Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
IndonesIa Pascanegara IndonesIa Pascanegara Agus Hilman IndonesIa Pascanegara agus Hilman Hak Cipta © Agus Hilman, 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Editor: A. Fathoni Penata Letak: Dadang Kusmana Desain cover: M. Zahruddin Lingkar Publishing Green Sakinah Residence, No. 17 Jl. H. Moch Nail Baktijaya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat 16418 Telp. 021-8313247 e-mail: lingkar_publishing@yahoo.co.id Cetakan Pertama, Maret 2013 Daftar Isi Pengantar Penulis Catatan Berdemokrasi di Indonesia BagIan I Haru BIru demokrasI IndonesIa Akankah yang Baru Tenggelam? Haruskah Memilih Tidak Memilih? Kampanye Multikulturalisme Melampaui Dikotomi Sipil-Militer Meluruskan Niat Berpolitik Memilih untuk Mengawasi Menjaga Sportivitas dalam Pilpres Mungkinkah Menindak Pencuri Start? Police of Democracy Party Tak Berdaya Kok Pakai Uang? Kontrak Politik Bukan Segalanya ix 1 3 6 10 14 17 20 24 27 31 35 39 vi IN Do N E S IA P A SC A N EG A R A BagIan II Pemuda antara gerakan dan PolItIk Gerakan yang Tersadap Melacurkan Idealisme Mahasiswa? Pemuda Indonesia, Bangkitlah! Terdepak Primordialisme Kegamangan Gerak HMI Pascanegara 43 45 49 53 57 61 BagIan III PendIdIkan, kekerasan dan kekuasaan Memutus Sumbu Kekerasan Menghentikan Bola-Bola Kekerasan Pendidikan, Antara Kekerasan dan Kekuasaan Dana Muslihat AS? Kepentingan di Balik Pengawasan Tidak Cukup dengan Bantuan Gaung Semangat Gotong-Royong Menerapkan Pendidikan Tanpa Kelas 65 67 71 75 80 84 88 92 96 BagIan IV demokrasI suBstantIF Memaknai Ulang Keterlibatan Kiai dalam Politik Meluruskan Gerak Partai Politik Media dan Regulasi Bangsa Perselingkuhan Uang dengan Kekuasaan Uang di Balik Perang Bencana ketika Pemilu Berlalu MPR Harus Konsisten Wakil Rakyat Bertekuk Lutut 101 103 107 112 116 120 123 127 131 BagIan V agama, IdentItas, dan gloBalIsasI Kritik Ilmu Keislaman, Menyuarakan Islam di Era Kekinian Merobohkan Teologi Langit Agama Bernalar Manusiawi Spiritualitas yang Kering Nalar Agama yang Hilang Menyempurnakan Agama? Merancang Fikih Bumi Edisi Kritik Agama 135 137 166 171 175 179 184 188 192 DAFTAR ISI Lebaran Topat dan Teologi Lokal Deislamisasi Identitas Identitas Bersyariat di Kampung Global Menggugat Keidentitasan Agama Fatwa Hati Jihad Memelihara Kejujuran Kasih Sayang vii 197 203 208 213 217 220 224 Pengantar Penulis Catatan Berdemokrasi di Indonesia S ekalipun Indonesia meneguhkan demokrasi sebagai sis­ tem politik, tetapi hingga kini suara gugatan terhadap­ nya bukan berarti mereda. Demokrasi kadang digadang, tidak jarang pula ditentang. Bagi yang menentang, demokrasi dianggap gagal membangun satu tatanan kehidupan bernegara yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Tapi pembela demokra­ si justru beranggapan, tidak ada sistem politik yang lebih baik dari demokrasi. Demokrasi satu­satunya sistem yang membuka ruang akses publik terhadap negara, karena baginya kepenting­ an rakyat (keadilan dan kesetaraan) diletakkan di atas segala­ nya, vox populi vox dei. Wajah demokrasi terlihat tidak elok acap kali disebabkan oleh tata kelola dan pengelola demokrasi yang justru abai ter­ hadap aturan­aturan prinsipil demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang terangkum dari kata demos (rakyat) dan cratein/cratos x I ND o NE S I A P ASC A N EG A R A (pemerintahan) mengandaikan antara negara dan rakyat adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam artian substansial, bukan formal. Ruh pengelolaan negara terletak pada upaya un­ tuk melindungi dan memelihara kepentingan seluruh warga ne­ gara dengan asas kesetaraan dan keadilan, karena spirit utama demokrasi tidak menegasikan nilai­nilai tersebut. Dalam lintasan sejarah, tata kelola demokrasi kerap tidak berkesesuaian dengan aras yang sebenarnya. Anomali aplikasi demokrasi inilah yang kadangkala mendorong penilaian tidak elok terhadap sistem demokrasi. Alur sejarah di Indonesia, demokrasi cenderung diracik berdasarkan naluri personalitas kepemimpinan. Akhirnya, kearifan lokal (local wisdom) demo­ krasi tidak bersandar pada ruang di mana sistem itu dijalankan, melainkan beradaptasi pada alur kepemimpinan personal. Tidak heran jika di berbagai negara, demokrasi acap kali melenceng dari arahnya sehingga cenderung abai dalam melindungi ke­ pentingan rakyatnya. Di sinilah anomali demokrasi muncul se­ hingga melahirkan resistensi terhadap demokrasi itu sendiri. Hadir sebagai bangsa yang unik—karena merangkum kera­ gaman suku, bahasa, pulau dan warna kulit, Indonesia melalui berbagai sistem tidak serta­merta mendaulat demokrasi menjadi sistem tata pengelolaan politik. Sebelum Indonesia terbentuk sebagai negara­bangsa (nation-state), Nusantara terdiri dari pulau­pulau yang digerakkan oleh dinasti kerajaan­kerajaan mo­ narkis dari daerah timur hingga barat. Mungkin demokrasi bu­ kanlah kata dan sistem yang tepat, bahkan bisa menjadi masalah jika diterapkan dalam mileu monarki yang masih kuat saat itu. Lebih satu dasawarsa lalu, hadirnya Reformasi menjadi ti­ tik terbaru wajah demokrasi di Indonesia. Gema pembaruan perlahan hadir di berbagai bidang melalui momentum politik, meski harus melalui pengorbanan yang tidak murah dari darah generasi­generasi terbaik bangsa ini. Ibarat gesekan lempeng PEN GANTAR PENULIS xi bumi yang menghadirkan getaran, pembaruan itu pun meng­ alami gejolak. Sekalipun demikian, kita mesti hadir dengan se­ juta optimisme jika etape pembaruan yang dijelajahi saat ini akan hadir membawa kebaikan untuk bangsa Indonesia. Kendati demikian, perjalanan satu dasarwarsa tersebut ha­ rus dievaluasi agar dapat memberikan gambaran yang menyelu­ ruh. Pertama, terbukanya keran kebebasan politik pada sisi lain, serta hadirnya revolusi teknologi informasi abad milenium. Ke­ nyataan ini dapat menggeser pola dan perkembangan demokrasi ke arah partikular dan artiisial, jika tidak disediakan instrumen perangkat penyeimbang. Secara logis, kebebasan politik jika ditopang dengan teknologi informasi dapat menciptakan tata komunikasi yang dapat memelihara demokrasi berjalan dengan baik. Tetapi, ini dapat berbalik jika suprastruktur masyarakat ti­ dak menghadirkan daya iniltrasi terhadap pesan-pesan politik yang dihadirkan melalui teknologi informasi, seperti televisi dan berbagai media lainnya. Dalam kondisi demikian, artiisialitas akan mendominasi iklim politik. Pesan­pesan politik banyak disampaikan melalui media­media dengan perkembangan kecanggihan yang terus maju. Dalam langgam ini, citra menjadi bagian yang tidak terpi­ sahkan untuk dikelola dalam menjalankan proses politik sehing­ ga yang hadir di hadapan masyarakat adalah potongan­potong­ an yang belum tentu sama dengan realitas yang sebenarnya. Akhirnya, siapa yang menguasai media, dialah yang me­ miliki kans besar untuk mendapat simpati rakyat. Tidak heran muncul tren baru di mana kepemimpinan popular menjadi as­ pek dominan yang sanggup mengabaikan kepemimpinan kapa­ bel. Di sinilah suprastruktur yang menghadirkan daya iniltrasi di dalam diri masyarakat dibutuhkan. Dengan iniltrasi itu, masyarakat mampu menelisik citra yang disuguhkan secara kritis, tidak diterima secara dogmatis. Jika nalar perangkat kritis tidak xii I ND o NE S I A PA SC A N EG A R A tumbuh, perkembangan demokrasi pun terancam akibat kapa­ bilitas kepemimpinan dikesampingkan oleh popularitas. Kedua, gelombang arus warga negara (citizen) dalam me­ nyampaikan aspirasinya tereskpresi dalam beragam varian, baik bergerak di dunia maya maupun disalurkan secara langsung. Sebuah geliat yang “luar biasa” sebagai bukti menguatnya iklim demokrasi melalui jangkar terbukanya ruang publik (free public sphere) dalam iklim perpolitikan kita. Aspirasi masyarakat mewujudkan diri melalui gerakan secara langsung dan yang teranyar, gerakan virtual. Kita sebut gerakan virtual untuk merujuk pada gerakan yang dilakukan melalui dunia maya, seperti beberapa gerakan yang muncul akhir­akhir ini untuk memprotes ragam kebijakan negara yang dianggap tidak adil dan tidak memihak kepentingan rakyat. Pada wilayah yang nyata, kontrol masyarakat terhadap negara dilancarkan melalui gerakan­gerakan terbuka. Meskipun ragam ekspresi itu terkadang bergerak secara radikal sebagai akibat makin tipisnya jarak antara citizen dan state atau rakyat dengan negaranya. Dulu, negara seolah tak tersentuh dan anti­kritik, tetapi kini para pemimpin negara tidak dapat melakukan tindakan sewenang­wenang karena kontrol masyarakat semakin kuat. Tipisnya disparitas ini tidak hanya karena keterbukaan informasi, tapi juga didukung oleh sistem elektoral yang meniscayakan adanya kontak langsung antara pemimpin dengan rakyatnya. Kondisi tersebut bukan berarti tidak memunculkan problem jika tidak ditata dengan pendidikan demokrasi yang terkelola. Demokrasi yang terkelola adalah sistem yang digerakkan berda­ sarkan prinsip­prinsip etis demokrasi itu sendiri. Jika tidak di­ tata dengan baik, demokrasi hanya melahirkan mobokrasi atau gerombolan gerakan kontrol masyarakat yang tidak terorganisir, tidak memiliki tujuan, minus langkah strategis­taktis, sangat sporadis, dan cenderung anarkis. Kecenderungan mobokrasi ini PEN G ANTAR PENULIS xiii terlihat dengan tampilnya gerakan masyarakat yang brutal dan tanpa kontrol sebagaimana acap terlihat akhir­akhir ini. Mobokrasi politik kemudian bergeser dengan bentuk ka­ pitalisasi politik di tingkat grass-roots secara massal. Kualitas pendidikan masyarakat yang masih rendah berkonstribusi mem­ perlemah nalar kritis mereka, sehingga mudah terjebak pada mental instan dan pragmatis. Meski bukanlah sebab utama, suk­ sesi kepemimpinan dari pusat hingga daerah (provinsi/kota/ka­ bupaten) yang dihelat secara langsung cukup mendulang mental pragmatis di masyarakat. Uang menjadi bagian dari titik sentral yang menentukan sikap politik masyarakat, sehingga cenderung menghadirkan model kepemimpinan modal. Karenanya, hal tersebut menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kita bersama. Ketiga, demokrasi sejatinya dibangun untuk menghadirkan tata kelola negara yang benar­benar dipersembahkan untuk ke­ sejahteraan dan keadilan rakyat. Untuk mencapai itu, hal yang diperlukan adalah politik yang digerakkan dan disatukan oleh ide­ide mulia. Partai politik memainkan peranan penting di sini, karena sistem perpolitikan kita tidak bisa lepas dari pengaruh sentral partai politik di semua aspek perpolitikan kita. Karena sejatinya, partai dibentuk sebagai manifestasi mesin politik rakyat agar berpartisipasi aktif dalam setiap proses politik (Hartmut Hess,15: 2007) Akan tetapi, itu juga menjadi problem ketika jalinan partai politik belum bertolak pada domain di mana nilai keadilan sosial­politik menjadi landasan langkahnya. Koalisi politik par­ pol, misalnya, masih belum mampu bersandar pada upaya kerja sama yang didasari oleh kesamaan tujuan atau, lebih tepatnya, ideologi. Dalam bahasa yang lebih lugas, koalisi partai politik semestinya terbangun untuk cita­cita kebenaran, kesetaraan, dan keadilan sosial, bukan yang lainnya. xiv IN Do N E S IA P A SC A N EG A R A Koalisi kebenaran, ideologically connected coalition atau koalisi berbasis ideologi seolah utopis untuk diterapkan dalam sistem kepartaian kita saat ini. Senantiasa pertimbangan di luar ideologi selalu dikalahkan oleh kalkulasi politik jangka pendek. Sehingga, menghadirkan koalisi permanen menjadi sulit tercipta akibat kepentingan, kebutuhan, dan eskalasi politik selalu lebih dominan menentukan arah koalisi daripada ideologi. Sementara ragam kepentingan dalam perpolitikan tidak pernah absolut, melainkan selalu bergerak semu dan nisbi. Kenyataan tersebut sebenarnya lazim terjadi di beberapa negara dan memang masih menjadi momok yang belum da­ pat dieliminasi sistem demokrasi. Kendati demikian, meng­ hadirkan kondisi sistem di mana partai politik bergerak dan menyatu berdasarkan ideologinya bukanlah realitas yang mus­ tahil diwujud­nyatakan, namun harus tetap dilakukan mela­ lui perombakan sistem. Artinya, sistem kepartaian kita ma­ sih memberikan ruang terbangunnya iklim politik yang tidak didasarkan oleh nilai kebenaran. Sudah barang tentu, mewu­ judkannya membutuhkan ikhtiar dan iktikad sungguh­sungguh dari seluruh elemen yang terlibat dalam pengelolaan demokrasi di negara ini. Menelisik postulat pemikiran di atas, membangun demokra­ si yang mampu menghadirkan perubahan bagi bangsa Indonesia dengan menyemai spirit substansi demokrasi niscaya dibumi­ kan (down to earth) dalam sistem politik kita. Inilah yang di­ sebut sebagai demokrasi transformasional sebagai bagian upa­ ya untuk mematangkan demokrasi kita. Yakni, benar­benar berpijak pada prinsip dan nilai­nilai hakiki demokrasi yang mampu melakukan transformasi bagi negara, khususnya rak­ yat Indonesia. Sehingga, demokrasi tidak lagi dianggap sebagai kambing hitam atas kegagalan negara dalam mengelola kehi­ dupan yang layak bagi rakyatnya. Di sini, kita bukan berarti men­ PEN GANTAR PENULIS xv dewakan demokrasi sebagai sistem paling absah dan terbaik, tapi hanya menegaskan bahwa sebenarnya kita belum sepenuhnya menjalankan demokrasi yang sesungguhnya, yakni demokrasi transformasional. Karena itu, hadirnya perubahan yang membawa perbaikan bagi iklim demokrasi di Indonesia ke arah yang lebih baik ha­ rus terus diupayakan. Di sinilah hadirnya kepemimpinan mu­ da yang mampu membawa perbaikan menjadi penting. Kita perlu membedakan antara kepemimpinan muda dengan kepe­ mimpinan pemuda. Kepemimpinan muda lebih pada aspek substansi kualitas muda, seperti visioner, progresif, memiliki responsibilitas, sense of social yang kuat, integritas tinggi, dan berani melakukan transformasi. Sedangkan ketika menyebut kepemimpinan pemuda, kita akan cenderung terjebak pada di­ mensi biologis pemuda. Pada dasarnya, pemuda memiliki aspek kualitas muda sebagaimana yang disebutkan tadi, kendati tidak semuanya pemuda memiliki jiwa­jiwa muda tersebut. Begitu pula mereka yang secara biologis tua, umumnya tidak lagi me­ miliki kualitas muda, tetapi tidak semua yang berusia tua tidak memiliki nilai dan spirit muda. Perbaikan­perbaikan iklim demokrasi di Indonesia sangat membutuhkan pola kepemimpinan muda. Tanpa mental kepe­ mimpinan muda yang visioner dan memiliki daya dobrak yang kuat, maka percepatan perubahan yang diharapkan akan jauh dari panggang. Suksesnya pemilu pada satu sisi menjadi para­ meter kedewasaan demokrasi di Indonesia, tetapi tidak hanya berhenti pada aspek prosedural tersebut. Melainkan semesti­ nya memiliki dampak dalam membangun kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Tanpa memberikan implikasi, roda ja­ lan demokrasi kita masih tumpul dan mandul. Dan, yang mam­ pu membawa ke arah penyeimbangan antara prosedural dan substansial demokrasi adalah kepemimpinan muda. Kepemim­ xvi IN Do N E S IA P A SC A N EG A R A pinan muda mengandaikan adanya sistem yang memberikan ruang berjalannya ragam perubahan visioner dan kreatif yang ditransformasikan untuk menghadirkan perbaikan kehidupan berbangsa­bernegara. Dalam konteks demokrasi, hal yang harus dilakukan dalam menghadirkan kepemimpinan muda adalah menyediakan ruang terbangunnya etika demokrasi di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan kebebasan politik. Etika demokrasi bukan sarana untuk memberikan label “baik” dan “buruk”, melainkan menjadi etika moral di mana segala aktivitas demokrasi dijalankan. Arti­ nya, demokrasi memang mensyaratkan adanya kebebasan, teta­ pi bukan kebebasan yang dimaknai secara radikal dan abai ter­ hadap peran dan tanggung jawab. Nilai harus dijadikan acuan dalam menjalankan dan meramaikan demokrasi. Dan, kepe­ mimpinan muda akan mudah tumbuh di dalam iklim di mana etika moral demokrasi dikedepankan. Kita semua berharap agar pematangan ke arah demokrasi transformasional benar­benar mampu kita wujudkan sehingga memberikan perubahan bagi kehidupan rakyat Indonesia, yakni kesejahteraan, keamanan, dan keadilan sosial. Menghadirkan kepemimpinan muda akan memudahkan jalan menuju demo­ krasi transformasional karena hakikat dari transformasi selalu dinamis dan tidak pernah statis sebagaimana sejatinya spirit muda. Spirit muda seperti roda yang terus berputar mengalami perubahan menuju capaian ideal. Penulis sendiri meyakini jika di dalam diri para pemuda Indonesia, jiwa kepemimpinan muda itu terus mengalir yang akan membawa perubahan berarti bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Jakarta, 10 Maret 2013 Agus Hilman BAGIAN I HARU BIRU DEMoKRASI INDoNESIA Akankah yang Baru Tenggelam? (Jawa Pos, 18 Desember 2003) M inggu 7 Desember 2003, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah meresmikan 24 partai politik lolos seba­ gai kontestan Pemilu 2004. Ke­24 partai tersebut akan bertarung dalam pesta demokrasi yang paling meriah da­ lam sejarah perpolitikan Indonesia. Secara kuantitas, diban­ dingkan Pemilu 1999, jumlah kontestan Pemilu 2004 kali ini terbilang menurun. Ditinjau dari kalkulasi stabilitas politik dalam konteks Indonesia, jumlah 24 partai bukan merupakan sebuah kenyataan yang tanpa masalah. Ada banyak problem yang akan timbul dalam jumlah yang tergolong banyak untuk ukuran Indonesia itu, meski pada Pemilu 1999 lebih dari jumlah tersebut. Misalnya, akan marak praktik money politics dan pencurian start kampanye. Dengan jumlah yang relatif banyak itu, setiap partai politik tentu akan bertarung mencari dan merebut hati rakyat dengan 4 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A melegalkan beragam cara. Money politics merupakan tren umum dalam kecurangan pemilu. Jadi, bisa diprediksikan, de­ ngan banyaknya jumlah partai tersebut, money politics akan marak, persis seperti maraknya money politics pada 1999. Pada Orde Baru yang hanya tiga partai, money politics tetap mewabah, apalagi Pemilu 2004 yang lebih banyak parpolnya. Lebih­lebih, tingkat pendidikan politik rakyat bawah sangat rendah dan mudah memberikan suaranya kepada partai yang bisa memenuhi kebutuhan materi mereka. Bisa diterka, yang paling diuntungkan atas kondisi tersebut hanya partai yang kuat basis inansialnya. Karena itu, jika tidak disiasati dengan strategi yang lebih jitu, sangat mungkin partai­partai baru yang tidak memiliki ke­ kuatan basis inansial hanya akan menjadi penonton, bahkan tenggelam di bawah kekuatan partai besar. Lebih­lebih, pada pemilu kali ini, tingkat apatisme rakyat terhadap partai politik cukup tinggi. Misalnya, membangun kekuatan koalisi dengan partai­ partai baru yang cukup memiliki idealisme serta kekuatan basis kultur untuk menandingi kekuatan partai­partai besar dan ber­ kuasa. Pemikiran tersebut berkaca pada Pemilu 1999. Saat itu, partai­partai baru (partai selain PDIP, Golkar, dan PPP) ber­ munculan bak jamur di musim hujan. Tetapi, di antara sekian banyaknya partai baru kala itu, ternyata hanya PKB dan PAN yang bisa menembus electoral threshold dua persen. Selain itu hanya menjadi penyemarak pemilu. Itu pun PAN dan PKB bernaung di bawah basis kultur Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Bisa dibayangkan, sekitar 18 partai baru sangat sulit menjadi peserta Pemilu 2004. Selain berhadapan dengan partai­partai lama seperti PKB, Golkar, PDIP, PPP, PKB, dan PAN, mereka harus menembus batas electoral threshold yang naik menjadi tiga persen. A K A N K A H y A N G B ARU TENGGELAM? 5 Berkualitas kerupuk? Berdasarkan polling Jawa Pos kemarin (Jawa Pos, 16/12), ma­ syarakat masih memandang bahwa partai baru yang muncul saat ini memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda dari partai­partai lama (Golkar, PKB, PPP, PAN, dan PDIP). Polling tersebut me­ nyatakan, tingkat respons masyarakat yang memandang partai baru sama dengan partai lama mencapai 32,5 persen, meng­ anggap lebih baik 25,9 persen, lebih buruk 23,5 persen, dan me­ nyatakan tidak tahu 18,1 persen. Kalau dilihat lebih jauh, penyebab utama pandangan pesi­ mistis masyarakat tersebut adalah mereka merasa dikhianati partai politik. Harapan rakyat dengan kemenangan PDIP secara telak pada Pemilu 1999 yang merupakan ikon Orde Reformasi ternyata tetap tidak bisa membawa perubahan bagi bangsa ini. PAN dan PKB pun tidak jauh berbeda. Sehingga, lahirlah kecenderungan dalam diri rakyat bahwa partai baru atau partai lama sama saja. Keberadaan mereka tetap tidak akan membawa perubahan signifikan bagi bangsa. Partai­partai reformasi (PDIP, PAN, PKB, dan PBB) dipandang gagal membawa negeri ini keluar dari krisis multidimensi. Praktik KKN kian merajalela. Bahkan, berdasarkan penelitian International Transparency, praktik kotor itu semakin terang­terangan di masyarakat. Fe­ nomena tersebut memunculkan pandangan apatisme dan pe­ simisme rakyat atas keberadaan partai­partai baru (apalagi yang lama). Karena itu, akankah partai­partai baru dalam 24 parpol peserta pemilu tersebut tenggelam? Haruskah Memilih Tidak Memilih? (Suara Karya, 22 Desember 2008) M antan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) me­ wanti­wanti golongan putih (Golput) akan meningkat hingga 70 persen jika pemerintah tidak adil menyi­ kapi dualisme di PKB (Kompas,13/10). Terlepas dari nada an­ caman itu, pernyataan Gus Dur terkait golput menarik diper­ bincangkan kembali di tengah prediksi jumlah golput akan meningkat pada pemilu mendatang. Wacana golput atau tidak menggunakan hak pilih bukan hal asing dalam demokrasi yang seluruh aspirasi masyarakat diberikan ruang untuk berekspresi secara bebas (free public sphere). Tidak ada kekangan, tidak ada dominasi mayoritas atas minoritas. Semua elemen berhak mengajukan pendapat. Karena itu, golput sebagai bentuk ekspresi politik tanpa menggunakan hak pilihnya, pada langgam ini, tidak dapat disalahkan, bahkan moralitas demokrasi harus “membelanya” secara politik. H A R U SK A H MEMI LI H TIDAK MEMILIH? 7 Pada Pemilu 2004, jumlah golput sekitar 23,34 persen dengan melebihi perolehan suara seluruh partai. Sementara Pemilu 1999, angka golput 10,4 persen. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melihat pada rentang 2005­ 2008, golput ternyata unggul di 13 pilkada provinsi. Sementara di kota/kabupaten, golput unggul di 39 dari 130 pilkada. Kondisi di atas membuka kembali peluang besar mem­ bengkaknya golput pada Pemilu 2009. Bahkan tidak menutup kemungkinan melebihi prevalensi golput Pemilu 2004. Kekece­ waan masyarakat terhadap para politikus dan partai politik saat ini yang tidak mampu membawa perubahan bagi rakyat bisa menjadi salah satu pedorong golput. tanpa efek Secara substansial, golput dapat diamini sebagai bentuk opo­ sisi tanpa suara atas sistem politik yang berjalan. Masih lemah­ nya sistem politik kita dalam melahirkan kepemimpinan yang kokoh menempatkan event suksesi (pemilu) tidak lagi berwi­ bawa sehingga melahirkan ketidakpercayaan (distrust) rakyat. Kenyataan itu diperparah oleh oligarki partai politik yang masih menjadi batu sandungan bagi lahirnya pemimpin berkualitas di negeri ini. Sangat salah jika menganggap warga negara yang golput sebagai orang yang apatis dan tidak peduli terhadap perubahan bangsa. Justru kebanyakan orang yang memilih golput dilandasi motif yang rasional dan tanpa suap. Mereka mengharapkan masa depan demokrasi lebih bagus. “Sama saja, Mas. Nyoblos nggak nyoblos, hidup tetap susah.” Hanya ungkapan itu yang sering kita dengar dari rakyat yang emoh menggunakan hak suaranya saat pilkada maupun pemilu. Karena menjadi releksi kekecewaan rakyat atas kinerja pemerintah, politikus maupun partai, golput tersudutkan sebagai 8 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A anomali. Sikap ini akan menjadi citra pemerintahan sebelumnya. Wajar jika kemudian penguasa berusaha mengeliminir golput. Menelisik “ancaman” Gus Dur di atas jadi relevan. Perlu diingat, golput tidak signifkan memengaruhi sistem meski prevalensinya cukup tinggi. Roda kepemimpinan terus berlanjut. Sekalipun dengan banyaknya golput diklaim unlegitimate, tetapi hanya berjalan pada aras wacana semata, tidak pada ranah praksis (gerakan). Alih­alih menjadi ancam­ an, tingginya tingkat golput tidak memiliki ekses politik bagi pemerintahan terpilih. Kenyataan tersebut disebabkan sifat penyebaran golput yang berserak, tanpa titik koodinasi. Sekalipun, seandainya, sikap golput rakyat dilatari motif yang sama, mereka tidak mudah un­ tuk disatukan menjadi sebuah gerakan. Inilah keunikan golput yang, pada pengalaman, laju geraknya mengalir bak air dan bahkan sifatnya personal. Sikap mereka murni untuk tidak me­ milih, tanpa uang suap, tanpa biaya. konsolidasi nurani Memang, siapa pun berharap agar rakyat menggunakan hak pilihnya. Tetapi, memaksakan seluruh rakyat untuk tidak golput sama tidak benarnya dengan memaksakan kehendak agar me­ reka semua menjadi golput. Sikap warga untuk memilih, apa pun pilihan politiknya asal sesuai nurani mereka, harus dihor­ mati setinggi­tingginya. Inilah kebijaksanaan demokrasi yang belum integral dalam perilaku politik berbangsa kita dalam se­ gala sendi. Tidak hanya jarang bertindak sesuai kejujuran, demokrasi kita belum terbiasa menghormati rakyat yang memilih sesuai kehendak murni mereka. Sikap kekecewaan politik rakyat yang tereleksi di dalam golput harus dimaknai secara positif sebagai kecerdasan demokratik. Kendati begitu, golput juga akan “ter­ H A R U SK A H MEMI LI H TIDAK MEMILIH? 9 nodai” jika digerakkan hanya karena kecewa akibat tidak dapat jatah kekuasaan. Inilah momen agar elite benar­benar bergerak berdasarkan kepentingan rakyat yang saat ini membutuhkan kepedulian sosial­ekonomi yang praksis, bukan sekadar wacana. Nurani pe­ mimpin harus dihidupkan agar berusaha melayani dan menye­ jahterakan rakyat. Bagi mereka yang akan mencalonkan diri di legislatif dan eksekutif agar kembali meluruskan niatnya untuk mengayomi rakyat. Jika hal itu tidak atau belum ada, haruskah besok kita memilih untuk tidak memilih? Kampanye Multikulturalisme (Jawa Pos, 11 Maret 2004) S angat beralasan beberapa kalangan memprediski bahwa pemilu kali ini rentan sekali dengan konlik horizontal/ vertikal. Kasus bentrokan antara pendukung Golkar dan PDIP di Bali bulan Oktober lalu kiranya merupakan satu indi­ kasi ancaman tersebut. Padahal, tragedi itu terjadi jauh hari se­ belum kampanye nanti, sedangkan KPU menjadwalkan setiap hari ada sekitar 12 parpol yang berkampanye? Beberapa tindak kekerasan dalam event pemilu memang tidak terlepas dari dampak masyarakat Indonesia yang multi­ kultural. Di Indonesia, terdapat beragam ras, suku, dan agama yang sewaktu-waktu dapat menciptakan konlik horizontal. Hal itu terjadi karena entitas primordial tersebut sangat mudah di­ eksploitasi untuk kepentingan politik golongan tertentu. Pengalaman hitam dalam kurun 1996­2002 cukup menja­ di contoh bagaimana pluralitas mengobrak­abrik sendi­sendi K A MPA N y E MU LT IKULTURALISME 11 kehidupan kebangsaan kita. Tragedi berdarah dengan meng­ atasnamakan agama yang terjadi di Ambon, Poso, Situbondo, dan Mataram ternyata banyak memakan korban jiwa. Belum lagi berbicara tentang perang etnis di Sambas beberapa tahun silam yang memberikan luka dan trauma mendalam sehingga tentu sulit dihilangkan dari alam pikir pihak­pihak bersengketa. Karena itu, sangat logis jika public khawatir terhadap partai politik yang menggunakan bahasa­bahasa SARA dalam meng­ ambil simpati masyarakat. Ketakutan dan kekhawatiran rakyat tersebut sangat wajar karena dapat dipastikan dalam setiap event kampanye terjadi tindakan­tindakan yang mengarah pada isu SARA yang tidak sedikit memakan korban jiwa. Di sinilah kita memerlukan sebuah metode dan manajemen kampanye yang berbasis pada semangat multikulturalisme. Se­ buah model kampanye yang sesuai dengan konteks masyarakat kita. Kalau kita mau kritis, budaya kekerasan yang sering ter­ jadi saat kampanye dalam kurun sejarah pemilu di negeri ini sesungguhnya akibat model kampanye yang tidak memiliki se­ mangat multikulturalisme. Sering kali para juru kampanye (jurkam) menggunakan bahasa­bahasa SARA untuk meneguhkan partainya sebagai yang terbaik. Agama senantiasa dibajak untuk kepentingan politik sesaat. Salah satu pembajakan agama adalah pemelintiran ayat yang menyatakan bahwa jangan sekali­kali kamu mendekati po­ hon ini, (jika kamu dekat), kamu termasuk orang­orang zalim (lâ taqraba hadzihi al-syajarata fatakûna minal-zhâlimîn). Sa­ sarannya, siapa lagi kalau bukan Golkar. Akhirnya, para pendu­ kung partai sering kali menghalalkan diri menggunakan keke­ rasan kepada orang yang mendekati pohon itu (Golkar). Inilah bentuk terorisme terselubung partai. Kampanye yang bersemangat multikulturalisme enggan berdiri di atas ego yang selalu menjelek­jelekkan rival politik­ 12 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A nya dan mengagungkan golongan/partai sendiri. Model kam­ panye seperti ini harus segera ditinggalkan karena hanya mem­ bodohkan rakyat. Memang, tak salah menganggap partai kita adalah partai paling bagus. Tetapi, yang salah adalah anggapan partai kita adalah partai paling bagus, seraya dibarengi dengan menjelek­jelekkan dan merendahkan martabat partai lain. Biar­ lah orang lain yang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Tentu, jika baik, mereka akan ikut. Jika jelek, mereka akan jauh. Dalam kampanye multikulturalisme, perbedaan tidak di­ pandang seolah sebuah bencana yang harus dimusnahkan. Per­ bedaan dipahami sebagai keniscayaan yang tidak dapat dielak­ kan. Perbedaan dimaknai sebagai sarana untuk berlomba­lomba mengejar kebaikan. Karena itu, tindakan­tindakan damai merupakan salah satu cara partai untuk berlomba menunjukkan bahwa dirinya benar­ benar baik. Dengan demikian, apa pun partai yang dipilih tidak menjadi masalah, toh kita semua tetap bernaung dalam satu bendera persaudaraan: Indonesia. Jangan Pilih yang rusuh Menebar tindak kekerasan akan menciptakan kecemasan komu­ nal di tingkat masyarakat bawah. Siapa pun yang menciptakan kecemasan di dalam masyarakat adalah teroris yang harus ditin­ dak tegas. Karena itu, partai­partai yang memberikan kecemas­ an saat kampanye nanti merupakan partai teroris. Terorisme partai bisa berwujud sikap pembajakan bahasa Tuhan (agama), ras, dan suku untuk kepentingan dirinya. Membajak ayat­ayat Tuhan dengan tujuan menghadang rival politiknya. Di sinilah dibutuhkan sebuah sanksi hukum tegas terhadap partai yang sering membuat onar dan menggunakan isu­isu SARA sebagai komoditas politik (UU No. 12/2003). Jika sanksi K A MPA N y E MU LT IKULTURALISME 13 hukum belum cukup dipandang efektif dalam menghilangkan partai teroris, diperlukan sebuah sanksi sosial dengan cara ja­ ngan mencoblos partai teroris, rusuh, dan membuat orang cemas. Dengan demikian, parpol, caleg, serta massanya akan ber­ pikir ulang untuk melakukan tindakan anarkis. Sebab, standari­ sasi keabsahan suara terletak pada dicoblos dan tidaknya partai politik. Gerakan itu diharapkan bisa efektif mengontrol partai dan massa agar tidak terjerumus dalam kekerasan politik saat kampanye. Melampaui Dikotomi Sipil-Militer (Jawa Pos, 31 Juli 2004) P ada Senin kemarin, 26 Juli, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan secara resmi bahwa pasangan SBY­JK dan Megawati­Hasyim lolos mengikuti pilpres putaran kedua. Di antara total pemilih yang menggunakan hak suaranya, pasangan SBY­JK mampu meraup suara sekitar 33,58 persen, Megawati­Hasyim sekitar 26,61 persen, Wiranto­Wahid 22,16, Amien­Siswono 14,66 persen, dan pasangan Hamzah­ Agum hanya meraup suara 3,01 persen. Berdasarkan statistika kemenangan di atas, di luar dugaan, ternyata pasangan SBY­JK mampu mengalahkan beberapa rival politiknya yang notabene sudah tidak asing dalam kancah perpolitikan nasional kita. Bahkan, Megawati­Hasyim hanya memperoleh 26 persen suara. Kemenangan telak SBY­JK itu menunjukkan bahwa dikotomi sipil­militer tidak terlalu dilihat masyarakat. Aura igur sosok SBY lebih dominan daripada stigma negatif latar belakangnya sebagai militer. MELA MPA U I D I K oToMI SIPIL-MILITER 15 Memang, selama ini, sipil dan militer menjadi dua kata yang senantiasa dimaknai dengan paradigma oposisi biner, kon­ tradiktif, dan dikotomik. Garis kontradiksi itu semakin tajam, terutama pada detik­detik jatuhnya rezim Soeharto pada 1998. Wacana oposisi biner sipil­militer tersebut menggema kembali pada saat pilpres putaran pertama. Itu terlihat dari beberapa gerakan yang menolak tampilnya capres militer sebelum pelak­ sanaan pilpres kemarin. Meski demikian, garis kontradiksi sipil­ militer tersebut hanya mendengung di permukaan, tetapi kurang popular di grass-roots. Jika diamati, ada beberapa hal mengapa dikotomi sipil­militer tidak begitu kuat memengaruhi sikap politik pemilih. Pertama, secara sosiologis, masyarakat kita adalah masyarakat yang tertumpu pada pengaruh igur. Dalam struktur psikologi sosial masyarakat yang seperti itu, simpati dan empati masyarakat akan mudah diperoleh, jika igur tersebut memiliki keahlian beretorika yang cantik atau cerdas menam­ pilkan kewibawaan dan kelembutan. Pada kerangka itu, yang dilihat masyarakat bukan latar belakangnya yang buruk, melain­ kan penampilannya yang manis dan wibawa. Ingat, Golkar pada 1998 dihujat, tetapi pada 2004 malah menjadi kampiun. Untuk menguatkan tesis tersebut, coba kita lihat fenomena Akademi Fantasi Indonsiar (AFI) yang sempat menghebohkan dunia entertainment dan mampu menyedot jutaan pemirsa dari berbagai kalangan. Fenomena yang disuguhkan AFI tidak hanya fenomena budaya pop dan instan, melainkan menyuguhkan cermin psikologi sosial masyarakat yang lebih melihat aspek isikalnya. Bagaimana Fery bisa mengalahkan Kia hanya karena secara isik Fery lebih sempurna, meski suara Kia lebih bagus. Karena itu, jangan heran, struktur psikologi sosial masya­ rakat yang seperti itu juga berlaku ketika menentukan sikap pi­ lihan politiknya. Akhirnya, sipil­militer pun tidak banyak berpe­ ngaruh. Masyarakat telah melampaui dikotomi sipil­militer. 16 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A Kedua, antimiliterisme lebih didominasi nuansa­nuansa politis. Sekalipun beberapa elemen gerakan benar­benar murni menentang antimiliterisme karena trauma akan masa kelam Orde Baru, upaya imagologisasi tersebut hanya mengendap pada garis permainan politik tingkat elite semata. Karena itu, jangan heran jika masyarakat awam pun tidak tahu apa mak­ na militerisme dan kenapa harus ditentang. Tetapi, ada juga gerakan antimiliterisme yang sengaja digerakkan capres dari militer. Alhasil, yang dibaca masyarakat adalah gerakan itu me­ rupakan gerakan politis dan gerakan bayaran. Alih­alih meraih simpati, justru cemoohan yang didapat. Berdasar dua pandangan di atas, tampilnya dua pasangan capres­cawapres SBY­JK dan Megawati­Hasyim menarik untuk dicermati. Dikatakan menarik bukan dikarenakan masing­ masing pasangan tersebut sebagai representasi pertarungan sipil dan militer pada tataran asumsi grass-roots. Namun, kedua pasangan itu merupakan simbol pertarungan dua wibawa/aura igur. Harus diakui, kemenangan SBY-JK dan fenomena politik yang ditunjukkan Partai Demokrat saat pemilu legislatif lalu tidak lepas dari sosok SBY. Demikian juga Megawati telah terlepas dari aura Soekarno yang telah menjadi mitos bagi masyarakat. Karena itu, jika manuver politik sentimen oposisi biner sipil­militer tetap dilemparkan saat pemilu putaran kedua, menurut saya, tidak akan memengaruhi pemilih. Apalagi, jika seandainya salah satu pasangan capres­cawa­ pres dari kalangan sipil yang tidak lolos putaran pertama lalu menyatakan dukungannya kepada SBY­JK, misalnya, dikotomi sipil­militer pun akan lenyap. Namun, semua prediksi itu di­ tentukan di lapangan nanti. Sebab, jalan politik tersebut zig­zag dan tidak berdiri di atas logika matematis­positivistik. Meluruskan Niat Berpolitik (Jawa Pos, 12 April 2004) S uatu hal yang paling ditakuti dalam dunia politik adalah keputusan yang cepat dan selalu berubah­ubah. Sekarang mengatakan A, pada lain kesempatan bisa jadi terucap lafal yang berbeda. Sekarang kawan, pada detik yang berbeda bisa menjelma menjadi monster yang menyeramkan. Perubahan­perubahan itu berjalan di atas kepastian yang zig­zag, tanpa arah, dan susah terdeteksi, sehingga sering me­ lenceng dari perhitungan awal. Kepentingan merupakan motor penggerak di balik perubahan zig­zag. Kawan hanya akan ter­ jaga selama kepentingan terpelihara. Karena itu, di satu sisi, cu­ kup sulit—untuk tidak mengatakannya mustahil—mencari kata konsisten dalam politik. Akar kemustahilannya disebabkan poli­ tik masih dimaknai sebagai entitas yang selalu berkait kelindan dengan kekuasaan. Yakni, berpolitik untuk berkuasa. 18 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A Keberhasilan berpolitik ditentukan sejauh mana kita sukses dalam membangun serta merebut kekuasaan. Hasilnya, komit­ men menjadi monotafsir bagi elite, yakni komitmen menjaga kepentingan masing­masing. Pola kerja politik yang demikian itulah yang menjadi mindset elite­elite politik kita. Yakni, berpolitik untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan, tidak untuk kehidupan serta ke­ sejahteraan rakyat. Tiga etape sejarah perpolitikan yang mengi­ ringi bangsa ini seperti rezim Orde Lama, Orde Baru, dan kini Orde Reformasi yang ditandai dengan kemenangan PDIP pada 1999 cukup menjadi contoh. Ketika kekuasaan, komitmen untuk memperjuangkan harkat serta martabat bangsa tergadaikan oleh komitmen melanggengkan kekuasaan, program­program negara diproyeksikan untuk mengemukakan golongan sendiri. Menyimpangnya komitmen elite­elite politik sesungguhnya berakar dari cara pandang dan motivasi elite terjun ke dunia politik. Politik dilihat sebagai kapital yang bisa menguntungkan kantong pribadi. Karena itu, banyak politikus yang berbondong­ bondong menjadi caleg, sekalipun harus mengeluarkan uang yang banyak dan ijazah palsu. Jangan heran jika mereka tak segan­segan membeli suara rakyat. Contoh riil pada pemilu 5 April 2004, beberapa caleg dan parpol menghargai Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu per kepala yang menyemarakkan kampanye parpol. Bagaimana ketika pen­ coblosan? Coba bayangkan, jika membutuhkan enam juta suara, berapa uang yang harus keluar? Itulah cikal bakal prostitusi ke­ kuasaan di negeri ini. Dalam kerangka tersebut, membangun kekuatan yang ku­ kuh pada basis sipil (civil society) kelas bawah non­birokrat da­ lam meluruskan niat serta komitmen para elite politik menjadi hal penting. Masyarakat sipil bawah (rakyat) memiliki kekuatan untuk mengontrol elite politik agar berjalan pada komitmen MELU R U SK A N NIAT BERPoLITIK 19 serta niat berpolitik untuk kesejahteraan rakyat dan negara. Dan, kekuatan tersebut hanya akan tercipta jika rakyat menyatukan tekad bersama. Yakinlah, berpolitik untuk mengua­ sai dan melanggengkan kekuasaan tidak akan pernah membawa kebaikan bagi bangsa ini. Bangsa yang sudah parah dan bobrok dalam segala lini ini jangan diperparah oleh kegiatan politik yang melulu untuk ke­ kuasaan dan menguasai, apalagi untuk mengeruk uang rakyat serta menjual aset­aset negara. Bangsa ini membutuhkan poli­ tikus yang siap menjadi martir demi martabat serta kesejahte­ raan rakyat, bangsa, dan negara. Berpolitik untuk rakyat. Iktikad itu tidak membutuhkan se­ buah retorika (apalagi janji), melainkan tindakan yang nyata. Berpolitik untuk rakyat bukan sebuah gambaran politikus yang selalu mengatasnamakan rakyat. Berpolitik untuk rakyat berarti berpolitik untuk mengabdi kepada kepentingan, kesejahteraan, dan kecerdasan bangsa. Rakyat tidak dibodohi dengan janji­janji politik, apalagi menyuguhkan pernyataan politik yang membingungkan rakyat. Elite politik harus mengerti kondisi rakyat dan tidak menjadikan mereka korban hasrat berkuasa. Pada 10 April lalu, beberapa elite yang mengatasnamakan aliansi 19 parpol menolak hasil Pemilu 2004, sekalipun hasil pemilu belum dinyatakan inal. Berarti, 6 parpol lainnya menerima hasil pemilu. Pada saat bersamaan, Forum Rektor menilai bahwa pemilu berjalan sukses dan berjalan transparan sesuai UU Pemilu Nomor 12/2003. Terlepas benar atau tidaknya tin­ dakan tersebut, bagaimanapun, pernyataan­pernyataan itu ten­ tu sangat membingungkan rakyat. Hanya satu pertanyaan yang sanggup terlontar, masihkah para elite politik kita memiliki niat dan komitmen menyejahterakan rakyat? Memilih untuk Mengawasi (Jawa Pos, 20 September 2004) J ika tiada aral membentang, hari ini, seluruh rakyat Indonesia sedang memilih dan menentukan presiden mereka, yakni pemilu presiden putaran kedua. Sebuah jalan pemilu yang melelahkan setelah pemilu legislatif dan pilpres pertama dilalui. Di sini, masa depan bangsa akan sangat ditentukan. Siapa yang akan dipilih oleh rakyat Indonesia di antara dua kandidat yang bertarung, Mega­Hasyim atau SBY­JK. Karena itu, sudah se­ harusnya, sikap pemilih tidak didasari emosional, apalagi ber­ dasarkan iming­iming uang/materi yang hanya nikmat sesaat. Kendati demikian, satu hal yang perlu dicatat, pengawasan atas presiden yang terpilih nanti jauh lebih penting daripada partisipasi kita dalam memilih saat ini. Atau dengan kata lain, pengawasan merupakan esensi sekaligus konsekuensi dari sikap memilih kita. Entah, apakah yang kita pilih menang atau kalah. MEMI LI H U N TUK MENGAWASI 21 Hal itu berangkat atas beberapa hal. Pertama, presiden saat ini dipilih secara langsung. Implikasi pemilihan presiden lang­ sung adalah kekuasaan legitimasi rakyat. Kuatnya legitimasi rakyat yang dimiliki presiden terpilih nanti tentu akan membuka peluang lebar bagi presiden terpilih untuk menjadi percaya diri sehingga bertindak sewenang­wenang. Itu berbeda dengan pe­ milihan sebelumnya, yang dipilih oleh segelintir orang di par­ lemen. Logikanya, presiden yang dipilih melalui sistem demokrasi tak langsung (baca: perwakilan) oleh beberapa orang di parlemen saja berani mengatasnamakan rakyat secara keseluruhan dan bertindak sewenang­wenang tanpa mendengar aspirasi rakyat bawah, lantas bagaimana jika melalui pemilihan yang dipilih langsung oleh rakyat? Di sinilah proses pengawasan tersebut menjadi penting. Karena itu, memilih bukan berarti lepas tanggung jawab atau terhenti pada saat pencoblosan saja. Akan tetapi, memilih ber­ arti juga mengemban amanah untuk meluruskan komitmen dan janji presiden terpilih nanti. Kedua, pengawasan terhadap presiden terpilih sangat pen­ ting mengingat adanya reduksi fungsi kontrol lembaga yudika­ tif, yang semula sebagai lembaga tertinggi negara yang bisa me­ lakukan kontrol kuat terhadap lembaga eksekutif, kini hampir setara dengan lembaga tinggi lain (baca: eksekutif/legislatif). Longgarnya mekanisme legal­formal itu tentu akan semakin membuka keran kesewenang­wenangan presiden terpilih. Per­ ubahan ketatanegaraan kita, jika tidak diantisipasi oleh gerakan masyarakat sadar di luar struktur dalam mengontrol gerak lang­ kah eksekutif (baca: presiden terpilih) ke depan, akan sangat berbahaya dalam membangun kesewenangan presiden. Karena itu, pengawasan adalah tindakan yang harus kita ambil setelah presiden terpilih melalui pemilu saat ini. Peng­ 22 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A awasan tersebut menjadi penting tidak hanya sebagai kontrol atas kecenderungan kesewenangan karena kuatnya legitimasi rakyat, melainkan juga sebagai bentuk monitoring dan pressure terhadap presiden terpilih dalam menjalankan amanah kepre­ sidenannya. Tindakan monitoring tersebut tentu harus diambil alih oleh tekanan massa di luar struktur parlemen. Sebab, entitas­entitas gerakan itulah yang masih steril dari kepentingan pragmatisme politik sesaat. Mengandalkan suatu oposisi struktural­parlemen yang kuat sangat tidak memungkinkan dilakukan saat ini. Alih­alih memimpikan oposisi struktural­parlemen yang kuat, legislatif justru melakukan konspirasi terselubung dengan eksekutif. Karena itulah, satu­satunya gerakan yang bisa diandalkan dalam mengontrol presiden terpilih nanti adalah kekuatan gerakan basis civil society (ekstraparlementer) seperti OKP, ornop, ormas, dan organisasi­organisasi nonparlementer lain. Karena itu, tampilnya dua kandidat pasangan capres putaran kedua saat ini tentu sangat memudahkan kita dalam mengingat janji­janji mereka. Sebab, salah satu di antara pasangan SBY­JK dan Mega­Hasyim pasti akan menjadi presiden dan wakil presi­ den Indonesia untuk lima tahun ke depan. Meski demikian, melakukan kontrol dan tekanan keras ke­ pada presiden terpilih agar tetap berkomitmen pada amanah ke­ rakyatan bukanlah kerja yang gampang dan ringan. Efektivitas kontrol akan bergantung pada masivikasi dan konsolidasi gerak­ an antarelemen civil society yang intensif. Tanpa itu, realisasi sistem kontrol menjadi utopis untuk dipetik hasilnya. Dengan demikian, pengawasan mutlak harus kita lakukan terhadap presiden terpilih nanti. Yakni, mengawasi komitmen kerakyatan dan janji­janji yang dilontarkan mereka saat kampa­ nye lalu. Bagaimanapun, watak dasar kekuasaan/birokrasi cen­ MEMI LI H U N TUK MENGAWASI 23 derung sewenang­wenang, sedangkan sangat mengharapkan kerja kontrol hukum formal pun masih belum bisa dipercaya untuk saat ini. Maka itu, memilih untuk mengawasi berarti seluruh elemen masyarakat (baik yang memilih ataupun golput) mutlak wajib mengawasi presiden terpilih nanti. Hal itu dilakukan sebagai langkah untuk mengontrol komitmen dan janji­janji mereka. Menjaga Sportivitas dalam Pilpres (Jawa Pos, 3 Juli 2004) J ika tidak ada halangan, lusa nanti (Senin, 5 Juli 2004) Ne­ gara Republik Indonesia akan melaksanakan pemilihan presiden (Pilpres) putaran pertama yang paling monu­ mental dalam sejarah. Pasalnya, pemilu presiden kali ini me­ rupakan kali pertama diterapkan dalam putaran sejarah per­ politikan Indonesia dengan memilih presiden secara langsung oleh rakyat. Melalui mekanisme pemilihan langsung, diharap­ kan rakyat dapat menentukan pimpinannya sendiri, tidak di­ tentukan segelintir orang di Senayan lagi. Meski demikian, yang perlu dicatat, jalan politik itu tidak monolit, melainkan liar serta penuh trik dan intrik. Jalan politik sangat terjal dan tidak dapat diprediksi ke arah mana ia akan melangkah. Karena itu, elite tak jarang bermain politik yang di­ artikan sebagai bentuk ikhtiar untuk menampilkan kebohongan, asal bisa menjadi kampiun. Pada tataran ini, bukan hanya peng­ MEN J A G A SPoR TI v I TA S DALAM PILPRES 25 awasan yang dibutuhkan saat pemilihan nanti, melainkan ke­ arifan para capres­cawapres peserta pemilu untuk memilih cara berpolitik yang sportif dan dewasa. Pemilu legislatif 5 April 2004 lalu menjadi pelajaran kita bersama. Saat itu, parpol peserta pemilu sudah tidak lagi meng­ indahkan cara­cara berpolitik sebagaimana ikatan kontrak yang telah disepakati bersama. Karena itu, jangan heran, pada pe­ milu legislatif lalu banyak pelanggaran. Hal itu juga berkaitan dengan riskannya bahaya kecurangan pada saat penghitungan suara yang kurang diantisipasi kita bersama. Yang sangat disayangkan, pelanggaran pemilu legislatif lalu disebabkan kurangnya ketegasan pihak pengawas pemilu dalam menegur dan menindak para pelanggar, terutama pada saat pencoblosan. Kecurangan hanya menjadi catatan di atas kertas, tetapi dalam realitas tidak ada tindakan tegas. Kenyataan ter­ sebut menumbuhkan semangat binal dan bengal dari parpol untuk tidak mengindahkan segala bentuk sportivitas dalam berpolitik. Fenomena di atas tidak menutup kemungkinan akan ter­ ulang pada saat pencoblosan pemilu presiden putaran pertama nanti. Itulah yang harus diantisipasi. Jika tidak, sangat mungkin putaran kedua—jika tidak ada yang memenuhi kuota suara di atas 50 persen lebih satu—akan menemukan banyak hambatan. Karena itu, tindakan tegas dari pihak pengawas terhadap segala bentuk pelanggaran saat pemilihan nanti sangat dibutuhkan. Memang, harus diakui, puncak dari usaha promosi capres­ cawapres untuk menarik simpati rakyat adalah pada saat pencoblosan. Segala bentuk usaha melelahkan yang telah dila­ kukan dua bulan penuh dengan menghabiskan uang yang tidak sedikit, hasilnya akan ditentukan dalam beberapa jam saja. Karena melihat elan vital hari H pencoblosan tersebut, sa­ ngat dibutuhkan keseriusan seluruh elemen masyarakat, baik 26 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A masyarakat umum maupun Panwaslu untuk lebih fokus pada pengawasan saat pencoblosan hingga penghitungan suara nanti. Jika hal itu tidak diantisipasi, sangat dimungkinkan kecurangan sulit untuk dihindari. Sebab, bagaimanapun juga, capres­cawa­ pres, pendukung, dan tim suksesnya pasti ingin menang agar segala usahanya yang memakan biaya besar tidak sia­sia begitu saja. Selain itu, satu hal yang harus ditinggalkan dan diantisipasi adalah tindakan intimidasi yang sering dilakukan masing­ masing peserta pemilu. Itu juga berkaitan dengan pengalaman pemilu legislatif lalu. Parpol peserta pemilu melancarkan inti­ midasi terhadap pendukung rivalnya, baik dengan cara inti­ midasi represif maupun intimidasi persuasif. Intimidasi per­ suasif sering dilakukan, seperti melancarkan serangan fajar seraya memberi iming­iming uang kepada pemilih. Demikian juga sebagaimana pengalaman sebelumnya, intimidasi represif, misalnya mengancam pemilih saat mencoblos. Apa pun itu, kecurangan tetaplah kecurangan. Sekalipun politik yang sering diterjemahkan elite politik kita tidak menge­ nal kata kecurangan, nurani tidak dapat dibohongi. Karena itu, sudah seharusnya seluruh capres­cawapres, elite politik serta para pendukungnya tetap berjalan di atas logika politik yang sehat. Menjaga agar pemilihan presiden nanti tetap berjalan lancar merupakan harapan kita bersama. Maka itu, penandatanganan “siap kalah siap menang” oleh masing­masing capres­cawapres harus dibuktikan dengan cara menjaga sportivitas. Mungkinkah Menindak Pencuri Start? (Jawa Pos, 11 September 2003) B ukan politik namanya jika tidak ada trik dan manuver­ manuver yang licin dan penuh muslihat. Kecurangan hampir dan pasti akan ada dalam politik. Maka janganlah heran, jauh sebelum jadwal resmi kampanye dilaksanakan, su­ dah banyak yang mengorupsi waktu berkampanye. Beragam dalih kita dengar, mulai sosialisasi calon presiden hingga ke­ giatan silaturrahmi dengan kader. Ironisnya, itu dilakukan sa­ ngat mencolok, sehingga terkesan terlalu rendah untuk dikata­ kan sebagai sosialisasi. Karena itu, KPU boleh saja menetapkan berlangsungnya pelaksanaan kampanye pemilu secara resmi tahun depan, tetapi hiruk­pikuk dan haru biru kampanye tetap tak berbendung. Bahkan, sebagian besar peserta pemilu telah melakukan kampanye walaupun dengan cara sembunyi dan samar. Di jalan­ jalan sudah banyak terpampang atribut­atribut partai. Padahal, 28 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A itu bertentangan dengan UU No. 23/2003 Bab VIII Pasal 71 ayat (3) mengenai jadwal kampanye dan pantas diberi ganjaran hukuman sebagaimana tertuang dalam Bab XV Pasal 137. Banyak hal yang melatari merebaknya pencurian start kam­ panye oleh sejumlah partai, terutama partai­partai besar. Seba­ gaimana pun, waktu tiga minggu yang telah ditentukan tetap akan dipandang belum cukup untuk bisa menarik perhatian masyarakat. Apalagi saat rival politik yang lain bermunculan dengan posisi siap tarung. Hal itu jelas berbeda jika upaya pe­ narikan simpatik rakyat dilakukan jauh sebelum yang telah ditentukan dengan rentang relatif lama. Tentu, bentuk pende­ katan dalam jenis ini lebih halus, samar, dan persuasif. Strategi pencurian start dengan pembalutan terselubung dalam berbagai macam kegiatan akan lebih menguntungkan partai, terutama yang kuat basis inansialnya. Kegiatan dikemas dalam simbol­simbol partai, pencurian start kampanye dengan melakukan kegiatan­kegiatan akbar yang bisa mengundang perhatian khalayak. Dengan begitu, wajar potensi besar pen­ curian start kampanye dimiliki partai­partai besar yang memiliki banyak uang, sehingga kegiatan­kegiatan yang mereka kemas sangat meriah dan diadakan di tempat­tempat mencolok. Selain itu, indikasi utama yang bisa kita jadikan faktor tin­ dakan pencurian start kampanye adalah tiadanya penjelasan konkret, deinitif, dan kategori mengenai apa yang dimaksud dengan kampanye. UU Pemilu No. 23/2003 tidak memberikan secara jelas deinisi kampanye. Ketiadaan penjelasan itu menjadi peluang tersendiri bagi partai untuk bebas menafsirkan kampanye sesuai kehendak. Pasal 27 hanya menyatakan, kampanye pemilu dilakukan melalui: pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik atau televisi, penyebaran ba­ han kampanye kepada umum, rapat umum, dan kegiatan lain MU N G K I N K A H MEN I N D A K P ENCURI START? 29 yang tidak melanggar peraturan perundangan. Pasat tersebut sesungguhnya bukan merupakan penjelasan bentuk yang dapat dikategorikan sebagai kampanye, sebagaimana yang dimaksud oleh Sofyan di harian ini (Jawa Pos,8/9), melainkan penjelasan terhadap bentuk sarana penyampaian yang dapat dilakukan dalam berkampanye. Partai akan persis seperti iklan/reklame­ reklame produk di media­media cetak maupun elektronik. Atas ketiadaan itu, Panwaslu tentu akan sulit menentukan apakah suatu tindakan yang dilakukan partai merupakan ben­ tuk pencurian start kampanye atau bukan. Sangat susah menga­ tegorikan apakah demonstrasi atau kegiatan­kegiatan yang membawa atribut partai politik masuk dalam bentuk pencurian kampanye atau tidak. Padahal, hal tersebut bisa saja dikatego­ rikan sebagai kampanye walaupun diformat secara terselubung. Sebab, kegiatan itu dijadikan alat propaganda untuk memopu­ lerkan partai. Di situlah kelemahan UU Pemilu. Otomatis, ekses lain yang dapat timbul oleh problem di atas adalah mekanisme penjatuhan sanksi terhadap pelanggar/pen­ curi start kampanye tidak bisa dijalankan pada Pasal 137 ter­ hadap pihak pelanggar jadwal kampanye dengan sekurang­ku­ rangnya 15 hari dan paling lama selama tiga bulan atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 1 juta. Sebab, para pelanggar kampanye tidak dapat diidentiikasi. Tambahan pula, hingga saat ini, KPU belum mengumumkan siapa saja partai­partai politik yang telah legal menjadi peserta pemilu. Bagaimana bisa menindak sementara status kepesertaan partai saja masih belum diumumkan dan ditentukan. Padahal, objek atruan dalam undang­undang pemilu atas pelanggar ke­ tentuan jadwal kampanye di atas adalah partai­partai yang di­ nyatakan sebagai peserta pemilu. Atas pertimbangan itulah, merumuskan ketegori deinitif kampanye secara jelas perlu dilakukan. Dengan begitu, partai­ 30 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A partai yang mencuri start kampanye bisa secepatnya ditindak secara tegas. UU Pemilu juga menjadi tidak terkesan setengah hati. Panwaslu pun bisa mengoptimalkan peranannya sebagai pengawas pemilu. Tanpa upaya ini, tidak mungkin bagi kita me­ nindak orang atau partai­partai yang melanggar jadwal kam­ panye pemilu yang sudah ditetapkan. Police of Democracy Party (Jawa Pos, 3 Juli 2003) R agu. Itulah kesan pertama yang saya tangkap dari tulisan Donald Banjarnahor berjudul “Awasilah Diri Sendiri Dulu”, pada rubrik ini kemarin (Jawa Pos, 1/7). Ada ke­ san ragu terhadap kinerja Panwaslu dalam memaksimalkan pe­ rannya sebagai pengawas pemilu yang jurdil. Atas keraguan itu, Donald memberikan solusi alternatif agar Panwaslu lebih fokus pada penguatan idealisme internal mereka. Tujuannya, lembaga tersebut bisa menjalankan tugas­ nya sesuai amanat yang diemban. Sekalipun begitu, ada bebe­ rapa hal yang luput dari pemikiran Saudara Ronald yang akan kita diskusikan bersama. Politik dengan poli­trik­nya tidak akan pernah menggu­ nakan strategi garis lurus (monolit) dalam berpolitik. Ia akan menggunakan trik apa pun demi ketercapaian politiknya. Bah­ kan, para Machiavellian menganggap bahwa bagaimanapun dan 32 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A apa pun bentuk penyimpangan manuver politik dalam kaca mata moral, pada ranah politik ia tetap dikatakan sebagai yang etis. Dalam langgam gerak politik yang demikian itulah, keada­ an panitia pengawas pemilu (Panwaslu) menjadi sangat dibu­ tuhkan sebagai keniscayaan untuk mengontrol kelancaran pesta demokrasi pada pemilu mendatang. Karena itu, secara moral, tugas Panwaslu lebih berat dibandingkan Komite Pemilihan Umum (KPU) yang banyak mengurus masalah teknis. Keber­ sihan pada seluruh tahapan pemilu dari kecurangan merupakan tanggung jawab penuh Panwaslu. Walau demikian, Panwaslu tidak hanya semata berpangku tangan, menunggu, dan mengkaji laporan peserta/pengawas pemilu mengenai adanya pelanggaran perundang­undangan pe­ milu. Pengawas ditantang untuk berperan aktif sebagai wasit yang siap meniup peluit jika terjadi kecurangan. Dengan demikian, menciptakan keadilan politik menjadi tugas utama Panwaslu. Tugas Panwaslu tersebut tentu harus dilakukan konsisten, tegas, dan penuh tanggug jawab. Tanpa komitmen ini, fungsi Panwaslu sebagai pengontrol dan pengawas tidak akan berja­ lan maksimal. Konsistensi itu dibutuhkan elan vital fungsi Panwaslu, yang tertutup kemungkinan akan menjadi fokus perhatian parpol untuk membayang­bayangi dengan money politics, seperti ketakutan Donald. Kecuali itu, Panwaslu (pusat) juga harus mampu melakukan konsolidasi dan komunikasi secara intensif dengan Panwaslu di provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Upaya konsolidasi dan komunikasi dari jajaran Panwaslu (pusat) ke bawah akan sangat mendukung kelancaran Panwaslu sendiri dalam meme­ rankan tugasnya. Namun permasalahannya, Panwaslu belum mengerti secara jelas terhadap job description dan wilayah wewenangannya. Setidaknya, ini terlihat dari pengakuan salah seorang anggota PoLI C E oF D EMoCRACy PARTy 33 yang tidak mengakui kejelasan fokus kerja Panwaslu itu sendiri (Jawa pos, 28/6). Sebab, garis kewenangan Panwaslu masih sangat umum (lihat jika ada perubahan bab dan pasal Bab XIV Pasal 122 (1) UU Pemilu, Wewenang Panwaslu). Karena itu, sangat beralasan jika Donald ragu terhadap efektivitas Panwaslu dalam mengontrol proses Pemilu 2004. Apalagi jika memperhatikan di antara lima undang­undang yang seharusnya menaungi proses pemilu mendatang, ternyata yang telah diputuskan pemerintah (Keppres) menjadi undang­ undang hanya UU Pemilu dan UU Parpol. Sementara itu, UU Mahkamah Konstitusi (MK), UU Pemilihan Presiden (Pilpres), serta UU Susunan dan Kedudukan (Susduk) belum terselesaikan hingga kini. Hal itu jelas sangat memengaruhi kinerja Panwaslu ke depan. Karena itu, sebelum mengutarakan fokus pengawasan Panwaslu, terlebih dahulu harus ada ikhtiar dan tindakan se­ rius dari Panwaslu sendiri untuk mengupayakan kejelasan garis wewenangnya. Tidak mungkin Panwaslu akan bisa men­ jalankan fungsinya secara penuh sebagai pengawas, tanpa me­ miliki pijakan dan landasan hukum yang jelas. Jika ini tidak diantisipasi sejak dini, upaya Panwaslu untuk menindak tegas parpol yang curang akan mudah dimentahkan. KPU juga berke­ wajiban mempertegas daerah wewenang Panwaslu yang berada di bawah tanggung jawabnya. titik Fokus Sesungguhnya, tugas Panwaslu di atas tidaklah gampang dilak­ sanakan. Dengan demikian, selain melakukan pengupayaan penguatan idealisme internal Panwaslu agar tidak mudah terampas badai politik kotor (money politics) sebagaimana ga­ gasan Donald, seyogianya juga Panwaslu mengupayakan peng­ awasannya hanya pada beberapa titik strategis. 34 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A Pertama, saat pencoblosan dan penghitungan suara, karena kecurangan banyak terjadi di sana. Selain itu, upaya tersebut untuk menghindari terjadinya pemungutan dan penghitungan suara ulang, yang lebih besar lagi. Kedua, menekan dan menindak tegas parpol yang terbukti melakukan politik uang hingga titik minimum. Pada wilayah ini, semoga Panwaslu bisa mengikuti suara nuraninya dalam menumpas budaya politik kotor (baca: money politics) itu dan tidak tergoda olehnya. Jika tidak, berarti Panwaslu meng­ alami lonceng kematian nurani dan demokrasi (demise of democracy). Sebagai polisi pada pesta demokrasi, menjadi sangat hina dinalah jika Panwaslu kemudian bisu dalam mengungkap segala kecurangan pada pemilu nanti. Apalagi jika terlibat di dalam­ nya. Namun, benar dan tidaknya keraguan itu akan dijawab oleh kinerja Panwaslu pada Pemilu 2004. Tak Berdaya Kok Pakai Uang? (Jawa Pos, 14 Juni 2003) P emilu 2004 bakal menjadi ajang paling panas dalam sejarah pemilu di Indonesia. Performansi pemilu dengan mekanisme pemilihan presiden secara langsung oleh rak­ yat bukan disebabkan hal itu baru kali pertama dilakukan dalam sejarah Indonesia. Tapi, mekanisme tersebut sangat aspiratif dan demokratis. Walau begitu, ia sangat rentan terjangkit oleh trik/manuver politik yang tidak sehat seperti money politics. Jika pada Pemilu 1999 praktik money politics begitu mewa­ bah, pada Pemilu 2004, yang direbut tidak semata kursi legis­ latif, melainkan juga kursi eksekutif. Dengan demikian, kom­ petisi pemilu mendatang akan sangat panas dan rawan terjadi kecurangan. Pada dasarnya, money politics merupakan indikasi dari ke­ tidakberdayaan parpol untuk bersaing secara fair dengan parpol lain dalam berpolitik. Ironisnya, money politics sering dilakukan 36 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A oleh parpol besar yang memiliki basis massa cukup banyak. Hal itu berarti praktik money politics tidak hanya disebabkan oleh ketidakberdayaan dan kurangnya self conidence parpol. Tapi, money politics juga dilakukan karena adanya semacam pe­ nyakit paranoid yang menghinggapi parpol­parpol itu sendiri. Mereka takut ditinggalkan massanya, lebih­lebih jika agenda kebangsaan dan kerakyatan belum/tidak terselesaikan pada saat mereka berkuasa. Dari aspek apa pun, baik politik, budaya, maupun hukum, money politics merupakan tindakan yang tidak akan pernah wajar. Sebab, ia cacat moral. Hanya mereka yang berduit ba­ nyaklah yang akan memenangkan kompetisi semacam itu. Sehingga, parpol­parpol miskin akan tetap abadi dalam keke­ cilan serta kelemahannya. Selain itu, money politics menem­ patkan manusia lebih rendah daripada materi. Nilai esensial dan eksistensial manusia untuk bersuara dan memilih sesuai nuraninya secara bebas ditukar dengan uang atau materi. Sesungguhnya, orang yang menerima money politics sama rendahnya dengan orang yang memberi. Si pemberi memper­ budak dirinya terhadap uang dan kekuasaan. Sebaliknya, sang penerima lebih rela menjual nilai esensi dan eksistensinya demi seonggok materi daripada harus memperjuangkan eksistensi dirinya sebagai manusia yang bernurani. Politik uang tumbuh subur dalam dunia politik karena ia dipandang cukup/sangat efektif untuk memengaruhi masya­ rakat, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Karena itu, salah satu sasaran utama dalam strategi money politics adalah kalangan bawah yang berekonomi lemah. Pada masa rezim Orde Baru, money politics juga banyak mengincar kantong­kantong yang memiliki kekuatan strategis. Misalnya, media massa, institusi keagamaan, fungsionaris aga­ ma, atau elemen­elemen gerakan ekstraparlementer/organisasi TA K B ER D A y A K o K PAKAI UANG? 37 kepemudaan (OKP). Sehingga, pada saat itulah masing­masing idealisme mereka, baik mahasiswa, jurnalis, maupun para ula­ ma, dipertaruhkan. Mereka harus mengambil satu di antara dua pilihan. Yakni, setia pada ibu pertiwi dan nurani atau memper­ budak materi. Perilaku politik uang merupakan fenomena yang menggam­ barkan bahwa kekuasaan bagi para politikus negeri ini tidak di­ pandang sebagai amanat/titipan rakyat. Tapi, hal itu dipandang sebagai kapital yang bisa menguntungkan kantong­kantong go­ longan/pribadi. Budaya tersebut menumbuhsuburkan praktik money politics dan KKN di negeri ini. Sebab, yang digunakan untuk mencari dukungan akan didapatkan kembali setelah memperoleh kekuasaan. Karena itu, sesungguhnya, money politics lebih menakutkan daripada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. gerakan Preventif Untuk mencegah terjadinya atau merebaknya perilaku politik uang, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, op­ timalisasi fungsi panitia pengawas pemilihan umum (Panwaslu) sebagai badan pengontrol kelancaran proses pemilihan umum secara demokratis, adil, dan bijaksana. Panwaslu harus berani menindas tegas terhadap partai­partai politik yang terbukti melakukan money politics. Sebab, dilihat dari sudut pandang mana pun, money politics itu cacat moral, hukum, budaya, dan politik. Kedua, untuk mencegah kebisuan dalam mengungkap kecu­ rangan berpolitik dan mencegah kemungkinan mewabahnya money politics di tingkat Panwaslu, elemen ekstraparlementer, terutama gerakan­gerakan mahasiswa, dipandang perlu (bah­ kan harus) membentuk panitia khusus untuk memantau proses yang independen. 38 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A Ketiga, dibutuhkan partisipasi aktif seluruh elemen masya­ rakat seperti institusi keagamaan, agamawan, dan media massa. Sebab, dalam sejarah perpolitikan, tiga elemen itulah yang se­ ring menjadi sasaran utama money politics. Hal itu didorong oleh efektivitas ketiga elemen tersebut dalam menciptakan citra baik dan buruk di hadapan masyarakat. Keempat, melakukan strategi gerakan bawah tanah dengan menggunakan gerakan penyadaran dan pendidikan berpolitik kepada masyarakat bawah agar mereka tidak terjebak bayang­ bayang gairah politik uang. Apa pun upaya kita untuk mencegah praktik money politics, hal itu tidak akan pernah berhasil jika dikembalikan kepada masing­masing nurani si pelaku dan si penerima. Hanya kekuat­ an bahasa nuranilah yang bisa meluluhkan praktik tersebut. Kontrak Politik Bukan Segalanya (Jawa Pos, 7 September 2004) T ulisan Ikhsan Putra Kurniawan di harian ini kemarin yang bertajuk “Kontrak Politik Wajib Hukumnya” menggelitik penulis untuk turut menyumbangkan gagasan. Ikhsan menggambarkan sedikit keironisan kontrak politik dengan dewan yang hanya terhenti pada kontrak di atas meja, namun nyatanya di lapangan dewan tetap saja mengelabui rakyat dan mengkhianati kontrak itu. Sayangnya, Ikhsan tidak mengulas lebih jauh mengapa hal tersebut terjadi, padahal bagi Ikhsan kontrak politik wajib hukumnya. Poin itulah yang akan didiskusikan penulis pada ke­ sempatan ini. Watak dasar yang dimunculkan dalam diri para pemegang kekuasaan (baca: jabatan birokrasi­struktural) adalah selalu menyandarkan diri pada gerak arogansi, tanpa kontrol, dan sewenang­wenang. Apalagi, jika kerja kontrol hukum tidak kuat dan mudah dimanipulasi, hal itu semakin membuat geliat pe­ 40 HA R U B I R U DEMoK R A SI I N D oN ESI A megang kekuasaan tersebut semakin liar dan sa-enak’e dewe. Di sinilah kontrak politik antara para pemegang kekuasaan dengan masyarakat di luar struktur (baca: civil society/OKP/ ornop) penting dilakukan. Ada beberapa alasan yang melandasi hal tersebut. Pertama, kontrak politik menjadi penting sebagai langkah untuk meng­ imbangi kelemahan sektor hukum dalam menindak para dewan yang bermasalah. Sistem kontrol di luar struktur itu pun oto­ matis akan menjadi kontrol atas hukum yang tidak tegak secara utuh di negeri ini. Kedua, kontrak politik sebagai alat legitimasi agar rakyat lebih leluasa menagih janji­janji yang pernah dilontarkan (de­ wan). Dengan demikian, rakyat pun secara hukum menjadi le­ gal untuk menuntut ketika janji mereka tidak dipenuhi. Ketiga, kontrak politik sebagai bentuk penegasan dan upaya penyadaran bahwa dewan adalah kurir/babu rakyat, bukan sebaliknya. Karena itulah, momen pelantikan yang diambil beberapa gerakan ekstraparlementer untuk meminta DPR melakukan kontrak politik merupakan langkah yang bagus untuk meng­ awali proses kerja anggota dewan baru untuk lima tahun ke depan. Pengambilan kontrak politik pada momen itu sangat berbeda dengan pengambilan kontrak politik pada saat sebelum pencoblosan. Bisa saja, kontrak politik sebelum kampanye dilakukan ka­ rena untuk menarik simpati dan empati rakyat guna mendong­ krak perolehan suara pada saat pemilihan. Sekalipun demikian, hal yang perlu dipertegas kembali adalah jika kekuasaan itu cen­ derung liar dan lepas kontrol, mekanisme kontrak pun bukanlah segalanya, untuk menjamin para dewan akan menjalani begitu saja kontrak yang telah terjalin itu. Alih­alih akan menjalankan kontrak politik yang telah disepakati, Pancasila dan UUD 1945— yang merupakan hukum tertinggi di negeri ini dan menjadi K oN TR A K PoLI TI K B U KAN SEGALANyA 41 kontrak antara negara dengan seluruh rakyat Indonesia—justru berani dilanggar. Apalagi, kontrak politik yang hanya dilakukan dengan segelintir kelompok rakyat sadar (OKP/ornop). Kesalahan terbesar kontrak politik yang digagas para aktivis gerakan adalah sering menganggap kontrak politik sebagai akhir dari perjuangan. Kita sering puas dan merasa menang ketika dewan bersedia kita paksa menandatangani draf kontrak politik yang kita ajukan. Padahal, yang terpenting dari kontrak politik bukan tanda tangan di kertas perjanjian bermaterai itu, melain­ kan pada proses monitoring dan upaya pressure yang intensif dari aktivis gerakan terhadap anggota dewan untuk menjalan­ kan kontrak yang telah ditandatangani itu. Jangan bermimpi tuntutan kontrak politik menjadi nyata jika tidak ada gerakan pascakontrak politik. Itulah jawaban atas keresahan Ikhsan mengapa kontrak politik tidak pernah di­ realisasikan dewan. Jika mau jujur, kelemahan gerakan maha­ siswa pasca­1998 adalah karena tiadanya proses pengawalan dan kontinuitas monitoring yang intensif dari gerakan­gerakan ekstraparlementer terhadap kontrak politik yang sudah digagas. Walhasil, reformasi tanpa memedulikan keberhasilan sektor lain justru menggiring lembaga legislatif membangun tirani baru (baca: oligarki partai), sehingga mereka lebih leluasa me­ rampas hak­hak rakyat. Sebab itu, menurut saya, gerakan ekstraparlementer harus lebih memfokuskan pada proses pemantauan terhadap kontrak politik yang sudah dilakukan, minimal untuk skala gerakan tiga tahun ke depan. Dengan begitu, gerakan pemuda ekstraparle­ menter tak lagi menyelesaikan masalah secara temporal dan sporadis, sehingga kesalahan­kesalahan yang lalu tidak terulang kembali. Bagaimanapun, perubahan tidak mungkin bisa datang dari demonstrasi semata, apalagi jika dilakukan hanya saat mo­ mentum tertentu. BAGIAN II PEMUDA ANTARA GERAKAN DAN PoLITIK Gerakan yang Tersadap (Ditulis pada 20 Mei 2009) P ada 21 Mei kurang lebih satu dasawarsa yang lalu, gegap gempita jutaan pemuda turun ke jalan menyambut satu fase baru kehidupan demokrasi di Indonesia. Yakni, ta­ tanan yang diharapkan tidak hanya memberikan kebebasan, tetapi juga kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Orde people power. Fase itu dibayar dengan nyawa, darah, dan perjuangan pemikiran kelas muda terdidik dengan menyuarakan reformasi untuk berdiri tegak menumbangkan era terkatup, otoriter, dan hegemonik. Babak baru tersebut kini tengah berlangsung. Berbagai per­ ubahan mendasar telah terjadi. Kebebasan bersuara tidak lagi terbungkam. Civil society tidak lagi berada dalam genggaman kuat negara, melainkan menemukan tempat yang disebut oleh Jurgen Habermas (1962) sebagai public sphere. Kehidupan de­ mokrasi mulai menjalar ke segala aspek ruang sosial­politik, dari organisasi di tingkat RT hingga ruang kultural lainnya. 46 P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K Dalam kecenderungan demikian, menutup public sphere berarti melawan arus mainstream yang pada akhirnya akan mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Karenanya, kebebas­ an berpendapat bukan hasil jerih payah pemerintah atau rezim penguasa pasca­Orde Baru, melainkan hasil keinginan publik untuk menciptakan public sphere di mana jika penguasa menen­ tangnya akan bernasib tragis seperti Soeharto. Maka, mau tidak mau, negara/penguasa “terpaksa” untuk menjaga public sphere tetap terbuka. Dus, reformasi harus diakui telah membuka ruang kebe­ basan berpendapat dan nalar kritis. Banyak yang mencibir jika reformasi telah gagal dalam menghantarkan perubahan karena nyawa dan jerih perjuangan para mahasiswa yang mendesak reformasi telah dibajak oleh kelas elite politik. Tapi, nada itu bukan lantas menjadi dalih romantisme untuk kembali ke masa lampau. Pada level tertentu, reformasi telah berhasil membuka ruang kebebasan di mana negara tidak ditempatkan sebagai aktor tunggal pemasok kebenaran. Runtuhnya poros kekuasaan tunggal dan otoriter negara, gerak elemen­elemen civil society mengalami perubahan konigurasi dan orientasi. Perubahan ketatanegaraan dan wajah ne­ gara (baca: Pemilu/Pilkada) buah hasil perjuangannya gagal diantisipasi. Kelompok­kelompok sosial tersebut yang mulanya menjadi “penyambung lidah” masyarakat bergerak menjadi ba­ gian dari kelompok yang menopang dan menjadi elite yang di­ kontrol secara halus oleh buaian politik dan kekuasaan. Civil society justru tercerabut dari society­nya sendiri seperti gerakan mahasiswa terlepas dari citra agen sosialnya. Akhirnya, reformasi yang didorong berubah menjadi ma­ ta badik yang membunuh. Para aktor dan elite tinggi di dalam civil society seperti organisasi mahasiswa, buruh, tani, dan berbagai elemen lainnya mulai mendistribusikan diri bukan G ER A K A N yANG TERSADAP 47 sebagai penyeimbang kekuatan penguasa, tetapi beralih orien­ tasi untuk menjadi bagian dari perebutan kekuasaan. Hal nyata yang tampak adalah banyak dari mereka yang terlibat secara langsung dalam suksesi­suksesi politik, baik di tingkat lokal hingga nasional, ending goal­nya bukan didasarkan oleh nilai. Demonstrasi terjebak ke dalam logika proyek yang hanya dige­ rakkan oleh seonggok kapital/uang/kekuasaan. Gerakan pun tersadap, senyap dan lenyap. Laju demokrasi yang terus menanjak yang meletakkan sua­ ra rakyat sebagai penentu (vox populi vox die) seharusnya men­ jadi sarana untuk menggelontorkan penguatan peran politik masyarakat bawah. Sayangnya, alih­alih bergerak demikian, justru peran social agent tersebut tereduksi oleh gerakan yang berorientasi kekuasaan. Menyuarakan isu tertentu hanya untuk menguntungkan kepen­ tingan politik elite yang mereka dukung. Inilah mata badik yang mematikan gerakan civil society, tapi alpa diantisipasi. Kegalauan di atas kemudian diperparah oleh ketidakberlanjutan gagasan dan ketidakberlangsungan ide/nilai yang dijadikan pe­ gangan. Selama satu dasawarsa reformasi berembus, estafet ga­ gasan terputus dari satu generasi ke generasi lainnya. Gagasan menyeluruh tentang konsep, arah, dan langkah antisipasi struk­ tur sosial, budaya, dan implikasi politik setelah reformasi yang belum tuntas itu pun hilang sebelum berkembang. merebut momentum Karena itu, tahun 2009 ini harus dijadikan momentum bagi se­ luruh elemen civil society untuk merekonsolidasi diri menyusun langkah ke depan dalam menjawab perubahan konigurasi politik nasional. Sistem demokrasi yang memberikan ruang keter­ bukaan bagi rakyat untuk menentukan pilihan mereka sendiri sesungguhnya menjadi momentum untuk lebih mempertegas 48 P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K diri sebagai elemen “penyambung lidah” masyarakat. Orientasi kekuasaan, yang seolah memerankan diri laiknya partai politik, harus dikikis jika nilai etis tidak dinihilkan. Krisis ekonomi global terhebat pascakrisis 1930­an saat ini yang melanda dunia akibat sistem laissez faire kapitalisme ke depan akan menentukan formasi ekonomi dan politik dunia mendatang. Dan Indonesia akan termasuk di dalamnya. Tentu, dalam kondisi itu, pihak­pihak internasional pun memiliki ke­ pentingan besar terhadap potensi ekonomi­politik Indonesia. Dalam momentum di tahun 2009 ini, Indonesia berada dalam kubangan pertarungan beragam kepentingan; kepentingan indi­ vidu lokal, nasional, hingga elite/negara internasional. Karena itu, kejadian­kejadian politik pada tahun ini tidak hanya akan membawa Indonesia lima tahun ke depan, mungkin juga akan menjadi awal formasi Indonesia puluhan tahun men­ datang. Persis seperti saat Soekarno digulingkan Orde Baru sebagai awal dari tertancapnya developmentalisme ala Talcott Parson selama tiga dasawarsa di Indonesia. Pertanyaannya, peran dan gerakan seperti apa yang akan diambil oleh mahasiswa, buruh, tani, dan elemen­elemen civil society lainnya dalam momentum Pemilu 2009 ini? Mungkin­ kah akan semakin terjerembab dalam tikaman badik politik hasil reformasi tanpa antisipasi yang pernah digaunginya? Entahlah. Melacurkan Idealisme Mahasiswa? (Jawa Pos, 9 Januari 2004) olitik selalu berada di atas jalan yang bersifat luktuatif, tidak dapat diprediksikan secara matematis. Lawan bebu­ yutan bisa menjadi kawan. Sebaliknya, kawan sejati bisa menjadi lawan yang menakutkan. Semua itu bisa berbaur sepan­ jang masing­masing kepentingan terpenuhi. Golkar pun yang dahulu dihujat kini seolah telah dianggap sebagai tempat teduh dalam berpolitik. Tidak tertutup kemungkinan jika Orde Baru dan Soeharto kelak akan menjadi pujaan seperti Soekarno yang dahulu dihujat sebagai agen PKI, tetapi kini berubah bak dewa. Karena itu, keberadaan sejumlah aktivis mahasiswa yang dahulu menghujat dan menuntut pemerintah membubarkan Golkar, justru kini menjadi calegnya, bukanlah fenomena yang luar biasa dalam kancah politik. Sekalipun begitu, kehadiran ak ti vis Front Aksi untuk Demokrasi (Famred) Bernard Hamombong Halomoa, aktivis Forum Kota (Forkot) M. Luti P 50 P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K Iskandar, dan mantan Ketua Umum PMII Nusron Wahid seba­ gai caleg jadi Golkar tetap saja menggemparkan dan menimbul­ kan tanda tanya. Karena, pertama, bukankah pada 1999 yang kemudian kembali hangat pada 2001, aktivis yang meletakkan diri sebagai caleg Golkar di atas adalah yang paling keras menuntut dibu­ barkannya Partai Golkar? Forkot dan Famred, misalnya, ada­ lah elemen yang paling getol melancarkan kecaman terhadap Golkar. Sangat dipahami jika kemudian para aktivis Forkot yang lain, sebagaimana diberitakan harian lokal terbitan Yogyakarta beberapa hari lalu (31/12/2003), malah menuduh keterlibatan (kader) mereka di Golkar sebagai pengkhianat re­ formasi. Langkah yang diambil ibarat menjilat ludah sendiri, dahulu menghujat agar dijauhi, tetapi sekarang bukan hanya dekat, melainkan telah dipanjat. Kedua, mengapa harus menjadi caleg Golkar? Apakah Par­ tai Golkar yang paling representatif dan kapabel di antara 24 parpol yang ada? Golkar pernah menguasai sistem pemerintah­ an selama 32 tahun. Dosa besar Golkar kepada negara ini masih belum dapat dilenyapkan dan dimaafkan. Rasanya, sangat mus­ tahil sifat yang telah melekat 32 tahun itu dapat dihilangkan dalam jangka lima tahun. Karena itu, sulit diterima akal jika bergabungnya beberapa aktivis mahasiswa ke Golkar hanya dengan dalih Golkar saat ini berbeda dengan Golkar dahulu. Alih­alih berbeda, Akbar Tandjung saja mengklaim bahwa Partai Golkar yang sekarang memiliki keterkaitan dengan Golkar yang dulu. Metamorfosis kebaikan Golkar selama lima tahun masih perlu diuji dan belum cukup untuk dijadikan sebagai pilihan. Berkuasa 32 tahun tentu saja memberikan pengalaman yang ba­ nyak dalam melakukan manuver­manuver politik yang cantik. Bisa saja taktik kemurahan hati Golkar untuk memberikan MELA C U R K A N I D EA LI SME MAHASISWA? 51 ruang kepada aktivis yang dahulu kritis kepada mereka punya maksud licin di dalamnya. Perekrutan Partai Golkar terhadap sejumlah aktivis kritis mengingatkan kita kepada apa yang dilakukan Soeharto (maskot dan dedengkot Golkar saat itu). Strategi Soeharto meredam ke­ kritisan dan kevokalan mahasiswa terhadap pemerintahannya adalah dengan merangkul mereka untuk duduk dalam sistem dan struktur yang telah dikendalikannya. Pada saat itu, aktivis kritis sering menjadi bisu setelah di­ hadapkan dengan gelimang harta dan kekuasaan. Kelantangan suara perlawanan mereka di jalanan terhadap pemerintah ter­ makan arus kekuasaan. Mau tidak mau, idealisme pun dilacur­ kan kepada seonggok materi. Dapat diprediksikan, pilihan menjadi caleg Golkar dengan apa pun idealisme yang dibangun akan mudah dimentahkan oleh sistem domino yang berlaku di tubuh Partai Golkar, persis yang dialami Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang kemudian me­ mutuskan mengundurkan diri dari konvensi capres. Sebab itu, tujuan keterlibatan aktivis mahasiswa tanpa ter­ kecuali bergabung menjadi caleg Golkar untuk membenahi dan melakukan perubahan di dalamnya—untuk tidak mengatakan hal utopis—tidak akan dapat membuahkan hasil signiikan. Alih-alih membuahkan hasil signiikan, tidak terempas dan larut mengikuti arus saja sudah merupakan keberhasilan yang patut diacungi jempol. Ada beberapa citra yang akan timbul dalam fenomena no­ ngolnya beberapa aktivis mahasiswa sebagai caleg Golkar. Tentu Partai Golkar diuntungkan, yakni akan berkembang citra dalam masyarakat bahwa Golkar telah berubah dan berbeda dengan Golkar lima atau enam tahun yang lalu. Buktinya, mahasiswa yang dahulu menghujat dan mencer­ ca Golkar kini malah menjadi calegnya. Hal ini semakin me­ 52 P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K numbuhkan kerinduan rakyat awam akan tampilnya Golkar dan sistem Orde Baru­nya sebagai kampiun di negeri ini. Sebalik­ nya, gerakan mahasiswa tercoreng. Idealisme yang diagung­ agungkan di lapangan ternyata ciut ketika berhadapan dengan harta dan kekuasaan. Pemuda Indonesia, Bangkitlah! (Suara Karya, 31 oktober 2008) D alam sejarah, pemuda memainkan peranan penting dalam menopang kemajuan bangsa. Beberapa tokoh muncul menjadi pemimpin di kala mereka berusia muda, sebut saja Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka. Ji­ wa muda yang terdidik menjadi modal signiikan dalam menjemput perubahan. Dari tahun 1908 hingga kemerdekaan 1945, dari Malari 14 Januari 1974 hingga Reformasi 1998, kolaborasi darah muda nan terdidik menjadi kekuatan yang mampu me­ runtuhkan tirani koloni. Lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah bukti sejarah betapa pemuda menjadi inspirator pemersatu. Seluruh unsur pemuda berkumpul dalam satu tujuan seperti Trikoro Darmo atau Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun, dan beberapa kelompok 54 P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K pemuda lainnya. Ikrar tersebut menginspirasi uniikasi kebangsaan. Dengan spirit membangun persatuan, mereka mampu me­ matahkan tuduhan Hendrikus Colijn saat itu yang menganggap gagasan kesatuan Indonesia sebagai gagasan utopis. Sejarah se­ nantiasa memihak kaum muda. Di banyak bangsa, perubahan dikendalikan kelompok muda. Sebab, kaum muda diyakini me­ miliki gagasan­gagasan yang cemerlang, brilian, dan inovatif dalam menyusun perubahan sehingga lebih cepat menangkap semangat zaman. Pemuda hingga kini masih menjadi jantung pembaruan na­ sional. Kiprah dan sumbangsih kaum muda dalam segala sektor diharapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam mem­ besarkan bangsa yang sampai saat ini berada dalam krisis mul­ tidimensi. Semangat perubahan pemuda harus tetap berjalan dan tertanam. Sebab, dalam kondisi apa pun, posisi pemuda berpotensi menjadi penyeimbang sistem atau semacam kontrol bagi ruang sosial di sekelilingnya. Inilah peran yang selalu di­ nantikan anak zamannya. Selalu ada kesenjangan antara das sein dan das sollen. Ren­ tangan tidak selamanya berjalan dalam garis yang linier. Begitu juga dengan gerak pemuda Indonesia, senantiasa berada dalam gerakan yang luktuatif. Terkadang berada dalam garis yang progresif dan menanjak, tetapi juga tidak jarang mengalami masa­masa kritis. Jika kondisi pemuda sudah mengalami kondisi kritis, ini menandakan tantangan makin besar. Ada sistem yang tidak berjalan yang cenderung memperlemah peran dan kekuatan pemuda sebagai agent of social change. Kini, eksistensi pemuda sebagai pembaru dan penerus gene­ rasi untuk masa mendatang kian lumpuh dan rapuh. Pandangan tersebut ditopang oleh kenyataan bahwa pemuda dominan ter­ jerembab dalam perilaku yang tidak lagi produktif. Mereka PEMU D A I N D oN ESI A, BANGKITLAH! 55 cenderung konsumtif dalam segala hal. Serangan budaya pop (pop culture) yang menerjang gaya hidup pemuda menjelma menjadi fakta sosial yang mengimpit dan menekan perilaku kaum muda bangsa dewasa ini. Misalnya, penyalahgunaan nar­ koba dan perilaku seks bebas yang terus meningkat. Wacana nasionalisme tidak lagi menjadi wacana praksis yang populer di kalangan muda. Mereka larut dalam kebang­ gaan budaya luar dan dunia pop yang mengikis semangat na­ sionalisme. Nilai­nilai tradisi yang menjadi kebanggaan dan inspirasi pemersatu pemuda tahun 1928 terkikis. Kepedulian terhadap kondisi bangsa dan negara tidak lagi mewarnai peri­ laku pemuda. Akhirnya, semangat Jong Java, Jong Celebes, dan Jong Sumatranen Bond nyaris hilang dari perilaku generasi mu­ da Indonesia dewasa ini. Memang, ada kelompok­kelompok kecil (small groups) pemuda yang masih bergeliat menyongsong perubahan demi perubahan di Indonesia. Kelompok ini tidak hanya minoritas di kalangan muda secara umum, tetapi juga tereksklusi di tengah lingkungan mereka sendiri (universitas/kampus). Secara do­ minan, hanya segelintir pemuda yang terlibat aktif di dalam organisasi­organisasi kepemudaan. Sisanya adalah kalangan terdidik yang apatis terhadap realitas sosial. Kendati demikian, bukan berarti krisis tidak melanda pe­ muda terdidik minor tersebut. Organisasi­organisasi kepemu­ daan mengalami disorientasi gerakan dan miskin imajinasi perubahan; gamang merespons dan tidak mampu mengawal Reformasi 1998. Karena itu, krisis yang menimpa pemuda sudah merasuk ke seluruh lini sosial yang melumpuhkan pe­ ran strategis pemuda untuk membangun kemajuan bangsa Indonesia. Wacana menghimpun kembali kekuatan pemuda yang tidak hanya berserak perlu dilakukan. Peran sosial pemuda harus 56 P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K dikembalikan. Jika tidak, martabat, moral, dan keberlangsungan bangsa Indonesia akan dipertaruhkan pada masa yang akan datang. Tantangan pada masa depan bagi bangsa Indonesia jauh lebih besar daripada satu abad yang lalu. Kondisi ekonomi yang terus mengimpit di Indonesia, pada masa yang akan datang, akan menjadi ledakan besar yang dapat mengancam keutuhan negara Indonesia jika tidak diantisipasi dengan menelurkan pemuda­pemuda yang berkualitas sebagai pemimpin masa depan. Krisis ekonomi global saat ini mungkin akan menjadi titik balik formasi ekonomi baru di dunia pada masa yang akan da­ tang, sebagaimana krisis global pada 1930­an yang menimpa belahan Eropa. Lantas, jika kaum muda Indonesia masih dihiasi oleh perilaku yang tidak lagi produktif dan apatis akan kondisi bangsanya, Indonesia tidak hanya akan dipandang sebelah mata, tetapi juga akan digilas oleh kekuatan­kekuatan bangsa di luar dirinya. Terdepak Primordialisme (Jawa Pos, 6 September 2006) M embicarakan gerakan kaum muda Islam di Tanah Air, tidak salah jika penulis mengawali dengan per­ nyataan Martin van Bruinessen ketika melihat per­ ubahan pola gerakan pemuda Islam Indonesia. Dalam pengantar bukunya, Rakyat Kecil, Islam dan Politik (1998), Bruinessen mengomentari kaum muda Islam di Indonesia pada akhir 1980­an yang begitu gandrung pada pe­ mikiran­pemikiran Islam pembebasannya Ali Syari’ati, Farid Esack, Khomeini. Tidak hanya di kampus­kampus Islam, komunitas­komuni­ tas mahasiswa Islam di fakultas dan kampus umum pun mem­ perbincangkan wacana teologi pembebasan. Teologi pembebas­ an menjadi materi­materi training. Seting sosial­politik yang saat itu berada dalam cengkeram­ an rezim diktator Soeharto turut andil memengaruhi wacana 58 P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K teologi Islam yang dikembangkan kaum muda saat itu. Tetapi, corak teologi yang dicobakembangkan sebagai spirit perlawan­ an terhadap rezim tersebut perlahan mulai bergeser secara sig­ niikan pasca-Reformasi. Pada fase ini, gerakan Islam, khususnya yang terpresentasi dalam organisasi­organisasi pemudanya, mulai gamang dalam menatap perubahan Indonesia ke depan. Di tengah kebimbang­ an itu, tiba­tiba perjuangan formal mulai menguat. Organisasi­organisasi pemuda Islam hanya bersuara lan­ tang ketika lafal Allah dibakar atau Nabi Muhammad dihina me­ lalui karikatur. Tetapi, mereka bungkam saat hak rakyat Papua dirampas oleh PT Freeport Indonesia atau diam saat para ko­ ruptor lepas bebas. Pengecaman agresi Israel ke Palestina dan Lebanon hanya dilandasi solidaritas agama an sich. Padahal, saat ketidakadilan terjadi, saat itulah ajaran Tuhan diinjak dan sabda para nabi dihina. Islam harus dipahami se­ bagai sebuah ajaran yang menentang kebiadaban manusia atas manusia lain, tidak disempitkan menjadi identitas yang justru akan mengaburkan kebenaran hakikinya. Bukankah Tuhan memberikan teladan melalui sabda utusan­Nya untuk selalu meneriakkan kebenaran tanpa pandang agama, ras, kulit, dan suku? Berbuat adil tanpa pandang agama, ras, kulit, dan suku? Berbuat adil tanpa pandang identitasnya (QS Al­ Mâ’idah [5]: 8 & Al­ An‘âm [6]: 152). Pada sisi lain, selain semakin kuatnya semangat Islam for­ mal dalam spirit perjuangan OKP Islam di Indonesia dewasa ini, perlu dicermati atas ketidakmampuannya mengambil jarak dengan kekuasaan/politik praksis. Gesekan itu sudah terjadi pada fase awal rezim pemba­ ngunanisme Soeharto dilakukan. Harus diakui, sadar atau ti­ dak, selain OKP Islam lain, yang paling mencolok menopang re­ zim Soeharto saat itu (bahkan hingga Reformasi) adalah HMI. TER D EPA K PRIMoRDIALISME 59 Cengkeraman Orba dan pengaruh alumni­alumninya tidak mampu dibendung sekalipun teks normatif organisasinya me­ negaskan independensi. Konsekuensi objektif yang kemudian timbul adalah ter­ pangkasnya spirit kritisisme pemuda terhadap negara. Kooptasi kekuasaan (negara) turut menopang perpecahan internal yang tidak dapat dielakkan. Organisasi pun kemudian dijadikan batu loncatan/investasi politik di kemudian hari. Penetrasi politik praksis itu tidak hanya menggumpal men­ jadi benalu yang memecah­belah intra dan antar­OKP Islam, tetapi juga menjadikannya semakin jauh dengan isu­isu kerak­ yatan. Demonstrasi hanya marak menjelang pesta demokrasi (pemilu), tetapi sepi saat tanah para petani dirampas dan keka­ yaan negeri ini dirampas oleh perusahaan­perusahaan asing. Karena itu, sudah seharusnya problem­problem tersebut se­ cepatnya dijawab oleh kaum muda Islam Indonesia. Keniscayaan itu semakin kuat seiring dengan tantangan kebangsaan yang muncul, seperti kapitalisme global yang mengukuhkan negara maju mengeksploitasi/menjajah dunia ketiga (Indonesia), atau­ pun penyakit mental korupsi­birokrasi di negeri ini. kerakyatan-keindonesiaan Ada beberapa hal yang niscaya dilakukan. Pertama, meru­ muskan kembali corak dasar teologi sebagai spirit perjuangan. Bagaimanapun, OKP Islam memainkan peranan penting dalam setiap epos perubahan politik negeri ini dan turut mewarnai ge­ rakan pemuda Indonesia. Ajaran Islam yang memiliki peran sentral menggerakkan organisasi kepemudaan Islam menjadi alasan mengapa corak dan dasar teologi Islam harus dirumuskan kembali oleh setiap OKP Islam sehingga tidak lagi terjerembab kepada perjuangan formal (baca: primordialisme Islam), melainkan memperjuang­ 60 P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K kan nilai. OKP Islam harus keluar dari doktrin corak teologi yang jumud semacam ini. Dengan demikian, perjuangan OKP Islam diharapkan lebih objektif dan universal demi menegakkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh rakyat Indonesia. Kedua, mengambil jarak dengan kekuasaan. Sudah saatnya OKP Islam tidak lagi mengambil pola gerakan yang cenderung mendistribusikan para kadernya ke jalur politik. Memang, sa­ ngat disayangkan OKP­OKP Islam yang lahir pasca­Reformasi, dan semestinya menjadi harapan, pun terlalu dini bersentuhan dengan parpol tertentu sehingga mengundang penyakit sosial (baca: elitisme) dan menjadikannya kini kurang bergema. Tugas utama OKP Islam adalah menyatu, mendidik, dan berjuang bersama rakyat/umat. Itulah peran utama yang harus dijalankan organisasi pemuda/mahasiswa Islam. Jika kedua hal di atas mampu dilakukan, OKP Islam akan kembali bangkit dan negara Indonesia akan memperoleh kemerdekaan yang hakiki. Tanah, air, dan alam menjadi milik rakyat Indonesia se­ utuhnya. K EG A MA N G A N G ER A K H MI PASCANEGARA 61 Kegamangan Gerak HMI Pascanegara (Jawa Pos, 6 Februari 2013) E nam puluh enam tahun yang lalu (5 Februari 1947), seke­ lompok mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta mendirikan Himpunan Mahasiwa Islam (HMI), organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia. Dua mainstream besar latar berdirinya adalah mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjaga syiar Islam. Keislaman­keindonesiaan menggela­ yuti awal berdirinya HMI. Itulah awal perjalanan sejarah HMI yang di kemudian hari, sejujurnya, menopang pemerintahan Orde Baru. Pada generasi­generasi awal HMI, telah muncul pemikir­ pemikir yang menitikberatkan pada penguatan pemikiran keislaman­keindonesiaan. Pada saat itu, negara berupaya mem­ bangun identitas diri, HMI mengambil jarak dengan pemikiran formalisasi Islam sebagai kiblat negara Indonesia. Dalam hal 62 P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K ini, HMI tidak sependapat dengan pemikiran mendirikan Indonesia menjadi negara Islam. Dalam pertarungan ideologi global, pan­Islamisme, komunisme, dan nasionalisme, HMI mencoba berposisi moderat. Pada peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, HMI terlibat menyokong secara penuh Orde Baru. Pemikiran moderat HMI yang lebih mengedepankan Islam substantif da­ lam bernegara dan tidak sependapat dengan formulasi negara komunis menjadi titik temu pemikiran HMI dengan Orde Ba­ ru. Dengan pemikiran moderat HMI tersebut, Soeharto dengan Orde Baru­nya pun berkepentingan memberikan ruang kepada mereka untuk mewarnai pemerintahan yang sedang dibangun­ nya. HMI perlahan mulai mengakar ke elite pemerintahan. Fase negara Harus diakui, Orde Baru merupakan babak baru sejarah Indonesia yang sebelumnya gamang dalam membangun identitas negara di tengah pertarungan ideologi masa Perang Dingin. Pada masa itu, setting dunia sedang mengalami ketegangan tinggi yang berakhir dengan konlik militer seperti Blokade Berlin (19481949), Perang Korea (1950­1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin (1961), Krisis Rudal Kuba (1962),Perang Vietnam (1959­ 1975), Perang Yom Kippur (1973), dan lain­lain. Akhirnya, tren negara­negara Asia Tenggara dan dunia ke­ tiga saat itu menempatkan pemimpin­pemimpin dari militer dan ”bertangan besi” untuk mengendalikan negara (Tania Muray Li: 2012). Maka, formulasi saat itu, negara menjadi sen­ trum perubahan sosial dan politik yang berlangsung beberapa dasawarsa. Itulah fase negara pascakolonialisme setelah Indonesia merdeka. Pada era itu, ruang apa yang diambil HMI pada fase negara tersebut? Karena negara didesain dalam sistem sentralisme­totali­ K EG A MA N G A N G ER A K H MI PASCANEGARA 63 tarian, HMI kemudian menempatkan perjuangannya dengan menempel dan menyokong negara pada era Orde Baru. Ada dua grand design gerakan yang dilakukan HMI saat itu untuk me­ nyokong negara. Yakni, gerakan pemikiran dan gerakan politik. Gerakan pemikiran lebih berfokus pada aspek pembaruan pe­ mikiran keislaman dan di dunia politik mendistribusikan kader­ kadernya untuk menyokong pemerintahan Orde Baru. Formulasi negara sebagai sentrum dengan program develop­ mentalisme (pembangunan) meniscayakan harus adanya ke­ terbukaan pemikiran masyarakat Indonesia. Karena itu, Islam sebagai agama yang mayoritas dipeluk rakyat Indonesia harus berpikir terbuka dan maju agar orientasi pembangunan serta modernisasi berjalan baik. Karena itu, Nurcholish Madjid yang notabene saat itu menjadi anggota HMI mengeluarkan jargon ”Islam Yes Partai Islam No?” pada akhir 1960­an. Di HMI juga disusun nilai­nilai dasar perjuangan (NDP) oleh Nurcholish de­ ngan semangat pemikiran yang sama. Di langgam politik, HMI memainkan peran politik yang signiikan dalam menyokong negara. Pada perkembangan selanjutnya, gerakan politik itulah yang lebih dominan mewarnai gerakan HMI ke depan. Bahkan mampu menggerus kekuatan gerakan intelektualnya. Dan, Akbar Tandjung menjadi repre­ sentasi kader politik, sedangkan Nurcholish menjadi repre­ sentasi gerakan intelektual Islam HMI kala itu. Akbar ter­ pilih menjadi Ketua Umum PB HMI pada kongres ke­10 di Palembang pada 1971. Sementara itu, Nurcholish terpilih pada kongres ke­8 dan ke­9 pada 1966 dan 1969. Itulah masa­masa awal tonggak era negara. Connected Kids Kini, etape negara sudah berakhir. Sistem yang mulanya sen­ tralisasi berganti ke sistem desentralisasi. Abad pun berganti 64 P E M UD A A NTA R A G ER A K A N D A N PoLI TI K dari abad ke­20 kini memasuki abad ke­21. Negara yang awal­ nya pengatur secara totaliter tidak lagi berdiri tunggal. Negara bukan lagi satu­satunya komponen untuk melakukan perubahan sosial. Sistem politik yang sebelumnya terdesain pada demokrasi representatif sekarang bergeser menjadi demokrasi partisipatif (baca: pemilihan langsung). Di tengah perubahan itulah, HMI kini berdiri memasuki usia ke­66 tahun. Di tengah pergantian zaman dan sistem tersebut, tidak ada alasan lagi bagi HMI untuk tidak berubah dan menegok ulang sistemnya saat ini agar kompatibel dengan semangat perubahan zaman. Dalam pemikiran Islam, HMI harus mampu merespons perkembangan gerakan Islam yang cenderung terjebak pada identitas simbolis Islam. HMI pun harus tidak lagi memandang negara sebagai satu­satunya sentrum perubahan sosial­politik yang harus direbut. Saat ini, kader­kader baru HMI merupakan generasi connected kids alias anak­anak zaman yang saling terkoneksi karena kemajuan teknologi informasi. Jangan­jangan, badai po­ litik di internal HMI saat ini merupakan gerak efek dari belum terjadinya pembenahan di dalam organisasi HMI yang sesuai dengan era kekinian. Orde Baru yang tertutup, pada dasarnya, juga sudah tidak kompatibel dengan perkembangan zaman yang kian terbuka dan terkoneksi. Pertanyaannya, ke mana HMI akan melangkah pascanegara ini pada usianya yang ke­66 tahun? K EG A MA N G A N G ER A K H MI PASCANEGARA BAGIAN III PENDIDIKAN, KEKERASAN DAN KEKUASAAN 65 Memutus Sumbu Kekerasan (Suara Karya, 10 Februari 2011) “Kekerasan itu mudah menular, berjangkit bagai wabah penyakit.” —Sindhunata K ekerasan begitu akrab dengan praktik kehidupan ber­ bangsa kita. Seakan tidak ada bahasa ‘damai’ yang terselip. Mulai dari ranah domestik hingga ke ruang publik, kekerasan tidak pernah luput mewarnai kehidupan ber­ negara kita, entah itu di ruang budaya, agama, maupun politik. Kekerasan seakan sebuah laku yang inheren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang terus mengintai siapa pun untuk menjadi korbannya. Baru­baru ini, mengemuka aksi kekerasan yang mengatas­ namakan agama. Esok, bisa jadi saya atau Anda yang akan men­ jadi korban keganasan tindakan kekerasan selanjutnya. Tentu, 68 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N bahasa keprihatinan pemimpin ketika menyaksikan bahasa kekerasan yang terus dipraktikkan di negeri ini tidak mungkin menghela praktik kekerasan. Ketika sikap pembiaran terhadap kekerasan dilestarikan, ancaman kekerasan di ranah lain pun semakin terbuka lebar. Gustave Le Bond (1896) menganalisis kekerasan kolektif semacam itu sebagai bentuk tindakan replikatif dari hubungan antara irasionalitas, emosionalitas, dan peniruan individu. Di dalam kelompok terjadi resiprokalitas tindakan tiruan di an­ tara anggota yang dapat memperkuat dan memperbesar emo­ sionalitas dan irasionalitas sesamanya. Kekerasan­kekerasan yang terus­menerus dilakukan, se­ perti insiden kekerasan massa berlatar belakang agama dalam kasus penyerangan kelompok Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, (6/2); dan kasus perusakan rumah ibadah, sekolah serta fasilitas umum di Temanggung, Jateng (7/2), da­ pat dilihat sebagai daur ulang tindakan (tiruan) anggota atau tokoh kelompok tersebut. Karenanya, perilaku kekerasan pada dasarnya tidak menja­ lar secara personal, tetapi acap kali menelusup ke dalam keru­ munan komunal. Manakala ini terjadi, maka perilaku kekerasan sudah bergerak secara institusi yang sangat berbahaya. Insti­ tusionalisasi kekerasan pun akan semakin beringas jika kemu­ dian berelasi dengan ruang kekuasaan. Sikap pembiaran aparat keamanan terhadap beberapa kekerasan massa mendatangkan curiga bahwa kekerasan tidak steril dari kekuasaan. Kekerasan acap kali terjadi ketika kebenaran diklaim seca­ ra tunggal dan sepihak. Klaim absolut atas kebenaran mencuat karena kebenaran dilihat dalam kaca mata tunggal yang me­ munculkan persoalan ketika berbenturan dengan mileu kebe­ naran di luar yang diyakini. Saat inilah, kebenaran telah dijadi­ kan sebagai seperangkat yang mutlak. MEMU TU S SU MBU KEKERASAN 69 Hasrat kekuasaan Absoludisasi kebenaran salah satunya karena dianggap memiliki dimensi sakral (ideologisasi/indoktrinasi) di dalam kebenaran yang dipegang. Akhirnya, kekerasan pun diterjemahkan sebagai tindakan doktrinal yang sakral, suci, dan mulia. Inilah yang menggiring para pelaku kekerasan memekikkan kata­kata sakral ketika memproduksi kekerasan. Jika kekerasan atas na­ ma negara, maka pekikan berubah untuk membela negara dan bangsa. Namun, jika klaim kebenaran bersembunyi di balik jubah agama, yang terpekik adalah kalimat­kalimat ‘Tuhan’. Kebenaran yang hakiki dan abadi hanya milik Tuhan. Ma­ nusia hanya mengendalikan serpihan­serpihan dari kebenaran sejati. Akal manusia tidak akan pernah mampu menggapai se­ penuhnya kebenaran mutlak yang tanpa cela dan tanpa koreksi. Saat manusia berusaha mengidentiikasi kebenaran, di kala itulah dia melakukan proses penafsiran. Karena dia melakukan proses penafsiran, makna yang ditangkapnya pun bukan kebe­ naran mutlak, melainkan kenisbian yang masih memberi ruang residu kesalahan. Karena itu, kekerasan sejatinya tidak dekat dengan kebe­ naran, melainkan merupakan wajah lain dari hasrat kekuasaan. Membela kebenaran hakikatnya adalah membela kekuasaan. Ke­ kerasan merupakan strategi subjek untuk membungkam gerak sesuatu yang dianggap mengancam kekuasaan di luar dirinya (the other), bukan untuk melindungi kebenaran sebagaimana diyakini pelaku kekerasan. Rasa keterancaman yang sangat ke­ pada entitas lain kemudian memunculkan reaksi menumpas en­ titas yang mengancam tersebut, sehingga kekerasan dijadikan medium untuk menumpasnya. Kekerasan meluluhkan dan mencederai etika berbangsa kita. Pertikaian dan perpecahan sesama anak bangsa tidak dapat dielakkan. Semua entitas ingin menguasai orang lain dengan 70 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N menghunjamkan kekerasan, bukan kedamaian. Etika dan moral berbangsa pun terancam roboh. Inikah tesis yang dimaksud Rene Girard (Sindhunata, 2007: 333) bahwa tatanan sosial, khususnya agama, dibangun dari batu­batu cadas kekerasan? Segala kekerasan dan atas nama apa pun tidak dapat dibiar­ kan. Perilaku kekerasan yang kita mainkan secara telanjang ke publik tidak akan melahirkan keharmonisan dalam membangun tatanan sosial dan politik yang kukuh. Kekerasan hanya mela­ hirkan realitas semu. Rezim kekerasan tidak akan mampu mem­ bangun stabilitas esensial, melainkan menyuguhkan stabilitas artiisial. Sebab, di dalamnya akan bergemuruh dendam dan kebencian untuk menularkan kekerasan baru, saling bunuh, dan saling menumbangkan. Rezim kekerasan harus ditumbangkan dan diganti dengan bangunan tatanan yang indah dan menenteramkan. Jika keke­ rasan terus kita mainkan dalam segala ruang aktivitas politik, sosial, budaya, dan berbangsa kita, maka bangsa dan bahasa persatuan kita akan diganti oleh bahasa kekerasan. Bangsa ini sudah jengah dengan bahasa kekerasan yang dapat menengge­ lamkan ke jurang perpecahan komunal. Karenanya, siapa pun percaya bahwa kekerasan tidak akan pernah bisa tumbang melalui pidato keprihatinan, apalagi itu terucap dari mulut pemimpin. Butuh ketegasan pemimpin un­ tuk tidak menolerir segala macam kekerasan. Kini, seluruh pe­ mimpin bangsa ini harus merenung akan memilih yang mana, menghentikan atau membiarkan kekerasan itu bergerak menja­ di ‘penyakit’ yang berjangkit ke dalam seluruh kehidupan kita? Menghentikan Bola-Bola Kekerasan (Jawa Pos, 23 Juni 2008) Keadilan tanpa kekuatan adalah kosong. Kekuatan tanpa keadilan hanya melahirkan kekerasan. KALIMAT yang dilontarkan kesatria Chio Beadal dalam ilm Fighter in the Wind karya Yang Yun­Ho di atas menarik untuk menjadi prolog tulisan ini sebagai respons atas menguatnya perilaku kekerasan dalam kehidupan berbangsa kita. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kekerasan hanya muncul dalam kekuatan yang tidak dilandasi moral dan etika. Sebuah nilai ha­ rus memiliki kekuatan. Tetapi jika kekuatan tanpa nilai, ia cen­ derung represif dan brutal. Karena itu, kebenaran yang berdiri tegak di atas kekerasan bukanlah kebenaran sejati, karena tidak akan melahirkan ta­ tanan baik, melainkan akan mereproduksi dan melanggengkan ketidakadilan dan ketimpangan. 72 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N Mulai ranah domestik hingga ke ruang publik, kekerasan ti­ dak pernah luput mewarnai kehidupan bernegara kita, entah itu ruang pendidikan, agama, maupun politik. Kekerasan menjadi semacam laku yang inheren dari kehidupan berbangsa. Aksi kekerasan di berbagai institusi pendidikan, munculnya Geng Nero, bahkan awal bulan lalu kekerasan menyelimuti tin­ dakan beragama kita. Apa pun bentuknya, aksi kekerasan atas kekerasan tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah. kebenaran dan kekuasaan Kekerasan acapkali terjadi ketika kebenaran diklaim secara tung­ gal dan sepihak. Klaim absolut atas kebenaran mencuat karena kebenaran dilihat dalam kacamata tunggal yang memunculkan persoalan ketika berbenturan dengan mileu kebenaran di luar yang diyakini. Absoluditas dan klaim kebenaran tersebut ke­ mudian akan berakhir tragis ketika dipahami adanya dimensi sakral di dalam kebenaran yang dipegang. Kebenaran yang hakiki dan abadi adalah milik Tuhan. Akal manusia tidak akan pernah mampu menggapai sepenuhnya ke­ benaran mutlak. Saat manusia berusaha mengidentiikasi kebenaran, saat itulah dia melakukan proses hermeneutis. Karena dia melakukan proses hermeneutis, makna yang ditangkapnya bukan kebenaran mutlak, melainkan kenisbian. Di ruang agama, kebenaran yang diimani cenderung diang­ gap manifestasi keuniversalan, sehingga corak di luar keyakin­ annya diklaim salah dan sesat. Praktik beragama dipersepsi sebagai ajaran agama yang sebenarnya, bukan sebagai bentuk tafsir atas nilai­nilai agama yang universal. Sementara itu, fatwa melabelkan sesat dan me­ nyesatkan terhadap kelompok lain pun tidak dapat dihindari. Saat itulah, kekerasan menjalar dan terlegalkan. Pada dasarnya, kekerasan tidak dekat dengan kebenaran, MEN G H EN TI K A N B oLA -B o LA KEKERASAN 73 melainkan merupakan wajah lain dari kekuasaan. Kekerasan merupakan strategi subjek untuk membungkam gerak objek yang dianggap mengancam kekuasaannya. Rasa keterancaman yang sangat kepada entitas lain kemudian memunculkan reaksi menumpas entitas yang mengancam tersebut. Salah satu cara­ nya adalah melalui kekerasan. Mengapa? Sebab, kekerasan masih diyakini sebagai me­ diasi paling ampuh melumpuhkan lawan, seperti kekerasan negara ketika memangkas gerakan rakyat yang mengancam ke­ kuasaan. Kebenaran yang dibarengi dengan hasrat berkuasa cende­ rung menutupi celah salah dalam kebenaran itu sendiri. Kekuasaan bersembunyi dalam jubah kebenaran. Seperti keya­ kinan Max Weber, Machiavelli, maupun Hobbes, kekuasaan dan kekerasan tiba­tiba menjadi dua kata yang tidak terpisahkan. Kebenaran dan hasrat berkuasa menjadi kabur karena sama­ sama berada di balik bola­bola kekerasan yang dimainkannya. memutus Kekerasan meluluhkan dan mencederai etika berbangsa kita. Kekerasan seolah menjadi bola yang terus dikejar, direbut, dan digiring. Karena itu, melesakkan kekerasan ke jantung lawan menjadi kepuasan yang tiada tara. Akhirnya, etika dan moral berbangsa pun roboh. Pertikaian dan perpecahan sesama anak bangsa tidak dapat dielakkan. Semua entitas ingin menguasai orang lain dengan menghun­ jamkan kekerasan, bukan kedamaian. Inikah tesis yang dimak­ sud Rene Girard bahwa tatanan sosial dibangun dari batu­batu kekerasan? Segala kekerasan dan atas nama apa pun harus dihentikan. Bola­bola kekerasan yang kita mainkan secara telanjang ke publik tidak akan melahirkan kebenaran dalam membangun 74 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N tatanan sosial dan politik yang kukuh. Kekerasan hanya mela­ hirkan realitas semu. Rezim kekerasan tidak akan mampu mem­ bangun stabilitas esensial, melainkan menyuguhkan stabilitas artiisial. Di dalamnya bergemuruh dendam dan kebencian untuk melahirkan kekerasan baru, saling bunuh, dan saling me­ numbangkan. Karena itu, bola­bola kekerasan harus segera digantikan oleh bola yang indah dan menenteramkan. Memutus rantai ke­ kerasan tidak dapat ditawar lagi. Jika bola­bola kekerasan ter­ sebut kita mainkan dalam segala ruang aktivitas politik, sosial, budaya, dan berbangsa kita, bangsa dan bahasa persatuan kita akan diganti oleh bahasa kekerasan. Kini, bangsa Indonesia harus merenung akan memilih yang mana, menghentikan atau membiarkan bola­bola kekerasan itu bergerak liar dalam seluruh kehidupan kita? Pendidikan, Antara Kekerasan dan Kekuasaan (Radar Jogja, 27 April 2007) R entetan kekerasan dalam dunia pendidikan kini mulai terkuak. Tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga telah merambah dunia perguruan tinggi. Kasus yang menimpa Cliff Muntu hingga tewas di tangan para seniornya, serta kasus kekerasan di IKIP Mataram oleh pihak rektorat be­ berapa hari setelah kasus Cliff Muntu, merupakan bukti begitu mengakarnya kekerasan di dalam sistem pendidikan kita. Cerita Cliff Muntu di IPDN dan kekerasan di IKIP Mataram adalah satu deret cerita kekerasan di dunia pendidikan dari ribuan cerita yang tidak mencuat ke permukaan. Ada apa dengan pendidikan kita sehingga dikotori aroma kekerasan? Bukankah IPDN dan IKIP Mataram sama­sama belajar dari kejadian sebelumnya yang sudah menewaskan mahasiswanya melalui kekerasan. Pendidikan sejatinya diperuntukkan untuk menciptakan manusia meningkatkan daya kreativitasnya agar bisa menegak­ 76 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N kan kesejahteraan manusia. Dalam bahasanya Freire, pendi­ dikan diperuntukkan untuk memanusiakan manusia. Di dalam usaha untuk memanusiakan, pendidikan harus bergerak pada visi membebaskan. Membebaskan artinya senantiasa membe­ rikan ruang kritik dan “tanda tanya” dalam setiap ilmu yang dipelajari, tidak lantas menutup ruang kritis secara absolut. Doktrin­doktrin kepatuhan tanpa ada ruang kritik hanya me­ munculkan kesadaran­kesadaran magis dan naif. Corak pen­ didikan demikian tidak menjadikan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya, melainkan seperti robot karena otaknya di­ lumpuhkan oleh sistem yang absolut (tanpa ruang kritik). Apa yang terjadi di IPDN dan IKIP Mataram tidak jauh seperti di atas. Pendidikan justru dijadikan alat untuk meman­ jangkan kuasa terhadap anak didik oleh dosen maupun junior oleh para senior. Ruang­ruang perdebatan dalam transformasi pengetahuan ditutup rapat­rapat. Pengetahuan di sini tidak ha­ nya ilmu­ilmu yang disampaikan di dalam kampus, melainkan juga seluruh totalitas tradisi dan sistem yang berjalan dalam ins­ titusi pendidikan, seperti aturan­aturan kampus hingga sistem birokrasi kampus. Pertanyaan yang menjatuhkan kredibilitas pengetahuan dosen akan “disikat”, begitu juga dengan aktivitas yang mengancam wibawa kampus. Harapan sistem pendidikan semacam ini bukan melahirkan kelompok intelektual yang kritis, melainkan intelektual yang patuh. Kenyataan demikian inilah yang sedang terjadi di dunia pendidikan kita. Hanya saja kejadian di IPDN dan IKIP Mataram menyuguhkan secara vulgar. Sistem pendidikan semacam ini mendeskripsikan sosok intelektual dan akademisi secara parsial. Seorang mahasiswa atau anak didik yang disebut akademisi dan intelek adalah mereka yang duduk manis di seko­ lah, rajin masuk, dan tidak boleh protes atas segala hal yang diperintahkan oleh kampus, guru/dosen maupun senior. Anak P E ND I D I K A N , A N TA R A K EK ER A SA N DAN KEKUASAAN 77 didik hanya ikut dan bergerak seperti robot atas segala sistem yang berjalan dalam institusi pendidikan tanpa boleh bertanya mengapa sistem itu dijalankan, apalagi memprotesnya. Sadar atau tidak, demikianlah mainstream paradigma pendidikan kita saat ini. Praktik tersebut dapat dilihat dari bagaimana reaksi rektorat ketika sosok Inu Kencana membeberkan kekerasan di IPDN dari hasil penelitian disertasi doktoralnya. Bukan penghargaan yang didapat, justru Inu Kencana sempat tidak diperbolehkan lagi mengajar di IPDN dengan alasan yang kurang jelas oleh rekto­ rat. Ternyata, hasil ijtihad akademik yang diramu secara objektif tidak selamanya akan dihargai oleh pihak kampus yang nota­ bene pabrik ilmu pengetahuan, jika itu mengancam kredibilitas kampus. Tapi, mungkinkah kredibilitas institusi pendidikan yang terancam? Jangan­jangan yang terancam justru para penggerak institusinya? Jika pertanyaan yang kedua yang benar, itulah yang menghancurkan dunia pendidikan Indonesia saat ini. kekerasan untuk apa? Kekerasan adalah sisi lain manusia yang masih dipertahankan oleh sistem pendidikan kita dewasa ini. Padahal, pendidikan bergerak untuk mengukuhkan keberakalan manusia (homo sapien), bukan menegaskan sisi kekerasannya (homo violens). Dahulu, kekerasan begitu melekat di dunia pendidikan sebagai cara untuk menegakkan kedisiplinan. Dalam pendidikan tra­ disional, seorang anak didik yang tidak mengerjakan tugas atau tidak hafal rumus matematika dipukuli penggaris hingga tangannya memar. Alih­alih memancing kesadaran pengeta­ huan, hukuman tersebut justru membekukan segala aktivitas belajar anak bersandar pada ketakutan, bukan bersumber pada kesadaran. Menghafal matematika karena takut dipukuli oleh guru atau menghadiri kuliah karena takut mendapat nilai D. 78 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N Pelestarian kekerasan di dunia pendidikan meluas tidak hanya bertujuan untuk mendidik, tetapi acap digunakan un­ tuk mempertahankan kekuasaan. Berbicara kekuasaan, me­ narik melihat pemikiran Michael Foucault dalam konsep “cinta sang tuan” bahwa “sang tuan” bebas melakukan sensor dan memberikan larangan kepada bawahannya (Michel Foucoult:2002). Konsep Foucault ini menjadi relevan ketika di­ benturkan dengan pranata sosial yang dijalankan dalam institusi pendidikan yang masih berkelindan pada stratiikasi atas-bawah (top down). Seorang guru/dosen ditempatkan sebagai sumber pengetahuan dan murid/mahasiswa sebagai bejana kosong yang pasif dan harus diisi (tabularasa). Paradigma ini menjadikan dosen pada posisi atas, sementara siswa/mahasiswa di bawah. Relasi antara dosen­mahasiswa, guru­siswa, senior­junior, bukan relasi partner, melainkan “tuan” dan “bawahan”. Pola hubungan tuan (top) dan bawahan (down) ini menegas­ kan siapa yang berkuasa atas siapa. Di sinilah kekerasan dunia pendidikan dilestarikan. Seorang junior tidak boleh melawan senior dan anak didik tidak boleh menentang pengetahuan yang diberikan oleh dosen. Walhasil, kritik, masukan dan pem­ bangkangan tidak dilihat sebagai bentuk wacana alternatif yang berfungsi sebagai pengayaan pengetahuan, melainkan dilihat sebagai upaya penyerangan terhadap kekuasaan. Misalnya, junior yang tidak mau disuruh push up dilihat sebagai ancaman bagi ke­senior­annya (kekuasaan) senior, bukan sebagai bentuk “masukan” bahwa push up tiada gunanya. Begitu juga dengan protes mahasiswa atas kebijakan kampus tidak dipahami seba­ gai perdebatan ilmiah dalam ekspresi yang berbeda, tetapi sebagai upaya perongrongan terhadap kekuasaan rektorat. Kekerasan pun kemudian dijadikan alat untuk melindungi kekuasaan, karena protes bukan ekspresi ilmiah melainkan ancaman stabilitas kekuasaan di kampus. P E ND I D I K A N , A N TA R A K EK ER A SA N DAN KEKUASAAN 79 Humanisasi Pendidikan Apa pun alasannya, kekerasan tetaplah perbuatan yang tidak manusiawi dan tidak relevan diterapkan dalam dunia pendi­ dikan. Selain adanya persoalan seperti di atas, jaring­jaring kekerasan itu masih ada di dunia pendidikan, misalnya dengan masih dilestarikannya resimen mahasiswa (Menwa) ala militer. Tidak heran jika Francis Wahono menjelaskan, sistem pendi­ dikan kita masih mewarisi kedisiplinan cara tentara Jepang (Francis Wahono: 2011). Karena itu, melihat kenyataan­ke­ nyataan yang ada (kasus IPDN dan IKIP Mataram), humanisasi di dalam ruang pendidikan seperti pembenahan­pembenahan sistem mendesak dilakukan, bukan lagi pada wilayah wacana. Paradigma ing ngarso sung tolodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani dari Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah ajaran di mana relasi guru dan murid lebih dari sekadar peng­ ayom, tapi juga layaknya partner. Wallâhu A’lam. Dana Muslihat AS? (Jawa Pos, 30 oktober 2003) T awaran Presiden Amerika George Walker Bush dalam pertemuan dengan beberapa pemimpin organisasi ke­ agamaan pekan lalu (22/10) di Bali, untuk memberikan bantuan pendidikan US$ 157 juta bagi pesantren menuai pro­ kontra di kalangan pemuka Islam (ulama) sendiri. Sebagian ma­ sih melihat bantuan tersebut sebagai hal yang wajar dan baik, tetapi sebagian yang lain memandang bantuan itu berlatar bela­ kang kepentingan AS yang sangat bias dan karenanya tawaran itu harus ditolak. Pertemuan tokoh­tokoh ulama NU di Ponpes Assidiqiyah, Batu Ceper, Tangerang, Banten, kamis pekan lalu (24/10), misal­ nya, menolak dana yang ditawarkan oleh Presiden Amerika terse­ but, karena dinilai membawa embel­embel kepentingan tertentu. AS memberikan bantuan kepada pesantren dengan embel­embel agar kurikulum di pesantren dirombak dengan D A N A MUSLIHAT AS? 81 “kurikulum” yang ditawarkan AS. Sebuah kurikulum baru yang bebas dari pelajaran mengenai jihad. Sebab, di mata AS, dokrin jihadlah yang menggerakkan beberapa aksi kekerasan seperti di Legian, Ambon, JW Marriott, Mataram, dan WTC. Namun, sebelum menentukan setuju dan tidak setuju, ada beberapa hal yang patut dicermati dalam melihat bantuan Amerika untuk pesantren ini. Pertama, klaim Amerika terha­ dap pesantren sebagai basis persemaian terorisme di Indonesia. Negara­negara Barat, khususnya Amerika Serikat, melihat peran strategis dan taktis pesantrena dalam melahirkan apa yang dalam standar Amerika disebut sebagai gerakan teror­ isme. Pesantren dengan sistem pendidikan tradisional­karis­ matis sangat berpotensi untuk menjadi basis penggodokan per­ lawanan terhadap ideologi kapitalisme­globalisasi Barat (baca: Amerika). Kedua, anggapan AS bahwa Islam merupakan penghambat globalisasi. Teori Samuel P. Huntington (The Clash of Civilization) yang digembar­gemborkan beberapa decade ini bukan hanya menempatkan Islam sebagai satu­satunya entitas yang akan mengalami clash (benturan) dengan dunia barat, melain­ kan memetakan bahwa Islam merupakan satu­satunya musuh ideology kapitalisme (baca: globalisasi) Amerika. Motor peng­ obar semangat perlawanan Islam terhadap ideologi kapitalisme adalah doktrin jihad (crusade). Teori inilah yang seolah menjadi pegangan negara Amerika dalam melihat Islam. Karena itulah, Amerika bermaksud menghapus jihad dari memori kurikulum pendidikan pesantren. Ketiga, umat Islam Indonesia melihat bahwa terorisme yang sesungguhnya itu adalah Amerika Serikat dengan pene­ rapan kebijakan standarnya, di satu sisi menjunjung HAM dan demokrasi, di sisi lain justru menginjak­injak prinsip­prinsip tersebut. AS berlaku tidak adil terhadap umat Islam. Terbukti, 82 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N ketika AS menyerang Iraq, seluruh organisasi Islam di tanah air, seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI, mengecam dan meng­ klaim tindakan AS sebagai bentuk invasi dari terorisme. Karena itu, wajar kemudian yang ditemui George W. Bush di Bali adalah pemimpin organisasi­organisasi keagamaan tersebut. Melihat tiga hal di atas, ada beberapa target yang ingin di­ capai Bush dalam rencana bantuannya untuk pesantren. Di an­ tara target itu adalah AS ingin meminimalisasi ajaran­ajaran kekerasan agama yang sering diajarkan di pesantren, seperti konsep jihad. Selama ini jihad dalam pandangan Islam garis radikal masih dimaknai sebagai perjuangan isikal (berperang) melawan orang kair (agama lain) semata. Terlihat dari aksi teror terhadap warga Barat—yang diasosiasikan sebagai orang kair—didorong oleh keinginan untuk menjadi mujahidin (orang yang berjihad). Karena itulah, AS berkeinginan merombak kuri­ kulum yang diterapkan pesantren dengan mengeluarkan jihad dari perbincangan pendidikan pesantren. Secara kasat mata, tawaran ini sesungguhnya sangat bagus. Memang, harus diakui bahwa sistem pendidikan di pesantren (salaf/modern) sangat jauh untuk dikatakan sebagai sistem pendidikan agama ideal yang menghasilkan anak didik yang toleran dan welas asih. Karena itu, tawaran perombakan sistem kurikulum pen­ didikan pesantren yang diajukan Amerika patut dipertimbang­ kan selama dalam kerangka positif. Tetapi, yang harus ditolak adalah tawaran meniadakan pembicaraan jihad dalam kuriku­ lum pendidikan pesantren. Sebab, jihad adalah roh Islam (M. Anshori, JP, 27/10). Justru yang harus dilakukan adalah mela­ kukan reinterpretasi terhadap konsep jihad yang selalu dimak­ nai sebagai konfrontasi isikal itu. Selanjutnya terkait tawaran dana US$ 157 juta, sikap pe­ nolakan ulama NU di Batu Ceper, Banten, patut kita dukung D A N A MUSLIHAT AS? 83 bersama. Hal ini sedikitnya mengacu pada beberapa hal. Mi­ salnya, AS ingin membangun citra baik di hadapan umat Islam. Amerika sendiri memang menyadari bahwa kebijakan stan­ dar gandanya telah menorehkan kebencian komunal dari ma­ syarakat Indonesia. Kepentingan di Balik Pengawasan (Jawa Pos, 8 Desember 2005) T erorisme yang beberapa tahun ini mengguncang Indonesia tidak hanya memakan korban manusia yang tidak bersalah, tapi menelan juga tumbal citra Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamîn (QS Al­Anbiyâ’ [21]:107). Islam identik dengan terorisme. Citra itu semakin membeku di alam bawah sadar masyarakat dunia bahwa Islam sangat menakutkan (Islamofobia). Pandangan tersebut terus mengendap ke alam pikiran kita dan menyusup ke segala sektor ruang sosial. Uniknya, koruptor yang meneror negara ini dan membunuh rakyat miskin secara pelan­pelan bukanlah tindakan terorisme. Salah satu bentuk islamofobia yang menyusup ke segala celah ruang sosial kita itu adalah rencana negara (baca: pemerin­ tah) mengawasi pesantren. Rencana tersebut merupakan reaksi atas pelbagai bom yang mengguncang tanah air beberapa tahun K EPEN TI N G A N D I B A LI K PENGAWASAN 85 terakhir, seperti Bom Bali I dan II, JW Marriott dan Mataram, yang hampir semua dilakukan kaum santri (Ali Imron, Amrozi, Asmar Latin Sani, dan Muklas). Rencana tersebut dilontarkan Jusuf Kalla saat acara buka puasa bersama dengan jajaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa bulan lalu (13/10) di kantor wapres Jakarta. Bahkan, wapres terang­terangan menyebut meniru seperti Orba. Kontan, rencana pemerintah untuk mengawasi pesantren itu mendapat reaksi keras dari berabagi kalangan, terutama pe­ santren sendiri. Bagaimanapun, lontaran dan rencana peme­ rintah (negara) untuk mengawasi pesantren mengigatkan kita terhadap cara Soeharto dengan rezim Orba yang kejam dan otoriter dalam mendikte kaum sarungan (santri/pondok/pe­ santren). Tujuannya, membungkam kekritisan dan melumpuh­ kan gerak pesantren yang mengancam pemerintah. Sekalipun motif pengawasan pemerintah terhadap pe­ santren berbeda dengan Orba, tetapi substansinya sama, yakni deteksi negara terhadap segala aktivitas pesantren. Karena itu, tidak menutup kemungkinan pemerintah men­ jadi mudah menstigmatisasi “teroris” terhadap pesantren yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, sebagaimana rezim Orba yang membungkam perlawanan rakyat dengan stigma “komu­ nis” dan “pengganggu stabilitas nasional.” Perlu diketahui, sejarah pesantren adalah sejarah perla­ wanan. Pada masa penjajahan, pesantren menjadi satu basis yang sangat ditakuti kaum colonial Belanda. Kemerdekaan yang dicapai Indonesia tidak lepas dari peran dan kontribusi pesantren. Sebab, inti dari peran strategis pesantren adalah ke­ kuatan memobilisasi massa dan sensitive terhadap penjajahan asing (barat). Ketakutan pemerintah semakin mendalma ketika Indonesia sudah memasuki gerbang pasar bebas. Perusahaan­perusa­ 86 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N haan transnasional (TNCs) berbondong­bondong masuk dan menguasai (privatisasi) segala aset publik (minyak, air, dan tanah). Parahnya, pasar bebas bagi Indonesia dalah penjajahan ber­ wajah lain. Di sinilah ancaman sensitivitas pesantren terhadap penjajahan mengemuka sehingga mendorong pemerintah meng­ awasi gerak langkahnya. Bisa dibayangkan, betapa bahayanya jika penguasaan aset­aset publik oleh pihak asing menyulut se­ mangat perlawanan sekitar 170 ribu pesantren yang tersebar di Indonesia laiknya perang melawan kolonial Belanda dulu. Bukan solusi Karena itu, alih­alih penjinakan, justru pesantren akan melaku­ kan gerakan perlawanan melawan pemerintah jika pemerintah melakukan pengawasan yang berujung pada pengekangan ruang gerak pesantren. Apalagi, pengawasan tersebut dibarengi de­ ngan upaya menghidupkan kembali Komando Teritorial (Koter) dan Badan Pembina Desa (Babinsa). Deskripsi di atas cukup menggambarkan karakter pe­ santren yang jika ditekan akan semakin melawan. Karena itu, pengawasan bukan menjadi solusi. Memang, ada beberapa doktrin dan ajaran Islam yang dikembangkan dalam kurikulum di beberapa pesantren (baik salaf atau modern) yang tidak sesuai perkembangan zaman dan harus dirombak, seperti makna jihad yang tidak harus bermakna perang (qitâl) dan istilah kair yang tidak melulu diartikan nonIslam. Namun, itu menjadi persoalan ketika perubahan tersebut dilakukan intervensi dan pengawasan negara dan – apalagi – pihak luar. Kondisi itu sangat resisten melahirkan dominasi dan otoriterianisme yang sarat kepentingan. Karena itu, bukan pengawasan dan pendeteksian (apalagi menghidupkan kembali Koter dan Babinsa) terhadap pesantren K EPEN TI N G A N D I B A LI K PENGAWASAN 87 yang harus dilakukan untuk menumpas aksi terorisme di Indonesia. Tetapi, pemerintah setidaknya melakukan pendekatan persuasive dengan memberikan ruang­ruang politik kepada pesantren yang selama ini suaranya ter(di)sumbat. Bagaimana pun, pengawasan terhadap pesantren tidak hanya menyem­ pitkan makna teroris itu sendiri, tetapi juga berimplikasi me­ nempatkan pesantren sebagai tertuduh dan malah tidaak akan menyelesaikan masalah. Tidak Cukup dengan Bantuan (Jawa Pos, 14 Januari 2006) D i mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kata­ kata itu memberikan etika sangat dalam dan universal yang patut kita renungkan kembali di tengah bencana alam yang terus menyanyat negeri ini. Bahwa setiap ruang, baik mikro maupun makro, memiliki aturan dan logika hukum ter­ sendiri yang berfungsi menata tatanan agar berjalan pada jalur yang harmonis. Struktur organisme keharmonisan itu akan hancur dan mengundang kekacauan manakala setiap entitas bergerak di luar kepatuhan terhadap hukum ruang yang mengikatnya. Kearifan petuah tersebut mengalami tantangan ketika rasio manusia mendominasi gerak peradaban ini. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan rasionalitas. Sebab bagaimanapun, ma­ nusia adalah makhluk rasional (homo sapiens/al­hayawan al­ nathiq). TI D A K C U K U P D ENGAN BANTUAN 89 Tetapi, dia menjadi bencana manakala rasio manusia ter­ sebut (baca teknologi) acap memberikan tempat yang dominan bagi keserakahan dan kelobaan manusia tanpa batas. Walhasil, bukan langit (norma/tata nilai) yang dijunjung, melainkan ha­ srat untuk meraup keuntungan dan kelobaan berdiri di atas segalanya. Bencana alam yang silih berganti menerpa bangsa ini me­ rupakan akibat ketidakhormatan kita terhadap alam karena kuatnya pemujaan terhadap hasrat kelobaan kita. Alam juga memilki hukum dan logika sendiri. Ketika aturan­aturan alam (menajaga keseimbangan ekologis) terca­ bik, saat itulah riak­riak alam tidak dapat kita hindari. Karena alam dianggap objek, seolah ia tidak memiliki jiwa yang harus dipelihara. Karena itu, bencana alam bukan semata takdir yang tidak bisa dihindari, melainkan ia tercipta dari ulah manusia. Tidak bisa dibayangkan, pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Badan Geologi Departemen Energi Sumber Daya Mineral telah membeberkan data bahwa untuk tahun 2006, ada 246 Kecamatan di Pulau Jawa yang berpotensi longsor. Itu menunjukkan bahwa keadaan ekologi bangsa ini sudah kronis. Kenyataan tersebut tidak hanya mengancam jiwa­jiwa ma­ nusia, tetapi juga meneror kehidupan berbangsa kita. Laporan itu baru wilayah jawa, belum berbicara mengenai kondisi alam di Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi Selatan, Aceh, dan lain sebagainya. Ironis, yang selalu menjadi kambing hitam atas setiap ben­ cana itu adalah mereka yang terkena musibah tersebut, seperti di Banjarnegara dan Jember. Ibarat sudah jatuh terkena tangga. Sudah terkena musibah, disalahkan pula. Mereka sering dikata­ kan sebagai penebang liar, tidak tahu manfaat alam, musibah itu akibat tindakan mereka, dan sederet prasangka lain. 90 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N Sayang, pemerintah (presiden) justru terkesan parsial da­ lam melihat bencana itu, seolah persoalan akan selesai hanya dengan kembali menanam pohon di hutan­hutan yang gundul. Karena itu, menyikapi bencana alam tersebut dengan ha­ nya berhenti pada seruan berupa dukungan doa dan bantuan material tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Sebab, hal itu akan menyembunyikan sekian faktor utama yang mengaki­ batkan bencana. Dalam perkara kampanye solidaritas semacam itu, media massa dan masyarakat bawah sudah menanganinya, bahkan lebih efektif. Sayang, para pejabat kita terjebak menjadi juru khotbah penggalangan solidaritas atas berbagai bencana alam yang ter­ jadi saat ini, tetapi mengabaikan masalah­masalah mendasar. Karena itu, menata kembali secara harmonis kondisi alam kita yang semakin kronis tersebut tidak bisa diselesaikan secara parsial (doa dan bantuan an sich). Diperlukan kerja menyeluruh seluruh komponen bangsa ini, tanpa terkecuali. Salah satu yang paling penting adalah jalur structural (ne­ gara). Selain dituntut menindak tegas pelaku illegal logging, pemerintah juga harus memprioritaskan kebijakan­kebijakan yang ramah terhadap lingkungan, terutama dalam kebijakan ekonomi. Kebijakan pemerintah yang sangat kapitalis tak jarang mengorbankan aspek ekologis demi membangun kemegahan artiisial daerah. Membangun kebijakan publik yang berpijak pada penghor­ matan tinggi terhadap hukum alam (baca etika terhadap alam) adalah niscaya. Alih­alih demikian, pemerintah (pusat/daerah) selama ini justru sering menggunakan legitimasinya untuk me­ mereteli alam secara liar tanpa memperhatikan pertimbang­ an­pertimbangan alam dan lingkungan dengan menjual nama “untuk kepentingan umum”. TI D A K C U K U P D ENGAN BANTUAN 91 Baik sadar atau tidak, kenyataan inilah yang memberikan andil besar atas berbagai reaksi alam yang terjadi saat ini, se­ perti gempa dan longsor di Banjarnegara dan jember baru­baru ini. Selain itu, peran media massa dan institusi pendidikan pun tidak kalah penting. Media massa sudah seharusnya mem­ berikan ruang lebih besar untuk khalayak pada arah penghar­ gaan dan penghormatan terhadap problem­problem ekologis dan nilai­nilai luhur budaya yang melihat alam sebagai entitas berjiwa. Selain itu, institusi pendidikan pun tidak kalah penting. Logika pembangunanisme dalam pendidikan yang menggurita cenderung menciptakan anak­anak didik tidak peka terhadap nilai­nilai penghormatan terhadap alam. Karena itu, bantuan yang kita salurkan sekarang hanya un­ tuk saat ini, tetap tidak akan menyelesaikan masalah selama be­ berapa elemen di atas masih berjalan semula. Jika tetap, ben­ cana alam yang jauh lebih besar akan menunggu kita? Gaung Semangat Gotong-Royong (Suara Karya, 21 November 2011) F enomena berbangsa dan bernegara kian tercabik dan terberai. Disintegrasi pun tetap mengancam tali per­ satuan. Perasaan saling curiga, membudayanya saling hujat, nihilnya saling percaya, dan ragam pemandangan lainnya yang tak sedap, pun merebak. Pada sisi lain, praktik korupsi dan tindakan tak terpuji semakin jamak telanjang dilakukan secara berjamaah. Kondisi ini, kian menggumpalkan kelusuhan berindonesia kita dalam rentang 66 tahun kemerdekaan ini. Sejak Indonesia berdiri, komitmen persatuan menjadi pengikat yang meleburkan segala ego personal dan kelompok menjadi ego Indonesia Raya. Sebuah ikrar yang lazim terjadi di setiap negara dan bangsa mana pun, karena hanya tekad per­ satuan itulah sebuah negara berdiri tegak dan dapat mengelola dirinya dengan baik. Tanpa persatuan, tidak ada lagi rumusan negara dapat bertahan lama. Uni Soviet sebagai negara adidaya G A U N G SEMA N G A T G oToNG-RoyoNG 93 pun, runtuh tak berdaya akibat leburnya persatuan menjadi fanatisme etnik. Jika disintegrasi mengental, berarti jurang ke­ hancuran negara menanti. Menelisik kondisi bangsa kini, sepantasnya kita cemas. Nilai­nilai yang semestinya menjadi pijakan dalam berbangsa kian luntur, sementara arus tantangan begitu kuat menerjang di segala aspek budaya, politik, dan ekonomi. Korupsi mewabah dan kian menggurita serta ikatan sosial antarwarga negara me­ longgar. Globalisasi yang tidak terelakkan, misalnya, telah ba­ nyak menghentak struktur nilai konvesional masyarakat kita hingga ruang terkecil dan remeh­temeh. Akhirnya, kelemahan daya imunitas bangsa akan rentan menghadirkan sebuah bang­ sa yang ringkih dan lemah. Sisi lain, hampir tidak ada satu ruang pun yang hampa dari praktik korupsi. Sistem kartel dengan mengakumulasi kapital (baca: uang) merasuk menjadi predator yang merusak tatan­ an berbangsa dan bernegara kita. Hubungan pemimpin dengan rakyat tereduksi oleh sebongkah uang. Relasi aparat/penyeleng­ gara dengan institusi negara pun tergerus oleh nalar kapital. Akhirnya, kartelisasi yang merasuki segala lini tersebut mulai merontokkan fondasi bangsa kita. Jika kenyataan tersebut tidak diantisipasi secara dini dan abai direspons, sungguh bisa menjadi ancaman nyata bagi ke­ berlangsungan negara Indonesia ke depan. Pernyataan ini tidak­ lah hiperbolik, apalagi bombastis, karena persoalannya begitu dekat dan lekat dengan kehidupan sehari­hari kita. Setiap hari kita disuguhi dengan berita­berita korupsi pejabat tinggi, keti­ dakadilan hukum negeri, dan kian maraknya kemiskinan. Untuk melerai segala potensi yang merontokkan sendi ber­ bangsa, kita harus kembali kepada nilai­nilai luhur bangsa kita. Gotong­royong adalah salah satu nilai luhur utama bangsa yang seharusnya dijadikan ruh dalam segala aspek bertindak. Karena, 94 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N nilai gotong­royong bukan sekadar seremonial yang hanya ter­ jebak pada praktik­praktik slogan tanpa ruh. Gotong­royong merupakan tindakan bersama saling bahu­membahu untuk kemajuan bangsa, bukan sebaliknya. Nilai ini harus dijalarkan agar menjadi landasan pijak dan tindak dalam membangun bangsa yang lebih baik. Soekarno menegaskan semangat gotong­royong lebih dina­ mis dari nilai kekeluargaan dan menjadi intisari Pancasila. Para founding fathers meletakkannya sebagai prinsip nilai bangsa yang tidak lagi bisa ditawar. Tetapi, sangat memprihatinkan ketika nilai gotong­royong yang merupakan ejawantah Pancasila dan selalu didengungkan, senyap menjadi pajangan di dinding yang tidak lagi bergelora dalam tindakan berbangsa. Gaung gotong­royong pun pudar dalam tindakan. Bangsa kita telah mencapai banyak pembaruan dan per­ ubahan. Keterbukaan politik dilakukan, restrukturasi ekonomi diupayakan, reformasi terus digelorakan. Tetapi, sayang, se­ mangatnya masih jauh dari muara prinsip gotong­royong. Keter­ bukaan politik justru disadap oleh hasrat an sich ingin berkuasa, hukum hanya menjadi alat pelindung kaum penguasa dan kelas elite, perbaikan ekonomi dipoles untuk mengeruk kekayaan de­ mi diri sendiri (korupsi), dan gelora reformasi dijadikan ajang kontestasi saling menjatuhkan demi kekuasaan. Lambannya pembenahan bangsa sejak reformasi bergulir, akibat tumpulnya ketajaman dalam menjadikan gotong­royong sebagai pijakan pembaruan. Kebebasan dan keterbukaan politik bergerak secara liar tanpa mengindahkan sendi­sendi solidaritas kolektif sebagai bangsa. Jalan perubahan kita telah melenceng dari semangat gotong­royong. Jika kondisi ini terus terbiarkan, bangsa kita tidak semata akan mengalami turbulensi, tapi men­ jadi lubang yang mematikkan bagi keutuhan negara­bangsa (nation-state) Indonesia. G A U N G SEMA N G A T G oToNG-RoyoNG 95 Gotong­royong mengandaikan leburnya benteng ego perso­ nal ke dalam ego kolektif untuk saling menopang demi kema­ juan bangsa. Membangun gotong­royong berarti sama­sama saling menopang dan bahu­membahu untuk mewujudkan ke­ baikan bagi negara dan bangsa, bukan sebaliknya. Namun, ke­ tika keadilan harus ditegakkan, rasa kekeluargaan dan gotong­ royong bukan berarti harus ditutupi atas nilai kebersamaannya. Ketercabikan persatuan di tengah masyarakat akibat ego yang demikian menyeruak harus dihentikan dengan menyemai kembali semangat gotong­royong. Seruan untuk merekatkan lagi rasa persaudaraan dan kebersamaan sebagai sebuah bang­ sa yang besar oleh para pemimpin serta tokoh masyarakat sa­ ngat diperlukan. Seruan gotong­royong yang digemakan terus menerus, dapat membangun suasana baru dalam batin kebang­ saan kita. Tetapi, yang jauh lebih penting, seruan gotong­royong ha­ rus digerakkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari jerat ko­ rupsi yang merasuk ke seluruh sendi kebangsaan kita. Rapuh­ nya negara akibat korupsi yang menggurita dan lusuhnya persatuan harus dibangun dengan menumbuhkan kembali se­ mangat gotong royong untuk menumbangkan korupsi. Inilah kerja sama seluruh anak bangsa yang kuat dan ikhtiar untuk menjaga moral bangsa. Menerapkan Pendidikan Tanpa Kelas (Jawa pos, 28 Mei 2004) P endidikan merupakan elan vital bagi kemajuan peradaban suatu bangsa dan negara. Sebab, lewat pendidikan itulah manusia berkualitas dan produktif bisa tercipta. Manu­ sia yang berkualitas akan menjadi tolak ukuru kemajuan suatu bangsa. Sebaliknya, manusia yang berilmu pengetahuan terbe­ lakang akan menjadi cermin keterbelakangan bangsanya. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi satu­satunya ru­ yang rekayasa manusia agar bisa bersaing dengan manusia­ma­ nusia bangsa lain. Pada tataran itulah relevansi menciptakan putra bangsa agar bisa bersaing dalam kancah internasional. Dengan demikian, tugas Indonesia sebagai negara adalah harus mampu menggali serta merekayasa sumber daya manu­ sianya. Sehingga, Indonesia bisa berjalan bareng negara­negara internasional melalui prestasi­prestasi gemilang anak bangsanya. Dalam upaya ini, paradigm pasif yang diterapkan negara dengan MEN ER A PK A N PEN D I D I K AN TANPA KELAS 97 hanya mencari bibit­bibit (SDM) unggul harus diubah dengan upaya aktif menciptakan bibit unggul. Suatu ikhtiar negara un­ tuk memberikan ruang pendidikan bagi seluruh rakyatnya. Tetapi, alih­alih negara memberikan upaya rekayasa ma­ nusia berkualitas melalui pendidikan, problem pendidikan justru tidak dijadikan sebagai entitas prioritas. Negara terkesan lepas tangan terhadap pendidikan. Terlihat, upaya yang diterapkan pemerintah melalui otonomi kampus (PP No 61/1999) yang kemudian berdampak pada kurangnya akses pendidikan bagi rakyat secara menyeluruh. Saat ini, sangat sulit­untuk tidak mengatakannya mustahil­ mencari pendidikan yang bisa dijangkau seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan, institusi pendidikan ada yang cenderung melihat biaya mahal sebagai suatu kebanggaan. Pihak institusi pendidikan yang murah merasa malu dari institusi pendidikan yang bisa menerapkan biaya mahal. Sampai­sampai, sulit mem­ bedakan antara institusi pendidikan dan perusahaan. Akhirnya, pendidikan menjadi sangat diskriminatif dan de­ ngan sendirinya membentuk fragmentasi kelas antara kaya dan miskin. Pendidikan hanya bisa dinikmati orang yang sanggup secara inansial. Pada level tersebut, yang menjadi persoalan mendasar ada­ lah tingkat akses pendidikan yang bisa didapatkan masyarakat secara menyeluruh. Dengan memberikan tingkat akses pendi­ dikan secara menyeluruh, potensi­potensi manusia Indonesia yang belum dijamah pendidikan bisa dioptimalkan. Dengan demikian, kesempatan anak­anak bangsa meraih prestasi­pres­ tasi di kancah internasional menjadi besar. Nah, jika biaya pen­ didikan, lantas bagaimana nasib mereka yang kurang mampu? Hal itulah yang saya maksud dengan pendidikan tanpa kelas. Realitas yang harus dibangun dalam pendidikan tanpa kelas adalah kompetisi kecerdasan. Yakni, orang­orang yang 98 P E ND ID IK A N , K EK ER A SA N D A N K EK U A SA A N mampu secara kualitaslah yang bisa mendapat pendidikan, bukan direduksi menjadi kompetensi kuantitas (baca: biaya). itulah esensi pendidikan kompetitif. Memang, beberapa institusi pendidikan menerapkan sema­ cam tes penerimaan anak didik. Tetapi, lagi­lagi, kelulusan tes tersebut tidak otomatis bisa diterima begitu saja, melainkan harus membayar sekian biaya pendidikan. Akhirnya, banyak sekali orang dari kalangan bawah yang tidak lulus tes kognitif, gagal merasakan pendidikan karena tidak tidak bisa memenuhi biaya yang begitu mahal. Jika de­ mikian, kapan masyarakat Indonesia bisa cerdas dan meraih prestasi­prestasi internasional? Banyak sekali putra bangsa yang memiliki kecerdasan luar biasa. Tetapi, kecerdasan tersebut tidak terasah hanya karena akses pendidikan yang diterima sangat rendah. Untuk menda­ patkan pendidikan, mereka harus membayar mahal, sedangkan biaya itu tidak bisa dipenuhi. Pada sisi paling mendasar, realitas tersebut tentu akan me­ rugikan negara yang sampai saat ini tercatat sebagai negara yang kualitas penduduknya tergolong bodoh dan terbelakang di dunia (lihat survei Human Development Index/HDI 2002). Prestasi internasional dan potensi yang diperlihatkan putra daerah Papua merupakan contoh kecil asumsi­asumsi tersebut. Septianus George Saa berasal dari keluarga kurang mampu. Bahkan, dia sering membolos hanya karena kekurangan ongkos kendaraan untuk pergi ke sekolahnya. Kecerdasan septinus yang berasal dari keluarga bawah dan pelosok itu ternyata mampu mebawa medali emas serta menyisihkan 73 kontestan negara lain dalam lomba eksperimen isika melalui papernya, “ininite triangle and hexagonal lattie networks of identical resistor”. Karena itu, berdasarkan pemikiran­pemikiran tersebut, sebaiknya pihak institusi pendidikan (PTN/PTS) tidak memper­ MEN ER A PK A N PEN D I D I K AN TANPA KELAS 99 besar biaya pendidikan. Jika persoalannya adalah subsidi pen­ didikan dari negara sangat rendah, bukan berarti lantas pene­ rapan biaya yang mahal dilegalkan. Tetapi, negara harus serius merealisasikan subsidi yang diamanatkan undang­undang. Dengan demikian, ruang serta peluang anak­anak bangsa bisa bersaing dan mampu meraih prestasi dalam kancah inter­ nasional secara optimal terbuka lebar. BAGIAN Iv DEMoKRASI SUBSTANTIF Memaknai Ulang Keterlibatan Kiai dalam Politik (Jawa Pos, 29 Februari 2008) S ejak reformasi bergulir, sepak terjang kiai di dunia politik meningkat. Politik seolah menjadi entitas yang tidak bisa dipisahkan. Kenyataan tersebut mendeskripsikan bahwa kenyentrikan dunia politik yang dahulu dianggap tabu mampu menggoda siapa pun untuk terjun dan terlibat di dalamnya. Tidak terkecuali para ulama dan kiai. Nilai politik kiai berangkat dari dunia sosial dan kultur ber­ beda. Dalam sejarah perpolitikan nasional, politik kiai memiliki karakter yang unik, nyentrik, dan menukik. Dikatakan demikian karena setiap manuver politik para kiai selalu mengandung dua unsur sekaligus, sakral dan profan atau antara kejujuran/ketu­ lusan dan kekuasaan. Politik kiai mengalami jatuh­bangun dalam panggung seja­ rah politik nasional. Para kiai pernah bergabung dengan Partai 104 DE M o K R A S I SU B STA N TI F Masyumi sebelum memisahkan diri pada 1952 dengan men­ dirikan Partai Nahdhatul Ulama. Pada Pemilu 1955, NU menjadi kekuatan yang diperhi­ tungkan dengan menempati urutan penting dan membayang­ bayangi kekuatan partai besar seperti PNI dan PKI. Pada 1973, NU melebur ke dalam PPP. Saat itulah, politik kiai terus ber­ gerak luktuatif. Kiai/ulama tetap menempatkan dirinya sebagai kekuatan politik nasional. Latar belakang kiai yang melibatkan diri mengurusi politik memang memiliki kekerabatan erat (ilogeni) dengan NU. Itu menjadi tanda bahwa dalam ormas Islam terbesar tersebut, daya tarik politik masih kuat. Meski kembali ke Khittah 1926 kemudian diambil ketika muktamar di Situbondo 1984. Akan tetapi, akhirnya sikap tersebut tetap tidak mampu membendung politik kiai yang kembali meledak seiring angin reformasi berembus. Kenyataan tersebut seolah menegaskan pernyataan Endang Turmudi (2004: 324) bahwa maklumat kembali ke Khittah 1926 pada dasarnya merupakan kekecewaan para kiai karena tergusur di PPP, seolah tidak murni untuk menjauhi politik. Menjelang Pemilu 2009, para kiai mulai memasang strategi dan taktik untuk melakukan gerakan politik. Indikasinya terlihat dari beberapa faksi partai yang mengatasnamakan kiai dan NU yang sangat beragam. Kekuatan kiai dan NU pun bukannya kukuh, melainkan akan semakin lemah dan rapuh. Selain memecah kekuatan, ti­ dak tertutup kemungkinan umat bingung dan jenuh sehingga mereka lebih memilih berhijrah ke partai lain. memaknai ulang Dalam menghadapi pesta Pemilu 2009, sudah seharusnya politik kiai dimaknai ulang. Bisa saja, perpecahan dalam tubuh ulama M E M A K NA I U LA N G K ETER LI B A TA N K I A I DALAM PoLITIK 105 dan NU di daerah bukan disebabkan pilkada langsung, tetapi keterlibatan para ulama yang terlalu jauh dalam perebutan ke­ kuasaan di daerah. Umat di bawah terbelah seiring faksi yang dimunculkan para kiai. Karena itu, memaknai ulang politik kiai jelang 2009 ini menjadi sangat penting. Pernyataan di atas bersandar pada beberapa hal. Pertama, keterlibatan kiai dalam mengurusi politik tidak berjalan selaras dengan proses pendewasaan politik di tingkat grass-roots. Ke­ tika hal itu timpang dan tidak seimbang, kekerasan politik sulit dihindari. Pengalaman aksi sweeping sebagai pembelaan terhadap Gus Dur pada 2001 adalah contoh ketidakseimbangan gerak politik kiai dengan kedewasaan politik umat. Itu disebabkan komunikasi politik kiai lebih cenderung dogmatis. Kedua, sakralisasi partai politik. Bahasa agama acap keluar untuk melegitimasi pilihan politik sehingga tidak jarang partai politik yang seharusnya profan terlihat sebagai entitas yang sakral. Semua orang di luar partai kiai dilihat sebagai entitas yang salah, kotor, dan musuh yang mengancam. Ekslusivitas muncul dan kekerasan pun terlegalkan. Ketiga, politik kiai lebih berorientasi pada kekuasaan an sich. Keterlibatan kiai dalam politik bukan berarti terjun dan turut terlibat langsung dalam merebut kekuasaan. Kiai harus tetap berpolitik, tetapi tidak diorientasikan pada kekuasaan, melainkan pencerdasan dan penguatan civic education. Politik seharusnya tidak dimaknai sebatas mendirikan par­ tai dan menjadi kepala pemerintahan. Mendampingi umat agar mengerti hak­hak kewarganegaraannya juga merupakan bagian dari perjuangan politik yang sangat strategis bagi kiai (ulama). Dengan demikian, sudah waktunya memaknai ulang politik kiai agar tidak an sich berorientasi kekuasaan. Kiai dan ulama yang lebih dekat dengan umat (baca: rakyat) bukan saatnya lagi 106 DE M o K R A S I SU B STA N TI F membicarakan kekuasaan. Persoalan nyata yang dihadapi umat saat ini adalah kebodohan dan kemiskinan. Peran politik kiai dalam konteks tersebut bisa memberikan penyadaran politik akan hak­hak umat untuk memperoleh pendidikan murah/layak, jaminan kesehatan, dan keadilan dari negara. Itulah misi kenabian yang harus dijalankan para ulama. Meluruskan Gerak Partai Politik (Seputar Indonesia, 28 April 2008) S ekalipun negara dibentuk untuk melindungi rakyatnya, ia tetap berpotensi menjadi sosok raksasa yang ganas. Bahkan Machiavelli menghalalkan negara melakukan apa pun untuk melindungi kekuasaannya. Karena itulah, harus ada sistem yang mampu menjinakkan langkah negara. Di sini­ lah rakyat harus memainkan peranan yang kuat sehingga gerak kekuasaan negara yang liar dapat diikat oleh tangan­tangan rakyat. Sistem demokrasi yang menopang kekuatan rakyat se­ bagai kedaulatan tertinggi dalam negara kemudian menjadi ja­ waban atas itu. Demokrasi sebagai sistem dari, oleh, dan untuk rakyat te­ tap membutuhkan perangkat politik yang menjadi alat untuk menjalankan dan mengontrol negara. Karena itulah, partai politik kemudian diciptakan sebagai kendaraan rakyat untuk menundukkan kekuasaan negara. Hal itu masih diyakini se­ 108 DE M o K R A S I SU B STA N TI F bagai sistem tak terpisahkan dari demokrasi bahwa tanpa alat tersebut, kedaulatan rakyat atas negara seolah tidak dapat di­ wujudnyatakan. Sejatinya, peran partai politik diciptakan dan diperuntukkan sebagai alat untuk menyeimbangkan kekuatan negara agar ber­ gerak sesuai dengan kepentingan rakyat. Ketika negara melen­ ceng, partailah yang meluruskan. Dalam logika tersebut, partai pun diciptakan dari, oleh dan untuk rakyat, karena dia merupa­ kan jelmaan tangan­tangan rakyat. Partai dan rakyat menjadi satu kesatuan yang utuh, tak terpisahkan. Derita rakyat, derita partai. Ibarat api yang jauh dari panggang. Alih­alih menjadi ba­ gian dari derita rakyat, tidak jarang partai politik justru menjual jeritan­jeritan rakyat hanya untuk memenuhi hasratnya agar menjadi bagian dari negara (baca: kekuasaan). Orientasi partai politik tidak lagi merunduk dan menyatu dengan rakyat, me­ lainkan mendongak ke kekuasaan. Maka, jangan heran jika di internal partai ada yang saling gontok­gontokan merebut ke­ kuasaan, padahal di pojok­pojok kota banyak orang miskin ke­ laparan. Dalam paradigma itu, partai politik pun kemudian begitu mudah dibuat. Jika memiliki banyak modal, siapa pun dapat mendirikan partai politik. Partai yang seharusnya dibentuk dari konsolidasi kegelisahan politik rakyat justru menjadi ajang unjuk gigi politik para elite. Inilah yang menjadikan ruh partai tidak berada di jantung rakyat, melainkan berada dalam geng­ gaman para elite politik. Partai pun diciptakan dari, oleh, dan untuk mengamankan kepentingan dan ambisi para elite. Jauhnya partai dari jamahan rakyat dikarenakan partai ti­ dak lagi memosisikan dan menerjemahkan diri mereka sebagai bagian dari rakyat. Partai lebih banyak mengidentiikasi dirinya sebagai bagian state daripada society. Walhasil, kritisisme par­ MELU R U SK A N G ER A K PARTAI PoLITIK 109 tai meleleh oleh gelembungan hasrat untuk menjadi state. Ke­ bobrokan negara dalam mengurus rakyatnya pun abai dilihat. Terkadang sekalipun kritis, tetapi bukan karena rakyat, melain­ kan sakit hati karena kepentingannya tergerus oleh partai yang menjadi penguasa. Disorientasi politik partai di atas kemudian memakzulkan ideologi negara menjadi “abu­abu”. Boleh saja Pancasila diang­ gap sebagai ideologi inal negara, tetapi klaim itu tidak berjalan selaras dengan kenyataan yang ada. Gerak ideologi negara yang “abu­abu” merupakan efek dari kekosongan ideologi par­ tai. Asumsi ini muncul karena sistem politik yang kita jalani saat ini—diakui atau tidak—digerakkan oleh partai. Yakni, memberikan ruang yang sangat besar terhadap partai untuk menjalankan dan mewarnai kiprah negara. Hegemoni partai terhadap negara yang berlebihan menjadi masalah ketika partai mengalami anomali dan disorientasi politik secara besar­besaran, tidak lagi memiliki misi profetik untuk melindungi rakyat dalam gerak politiknya. Fenomena se­ karang ini menjadi bukti kegagalan partai politik dalam men­ jalankan tugas sebenarnya. Bahkan, penyimpangan kekuasaan dari kaum elite tidak jarang justru dipicu oleh sistem kerja par­ tai itu sendiri yang menciptakan penyedotan pundi­pundi (ko­ rupsi, kolusi) dari harta rakyat. Berbenah diri Dalam langgam ini, harus ada rekayasa untuk membangun sistem yang mampu meneguhkan kembali keberadaan partai politik yang benar­benar menjadi penyambung lidah ketika negara melakukan pengabaian suara society­nya. Jika keber­ adaan ini tetap dibiarkan, pamor partai politik lambat laun akan redup dan ditinggalkan oleh rakyat yang semakin cerdas. Keniscayaan sistem kepartaian dalam demokrasi pun dapat di­ 110 DE M o K R A S I SU B STA N TI F runtuhkan karena perannya akan diambil alih oleh kantong­ kantong society yang netral dari “berahi” kekuasaan yang tanpa spirit profetik. Kemenangan igur-igur dalam pilkada di beberapa daerah yang justru tidak berasal dari partai mayoritas sebenarnya indi­ kasi bahwa partai politik tidak lagi menjadi satu­satunya wadah yang dipercaya akan memperjuangkan kepentingan masyarkat secara utuh. Ekspektasi perubahan mulai digeser oleh kekuatan igur, tidak lagi partai politik. Tampaknya, partai politik harus kembali mereleksikan dirinya dengan melakukan reorientasi atas misi politik yang dijalankannya. Berdasarkan postulat pemikiran di atas, ada dua langkah mendasar yang harus dilakukan partai. Pertama, merumuskan dan mempertegas kembali ideologi. Partai yang tidak memiliki ruh gerak (baca: ideologi) tidak hanya menjadikan platform partai kabur, tetapi juga akan menjadikan partai hanya sebagai ajang berkumpulnya politikus­politikus oportunis. Apalagi jika ideologinya adalah uang. Semua partai harus memiliki nilai luhur yang diperjuangkan secara ideologis. Karena nilai itulah yang akan menjadi spirit gerak partai dan kadernya. Tanpa itu, partai mudah rapuh. Kedua, membongkar paradigma dan redeinisi peran serta fungsi partai politik yang sebenarnya. Proses pembongkaran ini sebagai upaya menentukan posisi sejati partai politik di mata rakyat dan mempertegas visi profetiknya, yakni keberpihakan pada cita­cita menyejahterakan rakyat dan karakter kebangsa­ an. Kedekatan partai dengan pusaran kekuasaan akan menjadi bahaya jika peran dan fungsi partai yang sejati sebagai penyam­ bung lidah rakyat belum tertancap dengan kuat. Kedua poin di atas penting untuk dilakukan sebagai jalan untuk mengembalikan posisi partai yang sebenarnya. Partai politik harus berani untuk melakukan perombakan dan pem­ MELU R U SK A N G ER A K PARTAI PoLITIK 111 benahan jika tidak ingin dilibas oleh kekuatan­kekuatan baru, seperti akan munculnya igur-igur perseorangan yang lebih menampung harapan masyarakat yang membutuhkan kesejah­ teraan. Akhirnya nanti, waktulah yang akan menentukan bahwa partai politik yang tidak bermanfaat pasti akan ditinggalkan oleh rakyatnya. Media dan Regulasi Bangsa (Jawa Pos dan Padang Ekspress, 28 Juli 2011) A khir­akhir ini, media sering dituding berada di posisi yang salah. Serangan itu tidak hanya datang dari masya­ rakat, tapi juga mulai muncul dari penguasa. Penguasa mulai bersuara mengambinghitamkan media ketika gerak me­ dia dirasa mengancam kekuasaannya (state regulation). Protes rakyat pun tidak kalah membahana ketika poros media lebih dominan tunduk pada pasar (market regulation). Di sinilah, penulis akan mendiskusikan peran media yang demikian penting dan vital di tengah kebebasan informasi yang masih menyisakan dilema. Denis McQuail sangat meyakini pe­ ran besar media sebagai mesin citra pada abad modern. Media bukan sekadar jejaring mesin yang memberikan kabar dan be­ rita kepada khalayak semata, tapi juga mampu mengontrol serta mengarahkan pikiran publik. Dengan suguhan pesan yang disampaikan media, masya­ rakat mencernanya sebagai pesan apa adanya, tanpa tendensi, MED I A D A N R EG ULASI BANGSA 113 sampai membangun zona pengetahuan baru. Itulah alasan McQuail menegaskan media sebagai mesin pembentuk opini dan pengetahuan pada abad ini. Di Indonesia, keterbukaan media dan informasi tidak ha­ nya memberikan ruang besar bagi kebebasan publik, tapi juga kebebasan media. Ranah kebebasan bagi media merupakan salah satu capaian era Reformasi yang paling dirasakan. Pada masa Orba, media dikanalkan menjadi satu melalui legitimasi dan otoritas negara. Media­media pelat merah tersebut menye­ barkan berita­berita untuk menopang kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Tepatnya, menurut istilah Althusser, media men­ jadi manifestasi ideological state apparatus pemerintahan Soeharto. Ketika era keterbukaan itu sedang berlangsung, media ber­ gerak bebas, namun tidak berarti tanpa muara dan sentrum. Keruntuhan tangan negara membuka jeruji yang memenjarakan kebebasan, mendorong terjadinya pergeseran sentrum di da­ lam tubuh media. Negara tidak lagi memainkan peran stra­ tegis, melainkan hanya berpartisipasi dalam menjamin keter­ sediaan ruang kebebasan melalui regulasi serta kekuatan legitimasinya. Hal itu terlihat dalam upaya negara mengeluarkan undang­ undang yang mencoba mengontrol kebebasan media. Dilema State­Market pasca­Reformasi, pergeseran media berada dalam dua sentrum, yakni kekuatan modal dan relasi kuasa. Pergeseran itu beralih dari kuasa negara ke arus sentrum mo­ dal dengan menguatnya industrialisasi media. Di sinilah, pe­ rangai media bergeser dari mesin ideologi negara (istilah Althusser, ideological state apparatus) ke ruang kompetisi pa­ sar. Logikanya pun beralih, tidak lagi mengawal kepentingan negara dan penguasa, tapi mengawal kepentingan akumulasi modal yang sebanyak­banyaknya. 114 DE M o K R A S I SU B STA N TI F Nalar media sebagai bisnis pun kian menggurita. Kiblat akumulasi modal media menggerakkan aktivitas media ke arah komersialisasi. Kualitas program kemudian tereduksi sejauh mana program tersebut mencapai rate dan share yang tinggi sebagai syarat untuk meraup keuntungan, sedangkan nilai dan efek pesan tidak lagi menjadi penting. Walhasil, media pun ber­ gerak liar dan berubah menjadi mesin ideologi pasar yang kon­ sumtif. Pemberitaan video mesum artis yang menghebohkan sebulan penuh menjadi contoh betapa ideologi pasar itu begitu kuat karena mendatangkan rate dan share yang tinggi. Media tidak lagi beragam, melainkan bergerak dalam war­ na yang seragam dalam akumulasi kapital. Pada masa Orba, media terbelah ke dalam dua wajah, sebagai “oposisi” atau ba­ gian dari pelindung negara. Kompetisi dan pertarungannya sa­ ngat ideologis. Tapi, pasca­Reformasi, media berlomba­lomba dalam satu semangat komersialisasi, ajang untuk mendongkrak keuntungan sebanyak­banyaknya melalui industrialisasi berita. Karena itu, nilai ideologis berita acap tereduksi oleh neraca aku­ mulasi keuntungan dan nalar bisnis. Nalar kapitalisasi media tidak jarang melabrak fondasi eti­ ka yang sudah terbangun di tengah masyarakat. Dengan kebe­ basan, media yang diharapkan mampu memperkuat karakter dan fondasi kebangsaan terjungkirbalikkan menjadi media sebagai sarana mengeroposkan etika bangsa. Peran dan tugas mulia media terabaikan karena etika kebangsaan ditelakkan di bawah kepentingan bisnis. Kekuatan media akan mengerikan ketika zona bisnis yang demikian kuat didukung masuknya kepentingan­kepentingan untuk menguasai politik negara. Di sinilah kekuatan bisnis me­ dia bersenyawa dengan kekuatan politik berlangsung. Media tidak hanya menjadi alat akumulasi kapital, tapi juga menjadi alat kontestasi kekuasaan. MED I A D A N R EG ULASI BANGSA 115 Media benar­benar menjadi alat konstruksi opini sebagai­ mana keyakinan McQuail tersebut ketika kekuatan pengusaha dan penguasa bersenyawa menggerakkan media. Segala pesan yang disampaikan kepada masyarakat berubah menjadi bungkus yang menyembunyikan sekian kepentingan, baik kepentingan modal maupun kepentingan kekuasaan. Akibatnya, sangat jarang spirit edukasi menggelayuti napas dunia media, kecuali pertarungan penanda dan pertanda untuk modal serta kekuasaan. Penanda dan pertanda tersebut disu­ guhkan melalui berita­berita dan program lainnya. Itulah yang kita saksikan akhir­akhir ini yang mulai ditunjukkan secara vulgar di hadapan publik. Nation apparatus mengharapkan negara kembali mengon­ trol media tentu tidak mungkin. Membiarkan media bergerak liar pun tidak dapat dibenarkan. Karena itu, dibutuhkan entitas­entitas independen yang kuat untuk mengontrol (bukan mengendalikan) gerak media. Selama ini, entitas formal belum maksimal melakukan kontrol kuat terhadap media. Sementara itu, mengharapkan civil society juga tidak cukup tenaga untuk menghadangnya. Diperlukan keberpihakan nilai untuk menyo­ kong daya kontrol terhadap media. Tapi, yang lebih penting dari itu, diperlukan kesadaran tulus bagi penggerak media agar memainkan fungsinya sebagai alat penguat kebangsaan (ideological nation apparatus). Media harus tunduk pada regulasi bangsa (nation regulation), tidak lantas semakin mencabik dan meruntuhkan fon­ dasi bangsa. Peran tersebut sangat dinanti di tengah kecamuk nasionalisme dan rasa persatuan yang rapuh di Indonesia. Daya konstruksi pengetahuan media sejatinya diarahkan untuk mengonstruksi penguatan spirit kebangsaan, sehingga bangsa kita tidak runtuh oleh anak bangsa sendiri. Perselingkuhan Uang dengan Kekuasaan (Jawa Pos, 4 Juli 2007) U ang bukan segala­galanya, tapi segala­galanya membu­ tuhkan uang. Pernyataan tersebut menjadi falsafah hi­ dup yang merasuki seluruh aktivitas politikus kita. Uang tidak hanya menjadi alat tukar barang, tetapi juga telah mampu mengontrol totalitas kehidupan manusia dalam segala hal. Dalam politik, uang bagian dari kekuatan yang dapat meng­ antarkan kemenangan. Itulah yang kini merasuki segala insti­ tusi politik negeri ini. Tak pelak, keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam penggunaan dana Departemen Kelautan dan Per­ ikanan (DKP) merupakan contoh ketidakberpisahan uang de­ ngan politik. Uang dan kekuasaan ibarat dua mata uang, tidak terpi­ sahkan, tetapi saling menopang satu sama lain. Politik mem­ butuhkan uang untuk mengatrol kemenangan, sementara uang PER SELI N G K U H A N U A N G D EN G A N KEKUASAAN 117 membutuhkan politik sebagai kendaraan untuk memperoleh keuntungan (more money). Dalam bahasa berbeda, penguasa membutuhkan pengusaha dan pengusaha membutuhkan penguasa. Sinergisitas keduanya akan memunculkan kekuatan luar biasa. Dalam percaturan po­ litik Indonesia, tren take and give antara uang dan kekuasaan atau antara penguasa dan pengusaha begitu terlihat. Karena itu, seorang yang ingin menjadi penguasa, dia harus mengeluarkan sekian triliun uang rupiah dari koceknya. Dengan demikian, hanya mereka yang berduit yang dapat berkompetisi merebut kemenangan. Tanpa uang, kekuasaan hanya menjadi angan yang mengawang. Selain problem sistem politik, pergeseran sosial budaya ma­ syarakat merupakan satu faktor yang membuka kans merapatnya kekuasaan kepada uang. Misalnya, kondisi masyarakat yang memuja banalitas dan artiisialitas, memaksa para politikus berpromosi seperti iklan. Sementara iklan membutuhkan biaya. Dus, tidak heran jika Amien Rais menerima dana DKP hanya untuk berkampanye di depan layar televisi. Perselingkuhan uang dan kekuasaan, diakui atau tidak, merupakan bagian dari problem demokrasi yang belum dapat dieliminasi hingga saat ini. Di Amerika Serikat, uanglah yang menentukan kemenangan. Amy dan David Goodman (2004), misalnya, di dalam bukunya The Exception to the Rulers, mem­ bongkar konspirasi antara perusahaan minyak dengan George W. Bush untuk merebut kursi presiden di AS. Pada lain sisi, Bush membutuhkan konglomerat untuk meraih kemenangan yang otomatis juga mendatangkan keuntungan (more money). Begitu juga yang terjadi di negeri ini. Keterlibatan sejumlah pemimpin kita dalam kasus DKP merupakan bagian kecil dari sekian gundukan perselingkuhan kekuasaan. Dus, bisa saja 118 DE M o K R A S I SU B STA N TI F penguasa memiliki kekuasaan yang tiada tara, tetapi ia tidak akan mempunyai kekuatan ketika berhadapan dengan uang. Soeharto boleh saja tampak perkasa (baca: otoriter) di ha­ dapan rakyatnya, tetapi keperkasaan itu luluh di hadapan geli­ mang harta. Dengan hak interpelasi, DPR boleh perkasa di ha­ dapan eksekutif. Tapi, jangan harap mereka bersuara ketika uang sudah menginterupsi. Logika dan sistem yang demikian barang tentu akan meron­ tokkan segala­galanya. Kebenaran akan diukur seberapa jauh uang dapat diperoleh. Gerak langkah kekuasaan pun menjadi liar. Parahnya, kenyataan tersebut semakin diperkuat oleh sis­ tem perpolitikan kita. Kepartaian dalam demokrasi memaksa setiap orang yang bertarung di gelanggang politik untuk “me­ nyedekahkan” sekian uangnya agar mendapat restu partai dan menempati urutan utama. Syahdan, lengkap sudah kepungan uang dalam bahasa po­ litik kita. Dengan demikian, ketika menjadi DPR, mereka meng­ abdikan diri pada uang, bukan kepada rakyat. Tidak heran jika DPR minta naik gaji sekalipun rakyat bawah dalam kondisi ke­ laparan. Akhirnya, mereka yang tidak memiliki uang akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Sebab, dengan begitulah dia akan mendapatkan kemenangan. Di sinilah ruang dan pe­ luang penyimpangan uang yang semestinya milik publik (res publica), justru digunakan untuk kepuasan pribadi (res private), acap terjadi. Seperti yang terjadi pada kasus DKP yang dijadikan modal berkampanye pada Pemilu 2004 lalu. Para politikus kita terje­ pit pada posisi hasrat berkuasa yang tidak terbendung, tetapi kemampuan modal sangat minim. Sementara, meraih kekuasa­ PER SELI N G K U H A N U A N G D EN G A N KEKUASAAN 119 an membutuhkan uang yang banyak. Dus, menilap uang rakyat pun jadi “solusi”. Karena itu, mengembalikan tanggung jawab perbaikan se­ penuhnya pada individu pun belum tentu dapat dilakukan. Perlu ada perombakan sistem secara besar­besaran. Sinergi sistem de­ ngan perbaikan individu para dewan akan menciptakan nuansa politik yang benar­benar berpijak pada suara nurani, bukan lagi pada keinginan akan money. Mengubah aturan politik dan me­ nindak kejahatan korupsi mereka merupakan salah satu cara. Bagaimanapun, keterlibatan sejumlah anggota DPR dan politikus lain dalam masalah dana DKP merupakan contoh ke­ cil dari keterbudakan para pemimpin kita oleh uang dan ke­ kuasaan. Semuanya dapat dieliminasi jika ditopang dengan perombakan sistem serta pembenahan moral individu secara integral. Uang di Balik Perang (Media Indonesia, Jumat 24 Februari 2006) P erang tidak bisa dilihat sebatas cermin dari kecongkakan manusia atas manusia lainnya: Mustahil, perang murni digerakkan semangat agama, perdamaian, apalagi dile­ galkan semata demi menegakkan demokrasi (baca: invasi lrak). Pada era sistem kapitalisme yang liar bebas, dan mengglobal ini; hanya satu bahwa perang senantiasa dibalut kepentingan dan keserakahan, yakni kepentingan dan keserakahan pemodal dalam melakukan ekspansi ekonomi. Itulah yang ingin dibongkar Amy Goodman melalui buku The Exception to the Rulers: Exposing Oily Politicians War Profiteers, and the Media That Love Them. Menurut Amy Goodman, perang adalah rekayasa belaka. Karya Amy Goodman yang dialihbahasakan Evi Setyarini menjadi Perang Demi Uang: Kebusukan Media, Politikus dan Pebisnis Perang seakan­akan mewakili penulisnya yang memiliki semangat kemanusiaan. U A N G D I BALIK PERANG 121 Panggilan kemanusiaanlah yang mendorong Amy untuk kritis dan berteriak atas nama kemanusiaan dalam menentang segala bentuk perang. Dari pengalamannya sebagai jurnalis yang bergelut di lapangan, Amy Goodman membongkar secara tajam dan akurat perselingkuhan antara negara, pemodal, dan media dalam perang Irak. Misalnya, tulisan Amy yang cukup memukau dalam buku itu adalah saat membongkar konspirasi pembagian harta ghanimah atau pampasan perang antara Amerika Serikat (AS) dan pemodal: Tahun 2003, sekitar 90 perusahaan yang membantu US$ 500 ribu untuk kampanye George W. Bush memenangkan kontrak proyek pascaperang di Irak dan juga Afghanistan. Beberapa perusahaan itu, Science International Corporation (SAIC), Flour Corporation, Dyn Corp, Vinnel Corporation, Bechtel Group, dan Washington Group Internation. Adapun nilai kontrak masing­masing perusahaan berkisar mulai US$ 48 juta hingga US$ 1 miliar untuk 2002­2003. Tidak mengherankan jika di mata penguasa, Amy Goodman lebih lekat sebagai sosok ancaman daripada teman. Misalnya, mantan Presiden AS, Bill Clinton, menganggap jurnalis yang mendapat penghargaan George Polk Award ini sebagai orang yang senantiasa bermusuhan, memicu adu mulut, dan bahkan tidak hormat. Wacana yang dicobahadirkan oleh buku ini sangat relevan dengan konstelasi politik global saat ini, seperti ketegangan Iran (Timur) dengan AS dan Eropa (Barat) mengemuka seolah tinggal menunggu letupan perang dunia jilid III. Saatnya dunia mengatakan “tidak” pada perang. Buku karya Amy Goodman dan dibantu saudara lelakinya, David Goodman, ini wajib bagi mereka yang ingin keluar dari kegemarannya berperang mengatasnamakan perdamaian. De­ ngan pengalihbahasaan yang lunak dan enak dibaca, nuansa 122 DE M o K R A S I SU B STA N TI F meledak­ledak dan provokatif tapi kontemplatif dari tulisan Amy Goodman ini tetap hadir. Pada akhirnya, melalui radio Pacipica dan Democracy Now!­nya, Amy memberikan contoh pentingnya menghadirkan media yang memihak, selain juga membebaskan media sebagai alat penguasa dan pengusaha. Karena itu, media apa pun tidak akan terkikis hanya karena menghadirkan wacana­wacana populis dan kritis, sekalipun melawan arus wacana media massa mainstream yang diken­ dalikan penguasa yang bengis. Bencana ketika Pemilu Berlalu (Jawa Pos, 9 September 2009) K etika musibah Situ Gintung meledak (27/3), Presiden dan Wakil Presiden langsung terjun ke lokasi hari itu juga. Reaksi solidaritas bermunculan, khususnya dari politikus (baca: calon legislatif) dan partai politik. Bahkan, SBY rela dibonceng menggunakan sepeda motor menerjang kema­ cetan jalanan menuju tempat bencana. Inilah momen paling strategis bagi politikus untuk menun­ jukkan kepedulian kepada masyarakat. Sebab, bencana itu “da­ tang tepat” pada waktunya. Yakni, kurang lebih satu minggu sebelum pemilu legislatif berlangsung. Namun, kepedulian yang ditunjukkan para elite politik ter­ sebut kini berbanding terbalik saat terjadi gempa di Tasikmalaya beberapa hari lalu (2/9). Tak ada satu pun pejabat penting yang langsung terjun ke lokasi, kecuali pejabat lokal. Padahal, ribuan pengungsi korban gempa berkekuatan 7,3 skala Richter ter­ 124 DE M o K R A S I SU B STA N TI F sebut hingga hari ini masih telantar di Tasikmalaya. Lengkap sudah derita mereka ketika bantuan dari para pemimpin dan pemerintah yang diharapkan pun tidak datang dengan mudah. Sungguh sebuah respons dan sikap yang jauh berbeda ke­ tika bencana terjadi sebelum pemilu. Gempuran bantuan dan empati seakan lenyap seiring kepentingan politik itu selesai. Bencana memang benar­benar bencana bagi rakyat ketika pemilu berlalu. Bandingkan dengan reaksi terhadap bencana Situ Gintung, misalnya. Semestinya, bencana—apalagi yang menewaskan korban jiwa—bagaimanapun dan sekecil apa pun, tidak boleh dibedakan; melepas segala kepentingan. *** Absennya kepedulian para politikus dan partai dalam bencana ketika pemilu usai dapat menyeruakkan keraguan publik bahwa para politikus tidak benar­benar memedulikan nasib rakyat. Mereka peduli ketika butuh suara rakyat saat pemilu. Ironisnya, justru tatkala korban bencana merana, para wakil terpilih, DPR­ DPD 2009­2014, rencananya menghabiskan biaya pelantikan yang sangat besar, sekitar Rp 75,61 miliar. Para politikus seolah hanya memikirkan bagaimana men­ dapatkan pundi­pundi untuk kelompoknya semata; merebut kabinet dan jabatan di parlemen. Sementara rakyat yang terkena bencana tidak lagi diperhatikan karena momen kepentingan politik itu telah usai. Bukankah mereka tidak akan pernah du­ duk sebagai wakil tanpa dukungan para korban bencana ter­ sebut? Beberapa catatan perlu disampaikan terkait kondisi terse­ but. Pertama, bencana mudah dijadikan komoditas politik, ka­ rena mampu mereproduksi citra populis/peduli para donatur untuk korban. Inilah yang disebut pseudo­populis atau populis B EN C A N A K ETI K A PEMILU BERLALU 125 tipuan (Agus Hilman, Jawa Pos, 1/4). Partai dan politikus hanya melihat bencana dalam kalkulasi politik. Jika menguntungkan bagi citra dan kekuasaannya, bencana diperhatikan. Tetapi, bencana diabaikan jika dianggap tidak produktif. Kedua, fenomena tersebut menegaskan diskontinuitas/in­ konsistensi perilaku politikus dan partai terhadap konstituen. Keberjarakan politikus dan parpol akibat menguatnya mindset pragmatisme politik yang transaksional antara politikus dan konstituen. Politik uang (money politics) yang dikeluarkan untuk merayu pemilih dikalkulasi sebagai bentuk transaksi jual­ beli suara. Tesis yang terbangun kemudian, politikus merasa relasi tanggung jawabnya terhadap konstituen sudah putus ketika pemilu usai, karena relasinya jual­beli. Arjen Boin dan Paul Hart pernah menganalisis bagaimana politik merespons bencana di Belgia yang mampu menjelaskan varian respons terhadap bencana. Terkadang, bencana yang lebih besar tiada respons, tetapi di sisi lain bencana yang lebih kecil justru mendapat porsi respons yang cukup besar dari po­ litikus. Hal ini bisa jadi disebabkan aspek “keuntungan” politik yang terkandung di dalamnya lebih menguntungkan daripada bencana lain yang lebih besar. Cerita bencana yang selalu dimanfaatkan, baik secara poli­ tik atau bahkan ekonomi, memang bukanlah lembar cerita ba­ ru. Selalu ada aktor yang menunggangi bencana untuk kepen­ tingan sendiri. Di dunia ekonomi, bencana acap menjadi ladang konspirasi untuk mengeruk keuntungan oleh kaum pemodal yang sering disebut kapitalisme bencana (disester capitalism). Menurut Naomi Klein (2007), bencana acap kali dijadikan mo­ mentum yang tepat untuk memengaruhi kebijakan publik dan menancapkan pasar bebas. Nyatanya di beberapa negara, pascabencana dijadikan lahan untuk mengeruk keuntungan modal melalui proyek recovery. 126 DE M o K R A S I SU B STA N TI F Ini terjadi, baik pada bencana alam maupun yang sengaja di­ ciptakan, seperti perang. Di Irak, misalnya, pascaagresi tentara Amerika Serikat, para konglomerat yang turut memenangkan George W. Bush sebagai Presiden AS langsung mendapat jatah untuk menguasai kilang­kilang minyak di sana (Amy Goodman, 2003). Sebuah bencana yang diciptakan melalui perang untuk kepentingan korporasi. Inilah salah satu perangai disester capitalism. Bencana memang selalu tidak memihak kepada korban. Ibarat jatuh tertimpa tangga, duka karena lenyapnya harta benda dan ancaman rusaknya tata nilai lokal akibat bencana malah menjadi bahan komoditas. Bencana benar­benar menjadi bencana ketika kejujuran mata hati ditutupi oleh kabut hasrat kekuasaan dan kapital. Kini, bencana alam akan terus mengancam ke depan. Se­ mentara harapan terhadap para pemimpin/politikus untuk benar­benar berpihak tanpa pamrih semakin tipis. Haruskah menunggu pemilu lagi agar kepedulian politikus dan partai ber­ gairah kembali? MPR Harus Konsisten (Jawa Pos, 7 Agustus 2003) H asil amandemen UUD 1945 mengubah wajah dan sis­ tem pemerintahan Indonesia, jika dahulu MPR ber­ fungsi dan berperan sebagai lembaga tertinggi negara yang kewenangannya meliputi apa saja (omnipotent), kini ke­ dudukannya terbatasi (hampir) setara dengan legislatif dan eksekutif sebagai lembaga tertinggi. Karena itu, ST MPR 2003 dan untuk masa yang akan da­ tang berbeda dengan ST MPR 2002 maupun 2001. Karena progress report menjadi tidak penting pasca­amandemen UUD 1945 tersebut, MPR tidak lagi berhak meminta progress report dan pertanggungjawaban presiden yang berkaitan dengan pelaksanaan GBHN. Tetapi, yang berkenaan dengan UUD, MPR masih memiliki kewenangan penuh. Hal ini mengacu pada Pasal 2 aturan per­ alihan UUD hasil amandemen, namun berbeda jika kita meng­ 128 DE M o K R A S I SU B STA N TI F acu pada Pasal 3 UUD yang asli yakni MPR memiliki tugas dan wewenang menetapkan UUD dan GBHN. Perbedaannya makin terasa kala melihat Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 amandemen yang menggariskan bahwa kewenangan MPR hanya mengubah dan menetapkan UUD. Sementara itu, di dalam ayat (2) dan (3), tugas MPR adalah melantik presiden dan wakil presiden serta dalam masa jabatan mereka menurut UUD 1945 hasil amandemen. Atas perubahan kewenangan itu, keluasan wewenang MPR tidak seperti dahulu. MPR kini hanya bertugas mengangkat presiden dan tidak berhak melakukan impeachment. Demikian diungkapkan Ketua MPR Amien Rais pada suatu kesempatan di harian nasional terbitan ibu kota. Bahkan, pengkajian masalah UUD kini diserahkan pada Komisi Konstitusi (KK) yang ren­ cananya dibentuk pada ST MPR 2003 ini. Maka itu, ST MPR yang berlangsung saat ini merupakan sidang yang terakhir mendengarkan laporan progress report presiden, karena jika berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen, MPR tidak berwenang lagi meminta presiden maupun lembaga tinggi lainnya menyampaikan progress report. Demikian juga, presiden ataupun lembaga­lembaga tinggi negara lainnya ti­ dak perlu lagi melakukan pertanggungjawaban kinerja di ha­ dapan MPR dan MPR tidak bisa berbuat semuanya terhadap presiden. Berdasarkan pernik­pernik pemikiran di atas, desakan se­ jumlah fraksi agar pimpinan dan seluruh anggota majelis mem­ bentuk komisi rekomendasi sebagai koreksi/evalusai terhadap kinerja presiden menjadi kurang relevan dan ironis. Dikatakan ironis karena bukankah yang mengamandemen UUD 1945 yang melegalkan presiden tidak menyampaikan progress report dan pertanggungjawabannya adalah anggota MPR? Toh tetap saja hal itu dilabrak. MPR H A R US KoNSISTEN 129 Sesungguhnya, di sinilah kita patut mempertanyakan kon­ sistensi anggota majelis terhadap UUD 1945 yang diamandemen bersama, UUD amandemen yang telah disepakati bersama itu haruslah dijalankan secara saksama dan konsisten. Kalaupun penerapan UUD tersebut masih menimbulkan polemik yang tak berkesudahan, sah­sah saja UUD 1945 hasil amandemen tersebut ditinjau kembali. Mengacu tahun sebelumnya, ST MPR memang berwenang mendengar, mengevaluasi, serta meminta presiden menyampai­ kan progress report dan pertanggungjawabannya. Hal itu me­ rupakan turunan fungsi yudikatif untuk mengoreksi hasil kerja dan program kerja yang telah dirancang pemerintah. Dengan begitu, pemerintah tidak dapat semena­mena menerapkan ke­ bijakan yang tidak sesuai dengan konstitusi (UUD/GBHN). Permasalahannya, selama ini ‘kan tidak ada reasoning yang jelas mengapa kewenangan itu diamandemen MPR sehingga progress report dan laporan pertanggungjawaban ditiadakan dalam ST MPR. Padahal, laporan progress report dan per­ tanggungjawaban presiden beserta lembaga­lembaga tinggi ne­ gara sangat penting diadakan sepanjang berada pada koridor tertentu. Yakni murni untuk meluruskan dan mengoreksi pemerintah. Bisa jadi, peniadaan progress report maupun pertanggung­ jawaban presiden karena berkaca pada sejarah. Yakni sejarah perpolitikan Indonesia yang acap menjadikan progress report dan pertanggungjawaban dalam ST MPR sebagai batu loncatan atau modus operandi untuk menggulingkan dan mencitrane­ gatifkan presiden. Akibatnya, hal itu berpeluang mengabaikan objektivitas sisi kebenaran dan keadilan kolektif, sebagaimana tragedi ST MPR 2001 yang kemudian dipercepat menjadi Sidang Istimewa (SI) MPR dan membawa Presiden KH Abdurrahman Wahid lengser dari tampuk kekuasaannya. 130 DE M o K R A S I SU B STA N TI F Alasan kedua, bisa saja peniadaan tersebut dilakukan karena melihat mekanisme keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang telah diatur dalam UUD amandemen. Ber­ dasarkan UUD tersebut, keanggotaan MPR terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Akibatnya, hal itu mengakibatkan kurangnya efektivitas fungsi pengawasan MPR terhadap presiden dan apalagi DPR. Karena itu, anggota MPR haruslah berpikir jernih dengan nurani yang bersih. Konsistensi terhadap UUD yang telah dise­ pakati adalah jalan terbaik bagi kita menuju negara yang lebih bermartabat. Toh, UUD 1945 amandemen dibuat berdasarkan kesepakatan bersama. Jika dipandang tidak efektif pun, UUD 1945 amandemen bisa ditinjau kembali dan diamandemen se­ suai dengan kesepakatan bersama tanpa merugikan pihak mana pun. Wakil Rakyat Bertekuk Lutut (Jawa Pos, 24 Februari 2006) M antan presiden Abdurrahman Wahid pernah melon­ tarkan pernyataan “DPR seperti taman kanak­kanak” selang beberapa hari setelah dilantik MPR sebagai presiden pada 1999. Karena pernyataan itu, dia terseret konlik dengan legislatif hingga mengantarkannya (di)lengser(kan) dari tampuk kekuasaan. Namun, mencermati DPR sekarang, pernyataan Gus Dur tersebut, tampaknya, mulai mendekati kebenaran. Bukankah baku hantam antardewan tahun lalu dan noraknya DPR dalam mempertontonkan fungsi legislasi menunjukkan sifat kekanak­ kanakan? Pada dasarnya, peran dan fungsi DPR terletak pada monitoring­nya terhadap segala kinerja pemerintah. Fungsi kontrol dan legislasi menjadi niscaya ketika melihat perubahan­ perubahan sistem ketatanegaraan kita yang mengonversi trias­ 132 DE M o K R A S I SU B STA N TI F politika konvensional (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) men­ jadi setara. Jika dulu MPR sebagai lembaga yudikatif merupakan lembaga tertinggi, kini mereka setara dengan DPR (legislatif) dan presiden (eksekutif) sebagai lembaga tinggi negara. Keniscayaan selanjutnya dari perubahan sistem tersebut adalah diperlukan keberadaan satu struktur di luar eksekutif untuk berperan lebih masif serta kritis. Dan, DPR­lah satu­ satunya lembaga struktur negara sebagai alat strategis, legal, dan prosedural. Karena bagaimanapun, tingkat kepercayaan diri dan arogansi kepala negara (eksekutif) yang dipilih secara langsung oleh rakyat lebih besar daripada kepala negara yang dipilih segelintir kelompok di parlemen (baca: MPR) seperti dulu. Namun, alih­alih memerankan diri sebagaimana mestinya, DPR tanpa malu justru menampakkan realitas sebaliknya kepa­ da publik. Dewan justru bertekuk lutut kepada pemerintah. Itu­ lah kritik Amien Rais atas peran DPR yang cenderung mengarah menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah. Ketidakberdayaan DPR tersebut begitu terlihat dari mu­ dahnya pemerintah mengobok­obok dewan saat ingin meng­ ajukan hak angket dan interpelasi impor beras. Ibarat anak­ anak, seolah DPR cukup dinasihati dan diberi permen seharga lima puluh perak. Maka, ia tidak akan lagi merengek dan banyak cuap karena terbius kenikmatan melumat manisnya permen pemberian bapak. Di sinilah kedewasaan DPR dalam mengemban amanah politik rakyat harus dijalankan. Politik yang dewasa adalah poli­ tik rasional, bergerak berdasarkan nurani dan rasionalitas. Men­ jalankan amanah politik berdasar rasionalitas akan senantiasa berpihak pada kebenaran. Sebab, hakikat rasionalitas adalah pemihakan dan berani mengatakan kebenaran. WA K I L R A K y A T B ERTEKUK LUTUT 133 Ciri pemihakan itu tentu harus direpresentasikan dengan kepekaan atas problem rakyat dan peran kritis DPR terhadap pemerintah serta tidak asal setuju dan mengetok palu. Tindak­ an DPR yang asal setuju, memihak kelompok, dan tidak meng­ gunakan akal budi merupakan cermin ketidakdewasaan politik. Itulah tanda politik yang kanak­kanak (baca: tidak rasional dan tidak memihak kebenaran). refleksi sistem Secara objektif dan menyeluruh, lemahnya kontrol DPR terha­ dap pemerintah tidak hanya menjadi problem individu DPR, tetapi juga merupakan akibat efek domino atas kerja sistem yang selama ini berjalan, terutama sistem politik yang diterapkan. Hal tersebut bisa dilihat dari kuatnya kontrol dan pengaruh partai dalam mengubah kebijakan di parlemen. Dalam hal itu, sistem kontrol partai dialirkan ke duta­duta mereka yang ber­ cokol di parlemen. Kuatnya kontrol partai di parlemen menjadi masalah ketika melihat kenyataan bahwa hampir seluruh partai di parlemen tidak benar­benar serius melaksanakan agenda menyejahterakan rakyat. Walhasil, segala keputusan di parlemen harus selaras de­ ngan logika kepentingan partai. Di situlah kelemahan sistem kepartaian yang harus ditanggalkan. Kenyataan tersebut kemudian mengancam tumbuhnya oli­ garki partai di DPR. Oligarki partai bisa dilihat dari kuasa par­ tai dalam me­recall anggota dewan yang menentang kebijakan partai. Mengendalikan DPR cukup dengan memegang pengen­ dali partainya. Permasalahan bertambah ketika sosok eksekutif merang­ kap menjadi ketua partai. Apalagi, partai yang dipegang me­ miliki komposisi kursi terbesar di parlemen. Permasalahan keti­ dakkritisan DPR lebih merupakan problem sistem politik dalam 134 DE M o K R A S I SU B STA N TI F menjalankan roda negara ini. Itulah salah satu alasan DPR (di) bungkam. Perilaku politik yang berpijak pada logika ekonomi bahwa modal (money) harus kembali menjadi keuntungan (laba/more money) pun turut andil sebagai spirit. Karenanya, dana kampanye yang menelan ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk merebut kursi dewan harus kem­ bali menjadi laba. Oportunisme dalam politik pun tidak bisa dihindari. Wajar kemudian DPR bungkam dan tidak lagi me­ rengek selama gaji pokok dinaikkan atau memaksa sang ayah (baca: pemerintah) untuk selalu memberikan permen sebelum mengeluarkan kebijakan. Maka itu, sistem politik yang kita terapkan harus ditinjau kembali. Jika tidak, tontonan­tontonan DPR yang memuakkan akan terus menghiasi deretan masalah politik di negeri ini. BAGIAN v AGAMA, IDENTITAS, DAN GLoBALISASI Kritik Ilmu Keislaman, Menyuarakan Islam di Era Kekinian (Karya Ilmiah Juara I LKTI Tingkat Nasional) S ejarah membuktikan, agama mampu menembus dan membelah jeruji ruang dan waktu yang dilintasi manusia sekalipun dalam wujud dan bentuk yang berbeda. Sifat agama yang omnipresent tersebut menegaskan bahwa peradaban manusia, baik secara langsung atau tidak, dirangkai oleh agama. Keyakinan kaum rasionalis dan eksistensialis termentahkan oleh fakta semakin menguatnya bukti kebangkitan agama. Mungkin kenyataan itulah yang mendorong Hisanori Kato untuk berani dengan tegas mengatakan, agama selalu ada dan akan selalu ada sepanjang perjalanan sejarah manusia bahkan agama dan peradaban hampir tidak dapat dipisahkan.1 Keutuhan agama melintasi sejarah manusia menggambar­ kan bahwa agama, dalam artian luas, merupakan kebutuhan dasariah yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Bahkan, Al­ Quran menggambarkan manusia sebagai makhluk yang secara 138 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI itrah membutuhkan Tuhan.2 Dengan demikian, agama ditu­ runkan tidak lain hanya untuk manusia. Sifat agama yang tidak bisa lepas dari manusia itulah tertancapkan sebuah ikhtiar untuk selalu memberikan ruang­ruang pemikiran kembali di dalam setiap ajaran agama. Sebagai pegangan hidup (the way of life) bagi manusia yang terus hadir, agama harus mampu ber­ bicara dan menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan dan tun­ tutan zaman di mana dan kapan pun ia dihayati. Islam melihat, kecenderungan beragama merupakan itrah dari Tuhan. Ketika manusia mencoba menjauh dari agama (Tuhan), keterasingan justru akan muncul dalam jiwanya. Se­ bab, kecenderungan tersebut merupakan hasil kontrak manusia dengan Sang Pencipta di zaman azali. Sebuah ruang ahistoris yang mengandaikan ketercukupan dan keberlimpahan yang penuh di dalamnya.3 Inilah relevansi agama untuk diketengah­ kan di dalam ruang zaman yang bergerak pada aras rasional an sich tetapi mengabaikan hal­hal yang bersifat spiritual yang cenderung mengalienasikan manusia dari dirinya sendiri. Ma­ syarakat modern merupakan satu tatanan masyarakat yang ter­ bangun di atas rasio yang kini mulai mendapat gugatan kuat, seperti yang terlihat dengan gejala kebangkitan spiritualitas New Age pada akhir abad ke­21 ini.4 Pada sisi lain, agama kini juga mulai bangkit dan menam­ pakkan taringnya, pun demikian Islam. Masjid, gereja, sinagog, wihara, dan tempat­tempat ibadah lainnya mulai dibanjiri oleh umat­umat. Pengajian keagamaan di kantor­kantor semakin marak. Di lain bilik, kita menyaksikan aksi teror yang menewas­ kan ribuan manusia di WTC pada 11 September 2001, Hotel JW Marriott, Bom Bali I & II, dan berbagai aksi kekerasan di be­ lahan dunia saat ini. Mereka mengatasnamakan agama. Inikah yang disebut sebagai kebangkitan agama? Mungkinkah itu me­ rupakan satu jawaban bahwa agama telah menjawab perkem­ KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 139 bangan zaman saat ini? Di sinilah perlu kiranya kembali me­ narik agama agar mampu berbicara di tengah perubahan zaman yang demikian cepat ini. Dan dalam wilayah itu jugalah perlu mengupas dan mereleksikan kembali relevansi dan kekuatan respons, ilmu­ilmu keislaman dalam menjawab tantangan za­ man di era globalisasi ini. Islam dalam arus globalisasi Kini, dunia sudah memasuki era yang jauh berbeda dengan satu abad lalu. Revolusi pemikiran manusia yang membawa era yang disebut modernisme hingga era informasi saat ini telah meng­ hadirkan produk­produk teknologi yang menakjubkan. Revolusi itu tidak hanya meruntuhkan ketidakmungkinan (imposibility) menjadi mungkin (posibility), tetapi juga menggulingkan tirani alam yang dahulu dianggap sebagai subjek pemberi keselamatan dan pusat ketakutan manusia menjadi objek yang memberikan kepuasan hasrat manusia. Rasionalitas manusia duduk dalam posisi superior dari segalanya. Kemajuan pemikiran manusia di era modern tersebut mau tidak mau memaksa segala entitas yang melingkupi perjalanan sejarah manusia, baik di bidang politik, sosial, budaya, dan bahkan ranah agama sekalipun untuk turut berubah. Perubahan yang dibawa oleh modernisme sebagai produk pemikiran ma­ nusia merupakan keniscayaan sejarah yang tidak bisa lagi di­ elakkan. Pernyataan ini muncul dikarenakan modernisme tidak hanya melahirkan barang teknologi (televisi, handphone, inter­ net), tetapi juga secara bersamaan mampu menggoyang dan bahkan meruntuhkan tata nilai yang melekat erat di dalam din­ ding budaya, politik, sosial, dan agama yang telah dijalani dan diimani oleh manusia sendiri berabad­abad lamanya.5 Pergeseran­pergeseran di dalam tata nilai dan kompleksitas problematika masyakarat modern dan postmodern kini sedang 140 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI memaksa agama untuk menjawab semua itu. Memang, aga­ ma bukan obat segala macam penyakit (panacea), tetapi tun­ tutan tersebut disebabkan selain agama sebagai pegangan hidup manusia (the way of life), ia juga selalu mengitari ke­ hidupan manusia sebagai kenyataan dari itrah manusia yang tidak bisa terlepas darinya. Di dalam ruang budaya dan tata hidup, bagaimana agama memperlakukan mereka yang meng­ alami kompleksitas persoalan seksualitas manusia, seperti homoseksual dan heteroseksual. Atau akankah agama sela­ lu menempatkan perempuan sebagai subordinat yang tidak memiliki peran­peran publik sedikit pun dan berbagai pro­ blematika yang muncul di zaman kekinian yang tidak ada pada zaman di mana agama itu muncul kali pertama? Di tengah tuntutan dan desakan zaman tersebut, agama tidak akan mampu mengelak dari letupan ketegangan dalam setiap etape perubahan. Sebuah gejala yang lazim terjadi, tidak bisa dihindari, dan merupakan konsekuensi dari kehadiran aga­ ma dalam ruang sejarah manusia yang terus bergerak berubah. Karena itu, ketegangan agama dengan perubahan zaman bukan berupaya untuk dihindari melainkan diolah agar agama bergerak produktif sesuai dengan tuntutan perubahan. Menghindari kete­ gangan sama dengan menghindari perubahan dan menghindari perubahan berarti agama harus siap dikeluarkan dari panggung sejarah manusia, sebagaimana dienyahkannya dewa­dewi Arab Jahiliyah dan diganti oleh Islam yang dianggap lebih menjawab persoalan zaman. Dalam pada itu, ada tiga bentuk respons masyarakat Islam dalam melihat perubahan akibat arus modernisme/globalisasi menurut Ma'an Ziyadah. Pertama, fundamentalisme yang serta­merta menolak bentuk pemikiran modernisme karena ia merupakan produk pemikiran Barat (kair) yang tidak Islami. Kedua, sikap western oriented, yang menerima segala bentuk KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 141 pemikiran Barat mentah­mentah karena dianggap sebagai representasi modernitas. Untuk menjadi modern, maka harus menjadi Barat. Ketiga, tauqiiyah. Pandangan yang ketiga ini berusaha memadukan antara pemikiran modern dengan Islam. Ada sisi yang baik dari modernisme yang dapat dikawinkan dengan Islam.6 Tiga respons tersebut menggumpal akibat ketegangan­ketegangan, tetapi melahirkan reaksi yang berbeda­ beda. Ketegangan mengandaikan sebuah dialektika antara tun­ tutan zaman di ruang mana agama itu berpijak yang nantinya akan memperkaya khazanah ajaran yang dikembangkan agama itu sendiri. Pada aras inilah Islam sebagai sebuah agama ha­ rus memainkan peranan. Akan tetapi, ibarat api jauh dari panggang, Islam secara keseluruhan belum mampu menjawab problematika yang datang dari zaman kekinian. Misalnya, bagaimana agama Islam menjawab perubahan­perubahan ta­ tanan hidup masyarakat dunia di era globalisasi ini di mana kemiskinan semakin menganga, perang global terus membara, despotisme hasrat manusia memberhalakan materi, dan sema­ kin menguatnya identitas kelompok (bangsa, bahasa, ras, dan budaya)? Di tengah perubahan yang dahsyat dan problem globalisasi yang semakin memperkuat sentimen identitas sebuah bangsa, Islam justru bergerak menjadi identitas eksklusif. Islam yang secara historis seharusnya memainkan peranan meruntuhkan segala bentuk dinding pembatas manusia malah membangun pembatas­pembatas baru dan bahkan tampil dalam identitas yang lebih mengerikan beberapa tahun terakhir ini. Semua entitas luar dan yang lahir dari luar Islam (the other) dilihat sebagai sebuah ancaman. Respons yang emosional dari ke­ lompok Islam.7 Di dalam rotasi perubahan zaman itu, Islam justru bergerak ke belakang dan mengangkangi kemajuan. Hal 142 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI tersebut bisa jadi merupakan tindakan tak sadar akan ketidak­ mampuan Islam untuk tampil memberikan kontribusi di zaman kini yang pada sisi lain mengungkung Islam dalam belenggu keterbelakangan dan kebodohan. Secara normatif, Islam merupakan agama yang meletakkan prinsip reponsif terhadap perubahan sebagai jalan yang niscaya ditempuh,8 karena Islam memosisikan akal manusia pada posisi yang sangat tinggi sementara akal manusia tidak pemah stagnan alias terus mengalami perkembangan (evolution) dan pengayaan.9 Karenanya, di dalam setiap perubahan zaman yang dihasilkan manusia, Islam akan bergerak releks untuk menjawab perubahan­perubahan yang datang, baik perubahan di dalam budaya, sosial, dan politik. Akan tetapi, yang hadir justru sebuah kesenjangan antara “yang seharusnya” dengan “yang senyatanya”. Islam tidak mampu untuk beradaptasi apa­ lagi bersuara di tengah perubahan zaman. Skripturalitas justru menjadi landasan untuk merespons perubahan. Islam yang seharusnya bergerak mewarnai malah mengalami involusi di dalam perubahan zaman yang demikian cepat ini. Jika meng­ ikuti pemikiran Ma'an Ziyadah di atas, respons yang pertama lebih dominan daripada respons ketiga di dalam dunia Islam terhadap perkembangan zaman kini. Merebaknya corak Islam yang rigid beberapa dekade ini merupakan contoh dari gerak Islam yang gamang merespons perubahan­perubahan yang datang. Lahirnya produk­produk modernisme yang menggiring pada pembentukan satu tatanan dunia global yang mungil (global village) di mana satu sisi me­ nyeragamkan, tetapi sisi lain meneguhkan perbedaan, malah dijawab oleh Islam dengan pengembangan agama formal. Di beberapa belahan dunia Islam semakin menguatkan cita­cita dan impian untuk membangun satu komunitas Islam dunia yang berprinsip romantik dan mengejar “ridha” teks­teks agama KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 143 tanpa releksi, kontemplasi, dan kontekstualisasi makna. Di sini, agama bergerak tidak semata sebagai the way of life (hudan li al-nâs), tetapi juga menjadi bagian dari jejaring identitas bagi pemeluknya. Dalam cara demikian, respons Islam justru melihat bukan Islam yang hadir dalam sejarah manusia, melainkan sebaliknya. Dengan begitu, segala bentuk yang muncul dalam sejarah ma­ nusia harus dibersihkan dengan segala aturan dan ajaran­ajaran yang dianggap Islami. Misalnya, ketika datang perubahan di dalam politik dan budaya, maka serta-merta akan diilter oleh Islam, apalagi jika perubahan itu dipandang menghancurkan Islam secara formal. Teks­teks agama tidak lebih hanya berperan sebagai polisi tetapi pasif dalam memberikan sumbangan per­ ubahan. Sementara Islam berperan layaknya lembaga sensor atas perkembangan dan perubahan yang terjadi, baik di dalam budaya, sosial, maupun ilmu pengetahuan. Hal itu terjadi karena Islam diperlakukan sebagai kosmos dalam artian ruang dan waktu yang di dalamnya terdapat hukum sejarah dan budaya manusia. Implikasi dari melihat Islam sebagai kosmos, yang beradaptasi adalah kesejarahan manusia, bukan Islam yang beradaptasi dengan logika dan hukum kesejarahan manusia. Teks­teks normatif agama (Al­Quran dan hadis) tidak di­ pahami lahir di dalam sebuah ruang budaya, seting sosial dan politik masyarakat Arab dahulu, tetapi Al­Quran dianggap ber­ sih dari campur tangan budaya, karena ia murni merupakan irman Allah SWT dan berposisi sebagai kosmos. Doktrin normatif yang mendorong pemaknaan Islam sebagai kosmos selalu diambil dari klaim Al­Quran yang sholih fî kulli al-zamân wa al-makân, abadi dalam melintasi ruang dan waktu.10 Pada ta­ taran ini, teks agama ditarik dari sejarah manusia dan saat itu­ lah dia berubah menjadi transenden dan tersakralkan. Posisi Al­Quran yang transenden itu menggiringnya menjadi se­ 144 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI kumpulan doktrin yang tak terjamah (untouchable) oleh se­ gala seting sosial, budaya, dan politik yang mengitarinya. Di sinilah cara pandang Islam mainstream yang berkembang dalam menanggapi perubahan yang dibawa modernisme dan globalisasi. Produk paradigma pemikiran Islam yang demikian bisa dilacak dari munculnya corak Islam formal yang begitu me­ nguat saat ini, baik di tingkat global maupun nasional. Di Indonesia, semakin menguat desakan untuk memformulasikan hukum­hukum Islam untuk diimplementasikan di dalam ruang kehidupan sosial dan budaya, seperti upaya untuk mema­ sukkan kembali Piagam Jakarta.11 Sebagai bentuk dari ekspresi keberagamaan dan dilindungi oleh undang­undang negara, tuntutan itu sah­saha saja. Tetapi yang perlu diketengahkan sebagai diskursus adalah syariat yang hendak diimplementasikan tersebut bercorak klasik yang notabene produk teks­teks Islam abad pertama. Misalnya, kini mulai muncul perda­perda syariat Islam di berbagai daerah seperti di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sulawesi Selatan, Mataram­NTB, dan daerah­daerah lainnya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, sepuluh tahun yang akan datang Indonesia akan dikuasai pemikiran­pemikiran Islam formal yang terus menguat. Ini juga yang digelisahkan oleh Martin van Bruinessen dalam melihat pergeseran pemikir­ an Islam di Indonesia sejak 1990­an. AI­Quran sebagai teks normatif menempati posisi yang sangat sentral di dalam Islam, terutama Islam era pasca­Nabi Muhammad. la tidak hanya dianggap sebagai irman Allah, tetapi juga diimani oleh pemeluknya sebagai petunjuk hidup ma­ nusia di dalam menjawab segala macam problematika kehidup­ an manusia. Tidak salah jika Nasr Hamid Abu Zaid mengklaim bahwa peradaban Islam sebagai peradaban teks.12 Karena, per­ adaban yang didulang Islam berangkat dan dibentuk oleh teks­ KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 145 teks normatif agamanya. Karena itu, agar Islam bisa bersuara di kancah zaman kekinian, terlebih dahulu harus dibongkar bagaimana teks­teks Islam berbicara di tengah arus perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang cepat. Yakni, membongkar metodologi dan epistemologi keilmuan­keilmuan Islam yang dikembangkan saat ini. Di sinilah pentingnya melihat kembali keilmuan­keilmuan Islam yang dikembangkan selama ini untuk dikontekskan de­ ngan gerak zaman kekinian. Posisi Al­Quran yang demikian penting di dalam Islam memungkinkan kita untuk melakukan perombakan keilmuan Islam agar bisa menjawab tuntutan zaman. Hampir semua produk pemikiran di dalam Islam dipe­ ngaruhi dari bagaimana cara memperlakukan Al­Quran. Misal­ nya, melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi di dalam ilmu ikih, harus membongkar lebih dalam terhadap bangunan dasar paradigma dalam melihat Al­Quran, tidak cukup dengan cara mengontekstualisasikan ikih-ikih produk klasik tetapi tidak membongkar bagaimana paradigma dalam melihat Al­ Quran.13 Gerak penyakralan pemikiran (taqdis al-afkar aldieny) keagamaan yang dikritik oleh Muhammad Arkoun pada dasarnya dikarenakan adanya pengaruh determinan dalam melihat Al­Quran secara berlebihan sebagai teks yang kosmik, transenden, dan tak terjamah oleh ruang dan waktu.14 Fakta yang terjadi di dalam modernisme adalah kehadiran teknologi­teknologi yang satu sisi memberikan kemudahan bagi manusia, tetapi pada sisi lain membangun jejaring keterasingan (alienasi) manusia. Sementara, globalisasi yang juga merupakan kelanjutan sejarah dari modernisme telah membuka tabir jarak teritori dan identitas menjadi kabur sehingga memunculkan ke­ gelisahan di dalam diri manusia ketika melihat di luar diri seba­ gai the other yang mengancam. Perbedaan dan keseragaman tidak dapat dielakkan. Pada sisi lain, agama, khususnya Islam, 146 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI tidak mampu memenuhi ruang dan mendamaikan ketegangan tersebut. Alih­alih mendamaikan, agama justru memperparah keadaan dengan muncul sebagai identitas baru yang juga ter­ ancam atas keberadaan yang lain di luar dirinya. Inilah salah satu tahap krisis yang ditegaskan Malachi Martin sebagaimana dikutip Djohan Effendi ketika memberikan pengantar buku The Religions of Man, karya Huston Smith edisi Indonesia.15 teks yang Berbahasa Hal utama yang harus dilakukan agar teks bersuara dalam kan­ cah perubahan zaman adalah dengan cara keluar dari hegemoni teks Al­Quran yang dianggap berada di luar sejarah manusia. AI­Quran sebagai sebuah teks hadir di dalam dunia sejarah manusia, bukan dunia sejarah yang hadir di dalam kosmos teks Al­Quran. Dunia sejarah manusia merupakan sebuah ruang du­ nia simbolik yang penuh dengan banyak reduksi dan hukum­ hukum kesejarahan lainnya. Di dalam langgam itulah Al­Quran harus dipahami. Kenyataan ini bukan berarti merendahkan Al­ Quran sebagai irman Allah, melainkan untuk menegaskan bahwa Al-Quran sebagai irman Tuhan yang menjelma dalam teks dengan sendirinya tidak akan bisa terlepas dari hukum­hukum sejarah. Dan karena itulah, dia tidak menjadi anti­sejarah, transcendental, dan untouchable, melainkan merupakan teks yang berposisi tunduk pada hukum sejarah. Apa pun yang dikandung dan ditegaskan secara tekstual oleh Al­Quran tidak boleh tidak akan diuji oleh kenyataan seja­ rah manusia yang melingkupi budaya, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan. Alasan tersebut dikarenakan Islam diturunkan untuk manusia tidak untuk Tuhan.16 Pada persoalan ini, Muhammad ‘Imarah, sebagaimana dikutip juga oleh Tolak Imam Putra, memberi istilah bahwa Islam bersumber dari Tuhan tetapi berorientasi manusia (al-Islâm ilâhiy al-mashdar KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 147 insâniy al-maudhû).17 Orientasi manusia yang ditekankan Islam berimplikasi untuk kepentingan manusia membawa keniscayaan pada paradigma kita dalam melihat Islam sebagai produk seja­ rah. Dikatakan produk sejarah, karena kemunculan Islam atau­ pun lahirnya Al­Quran didorong oleh faktor­faktor sejarah yang melingkupinya. Bahkan, faktor­faktor sejarah ataupun seting sosial dan budaya tersebut memberikan pengaruh besar dalam merangkai Islam dan teks Al­Quran saat itu. Selain itu, persoalan yang paling penting diketengahkan adalah konsekuensi kesejarahan irman Allah SWT (Al-Quran) ketika ia menggunakan bahasa Arab sebagai kode agar irman itu bisa dipahami oleh manusia. Penggunaan bahasa Arab di dalam Al­Quran ditegaskan berkali­kali oleh Allah sendiri di dalam Al­Quran.18 Kurang lebih terdapat dalam delapan ayat, Allah menegaskan di dalam Al­Quran bahwa Al­Quran itu menggunakan bahasa Arab.19 Allah menurunkan Al­Quran de­ ngan menggunakan bahasa Arab menunjukkan bahwa irman yang suci dan melintasi batas waktu itu sengaja digunakan Allah agar mudah dipahami oleh manusia dan agar manusia bisa menggali makna yang tidak terungkap oleh bahasa itu sendiri. Allah menggunakan bahasa Arab sebagai media untuk menyam­ paikan irman-Nya yang Mahaluas itu, saat itulah kesejarahan Al­Quran terjadi. Arti dari kesejarahan Al­Quran memiliki banyak aspek. Kesejarahan berarti bahwa saat Al­Quran menjelma ke dalam bahasa Arab atau lebih tepatnya bahasa manusia, maka saat itu­ lah ia bergumul dengan segala kenisbian budaya manusia. Arti­ nya, irman Allah dan atau Islam dalam artian yang lebih luas tidak bisa terlepas dari seting sosial dan budaya yang berjalan di wilayah Arab saat itu. Ini berari, apa pun yang diungkap oleh Al­Quran, tidak dengan serta­merta mencerminkan totalitas gagasan yang hendak diirmankan oleh Allah SWT. Sebuah 148 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI keniscayaan yang tidak bisa dielakkan oleh Al­Quran di saat dia memasuki ruang bahasa manusia yang di dalamnya merupakan hasil akumulasi dan endapan dari dialektika budaya, sosial, dan politik masyarakat Arab.20 Penegasan Al­Quran tidak hanya pada penggunaan oleh Al­Quran tetapi juga Tuhan misalnya berkali­kali menegaskan bahwa Muhammad sebagai manusia biasa yang bisa lapar, haus, marah, sedih, menangis, tidur dan mati sebagaimana manusia biasanya. Bahkan, dia tidak mampu membaca dan menulis.21 Dia tidak digambarkan oleh Al­Quran sebagai dewa atau­ pun malaikat. Penegasan Muhammad sebagai manusia biasa menjadi bermakna bahwa Al­Quran juga masuk dalam sejarah (kesemestaan bahasa dan budaya manusia) jika dikontekskan dengan peran dan fungsi Muhammad sebagai utusan Allah dan penyampai pesan­pesan­Nya untuk memberi kabar kepada manusia.22 Inilah alasan mengapa Al­Quran saat dia menjel­ ma menjadi teks atau nash yang berbahasa Arab berarti juga ia telah masuk dalam dunia kesejarahan manusia yang tidak mampu mengungkap semua hamparan ke dalam segala se­ suatu yang kasat mata. Di dalam kesejarahan manusia terdapat bahasa dan budaya. Segala bentuk ekspresi budaya tidak bisa mengejawantahkan kedalaman nilai dan pengalaman yang diekspresikan ke dalam budaya tersebut. Demikian juga dengan bahasa. Al­Quran merupakan gagasan Allah yang masuk ke dalam dunia simbolik bahasa. Dalam kajian strukturalisme, bahasa merupakan cerminan dari budaya induk semangnya. Misal­ nya, bahasa Batak mengarakterkan budaya Batak, bahasa Jawa mengarakterkan budaya Jawa, dan bahasa Arab akan meng­ arakterkan budaya Arab. Dengan demikian, ketika Allah me­ milih bahasa Arab sebagai wadah menyemayamkan irman-Nya, maka irman-irman itu tidak akan lepas dari nilai-nilai budaya KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 149 yang menempel di dalam kesadaran bahasa Arab tersebut. Ma­ suknya irman atau kalam Allah dalam simbol bahasa Arab menunjukkan ketidakmampuan bahasa manusia dalam me­ nampung seluruh gagasan Allah. Pada level ini, secara teks, Al­ Quran bersejajar dengan teks­teks lainnya, tetapi dia bernilai lebih karena menampung gagasan Allah yang tersembunyi dan tidak dapat terkatakan di dalam keterbatasan bahasa. Masuknya irman Tuhan ke dalam simbol bahasa manusia tidak bisa dipisahkan karena memang manusia merupakan animal symbolicum, sebagai satu­satunya alat yang bisa di­ gunakan agar pesan yang disampaikan bisa dipahami oleh manusia.23 Cakrawala bahasa manusia mampu mengirim sebuah pesan kepada komunikan. Bisa dibayangkan jika manusia tidak mempunyai bahasa. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Penegasan Al­Quran berkali­kali bahwa dia menggunakan bahasa Arab yang jelas, ingin menekankan bahwa seluruh kali­ mat yang disampaikan Al­Quran tidak dapat merangkum ga­ gasan Allah karena bahasa yang digunakan adalah bahasa ma­ nusia. Akan tetapi, makna penegasan Al­Quran berbahasa Arab di dalam kajian­kajian studi Islam konvensional justru terjebak pada pengultusan bahasa Arab sebagai bahasa yang paling baik di bumi ini sehingga Allah memilih bahasa tersebut un­ tuk Al­Quran. Jangankan gagasan dan alam pikir Allah Yang Mahaluas, pikiran yang mengendap di dalam diri manusia saja tidak dapat diungkapkan semua oleh bahasa. Karena itulah, Lacan melihat bahasa sebagai simbol dari kekurangan yang tidak bisa memenuhi gagasan apa pun dan karenanya ia tidak menjelaskan makna (petanda/signiied), melainkan simbol­ simbol bahasa yang lain (penanda/signiier). Memahami kesejarahan Al­Quran berarti juga menegaskan bahwa teks­teks yang diungkapkan Al­Quran terbatas, dan 150 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI karenanya tidak bisa dipahami secara tekstual begitu saja, tanpa menggali irman yang tidak terkatakan dalam Al-Quran. Dalam konteks inilah yang dimaksud Ali Harb bahwa Al­Quran tidak bisa dipersempit sebagai cermin realitas, melainkan ia ber­ gumul dan berkutat dalam waktu yang sedang terjadi dan yang mungkin akan terjadi.24 Saat teks hanya dimaknai cermin dari realitas saat dia turun sama dengan mempersempit makna teks dan membenarkan apa­apa yang tertuang dalam teks Al­Quran benar-benar keinginan Allah tanpa mengungkap irman-irman yang tak terkatakan. Bahasa merupakan dunia simbolik manusia yang terbatas. Bahasa tidak bisa menampung seluruh cakrawala pemikiran yang tidak terkatakan yang masih tersisa di alam ide. Bahasa mengharuskan berbagai makna terkondensasi dan direpresi oleh simbol bahasa.25 Akhirnya, teks itu pun menjadi terbatas karena ia tidak menampung seluruh gagasan Tuhan. Dengan demikian, ada irman Allah pada tataran ini terbagi menjadi dua, firman “yang transenden” dan firman “yang imanen”. Firman yang transenden adalah irman atau wahyu Allah yang belum memasuki wilayah simbol bahasa yang mana ketika ma­ suk dalam keterbatasan bahasa manusia, ia menjadi imanen. Firman yang transenden tersebut merupakan irman yang tidak terkatakan dan tidak tertulis (lâ shauthin wa lâ harin).26 Saat itulah wahyu atau irman Allah tersebut mengalami kepenuhan alias tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dan saat ia memasuki ruang bahasa manusia, ia tidak mampu ditampung oleh bahasa tersebut. Meminjam istilah Lacan, irman yang pertama masuk dalam tatanan The Real, sedangkan ruang bahasa merupakan tatanan The Symbolic dan mungkin juga The Imaginary.27 Allah sendiri di dalam Al­Quran menegaskan, sekiranya lautan dijadikan sebagai tinta untuk menulis kalimat­kalimat Allah, maka tidak akan cukup untuk menjelaskan kalimat­ KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 151 kalimat tersebut.28 Kenyataan tersebut cukup menjadi penegas naqli bahwa bahasa Arab yang digunakan Al­Quran saat ini tidak bisa menampung kalimat­kalimat Allah. Menganggap apa yang tercantum di dalam Al­Quran sebagai tampungan dari seluruh kalimat­kalimat Allah dengan sendirinya telah meng­ anggap pengetahuan Allah lebih rendah dari manusia. Dengan demikian, Al­Quran merupakan sebuah teks yang imanen yang bergumul dengan beragam efek­efek budaya, sosial, politik, dan pengetahuan masyarakat Arab. Dengan begitu, Al­Quran tidak hanya didekati dengan ilmu keislaman yang stagnan metode dan bangunan epistemologi klasik tanpa ada pembaruan dan pe­ nambahan metode baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Skema: keluar dari kejumudan Ilmu keislaman Dengan demikian, Al­Quran harus dipahami dalam lokus budaya dan sejarah manusia yang tidak bisa ditolak oleh Al­Quran. Da­ lam bahasa yang lebih radikal, hal tersebut dikarenakan ada campur tangan dimensi budaya, sosial, dan politik yang tidak terungkap di dalam teks agama. Implikasi dari memahami dan melihat Al­Quran sebagai teks yang menyejarah adalah dia 152 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI menjadi nisbi. Kenisbian teks bukan pada wilayah substansial, melainkan pada wilayah kultural, sehingga makna­makna yang terungkap masih sementara, bukan inal, dan terus bergerak dinamis. Upaya pembaruan dan pengayaan ilmu dalam disiplin kajian keislaman niscaya dilakukan jika melihat perubahan sistem interaksi budaya, sosial, ekonomi, dan politik masyarakat dunia kontemporer saat ini. Berangkat dari postulat­postulat pemikiran tersebut, maka untuk menggeser pemahaman masyarakat Islam dalam pengembangan pemikiran agama yang mampu menjawab tantangan zaman, diperlukan satu upaya perombakan pemi­ kiran. Ikhtiar untuk merombak pemikiran Islam bukanlah hal baru. Banyak pemikir­pemikir kontemporer yang muncul dalam usaha tersebut di dalam berbagai aspek bidang keilmuan Islam maupun paradigma dalam memahami Al­Quran, seperti Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Ali Jum'ah, Jamaluddin Athiyah, Jamal al­Banna, Yusuf Qardhawi, dan berbagai pemikir kontemporer lainnya. Akan tetapi, pemikiran­pemikiran yang diketengahkan oleh para pemikir tersebut masih belum mendapat tempat, untuk tidak mengatakan disingkirkan, di dalam pemikiran mainstream dunia pemikiran Islam.29 Artinya, mereka masih tergolong pe­ mikiran minoritas di dalam kancah wacana keilmuan Islam yang menjadi praktik dan memengaruhi umat Islam di level bawah (grass-roots). Gagasan­gagasan pembaruan tersebut sementara ini hanya menjadi konsumsi bagi para intelektual Islam yang duduk di perguruan tinggi. Namun demikian, anehnya, pemikiran mereka hanya dikaji sebagai produk te­ tapi tidak dilihat bagaimana metodologi, fondasi ontologi, dan epistemologi yang dibangun oleh pemikir­pemikir Islam kon­ temporer tersebut ketika memahami teks Islam (Al­Quran), se­ perti pemikiran Nasr atau Arkoun. KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 153 Karena itu, pembaruan dalam bidang studi Islam (Islamic Studies) mendesak untuk dilakukan mengingat desakan zaman yang menuntut Islam untuk bergerak cepat. Jika tidak demikian, tidak menutup kemungkinan Islam, yang kini sudah terbukti berabad­abad lamanya, hanya akan mempraktikkan corak ke­ beragamaan yang statis, jumud, dan terbelakang terutama dalam pemahaman dan penggalian makna teks­teks agama. Sebuah bukti yang semakin memperkuat tesis Malachi Martin akan kekrisisan yang dialami Islam dalam menghadapi arus zaman yang semakin lepas landas ini. Basis yang strategis untuk mela­ kukan pembaruan dan pengembangan Islamic Studies tersebut tentu harus mulai dilakukan di dalam ruang­ruang pendidik­ an Islam sebagai pusat pengembangan ilmu keislaman. Untuk konteks Indonesia, pembaruan strategis itu tidak lain di per­ guruan­perguruan tinggi agama Islam (PTAIN/PTAIS), pondok pesantren, dan lembaga­lembaga pendidikan Islam lainnya. Secara umum, pembaruan dalam bidang kajian Islam tidak hanya diperlukan di dalam bidang kajian Al­Quran, tetapi di dalam bidang keilmuan yang lain. Upaya­upaya untuk pengem­ bangan pemikiran Islam dan khususnya pembaruan kajian Islam di berbagai perguruan tinggi maupun pesantren di Indonesia masih terkesan usang dan hanya fokus pada metodologi klasik. Pada persoalan ini, ada beberapa hal perlu dilakukan untuk keilmuan Islam agar mampu menjawab kebutuhan zaman umatnya, terutama dalam pengembangan keilmuan studi teks­ teks agama supaya teks agama tidak tertutup melainkan terus ada negosiasi makna untuk diperdebatkan tanpa ada otoritas tertinggi yang memegang kendali kebenaran tafsir teks.30 Perombakan paradigma studi Islam yang masih diterap­ kan selama ini, terutama pada wilayah epistemologi dan meto­ dologinya, untuk disesuaikan dengan keilmuan kontemporer sangat perlu dilakukan, mengingat studi Islam yang dikete­ 154 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI ngahkan selama ini tidak mampu lagi menjawab problematika zaman yang demikian kompleks dan ruwet. Metodologi dan epistemologi studi­studi yang dikembangkan saat ini sangat buta akan ilmu alat­alat dukung yang pada konteks tertentu menjadi salah satu keilmuan yang mendasar diketahui oleh para intelektual Islam, misalnya ilmu linguistik, hermeneutika, ilsafat bahasa, ilsafat ilmu, antropologi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya. Keharusan penguasaan ilmu­ilmu pendukung tersebut dikarenakan basis yang dikaji di dalam studi Islam lebih ba­ nyak pada pengkajian teks­teks agama, baik itu teks­teks suci seperti Al­Quran dan hadis, ataupun teks­teks hasil pemikiran para ulama dalam bidang ikih, ilmu kalam, sejarah, dan lain sebagainya. dedikotomisasi Ilmu Penempatan ilmu­ilmu humaniora tersebut sebagai the second knowledge di berbagai institusi pendidikan agama Islam baik perguruan tingginya ataupun yang dikembangkan di pesantren­ pesantren dikarenakan berbagai faktor. Salah satunya adalah adanya dikotomisasi ilmu agama dan ilmu umum. Beberapa teori dalam pengembangan studi Al­Quran periode klasik tidak dilihat sebagai hasil pemikiran ulama yang profan, melainkan direpresentasikan sebagai hasil pemikiran yang Islami dan tidak dapat digugat. Alih­alih digugat, metode­metode itu justru men­ jadi metode yang wajib dipakai jika menyapa teks Al­Quran. Pa­ da wilayah yang ekstrem, ilmu­ilmu seperti antropologi, herme­ neutik, linguistik, dan berbagai ilmu humaniora lainnya tidak layak digunakan karena ia merupakan ilmu produk Barat yang dalam mindset dunia Islam menjadi representasi dari kaum kair. Karena itu, harus mencari titik temu ilmu­ilmu yang didiko­ tomisasikan tersebut yang pada dasarnya antara ilmu agama KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 155 dan ilmu umum sama­sama berposisi sebagai ilmu. Jantung dikotomisasi tersebut sudah berdetak berabad­abad lamanya di dunia Islam. Persoalan yang paling mencolok sebagai cikal bakal dikotomisasi tersebut adalah “diharamkannya” berilsafat di Islam oleh para ulama terdahulu karena dinilai akan merusak fondasi dasar agama dan meruntuhkan keimanan umat.31 Tidak mengherankan jika kemudian studi keislaman yang dikembangkan di berbagai pesantren dan bahkan di Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya di Indonesia, masih jauh dari harapan untuk memberikan porsi pengembangan ilsafat sebagai metode untuk menguak pesan ilahi di dalam teks agama. Filsafat sebagai sebuah ilmu dan metodologi berpikir masih dilihat sebagai momok yang menakutkan dan menyeramkan di kalangan Islam. Kenyataan ini jauh berbeda dengan para in­ telektual di kalangan umat Kristen. Jika di Islam ilsafat menjadi momok, justru di kalangan intelektual Kristen menjadi ilmu yang primer bagi mereka sebagai perangkat berpikir untuk membaca teks­teks agama mereka. Seorang pendeta di kalang­ an mereka sangat mahir berbicara teori­teori sosiologi, antro­ pologi, linguistik, hermeneutik, dan lain sebagainya. Sebuah pemandangan yang langka, untuk tidak menyebut tidak pernah sama sekali, ditemukan di dalam pengetahuan ulama­ulama Islam. Amin Abdullah melalui paradigma integratif­interkonektif, sekalipun mungkin bukanlah merupakan gagasan baru, menco­ ba mendamaikan epistemologi agama dengan ilmu pengetahuan agar berjalan sinergis dan tidak saling sikat dan sikut.32 Menurut Amin, selama ini keilmuan Islam yang dikem­ bangkan masih terhenti dan terfokus pada pengembangan ilmu­ ilmu ikih, kalam, tasawuf, dan lainnya yang di dalam jejaring teori integratif­interkonektifnya masuk Iingkar lapis dua. Akan tetapi, pengembangan ilmu­ilmu sosial dan humaniora masih 156 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI kurang dikembangkan, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, dan ilsafat. Dengan demikian, di dalam pengembangan studi Islam, khususnya dalam ilmu­ilmu dasar Islam seperti tafsir, ilmu kalam, hukum Islam, dan lainnya, perlu mengetahui dan menggunakan ilmu­imu humaniora kontemporer saat ini. Misalnya, untuk memahami teks Al­Quran, selain pembekalan ilmu­ilmu alat lainnya, perlu pula dibekali ilmu antropologi, linguistik, dan hermeneutik. Ilmu (Bukan) sebagai Identitas Kendati pemikir postmodernisme memproklamirkan ketidakbe­ basan nilai ilmu pengetahuan sudah dilakukan beberapa dekade lalu, tetapi bukan berarti segala bentuk ilmu pengetahuan itu buruk. Logika modernisme yang linier, positivis, memang cen­ derung mengabaikan berbagai bentuk nilai yang tidak terungkap. Tokoh­tokoh postmodernis seperti Nietzsche misalnya meng­ gugat bahwa di dalam ilmu ada hasrat will to power. Sebuah keinginan untuk berkuasa yang tersembunyi di balik penggagas ilmu yang tidak pernah diungkap oleh modernisme. Pun demikian dengan Michel Foucault yang meyakini pengetahuan tidak terlepas dengan kekuasaan, karena itulah dia menulis buku Power/Knowledge yang seolah­olah antara kuasa dengan pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Karena pengetahuan dan kuasa hampir tidak bisa dipisahkan, maka Foucault meyakini bahwa setiap kebenaran yang dijalankan selalu terkait dengan kuasa. Gugatan­gugatan yang diajukan kaum postmodernis ter­ hadap ilmu lebih merupakan sebuah usaha agar kita kritis ter­ hadap segala bentuk ilmu, baik yang datang kepada kita mau­ pun pengetahuan yang kita jalani. Tidak dengan serta­merta diterima begitu saja. Kritik terhadap pengetahuan tidak hanya KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 157 dilakukan terhadap segala bentuk pengetahuan yang datang dari luar tetapi lebih pada upaya untuk mengkritik secara tajam ilmu pengetahuan yang kita yakini, kembangkan, dan jalankan selama beradab­abad. Akan tetapi sayang, para pemikir Islam mainstream melakukan kritik dan rasa curiga lebih besar ditu­ jukan terhadap segala bentuk ilmu yang datang dari luar Islam (baca: Barat). Ilmu-ilmu Barat adalah ilmu kair dan tidak Islami, tidak bisa digunakan untuk mendekati dan membaca agama Islam. Demikian ungkapan yang sering keluar untuk menolak ilmu­ilmu humaniora di dunia Islam. Dengan demikian, penolakan terhadap ilmu­ilmu kontem­ porer dalam mendekati teks tidak semata persoalan penolakan pada wilayah epistemologi dan metodologi yang berbeda, tetapi juga karena adanya justiikasi ilmu-ilmu kontemporer yang datang dari Barat sebagai ilmu kair dan sekuler yang akan menghancurkan Islam. Bahkan mungkin tindakan emosional inilah yang paling dominan mendorong penolakan para pemikir Islam mainstream terhadap ilmu­ilmu kontemporer untuk dijadikan alat batu dalam kajian Islam. Sudah barang tentu, kenyataan ini harus dirobohkan, karena hal inilah yang menjadikan ilmu­ ilmu keislaman tidak mampu menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks dewasa ini. Otokritik terhadap pengetahuan­pengetahuan yang diyakini dan dijalani Islam selama beradab­abad niscaya dilakukan. Usaha­usaha yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zaid melalui Mafhûmu al-Nash Dirâsah fî Ulûmu al-Qur’ân­nya dan pemikir­pemikir Islam kontemporer lainnya harus dilihat dalam kerangka pembongkaran tersebut. Jika ini tidak dilakukan, ke­ ilmuan Islam tidak akan mampu bersuara di pentas zaman kon temporer. Sekalipun demikian, hambatan­hambatan akan penentangan pemikiran itu tentu tidak dapat dielakkan. Hambatan­hambatan yang dialami oleh kebanyakan para 158 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI pemikir Islam kontemporer di Mesir dalam mengembangkan pemikirannya untuk memajukan Islam menarik untuk dijadikan pelajaran berharga, oleh siapa pun yang hendak melakukan pembaruan paradigma dalam pengembangan kajian Islam, baik di pesantren dan Iebih­Iebih di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia. Kuatnya pengaruh kekuasaan (baca: politik) dalam insti­ tusi­institusi pendidikan Islam merupakan sebuah ancaman yang sangat serius dalam pengembangan keilmuan Islam, ti­ dak terkecuali di Indonesia. Sebuah problem lama yang sulit dihindari akibat cara pandang Islam yang melihat kesatuan Islam dengan dunia politik, berbeda dengan Kristen yang me­ nempatkan keduanya secara terpisah. Keberagaman pemikiran yang dibebaskan oleh Islam selalu dikotori oleh munculnya satu otoritas tertinggi yang represif untuk menentukan kebenaran dan makna tunggal. Penetrasi politik ini menjadikan segala bentuk pemikiran Islam yang langgeng selalu ada dukungan dari otoritas kekuasaan, baik secara langsung maupun tidak. Di Mesir misalnya, perlakuan yang dialami oleh Nasr Hamid, dan Muhammad Syahrur, pemikir berkebangsaan Syiria, adalah tentangan yang sangat kuat di dunia Arab. Bahkan, Nasr diusir dari negerinya oleh Pemerintah Mesir. Kenyataan tersebut harus diperhitungkan, terutama dalam rangka melakukan pembaruan kajian Islam. Hal serupa juga terjadi di Indonesia sekalipun dengan wajah yang lebih halus. Misalnya, pembaruan kajian Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam seperti UIN/IAIN/STAIN selalu mengalami gesekan politik yang kuat. Kenyataan politik di UIN/IAIN/STAIN sela­ lu mengaburkan dan menghilangkan keberadaan institusi pen­ didikan tersebut sebagai ruang pengetahuan yang bersih dari segala kepentingan. Dus, probem yang muncul adalah ilmu tidak dilihat sebagai ilmu pengetahuan an sich, tetapi digeser menjadi KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 159 identitas dia dan kelompok kepentingan (NU/Muhammadiyah/ Tarbiyah/Persis, dan lain­lain). Primordialisme kelompok yang sangat kuat tersebut kemudian mengaburkan objektivitas pengetahuan yang hendak dikembangkan. Entitas di Perguruan Tinggi Agama Islam lebih melihat siapa yang menelurkan gagas­ an daripada gagasan apa yang ia keluarkan.33 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pergeseran zaman yang demikian maju saat ini memaksa kita untuk mem­ bongkar segala bentuk pra­paham kita terhadap Al­Quran yang menempatkannya berada di luar jangkauan sejarah manusia. AI­Quran yang masuk sejarah manusia membawa implikasi bahwa dalam mengkaji dan memahami Al­Quran, mengha­ dirkan ilmu­ilmu humaniora yang berkembang kontemporer sebagai pengayaan alat baca, tidak dapat ditolak. Karena itu­ lah, keilmuan­keilmuan Islam yang dijalankan saat ini harus membuka diri (welcome) pada ilmu­ilmu sosial dan humaniora seperti antropologi, hermeneutika, sosiologi, ilsafat sosial, dan sebagainya. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah, selain mela­ kukan perombakan metodologi dan epistemologi di dalam kajian Islam, perlu juga dilihat metode dan cara praksis pembumian. Dan, salah satu yang dilakukan, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN/PTAIS), adalah melepaskan diri dari he­ gemoni melihat ilmu pengetahuan sebagai identitas. Perguruan tinggi harus membersihkan dirinya dari penetrasi politik, ter­ utama politik identitas (NU/Muhammadiyah/Persis/Tarbiyah) yang tentu sangat menghambat pembaruan paradigma Islam melalui perombakan struktur bangunan pengetahuan Islamic Studies yang dikembangkan dewasa ini, baik itu dalam bidang tafsir hadis, syariat, ilmu kalam, dan lain sebagainya. Wallâhu A'Iam. 160 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI catatan akhir 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hisanori Kato, Agama dan Peradaban, Jakarta: Dian Rakyat) 2002. Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama yang hanief. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut itrah itu. Tidak ada perubahan pada itrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Al­ Rûm [30]: 30). Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami melakukan demikian) agar di hari kiamat kalian ti­ dak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang­orang yang lengah terhdap ini (keesaan Tuhan)” (QS AI­A‘râf [7]: 172). Spiritualitas New Age merupakan jalan keberagamaan yang sangat yang nge­tren sejak 1980­an hingga 1990­an. Selain merupakan cer­ min dari kebutuhan manusia modern akan spiritualitas, di Barat New Age lebih merupakan bentuk pemberontakan spiritualitas yang dikungkung oleh sekat­sekat agama formal. Karena itu, spiritualitas New Age bergerak limas iman. Lihat, Sukidi, New Age, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2001. Budiawan, “Globalisasi, Primordialisme, dan Agama”, dalam Dr. Th. Sumartana, Reformasi Politik, Kebangkitan Agama, dan Konsumerisme, Yogyakarta: Dian/Interidei), 2001, hlm. 85-87. Al­Zastrouw, Reformasi Pemikiran: Respons Kontemplatif terhadap Persoalan Kehidupan dan Budaya, Jakarta: LKPSM, 1998, hlm. 166. Ibid., hlm 167. ...sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka sediri mengubah keadaan mereka sendiri... (QS Al–Ra‘d [13]: 11). Ulasan mendalam dalam melihat Islam sebagai ajaran agama yang menghormati akal terletak pada pemberian ruang Islam dalam kebe­ basan berpikir manusia/umatnya dapat dilihat, Abdul Majid al­ Najjar, Kebebasan Berpikir dalam Islam: Upaya Mempersatukan Visi Pemikiran dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Salah satu dasar naqli yang selalu digunakan dalam pengukuhan Al­Quran yang melintasi ruang dan waktu tersebut adalah ayat Al­ KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 11 12 13 14 161 Quran yang berbunyi: innâ nahnu nazzalnâ al-dzikra wa innâ nahnu lahâizhûn. Sesungguhnya Kami yang menurunkan dan Kami-lah pemelihara-pemeliharanya (QS Al­Hijr [15]: 09). Selain itu, doktrin yang sering digunakan juga Surah Al­Isrâ’ ayat 88 yang berbunyi: Katakanlah (hai Muhammad): sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. Jika dilihat kencenderungan untuk memasukkan Piagam Jakarta, justru terjadi pada saat Negara Indonesia mengalami krisis dan me­ masuki tahap "penyusunan". Misalnya, gaung Piagam Jakarta kembali digulirkan setelah Reformasi 1998 berembus, yakni pembangunan kembali struktur negara sebagaimana pada pembangunan fondasi negara yang dilakukan setelah Indonesia menyatakan diri merdeka dari kaum penjajah. Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: eLSAQ press, 2003, hlm. 60. Perombakan cara pandang dalam melihat Al­Quran terlebih dahulu dilakukan tidak hanya dikarenakan adanya pengaburan antara hasil intrepretasi dengan teks Al­Quran itu sendiri, melainkan karena ke­ nyataan bahwa para ulama dahulu tidak pernah mengklaim pemi­ kiran mereka yang paling benar, seperti Imam Syai'i, Imam Abu Hanifah, dan Ibnu Hazm. Lihat, Mun'im A. Sirry (ed.), Fiqh Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Yayas­ an Wakaf PARAMADINA, 2004, hlm. 1. Selain itu, al­Suyuthi juga pernah menegaskan bahwa ilmu itu luas, sehingga terbuka lebar dari masa ke masa untuk menggali sesuatu yang tidak terjamah oleh para ulama terdahulu. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûmu al-Nash Dirâsah fî Ulûmu al-Qur'ân, dalam Khoiron Nahdhiyyin (terj.), Tekstualitas al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumu al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2003, hIm. 4 Cara pandang masyarakat Islam yang melihat Al­Quran tidak da­ pat "dikritik" karena melihat Al­Quran sebagai entitas kosmik, transenden, dan tidak bisa dijamah oleh teori­teori umum sebagai alat baca merupakan cara Islam mainstream. Karena bagaimanapun juga, di dalam melihat Al­Quran, secara emosi, kultur, dan sikap intelektual berbeda­beda. Lihat, op.cit., Hilman Latief..., hlm. 23. 162 15 16 17 18 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI Malachi Martin, sebagaimana dikutip Djohan mengatakan: "...tidak satu pun dari agama (Yahudi, Kristen, dan Islam) mampu mengen­ dalikan perkembangan umat manusia dewasa ini.... Akhir dominasi oleh ketiga agama ini bisa terjadi bila agama mengulang­ulangi cerita mengenai kepercayaan individu tentang semua hal yang tidak esensial, tentang semua hal yang diraih oleh perstiwa sejarah dan rasionalisme dalam berbagai bentuk...." Lihat, Huston Smith, The Religions of Man, dalam Saafroedin Bahar (penerj.), Agama-agama Manusia, Jakarta: Obor, 1999, hlm. 1­2. Bulan Ramadhan bulan yang di dalamnya diturunkan Al­Quran seba­ gai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (benar dan salah)...." (QS Al­Baqarah [2]: 185). Tolak Imam Putra, “Pembaruan Fikih Mesir: Dari Kritik Formalisme Teks menuju Kontekstualisasi”, dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 08, Tahun 2000, (Jakarta: Lakpesdam NU), hlm. 41. Penegasan Al­Quran dalam bentuk bahasa Arab terdapat di dalam ayat­ayat berikut: 1). QS Yûsuf [12]: 02): Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya. 2). QS Al­Ra‘d [13]: 37): Demikianlah Kami turunkan Al-Quran sebagai peraturan dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah. 3). QS Thâ Hâ [20]: 113): Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebagian dari ancaman agar mereka bertakwa atau (agar) Al-Quran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka. 4). QS al­Zumar [39]: 28): AlQuran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan, supaya mereka bertakwa. 5). QS Fushshilat [41]: 03): Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. 6). QS Al­Syûrâ [42]: 07): Demikianlah kami wahyukan kepadamu Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Quro (penduduk Mekkah) dan penduduk negeri sekelilingnya. Serta memberi peringatan tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga segolongan masuk neraka. 7). QS Al­Ahqâf [46]: 12): Dan sebelum Al-Quran itu telah ada kitab Musa sebagai KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 19 20 21 22 23 24 25 26 163 petunjuk dan rahmat. Dan ini (Al-Quran) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. 8). QS Al­Zukhruf [43]: 03): Sesungguhnya kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya. Mengenai jumlah berapa ayat Al­Quran yang menegaskan bahwa Al­ Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab dapat dilihat, Muhammad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufabras li Alfâdh al-Qur'ân., Daar al­Fikr, 1981, hlm. 456 Soepomo Poedjosoedarmo, Filsafat Bahasa, Surakarta: Muhammadiyah University Press), 2001, hIm. 186­189. Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitab pun dan kamu tidak pemah menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. Andaikata (kamu bisa membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu) (QS Al­‘Ankabût [29]: 48). Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan (QS Al­ Furqân [25]: 56). M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik Al­Quran, Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks, Bekasi: PT Gugus Press, 2002, hlm. 18­19. Ali Harb, Naqd al-Nash, dalam M. Faisal Fartawi (penerj.), Kritik Nalar Al-Quran, Yogyakarta: LKiS, 2003, hlm. 9. Mark Bracher, Lacan Discourse, and Social Change: A Psycoanalytic Cultural Criticism, dalam Gunawan Admiranto (penerj.), Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial, Pengantar Kritik­Budaya Psikoanalisis, Yogyakarta: Jalasutra, 2005. “Lâ shauthin wa lâ harin” menandakan bahwa irman Allah sangat luas, tidak bisa direpresentasikan dalam bentuk apa pun. Saat irman itu terkatakan, maka sekian distorsi terjadi. Sebab, kata­kata di da­ lam bahasa selalu mengurangi dan tidak bisa menampung makna. Hal tersebut sama seperti di saat orang yang begitu bahagia tetapi dia mengatakan, “Aku tidak bisa mengatakan apa­apa, betapa bahagia­ nya aku.” Orang itu sadar bahwa kata “betapa bahagia” tidak mampu menggambarkan kondisi jiwanya yang begitu bahagia. Lebih­lebih juga yang terjadi dengan irman Allah SWT. Dengan demikian, ada irman “yang tak terkatakan” dan “yang terkatakan”. Lebih jauh, 164 27 28 29 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI irman Allah yang menjelma dari “yang tak terkatakan” menjadi “yang terkatakan” tidak jauh berbeda dengan cerita kelahiran ma­ nusia. Sebelum memasuki dunia, si manusia memasuki fase di mana dia tidak dapat dikatakan apa­apa. Sebuah dunia non­simbolik yang tanpa kata­kata. Al­Quran mengatakan, Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (lamyakun syai'an mazdkûrâ) (QS Al­Insân [76]: 01). Di dalam fase “yang tak terkata­ kan”, manusia mengalami keterpenuhan (kedamaian dalam pelukan Allah), tetapi ketika lahir ke bumi, dia menjadi makhluk yang selalu kekurangan karena ia masuk ke dalam dunia “yang terkatakan” yang berbeda dengan dunia sebelumnya (“yang tak terkatakan”). Di dunia “yang terkatakan”, dia kemudian disebut manusia (vis-a-vis binatang), ada yang dipanggil “Muhammad”, “Udin”, atau “Budi”. Saat itulah fase “yang terkatakan” mengondensasi dan menghilang­ kan apa­apa yang ada dalam fase “yang tak terkatakan”. Jacques Lacan menyebut fase “yang tak terkatakan” itu sebagai tatanan the real di mana semua di dalamnya terpenuhi dan fase “yang terkata­ kan”, yakni dunia kekurangan (lack), sebagai tatanan the imaginar dan the symbolic. Demikian juga dengan Al­Quran, saat memasuki ruang bahasa (yang terkatakan), ada sesuatu yang hilang dari "yang tak terkatakan" karena memang irman dalam fase itu tidak dapat dikatakan oleh apa pun, di mana pun, dan kapan pun. Tanpa suara dan tanpa huruf Al­Quran "yang tak terkatakan" inilah yang dimaksud Allah sebagai Al­Quran di dalam Lauh al­Mahfuzh: Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al­Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh al-Mahfuzh (QS Al­Burûj [85]: 21­ 22) op. cit. Katakanlah: kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah laut-laut itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku. Gagasan para pemikir Islam kontemporer tidak jarang mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Muhammad Syahrur misalnya karena karyanya yang berjudul al-Kitâb wa al­Qur'ân harus mendapat tuduhan sebagai a Western and Zionist agent dan karyanya tidak boleh beredar di Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab. KR IT IK IL M U K E I S L AMA N , MEN y U A R A K A N I SLA M D I ERA KEKINIAN 30 31 32 33 165 Lihat, Shahiron Syamsuddin, Metode Intratekstualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran Al-Quran, dalam Abdul Mustaqim (ed.), Studi Al-Quran Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, hlm.132. Konsekuensi yang diterima Nasr Hamid Abu Zaid tidak kalah tragis dengan Muhamad Syahrur. Nasr tidak hanya dicap murtad, melainkan dia harus kehilangan segala­galanya, dipisahkan dari istrinya oleh otoritas Mesir dan diekstradisi ke luar negeri. Nasr dituduh telah menyebarkan pemikiran kair dan darahnya dihalalkan untuk menerima hukum had jika tidak segera bertobat. Dan hampir pemikiran­pemikiran yang dianggap radikal dan liberal tidak menda­ pat tempat, terutama oleh para pemegang kekuasaan. Lihat, op.cit., Hilman Latief... hlm. 37­51. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 277­278. Dalam hal ini, Fazlur Rahman menegaskan pentingnya ilsafat dikembangkan di dalam berbagai ilmu, karena ia merupakan alat intelektual yang terus diperlukan. Filsafat menurut Rahman harus dibiarkan berkembang secara alamiah karena ia melatih kita untuk berpikir dan memunculkan gagasan­gagasan segar yang sangat ber­ manfaat untuk kajian agama dan teologi. Dan karenanya, orang yang menjauhi ilsafat akan kehilangan inspirasi dan selalu tidak pernah berkembang. Lihat, Fazlur Rahman, Islam Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982, hlm. 157­158. op.cit., Amin Abdullah... hlm. 107­108. Undzhur mâ qalâ wa lâ tandzhur man qalâ. “Lihatlah apa yang di­ katakannya, jangan lihat siapa yang mengatakan.” Pernyataan Nabi tersebut merupakan sebuah penegasan bahwa ilmu harus dilihat se­ bagai ilmu bukan sebagai identitas. Merobohkan Teologi Langit (Media Indonesia, 8 Agustus 2003) B eberapa pekan, Media Indonesia kembali menggulirkan wacana yang sangat menggugah penulis untuk turut ber­ partisipasi. Wacana itu adalah sebuah tawaran agar ada upaya untuk membumikan persepsi teologi ke dalam realitas sosial, sehingga teologi tidak begitu melangit dan seakan enggan menemui umatnya yang kelaparan, miskin, dan tertindas. That human civilization is largely the product of human religiuosity. Kiranya tidak berlebihan jika penulis memilih adagium ini yang dilontarkan seorang pemikir terkemuka, Muhammad Ayoub, sebagai ungkapan yang tepat untuk meng­ awali tulisan sederhana ini. Bahwa peradaban yang diulang ma­ nusia tidak pernah terlepas dari campuran tangan agama. Aga­ ma senantiasa hadir (omnipresent) ke dalam ruang dan jiwa peradaban manusia. Sebab, agama yang senantiasa hadir itu adalah entitas yang sesuai dengan itrah manusia, yakni hadir MER oB oH K A N TEoLoGI LANGIT 167 di dalam ruang untuk mengembangkan nilai sifat universal manusia yang selalu rindu akan kedamaian, kasih sayang, ke­ tenangan, dan keadilan. Sejarah telah mendeskripsikan degan jelas baagaimana kerasnya penindasan struktural dan kultural yang dialami ma­ syarakat jahiliyah pra­Islam (sebelum 610 M). Secara struk­ tural, para pemilik modal melakukan pemerasan terhadap kaum lemah­papa (mustadh‘afîn) dengan menguasai sistem politik Mekkah. Dan, dalam skala penindasan kultural, perem­ puan berada hina di bawah bayang­bayang subordinasi budaya patriarki. Perempuan tidak diberikan ruang maupun peluang untuk bergerak secara bebas. Konteks itulah, Islam sebagai aga­ ma lahir dengan visi meluruskan ketidakadilan terhadap kaum lemah dengan memberikan mereka hak sederajat tanpa kecuali, yang membedakan khayalan ketakwaan (QS Al­Hujurât [49]: 13; QS Al­Baqarah [2]: 228). Dengan demikian, agama sesungguhnya bukanlah sebuah jalan hidup (way of life) manusia yang eksklusif, melangit, dan jauh dari realitas sosial. Sebab, agama terhimpun karena dan untuk kesejahteraan seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘âlamîn). Ia pun tidak akan pernah bertentangan dengan struktur sosial masyarakat. Jika demikian, lantas mengapa dalam sejarah, agama acap berposisi vis-a-vis dengan realitas sosial dan itrah manusia? Bahkan, agama justru sering menjadi penindas dan sumber malapetaka bagi peradaban manu­ sia (human civilization)? Di sinilah keniscayaan gagasan untuk masuk atau membumikan (down to earth) persepsi kemanu­ siaan (antropologis) dan ketuhanan (teologi) agama ke dalam kehidupan sosial manusia. Sebagai konsekuensi derevasi agama ke bumi untuk ma­ nusia, ia pun niscaya terkena virus sejarah yang selalu bergerak cepat mengalami perubahan di tengah rasionalitas manusia. 168 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI Sebuah perubahan dari rasio manusia yang acap melakukan deviasi­deviasi terhadap sesuatu yang berbau suci dan transen­ dental. Tak alang kepalang, deviasi itu adalah karakter manusia yang selalu mengotori kesucian agama dengan kepentingan­ke­ pentingan pribadinya. Ketika itulah agama mulai kehilangan fungsi dan tujuan utama keterciptaannya, yakni untuk kesejah­ teraan kehidupan. Keniscayaan akan adanya campur tangan manusia dalam agama sering kali tidak diakui oleh pemeluknya. Nilai­nilai ke­ manusiaan malah diposisikan sebagai entitas inferior yang ber­ ada jauh di bawah kekuasaan agama (mahasuperior). Padahal, agama bahkan Tuhan sekalipun ‘tercipta’ untuk manusia dan akan kembali untuk manusia pula. Asumsi dan ungkapan keterciptaan Tuhan di atas membawa kita kepada persepsi bahwa keberadaan Tuhan di muka bumi ini akan benar­benar terasa manakala ia menyejukkan kehidupan manusia, tidak menjajah dan membelenggu, melainkan mem­ berikan semangat pembebasan kepada manusia untuk saling mengasihi dan tolong­menolong. Karena sejatinya, Tuhan yang dipahami manusia tidaklah bertolak belakang dengan suara dan bisikan hati terdalam manusia. Sebab itulah, Tuhan lebih memilih hati terdalam Muhammad sebagai tempat menyema­ yamkan irman dan pesan-pesan suci-Nya untuk disampaikan kepada semua manusia (QS Al­Syu‘arâ’ [26]: 193­194). Berteologi dengan memahami agama dan Tuhan seperti itu, mengabdi kepada Tuhan berimplikasi pada ikhtiar untuk menyerahkan seluruh totalitas kehidupan hanya untuk Tuhan yang kemudian dibuktikan dengan bentuk pengabdian kepada manusia. Karenanya, antara manusia dan Tuhan tidak bisa dipisahkan. Tuhan dengan manusia ibarat ruh dan jasad yang apabila salah satu keduanya tiada, tidak bisa dikatakan seba­ gai entitas yang sempurna. Tujuan untuk mengabdikan atau­ MER oB oH K A N TEoLoGI LANGIT 169 pun seruan yang diyakini sebagai perintah Tuhan harus pula diselaraskan dengan nilai­nilai kemanusiaan (hati nurani). Tanpa itu, Tuhan dalam kehidupan ibarat ruh yang tidak me­ miliki jasad. Keberadaannya hanya akan menjadi pengganggu dan penghancur peradaban manusia. Inilah jawaban dari per­ tanyaan mengapa Tuhan dan agama sering kali bertindak se­ bagai penghancur peradaban manusia (destroyer of human civilization). Persis, seperti tuduhan Clarkson yang menganggap dosa merupakan fantasi manusia dan kejahatan merupakan wahyu Tuhan. Atas semua itu, kinilah saatnya membangun kembali ser­ pihan­serpihan kehidupan yang telah hancur akibat keangkuhan kita dengan menyatakan agama lebih suci daripada kehidupan manusia. Seolah, agama merasa hina menghampiri umatnya yang dilanda kemiskinan karena itu, bukan saatnya lagi mem­ pertahankan performansi teologi yang melangit dan enggan meluangkan waktunya untuk sekadar menengok manusia yang tertindas, miskin, dan tak berdaya. Sudah semestinya teologi langit itu dirobohkan dan digantikan dengan teologi yang mem­ bumi, yang menghampiri seluruh umat manusia dengan belaian kasih. Merobohkan teologi langit bukan berarti menegasi sisi sa­ kralitas, mitos, dan transendensi agama, karena semua itu meru­ pakan entitas yang tak terpisahkan dari agama, melainkan men­ coba mengikis nalar teologis yang membawa kepada pemikiran/ tindakan teosentrisme yang ahistoris. Membunuh sakralitas dari agama sama halnya kita membunuh agama dan Tuhan (mitos) dari kehidupan manusia, persis seperti nada yang dilontarkan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. Sementara, itrah manusia tidak bisa memisahkan dirinya dari agama (mitos). Berdasarkan pemikiran itu, dalam upaya merobohkan teo­ sentrisme agama (Islam), ikhtiar utama yang harus dilakukan 170 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI adalah merombak ajaran­ajaran yang membawa kepada pe­ mikir jumud, melangit, dan teosentrisme, sehingga teologi ber­ tindak sebagai way of life yang memanusiakan (to humanize) kehidupan manusia. Itulah bentuk teologi masa depan, yakni teologi yang tidak melulu membahas Tuhan yang menyebabkan lupa terhadap tujuan utamanya untuk membebaskan manusia dari derita sosial­komunal. Wallâhu A’lam. Agama Bernalar Manusiawi (Jawa Pos, 2 Mei 2004) A gama mana pun hadir ke dunia dengan membawa seperangkat tujuan mulia untuk membebaskan (to liberate), mendidik (to educate), dan memanusiakan (to humanize) kehidupan manusia. Demikian juga dengan Islam, yang disebut oleh pemikir Ali Ashgar Engineer, hadir un­ tuk menyelamatkan, membela, dan membawa prinsip­prinsip keadilan universal. Sebuah keadilan yang tidak mengenal batas dan sekat­sekat identitas simbolis manusia: ras, suku, bahasa, dan agama. Agama memang ada dan lahir untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Karena Tuhan Mahakuasa yang tidak membutuhkan pertolongan dan pengakuan dari hamba­Nya, tetapi manusialah yang membutuhkan pertolongan dari­Nya. Perintah Tuhan kepada manusia agar menyembah– Nya tidak menunjukkan bahwa Tuhan itu butuh disembah, me­ 172 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI lainkan Tuhan memberikan jalan bahwa manusia diciptakan secara itrah agar menyembah Tuhan demi mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan batini. Sebab itu, sangat disayangkan bahwa cara berteologi kita secara praktis masih berbanding terbalik dengan hal di atas. Bukan manusia yang membutuhkan Tuhan, tetapi seolah Tuhan­ lah yang membutuhkan pertolongan dan pengakuan manusia. Urusan manusia menjadi hal yang nomor dua. Keridhaan Tuhan (li mardhatillah) hanya dilihat pada satu perspektif yang sempit, melangit, simbolis, dan an sich untuk Tuhan. Maka jangan heran banyak orang yang rajin beribadah ritual: salat lima waktu, haji berkali­kali, tidak pernah memperhatikan nasib tetangganya. Padahal, tidak dikatakan sebagai orang yang beriman orang yang tidur pulas sementara tetangga sekitarnya kelaparan, kata Rasullullah. Untuk mencapai Tuhan, manusia tidak boleh menelantarkan sesamanya. Kesadaran sosial yang tinggi kepada sesama meru­ pakan tiket utama jika ingin mencapai keridhaan Tuhan. Se­ gala prolematika yang mendera manusia, seperti kekerasan, kelaparan, dan penindasan menjadi dosa besar bila diabaikan begitu saja. Agama sendiri menyuruh manusia agar menjaga jalinan tali hubungan dengan Tuhan serta manusia. Ibadah ini integral dan tidak bisa dipisahkan. Implikasi ekstrem yang akan dilahirkan dengan pola ber­ teologi hanya untuk Tuhan adalah agama akan mengalienasikan manusia dari dirinya sendiri. Agama yang sejatinya memberikan ruang kebebasan kepada manusia untuk bergerak sesuai dengan itrahnya (QS Al-Rûm [30]: 30) malah justru akan menjadi belenggu dan akan memperbudak manusia untuk bertindak di luar apa yang ia kehendaki (itrah kemanusiaannya). Akibatnya, manusia menjadi rentan kehilangan nilai­nilai kemanusiaannya. Kekerasan yang disandarkan kepada Tuhan A G A MA B ER N A LAR MANUSIAWI 173 dan agama dianggap bukanlah merupakan suatu hal yang salah dan dosa, sekalipun agama mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menggunakan hati menimbang suatu tindakan. Pada saat itu, yang akan terjadi persis seperti apa yang dikatakan pe­ nyair Irlandia, WB Yeats (1865­1939), bahwa rasa tak bersalah ditenggelamkan, dan terbaik kehilangan pendirian dan keya­ kinan. Pada taraf inilah agama menjadi sangat ironis mandul, karena agama cenderung kaku dan tidak bergerak dinamis. Dengan demikian, kita harus kembali mempertegas bahwa beragama bukan untuk Tuhan, melainkan untuk dan akan kem­ bali kepada manusia. Pada perspektif ini, baik­buruknya Islam akan teruji pada sejauh mana cara keberislaman kita bisa mem­ beri manfaat bagi kehidupan manusia, terutama dalam mengem­ bangkan nilai­nilai esensial manusia. Atau dalam bahasanya Emile Durkheim, mendukung dan melestarikan masyarakat yang sudah ada. Maka, pemihakan terhadap kemanusiaan men­ jadi modal utama style keberislaman semacam ini. Seruan ini bersandar pada beberapa hal. Pertama, agama (Islam) adalah itrah. Tuhan menggambarkan bahwa kehadiran agama di dalam lubuk hati manusia karena dorongan itrah manusia yang haus akan spiritualitas. Itulah sebabnya agama disebut juga sebagai itrah. Fitrah spiritualitas manusia tidak pernah mengamini tindakan kekerasan, menggunjingkan teman, dan apatis terhadap masyarakat sosial. Fitrah itu berada di dalam hati manusia. Sering kali Rasullullah SAW mengajak agar umatnya ber­ Islam menggunakan itrah kemanusiaannya dengan senantiasa menanyakan hati (istafti qolbaka) untuk menimbang baik dan buruknya tindakan yang diperbuat. Jika hati (nurani) mengata­ kan baik maka tindakan itu adalah baik, tetapi jika ia mengata­ kan salah berarti perbuatan itu adalah dosa dan tercela. Dan, atas dasar itu jualah, Tuhan lebih memilih hati terdalam 174 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI Rasullallah sebagai tempat menyuarakan titah suci­Nya (QS Al­Mu’minûn [23]: 193­194). Kedua, agama Islam diturunkan sebagai penunjuk dalam meluruskan moralitas peradaban manusia. Rasullullah SAW menegaskan keterutusannya ke muka bumi untuk memperbaiki dan meluruskan moralitas manusia yang pada saat itu sedang mengalami degradasi besar­besaran, terutama di wilayah Jazirah Arab (innamâ buitstu li utammima makârima al-akhlâq). Al­Quran juga secara tegas menyatakan bahwa Muhammad (Islam) tidak akan diutus ke bumi kecuali untuk kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh makhluk yang ada di alam ini, yakni sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Ketiga, tujuan akhir (ultimate goal) ritual formal agama Islam (al-ibadah al-mahdhah) senantiasa dikreasikan dan di­ kembalikan untuk kebaikan manusia, seperti shalat dengan tujuannya membentuk insan humanis, antidestruksi (QS Al­ Jâtsiyah [45]: 45); puasa membentuk manusia bermoral (QS Al­Baqarah [2]: 183) ataupun simbol ritual haji yang berharap mampu membangun kesadaran manusia bahwa dirinya sama (equality/egalitarian) di hadapan manusia yang lain. Mengacu dari beberapa hal itulah, baragama bukan lantas menjauhkan kita dari realitas sosial manusia, akan tetapi malah harus membawa kita lebih bersentuhan dalam problem­pro­ blem kemanusiaan. Teks­teks kekerasan (makna sempit jihad/ crusade) yang sekiranya bertentangan dengan sisi dan sendi­ sendi kemanusiaan selayaknya untuk diinterpretasi dengan aksi­aksi sosial­kemanusiaan. Wallâhu A’lam. Spiritualitas yang Kering (Jawa Pos, 1 November 2005) M anusia merupakan makhluk dualitas, berdiri di titik antara rasional (homo sapiens) dan irasional (homo religious), di samping perannya sebagai makhluk sosial (homo socio). Karena itulah, agama senantiasa hadir (omnipresent) dalam setiap zaman kehidupan manusia. Semua hal tersebut harus berdiri seimbang. Jika komponen itu tidak seimbang, akan terjadi gejolak dalam diri manusia. Tetapi, saat ini kita dihadapkan pada kenyataan sosial ma­ nusia yang sangat paradoks dengan hal di atas. Kekerasan dan pembantaian terhadap sesama datang silih berganti; Bom JW Marriott, WTC, Mataram, Situbondo, Bom Bali I dan II, tragedi di Palestina dan Irak, ketidakpekaan para pemimpin bangsa ter­ hadap derita rakyat, hingga yang teranyar kasus pembunuhan tiga siswi SMA di Poso baru­baru ini. 176 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI Belum lagi, sederet kekerasan, kekejian, dan kelobaan ma­ nusia yang menghiasi kehidupan kita dewasa ini. Persoalan itu tidak hanya menyisakan permasalahan, tapi menjadi releksi bahwa manusia di samping memiliki sifat positif, juga memiliki kecenderungan negatif (QS Al­Syams [91]: 8). Manusia bisa le­ bih buas daripada binatang terbuas. Melihat dimensi kebuasan manusia itu, Hobbes kemudian menyebut manusia sebagai homo homoni lupus. Inilah kecenderungan ambigu manusia. Dimensi mana yang mendominasi dirinya, kecenderungan itukah yang akan meng­ gerakkan dirinya. Jika demikian, mengapa aspek sosial, rasio­ nal, dan terutama spiritual manusia tercabut dan digerus oleh kebuasan dan kelobaan manusia. Kemenangan logos (rasionali­ tas) atas mitos (irasionalitas) yang menemukan ketidakjayaan pada abad ke­19 tidak hanya mampu menggeser agama sebagai the second class, tetapi juga telah merombak pandangan dunia manusia (world view) menjadi material oriented. Kebenaran, kesenangan, dan kebahagiaan dipersempit menjadi pemenuhan terhadap materi yang seiring dengan munculnya ciptaan­ciptaan manusia yang spektakuler. Itulah cikal bakal ketidakseimbangan manusia nantinya. Pesatnya kemajuan dalam bidang informasi tidak hanya melipat dunia menjadi kecil, meleburkan batas teritorial, dan mengaburkan garis hijau identitas primordial (ras, bahasa, bu­ daya), tapi juga menyuguhkan realitas keberingasan manusia dalam memuja materi, imaji, kehormatan, dan gengsi tanpa batas. Dalam impitan ruang zaman yang demikian, manusia men­ jadi terasing dengan diri sendiri. Spiritualitas kehidupan terce­ rabut, manusia tidak lagi mengerti untuk apa dia hidup di du­ nia, ibarat robot, terasing dari diri sendiri akibat dorongan kuat hasrat penguasaan terhadap materi yang merupakan ciptaannya. SPI R I TU A LI TA S yANG KERING 177 Ketakutan dan kecemasan kemudian menggerayangi jiwanya. Ketika ketidakseimbangan itu muncul, depresi sosial pun ter­ jadi. Pada level itulah, manusia menerapkan segala cara. Ti­ dak peduli dunia kehidupan menjadi medan untuk saling ban­ tai dan bunuh sesama asalkan materi mampu dikuasai. Yang kuat mencaplok yang lemah, yang lemah memeras yang lebih lemah lagi. Sementara itu, eksploitasi alam secara liar dan penuh keserakahan pun dilakukan. Sebab, dengan begitu­ lah, kebahagiaan bisa dicapai. Di sinilah letak kekeringan spi­ ritualitas di balik keterasingan manusia dengan diri dan kehi­ dupannya. Bersama dengan itu, agama sebagai basis spiritualitas pun terjebak pada formalisme yang kuat akibat dari positivisme mo­ dernitas. Agama pun diseret menjadi wajah lain dari keserakahan manusia. Agama yang seharusnya mengambil peran penting pada kondisi itu, tiba­tiba juga diubah menjadi beringas dan nirmanusiawi. Agama ditunggangi untuk melampiaskan hasrat materi dan kekuasaan. spiritualisme Humanistik Karena itu, di tengah tantangan kemanusiaan yang demikian keras, pembumian nilai­nilai spiritual menjadi keharusan se­ mua pihak. Agama sebagai basis spiritual dituntut untuk me­ lakukan perombakan secara besar­besaran agar spiritualisme yang ditawarkannya benar­benar menjadi problem solving atas penyakit yang diderita manusia saat ini. Terutama di negeri kita (krisis kemanusiaan dan kepekaan sosial). Spiritualisme tersebut harus berpusat pada manusia dan pengembangan dimensi positif yang ada di dalam diri manusia (sosial, rasional, spiritual). Sebuah jalan melakukan humanisme spiritual. Proses pemusatan spiritualisme pada manusia itu 178 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI merupakan ikhtiar untuk merombak kesadaran manusia me­ nuju manusia yang lebih manusiawi. Yakni, menancapkan ke­ sadaran manusia agar mengarahkan tindakannya sesuai jalur kemanusian yang sejati. Kesadaran spiritual humanis lebih mengedepankan aspek kemanusiaan. Ilmu dikreasikan untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk perang. Senjata diciptakan bukan untuk saling memberangus kehidupan dan antarsesama. Karena itu, dalam upaya pengembangan spiritualisme yang berbasis kemanusiaan tersebut, peran agama sangat sentral untuk masuk ke seluruh ruang kehidupan; sosial, budaya, politik dan lainnya. Begitu juga, agama harus lebih banyak menghadirkan spiritualitas yang lebuh menggiring pada proses penyadaran kemanusiaan yang selama ini telah lama ditinggalkan. Nalar Agama yang Hilang (Media Indonesia, 29 oktober 2004) H arus diakui, agama yang kita anut dan jalani saat ini sudah jauh dari bentuk bangunan ideal agama pada masa Muhammad, Yesus, Musa, Buddha, dan bahkan Ibrahim. Agama dewasa ini sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk menjadi obat (untuk tidak mengatakannya panacea) bagi kesuraman peradaban yang penuh dengan sifat destruktivisme dan vandalisme komunal dari modernisme. Bahkan ironisnya, agama malah acap kali menjadi ladang pertikaian, pertumpahan darah, dan alat pencari kekuasaan. Di sini, saya tidak bermaksud menghujat agama, tapi itulah kenyataannya, bahwa agama de­ wasa ini sangat jauh dari tipe ideal pada saat ia lahir. Perang dingin antara mitos (teolog) dan logos (ilsuf), yang kemudian menghantarkan kepada kemenangan logos sehing­ ga memunculkan Renaisans dan Aufklarung, cukup membawa manusia tercerabut dari akar spiritualnya. Herannya, agama 180 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI tidak berperan sebagai counter balancing terhadap arus gerak logos, tetapi malah masuk ke dalam jaring­jaring logosceterism tersebut. Agama menjadi kehilangan mitos dan sakralitas sebagai ruh fundamentalnya. la berjalan­jalan di atas per­ mukaan logos yang serba rasionalsentria dan objektif. Iman di­ rasionalkan (idesquerens intellectum) dan ajaran Tuhan (baca: wahyu) diprofansentriakan. Rekayasa yang coba dibangun agama hanyalah rekayasa semu, karena terbangun dari logos semata. Kekeringan makna, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan agama pada taraf seperti ini. Simbol tidak lagi bermakna, ritual hanya sekum­ pulan doktrin dan simbol yang harus dilaksanakan, namun ti­ dak memberikan kontribusi apa pun bagi kehidupan manusia. Bahkan ironisnya, ritual hampa nilai spiritualitas. Tetapi pada sisi lain, ada juga wajah agama (teologi?) yang justru terang­terangan mengabaikan sisi rasionalitas. Agama hanya dipandang sebagai sekumpulan mitos belaka yang pada akhirnya, manusia seolah hanya menjadi budak agama. Keke­ rasan dan pembunuhan tidak lagi menjadi perbuatan keji ketika disandingkan dengan doktrin agama. la hanya menjalankan agama, namun tidak mengerti untuk apa dan siapa ajaran itu diturunkan dan dilaksanakan. Apa pun itu, jika diyakini ber­ sumber dari agama, akan diterjemahkan ke dalam realitas se­ kalipun dengan kekerasan dan perusakan yang bertentangan dengan nalar kemanusiaan. Benarlah apa yang dikatakan se­ orang penyair Irlandia WB Yeats (1865­1939), rasa tak bersa­ lah ditenggelamkan, yang terbaik kehilangan pendirian dan keyakinan. Pun, menjadi benar juga tuduhan Clarkson yang menyatakan bahwa dosa merupakan fantasi manusia, sedang­ kan kejahatan merupakan wahyu Tuhan. Nalar agama adalah nalar profetik, nalar profetik adalah nalar kemanusiaan, dan nalar kemanusiaan adalah nalar yang N A LA R A G A MA yANG HILANG 181 bersumber pada nurani. Tetapi, agama mainstream dewasa ini adalah agama yang tidak lagi memiliki nalar demikian. Watak agama dengan nalar kemanusiaan tidak berada pada posisi mutual-interest. Agama dan Tuhan menjadi sesuatu yang superior, melebihi segalanya. Sedangkan nalar manusia yang bersumber pada nurani diposisikan pada ruang yang inferior. Akhirnya, gerak agama tidak lagi selaras dengan bahasa nurani. Padahal, hati nurani merupakan instrumen Tuhan untuk me­ naruh dan menyemayamkan irman-Nya (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 193­194) agar manusia bergerak pada koridor hukum­hukum Tuhan cinta kasih. Dengan demikian, harus diakui bahwa nalar agama mainstream saat ini tidak lebih dari sebuah nalar yang mencoba me­ rekayasa kehidupan manusia dengan (apa yang dianggapnya) hanya bersumber pada perspektif Tuhan (agama) an sich atau semata murni rasional. Dan, tidak pernah menjadikan nurani manusia sebagai referensi rekayasa ideal­normatif. Nalar (nurani) manusia dikesampingkan. Semua tindakan yang mengikutsertakan blessing Tuhan ataupun semata rasio tampak begitu suci dan aksiomatik, walaupun meminta tumbal seribu darah manusia; pembunuhan dan pembantaian. Rekayasa aga­ ma ini tidak memberikan keteduhan bagi manusia, malah justru menelanjangi manusia dari kehidupan dan ketenangan jiwanya. Agama dan manusia bak dua buah entitas yang terasing dan menjadi orang asing (alien) di antara mereka. Ada dua sebab mengapa agama demikian. Pertama, keter­ geseran spiritualisme agama oleh kerasnya empasan badai rasio (baca: logos) manusia. Manusia berusaha melogosentriakan (desakralisasi) Tuhan dari tarikan napas agama. Pada persolan ini, pemikir besar Karen Amstrong menegaskan bahwa manusia sama saja dengan membunuh Tuhan manakala hendak menja­ dikan Tuhan (agama) murni rasional (Karen Amstrong, 2001). 182 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI Dan ketika agama demikian, ia tidak menjadi peneduh, tetapi mengasingkan manusia dari dunia spiritual. Kedua, adanya rasio­phobia. Yakni, terlalu memandang negatif terhadap rasio yang telah membuat agama kehilangan spiritualismenya. Se­ hingga apa yang terjadi? Mitos pun menjadi pujaan. Bara dendam dan kekerasan tidak dipandang sebagai bagian yang dilarang Tuhan, melainkan sesajen yang seolah bisa membuat Tuhan ‘tersenyum’ dan ‘bangga’. Atas hadirnya dua faktor inilah, agama menjadi tidak memiliki nalar, baik nalar spiritualitas dan (lebih­lebih) nalar kemanusiaan (baca: nurani). Melihat pandangan tersebut, berpijak pada nalar kema­ nusiaan adalah suatu keharusan bagi agama agar mampu me­ nyetir kembali peradaban dunia. Agama tidak akan lagi dicibir sebagai perusak peradaban (destroyer of human civilization) yang berkeadilan dan berkedamaian, sebagaimana nada WB Yeats dan Clarkson di atas. Karenanya, tawaran yang mendesak untuk diaplikasikan adalah membangun konsepsi dan rekayasa agama yang selalu berasas dan mengacu pada nurani kemanu­ siaan. Nurani manusia tidak pernah meridhai segala bentuk ke­ kerasan pembantaian, dan penindasan. Nurani manusia selalu menginginkan kedamaian, kasih sayang, dan spiritualitas. Ini­ lah sesungguhnya nilai agama yang selama ini lepas dan hilang dari pelukannya. Inilah yang disebut oleh Tuhan sebagai agama itrah (QS Al-Rûm [30]: 30) Rekayasa yang berasas pada nurani kemanusiaan tidak akan mencerabutkan spiritualitas agama dan tidak pula men­ dikotomisasikan agama dengan logos. Melainkan keduanya harus saling bersimbiosis­mutualis dan bahu­membahu. Logos haruslah legawa untuk tidak merasionalisasikan seluruh ma­ terial agama. Pun, agama (mitos) janganlah mengklaim salah manakala logos mencoba meluruskan gerak langkahnya. N A LA R A G A MA yANG HILANG 183 Sehingga, agama tidak lagi menjadi asing dan mengasingkan manusia dari dunia spiritualitas serta tidak memperbudak dan membunuh nalar (baca: nurani) manusia dalam mengukur baik dan benarnya tindakan. Kiranya seperti itulah bangunan ideal agama untuk masa kini, yang dahulunya pernah bersemayam mesra di zaman Muhammad, Yesus, Konfusius, dan Musa. Wallâhu A'lam. Menyempurnakan Agama? (Media Indonesia, 2 Mei 2003) S ekalipun yang ditawarkan tiada hal yang baru, tulisan Hatim Gazali yang bertajuk “Agama Edisi Revisi” (Media Indonesia,11/4) sangat menggugah penulis untuk ikut memperbincangkannya. Bagi Hatim, agama saat ini sudah se­ layaknya direvisi, karena ia telah kehilangan fungsionalnya. Seraya mengutip pendapat pemikir Hendrik Khraemer dan Malachi Martin, Hatim berkesimpulan bahwa zaman keberha­ silan agama telah berakhir. Ini bisa dilihat dari, agama menjadi tunggangan politik para penguasa dan fungsionarisnya serta kesenjangan das sein dan das sollen agama. Menurut Hatim, lahirnya fenomena tersebut karena agama ditempatkan sebagai suatu yang profan oleh masyarakat modern. Walau begitu, pada dasarnya saya sepakat dengan tawaran Hatim Gazali, kendati ada beberapa hal yang masih problematis dan akan didiskusikan pada kesempatan ini. MEN y EMPU R N AKAN AGAMA? 185 Harus diakui, agama memiliki andil besar dalam memaju­ kan peradaban dunia. Agama menjadi semacam inspirator un­ tuk mengonstruk tatanan primordial peradaban, kedamaian, keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan. Bahkan, berawal dari agamalah ide­ide revolusioner, liberatif, dan humanis lahir. Jauh ke belakang sejak kemunculannya, agama mendekonstruksi bu­ daya feodalisme, tribalisme, khauvinisme, dan vandalisme yang merupakan bentuk keterbelakangan peradaban manusia. Sayangnya, Hatim Gazali terlalu keburu mengambil kesim­ pulan bahwa zaman keberhasilan agama telah berakhir. Sembari mengambil petuah Hendrik Khraemer dan Malachi Martin bahwa agama telah memasuki periode krisis, baik pada wilayah personal concern maupun communal community. Padahal, era ini merupakan titik balik dari argumen tersebut. Agama mulai bangkit dan mereleksikan dirinya ke dalam jiwa zaman kemanusiaan. Sejarah membuktikan, cita­cita materialisme manu­ sia tak kuasa menggeser agama ke pinggiran. Usaha Jean Paul Sartre, Nietzsche, Karl Marx, dan para converse yang lain (isti­ lah ini digunakan Karen Amstrong) tak terbukti. Manusia tidak mungkin mengalienasikan diri dari agama (spiritualitas). Ia ada­ lah homo yang tegak di atas dua apitan alam, mitos dan logos (irasional dan rasional). Bahkan, Harvey Cox menggambarkan zaman saat ini dengan kebangkitan agama dan kebangkitan dunia sakral (Syamsul Ariin, 2001). Memang, harus diakui, agama acap menorehkan luka merah sejarah kemanusiaan. Terpaan arus logosentrisme dunia modern telah menggeser nilai dan fungsi agama. Agama berkelindan di atas altar sejarah manusia yang profan dan rasionalistik. Sehing­ ga, agama berubah menjadi legitimasi kekuasaan dan kepen­ tingan para fungsionarisnya. Agama digiring dan diramu layak­ nya benda­benda profan yang lain. Akhirnya, pernyataan Hatim Gazali bahwa pemandangan jauhnya antara das sein dan das 186 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI sollen agama tak dapat dielakkan. Cita suci ideal agama tampak seperti cita utopia yang kontras dengan realitas faktualnya. Melihat hal itu, ada dua yang tak terjamah dari pemikiran Hatim Gazali dalam memandang disfungsi agama saat ini. Pertama, dari segi doktrin. Kemandulan agama karena lembaga doktrin agama itu sendiri. Kekrisisan agama tidak an sich faktor polarisasi dan politisasi agama. Tidak mungkin agama menjadi legitimasi kebijakan tanpa ada dorongan tekstual doktriner agama. Persetubuhan agama dengan kekuasaan memang senan­ tiasa mengundang polemik yang tak jarang meminta tumbal. Kenyataan sejarah ini mendesak kita untuk melakukan upaya redoktrinasi atau bahkan dedoktrinasi kesatuan agama dengan kekuasaan. Pakar agama John L. Esposito mengungkapkan, doktrin Kristen berbeda dengan doktrin Islam. Islam menya­ kini kesatuan antara agama dan kekuasaan, sementara Kristen terpisah. Agama terlalu suci, jujur, dan polos untuk disanding­ kan dengan kekuasaan yang penuh muslihat, picik, dan arogan. Ini tidak berarti menempatkan agama dengan politik secara diametral, tapi agama harus mengambil jarak dengan kekuasaan. Sebab itu, harus ada upaya redoktrinasi ajaran agama. Pun, ini harus dilakukan pada ajaran­ajaran agama yang berpotensi menyulut keberingasan dan kekerasan, terutama doktrin jihad dan crusade yang acap diartikan konfrontasi secara isikal. Kedua, kurangnya penghayatan terhadap nilai­nilai agama. Suasana disekuilibrium antara das sein (idealitas teks) dan das sollen (realitas konteks) dalam agama adalah fenomena kons­ tan yang sudah ada semenjak agama itu lahir. Dan, ini terjadi karena nilai­nilai agama yang diinternalisasi ke dalam jiwa tidak disertai penghayatan dan pemaknaan mendalam. Reka­ yasa normatif yang diidealkan teks menjadi terhambat karena kenihilan penghayatan itu. Tak heran yang kemudian acap MEN y EMPU R N AKAN AGAMA? 187 tampak adalah distorsi dan reduksi ajaran­ajaran normatif aga­ ma yang mengandung kedamaian, keadilan, kebebasan, dan persaudaraan universal (universal brotherhood) yang lintas identitas (cross identity of humanity). Tanpa penghayatan ter­ hadap nilai cita ideal agama, utopis penyelarasan das sein dan das sollen tergapai. Karenanya, kesenjangan kedua wilayah ter­ sebut bukanlah sebab kekrisisan agama, ia merupakan akibat dari sebuah sebab, yakni luluhnya penghayatan tadi. Mengairmasi pemikiran di atas, upaya Hatim Gazali merevisi agama yang semula dianggap profan oleh masyarakat modern menjadi agama yang berdiri di atas dua pijakan, antara sakral (irasional) dan profan (rasional), akan mengalami ham­ batan. Ini terjadi jika cara beragama belum dibarengi dengan penghayatan terhadap nilai dan doktrin agama. Kendati berupa­ ya menempatkan agama pada middle place, agama akan tetap membius umatnya dalam kepongahan dan arogansi destruktif. Tuduhan Marx bahwa agama adalah candu, Nietzche bahwa Tuhan telah mati, Hendrik Khraemer dan Martin Malachi bah­ wa agama telah memasuki masa krisis, lahir karena penghayat­ an terhadap agama sudah tidak menaungi kehidupan manusia. Agama masih ditempatkan pada wilayah eksoteris, sehingga ia menjadi kering. Apa pun bungkus sebuah agama tanpa peng­ hayatan berpotensi membawa manusia kepada keterasingan. Tanpa penghayatan inilah yang menyebabkan agama “sakral” mengalienasikan dan membius masyarakat menuju penga­ laman. Sebaliknya, agama “profan” menempatkan agama seba­ gai barang rongsokan yang menjadikan manusia teralienasi dari dunia spiritualitasnya. Pun, agama middle place (antara sakral dan profan) tidak jauh dari kedua fenomena tersebut jika tidak dibarengi dengan penghayatan dan pemaknaan terhadap nilai­ nilai ilahiah agama secara mendalam. Wallâhu A‘lam. Merancang Fikih Bumi (Media Indonesia, 27 April 2007) A gama tidak hanya diperuntukkan bagi manusia, tetapi juga untuk keberlangsungan rotasi kehidupan di muka bumi, itulah esensi rahmatan lil ‘âlamîn. Yakni mem­ beri rahmat dan manfaat bagi seluruh alam yang mengitari ga­ laksi ini. Tetapi, semua berbanding terbalik. Agama seolah ha­ nya untuk manusia, tidak untuk bumi. Dus, kini bumi menjadi second class dan objek eksploitasi manusia karena agama (monoteisme) menempatkan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifah i al­ardhi). Manusia pun menjadi pusat dari segala subjek yang ada di bumi. Tetapi benarkah agama tidak memberikan ruang untuk memperhatikan bumi? Kemajuan teknologi, sebagai simbol perkembangan pesat akal manusia, cenderung menjadikan manusia semakin liar ter­ hadap alam. Pada era mitos, alam manusia ditempatkan pada MER A N C A NG FIKIH BUMI 189 posisi agung dan sakral. Rasio berada di bawah bayang­bayang supremasi irasionalitas, alam menjadi titik sentrum, alam menjadi Tuhan bagi manusia yang menyeramkan sekaligus dipuja, disebut Rudolf Otto sebagai sang mysterium fascinan et tremendum. Manusia tidak berani memperlakukan alam semena­mena karena ia adalah entitas yang harus dipuja. Akan tetapi, pada era logos (modernisme), supremasi alam diruntuhkan oleh rasionalitas Cartesian, cogito ergo sum manusia menjadi ada ketika ia mampu menaklukkan kekuatan irasionalitas alam. Tunduk terhadap alam berarati takluk ter­ hadap irasionalitas. Membiarkan diri takluk terhadap irasio­ nalitas berarti manusia belum menjadi being (baca: ada) yang sesungguhnya. Logos dan rasionalitas menjadi citra yang nis­ caya melekat dalam diri manusia untuk menggada yang dieja­ wantahkan dengan cara menundukkan alam semaunya dan semena­mena. Hegemoni nalar Cartesian tersebut menenggelamkan ma­ nusia pada peminggiran alam dan segala sesuatu yang di luar kelogisan. Alam harus tunduk pada segala kreasi akal manusia berupa pembangunan dan kemajuan. Arus kencang logos atau rasionalitas telah membunuh jiwa alam dan menjadikannya an sich objek yang dapat dieksploitasi secara destruktif. Demi membangun segala fasilitas yang menunjang kehidupan ma­ nusia, seperti perkantoran, pertokoan, mall, dan transportasi, menjaga alam dan keberlangsungan ekosistemnya menjadi marginal. Segala sendi kehidupan kita saat ini bergerak demikian. Bahkan, dalam ranah agama pun, hegemoni logos begitu be­ sar dengan menundukkan agama di bawah ketiak rasio (ide squerens intellectum). Dus, agama pun tidak mampu mengge­ rakkan keliaran logos manusia atas alam. Di sinilah memantap­ kan kembali peran agama dalam menyeimbangakan akal ma­ 190 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI nusia perlu ditancapkan agar mampu memberikan kontribusi dalam menyeimbangkan alam dan manusia, tentu dalam mem­ berikan ruang agama berbicara, meletakkan agama di hadapan akal secara profesional terlebih dahulu harus dilakukan. Jika tidak, upaya tersebut akan sia­sia karena, bagaimana­ pun juga, sisa­sisa hegemoni logos dan nalar modernisme pada masyarakat dunia tidak hanya meminggirkan alam, tetapi juga telah menendang untuk tidak mengatakan membuang agama menjadi persoalan yang tidak penting, antara rasio dan irasio­ nalitas harus bergerak seimbang. Karena itu, mengembangkan nilai­nilai berbasis lingkungan mendesak dilakukan, agama memandang manusia dan alam tidak berjajar secara hierarkis, melainkan berposisi sejajar. Terutusnya manusia sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah i al-ardhi) bukan lantas ia berhak sewenang­wenang atas alam dan melihat jagat raya lebih inferior darinya yang menjadi dalil kita mengeksploitasi alam. Sebagai wakil Tuhan, manusia harus memperlakukan alam dengan penuh kasih sayang. Dengan kasih sayang itulah, alam dan manusia bisa berjalan harmonis. Alam tidak lagi diperlakukan sebagai objek rasio manusia secara liar. Agama menginformasikan bahwa jauh sebelum manusia tercipta, alam dan jagat raya ini sudah ada terlebih dahulu. Ma­ nusia ditugaskan menjaga dan melestarikan alam sekalipun di dalam diri manusia terdapat potensi perusak (baca: fujur) yang sewaktu­waktu akan membahayakan keberlangsungan bumi (baca: ekosistem). Berkali­kali Tuhan menjelaskan bahwa ma­ nusia terbuat dari tanah yang berarti antara manusia dan alam merupakan satu kesatuan yang saling bergantung satu sama lain (QS Al­Ra‘d [13]: 04 dan QS Al­Nâzi‘ât [79]: 30­33). Dengan demikian, rasio dan logos memerankan dirinya dalam kerangka menjaga keberlangsungan alam semesta menjadi bagian dari diri manusia. MER A N C A NG FIKIH BUMI 191 Manusia tidak boleh mengedepankan rasionya untuk mengeksplorasi alam hanya untuk kepentingannya, melainkan mengedepankan spesies lainnya (QS Al­Rahmân [55]:10). Me­ mahami alam dan manusia sebagai entitas yang integral akan menggiring pada keseimbangan bahwa alam juga memiliki ba­ ngunan rasionalitasnya masing­masing. Sehingga, tak pelak, bencana pun datang bertubi­tubi karena rasio manusia sering melabrak rasionalitas dan moralitas alam itu sendiri. Sebab itu, dalam memberikan ruang agama memecah pro­ blem ekologis, perlu adanya rekayasa teologi yang aplikatif da­ lam pemikiran agama itu sendiri. Merancang ikih bumi atau lingkungan adalah salah satu solusi aplikatif tersebut. Memang sangat disayangkan, pembicaraan lingkungan dalam khazanah ikih klasik tidak mendapatkan porsi yang besar. Alih-alih memberikan porsi, ikih yang kita kembangkan dan jalankan justru bergerak stagnan tanpa ada pengembangan dan proses ijtihad yang disesuaikan dengan problem kontemporer. Di sinilah cen­ dekiawan Muslim dan lembaga­lembaga keagamaan memain­ kan peranan penting dalam menjawab krisis ekologi saat ini. Fikih lingkungan akan mengatakan dengan tegas bahwa orang yang mengabaikan, menyia­nyiakan, dan merusak tatan­ an ekosistem di atas bumi dapat dikatakan sebagai orang yang memerangi Allah dan rasul­Nya (QS Al­Mâ’idah [5]: 33). Karena tindakannya dikategorikan memerangi Allah, orang yang me­ rusak alam dapat disebut sebagai kair yang harus dihukum. Hal tersebut bukan lantas alam tidak dieksplorasi, melain­ kan diletakkan secara seimbang demi manfaat seluruh spesies bumi. Dengan demikian, rasio tidak menjadi penguasa yang liar, menebang untuk pembangunan dan kemajuan kota dan peradaban, tetapi menjadi pengelola alam secara arif dan bijak­ sana. Edisi Kritik Agama (Media Indonesia, 17 oktober 2003) P ada saat agama dipahami dalam lingkup formal (organized religion), niscaya akan tampil dalam dua wajah pa­ radoks, sangar dan lembut. Itulah standar ganda (double standard) agama sebagai konsekuensi dari eksistensinya yang selalu berbaur dengan logika objektif­empiris sejarah. Pemikir Mahmoed Mohammad Toha menyebutnya dengan istilah spatio temporal. Konsekuensi dari double standard atau spatio temporal tersebut adalah, agama acap kali bertolak belakang antara idealitas­tekstual yang diinginkan dari realitas kon­ tekstual yang terjadi di lapangan. Tak heran jika agama justru kerap menjadi pemecah­belah (sentrifugal) daripada sebagai pemersatu (sentripetal). Tak heran jika kemudian seorang pemikir bernama AN Wilson berucap secara radikal bahwa agama pada dasarnya le­ bih berbahaya daripada candu. Karena, ia tidak hanya membuat ED I SI KRITIK AGAMA 193 orang tertidur, tetapi juga mendorong manusia untuk meng­ aniaya dan membunuh sesamanya. Pelbagai kasus kekerasan seperti tragedi WTC, bom Legian, kasus Situbondo, Mataram, Ambon, dan tragedi Bom JW Marriott di Jakarta merupakan segelintir dari sejumlah rentetan keterlenaan manusia oleh buaian agama untuk berjalan dalam logika sejarah, sesekali membantai sesamanya. Sekalipun dalam garis historisnya agama muncul sebagai upaya harmonisasi dan humanisasi bangunan sosial dan bu­ daya yang runtuh akibat egoisme despotik manusia, akan tetapi ketika berjalan dalam logika sejarah, sesekali saja polos aga­ ma menampakkan keberingasan. Dan di situlah, sisi lain aga­ ma mengemuka, yakni sisi yang memiliki potensi perusak dan penghancur. Pada saat itu, agama tidak lagi dipahami secara itrah yang sebenarnya, melainkan berjalan di atas ego kebenaran yang menenggelamkan sisi kemanusiaan. Proyeksi lapangan yang coba dibangun agama menjadi an sich dilihat dalam perspektif yang monistik, melangit dan tidak pernah salah. Ruang kritik terhadap agama tertutup ra­ pat, karena logika manusia dianggap ‘haram’ mengkritik apalagi merevisi agama yang mahaparipurna dan mahasegala­segala­ nya. Semua jalan kebenaran hanya milik agama yang dianutnya dan pada saat yang bersamaan manusia tidak bisa memberikan masukan terhadap agamanya itu. Melihat hal itu, agama harus bisa memberi ruang kritik ter­ hadap wacana yang disuguhkannya. Memberikan ruang kritik terhadap agama tentu akan memberikan wajah baru dan lebih menghidupkan keadaan agama itu sendiri. Bukan berarti agama harus diprofansentriskan, dilogosentriskan atau dipisahkan dari nilai sakralitas dan mitos yang antirasio, tetapi mencoba memo­ sisikan agama secara proporsional bahwa agama adalah entitas menyejarah yang sewaktu­waktu bisa saja salah. 194 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI Peran agama dengan fungsinya sebagai pegangan hidup tetap manusia, yang senantiasa bercampur baur dengan logika­ logika sejarah yang dinamis, merupakan dasar argumen dari pernyataan di atas. Agama yang bercampur baur dengan sejarah tersebut merupakan hasil interpretasi intrasubjektif manusia yang selalu mementingkan egonya di atas kepentingan bersama. Dalam rangka ini, agama tidaklah antikritik. Memang benar agama mengajarkan kebaikan, tetapi agama tidak mengatakan bahwa hanya dirinyalah yang paling baik. Islam mengajarkan kebenaran, namun bukan berarti ia memproklamasikan dirinya selalu benar dan lepas dari kritik. Kesalahan terbesar kita dalam memahami agama saat ini adalah melupakan sisi kesejarahan agama yang selalu berbaur dengan faktor­faktor eksternal itu; sebuah kondisi objektif se­ jarah yang memengaruhi gerak tubuh agama itu sendiri. Atas pemahaman itu, agama kemudian hanya diyakini sebagai yang absolut dan terpisah dari realitas empiris sejarah. Apa pun itu jika diyakini datang dari agama (Tuhan) akan dikatakan sebagai sesuatu yang benar, tanpa interpretasi, dan bersifat taken for granted. Padahal, ketika agama turun ke bumi, saat itu juga ia menjadi sebuah interpretasi. Sebab itu, kita harus berani mengatakan bahwa memang ada sisi–sisi agama yang melegitimasi dan menjadikan keke­ rasan sebagai langkah perjuangan. Logikanya, tidak mungkin sebuah kekerasan dilakukan oleh umat beragama sebagai jalan perjuangan tanpa ada legitimasi tekstual­doktriner dari agama itu sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya konsep jihad dan crusade yang memberikan jalan kekerasan sebagai langkah un­ tuk melawan the others enemy. Hal di atas bisa saja disebabkan oleh kondisi objektif agama yang tidak hanya bergerak secara natural, melainkan bisa dige­ rakkan dan ditunggangi oleh manusia. Memang benar agama ED I SI KRITIK AGAMA 195 muncul ke bumi untuk membawa nilai­nilai kesejahteraan, akan tetapi setelah ia ditinggalkan oleh pembawanya (nabi), agama akan mengalami beberapa deviasi disebabkan oleh ma­ nusia itu sendiri yang selalu memuja egonya. Dan, kalau melihat perjalanan panjang sejarah agama, kepentingan politik merupa­ kan salah satu entitas yang paling berpotensi besar melahirkan deviasi­deviasi tersebut. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita untuk mengata­ kan bahwa agama kebal dari kritikan, lepas dari campur tangan manusia. Bagaimanapun, wacana­wacana yang disuguhkan agama berada dalam konteks sejarah yang diproyeksikan untuk kesejahteraan manusia. Selama ini umat beragama masih takut untuk mengkritisi agamanya, karena itu, ketika ada orang mela­ kukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, selalu di­ pandang sebelah mata sebagai bentuk pemahaman yang keliru terhadap agamanya. Cara pandang ini menempatkan agama hanya pada posisi yang tak pernah salah, sebaliknya manusia berada dalam ruang yang selalu salah. Dalam memberikan kritik terhadap agama, hal utama yang harus dilakukan adalah menyatukan persepsi bahwa agama adalah entitas historis. Sebuah upaya kritis dengan memandang agama dalam konteks sejarah. Selain itu, kita juga harus bisa memberikan batasan terhadap upaya kritik kita kepada (teks) agama, hanya pada sisi fungsionalitasnya bagi konteks sosial dan kemanusiaan. Dengan demikian, cita­cita agama untuk mem­ bangun dan menyejahterakan manusia benar­benar bisa me­ wujud di alam nyata manusia. Ajaran­ajaran yang tidak mem­ berikan kemajuan terhadap nilai­nilai sosial dan kemanusiaan haruslah dikritik dan dipertanyakan relevansinya, bahkan bila perlu dinegasi dari agama itu sendiri. Sehingga, agama tidak akan pernah lagi dituduh sebagai entitas yang lebih berbahaya daripada candu, sebagaimana yang 196 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI diungkapkan AN Wilson di atas. Pun, agama tidak akan pernah menjadi perusak dan pemusnah peradaban, tetapi akan benar­ benar berperan sebagaimana tujuan ia hadir di muka bumi ini, sebagai penenteram bagi kehidupan manusia, rahmatan lil ‘âlamaîn. Wallâhu A‘lam. Lebaran Topat dan Teologi Lokal (Lombok Post, 2 Desember 2003) S udah menjadi tradisi, satu minggu setelah Idul Fitri, masyarakat Lombok merayakan lebaran ketupat (baca: topat). Lebaran ketupat sebenarnya tidak hanya terdapat di Lombok semata. Selain Lombok, seperti Jawa dan Madura pun mengenal adanya lebaran ketupat. Belum jelas dari mana akar tradisi tersebut, namun kalau boleh dibilang pada dasarnya lebaran ini merupakan gelindingan tradisi yang menjadi ritual setelah satu minggu melakukan puasa sunnah syawal. Kebiasaan ini sesungguhnya sangat menarik diulas lebih dalam. Dikatakan menarik karena tradisi tersebut an sich budaya, melainkan juga ada kooptasi nilai­nilai teologis yang kental di dalamnya. Apa yang terlihat dalam lebaran ketupat di sini menunjuk­ kan, antara agama dengan budaya lokal pada dasarnya tidak bersifat konfrontatif, sebagaimana yang sering kita pahami 198 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI selama ini, melainkan bersifat kooperatif, akomodatif dan bersinggungan secara dialektis. Agama tidak bisa melepaskan atau mencerabutkan dirinya dari budaya manusia, sebab budaya merupakan simbol ins­ trumental utama manusia dalam mentransformasikan sebuah makna. Pesan agama akan meresap dalam jiwa manakala ia di­ sampaikan melalui budaya setempat. Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan cara­cara semacam itu. Budaya Arab tidak dieliminir semuanya melainkan dengan mengambil mana yang baik dan mana yang buruk dari budaya itu sendiri. Proses dialektika agama dengan budaya tidak saling mengalahkan dan menghakimi satu sama lain melainkan saling melengkapi ibarat air dengan gelas. Air sebagai ajaran­ajaran nilai yang suci sedangkan gelas mewakili budaya yang berfungsi sebagai wadah untuk menampung nilai ajaran suci itu. Karena itu, agama tidak serta­merta meninggalkan budaya lokal, apa­ lagi berpandangan sinis atau bahkan selalu menempatkan bu­ daya sebagai penyakit masyarakat yang harus dieliminir. Sikap ini tidak akan memberikan ruang positif bagi agama dalam mengaktualisasikan ajaran­ajaran sucinya di tengah kehidupan manusia. Agama bekerja untuk mengisi kekosongan atau sisi regresivitas sebuah budaya, sedangkan budaya ber­ usaha menerjemahkan pengalaman religiusitas mendalam (erlebnes) manusia ke dalam simbol­simbol kebudayaan dengan seperangkat aksinya. Dengan demikian, terjadilah persenyawaan antara agama dengan budaya lokal secara harmonis­nondikotomis. Dari sini, meminjam teori hermeneutikanya Hans George Gadamer, ajar­ an murni agama dengan budaya lokal seolah mengalami sema­ cam fusion of horizon (peleburan horizon; horizon agama dan horizon lokal) yang kemudian terbentuklah suatu cara kebera­ gamaan (teologi) yang khas lokalitas. LEB A R A N ToPA T D A N TEoLoGI LoKAL 199 Atau dalam bahasanya seorang sosiolog kawakan, Peter L. Berger, mengalami tahap objektivikasi itu lahir setelah terjadi proses eksternalisasi dan internalisasi dalam masyarakat. Di dalam lanskap fusion of horizon atau objektivikasi itulah, lahir perbedaan corak antara Islam yang ada di Arab, Islam di Jawa, Islam di Lombok dan Islam yang bernaung di dalam lokus bu­ daya yang lainnya. Fenomena lebaran topat atau selakaran misalkan telah me­ nunjukkan hal itu, sekalipun dalam tradisi seperti lebaran topat kurang menunjukkan ritual yang bersifat religius, melainkan terkesan lebih menonjolkan arus budaya yang berorientasi hedonisme, seperti pergi ke tempat­tempat rekreasi dan hura­ hura. Hanya sebagian kecil yang mengisinya dengan ziarah ke makam­makam raja dan para wali. Sekalipun demikian, tradisi tersebut harus kita akui didorong oleh kerasnya arus semangat religiusitas atau kentalnya spatio domino spirit agama yang ada di masyarakat Lombok. Inilah yang memberikan corak tersendiri dalam tradisi lebaran topat. Perlu digarisbawahi, teologi lokal atau Islam lokal bukanlah sebuah upaya untuk mengagungkan budaya yang kemudian serta­merta disenyawakan dengan agama begitu saja. Teologi lokal bukan sebuah cara keberagamaan yang hanya tunduk ter­ hadap tradisi sehingga kehilangan daya kritisnya, melainkan mencoba bersikap proporsional, kritis tetapi tidak antitradisi. Agama dalam teologi lokal harus kritis melihat tradisi yang tidak memberikan nilai positif bagi kehidupan sosial. Karena itu, diharapkan teologi berbasis lokalitas berperan aktif dalam menopang arus euforia budaya massa yang demikian kerasnya apalagi di era globalisasi ini. Istilah Islam lokal tidak mengasumsikan bahwa Islam itu banyak secara akidah atau doktrin ketuhanan, melainkan hanya 200 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI menunjukkan keragaman dalam hal ekspresi keberagamaannya semata. Secara akidah tetap berpegang teguh kepada Al­Quran dan hadis, akan tetapi dalam hal ekspresi keberagamaannya membawa tradisi atau kultur­kultur lokal tertentu. Artinya, nilai lokalitas sebuah agama terletak pada wilayah­ wilayah eksoteris (riil) sedangkan dalam ruang esoterik (ideal) tetap menunjukkan unitas ajaran Islam yang menyembah Allah Yang Maha Esa dan menyakini wahyu serta utusan­Nya. Karena itu, dalam teologi lokal kita tidak mengenal kata­ kata bid’ah dan khurafat dalam artian yang sering kita pahami selama ini, yakni sebagai bentuk membuat hal­hal baru dalam agama (baca: syariat). Sebab, pandangan ini sering kali men­ jebak budaya ke dalam garis alienasi. Dialektika agama dan budaya akan berjalan harmonis manakala kedua entitas (agama dan budaya) tersebut bersama­ sama berparadigma empatik, bukan dengan paradigma konlik. Agama harus menghargai setinggi­tingginya budaya lokal tempat ia berpijak dan sebaliknya budaya harus menghormati agama sebagai entitas yang datang dari Tuhan, tetapi tidak un­ tuk memusuhi budaya itu sendiri. Mutatis mutandis budaya para aras kerangka ini, agama harus dipahami sebagai nilai mo­ ral atau kerangka nilai yang bersifat ideal (immaterial, abstrak) dan budaya merupakan sistem simbolik manusia yang bersifat riil (material, konkret). Agama sebagai sistem dan nilai moral yang bersifat ideal itu menyemayamkan dirinya ke dalam simbol budaya setempat. Keniscayaan ini disebabkan kelemahan manusia dalam menang­ kap sesuatu yang ideal dengan mata indranya. Jangankan gagasan ideal Tuhan, gagasan ideal yang ada di kepala orang saja selaku manusia tidak bisa menangkapnya, ke­ cuali diterjemahkan ke dalam bahasa manusia. Jika demikian, apalagi hendak menangkap pesan­pesan ideal Tuhan Yang LEB A R A N ToPA T D A N TEoLoGI LoKAL 201 Mahaluas itu tentu manusia mana pun (kecuali Nabi) tidak akan sanggup menerjemahkannya. Pandangan ini dijustiikasi sendiri oleh Al-Quran. Allah SWT memilih bahasa Arab sebagai instrumen untuk menyam­ paikan irman suci-Nya yang mana objek langsung saat itu adalah orang Arab abad VII masehi. Al­Quran sendiri begitu tegas menyatakan bahwa wahyu itu tidak diturunkan kecuali dengan bahasa suatu kaum untuk ia diturunkan. Tujuannya jelas, yakni agar bisa memberikan pemahaman yang jelas bagi kaum itu (QS Yûsuf [12]: 02). Dalam kajian antropologi, bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Atau dengan kata lain, bahasa adalah budaya itu sendiri. Bahkan, seorang antropolog terkemu­ ka seperti de Saussure pun menganggap bahasa sebagai entitas yang menyimbolkan dan mengondisikan suatu budaya tertentu. (Hedi Shri Ahimsa Putra, Strukturalisme Claude Levi Strauss, 2001). Bahasa Arab mengondisikan budaya Arab, bahasa Jawa mengondisikan budaya induk semangnya, dan bahasa Lombok mengondisikan budaya Lombok, begitu seterusnya. Kita akan merasakan perbedaan karakter budaya Jawa dan batak dengan cukup melihat bahasanya saja. Dengan demikian, ketika Allah memilih bahasa Arab abad VII sebagai instrumen untuk menyampaikan pesan suci­Nya, saat itu pula kemaha­universalitasan pesan itu menyempit ke dalam bahasa manusia (Arab) yang maha terbatas dan maha­ partikular. Dan itu berarti, seperangkat simbol (bahasa dan budaya) yang digunakan Allah dalam menyampaikan wahyu­Nya terse­ but bukanlah pesan Tuhan secara keseluruhan. Ia adalah ba­ gian dari kemahaluasan ayat Tuhan itu, sehingga apa yang dikatakannya secara tekstual simbolik tidak serta­merta ditah­ biskan mutlak maksud Tuhan yang sesungguhnya. Di dalam­ 202 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI nya tersimpan juga budaya Arab saat itu. Bagaimanapun, ba­ hasa manusia tidak dapat menampung keluasan wahyu Tuhan. Keniscayaan itu seolah memberikan pesan bahwa pada dasar­ nya agama dengan budaya bersifat mutual interest tidak saling hujat. Tradisi lebaran topat ataupun selakaran, nyatusan, haul, tahlilan dan tradisi­tradisi ritual keagamaan lainnya yang ada di Pulau Lombok tersebut telah menunjukkan hal itu sebagai bukti adanya dialektika agama dengan budaya dan bentuk ke­ beragaman ekspresi budaya dalam menampilkan pengalaman religiusitas manusia. Deislamisasi Identitas (Catatan Pribadi) K onsekuensi meyakini Islam sebagai the way of life me­ maksa untuk merelevansikan nilai­nilainya dalam se­ tiap epos perubahan sejarah manusia. Ajarannya harus menemukan aktualitas dalam meruang dan mewaktu. Keterge­ seran agama oleh nalar modernisme dengan sekularisasi dija­ dikan Islam sebagai momentum untuk bangkit ketika modern­ isme ditemukan boroknya. Islam tiba­tiba dimunculkan seolah memberikan jawaban atas persoalan manusia. Seluruh ma­ nusia rindu merengkuh kembali spiritualitas yang pernah hi­ lang. Rating stasiun­stasiun televisi tiba­tiba naik setelah mena­ yangkan program yang berbau agama. Setiap tahun jamaah haji Indonesia tidak pernah surut, sekalipun lilitan ekonomi bangsa terus melorot. Lain bilik, manusia berani membantai sesama ketika agamanya diusik oleh orang yang dia anggap sebagai 204 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI yang lain (the other), tapi diam seribu bahasa melihat jutaan manusia tewas karena kelaparan. Islam kadung terlanjur diimani oleh para pemeluknya ti­ dak hanya sebagai agama, tetapi juga menjadi satu sistem yang menyuguhkan aturan­aturan di dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Since its origin, Islam has always been not only a religion but also a deinite religio­social system with this worldly interests. Demikian ungkap Montgomerry Watt (1961). Dalam nalar yang demikian, Islam merupakan ajaran yang universal (kâffah), mencakup jawaban segala komponen persoalan manusia. Islam laiknya panacea (obat segala penya­ kit) bagi seluruh totalitas persoalan yang dihadapi manusia. Setiap ada persoalan, Islam akan menyelesaikannya. Demi­ kianlah Islam yang diyakini para pemeluknya selama berabad­ abad lamanya. Maka, muncul kemudian, ekonomi Islam, demo­ krasi Islam, dan Islam­Islam lainnya. Kata Islam seolah niscaya hadir dalam bahasa ilmu pengetahuan. Jika tidak menampilkan Islam, sesuatu itu menjadi tidak Islami. Term Islami direduksi hanya sebatas simbol. Arus globalisasi yang menyeragamkan identitas pada satu sisi dan membangkitkan kontestasi identitas lokal pada sisi lain menggiring kerinduan manusia akan identitas “azali” mereka (Amin Maalouf: 2004). Kontestasi mengandaikan adanya ketegangan antar­identitas, yakni identitas dominan vis-avis devian. Islam yang niscayanya menjadi pendamai identitas yang bersitegang (QS Al­Hujurât [49]: 13) justru membakukan dirinya menjadi identitas baru. Islam tiba­tiba muncul di mana­ mana. Perang dan pembantaian atas nama agama yang seha­ rusnya jadi pendamai pun lebih parah dari perang atas nama bangsa/negara. Alih­alih akan memberikan solusi krisis iden­ titas manusia, justru saat itulah agama menjadi problem. Pem­ bakuan identitas menjadikan Islam mudah dibajak untuk me­ D EI SLA MI SASI IDENTITAS 205 lindungi segala kepentingan yang bukan kepentingan mulia agama. Menyemayamkan Islam (agama) menjadi identitas mendo­ rong hasrat politisasi terhadap agama. Paradigma ini secara tak sadar menggiring diagnosis salah dalam melihat konlik agama, sehingga cenderung segala kesalahan diletakkan terhadap mereka yang memolitisasi agama, tetapi luput melihat faktor yang mendorong terjadinya politisasi terhadap agama itu sen­ diri. Islam yang diendapkan menjadi identitas mengundang hasrat untuk dipolitisasi. Tidak hanya untuk akumulasi kekuasa­ an di dalam pemilu atau pilkada, tetapi juga untuk mengum­ pulkan kapital. Reaksi berlebihan umat Islam terhadap aliran seperti al­Qiyadah al­Islamiyah dan Komunitas Eden menun­ jukkan betapa mudahnya Islam dimobilisasi hanya cukup de­ ngan sedikit mengusik simbol­simbol identitasnya. Karena itu, praktik politisasi terhadap Islam merupakan akibat dari mem­ perlakukan Islam sebagai sebuah identitas. Pada aras selanjutnya, pergumulan tidak hanya terjadi da­ lam Islam secara eksternal, tetapi juga menjadi masalah di da­ lam tubuh Islam sendiri. Seperti berhadap­hadapannya Islam bercorak Arab dengan Islam yang berakulturasi dengan budaya Nusantara. Islam yang bercorak Nusantara dengan peci dan sarungnya digerus oleh supremasi Islam yang bercorak Arab dengan serban dan jubahnya, karena Islam yang pertama tidak sesuai dengan identitas Islam. Corak yang pertama diposisikan sebagai yang salah dan menyimpang (baca: bid’ah), sementara yang kedua dianggap sebagai pemegang otentisitas Islam. Hal itu menunjukkan betapa Islam yang merupakan sebuah nilai moral disempitkan sebatas simbol dan identitas. Dalam ranah pengembangan ilmu pengetahuan, Islam yang mengidentitas tidak lagi menjadi produktif dalam menyumbang­ kan ilmu pengetahuan. Hampir tidak ditemukan pemikir Islam 206 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI yang menyumbang kemajuan ilmu kontemporer kecuali hanya sibuk mencari pembenaran teks atas ilmu yang sudah ada. Islam pada posisi ini hanya bergerak defensif dan pasif yang hanya memberikan stempel halal atau haram terhadap sejarah dan ilmu pengetahuan. Islam berposisi bertahan serta enggan terjun langsung dan bertarung dalam pergulatan ilmu pengetahuan. Inilah yang menyebabkan Islam hanya menjadi penonton bagi perkembangan pengetahuan. Bahasa teks agama dianggap me­ lampaui segalanya. Parahnya, ayat Tuhan hanya dipahami lem­ baran teks (qauliyah) an sich, tetapi tidak dalam hamparan alam semesta ini (kauniyah). Menggumpalnya Islam sebagai identitas absolut berakar dari struktur keyakinan yang tidak mampu memilah sakralitas dan profanitas teks Al­Quran. Islam mainstream cenderung melihat teks Al­Quran mutlak sepenuhnya maksud Tuhan. Ti­ dak ada ilmu dan kebenaran di luar Al­Quran. Sehingga, hasil pemahaman terhadap teks yang kemudian menjadi praktik diklaim sebagai identitas Islam yang otentik. Padahal, wahyu Tuhan yang tidak terbatas menggunakan bahasa manusia (QS Yûsuf [12]: 02) yang terbatas (QS Al­Isrâ’ [17]: 109), karenanya teks pun menjadi terbatas. Teks terbatas dan hasil pemahaman pun terbatas. Karena pemahaman terbatas, maka praktik yang dihasilkan dari pemahaman teks tidak bisa dijadikan sebagai identitas, apalagi sebagai identitas otentik Islam. Karena itu, Islam harus keluar dari kungkungan identitas keislaman yang kaku. Identitas Islam tidak tunggal, tidak stag­ nan, tidak terkatakan, dan tidak berwujud. Artinya, identitas Islam bukan bahasa atau simbol­simbol melainkan jiwa dari simbol dan bahasa tersebut. Sebagai sebuah jiwa, dia tidak mengendap dalam satu ruang semata, melainkan berada dalam tiap­tiap ruang. Sebab, Islam itu begitu luas, sehingga tidak bisa mengendap hanya dalam satu simbol yang kemudian dijadikan D EI SLA MI SASI IDENTITAS 207 sebagai identitas. Dalam diri personal, Tuhan menyebutnya de­ ngan takwa, manusia membahasakannya dengan spiritualitas. Orang yang dianggap baik oleh Tuhan bukan orang yang ber­ serban, berjenggot, dahi hitam, atau bersarung, melainkan orang yang berjiwa mulia (baca: takwa). Dengan demikian, sesuatu yang Islami bukan karena dia menampilkan simbol­ simbol, melainkan bersikap rahmat dan menyayangi hidup dan kehidupan. Itulah esensi Islam sebagai petunjuk manusia (hudan li al-nâs). Identitas Bersyariat di Kampung Global (Catatan Pribadi) P emikir asal Belanda, Martin van Bruinessen, pernah melontarkan kegelisahannya perihal corak Islam di Indonesia. Dia melihat pergeseran corak gerakan Islam yang semakin bergeliat ke arah pemikiran­pemikiran formal. Corak Islam formal yang dahulu sekadar komunitas devian kini semakin menunjukkan potensinya menjadi kelompok dominan di Indonesia. Kenyataan itu bukan tanpa bukti. Di berbagai daerah, kini berlomba­lomba mengeluarkan dan menerapkan peraturan­peraturan syariat Islam seiring dengan keran otono­ mi daerah diterapkan. Setelah Aceh menerapkan hukum syariat, daerah pun se­ dang berjuang menyusul. Sulawesi Selatan kabarnya mulai mendesak agar bisa menerapkan hukum Islam seperti di Aceh dan melalui Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) memimpikan Sulawesi Selatan menjadi “Serambi Madinah”. I D EN TI TA S B ER Sy A R I A T D I K A MPUNG GLoBAL 209 Adanya corak formal pada pergeseran beragama di Indonesia bukanlah tanpa bukti. Sebagai reaksi, di Papua Barat muncul gerakan untuk menegakkan syariat Kristen dengan mendirikan Kota Injili yang melarang Muslimah berjilbab. Sebuah reaksi yang “wajar” di tengah gempuran formalisasi syariat Islam di berbagai daerah. Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan integritas kebangsaan sehingga memunculkan pertanyaan besar, fenomena apakah ini? Modernisme yang ditandai dengan kemenangan rasio atas mitos telah meruntuhkan seluruh tatanan manusia yang sebe­ lumnya dimutlakkan memancarkan kebenaran. Ilmu pengeta­ huan memimpin dunia. Alat­alat teknologi pun lahir sebagai ejawantah kemajuan rasio. Konsekuensi sejarahnya, kemun­ culan teknologi dengan serta­merta mengubah mindset masya­ rakat dunia. Perubahan mindset mendorong nilai baru mendo­ brak nila­nilai budaya lama. Munculnya mesin produksi telah mengubah relasi buruh dengan majikan. Revolusi teknologi informasi meleburkan jarak dan waktu seolah tanpa masa. Pe­ netrasi dan reproduksi budaya dan nilai sosial begitu cepat ter­ jadi. Syahdan, dunia yang begitu luas tiba­tiba menjadi mungil (bahasa McLuhan, Global Village). Perjumpaan masing­masing komunitas yang dulu jauh tidak dapat dielakkan. Dalam langgam perjumpaan yang demikian beragam itu, semua komunitas mendeinisikan dirinya. Diferensiasi adalah efek internal dalam diri manusia/komunitas untuk membe­ dakan dirinya dengan entitas di luar dirinya (the other). Sejak bayi, dia sudah diajarkan ini bapak dan itu ibu yang berbeda dengan kamu. Diferensiasi menjadi bagian langkah untuk mendeinisikan diri yang belum utuh dipahami oleh subjek itu sendiri (Mark Brecher: 2005). Begitu juga, ketika perjumpaan komunitas yang menembus batas pada era global semua komu­ nitas mendeinisikan diri masing-masing dalam realitas yang 210 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI penuh cermin ini (baca: globalisasi). Muncullah benih­benih konsep the other (yang lain) yang pada akhirnya nanti menge­ ras menjadi ingroup dan outgroup. Muncullah identitas yang menjadi problem di era “dunia mungil” ini. Pada dasarnya, identitas bergerak simultan dan tidak per­ nah inal (Hans Mol: 1976). Identitas terangkum dalam berbagai materi yang acak dan beragam (Amin Maalouf: 2004). Menariknya, agama ketika hadir dalam ruang demikian justru memahami identitas secara inal sehingga mengeraskan dan mematenkan identitas yang melekat dalam dirinya sebagai satu­ satunya identitas yang mutlak kebenarannya. Di tengah kontes­ tasi identitas di era global ini, pergerakan identitas agamalah yang menarik dicermati. Kontestasi identitas agama inilah yang sering kita sebut­sebut selama ini sebagai era kebangkitan agama yang menghantarkan Huntington pada tesis clash of civilization. Bukan aspek spiritualitas agama yang mencuat, melainkan identitas dan formalitasnya. Semua agama (Islam, Kristen, dan Hindu) berlomba­lomba menunjukkan identitas mereka. Runtuhnya gedung WTC, tragedi berdarah di Poso & Ambon, radikalisme Hindu di India, dan deretan bom bunuh diri adalah tayangan yang memaparkan begitu mengerikannya absoluditas identitas agama. Tidak ada dalam panggung sejarah manusia yang menulis sejarah perjalanannya dengan “darah” sedahsyat sejarah agama. Padahal, agama diciptakan untuk me­ lampaui segala sekat­sekat identitas (cross identity) yang me­ nyekat manusia. Sakralisasi agama mematri identitas agama sebagai yang absolut dan tak terjamah oleh sejarah. Identitas agama tidak dilihat dalam langgam yang profan, melainkan sakral dan absolut. Identitas, yang pada dasarnya tidak pernah inal, itu pun terkunci dan dianggap inal. Beragama menjadi problematis, karena serta­merta memaksa sekian simbol dan identitasnya menyingkirkan kebaradaan yang lain. I D EN TI TA S B ER Sy A R I A T D I K A MPUNG GLoBAL 211 Sementara itu, setiap komunitas dalam ranah global ber­ gerak dengan hasrat defensif dan ekspansif. Bergerak defensif untuk membentengi ego agar tidak tercemar oleh the other culture sembari menyebarkan pengaruhnya secara ekspansif dan masif. Dus, logika sistem sosial pada ranah global kemudian berkelindan pada prinsip evolusi sosialnya Spencer, the survival of the ittest. Siapa yang kuat dialah yang menang. Bukan dialog dan saling pengertian yang muncul, melainkan saling membi­ nasakan dan memusnahkan budaya lain. Identitas yang terping­ gir kemudian harus melawan sekuat tenaga dengan melakukan formalisasi. Akhirnya, agama menjadi tempat persinggahan identitas, karena pengorbanannya mengonpensasi kebahagiaan abadi setelah mati (baca: syahid). Fenomena di atas, serta pernyataan Martin van Bruinessen yang disebut pada awal tulisan ini, pada dasarnya menggam­ barkan sebuah show of force dari suatu komunitas untuk me­ nampilkan identitas mereka. Sistem kejam globalisasi yang berpijak pada prinsip the survival of the ittest yang menisca­ yakan adanya peminggiran mesti akan melahirkan aksi balik. Karenanya, aksi yang menampilkan identitas terjadi sebagai bentuk reaksi atas represi peminggiran jati diri oleh kelom­ pok dominan yang kemudian mereka anggap sebagai the others. Itulah corak beragama yang sedang banyak dijumpai akhir­akhir ini. Kerasnya desakan formalisasi Islam di berbagai daerah merupakan cermin jati diri yang terpinggirkan oleh sistem. Begitu juga dengan hasrat masyarakat Papua Barat un­ tuk membangun Kota Injili juga reaksi atas dominasi terhadap diri kekristenan mereka. Memang, harus ada suatu pemikiran mendalam untuk mengimbangi kekuatan gerak agama yang mengidentitas ke segala lini kehidupan saat ini. Bukan untuk membunuh, me­ lainkan mengimbangi. Bukan pula dengan cara menghujat 212 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI mereka, melainkan diajak untuk dialog dengan cara yang ha­ lus tanpa meminggirkan jati diri mereka. Jika tidak ada upa­ ya pengimbang, gerak formal agama tersebut tidak hanya berkelindan pada lokus lokal, melainkan menggeliat ke ruang yang lebih global. Kenyataan ini dapat merobek solidaritas ke­ indonesiaan dan digantikan oleh solidaritas agama an sich. Sendi dan ranah­ranah identitas yang dibangun berdasarkan kebangsaan sewaktu­waktu akan dilelehkan oleh kekuatan identitas agama yang mengglobal, seperti beberapa indikasi yang terjadi saat ini. Syahdan, bersyariat sebagai wujud keyakinan kita di dunia yang kian menjadi mungil ini membutuhkan sebuah kearifan yang mendalam dari seluruh komunitas. Keberagaman ekspresi apa pun bentuknya adalah sebuah kekayaan yang merupakan anugerah Tuhan yang diberikan melalui kekuatan akal budi manusia. Betapa indah jika kita beragama (baca: bersyariat) di dunia global ini di mana kontestasi masing­masing identi­ tas komunitas berjalan tetapi tidak mengusik, apalagi meming­ girkan keberaadaan yang lain. Sangat menggugah apa yang di­ ungkapkan Hans Kung bahwa agama akan dikatakan baik dan benar sejauh agama itu manusiawi. Dengan demikian, bersya­ riat tidak menghilangkan dan menghancurkan, tetapi melin­ dungi dan memajukan kemanusiaan. Itulah hakikat dari ber­ agama atau bersyariat (maqâshid al-syarî’ah) yang sejati. Menggugat Keidentitasan Agama (Ditulis pada 17 Desember 2006) J umat pekan lalu (08/12), dengan hanya dihadiri sekitar 50 anggota DPR, Rapat Paripurna mengesahkan UU Ad­ ministrasi dan Kependudukan (UU Adminduk), sekalipun pemerintah belum memutuskan hasil kajiannya. Pencantuman agama, yang pada bulan April lalu sempat mencuat gagasan agar dihapuskan, ternyata diurungkan. Agama akhirnya tetap harus tertera di dalam Kartu Tanda Penduduk (Pasal 64 ayat 2). Berbagai alasan muncul terkait dengan pencantuman agama di dalam KTP. Apa pun alasannya, penting menarik garis merah bahwa agama, dalam sebagian pandangan umatnya (di DPR), ternyata tetap menjadi identitas. Inilah cikal bakal kerap terjadi distorsi dan politisasi terhadap agama. Pada dasarnya, identitas, sebagaimana diungkap Hans Mol (Identity and The Sacred: 1976), terangkum dalam bingkai yang lapuk, mudah patah, dan tidak stabil. Identitas mengandaikan 214 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI sebuah keinginan untuk merangkum nilai, sementara nilai ti­ dak bisa sepenuhnya dirangkum dalam identitas yang kon­ kret. Identitas selalu melompat dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Agama melampaui identitas, karena dia berisikan nilai­nilai Tuhan. Menjadikan agama sebatas identitas justru mempersempit keluasan nilai­Nya. Misalnya, kita cenderung mengatakan orang itu Islam melalui KTP­nya saja, sementara perilakunya tidak mencerminkan Islam. Dus, agama dikeringkan sebatas identitas. Sebuah indikasi jawaban kejatuhan agama pa­ da abad ke­21 yang belum dipahami pemeluknya (baca: DPR). Arus globalisasi yang menyeragamkan identitas pada satu sisi dan membangkitkan kontestasi identitas lokal pada sisi lain menggiring kerinduan manusia akan identitas “azali” mereka. Kontestasi mengandaikan adanya ketegangan antar­identitas, yakni identitas dominan vis-a-vis devian. Agama yang nis­ cayanya menjadi pendamai identitas yang bersitegang (QS Al­ Hujurât [49]: 13), justru membakukan dirinya menjadi identitas baru. Kebangkitan agama hanya kebangkitan kulit, bukan isinya. Alih­alih akan memberikan solusi krisis identitas manusia, justru saat itulah agama menjadi problem. Pembakuan menjadi identitas menjadikan agama mudah dibajak dalam melindungi segala kepentingan yang bukan kepentingan mulia agama. Agama yang menjadi identitas mendorong hasrat politisasi terhadap agama. Tidak hanya untuk akumulasi kekuasaan di da­ lam pemilu atau pilkada, tetapi juga menguntungkan kapitalisme industri hiburan, seperti maraknya tayangan televisi, sambutan Ramadhan, dan Idul Fitri yang memainkan simbol­simbol yang dianggap oleh pemeluknya sebagai identitas agama. Karenanya, praktik politisasi konlik agama sebagaimana yang terjadi di Mataram, Poso, Ambon dan berbagai daerah lain pada kurun 1998­2002, merupakan akibat dari memperlakukan agama sebagai sebuah identitas. Bukan sebaliknya. MEN G G U G A T K EI D EN TI T ASAN AGAMA 215 Karena itu, persoalan memasukkan agama di dalam KTP tidak sesederhana yang dibayangkan. Tidak hanya memunculkan diskriminasi terhadap kaum minoritas (Konghucu, Islam Wetu Telu di Lombok, Ahmadiyah, dan lain­lain), tetapi juga akan me­ nimbulkan sektarianisme, eksklusivitas, dan klaim kebenaran atas tafsir agamanya. Pengotak­ngotakan berdasar agama an­ tara aku dan dia pun terjadi. “Kamu Kristen, kamu Islam, dan kamu Hindu.” Akhirnya, ketika terjadi pertikaian individu, aga­ ma begitu mudah ditarik ke persoalan kelompok. Mengusik in­ dividu sama dengan mengusik agamanya. Sebab, mengusik aga­ ma sama dengan mengusik identitas diri penganutnya. melampaui Identitas Identitas agama tidak tunggal, tidak stagnan, tidak terkatakan, dan tidak berwujud. Artinya, identitas agama bukan bahasa atau simbol­simbol melainkan jiwa dari simbol dan bahasa ter­ sebut. Sebagai sebuah jiwa, dia tidak mengendap dalam satu ruang semata, melainkan berada dalam tiap­tiap ruang. Sebab, agama itu begitu luas, sehingga tidak bisa mengendap hanya dalam satu simbol yang kemudian dijadikan sebagai identitas. Apalagi identitas itu diendapkan di dalam KTP yang tentunya membawa dampak sosial yang cukup tinggi. Tidak mencantumkan agama di dalam KTP tidak berarti kita mengambil jalan sekuler apalagi menarik agama menjadi ranah privat. Melainkan, hendak membawa agama ke peran yang sesungguhnya. Yakni, agama sebagai rahmat dan penyatu segala bentuk identitas primordial manusia (ras, suku, bahasa) yang menghalanginya untuk berbagi bersama. Bukan lantas menjadikan agama sebagai identitas baru. Orang yang dianggap baik oleh Tuhan bukan orang yang berserban, cantik, hitam, atapun putih, melainkan orang yang berjiwa mulia. Dengan demikian, sesuatu yang agamis bukan 216 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI karena dia menampilkan simbol­simbol tertentu yang dianggap sebagai identitas agama. Apalagi hanya dituangkan di dalam KTP yang tentunya akan banyak diskriminasi. Itulah esensi agama sebagai petunjuk manusia (hudan li al-nâs). Wallâhu A’lam. Fatwa Hati (Bernas, 31 Januari 2003) S uatu ketika, sahabat Wabishah datang menghadap kepada baginda Rasulullah SAW. Akan tetapi, sebelum beliau mengutarakan maksud hati kedatangannya itu, Rasulullah mendahului bertanya: “Engkau datang untuk mena­ nyakan tentang kebaikan?” “Ya”, jawab sahabat Wabishah. Ke­ mudian, Rasulullah bersabda, “Mintalah fatwa kepada hati. Kebaikan itu menenangkan jiwa dan hati, sedangkan dosa meresahkan jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam hati” (HR Imam Ahmad). Ketika manusia tercipta, Allah SWT telah menganugerahkan hati kepadanya. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberikan kamu pendengaran, pengelihatan, dan hati, agar kamu bersyukur (QS Al­Nahl [16]:78). 218 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI Hati bagi manusia bagaikan lentera yang siap menuntun langkah manusia dalam menyusuri lika­liku hidupnya yang selalu diintai oleh tipu daya dunia. Gerak langkah setiap insan sangat ditentukan oleh kekuatan hati. Karena itu, segala wujud tingkah laku senantiasa berhu­ bungan dengan hati. Hati yang gundah, gelisah, atau sakit akan tercermin dalam tingkah laku yang tidak sesuai dengan mo­ ralitas. Sebaliknya, hati yang baik dan terpelihara akan senan­ tiasa memancarkan budi pekerti yang baik pula. Pada era yang penuh ketidakpastian ini, manusia kerap kali mengabaikan peringatan­peringatan yang disuarakan hati. Hati tidak pernah diajak berdialog dalam menyelesaikan ma­ salah ataupun untuk sekadar menimbang tindakan yang akan dilakukannya. Manusia lebih cenderung berdialog dengan hawa nafsunya. Sehingga, tindakan­tindakan yang diambilnya sering tidak sejalan dengan suara hati terdalamnya. Suara hati menjadi bisu dan telinga jiwa menjadi tuli ka­ rena dominannya nafsu­nafsu ketamakan tersebut merasuki se­ luruh jasad dan jiwa manusia. Kebaikan tidak lagi diukur sebe­ rapa besar hati menerima, melainkan seberapa besar uang dan kekuasaan yang didapat. Hasrat terhadap uang dan kekuasaan telah memadamkan cahaya lentera hati yang bersemayam dalam dada, seolah uang adalah segala­galanya. Mungkin inilah, yang disebut oleh Rasul sebagai, tanda dari akhir zaman: “Kelak di akhir zaman manusia tidak akan lepas dari kekuatan pengaruh dirham, seorang baik dalam urusan agama maupun dunianya (Al­ Thabari dalam al-Kabîr). Sahabat Al­Nuwan bin Sam’an bertanya kepada Nabi me­ ngenai kebaikan (al­Birr) dan dosa (al-Itsmu). Rasul menjawab: “Kebaikan itu keluhuran budi pekerti dan dosa itu adalah se- FATWA HATI 219 suatu yang mengguncangkan hatimu dan engkau tidak senang hal itu diketahui orang lain” (HR Muslim). Suatu tindakan yang mendatangkan ketenangan dalam hati dan jiwa adalah kebaikan (al­Birr). Iman adalah sesuatu yang baik dan mulia, karena itu, ia mendatangkan ketenangan hati (al-imân tathmain al-qulûb). Sebaliknya, mencuri, mengambil hak orang lain, dan membunuh merupakan tindakan yang men­ datangkan kerisauan dan kegoncangan hati bagi pelakunya. Karena itu, ia termasuk perbuatan tercela dan dosa. Hati akan berfungsi secara maksimal sebagai penuntun da­ lam hidup ini manakala fatwa­fatwanya selalu didengar. Ten­ tunya untuk mendengarkan fatwa­fatwa hati tidak segampang membalikkan telapak tangan. Dalam proses ini, dibutuhkan perjuangan yang kuat (jihâd al-akbar) dan kesabaran hati yang kokoh. Dikatakan sebagai jihad akbar, karena untuk mendengar fatwa­fatwa hati, seseorang harus mampu melepas keterkung­ kungan jiwanya oleh nafsu­nafsu tamak dan ingin menguasai. Sementara itu, melawan hawa nafsu adalah salah satu jihad yang paling besar dan berat. Sebab itu, perbuatan ini adalah ibadah yang sangat mulia. Karena, “Ibadah yang paling mulia adalah ibadah yang paling berat dalam pelaksanaannya,” sabda Nabi Muhammad SAW. Hanya ada satu upaya untuk menjadikan hati agar ia bisa menjadi penurun dan pembimbing langkah kita dalam meng­ hadapi gemerlapnya dunia, yakni dengan menjaga hati ini dari noda dan agar tidak tercemari olehnya. Jagalah hati, jangan kau nodai. Jagalah hati, cahaya hidup ini. Wallâhu A'lam. Jihad Memelihara Kejujuran (Bernas, 2 Januari 2004) Sahabat Ma’qil r.a. pernah berkata: saya akan menceritakan kepada engkau hadis yang saya dengar dari Rasulullah SAW, dan saya mendengar beliau bersabda: “Seseorang yang telah ditugaskan Tuhan akan memerintahi rakyat kalau tidak memimpin rakyat dengan jujur, niscaya dia tidak akan memperoleh bau surga.” (HR Bukhari) B erkata benar dengan bersandar pada bisikan kejujuran hati nurani itulah kejujuran yang paling hakiki dalam hidup ini. Sebab, ketika perkataan tidak bersandar pada apa yang diungkapkan hati nurani berpotensi untuk selalu ingkar dan berkhianat. Kejujuran menjadi penting dalam hidup sebagai pengontrol langkah manusia, karena bersandar pada suara dan bisikan J I H A D MEMELI H A RA KEJUJURAN 221 kebenaran nurani. Apa pun yang kita pikul dalam menjalankan aktivitas di dunia ini, kejujuran adalah tiket utama yang harus melekat menjadi sifat kita semua, terutama dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin manusia. Sehingga, kejujuran meru­ pakan tolok ukur apakah pemimpin itu baik atau buruk. Dalam konteks Indonesia, kejujuran itu sangat langka—un­ tuk mengatakan tidak sama sekali—kita temukan melekat dalam jati diri para pemimpin bangsa. Kejujuran itu telah tergadaikan oleh seonggok berhala yang bernama uang. Ketidakberdayaan bangsa ini untuk melepaskan diri dari keterpurukan krisis multidimensi adalah bukti itu semua. Kita semua belum bisa memelihara kejujuran itu. Yakni, kejujuran pada diri sendiri dan kejujuran kepada Tuhan untuk mengatakan bahwa “Hal itu salah dan karenanya harus saya tinggalkan.” Kejujuran pada diri sendiri hanya bersandar dari hati nurani. Dan, hati nurani itu akan terdengar manakala ketamak­ an terhadap materi, kehormatan, dan prestise duniawi dilenyap­ kan dari pikiran manusia. Tentu dilakukan dengan perjuangan yang tidak gampang. Mendengar hati nurani perlu hati yang su­ ci dan rendah diri. Dikatakan sebagai perkara yang sulit, karena berkata jujur yang selaras dengan kebenaran nurani membutuhkan kesa­ baran. Berkata jujur berarti kita mengatakan kebenaran, se­ dangkan mengatakan kebenaran adalah suatu hal yang sulit. Rasulullah sendiri pernah menasihati umatnya agar berkata benar sekalipun itu sangat menyakitkan (qul-al haqqa walau kâna murrân). Menjadi insan jujur terutama dalam jeratan lingkaran setan kemunaikan akan sangat menyiksa diri kita. Ia membutuhkan pengobanan dan perjuangan yang ekstra keras. Apalagi jika ke­ munaikan itu telah tersistematisasi dan masuk sebagai bagian kekuatan struktur. 222 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI Banyak sekali orang yang berjuang menjaga kejujurannya, di tengah ruang yang menganggap kebohongan dan kemunaikan sebagai sebuah tren, terpelanting dan diasingkan. Akhirnya, uang menjadi sulit jika tidak melakukan kebohongan (korupsi, kolusi). Itulah kekuatan lingkaran setan kemunaikan yang tersistematisasi, karena kekuatan struktur menjadi alat untuk mendongkel orang­orang yang jujur. Karena itulah, kejujuran adalah suatu hal yang sangat mu­ dah diucapkan tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Modal utama untuk melawan lingkaran setan kebohongan itu adalah berjuang untuk mengungkapkan kebenaran secara jujur. Jika usaha itu salah, katakan itu salah dan jika itu benar, katakan benar. Dan hal itu yang sering dicontohkan Rasulullah kepada kita. Dalam sebuah hadis yang datangnya dari Ibnu Mas’ud r.a., dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kebaikan, dan kebaikan itu membawa kepada surga. Dan sesungguhnya orang yang berkata benar akan dicacat oleh Allah sebagai shiddiq (orang yang jujur). Sedangkan kebohongan membawa keburukan, dan keburukan itu akan membawa ke neraka. Dan sesungguhnya orang yang berlaku bohong akan dicacat oleh Allah sebagai pendusta” (HR Bukhari). Berlaku jujur untuk mengatakan sebuah kebenaran dalam mengemban amanah bukan hanya mendengar ganjaran pahala besar oleh Allah, melainkan akan menjaga fondasi kehidupan kita dari kehancuran. Jika kejujuran sudah diabaikan, kebo­ hongan menjadi kebiasaan, harta menjadi pujaan dan hati tidak mampu untuk sekadar mengatakan kebenaran, maka kehancur­ an tatanan hidup hanya menunggu hitungan detik. Kesulitan untuk berlaku jujur bukan sebuah alasan untuk melegalkan kebohongan. Kesulitan itulah yang akan menum­ J I H A D MEMELI H A RA KEJUJURAN 223 pukkan kebaikan dalam diri kita. Ibadah yang paling disukai dan utama di hadapan Tuhan adalah ibadah yang paling sulit dikerjakan. Berlaku dan berkata jujur berarti kita telah sukses membunuh hawa nafsu, sedangkan melawan hawa nafsu adalah jihad yang paling berat dan paling disukai Allah. Karena itu, sudah saatnya kita semua berjuang sekuat te­ naga (jihad) untuk memelihara kejujuran kita, karena kejujuran adalah lentera dan hiasan kepribadian. Tanpa kejujuran, tam­ paknya mengharapkan kemajuan adalah misi yang mustahil. Wallâhu A’lam. Kasih Sayang (Bernas, 14 Maret 2003) K asih dan benci adalah dua kata yang selalu berupaya mengalahkan satu sama lain. Ia saling menghancurkan dan saling mendominasi. Keduanya ibarat air dan mi­ nyak, tidak akan pernah menyatu sampai kapan pun. Karena masing­masing dari keduanya memiliki sifat yang berlawanan seperti arus perlawanan antara kutub selatan dan kutu utara magnetik. Rasa kasih sayang dan bara kebencian adalah sifat yang diberikan Tuhan kepada setiap jasad yang berjiwa. Di dalam Al­Quran, Allah menyebutnya dengan takwa dan fujur. Takwa adalah simbol kasih sayang, cinta dan rindu. Sedangkan fujur adalah perwakilan rasa benci, ketamakan, kesombongan dan sejenisnya. Maka Allah mengilhami jiwa itu (sifat) kefasikan dan ketakwaannya (QS Al­Syams [91]: 8). KASIH SAyANG 225 Dua sifat itu adalah dua sifat yang selalu ada dalam jiwa manusia dan saling mengalahkan dan mendominasi. Jika fujur mengalahkan ketakwaan, perbuatan pun akan jauh dari pancaran mutiara cinta dan kasih. Namun, bila takwa mendominasi jiwa seluruh raga pun tersenyum dan akan senantiasa menghampiri setiap makhluk dengan pancaran kasihnya. Sebab itu, Allah SWT berirman, Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS Al­Syams [91]: 9­10). Ketakwaan merupakan lambang kesucian dan ke­fujur­an adalah simbol kekotoran jiwa. Ketakwaan diperoleh melalui usaha yang berat. Ia bisa hadir manakala diri ini bisa men­ cintai Tuhan dengan segenap jiwa. Kecintaan pada Tuhan itu kemudian memancarkan bias kasih yang amat terang pada se­ tiap jiwa, yang mana bias kasih itu dapat dirasakan oleh jiwa­ jiwa yang berada di sekelilinginya, dalam sikap derma dan kasih sayangnya pada sesama. Kasih sayang kepada makhluk adalah bukti bahwa sese­ orang cinta kepada Allah. Orang yang menyatakan diri beriman dan cinta pada Tuhan, tidak boleh tidak, dia pun akan men­ cintai dan mengasihi segala ciptaan­Nya di bumi ini. Ibarat kecintaan seorang kepada kekasihnya, apa pun yang dimiliki kekasihnya akan ia sayangi sebagaimana kebesaran cintanya kepada kekasihnya itu. Demikian pula perumpamaan orang yang menyatakan diri beriman dan cinta kepada Allah SWT, niscaya segala ciptaannya akan disapa dengan belaian kasih sayang yang lembut. Inilah yang disebut Allah sebagai orang yang beruntung, yakni orang­ orang yang mampu menyucikan jiwanya dari benda­benda kotor, kebencian, dendam, tamak, hasut, dan lain­lain. Orang yang mengaku dirinya beriman dan mencintai Allah, namun belum bisa mencintai sesamanya, tidaklah dikatakan 226 A GA M A , I DEN TI TA S, D A N G LoB A LI SA SI sebagai orang yang beriman dan cinta kepada Allah. Apalagi jika ia sering menyakiti dan menusuk hati sesama saudaranya (seiman) sendiri. Nabi pernah mengatakan bahwa seseorang tidak dikatakan sebagai orang yang beriman jika ia masih belum bisa menyayangi saudaranya sendiri sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Pada hakikatnya, kasih sayang dalam jiwa ini adalah per­ cikan sinar cinta Allah SWT, Yang Mahaluas nan Suci. Kasih sayang­Nya menyinari semua jiwa. Dengan belaian kasih Tuhan itulah, jiwa­jiwa menjadi betah bersemayam dalam jasad hingga ia hidup dalam kedamaian kasih­Nya. Muhammd Iqbal, dalam sajak puisinya, mengibaratkan ka­ sih Tuhan seperti matahari yang mana seluruh jiwa yang ada di bumi ini mengais sinar kasih itu kepada­Nya. Oh Tuhan… engkaulah matahari di mana bintang-bintang jiwa memperoleh sinarnya. Rasulullah pernah berpesan, “Sayangilah apa-apa yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit juga menyayangimu.” Jika kita ingin dicintai dan mencintai Tuhan, hampirilah sesamamu dengan kasih sayang, sapalah orang yang tak ber­ daya dengan kelembutan hatimu, bantulah mereka dalam me­ ringankan susahnya kehidupan yang mereka hadapi dengan uluran tanganmu. Dan janganlah engkau biarkan hati busukmu (bakhil, tamak, angkuh) memadamkan lentera kasih sayang yang menerangi jiwamu itu. Jika itu telah kau lakukan, niscaya Allah SWT beserta malaikat­malaikat yang ada di langit akan menyayangi sebagai­ mana engkau menyayangi mereka. Kira­kira demikian siratan sabda Rasulullah kepada kita semua. Di lain kesempatan, Nabi Muhammad SAW juga pernah berpesan kepada istri beliau Aisyah r.a., “Wahai Aisyah, dekati- KASIH SAyANG 227 lah orang-orang miskin, cintailah mereka, niscaya Allah akan dekat dengan kamu.” Karenanya, kinilah saatnya kita mencintai sesama sebagai bukti kecintaan kita kepada Tuhan. Kasih sayang sejati adalah kasih sayang yang tidak memiliki batas, melainkan amat luas yakni seluas kasih Tuhan yang dicurahkan­Nya kepada seluruh makhluk, begitu jualah kasih sayang yang seharusnya kita miliki. Lupakanlah kulit­kulit luar yang membungkus masing­ masing jiwa (perbedaan) yang dapat menghalangi hati ini untuk memberikan kasih sayang kepada mereka. Karena ia dapat memberikan sebuah ruang dan peluang kepada sifat fujur untuk menguasai jiwa dan raga ini, sehingga iman dan cinta kita kepada Allah tidak sampai ke haribaan­Nya, nau’udzu billâhi min dzâlik (semoga kita dihindarkan oleh Allah dari semua itu). Sekadar bahan perenungan, Tuhan tidak dahaga akan pu­ jian hamba­Nya, namun Tuhan “dahaga” menyaksikan hamba­ Nya mencurahkan cinta kasihnya kepada sesama. Wallâhu A’lam.