidak bisa dijadikan sebagai
identitas, apalagi sebagai identitas otentik Islam.
Karena itu, Islam harus keluar dari kungkungan identitas
keislaman yang kaku. Identitas Islam tidak tunggal, tidak stag
nan, tidak terkatakan, dan tidak berwujud. Artinya, identitas
Islam bukan bahasa atau simbolsimbol melainkan jiwa dari
simbol dan bahasa tersebut. Sebagai sebuah jiwa, dia tidak
mengendap dalam satu ruang semata, melainkan berada dalam
tiaptiap ruang. Sebab, Islam itu begitu luas, sehingga tidak bisa
mengendap hanya dalam satu simbol yang kemudian dijadikan
D EI SLA MI SASI IDENTITAS
207
sebagai identitas. Dalam diri personal, Tuhan menyebutnya de
ngan takwa, manusia membahasakannya dengan spiritualitas.
Orang yang dianggap baik oleh Tuhan bukan orang yang ber
serban, berjenggot, dahi hitam, atau bersarung, melainkan
orang yang berjiwa mulia (baca: takwa). Dengan demikian,
sesuatu yang Islami bukan karena dia menampilkan simbol
simbol, melainkan bersikap rahmat dan menyayangi hidup
dan kehidupan. Itulah esensi Islam sebagai petunjuk manusia
(hudan li al-nâs).
Identitas Bersyariat
di Kampung Global
(Catatan Pribadi)
P
emikir asal Belanda, Martin van Bruinessen, pernah
melontarkan kegelisahannya perihal corak Islam di
Indonesia. Dia melihat pergeseran corak gerakan Islam
yang semakin bergeliat ke arah pemikiranpemikiran formal.
Corak Islam formal yang dahulu sekadar komunitas devian kini
semakin menunjukkan potensinya menjadi kelompok dominan
di Indonesia. Kenyataan itu bukan tanpa bukti. Di berbagai
daerah, kini berlombalomba mengeluarkan dan menerapkan
peraturanperaturan syariat Islam seiring dengan keran otono
mi daerah diterapkan.
Setelah Aceh menerapkan hukum syariat, daerah pun se
dang berjuang menyusul. Sulawesi Selatan kabarnya mulai
mendesak agar bisa menerapkan hukum Islam seperti di Aceh
dan melalui Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI)
memimpikan Sulawesi Selatan menjadi “Serambi Madinah”.
I D EN TI TA S B ER Sy A R I A T D I K A MPUNG GLoBAL
209
Adanya corak formal pada pergeseran beragama di Indonesia
bukanlah tanpa bukti. Sebagai reaksi, di Papua Barat muncul
gerakan untuk menegakkan syariat Kristen dengan mendirikan
Kota Injili yang melarang Muslimah berjilbab. Sebuah reaksi
yang “wajar” di tengah gempuran formalisasi syariat Islam di
berbagai daerah. Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan
integritas kebangsaan sehingga memunculkan pertanyaan
besar, fenomena apakah ini?
Modernisme yang ditandai dengan kemenangan rasio atas
mitos telah meruntuhkan seluruh tatanan manusia yang sebe
lumnya dimutlakkan memancarkan kebenaran. Ilmu pengeta
huan memimpin dunia. Alatalat teknologi pun lahir sebagai
ejawantah kemajuan rasio. Konsekuensi sejarahnya, kemun
culan teknologi dengan sertamerta mengubah mindset masya
rakat dunia. Perubahan mindset mendorong nilai baru mendo
brak nilanilai budaya lama. Munculnya mesin produksi telah
mengubah relasi buruh dengan majikan. Revolusi teknologi
informasi meleburkan jarak dan waktu seolah tanpa masa. Pe
netrasi dan reproduksi budaya dan nilai sosial begitu cepat ter
jadi. Syahdan, dunia yang begitu luas tibatiba menjadi mungil
(bahasa McLuhan, Global Village). Perjumpaan masingmasing
komunitas yang dulu jauh tidak dapat dielakkan.
Dalam langgam perjumpaan yang demikian beragam itu,
semua komunitas mendeinisikan dirinya. Diferensiasi adalah
efek internal dalam diri manusia/komunitas untuk membe
dakan dirinya dengan entitas di luar dirinya (the other). Sejak
bayi, dia sudah diajarkan ini bapak dan itu ibu yang berbeda
dengan kamu. Diferensiasi menjadi bagian langkah untuk
mendeinisikan diri yang belum utuh dipahami oleh subjek itu
sendiri (Mark Brecher: 2005). Begitu juga, ketika perjumpaan
komunitas yang menembus batas pada era global semua komu
nitas mendeinisikan diri masing-masing dalam realitas yang
210
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
penuh cermin ini (baca: globalisasi). Muncullah benihbenih
konsep the other (yang lain) yang pada akhirnya nanti menge
ras menjadi ingroup dan outgroup. Muncullah identitas yang
menjadi problem di era “dunia mungil” ini.
Pada dasarnya, identitas bergerak simultan dan tidak per
nah inal (Hans Mol: 1976). Identitas terangkum dalam berbagai materi yang acak dan beragam (Amin Maalouf: 2004).
Menariknya, agama ketika hadir dalam ruang demikian justru
memahami identitas secara inal sehingga mengeraskan dan
mematenkan identitas yang melekat dalam dirinya sebagai satu
satunya identitas yang mutlak kebenarannya. Di tengah kontes
tasi identitas di era global ini, pergerakan identitas agamalah
yang menarik dicermati. Kontestasi identitas agama inilah yang
sering kita sebutsebut selama ini sebagai era kebangkitan agama
yang menghantarkan Huntington pada tesis clash of civilization.
Bukan aspek spiritualitas agama yang mencuat, melainkan
identitas dan formalitasnya. Semua agama (Islam, Kristen, dan
Hindu) berlombalomba menunjukkan identitas mereka.
Runtuhnya gedung WTC, tragedi berdarah di Poso &
Ambon, radikalisme Hindu di India, dan deretan bom bunuh
diri adalah tayangan yang memaparkan begitu mengerikannya
absoluditas identitas agama. Tidak ada dalam panggung sejarah
manusia yang menulis sejarah perjalanannya dengan “darah”
sedahsyat sejarah agama. Padahal, agama diciptakan untuk me
lampaui segala sekatsekat identitas (cross identity) yang me
nyekat manusia. Sakralisasi agama mematri identitas agama
sebagai yang absolut dan tak terjamah oleh sejarah. Identitas
agama tidak dilihat dalam langgam yang profan, melainkan
sakral dan absolut. Identitas, yang pada dasarnya tidak pernah
inal, itu pun terkunci dan dianggap inal. Beragama menjadi
problematis, karena sertamerta memaksa sekian simbol dan
identitasnya menyingkirkan kebaradaan yang lain.
I D EN TI TA S B ER Sy A R I A T D I K A MPUNG GLoBAL
211
Sementara itu, setiap komunitas dalam ranah global ber
gerak dengan hasrat defensif dan ekspansif. Bergerak defensif
untuk membentengi ego agar tidak tercemar oleh the other
culture sembari menyebarkan pengaruhnya secara ekspansif
dan masif. Dus, logika sistem sosial pada ranah global kemudian
berkelindan pada prinsip evolusi sosialnya Spencer, the survival
of the ittest. Siapa yang kuat dialah yang menang. Bukan dialog
dan saling pengertian yang muncul, melainkan saling membi
nasakan dan memusnahkan budaya lain. Identitas yang terping
gir kemudian harus melawan sekuat tenaga dengan melakukan
formalisasi. Akhirnya, agama menjadi tempat persinggahan
identitas, karena pengorbanannya mengonpensasi kebahagiaan
abadi setelah mati (baca: syahid).
Fenomena di atas, serta pernyataan Martin van Bruinessen
yang disebut pada awal tulisan ini, pada dasarnya menggam
barkan sebuah show of force dari suatu komunitas untuk me
nampilkan identitas mereka. Sistem kejam globalisasi yang
berpijak pada prinsip the survival of the ittest yang menisca
yakan adanya peminggiran mesti akan melahirkan aksi balik.
Karenanya, aksi yang menampilkan identitas terjadi sebagai
bentuk reaksi atas represi peminggiran jati diri oleh kelom
pok dominan yang kemudian mereka anggap sebagai the
others. Itulah corak beragama yang sedang banyak dijumpai
akhirakhir ini. Kerasnya desakan formalisasi Islam di berbagai
daerah merupakan cermin jati diri yang terpinggirkan oleh
sistem. Begitu juga dengan hasrat masyarakat Papua Barat un
tuk membangun Kota Injili juga reaksi atas dominasi terhadap
diri kekristenan mereka.
Memang, harus ada suatu pemikiran mendalam untuk
mengimbangi kekuatan gerak agama yang mengidentitas ke
segala lini kehidupan saat ini. Bukan untuk membunuh, me
lainkan mengimbangi. Bukan pula dengan cara menghujat
212
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
mereka, melainkan diajak untuk dialog dengan cara yang ha
lus tanpa meminggirkan jati diri mereka. Jika tidak ada upa
ya pengimbang, gerak formal agama tersebut tidak hanya
berkelindan pada lokus lokal, melainkan menggeliat ke ruang
yang lebih global. Kenyataan ini dapat merobek solidaritas ke
indonesiaan dan digantikan oleh solidaritas agama an sich.
Sendi dan ranahranah identitas yang dibangun berdasarkan
kebangsaan sewaktuwaktu akan dilelehkan oleh kekuatan
identitas agama yang mengglobal, seperti beberapa indikasi
yang terjadi saat ini.
Syahdan, bersyariat sebagai wujud keyakinan kita di dunia
yang kian menjadi mungil ini membutuhkan sebuah kearifan
yang mendalam dari seluruh komunitas. Keberagaman ekspresi
apa pun bentuknya adalah sebuah kekayaan yang merupakan
anugerah Tuhan yang diberikan melalui kekuatan akal budi
manusia. Betapa indah jika kita beragama (baca: bersyariat)
di dunia global ini di mana kontestasi masingmasing identi
tas komunitas berjalan tetapi tidak mengusik, apalagi meming
girkan keberaadaan yang lain. Sangat menggugah apa yang di
ungkapkan Hans Kung bahwa agama akan dikatakan baik dan
benar sejauh agama itu manusiawi. Dengan demikian, bersya
riat tidak menghilangkan dan menghancurkan, tetapi melin
dungi dan memajukan kemanusiaan. Itulah hakikat dari ber
agama atau bersyariat (maqâshid al-syarî’ah) yang sejati.
Menggugat
Keidentitasan Agama
(Ditulis pada 17 Desember 2006)
J
umat pekan lalu (08/12), dengan hanya dihadiri sekitar
50 anggota DPR, Rapat Paripurna mengesahkan UU Ad
ministrasi dan Kependudukan (UU Adminduk), sekalipun
pemerintah belum memutuskan hasil kajiannya. Pencantuman
agama, yang pada bulan April lalu sempat mencuat gagasan
agar dihapuskan, ternyata diurungkan. Agama akhirnya tetap
harus tertera di dalam Kartu Tanda Penduduk (Pasal 64 ayat 2).
Berbagai alasan muncul terkait dengan pencantuman agama di
dalam KTP. Apa pun alasannya, penting menarik garis merah
bahwa agama, dalam sebagian pandangan umatnya (di DPR),
ternyata tetap menjadi identitas. Inilah cikal bakal kerap terjadi
distorsi dan politisasi terhadap agama.
Pada dasarnya, identitas, sebagaimana diungkap Hans Mol
(Identity and The Sacred: 1976), terangkum dalam bingkai yang
lapuk, mudah patah, dan tidak stabil. Identitas mengandaikan
214
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
sebuah keinginan untuk merangkum nilai, sementara nilai ti
dak bisa sepenuhnya dirangkum dalam identitas yang kon
kret. Identitas selalu melompat dari satu bentuk ke bentuk
yang lain. Agama melampaui identitas, karena dia berisikan
nilainilai Tuhan. Menjadikan agama sebatas identitas justru
mempersempit keluasan nilaiNya. Misalnya, kita cenderung
mengatakan orang itu Islam melalui KTPnya saja, sementara
perilakunya tidak mencerminkan Islam. Dus, agama dikeringkan
sebatas identitas. Sebuah indikasi jawaban kejatuhan agama pa
da abad ke21 yang belum dipahami pemeluknya (baca: DPR).
Arus globalisasi yang menyeragamkan identitas pada satu
sisi dan membangkitkan kontestasi identitas lokal pada sisi lain
menggiring kerinduan manusia akan identitas “azali” mereka.
Kontestasi mengandaikan adanya ketegangan antaridentitas,
yakni identitas dominan vis-a-vis devian. Agama yang nis
cayanya menjadi pendamai identitas yang bersitegang (QS Al
Hujurât [49]: 13), justru membakukan dirinya menjadi identitas
baru. Kebangkitan agama hanya kebangkitan kulit, bukan isinya.
Alihalih akan memberikan solusi krisis identitas manusia,
justru saat itulah agama menjadi problem. Pembakuan menjadi
identitas menjadikan agama mudah dibajak dalam melindungi
segala kepentingan yang bukan kepentingan mulia agama.
Agama yang menjadi identitas mendorong hasrat politisasi
terhadap agama. Tidak hanya untuk akumulasi kekuasaan di da
lam pemilu atau pilkada, tetapi juga menguntungkan kapitalisme
industri hiburan, seperti maraknya tayangan televisi, sambutan
Ramadhan, dan Idul Fitri yang memainkan simbolsimbol yang
dianggap oleh pemeluknya sebagai identitas agama. Karenanya,
praktik politisasi konlik agama sebagaimana yang terjadi di
Mataram, Poso, Ambon dan berbagai daerah lain pada kurun
19982002, merupakan akibat dari memperlakukan agama
sebagai sebuah identitas. Bukan sebaliknya.
MEN G G U G A T K EI D EN TI T ASAN AGAMA
215
Karena itu, persoalan memasukkan agama di dalam KTP
tidak sesederhana yang dibayangkan. Tidak hanya memunculkan
diskriminasi terhadap kaum minoritas (Konghucu, Islam Wetu
Telu di Lombok, Ahmadiyah, dan lainlain), tetapi juga akan me
nimbulkan sektarianisme, eksklusivitas, dan klaim kebenaran
atas tafsir agamanya. Pengotakngotakan berdasar agama an
tara aku dan dia pun terjadi. “Kamu Kristen, kamu Islam, dan
kamu Hindu.” Akhirnya, ketika terjadi pertikaian individu, aga
ma begitu mudah ditarik ke persoalan kelompok. Mengusik in
dividu sama dengan mengusik agamanya. Sebab, mengusik aga
ma sama dengan mengusik identitas diri penganutnya.
melampaui Identitas
Identitas agama tidak tunggal, tidak stagnan, tidak terkatakan,
dan tidak berwujud. Artinya, identitas agama bukan bahasa
atau simbolsimbol melainkan jiwa dari simbol dan bahasa ter
sebut. Sebagai sebuah jiwa, dia tidak mengendap dalam satu
ruang semata, melainkan berada dalam tiaptiap ruang. Sebab,
agama itu begitu luas, sehingga tidak bisa mengendap hanya
dalam satu simbol yang kemudian dijadikan sebagai identitas.
Apalagi identitas itu diendapkan di dalam KTP yang tentunya
membawa dampak sosial yang cukup tinggi.
Tidak mencantumkan agama di dalam KTP tidak berarti
kita mengambil jalan sekuler apalagi menarik agama menjadi
ranah privat. Melainkan, hendak membawa agama ke peran
yang sesungguhnya. Yakni, agama sebagai rahmat dan penyatu
segala bentuk identitas primordial manusia (ras, suku, bahasa)
yang menghalanginya untuk berbagi bersama. Bukan lantas
menjadikan agama sebagai identitas baru.
Orang yang dianggap baik oleh Tuhan bukan orang yang
berserban, cantik, hitam, atapun putih, melainkan orang yang
berjiwa mulia. Dengan demikian, sesuatu yang agamis bukan
216
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
karena dia menampilkan simbolsimbol tertentu yang dianggap
sebagai identitas agama. Apalagi hanya dituangkan di dalam
KTP yang tentunya akan banyak diskriminasi. Itulah esensi
agama sebagai petunjuk manusia (hudan li al-nâs). Wallâhu
A’lam.
Fatwa Hati
(Bernas, 31 Januari 2003)
S
uatu ketika, sahabat Wabishah datang menghadap
kepada baginda Rasulullah SAW. Akan tetapi, sebelum
beliau mengutarakan maksud hati kedatangannya itu,
Rasulullah mendahului bertanya: “Engkau datang untuk mena
nyakan tentang kebaikan?” “Ya”, jawab sahabat Wabishah. Ke
mudian, Rasulullah bersabda, “Mintalah fatwa kepada hati.
Kebaikan itu menenangkan jiwa dan hati, sedangkan dosa
meresahkan jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam
hati” (HR Imam Ahmad).
Ketika manusia tercipta, Allah SWT telah menganugerahkan
hati kepadanya. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia
memberikan kamu pendengaran, pengelihatan, dan hati, agar
kamu bersyukur (QS AlNahl [16]:78).
218
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
Hati bagi manusia bagaikan lentera yang siap menuntun
langkah manusia dalam menyusuri likaliku hidupnya yang
selalu diintai oleh tipu daya dunia. Gerak langkah setiap insan
sangat ditentukan oleh kekuatan hati.
Karena itu, segala wujud tingkah laku senantiasa berhu
bungan dengan hati. Hati yang gundah, gelisah, atau sakit akan
tercermin dalam tingkah laku yang tidak sesuai dengan mo
ralitas. Sebaliknya, hati yang baik dan terpelihara akan senan
tiasa memancarkan budi pekerti yang baik pula.
Pada era yang penuh ketidakpastian ini, manusia kerap
kali mengabaikan peringatanperingatan yang disuarakan hati.
Hati tidak pernah diajak berdialog dalam menyelesaikan ma
salah ataupun untuk sekadar menimbang tindakan yang akan
dilakukannya. Manusia lebih cenderung berdialog dengan hawa
nafsunya. Sehingga, tindakantindakan yang diambilnya sering
tidak sejalan dengan suara hati terdalamnya.
Suara hati menjadi bisu dan telinga jiwa menjadi tuli ka
rena dominannya nafsunafsu ketamakan tersebut merasuki se
luruh jasad dan jiwa manusia. Kebaikan tidak lagi diukur sebe
rapa besar hati menerima, melainkan seberapa besar uang dan
kekuasaan yang didapat.
Hasrat terhadap uang dan kekuasaan telah memadamkan
cahaya lentera hati yang bersemayam dalam dada, seolah uang
adalah segalagalanya. Mungkin inilah, yang disebut oleh Rasul
sebagai, tanda dari akhir zaman: “Kelak di akhir zaman manusia tidak akan lepas dari kekuatan pengaruh dirham, seorang baik dalam urusan agama maupun dunianya (Al
Thabari dalam al-Kabîr).
Sahabat AlNuwan bin Sam’an bertanya kepada Nabi me
ngenai kebaikan (alBirr) dan dosa (al-Itsmu). Rasul menjawab:
“Kebaikan itu keluhuran budi pekerti dan dosa itu adalah se-
FATWA HATI
219
suatu yang mengguncangkan hatimu dan engkau tidak senang
hal itu diketahui orang lain” (HR Muslim).
Suatu tindakan yang mendatangkan ketenangan dalam hati
dan jiwa adalah kebaikan (alBirr). Iman adalah sesuatu yang
baik dan mulia, karena itu, ia mendatangkan ketenangan hati
(al-imân tathmain al-qulûb). Sebaliknya, mencuri, mengambil
hak orang lain, dan membunuh merupakan tindakan yang men
datangkan kerisauan dan kegoncangan hati bagi pelakunya.
Karena itu, ia termasuk perbuatan tercela dan dosa.
Hati akan berfungsi secara maksimal sebagai penuntun da
lam hidup ini manakala fatwafatwanya selalu didengar. Ten
tunya untuk mendengarkan fatwafatwa hati tidak segampang
membalikkan telapak tangan. Dalam proses ini, dibutuhkan
perjuangan yang kuat (jihâd al-akbar) dan kesabaran hati yang
kokoh.
Dikatakan sebagai jihad akbar, karena untuk mendengar
fatwafatwa hati, seseorang harus mampu melepas keterkung
kungan jiwanya oleh nafsunafsu tamak dan ingin menguasai.
Sementara itu, melawan hawa nafsu adalah salah satu jihad
yang paling besar dan berat. Sebab itu, perbuatan ini adalah
ibadah yang sangat mulia. Karena, “Ibadah yang paling mulia
adalah ibadah yang paling berat dalam pelaksanaannya,”
sabda Nabi Muhammad SAW.
Hanya ada satu upaya untuk menjadikan hati agar ia bisa
menjadi penurun dan pembimbing langkah kita dalam meng
hadapi gemerlapnya dunia, yakni dengan menjaga hati ini dari
noda dan agar tidak tercemari olehnya. Jagalah hati, jangan kau
nodai. Jagalah hati, cahaya hidup ini. Wallâhu A'lam.
Jihad Memelihara
Kejujuran
(Bernas, 2 Januari 2004)
Sahabat Ma’qil r.a. pernah berkata: saya akan menceritakan
kepada engkau hadis yang saya dengar dari Rasulullah SAW,
dan saya mendengar beliau bersabda: “Seseorang yang telah
ditugaskan Tuhan akan memerintahi rakyat kalau tidak memimpin rakyat dengan jujur, niscaya dia tidak akan memperoleh bau surga.” (HR Bukhari)
B
erkata benar dengan bersandar pada bisikan kejujuran
hati nurani itulah kejujuran yang paling hakiki dalam
hidup ini. Sebab, ketika perkataan tidak bersandar pada
apa yang diungkapkan hati nurani berpotensi untuk selalu
ingkar dan berkhianat.
Kejujuran menjadi penting dalam hidup sebagai pengontrol
langkah manusia, karena bersandar pada suara dan bisikan
J I H A D MEMELI H A RA KEJUJURAN
221
kebenaran nurani. Apa pun yang kita pikul dalam menjalankan
aktivitas di dunia ini, kejujuran adalah tiket utama yang harus
melekat menjadi sifat kita semua, terutama dalam menjalankan
amanah sebagai pemimpin manusia. Sehingga, kejujuran meru
pakan tolok ukur apakah pemimpin itu baik atau buruk.
Dalam konteks Indonesia, kejujuran itu sangat langka—un
tuk mengatakan tidak sama sekali—kita temukan melekat dalam
jati diri para pemimpin bangsa. Kejujuran itu telah tergadaikan
oleh seonggok berhala yang bernama uang.
Ketidakberdayaan bangsa ini untuk melepaskan diri dari
keterpurukan krisis multidimensi adalah bukti itu semua. Kita
semua belum bisa memelihara kejujuran itu. Yakni, kejujuran
pada diri sendiri dan kejujuran kepada Tuhan untuk mengatakan
bahwa “Hal itu salah dan karenanya harus saya tinggalkan.”
Kejujuran pada diri sendiri hanya bersandar dari hati
nurani. Dan, hati nurani itu akan terdengar manakala ketamak
an terhadap materi, kehormatan, dan prestise duniawi dilenyap
kan dari pikiran manusia. Tentu dilakukan dengan perjuangan
yang tidak gampang. Mendengar hati nurani perlu hati yang su
ci dan rendah diri.
Dikatakan sebagai perkara yang sulit, karena berkata jujur
yang selaras dengan kebenaran nurani membutuhkan kesa
baran. Berkata jujur berarti kita mengatakan kebenaran, se
dangkan mengatakan kebenaran adalah suatu hal yang sulit.
Rasulullah sendiri pernah menasihati umatnya agar berkata
benar sekalipun itu sangat menyakitkan (qul-al haqqa walau
kâna murrân).
Menjadi insan jujur terutama dalam jeratan lingkaran setan
kemunaikan akan sangat menyiksa diri kita. Ia membutuhkan
pengobanan dan perjuangan yang ekstra keras. Apalagi jika ke
munaikan itu telah tersistematisasi dan masuk sebagai bagian
kekuatan struktur.
222
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
Banyak sekali orang yang berjuang menjaga kejujurannya, di
tengah ruang yang menganggap kebohongan dan kemunaikan
sebagai sebuah tren, terpelanting dan diasingkan. Akhirnya,
uang menjadi sulit jika tidak melakukan kebohongan (korupsi,
kolusi). Itulah kekuatan lingkaran setan kemunaikan yang
tersistematisasi, karena kekuatan struktur menjadi alat untuk
mendongkel orangorang yang jujur.
Karena itulah, kejujuran adalah suatu hal yang sangat mu
dah diucapkan tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Modal
utama untuk melawan lingkaran setan kebohongan itu adalah
berjuang untuk mengungkapkan kebenaran secara jujur. Jika
usaha itu salah, katakan itu salah dan jika itu benar, katakan
benar. Dan hal itu yang sering dicontohkan Rasulullah kepada
kita.
Dalam sebuah hadis yang datangnya dari Ibnu Mas’ud r.a.,
dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kebaikan, dan kebaikan
itu membawa kepada surga. Dan sesungguhnya orang yang
berkata benar akan dicacat oleh Allah sebagai shiddiq (orang
yang jujur). Sedangkan kebohongan membawa keburukan, dan
keburukan itu akan membawa ke neraka. Dan sesungguhnya
orang yang berlaku bohong akan dicacat oleh Allah sebagai
pendusta” (HR Bukhari).
Berlaku jujur untuk mengatakan sebuah kebenaran dalam
mengemban amanah bukan hanya mendengar ganjaran pahala
besar oleh Allah, melainkan akan menjaga fondasi kehidupan
kita dari kehancuran. Jika kejujuran sudah diabaikan, kebo
hongan menjadi kebiasaan, harta menjadi pujaan dan hati tidak
mampu untuk sekadar mengatakan kebenaran, maka kehancur
an tatanan hidup hanya menunggu hitungan detik.
Kesulitan untuk berlaku jujur bukan sebuah alasan untuk
melegalkan kebohongan. Kesulitan itulah yang akan menum
J I H A D MEMELI H A RA KEJUJURAN
223
pukkan kebaikan dalam diri kita. Ibadah yang paling disukai
dan utama di hadapan Tuhan adalah ibadah yang paling sulit
dikerjakan. Berlaku dan berkata jujur berarti kita telah sukses
membunuh hawa nafsu, sedangkan melawan hawa nafsu adalah
jihad yang paling berat dan paling disukai Allah.
Karena itu, sudah saatnya kita semua berjuang sekuat te
naga (jihad) untuk memelihara kejujuran kita, karena kejujuran
adalah lentera dan hiasan kepribadian. Tanpa kejujuran, tam
paknya mengharapkan kemajuan adalah misi yang mustahil.
Wallâhu A’lam.
Kasih Sayang
(Bernas, 14 Maret 2003)
K
asih dan benci adalah dua kata yang selalu berupaya
mengalahkan satu sama lain. Ia saling menghancurkan
dan saling mendominasi. Keduanya ibarat air dan mi
nyak, tidak akan pernah menyatu sampai kapan pun. Karena
masingmasing dari keduanya memiliki sifat yang berlawanan
seperti arus perlawanan antara kutub selatan dan kutu utara
magnetik.
Rasa kasih sayang dan bara kebencian adalah sifat yang
diberikan Tuhan kepada setiap jasad yang berjiwa. Di dalam
AlQuran, Allah menyebutnya dengan takwa dan fujur. Takwa
adalah simbol kasih sayang, cinta dan rindu. Sedangkan fujur
adalah perwakilan rasa benci, ketamakan, kesombongan dan
sejenisnya. Maka Allah mengilhami jiwa itu (sifat) kefasikan
dan ketakwaannya (QS AlSyams [91]: 8).
KASIH SAyANG
225
Dua sifat itu adalah dua sifat yang selalu ada dalam jiwa
manusia dan saling mengalahkan dan mendominasi. Jika fujur
mengalahkan ketakwaan, perbuatan pun akan jauh dari pancaran
mutiara cinta dan kasih. Namun, bila takwa mendominasi jiwa
seluruh raga pun tersenyum dan akan senantiasa menghampiri
setiap makhluk dengan pancaran kasihnya.
Sebab itu, Allah SWT berirman, Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS AlSyams [91]: 910).
Ketakwaan merupakan lambang kesucian dan kefujuran
adalah simbol kekotoran jiwa. Ketakwaan diperoleh melalui
usaha yang berat. Ia bisa hadir manakala diri ini bisa men
cintai Tuhan dengan segenap jiwa. Kecintaan pada Tuhan itu
kemudian memancarkan bias kasih yang amat terang pada se
tiap jiwa, yang mana bias kasih itu dapat dirasakan oleh jiwa
jiwa yang berada di sekelilinginya, dalam sikap derma dan kasih
sayangnya pada sesama.
Kasih sayang kepada makhluk adalah bukti bahwa sese
orang cinta kepada Allah. Orang yang menyatakan diri beriman
dan cinta pada Tuhan, tidak boleh tidak, dia pun akan men
cintai dan mengasihi segala ciptaanNya di bumi ini. Ibarat
kecintaan seorang kepada kekasihnya, apa pun yang dimiliki
kekasihnya akan ia sayangi sebagaimana kebesaran cintanya
kepada kekasihnya itu.
Demikian pula perumpamaan orang yang menyatakan diri
beriman dan cinta kepada Allah SWT, niscaya segala ciptaannya
akan disapa dengan belaian kasih sayang yang lembut. Inilah
yang disebut Allah sebagai orang yang beruntung, yakni orang
orang yang mampu menyucikan jiwanya dari bendabenda
kotor, kebencian, dendam, tamak, hasut, dan lainlain.
Orang yang mengaku dirinya beriman dan mencintai Allah,
namun belum bisa mencintai sesamanya, tidaklah dikatakan
226
A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI
sebagai orang yang beriman dan cinta kepada Allah. Apalagi
jika ia sering menyakiti dan menusuk hati sesama saudaranya
(seiman) sendiri.
Nabi pernah mengatakan bahwa seseorang tidak dikatakan
sebagai orang yang beriman jika ia masih belum bisa menyayangi
saudaranya sendiri sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Pada hakikatnya, kasih sayang dalam jiwa ini adalah per
cikan sinar cinta Allah SWT, Yang Mahaluas nan Suci. Kasih
sayangNya menyinari semua jiwa. Dengan belaian kasih Tuhan
itulah, jiwajiwa menjadi betah bersemayam dalam jasad hingga
ia hidup dalam kedamaian kasihNya.
Muhammd Iqbal, dalam sajak puisinya, mengibaratkan ka
sih Tuhan seperti matahari yang mana seluruh jiwa yang ada
di bumi ini mengais sinar kasih itu kepadaNya. Oh Tuhan…
engkaulah matahari di mana bintang-bintang jiwa memperoleh sinarnya.
Rasulullah pernah berpesan, “Sayangilah apa-apa yang ada
di bumi, niscaya yang ada di langit juga menyayangimu.”
Jika kita ingin dicintai dan mencintai Tuhan, hampirilah
sesamamu dengan kasih sayang, sapalah orang yang tak ber
daya dengan kelembutan hatimu, bantulah mereka dalam me
ringankan susahnya kehidupan yang mereka hadapi dengan
uluran tanganmu. Dan janganlah engkau biarkan hati busukmu
(bakhil, tamak, angkuh) memadamkan lentera kasih sayang
yang menerangi jiwamu itu.
Jika itu telah kau lakukan, niscaya Allah SWT beserta
malaikatmalaikat yang ada di langit akan menyayangi sebagai
mana engkau menyayangi mereka. Kirakira demikian siratan
sabda Rasulullah kepada kita semua.
Di lain kesempatan, Nabi Muhammad SAW juga pernah
berpesan kepada istri beliau Aisyah r.a., “Wahai Aisyah, dekati-
KASIH SAyANG
227
lah orang-orang miskin, cintailah mereka, niscaya Allah akan
dekat dengan kamu.”
Karenanya, kinilah saatnya kita mencintai sesama sebagai
bukti kecintaan kita kepada Tuhan. Kasih sayang sejati adalah
kasih sayang yang tidak memiliki batas, melainkan amat luas
yakni seluas kasih Tuhan yang dicurahkanNya kepada seluruh
makhluk, begitu jualah kasih sayang yang seharusnya kita
miliki.
Lupakanlah kulitkulit luar yang membungkus masing
masing jiwa (perbedaan) yang dapat menghalangi hati ini
untuk memberikan kasih sayang kepada mereka. Karena ia
dapat memberikan sebuah ruang dan peluang kepada sifat
fujur untuk menguasai jiwa dan raga ini, sehingga iman dan
cinta kita kepada Allah tidak sampai ke haribaanNya, nau’udzu
billâhi min dzâlik (semoga kita dihindarkan oleh Allah dari
semua itu).
Sekadar bahan perenungan, Tuhan tidak dahaga akan pu
jian hambaNya, namun Tuhan “dahaga” menyaksikan hamba
Nya mencurahkan cinta kasihnya kepada sesama. Wallâhu
A’lam.