BAB I
PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA
Pada bagian ini, Anda akan diajak untuk memahami konsep, hakikat, dan perjalanan
pendidikan Pancasila di Indonesia. Pancasila sebagai dasar filsafat negara
Indonesia memiliki tiga implikasi, yakni implikasi etis, yuridis, dan politis bagi
kehidupan bernegara. Impikasi etis adalah menjadikan Pancasila sebagai sumber
norma etik bernegara. Implikasi yuridis adalah menjadikan Pancasila sebagai
sumber hukum negara. Implikasi politis adalah menjadikan Pancasila sebagai
ideologi nasional.
Hal tersebut penting untuk diketahui karena berlakunya pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi mengalami pasang surut. Selain itu, kebijakan penyelenggaraan
pendidikan Pancasila di perguruan tinggi tidak serta merta diimplementasikan baik di
perguruan tinggi negeri maupun di perguruan tinggi swasta. Keadaan tersebut
terjadi karena dasar hukum yang mengatur berlakunya pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi selalu mengalami perubahan dan persepsi pengembang
kurikulum di masing-masing perguruan tinggi berganti-ganti. Lahirnya ketentuan
dalam pasal 35 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 yang menyatakan
bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila,
kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia menunjukkan bahwa negara berkehendak
agar pendidikan Pancasila dilaksanakan dan wajib dimuat dalam kurikulum
perguruan tinggi sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri. Dengan demikian, mata
kuliah Pancasila dapat lebih fokus dalam membina pemahaman dan penghayatan
mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia. Hal tersebut berarti pendidikan
Pancasila diharapkan dapat menjadi ruh dalam membentuk jati diri mahasiswa
guna mengembangkan jiwa profesionalitasnya sesuai dengan bidang studinya
masing-masing. Selain itu, dengan mengacu kepada ketentuan dalam pasal 2
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, sistem pendidikan tinggi di Indonesia
harus berdasarkan Pancasila. Implikasinya, sistem pendidikan tinggi (baca:
perguruan tinggi) di Indonesia harus terus mengembangkan nilai-nilai Pancasila
dalam berbagai segi kebijakannya dan menyelenggarakan mata kuliah pendidikan
Pancasila secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab.
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat menguasai kompetensi
sebagai berikut.
Bersyukur atas karunia kemerdekaan dan Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia; menunjukkan sikap positif terhadap pentingnya pendidikan Pancasila;
menjelaskan tujuan dan fungsi pendidikan Pancasila sebagai
komponen mata kuliah wajib umum pada program diploma dan sarjana;
menalar dan menyusun argumentasi pentingnya pendidikan Pancasila sebagai
komponen mata kuliah wajib umum dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Pengantar pendidikan pancasila dimaksudkan untuk mengingatkan kembali
pemahaman dan kesadaran akan pentingnya kesadaran pendidikan pancasila pada
generasi muda. Pendidikan pancasila untuk masa depan hendaknya bukan hanya
pendidikan tentang pancasila, tetapi juga pendidikan melalui pancasila dan
pendidikan untuk pancasila. Pendidikan tentang pancasila adalah pendidikan
mengenai pengetahuan akan rumus (pengertian) pancasila, kedudukan dan
fungsinya bagi kehidupan bernegara. Pendidikan tentang pancasila sudah sering
dilakukan dan sampai saat ini pun terus di pertahankan. Pendidikan melalui
pancasila adalah pendidikan ber-pancasila, yakni membelajarkan isi dari pada
pancasila itu sendiri. Isi pancasila adalah nilai-nilai yang kemudian dijabarkan ke
dalam norma sosial dan hukum bernegara. Dengan pendidikan melalui pancasila
diharapkan tumbuh sikap dan perilaku warga negara yang senantiasa dilandasi oleh
nilai-nilai Pancasila. Pendidikan untuk Pancasila adalah pendidikan yang berisi
kajian-kajian masalah kebangsaan dan kemasyarakatan Indonesia yang dikaji dari
atau menurut perspektif Pancasila. Pendidikan untuk Pancasila adalah belajar untuk
membangun tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang
religius, beradab, bersatu, demokratis dan berkeadilan. Udin S. Winataputra (2014)
menyebut tiga proses belajar Pancasila itu sebagai knowing Pancasila, doing
Pancasila dan building Pancasila.
A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Pendidikan Pancasila
Meminjam istilah Soekarno sebenarnya sistem demokrasi yang diterapkan di negara
kita adalah demokrasi tanpa demos, yaitu demokrasi yang tidak berakar pada
kedaulatan rakyat. Dalam perjalanan sejarah bangsaIndonesia, sesungguhnya nilainilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sudah terwujud dalam kehidupan
bermasyarakat sejak sebelum Pancasila sebagai dasar negara dirumuskan dalam
satu sistem nilai. Sejak zaman dahulu, wilayah-wilayah di nusantara ini mempunyai
beberapa nilai yang dipegang teguh oleh masyarakatnya, sebagai contoh :
1. Percaya kepada Tuhan dan toleran
2. Gotong royong
3. Musyawarah,
4. Solidaritas atau kesetiakawanan sosial, dan sebagainya.
Pendikan tentang Pancasila adalah pembelajaran tentang rumus Pancasila yang
terdiri atas tiga konsep utama : Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa,
Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, dan Pancasila sebagai dasar filsafat
negara. Tiga konsepsi ini dibangun berdasar sejarah pemikiran tentang Pancasila.
Bahwa Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indaonesia yang ditatapkan oleh
PPKI tangggal 18 Agustus 1945 itu bermula dari Pancasila sebagai ideologi
kebangsaan. Konsepsi Pancasila sebagai ideologi kebangsaan yang di perjuangkan,
dirumuskan dan disepakati oleh para pendiri negara itu, nilai-nilainya berasal dan
telah dialami oleh bangsa Indonesia sebagai pengalaman hidupnya. Niali-nilai nya
merupakan jati diri bangsa dan sebagai pandangan hidup, sebagai kristalisasi nilainilai luhur bangsa.Nilai-nilai Pancasila berdasarkan teori kausalitas yang
diperkenalkan Notonagoro (kausa materialis, kausa formalis, kausa efisien, kausa
finalis), merupakan penyebab lahirnya negara kebangsaan Republik Indonesia,
maka penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dapat berakibat terancamnya
kelangsungan negara. Munculnya permasalahan yang mendera Indonesia,
memperlihatkan telah tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, perlu diungkap berbagai
permasalahan di negeri tercinta ini yang menunjukkan pentingnya mata kuliah
pendidikan Pancasila.
1. Masalah Korupsi
Masalah korupsi sampai sekarang masih banyak terjadi, baik di pusat maupun
di daerah. Transparency International (TI) merilis situasi korupsi di 177
negara untuk tahun 2013. Berdasarkan data dari TI tersebut, Indonesia masih
menduduki peringkat 64 dalam urutan negara paling korup di dunia.
Hal tersebut menunjukkan bahwa masih ditemukan adanya perilaku pejabat
publik yang kurang sesuai dengan standar nilai/moral Pancasila. Agar perilaku
koruptif tersebut ke depan dapat makin direduksi, maka mata kuliah
pendidikan Pancasila perlu diintensifkan di perguruan tinggi. Hal tersebut
dikarenakan mahasiswa merupakan kelompok elit intelektual generasi muda
calon-calon pejabat publik di kemudian hari.
Sebenarnya, perilaku koruptif ini hanya dilakukan oleh segelintir pejabat
publik saja, tetapi seperti kata peribahasa, karena nila setitik rusak susu
sebelanga. Hal inilah tantangan yang harus direspon bersama agar prinsip
good governance dapat terwujud dengan lebih baik di negara Indonesia.
2. Masalah Lingkungan
Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia. Namun dewasa ini, citra tersebut
perlahan mulai luntur seiring dengan banyaknya kasus pembakaran hutan,
perambahan hutan menjadi lahan pertanian, dan yang paling santer
dibicarakan, yaitu beralihnya hutan Indonesia menjadi perkebunan.
Berdasarkan data dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), tahun 2000 hingga
2005, rata-rata per hari 5,1 km² hutan Indonesia hilang (rusak). Dengan
menghitung rata-rata kerusakan hutan Indonesia pada tahun 2002, PBB merilis
hutan Sumatera dan hutan Kalimantan akan punah pada tahun 2032. Namun,
rilis resmi PBB tersebut diralat pada tahun 2007.
Selain masalah hutan, masalah keseharian yang dihadapi masyarakat
Indonesia saat ini adalah sampah, pembangunan yang tidak memperhatikan
ANDAL dan AMDAL, polusi yang diakibatkan pabrik dan kendaraan yang
semakin banyak. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat
terhadap kelestarian lingkungan masih perlu ditingkatkan. Peningkatan
kesadaran lingkungan tersebut juga merupakan perhatian pendidikan Pancasila.
3. Masalah Disintegrasi Bangsa
Demokratisasi mengalir dengan deras menyusul terjadinya reformasi di
Indonesia. Disamping menghasilkan perbaikan-perbaikan dalam tatanan
Negara Republik Indonesia, reformasi juga menghasilkan dampak negatif,
antara lain terkikisnya rasa kesatuan dan persatuan bangsa. Sebagai contoh
acapkali mengemuka dalam wacana publik bahwa ada segelintir elit politik di
daerah yang memiliki pemahaman yang sempit tentang otonomi daerah.
Mereka terkadang memahami otonomi daerah sebagai bentuk keleluasaan
pemerintah daerah untuk membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Implikasinya
mereka menghendaki daerahnya diistimewakan dengan berbagai alasan.
Bukan itu saja, fenomena primordialisme pun terkadang muncul dalam
kehidupan masyarakat. Beberapa kali Anda menyaksikan di berbagai media
massa yang memberitakan elemen masyarakat tertentu memaksakan
kehendaknya dengan cara kekerasan kepada elemen masyarakat lainnya.
Berdasarkan laporan hasil survei Badan Pusat Statistik di 181 Kabupaten/Kota,
34 Provinsi dengan melibatkan 12.056 responden sebanyak 89,4 %
menyatakan penyebab permasalahan dan konflik sosial yang terjadi tersebut
dikarenakan kurangnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila
(Dailami, 2014:3).
4. Masalah Dekadensi Moral
Dewasa ini, fenomena materialisme, pragmatisme, dan hedonisme makin
menggejala dalam kehidupan bermasyarakat. Paham-paham tersebut mengikis
moralitas dan akhlak masyarakat, khususnya generasi muda. Fenomena
dekadensi moral tersebut terekspresikan dan tersosialisasikan lewat tayangan
berbagai media massa. Perhatikan tontonan-tontonan yang disuguhkan dalam
media siaran dewasa ini. Begitu banyak tontonan yang bukan hanya
mengajarkan kekerasan, melainkan juga perilaku tidak bermoral seperti
pengkhianatan dan perilaku pergaulan bebas. Bahkan, perilaku kekerasan juga
acapkali disuguhkan dalam sinetron-sinetron yang notabene menjadi tontonan
keluarga. Sungguh ironis, tayangan yang memperlihatkan perilaku kurang
terpuji justru menjadi tontonan yang paling disenangi. Hasilnya sudah dapat
ditebak, perilaku menyimpang di kalangan remaja semakin meningkat.
5. Masalah Narkoba
Dilihat dari segi letak geografis, Indonesia merupakan negara yang strategis.
Namun, letak strategis tersebut tidak hanya memiliki dampak positif, tetapi
juga memiliki dampak negatif. Sebagai contoh, dampak negatif dari letak
geografis, dilihat dari kacamata bandar narkoba, Indonesia strategis dalam hal
pemasaran obat-obatan terlarang. Tidak sedikit bandar narkoba warga negara
asing yang tertangkap membawa zat terlarang ke negeri ini. Namun sayangnya,
sanksi yang diberikan terkesan kurang tegas sehingga tidak menimbulkan efek
jera. Akibatnya, banyak generasi muda yang masa depannya suram karena
kecanduan narkoba. Berdasarkan data yang dirilis Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) tahun 2013, POLRI mengklaim telah menangani 32.470 kasus narkoba,
baik narkoba yang berjenis narkotika, narkoba berjenis psikotropika maupun
narkoba jenis bahan berbahaya lainnya. Angka ini meningkat sebanyak 5.909
kasus dari tahun sebelumnya. Pasalnya, pada tahun 2012 lalu, kasus narkoba
yang ditangani oleh POLRI hanya sebanyak 26.561 kasus narkoba.
6. Masalah Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Salah satu tujuan dari gerakan reformasi adalah mereformasi sistem hukum
dan sekaligus meningkatkan kualitas penegakan hukum. Memang banyak
faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas penegakan hukum, tetapi faktor
dominan dalam penegakan hukum adalah faktor manusianya. Konkretnya
penegakan hukum ditentukan oleh kesadaran hukum masyarakat dan
profesionalitas aparatur penegak hukum. Inilah salah satu urgensi mata kuliah
pendidikan Pancasila, yaitu meningkatkan kesadaran hukum para mahasiswa
sebagai calon pemimpin bangsa.
7. Masalah Terorisme
Salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah terorisme.
Asal mula dari kelompok terorisme itu sendiri tidak begitu jelas di Indonesia.
Namun, faktanya terdapat beberapa kelompok teroris yang sudah ditangkap
dan dipenjarakan berdasarkan hukum yang berlaku. Para teroris tersebut
melakukan kekerasan kepada orang lain dengan melawan hukum dan
mengatasnamakan agama. Sejumlah tokoh berasumsi bahwa lahirnya terorisme
disebabkan oleh himpitan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan,
pemahaman keagamaan yang kurang komprehensif terkadang membuat
mereka mudah dipengaruhi oleh keyakinan ekstrim tersebut. Agama yang
sejatinya menuntun manusia berperilaku santun dan penuh kasih sayang, di
tangan teroris, agama mengejawantah menjadi keyakinan yang bengis tanpa
belas kasihan terhadap sesama.
Urgensi pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, yaitu agar mahasiswa tidak
tercerabut dari akar budayanya sendiri dan agar mahasiswa memiliki pedoman atau
kaidah penuntun dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari dengan
berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, urgensi pendidikan Pancasila, yaitu
dapat memperkokoh jiwa kebangsaan mahasiswa sehingga menjadi dorongan
pokok (leitmotive) dan bintang penunjuk jalan (leitstar) (Abdulgani, 1979: 14).
Urgensi pendidikan Pancasila bagi mahasiswa sebagai calon pemegang tongkat
estafet kepemimpinan bangsa untuk berbagai bidang dan tingkatan, yaitu agar tidak
terpengaruh oleh paham-paham asing yang negatif. Dengan demikian, urgensi
pendidikan Pancasila di perguruan tinggi dengan meminjam istilah Branson (1998),
yaitu sebagai pembentuk civic disposition yang dapat menjadi landasan untuk
pengembangan civic knowledge dan civic skills mahasiswa.
Kedudukan mata kuliah pendidikan Pancasila adalah mata kuliah wajib
umum (MKWU) yang berdiri sendiri dan harus ditempuh oleh setiap mahasiswa,
baik pada jenjang diploma maupun jenjang sarjana. Mata kuliah pendidikan
Pancasila adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar mahasiswa secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki pengetahuan, kepribadian, dan keahlian, sesuai dengan
program studinya masing-masing. Dengan demikian, mahasiswa mampu
memberikan kontribusi yang konstruktif dalam bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, dengan mengacu kepada nilai-nilai Pancasila. Hal ini berarti mata kuliah
Pancasila merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
student centered learning, untuk mengembangkan knowledge, attitude,
dan skill mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa dalam membangun jiwa
profesionalitasnya sesuai dengan program studinya masing-masing, serta dengan
menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai kaidah penuntun (guiding principle)
sehingga menjadi warga negara yang baik (good citizenship).
Adapun visi dan misi mata kuliah pendidikan Pancasila adalah sebagai
berikut.
Visi Pendidikan Pancasila
Terwujudnya kepribadian sivitas akademika yang bersumber pada nilai-nilai
Pancasila.
Misi Pendidikan Pancasila
1. Mengembangkan potensi akademik perserta didik (misi psikopedagogis).
2. Menyiapkan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam masyarakat,
bangsa dan negara (misi psikososial).
3. Membangun budaya ber-Pancasila sebagai salah satu determinan kehidupan
(misi sosiokultural)
4. Mengkaji dan mengembangkan pendidikan Pancasila sebagai sistem
pengetahuan terintegrasi atau disiplin ilmu sintetik (synthetic discipline),
sebagai misi akademik (Sumber: Tim Dikti).
Dalam pembelajaran pendidikan Pancasila, empat pilar pendidikan
menurut UNESCO menjadi salah satu rujukan dalam prosesnya, yang meliputi
learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together
(Delors, 1996). Berdasarkan keempat pilar pendidikan tersebut, pilar keempat
mejadi rujukan utama, yaitu bahwa pendidikan Pancasila dimaksudkan dalam
rangka pembelajaran untuk membangun kehidupan bersama atas dasar kesadaran
akan realitas keragaman yang saling membutuhkan.
B. Diperlukannya Pendidikan Pancasila
Apabila Anda berpikir jenih dan jujur terhadap diri sendiri, pendidikan Pancasila
sangat diperlukan untuk membentuk karakter manusia yang profesional dan
bermoral. Hal tersebut dikarenakan perubahan dan infiltrasi budaya asing yang
bertubi-tubi mendatangi masyarakat Indonesia bukan hanya terjadi dalam masalah
pengetahuan dan teknologi, melainkan juga berbagai aliran (mainstream) dalam
berbagai kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila diselenggarakan
agar masyarakat tidak tercerabut dari akar budaya yang menjadi identitas suatu
bangsa dan sekaligus menjadi pembeda antara satu bangsa dan bangsa lainnya.
Selain itu, dekadensi moral yang terus melanda bangsa Indonesia yang
ditandai dengan mulai mengendurnya ketaatan masyarakat terhadap norma-norma
sosial yang hidup di masyarakat, menunjukkan pentingnya penanaman nilai-nilai
ideologi melalui pendidikan Pancasila. Dalam kehidupan politik, para elit politik
(eksekutif dan legislatif) mulai meninggalkan dan mengabaikan budaya politik
yang santun, kurang menghormati fatsoen politik dan kering dari jiwa
kenegarawanan. Bahkan, banyak politikus yang terjerat masalah korupsi yang
sangat merugikan keuangan negara. Selain itu, penyalahgunaan narkoba yang
melibatkan generasi dari berbagai lapisan menggerus nilai-nilai moral anak
bangsa.
Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya Pancasila diselenggarakan di
perguruan tinggi untuk menanamkan nilai-nilai moral Pancasila kepada generasi
penerus cita-cita bangsa. Dengan demikian, pendidikan Pancasila diharapkan
dapat memperkokoh modalitas akademik mahasiswa dalam berperan serta
membangun pemahaman masyarakat tentang, antara lain :
1. Kesadaran gaya hidup sederhana dan cinta produk dalam negeri
2. Kesadaran pentingnya kelangsungan hidup generasi mendatang
3. Kesadaran pentingnya semangat kesatuan persatuan (solidaritas) nasional
4. Kesadaran pentingnya norma-norma dalam pergaulan
5. Kesadaran pentingnya kesahatan mental bangsa
6. Kesadaran tentang pentingnya penegakan hukum
7. Menanamkan pentingnya kesadaran terhadap ideologi Pancasila
Penanaman dan penguatan kesadaran nasional tentang hal-hal tersebut
sangat pentingkarena apabila kesadaran tersebut tidak segera kembali
disosialisasikan, diinternalisasikan, dan diperkuat implementasinya, maka masalah
yang lebih besar akan segera melanda bangsa ini, yaitu musnahnya suatu bangsa
(meminjam istilah dari Kenichi Ohmae, 1995 yaitu, the end of the nation-state).
Punahnya suatu negara dapat terjadi karena empat I , yaitu industri, investasi,
individu, dan informasi (Ohmae, 2002: xv). Agar lebih jelas, Anda dapat menggali
informasi tentang keempat konsep tersebut untuk memperkaya wawasan Anda
tentang penyebab punahnya suatu bangsa. Kepunahan suatu bangsa tidak hanya
ditimbulkan oleh faktor eksternal, tetapi juga ditentukan oleh faktor internal yang
ada dalam diri bangsa itu sendiri. Salah satu contoh terkenal dalam sejarah, ialah
musnahnya bangsa Aztec di Meksiko yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa
yang memiliki peradaban yang maju, tetapi punah dalam waktu singkat setelah
kedatangan petualang dari Portugis.
Dalam rangka menanggulangi keadaan tersebut, pemerintah telah mengupayakan
agar pendidikan Pancasila ini tetap diselenggarakan di perguruan tinggi. Meskipun
pada tataran implementasinya, mengalami pasang surut pemberlakuannya, tetapi
sejatinya pendidikan Pancasila harus tetap dilaksanakan dalam rangka
membentengi moralitas bangsa Indonesia. Dengan demikian, tanggung jawab
berada di pundak perguruan tinggi untuk mengajarkan nilai-nilai
Pancasila sebagai amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menekankan pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini,
kecerdasan tidak hanya mencakup intelektual, tetapi juga mencakup pula
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual yang menjadi dasar bagi
pengembangan kecerdasan bangsa dalam bentuk kecerdasan ideologis.
Berdasarkan SK Dirjen Dikti No 38/DIKTI/Kep/2002, Pasal 3, Ayat (2) bahwa
kompetensi yang harus dicapai mata kuliah pendidikan Pancasila yang merupakan
bagian dari mata kuliah pengembangan kepribadian adalah menguasai kemampuan
berpikir, bersikap rasional, dan dinamis, serta berpandangan luas sebagai manusia
intelektual dengan cara mengantarkan mahasiswa:
1. agar memiliki kemampuan untuk mengambil sikap bertanggung jawab sesuai
hati nuraninya;
2. agar memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan
serta cara-cara pemecahannya;
3. agar mampu mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu
pengetahuan teknologi dan seni
4. agar mampu memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk
menggalang persatuan Indonesia.
Pendidikan Pancasila sebagai bagian dari pendidikan nasional, mempunyai
tujuan mempersiapkan mahasiswa sebagai calon sarjana yang berkualitas,
berdedikasi tinggi, dan bermartabat agar:
1. menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. sehat jasmani dan rohani, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur;
3. memiliki kepribadian yang mantap, mandiri, dan bertanggung jawab sesuai
hari nurani;
4. mampu mengikuti perkembangan IPTEK dan seni; serta
5. mampu ikut mewujudkan kehidupan yang cerdas dan berkesejahteraan bagi
bangsanya.
Secara spesifik, tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi adalah untuk :
1. memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa
melalui revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan
bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara.
2. memberikan pemahaman dan penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai dasar
Pancasila kepada mahasiswa sebagai warga negara Republik Indonesia, dan
membimbing untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
3. mempersiapkan mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi
terhadap berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara melalui sistem pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan
UUD NRI Tahun 1945.
4. membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, kecintaan pada tanah air, dan kesatuan bangsa, serta
penguatan masyarakat madani yang demokratis, berkeadilan, dan bermartabat
berlandaskan Pancasila, untuk mampu berinteraksi dengan dinamika internal
dan eksternal masyarakat bangsa Indonesia (Direktorat Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, 2013: viii).
Sebelumnya, penyelenggaraan pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah
di perguruan tinggi ditegaskan dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Nomor 914/E/T/2011, tertanggal 30 Juni 2011, ditentukan bahwa
perguruan tinggi harus menyelenggarakan pendidikan Pancasila minimal 2 (dua)
SKS atau dilaksanakan bersama mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dengan
nama pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dengan bobot minimal 3
(tiga) SKS. Selanjutnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun
2012, tentang pendidikan tinggi, memuat penegasan tentang pentingnya dan
ketentuan penyelenggaraan pendidikan Pancasila sebagaimana termaktub dalam
pasal-pasal berikut.
1. Pasal 2, menyebutkan bahwa pendidikan tinggi berdasarkan Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
2. Pasal 35 ayat (3) menegaskan ketentuan bahwa kurikulum pendidikan tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah: agama,
Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam pasal 35 ayat (3) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012, ditegaskan bahwa penyelenggaraan
pendidikan Pancasila di perguruan tinggi itu wajib diselenggarakan dan sebaiknya
diselenggarakan sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri dan harus dimuat dalam
kurikulum masing-masing perguruan tinggi. Dengan demikian, keberadaan mata
kuliah pendidikan Pancasila merupakan kehendak negara, bukan kehendak
perseorangan atau golongan, demi terwujudnya tujuan negara.
C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politik Pendidikan Pancasila
Dilihat dari segi objek materil, pengayaan materi atau substansi mata kuliah
pendidikan Pancasila dapat dikembangkan melalui beberapa pendekatan, di
antaranya pendekatan historis, sosiologis, dan politik. Sementara, dilihat dari segi
objek formil, pengayaan materi mata kuliah pendidikan Pancasila dilakukan
dengan pendekatan ilmiah, filosofis, dan ideologis. Materi perkuliahan
dikembangkan dari fenomena sosial untuk dikaji dan ditemukan solusinya yang
rasional dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila oleh
mahasiswa. Dengan demikian, kesadaran sosial mahasiswa turut serta dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan sosial. Hal ini akan terus bertumbuh
melalui mata kuliah pendidikan Pancasila. Pada gilirannya, mahasiswa akan
memiliki argumentasi bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila bermakna penting
dalam sistem pendidikan tinggi di tanah air.
1. Sumber Historis Pendidikan Pancasila
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak
jaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, majapahit sampai datangnya bangsa lain yang
menjajah serta menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia
dalam perjalanan hidupnya berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai suatu
bangsa yang merdeka, mandiri serta memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam
pandangan hidup serta filsafat hidup bangsa. Setelah melalui suatu proses yang
cukup panjang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menemukan jati dirinya,
yang di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat, dan karakter bangsa yang berbeda
dengan bangsa lain, yang oleh para pendiri negara kita dirumuskan dalam suatu
rumusan yang sederhana namun mendalam, yang meliputi lima prinsip yang
kemudian diberi nama Pancasila. Pancasila adalah warisan jenius para pendiri
bangsa (Yudi latief, 2011). Ini artinya diterima atau tidak diterima, disuka atau tidak
Pancasila merupakan faktor sejarah sebagai bagian dari proses berbangsa dan
bernegara. Pancasila adalah hasil sejarah yang sangat berharga sehingga kita
mampu bersepakat mendirikan dan mempertahankan NKRI sampai saat ini.
Presiden Soekarno pernah mengatakan, Jangan sekali-kali meninggalkan
sejarah. Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi
penting dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana di masa
depan. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan seorang filsuf yunani yang bernama
Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan, Historia Vitae Magistra , yang
bermakna, Sejarah memberikan kearifan . Pengertian lain dari istilah tersebut
yang sudah menjadi pendapat umum (common-sense) adalah Sejarah merupakan
guru kehidupan. Implikasinya, pengayaan materi perkuliahan Pancasila melalui
pendekatan historis adalah amat penting dan tidak boleh dianggap remeh guna
mewujudkan kejayaan bangsa di kemudian hari. Melalui pendekatan ini,
mahasiswa diharapkan dapat mengambil pelajaran atau hikmah dari berbagai
peristiwa sejarah, baik sejarah nasional maupun sejarah bangsa-bangsa lain.
Bukti historis yang menjadi landasan bahwa pancasila akan dijadikan dasar negara
dapat disimak dari peristiwa-peristiwa atau pernyataan berikut.
a. Dalam pembukaan sidang BPUPKI (dokuritsu junbi choosakai) tanggal 29 Mei
1945, dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua badan penyelidik
meminta agar sidang mengemukakan dasar Indonesia merdeka
(philosophische grondslag dari Indonesia merdeka).
b. Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muh. Yamin, pada permulaan pidato dalam
sidang badan penyelidik, antara lain mengatakan, Kewajiban untuk ikut
menyelidiki bahan-bahan yang menjadi dasar dan sususan negara yang akan
terbentuk dalam suasana kemerdekaan, yang telah diakui dan telah dibela
oleh rakyat Indonesia dengan korban darah daging sejak beratus-ratus tahun
... (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat negara RI, 1998).
c. R.P. Soeroso pada waktu memberi peringatan kepada Mr. Muh Yamin dalam
pidato tanggal 29 Mei 1945 mengatakan, Sebagai diterangkan oleh tuan
Ketua, tuan Radjiman tadi yang dibicarakan ialah dasar-dasar Indonesia
merdeka... (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat negara RI, 1998).
d. Prof. Mr. Soepomo dalam pidato sidang pertama badan penyelidik tanggal 31
Mei 1945 mengatakan, soal yang kita bicarakan ialah bagaimanakah akan
dasar-dasar negara Indonesia merdeka. (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI,
Sekretariat negara RI, 1998).
e. Ir. Soekarno dalam pidato tanggal 1 juni 1945 menyebutkan bahwa yang
diminta oleh Ketua Badan penyelidik adalah agar sidang mengemukakan
dasar negara Indonesia merdeka, yaitu Philosophische Gronsdlag dari
Indonesia merdeka yang diberi nama Pancasila.
f. Di dalam Piagam Jakarta atau Jakarta Charter tercantum kalimat sebagai
berikut: ...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Hukum dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasar
kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Sekretariat
Negara RI, 1998)
g. Di dalam Pembukaan UUD 1945 tercantum kalimat: ... maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Sumber Sosiologis Pendidikan Pancasila
Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antarmanusia. Di dalamnya
mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial
dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, di samping juga mengkaji
masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam masyarakat.
Soekanto (1982:19) menegaskan bahwa dalam perspektif sosiologi, suatu
masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki nilai-nilai yang tertentu.
Melalui pendekatan sosiologis ini pula, Anda diharapkan dapat mengkaji struktur
sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial, dan masalah-masalah
sosial yang patut disikapi secara arif dengan menggunakan standar nilai-nilai yang
mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan
pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada suatu
asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai
kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukan
hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil karya besar bangsa
Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara (Kaelan,
2000: 13).
Bung Karno menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi
pertiwi Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan
sosiologis masyarakat Indonesia. Pernyataan ini tidak diragukan lagi karena
dikemukakan oleh Bung Karno sebagai penggali Pancasila, meskipun Beliau
dengan rendah hati membantah apabila disebut sebagai pencipta Pancasila,
sebagaimana dikemukakan Beliau dalam paparan sebagai berikut.
Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagungagungkan,
padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan
pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah
air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya
persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya
katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada
Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya
Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada
Allah Subhanahu Wata ala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wata ala
(Latif, 2011: 21).
Makna penting lainnya dari pernyataan Bung Karno tersebut adalah
Pancasila sebagai dasar negara merupakan pemberian atau ilham dari Tuhan Yang
Maha Kuasa. Apabila dikaitkan dengan teori kausalitas dari Notonegoro bahwa
Pancasila merupakan penyebab lahirnya (kemerdekaan) bangsa Indonesia, maka
kemerdekaan berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan
makna Alinea III Pembukaan UUD 1945. Sebagai makhluk Tuhan, sebaiknya
segala pemberian Tuhan, termasuk kemerdekaan Bangsa Indonesia ini wajib
untuk disyukuri. Salah satu bentuk wujud konkret mensyukuri nikmat karunia
kemerdekaan adalah dengan memberikan kontribusi pemikiran terhadap
pembaharuan dalam masyarakat. Sejalan dengan hal itu, Anda juga diharapkan
dapat berpartisipasi dalam meningkatkan fungsi-fungsi lembaga pengendalian
sosial (agent of social control) yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
3. Sumber Yuridis Pendidikan Pancasila
Landasan yuridis perkuliahan Pendidikan Pancasila di pendidikan tinggi tertuang
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa sistem pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila. Hal ini mengandung makna bahwa secara material Pancasila merupakan
sumber hukum pendidikan nasional.
Undang-Undang PT No. 12 Tahun 2012 pasal 35 ayat (3) secara eksplisit
dicantumkan bahwa kurikulum Pendidikaan Tinggi wajib memuat Mata Kuliah
Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan serta
Bahasa Indonesia. Dengan demikian perkuliahan Pancasila memiliki landasan
yuridis, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012.
Selain itu mata kuliah pancasila adalah mata kuliah yang mendidik warga negara
untuk mengetahui, memahami dan merealisasikan nilai-nilai Pancasila baik sebagai
dasar filsafat negara maupun sebagai ideologi bangsa dan negara. Oleh karena itu
perkuliahan Pancasila dilakukan untuk membentuk karakter bangsa dengan
menanamkan nilai-nilai kebangsaan, serta kecintaan terhadap tanah air yang dalam
kurikulum internasional disebut sebagai civic education, citizenship education.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan salah
satu cirinya atau istilah yang bernuansa bersinonim, yaitu pemerintahan
berdasarkan hukum (rule of law). Pancasila sebagai dasar negara merupakan
landasan dan sumber dalam membentuk dan menyelenggarakan negara hukum
tersebut. Hal tersebut berarti pendekatan yuridis (hukum) merupakan salah satu
pendekatan utama dalam pengembangan atau pengayaan materi mata kuliah
pendidikan Pancasila. Urgensi pendekatan yuridis ini adalah dalam rangka
menegakkan Undang-Undang (law enforcement) yang merupakan salah satu
kewajiban negara yang penting. Penegakkan hukum ini hanya akan efektif,
apabila didukung oleh kesadaran hukum warga negara terutama dari kalangan
intelektualnya. Dengan demikian, pada gilirannya melalui pendekatan yuridis
tersebut mahasiswa dapat berperan serta dalam mewujudkan negara hukum formal
dan sekaligus negara hukum material sehingga dapat diwujudkan keteraturan
sosial (social order) dan sekaligus terbangun suatu kondisi bagi terwujudnya
peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan oleh para
pendiri bangsa.
4. Sumber Politik Pendidikan Pancasila
Salah satu sumber pengayaan materi pendidikan Pancasila adalah berasal
dari fenomena kehidupan politik bangsa Indonesia. Tujuannya agar Anda mampu
mendiagnosa dan mampu memformulasikan saran-saran tentangupaya atau usaha
mewujudkan kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Bukankah Pancasila dalam tataran tertentu merupakan ideologi politik, yaitu
mengandung nilai-nilai yang menjadi kaidah penuntun dalam mewujudkan tata
tertib sosial politik yang ideal. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Budiardjo
(1998:32) sebagai berikut.
Ideologi politik adalah himpunan nilai-nilai, idée, norma-norma,
kepercayaan dan keyakinan, suatu Weltanschauung , yang dimiliki
seseorang atau sekelompok orang, atas dasar mana dia menentukan
sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang dihadapinya dan
yang menentukan tingkah laku politiknya.
Melalui pendekatan politik ini, Anda diharapkan mampu menafsirkan fenomena
politik dalam rangka menemukan pedoman yang bersifat moral yang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan kehidupan politik yang sehat.
Pada gilirannya, Anda akan mampu memberikan kontribusi konstruktif dalam
menciptakan struktur politik yang stabil dan dinamis.
Secara spesifik, fokus kajian melalui pendekatan politik tersebut, yaitu
menemukan nilai-nilai ideal yang menjadi kaidah penuntun atau pedoman dalam
mengkaji konsep-konsep pokok dalam politik yang meliputi negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy),
dan pembagian (distribution) sumber daya negara, baik di pusat maupun di daerah.
Melalui kajian tersebut, Anda diharapkan lebih termotivasi berpartisipasi
memberikan masukan konstruktif, baik kepada infrastruktur politik maupun
suprastruktur politik.
D. Dinamika dan Tantangan Pendidikan Pancasila
1. Dinamika Pendidikan Pancasila
Sebagaimana diketahui, pendidikan Pancasila mengalami pasang surut
dalam pengimplementasiannya. Apabila ditelusuri secara historis, upaya
pembudayaan atau pewarisan nilai-nilai Pancasila tersebut telah secara konsisten
dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan sekarang. Namun, bentuk dan
intensitasnya berbeda dari zaman ke zaman. Pada masa awal kemerdekaan,
pembudayaan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam bentuk pidato-pidato para tokoh
bangsa dalam rapat-rapat akbar yang disiarkan melalui radio dan surat kabar.
Kemudian, pada 1 Juli 1947, diterbitkan sebuah buku yang berisi Pidato Bung
Karno tentang Lahirnya Pancasila. Buku tersebut disertai kata pengantar dari Dr.
K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat yang sebagaimana diketahui sebelumnya,
beliau menjadi Kaitjoo (Ketua) Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Perubahan yang signifikan dalam metode pembudayaan/pendidikan
Pancasila adalah setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada 1960, diterbitkan buku
oleh Departemen P dan K, dengan judul Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia
(Civics). Buku tersebut diterbitkan dengan maksud membentuk manusia Indonesia
baru yang patriotik melalui pendidikan. Selain itu, terbit pula buku yang berjudul
Penetapan Tudjuh Bahan2 Pokok Indoktrinasi, 1961, penerbit CV Dua-R,
dibubuhi kata pengantar dari Presiden Republik Indonesia. Buku tersebut
nampaknya lebih ditujukan untuk masyarakat umum dan aparatur negara.
Tidak lama sejak lahirnya Ketetapan MPR RI, Nomor II/MPR/1978,
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P 4) atau Ekaprasetia
Pancakarsa, P-4 kemudian menjadi salah satu sumber pokok materi Pendidikan
Pancasila. Selanjutnya diperkuat dengan Tap MPR RI Nomor II/MPR/1988
tentang GBHN yang mencantumkan bahwa Pendidikan Pancasila termasuk
Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Dalam rangka menyempurnakan perkuliahan pendidikan Pancasila yang
digolongkan dalam mata kuliah dasar umum di perguruan tinggi, Dirjen Dikti,
menerbitkan SK, Nomor 25/DIKTI/KEP/1985, tentang Penyempurnaan
Kurikulum Inti Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sebelumnya, Dirjen Dikti
telah mengeluarkan SK tertanggal 5 Desember 1983, Nomor 86/DIKTI/Kep/1983,
tentang Pelaksanaan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Pola Seratus Jam di Perguruan Tinggi. Kemudian, dilengkapi dengan SK Kepala
BP-7 Pusat tanggal 2 Januari 1984, Nomor KEP/01/BP-7/I/1984, tentang
Penataran P-4 Pola Pendukung 100 Jam bagi Mahasiswa Baru
Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta, menyusul kemudian diterbitkan
SK tanggal 13 April 1984, No. KEP-24/BP-7/IV/1984, tentang Pedoman
Penyusunan Materi Khusus sesuai Bidang Ilmu yang Diasuh Fakultas/Akademi
dalam Rangka Penyelenggaraan Penataran P-4 Pola Pendukung 100 Jam bagi
Mahasiswa Baru Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta.
Dampak dari beberapa kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan
Penataran P4 tersebut, terdapat beberapa perguruan tinggi terutama perguruan
tinggi swasta yang tidak mampu menyelenggarakan penataran P-4 100 jam
sehingga tetap menyelenggarakan mata kuliah pendidikan Pancasila dengan atau
tanpa penataran P4 pola 45 jam. Di lain pihak, terdapat pula beberapa perguruan
tinggi negeri maupun swasta yang menyelenggarakan penataran P-4 pola 100 jam
bersamaan dengan itu juga melaksanakan mata kuliah pendidikan Pancasila.
Dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto, terbit Instruksi Direktur
Jenderal Perguruan Tinggi, nomor 1 Tahun 1967, tentang Pedoman Penyusunan
Daftar Perkuliahan, yang menjadi landasan yuridis bagi keberadaan mata kuliah
Pancasila di perguruan tinggi. Keberadaan mata kuliah Pancasila semakin kokoh
dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989,
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada pasal 39 ditentukan bahwa
kurikulum pendidikan tinggi harus memuat mata kuliah pendidikan Pancasila.
Kemudian, terbit peraturan pelaksanaan dari ketentuan yuridis tersebut, yaitu
khususnya pada pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 60 Tahun 1999, tentang Pendidikan Tinggi, jo. Pasal 1 SK Dirjen Dikti
Nomor 467/DIKTI/Kep/1999, yang substansinya menentukan bahwa mata kuliah
pendidikan Pancasila adalah mata kuliah yang wajib ditempuh oleh seluruh
mahasiswa baik program diploma maupun program sarjana. Pada 2000, Dirjen
Dikti mengeluarkan kebijakan yang memperkokoh keberadaan dan
menyempurnakan penyelenggaraan mata kuliah pendidikian Pancasila, yaitu: 1)
menerbitkan SK Dirjen Dikti, Nomor 232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan
Kurikulum Pendidikan Tinggi, dan 2) SK Dirjen Dikti, Nomor 265/Dikti/2000,
tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
(MKPK). Setelah itu, Dirjen Dikti menerbitkan SK Dirjen Dikti, Nomor
38/Dikti/Kep/2002, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Seiring dengan terjadinya peristiwa reformasi pada 1998, lahirlah
Ketetapan MPR, Nomor XVIII/ MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa), sejak itu Penataran P-4 tidak lagi dilaksanakan.
Ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003,
kembali mengurangi langkah pembudayaan Pancasila melalui pendidikan. Dalam
Undang-Undang tersebut pendidikan Pancasila tidak disebut sebagai mata kuliah
wajib di perguruan tinggi sehingga beberapa universitas menggabungkannya
dalam materi pendidikan kewarganegaraan. Hasil survei Direktorat Pendidikan
Tinggi 2004 yang dilaksanakaan di 81 perguruan tinggi negeri menunjukkan
kondisi yang memprihatinkan, yaitu Pancasila tidak lagi tercantum dalam
kurikulum mayoritas perguruan tinggi. Kenyataan tersebut sangat mengkhawatirkan
karena perguruan tinggi merupakan wahana pembinaan calon-calon pemimpin
bangsa dikemudian hari.
Dalam rangka mengintensifkan kembali pembudayaan nilai-nilai Pancasila
kepada generasi penerus bangsa melalui pendidikan tinggi, pecinta negara
proklamasi, baik elemen masyarakat, pendidikan tinggi, maupun instansi
pemerintah, melakukan berbagai langkah, antara lain menggalakkan seminarseminar yang membahas tentang pentingnya membudayakan Pancasila melalui
pendidikan dan salah satu outputnya adalah terbitnya Surat Edaran Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Nomor 914/E/T/2011, pada tanggal 30 Juni 2011,
perihal penyelanggaraan pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah di perguruan
tinggi. Dalam surat edaran tersebut, Dirjen Dikti merekomendasikan agar
pendidikan Pancasila dilaksanakan di perguruan tinggi minimal 2 (dua) SKS
secara terpisah, atau dilaksanakan bersama dalam mata kuliah pendidikan
kewarganegaraan dengan nama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) dengan bobot minimal 3 (tiga) SKS.
Penguatan keberadaan mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi ditegaskan dalam
Pasal 35 jo. Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012,
tentang Pendidikan Tinggi, yang menetapkan ketentuan bahwa mata kuliah
pendidikan Pancasila wajib dimuat dalam kurikulum perguruan tinggi, yaitu sebagai
berikut.
1. Pasal 2, menyebutkan bahwa pendidikan tinggi berdasarkan Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
2. Pasal 35 Ayat (3) menentukan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat
mata kuliah: agama, Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.
2. Tantangan Pendidikan Pancasila
Abdulgani menyatakan bahwa Pancasila adalah leitmotive dan leitstar,
dorongan pokok dan bintang penunjuk jalan. Tanpa adanya leitmotive dan leitstar
Pancasila ini, kekuasaan negara akan menyeleweng. Oleh karena itu, segala
bentuk penyelewengan itu harus dicegah dengan cara mendahulukan Pancasila
dasar filsafat dan dasar moral (1979: 14). Agar Pancasila menjadi dorongan pokok
dan bintang penunjuk jalan bagi generasi penerus pemegang estafet kepemimpinan
nasional, maka nilai-nilai Pancasila harus dididikkan kepada para mahasiswa melalui
mata kuliah pendidikan Pancasila.
Tantangannya ialah menentukan bentuk dan format agar mata kuliah pendidikan
Pancasila dapat diselenggarakan di berbagai program studi dengan menarik dan
efektif. Tantangan ini dapat berasal dari internal perguruan tinggi, misalnya faktor
ketersediaan sumber daya, dan spesialisasi program studi yang makin tajam (yang
menyebabkan kekurangtertarikan sebagian mahasiswa terhadap pendidikan
Pancasila). Adapun tantangan yang bersifat eksternal, antara lain adalah krisis
keteladanan dari para elite politik dan maraknya gaya hidup hedonistik di dalam
masyarakat.
E. Pendidikan Pancasila untuk Masa Depan
Menurut penjelasan pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang dimaksud dengan mata
kuliah pendidikan Pancasila adalah pendidikan untuk memberikan pemahaman
dan penghayatan kepada mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia. Dengan
landasan tersebut, Ditjen Dikti mengembangkan esensi materi pendidikan
Pancasila yang meliputi:
1. Pengantar perkuliahan pendidikan Pancasila
2. Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia
3. Pancasila sebagai dasar negara
4. Pencasila sebagai ideologi negara
5. Pancasila sebagai sistem filsafat
6. Pancasila sebagai sistem etika
7. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu
Pendekatan pembelajaran yang direkomendasikan dalam mata kuliah
pendidikan Pancasila adalah pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada
mahasiswa (student centered learning), untuk memahami dan menghayati nilainilai
Pancasila baik sebagai etika, filsafat negara, maupun ideologi bangsa secara
scientific. Dengan harapan, nilai-nilai Pancasila akan terinternalisasi sehingga
menjadi guiding principles atau kaidah penuntun bagi mahasiswa dalam
mengembangkan jiwa profesionalismenya sesuai dengan jurusan/program studi
masing-masing. Implikasi dari pendidikan Pancasila tersebut adalah agar
mahasiswa dapat menjadi insan profesional yang berjiwa Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, urgensi pendidikan Pancasila
adalah untuk membentengi dan menjawab tantangan perubahan-perubahan di
masa yang akan datang.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 tahun 2003, pasal
3 menegaskan bahwa: pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Harapan tersebut memang tidak mudah untuk diwujudkan. Akan tetapi,
pendidikan dianggap merupakan alternatif terbaik dalam melakukan rekayasa
sosial secara damai. Pendidikan adalah alternatif yang bersifat preventif untuk
membangun generasi baru bangsa yang lebih baik dibandingkan dengan generasi
sebelumnya. Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, penenkanannya dengan
memberikan kontribusi dalam pendalaman penghayatan dan penerapan nilai-nilai
Pancasila kepada generasi baru bangsa.
Setiap warga negara sesuai dengan kemampuan dan tingkat pendidikannya
harus memiliki pengetahuan, pemahaman, penghayatan, penghargaan, komitmen,
dan pola pengamalan Pancasila. Lebih-lebih para mahasiswa yang notabene
merupakan calon-calon pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa, tingkat
penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila akan menentukan eksistensi bangsa ke
depan. Urgensi pendidikan Pancasila di perguruan tinggi ini berlaku untuk semua
jurusan/program studi, sebab nasib bangsa tidak hanya ditentukan oleh segelintir
profesi yang dihasilkan oleh sekelompok jurusan/program studi saja, tetapi juga
merupakan tanggung jawab semua bidang. Contoh urgensi pendidikan Pancasila
bagi suatu program studi, misalnya yang berkaitan dengan tugas
menyusun/membentuk peraturan perundang-undangan. Orang yang bertugas
untuk melaksanakan hal tersebut, harus mempunyai pengetahuan, pengertian,
pemahaman, penghargaan, komitmen, penghayatan dan pola pengamalan yang
lebih baik daripada warga negara yang lain karena merekalah yang akan
menentukan meresap atau tidaknya nilai-nilai Pancasila ke dalam peraturan
perundang-undangan yang disusun/dibentuknya. Contoh lainnya, lulusan / output
dari program studi energidi kemudian hari akan menentukan kebijakan tentang
eksplorasi, eksploitasi, industrialisasi, dan distribusi energi dijalankan. Demikian
pula halnya bahwa keberadaan pendidikan Pancasila merupakan suatu yang
esensial bagi program studi di perguruan tinggi. Oleh karena itu, menjadi suatu
kewajaran bahkan keharusan Pancasila disebarluaskan secara masif, antara lain
melalui mata kuliah pendidikan Pancasila di perguruan tinggi. Dalam hal ini,
Riyanto (2009: 4) menyatakan bahwa pendidikan Pancasila di perguruan tinggi
merupakan suatu keniscayaan karena mahasiswa sebagai agen perubahan dan
intelektual muda yang di masa yang akan datang akan menjadi inti pembangunan
dan pemegang estafet kepemimpinan bangsa dalam setiap tingkatan lembagalembaga negara, badan-badan negara, lembaga daerah, lembaga infrastruktur
politik, lembaga-lembaga bisnis, dan sebagainya.
Dengan demikian, pemahaman nilai-nilai Pancasila di kalangan mahasiswa amat
penting, tanpa membedakan pilihan profesinya di masa yang akan datang, baik yang
akan berprofesi sebagai pengusaha/entrepreneur, pegawai swasta, pegawai
pemerintah, dan sebagainya. Semua lapisan masyarakat memiliki peran amat
menentukan terhadap eksistensi dan kejayaan bangsa di masa depan.
BAB II
PANCASILA DALAM ARUS SEJARAH BANGSA INDONESIA
Pada bab ini, Anda akan dipelajari arus sejarah bangsa Indonesia, terutama terkait
dengan sejarah perumusan Pancasila. Hal tersebut penting untuk diketahui karena
perumusan Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia mengalami dinamika yang
kaya dan penuh tantangan. Perumusan Pancasila mulai dari sidang BPUPKI sampai
pengesahan Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang PPKI, masih mengalami
tantangan berupa amnesia sejarah (istilah yang dipergunakan Habibie dalam
pidato 1 Juni 2011).
Penelusuran ini penting agar Anda mengetahui dan memahami proses terbentuknya
Pancasila sebagai dasar negara. Tujuannya adalah agar Anda dapat menjelaskan
proses perumusan Pancasila sehingga terhindar dari anggapan bahwa Pancasila
merupakan produk rezim Orde Baru. Perlu Anda ketahui bahwa Pancasila
merupakan dasar resmi negara kebangsaan Indonesia sejak 18 Agustus 1945. Hal
ini terjadi karena pada waktu itulah Pancasila disahkan oleh PPKI, lembaga atau
badan konstituante yang memiliki kewenangan dalam merumuskan dan
mengesahkan dasar negara Indonesia merdeka.
Suatu bangsa dalam mewujudkan cita-cita kehidupannya dalam suatu negara
modern, secara objektif memiliki karakteristik sendiri-sendiri, dan melalui suatu
proses serta perkembangan sesuai dengan latar belakang sejarah, realitas sosial,
budaya, etnis, kehidupan keagamaan, dan konstelasi geografis yang dimiliki oleh
bangsa tersebut. Latar belakang kehidupan sosial-politik di Eropa terutama di Inggris
dikuasai oleh kerajaan, maka awal perkembangan negara modern yang demokratis
dimulai tatkala pergolakan politik yang dahsyat yang disebut sebagai the Glorious
Revolution yang dimenangkan oleh rakyat (Asshiddiqie,2006: 86). Perkembangan
selanjutnya di Inggris perjuangan untuk terwujudnya negara moderen sangat di
pengaruhi oleh pemikiran filsuf Inggris John Locke tentang paham kebebasan
individu yang berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan
hak individunya kepada penguasa. Hak yang diserahkan kepada penguasa adalah
hak yang berkaitan dengan perjanjian antar negara, adapun hak-hak lain nya tetap
berada masing-masing individu.
Di AS tercapainya kesepakatan negara demokratis diwarnai oleh perang sipil dan
mencapai kulminasinya melalui konsensus dalam deklarasi AS ter tanggal 04 Juli
1776. Perjuangan untuk terwujudnya negara moderen yang demokratis di Prancis di
mulai sejak Rosseau, dan perjuangan itu memuncak dalam revolusi Perancis pada
tahun 1789. Demikian pula di Rusia pada tahun 1917 terjadi revolusi yang kemudian
terbentuklah negara komunis (andrews, 1968).
A. Nilai-nilai Pamcasila dalam sejarah bangsa Indonesia
1. Zaman Kutai
Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 Masehi dengan di
temukannya prasati yang berupa 7 yupa (tiang batu). Berdasarkan prasasti
tersebut dapat diketahui bahwa raja Mulawarman keturunan dari
Aswawarman keturunan dari kudungga. Raja Mulawarman menurut prasasti
tersebut mengadakan kenduri dan memberi sedekah kepada para Brahmana
dan para Brahmana membangun yupa itu sebagai tanda teriam kasih raja
yang dermawan (Ismaun, 1975:25). Masyarakat Kutai yang membangun
zaman sejarah Indonesia pertama kalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial
politik, dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada
para brahmana.
Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan raja ini
tampak dalam kerajaan yang muncul kemudian di Jawa dan Sumatera.
Dalam zaman kuno (400-1500) terdapat 2 kerajaan yang berhasil mencapai
intergrasi dengan wilayah yang meliputi hampir separuh wilayah Indonesia
dan seluruh wilayah Indonesia sekarang yaitu kerajaan Sriwijaya di Sumatera
dan kerajaan Majapahit di Jawa (Toyibin, 1997).
2. Zaman Sriwijaya
Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui 3 tahap yaitu : pertama
kerajaan Sriwijaya di bawah wangsa syailendra (600-1400), yang bercirikan
kedatuan. Kedua, kebangsaan Majapahit (1293-1525) yang bercirikan
keprabuan, kedua tahapan tersebut merupakan negara kebangsaan
Indonesia lama. Ketiga, negara kebangsaan Indonesia moderen yaitu negar
Indonesia merdeka (sekarang negara Proklamasi 17 Agustus 1945) (Setneg
RI., 1995: 11).
Pada abad ke VII munculah suatu kerajaan di sumatera yaitu kerajaan
Sriwijaya, di bawah kekuasaan bangsa Syailendra. Hal ini termuat dalam
prasasti Kedukan Bukit di kaki bukit Siguntang dekat Palembang yang
bertarikh 605 Caka atau 683 M., dalam bahasa Melayu kuno dan huruf
Pallawa. Kerajaan itu adalah kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan
lautnya, kunci-kunci lalu lintas laut di sebelah barat dikuasainya seperti selat
Sunda (686), kemudian selat Malaka (775) kemudian zaman itu kerajaan
Sriwijaya merupakan suatu kerajaan yang besar yang cukup disegani
dikawasan asia selatan. Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan
dengan pedagang pengrajin dan pegawai raja yang disebut tuha an
vatakvurah sebagai pengawas dan pengumpul semacam koperasi sehingga
rakyat mudah untuk memasarkan barang dagangannya (keneth R. Hall, 1976:
75-77).
Sebagai suatu kerajaan yang besar Sriwijaya sudah mengembangkan tata
negara dan tata pemerintahan yang mampu menciptakan peraturan-peraturan
yang di taati oleh rakyat yang berbeda di wilayah kekuasaannya. Demikian
pula dalam sistem pemerintahannnya terdapat pegawai pengurus pajak, harta
benda kerajaan, rokhaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan
gedung dan patung suci sehingga pada saat itu kerajaan dalam menjalankan
sistem negara tidak dapat dilepaskan dengan nilai ketuhanan (Suwarno,
1993: 19).
3. Zaman kerajaan-kerajaan sebelum Majapahit
Sebelum kerajaan majapahit muncul sebagai suatu kerajaan yang
memancangkan nilai-nilai nasionalisme telah muncul kerjaan di Jawa tengah
dan Jawa Timur secara silih berganti. Kerajaan kalingga pada abad ke VII,
Sanjaya pada abad ke VIII yang ikut membangun candi Kalasan untuk dewa
Tara dan sebuah wihara untuk pendeta Budha di dirikan di Jawa tengah
bersama dinasti Syailendra (abad ke Vii dan IX). Refleksi puncaknya adalah
di bangunnya candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX) dan
can Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X). Sebagaimana telah
diketahui bahwa agama Hindu dan Budha berasal dari India, sehingga
pembangun candi-candi tersebut menunjukkan bahwa sejak dahulu bangsa
Indonesia telah mengembangkan toleransi beragama dan sikap humanisme
dalam pergaulan antar sesama manusia. Di Jawa Timur munculah Kerajaankerajaan Isana (pada abad ke IX), Darmawangsa (abad ke X) demikian juga
kerajaan Airlangga pada abad ke XI. Raja Airlangga memiliki sikap toleransi
dalam kehidupan beragama. Agama yang diakui kerajaan adalah agama
Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa yang hidup berdampingan secara
damai (Toyibin, 1997:26). Menurut prasasti Kelagen, Raja Airlangga telah
mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola
dan Champa, hal ini menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan. Demikian pula
Airlangga mengalami penggemblengan lahir dan batin di hutan dan pada
tahun 1019 para pengikutnya, rakyat dan para Brahmana bermusyawarah
dan memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja,
meneruskan tradisi istana sebagai nilai-nilai sila keempat. Demikian pula
menurut prasasti Kelagen, pada tahun 1037, raja Airlangga memerintahkan
untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraah pertanian rakyat dan
hal ini merupakan nilai-nilai sila kelima(Toyibin, 1997:28,29).
Bahkan pada zaman itu lambang negara Indonesia yang makna di dalam nya
juga melambangkan sila-sila Pancasila, digambarkan dengan burung garuda
dengan seloka Bhinneka Tunggal Ika.burung garuda adalah kekayaan satwa
nusantara. Garuda adalah termasuk jenis burung yang besar dan kuat dan
mampu terbang tinggi, dan hal ini melukiskan cita-cita bangsa Indonesia di
tengah-tengah masyarakat internasional (Ismaun, 1975: 119).
Burung garuda juga lambang pembangun dan pemelihara, hal ini dapat di
tafsirkan dari sejarah nenek moyang bangsa Indonesia dahulu ada yang
menganut agama Hindu dan garuda adalah wahana (kendaraan) Dewa
Wishnu dalam cerita wayang di Jawa terjelma dalam Bhatara Kresna tokoh
yang bijaksana. Bahkan raja Airlangga menggunakan lencana Garudamukha
yang terkandung dalam kitab Maro-wangsa. Demikian juga kerajaan Kedah
menggunakan lambang garuda Garagasi sebagai lambang pemelihara
(Ismaun, 1975:119). Diwilayah kediri Jawa timur berdiri pula kerajaan
Singasari (pada akhir abad ke XIII), yang kemudian sangat erat dengan
berdirinya kerajaan majapahit.
4. Kerajaan Majapahit
pada tahun 1293 berdirilah kerajaan majapahit yang mencapai zaman
keemasan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan Maha Patih
Gajah Mada yang dibantu oleh laksaman Nala. Wilayah kekuasaan majpahit
semasa jayanya membentang dari semenanjung melayu (Malaysia sekarang)
sampai Irian Barat melalui Kalimantan Utara. Pada waktu itu agama Hindu
dan Budha hidup berdampingan dengan damai dalam satu kerajaan. Empu
Prapanca menulis Negarakertagama (1365). Dalam kitab tersebut terdapat
istilah Pancasila . Empu Tantular mengarang buku Sutasoma, dan di dalam
buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional yaitu Bhinneka Tunggal
Ika , yang melambangkan bangsa dan negara Indonesia. Secara filologis
istilah seloka itu diambil dari bahasa jawa kuno, berasal dari zaman kerajaan
keprabuan Majapahit yang zaman keemasannya di bawah kekuasaan Prabu
Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada (1350-1364). Pada zaman itu
hidup dengan berbagai agama dan aliran antara lain Hindu dengan berbagai
aliran dan Budha dengan barbagai aliran dan sektenya serta berbagai macam
tradisi yang tampak dalam Tantrayana dan upacara Crada ( yaitu upacara
dalam menghormati nenek moyang yang telah meninggal) kemudian
bercampur yang disebut dengan Syncritisme .berbagai unsur agama hidup
rukun di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit di bawah satu Hukum Negara
(Dharma). Sebagaimana ditemukan dalam peninggalan sejarah bahwa
agama Hindu aliran Ciwa dipimpin oleh Dharmadyaksaring Kacaiwan (Kepala
urusan agama Ciwa), agama dipimpin oleh Dharmadyaksaring Kasogatan
(kepala urusan agama Budha) yang pernah dijabat oleh ayah dari Empu
Prapanca sendiri. Seloka Bhinneka Tunggal Ika di petik dari kitab sutasoma
atau Purudasanta dalam bahasa jawa kuno gubahan Empu Tantular.
Seloka Bhinneka Tunggal Ika dipetik dari kitab sutasoma atau purudasanta
dalam bahsa jawa kuno dalam gubahan Empu Tantular. Bunyi dari petikan
bagian kitab Sutasoma itu selengkapnya ditulis dalam bahasa jawa kuno
sebagai berikut :
Hyang Budha tan pahi Ciwa raja dewa.
Rwanekadhatu winuwus wara Budha wicwa
Bhinneka rakwa ring apan kena parwwanosen.
Mangka yittnawa lawan Ciwatatwatunggal
Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Adapun terjemahannya adalah sebagai berikut :
Dewa Budha tidak berbeda dengan dewa Ciwa sebagai dewa
Keduanya disebutkan memiliki sejumlah anasir dunia, Budha yang
tinggal di kedudukannya ini adalah dunia semesta alam.
Apakah kedua mereka yang dapat diperbedakan ini dipisahkan
menjadi dua.
Dzat Budha dan dzat Ciwa itu hanya satu.
Itu dapat diperbedakan tetapi sesungguhnya satu, tak ada hukum
agama yang mendua (Ismaun, 1975: 122)
Jika dilakukan kajian melalui filsafat analitika bahasa (suatu metode analisis
terhadap makna penggunaan ungkapan bahasa era kontemporer di Eropa),
seloka Bhinneka tunggal Ika itu pada hakikatnya merupakan suatu frase.
Secara linguistik makna struktural seloka itu adalah beda itu, satu itu . Secara
morfologis kata Bhinneka berasal dari kata polimorfemis yaitu bhinna dan
ika . Kata Bhina berasal dari bahsa sansekerta. Bhid yang diterjemahkan
menjadi beda . Dalam proses linguistik karena digabungkan dengan morfem
ika maka menjadi bhinna . Ika artinya itu, bhinneka artinya beda itu,
sedangkan tunggal ika artinya satu itu (Kaelan, 2009).
Jika diterjemahkan secara bebas maka makna Bhinneka Tunggal Ika , Tan
hana dharma mangrwa, adalah meskipun berbeda-beda akan tetapi satu jua.
Sumpah palapa yang pernah diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam
sidang ratu dan menteri-menteri di paseban keprabuan majapahit pada tahun
1331, yang berisi cita-cita menyatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut;
Saya baru akan berhenti berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh nusantara
bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika kalau Gurun, Seram, Tanjumg,
Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan tumasik telah dikalahkan
(Yamin, 1960:60).
Selain itu dalam hubungannya dengan negara lain raja Hayam Wuruk
senantiasa mengadakan hubungan bertetangga dengan baik dengan kerajaan
Tiongkok, Ayodya, Champa dan Kamboja. Menurut prasasti Brumbung (1329),
dalam tata pemerintahan kerajaan majapahit terdapat semacam penasehat
seperti Rakyan I Hino, I Sirikan, dan I Halu yang bertugas memberikan nasehat
kepada raja, hal ini sebagai nilai-nilai musyawarah mufakat yang dilakukan oleh
sistem pemerintahan kerajaan majapahit.
B. Konsep dan Urgensi Pancasila dalam Arus Sejarah Bangsa Indonesia
1. Periode Pengusulan Pancasila
Kemunculan Pancasila sudah ada sejak zaman dahulu kala jauh sebelum Indonesia
merdeka, pancasila adalah produk sejarah ketiak bangsa Indonesia berproses
mendirikan negara Indonesia. Jauh sebelum periode pengusulan Pancasila, cikal
bakal munculnya ideologi bangsa itu diawali dengan lahirnya rasa nasionalisme
yang menjadi pembuka ke pintu gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia. Ahli
sejarah, Sartono Kartodirdjo, sebagaimana yang dikutip oleh Mochtar Pabottinggi
dalam artikelnya yang berjudul Pancasila sebagai Modal Rasionalitas Politik,
menengarai bahwa benih nasionalisme sudah mulai tertanam kuat dalam gerakan
Perhimpoenan Indonesia yang sangat menekankan solidaritas dan kesatuan
bangsa.
Indonesia merupakan jajahan jepang yang menguasai wilayah Indonesia antara
tahun 1942-1925. Mendekati akhir tahun 1944, jepang semakin menderita kekalahan
dalam melawan sekutu. Menghadapi situasi tersebut dan untuk mendapatkan
simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia, apda tanggal 7 September 1945,
perdana mentri Koiso mengumumkan di muka sidang ke-85 parlamen Jepang
bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan.
Perhimpoenan Indonesia menghimbau agar segenap suku bangsa bersatu teguh
menghadapi penjajahan dan keterjajahan. Kemudian, disusul lahirnya Soempah
Pemoeda 28 Oktober 1928 merupakan momen-momen perumusan diri bagi
bangsa Indonesia. Kesemuanya itu merupakan modal politik awal yang sudah
dimiliki tokoh-tokoh pergerakan sehingga sidang-sidang maraton BPUPKI yang
difasilitasi Laksamana Maeda, tidak sedikitpun ada intervensi dari pihak penjajah
Jepang. Para peserta sidang BPUPKI ditunjuk secara adil, bukan hanya atas dasar
konstituensi, melainkan juga atas dasar integritas dan rekam jejak di dalam
konstituensi masing-masing. Oleh karena itu, Pabottinggi menegaskan bahwa
diktum John Stuart Mill atas Cass R. Sunstein tentang keniscayaan mengumpulkan
the best minds atau the best characters yang dimiliki suatu bangsa,
terutama di saat bangsa tersebut hendak membicarakan masalah-masalah
kenegaraan tertinggi, sudah terpenuhi. Dengan demikian, Pancasila tidaklah sakti
dalam pengertian mitologis, melainkan sakti dalam pengertian berhasil memenuhi
keabsahan prosedural dan keabsahan esensial sekaligus (Pabottinggi, 2006: 158159). Selanjutnya, sidang-sidang BPUPKI berlangsung secara bertahap dan penuh
dengan semangat musyawarah untuk melengkapi goresan sejarah bangsa
Indonesia hingga sampai kepada masa sekarang ini.
Perumusan Pancasila itu pada awalnya dilakukan dalam sidang BPUPKI pertama
yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. BPUPKI dibentuk oleh
Pemerintah Pendudukan Jepang pada 29 April 1945 dengan jumlah anggota 60
orang. Badan ini diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi oleh dua
orang Ketua Muda (Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan Ichibangase (orang
Jepang). BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada, panglima tentara ke-16
Jepang di Jakarta, pada 28 Mei 1945. Sehari setelah dilantik, 29 Mei 1945,
dimulailah sidang yang pertama dengan materi pokok pembicaraan calon dasar
negara.
Menurut catatan sejarah, diketahui bahwa sidang tersebut menampilkan beberapa
pembicara, yaitu Mr. Muh Yamin, Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Mr.
Soepomo. Keempat tokoh tersebut menyampaikan usulan tentang dasar negara
menurut pandangannya masing-masing. Meskipun demikian perbedaan pendapat
di antara mereka tidak mengurangi semangat persatuan dan kesatuan demi
mewujudkan Indonesia merdeka. Sikap toleransi yang berkembang di kalangan
para pendiri negara seperti inilah yang seharusnya perlu diwariskan kepada
generasi berikut, termasuk kita.
Salah seorang pengusul calon dasar negara dalam sidang BPUPKI adalah Ir.
Soekarno yang berpidato pada 1 Juni 1945. Pada hari itu, Ir. Soekarno
menyampaikan lima butir gagasan tentang dasar negara sebagai berikut.
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Berdasarkan catatan sejarah, kelima butir gagasan itu oleh Soekarno diberi nama
Pancasila. Selanjutnya, Soekarno juga mengusulkan jika seandainya peserta
sidang tidak menyukai angka 5, maka ia menawarkan angka 3, yaitu Trisila yang
terdiri atas (1) Sosio-Nasionalisme, (2) Sosio-Demokrasi, dan (3) Ketuhanan Yang
Maha Esa. Soekarno akhirnya juga menawarkan angka 1, yaitu Ekasila yang
berisi asas Gotong-Royong.
Sejarah mencatat bahwa pidato lisan Soekarno inilah yang di kemudian
hari diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia dalam bentuk
buku yangberjudul Lahirnya Pancasila (1947). Perlu Anda ketahui bahwa dari
judul buku tersebut menimbulkan kontroversi seputar lahirnya Pancasila. Di satu
pihak, ketika Soekarno masih berkuasa, terjadi semacam pengultusan terhadap
Soekarno sehingga 1 Juni selalu dirayakan sebagai hari lahirnya Pancasila. Di lain
pihak, ketika pemerintahan Soekarno jatuh, muncul upaya-upaya deSoekarnoisasi oleh penguasa Orde Baru sehingga dikesankan seolah-olah
Soekarno tidak besar jasanya dalam penggalian dan perumusan Pancasila.
Setelah pidato Soekarno, sidang menerima usulan nama Pancasila bagi
dasar filsafat negara (Philosofische grondslag) yang diusulkan oleh Soekarno, dan
kemudian dibentuk panitia kecil 8 orang (Ki Bagus Hadi Kusumo, K.H. Wahid
Hasyim, Muh. Yamin, Sutarjo, A.A. Maramis, Otto Iskandar Dinata, dan Moh.
Hatta) yang bertugas menampung usul-usul seputar calon dasar negara. Kemudian,
sidang pertama BPUPKI (29 Mei -- 1 Juni 1945) ini berhenti untuk sementara.
2. Periode Perumusan Pancasila
Hal terpenting yang mengemuka dalam sidang BPUPKI kedua pada 10 -16 Juli 1945 adalah disetujuinya naskah awal Pembukaan Hukum Dasar yang
kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Piagam Jakarta itu merupakan
naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pada alinea keempat Piagam
Jakarta itulah terdapat rumusan Pancasila sebagai berikut.
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Naskah awal Pembukaan Hukum Dasar yang dijuluki Piagam Jakarta ini di
kemudian hari dijadikan Pembukaan UUD 1945, dengan sejumlah perubahan di
sana-sini.
Ketika para pemimpin Indonesia sedang sibuk mempersiapkan kemerdekaan
menurut skenario Jepang, secara tiba-tiba terjadi perubahan peta politik dunia.
Salah satu penyebab terjadinya perubahan peta politik dunia itu
ialah takluknya Jepang terhadap Sekutu. Peristiwa itu ditandai dengan jatuhnya
bom atom di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Sehari setelah peristiwa itu, 7
Agustus 1945, Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta mengeluarkan
maklumat yang berisi:
(1) pertengahan Agustus 1945 akan dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
bagi Indonesia (PPKI),
(2) panitia itu rencananya akan dilantik 18 Agustus 1945 dan mulai bersidang
19 Agustus 1945, dan
(3) direncanakan 24 Agustus 1945 Indonesia dimerdekakan.
Esok paginya, 8 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Rajiman dipanggil
Jenderal Terauchi (Penguasa Militer Jepang di Kawasan Asia Tenggara) yang
berkedudukan di Saigon, Vietnam (sekarang kota itu bernama Ho Chi Minh).
Ketiga tokoh tersebut diberi kewenangan oleh Terauchi untuk segera membentuk
suatu Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia sesuai dengan maklumat
Pemerintah Jepang 7 Agustus 1945 tadi. Sepulang dari Saigon, ketiga tokoh tadi
membentuk PPKI dengan total anggota 21 orang, yaitu: Soekarno, Moh. Hatta,
Radjiman, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandar Dinata, Purboyo, Suryohamijoyo,
Sutarjo, Supomo, Abdul Kadir, Yap Cwan Bing, Muh. Amir, Abdul Abbas,
Ratulangi, Andi Pangerang, Latuharhary, I Gde Puja, Hamidan, Panji Suroso,
Wahid Hasyim, T. Moh. Hasan (Sartono Kartodirdjo, dkk., 1975: 16--17).
Jatuhnya Bom di Hiroshima belum membuat Jepang takluk, Amerika dan
sekutu akhirnya menjatuhkan bom lagi di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 yang
meluluhlantakkan kota tersebut sehingga menjadikan kekuatan Jepang semakin
lemah. Kekuatan yang semakin melemah, memaksa Jepang akhirnya menyerah
tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945. Konsekuensi dari menyerahnya
Jepang kepada sekutu, menjadikan daerah bekas pendudukan Jepang beralih
kepada wilayah perwalian sekutu, termasuk Indonesia. Sebelum tentara sekutu
dapat menjangkau wilayah-wilayah itu, untuk sementara bala tentara Jepang
masih ditugasi sebagai sekadar penjaga kekosongan kekuasaan.
Kekosongan kekuasaan ini tidak disia-siakan oleh para tokoh nasional.
PPKI yang semula dibentuk Jepang karena Jepang sudah kalah dan tidak berkuasa
lagi, maka para pemimpin nasional pada waktu itu segera mengambil keputusan
politis yang penting. Keputusan politis penting itu berupa melepaskan diri dari
bayang-bayang kekuasaan Jepang dan mempercepat rencana kemerdekaan
bangsa Indonesia.
3. Periode Pengesahan Pancasila
Peristiwa penting lainnya terjadi pada 12 Agustus 1945, ketika itu Soekarno, Hatta,
dan Rajiman Wedyodiningrat dipanggil oleh penguasa militer Jepang di Asia Selatan
ke Saigon untuk membahas tentang hari kemerdekaan Indonesia sebagaimana
yang pernah dijanjikan. Namun, di luar dugaan ternyata pada 14 Agustus 1945
Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Pada 15 Agustus 1945 Soekarno,
Hatta, dan Rajiman kembali ke Indonesia. Kedatangan mereka disambut oleh para
pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan
secepatnya karena mereka tanggap terhadap perubahan situasi politik dunia pada
masa itu. Para pemuda sudah mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada sekutu
sehingga Jepang tidak memiliki kekuasaan secara politis di wilayah pendudukan,
termasuk Indonesia. Perubahan situasi yang cepat itu menimbulkan
kesalahpahaman antara kelompok pemuda dengan Soekarno dan
kawan-kawan sehingga terjadilah penculikan atas diri Soekarno dan M. Hatta ke
Rengas Dengklok (dalam istilah pemuda pada waktu itu mengamankan ),
tindakan pemuda itu berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada pukul 24.00
WIB menjelang 16 Agustus 1945 di Cikini no. 71 Jakarta (Kartodirdjo, dkk., 1975:
26).
Melalui jalan berliku, akhirnya dicetuskanlah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks kemerdekaan itu didiktekan oleh Moh.
Hatta dan ditulis oleh Soekarno pada dini hari. Dengan demikian, naskah
bersejarah teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini digagas dan ditulis oleh
dua tokoh proklamator tersebut sehingga wajar jika mereka dinamakan
Dwitunggal. Selanjutnya, naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Rancangan
pernyataan kemerdekaan yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI yang diberi nama
Piagam Jakarta, akhirnya tidak dibacakan pada 17 Agustus 1945 karena situasi
politik yang berubah (Lihat Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah
Revolusi, William Frederick dan Soeri Soeroto, 2002: hal. 308 - 311).
Perlu Anda ketahui bahwa sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
yakni 18 Agustus 1945, PPKI bersidang untuk menentukan dan menegaskan
posisi bangsa Indonesia dari semula bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka.
PPKI yang semula merupakan badan buatan pemerintah Jepang, sejak saat itu
dianggap mandiri sebagai badan nasional. Atas prakarsa Soekarno, anggota PPKI
ditambah 6 orang lagi, dengan maksud agar lebih mewakili seluruh komponen
bangsa Indonesia. Mereka adalah Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman
Singodimejo, Sayuti Melik, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Subarjo.
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka memerlukan perangkat dan
kelengkapan kehidupan bernegara, seperti: Dasar Negara, Undang-undang Dasar,
Pemimpin negara, dan perangkat pendukung lainnya. Putusan-putusan penting
yang dihasilkan mencakup hal-hal berikut.
(1). Mengesahkan Undang-undang Dasar Negara (UUD 45) yang terdiri atas
Pembukaan dan Batang Tubuh. Naskah Pembukaan berasal dari Piagam
Jakarta dengan sejumlah perubahan. Batang Tubuh juga berasal dari rancangan
BPUPKI dengan sejumlah perubahan pula.
(2). Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama (Soekarno dan Hatta).
(3). Membentuk KNIP yang anggota intinya adalah mantan anggota PPKI
ditambah tokoh-tokoh masyarakat dari banyak golongan. Komite ini dilantik
29 Agustus 1945 dengan ketua Mr. Kasman Singodimejo.
Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah bangsa Indonesia juga mencatat bahwa rumusan Pancasila yang
disahkan PPKI ternyata berbeda dengan rumusan Pancasila yang termaktub dalam
Piagam Jakarta. Hal ini terjadi karena adanya tuntutan dari wakil yang
mengatasnamakan masyarakat Indonesia Bagian Timur yang menemui Bung
Hatta yang mempertanyakan 7 kata di belakang kata Ketuhanan , yaitu dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya . Tuntutan ini
ditanggapi secara arif oleh para pendiri negara sehingga terjadi perubahan yang
disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap menjadi hambatan di kemudian
hari dan diganti dengan istilah Yang Maha Esa .
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan yang kemudian diikuti
dengan pengesahaan Undang-undang Dasar 1945, maka roda pemerintahan yang
seharusnya dapat berjalan dengan baik dan tertib, ternyata menghadapi sejumlah
tantangan yang mengancam kemerdekaan negara dan eksistensi Pancasila. Salah
satu bentuk ancaman itu muncul dari pihak Belanda yang ingin menjajah kembali
Indonesia.
Belanda ingin menguasai kembali Indonesia dengan berbagai cara.
Tindakan Belanda itu dilakukan dalam bentuk agresi selama kurang lebih 4 tahun.
Setelah pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember
1949, maka Indonesia pada 17 Agustus 1950 kembali ke negara kesatuan yang
sebelumnya berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Perubahan bentuk
negara dari Negara Serikat ke Negara Kesatuan tidak diikuti dengan penggunaan
Undang-undang Dasar 1945, tetapi dibuatlah konstitusi baru yang dinamakan
Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Permasalahannya ialah
ketika Indonesia kembali Negara Kesatuan, ternyata tidak menggunakan
Undangundang Dasar 1945 sehingga menimbulkan persoalan kehidupan bernegara
di kemudian hari.
Berdasarkan Undang-undang Dasar Sementara 1950 dilaksanakanlah
Pemilu yang pertama pada 1955. Pemilu ini dilaksanakan untuk membentuk dua
badan perwakilan, yaitu Badan Konstituante (yang akan mengemban tugas
membuat Konstitusi/Undang-undang Dasar) dan DPR (yang akan berperan
sebagai parlemen). Pada 1956, Badan Konstituante mulai bersidang di Bandung
untuk membuat UUD yang definitif sebagai pengganti UUDS 1950. Sebenarnya
telah banyak pasal-pasal yang dirumuskan, akan tetapi sidang menjadi berlarutlarut
ketika pembicaraan memasuki kawasan dasar negara. Sebagian anggota
menghendaki Islam sebagai dasar negara, sementara sebagian yang lain tetap
menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Kebuntuan ini diselesaikan lewat
voting, tetapi selalu gagal mencapai putusan karena selalu tidak memenuhi syarat
voting yang ditetapkan. Akibatnya, banyak anggota Konstituante yang
menyatakan tidak akan lagi menghadiri sidang. Keadaan ini memprihatinkan
Soekarno sebagai Kepala Negara. Akhirnya, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengambil langkah darurat dengan mengeluarkan dekrit.
Setelah Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, seharusnya pelaksanaan
sistem pemerintahan negara didasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Karena
pemberlakuan kembali UUD 1945 menuntut konsekuensi sebagai berikut.
Pertama, penulisan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undangundang Dasar 1945. Kedua, penyelenggaraan negara seharusnya dilaksanakan
sebagaimana amanat Batang Tubuh UUD 45. Dan, ketiga, segera dibentuk
MPRS dan DPAS. Pada kenyataannya, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terjadi
beberapa hal yang berkaitan dengan penulisan sila-sila Pancasila yang tidak
seragam.
Sesudah dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, terjadi
beberapa penyelewengan terhadap UUD 1945. Antara lain, Soekarno diangkat
sebagai presiden seumur hidup melalui TAP No. III/MPRS/1960. Selain itu,
kekuasaan Presiden Soekarno berada di puncak piramida, artinya berada pada
posisi tertinggi yang membawahi ketua MPRS, ketua DPR, dan ketua DPA yang
pada waktu itu diangkat Soekarno sebagai menteri dalam kabinetnya sehingga
mengakibatkan sejumlah intrik politik dan perebutan pengaruh berbagai pihak
dengan berbagai cara, baik dengan mendekati maupun menjauhi presiden.
Pertentangan antarpihak begitu keras, seperti yang terjadi antara tokoh PKI
dengan perwira Angkatan Darat (AD) sehingga terjadilah penculikan dan
pembunuhan sejumlah perwira AD yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30
September (G30S PKI).
Peristiwa G30S PKI menimbulkan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke
Soeharto. Peralihan kekuasan itu diawali dengan terbitnya Surat Perintah dari
Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto, yang di kemudian hari
terkenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Surat itu
intinya berisi perintah presiden kepada Soeharto agar mengambil langkah
langkah pengamanan untuk menyelamatkan keadaan . Supersemar ini dibuat di
Istana Bogor dan dijemput oleh Basuki Rahmat, Amir Mahmud, dan M. Yusuf.
Supersemar ini pun juga menjadi kontroversial di belakang hari.
Supersemar yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto itu
kemudian dikuatkan dengan TAP No. IX/MPRS/1966 pada 21 Juni 1966. Dengan
demikian, status supersemar menjadi berubah: Mula-mula hanya sebuah surat
perintah presiden kemudian menjadi ketetapan MPRS. Jadi, yang memerintah
Soeharto bukan lagi Presiden Soekarno, melainkan MPRS. Hal ini merupakan
fakta sejarah terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Bulan
berikutnya, tepatnya 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan TAP No. XVIII/
MPRS/1966 yang isinya mencabut TAP No. III/MPRS/1960 tentang
Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup. Konsekuensinya, sejak
saat itu Soekarno bukan lagi berstatus sebagai presiden seumur hidup.
Setelah menjadi presiden, Soeharto mengeluarkan Inpres No. 12/1968
tentang penulisan dan pembacaan Pancasila sesuai dengan yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 (ingatlah, dulu setelah Dekrit 5 Juli 1959 penulisan
Pancasila beraneka ragam). Ketika MPR mengadakan Sidang Umum 1978
Presiden Soeharto mengajukan usul kepada MPR tentang Pedoman, Penghayatan,
dan Pengamalan Pancasila (P-4). Usul ini diterima dan dijadikan TAP No.
II/MPR/1978 tentang P-4 (Ekaprasetia Pancakarsa). Dalam TAP itu diperintahkan
supaya Pemerintah dan DPR menyebarluaskan P-4. Presiden Soeharto kemudian
mengeluarkan Inpres No. 10/1978 yang berisi Penataran bagi Pegawai Negeri
Republik Indonesia. Kemudian, dikeluarkan juga Keppres No. 10/1979 tentang
pembentukan BP-7 dari tingkat Pusat hingga Dati II. Pancasila juga dijadikan
satu-satunya asas bagi orsospol (tercantum dalam UU No. 3/1985 ttg. Parpol dan
Golkar) dan bagi ormas (tercantum dalam UU No. 8/1985 ttg. Ormas). Banyak
pro dan kontra atas lahirnya kedua undang-undang itu. Namun, dengan kekuasaan
rezim Soeharto yang makin kokoh sehingga tidak ada yang berani menentang
(BP7 Pusat, 1971).
B. Pancasiladalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia.
1. Pancasila sebagai Identitas Bangsa Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa setiap bangsa mana pun di dunia ini pasti
memiliki identitas yang sesuai dengan latar belakang budaya masing-masing.
Budaya merupakan proses cipta, rasa, dan karsa yang perlu dikelola dan
dikembangkan secara terus-menerus. Budaya dapat membentuk identitas suatu
bangsa melalui proses inkulturasi dan akulturasi. Pancasila sebagai identitas
bangsa Indonesia merupakan konsekuensi dari proses inkulturasi dan akulturasi
tersebut.
Kebudayaan itu sendiri mengandung banyak pengertian dan definisi. Salah
satu defisini kebudayaan adalah sebagai berikut. suatu desain untuk hidup yang
merupakan suatu perencanaan dan sesuai dengan perencanaan itu masyarakat
mengadaptasikan dirinya pada lingkungan fisik, sosial, dan gagasan
(Sastrapratedja, 1991: 144). Apabila definisi kebudayaan ini ditarik ke dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, maka negara Indonesia memerlukan suatu
rancangan masa depan bagi bangsa agar masyarakat dapat menyesuaikan diri
dengan situasi dan lingkungan baru, yakni kehidupan berbangsa yang mengatasi
kepentingan individu atau kelompok.
Kebudayaan bangsa Indonesia merupakan hasil inkulturasi, yaitu proses
perpaduan berbagai elemen budaya dalam kehidupan masyarakat sehingga
menjadikan masyarakat berkembang secara dinamis. J.W.M. Bakker (1984: 22)
menyebutkan adanya beberapa saluran inkulturasi, yang meliputi: jaringan
pendidikan, kontrol, dan bimbingan keluarga, struktur kepribadian dasar, dan self
expression. Kebudayaan bangsa Indonesia juga merupakan hasil akulturasi
sebagaimana yang ditengarai Eka Dharmaputera dalam bukunya Pancasila:
Identitas dan Modernitas. Haviland menegaskan bahwa akulturasi adalah
perubahan besar yang terjadi sebagai akibat dari kontak antarkebudayaan yang
berlangsung lama. Hal-hal yang terjadi dalam akulturasi meliputi: 1) Substitusi;
penggantian unsur atau kompleks yang ada oleh yang lain yang mengambil alih
fungsinya dengan perubahan struktural yang minimal; 2) Sinkretisme;
percampuran unsur-unsur lama untuk membentuk sistem baru; 3) Adisi;
tambahan unsur atau kompleks-kompleks baru; 4) Orijinasi; tumbuhnya unsurunsur
baru untuk memenuhi kebutuhan situasi yang berubah; 5) Rejeksi;
perubahan yang berlangsung cepat dapat membuat sejumlah besar orang tidak
dapat menerimanya sehingga menyebabkan penolakan total atau timbulnya
pemberontakan atau gerakan kebangkitan (Haviland, 1985: 263).
Pemaparan tentang Pancasila sebagai identitas bangsa atau juga disebut
sebagai jati diri bangsa Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai literatur, baik
dalam bentuk bahasan sejarah bangsa Indonesia maupun dalam bentuk bahasan
tentang pemerintahan di Indonesia. As ad Ali dalam buku Negara Pancasila;
Jalan Kemashlahatan Berbangsa mengatakan bahwa Pancasila sebagai identitas
kultural dapat ditelusuri dari kehidupan agama yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia. Karena tradisi dan kultur bangsa Indonesia dapat diitelusuri melalui
peran agama-agama besar, seperti; peradaban Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.
Agama-agama tersebut menyumbang dan menyempurnakan konstruksi nilai,
norma, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat.
Misalnya, konstruksi tradisi dan kultur masyarakat Melayu, Minangkabau, dan
Aceh tidak bisa dilepaskan dari peran peradaban Islam. Sementara konstruksi
budaya Toraja dan Papua tidak terlepas dari peradaban Kristen. Demikian pula
halnya dengan konstruksi budaya masyarakat Bali yang sepenuhnya dibentuk
oleh peradaban Hindu (Ali, 2010: 75).
2. Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia
Pancasila disebut juga sebagai kepribadian bangsa Indonesia, artinya nilainilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diwujudkan
dalam sikap mental dan tingkah laku serta amal perbuatan. Sikap mental, tingkah
laku dan perbuatan bangsa Indonesia mempunyai ciri khas, artinya dapat
dibedakan dengan bangsa lain. Kepribadian itu mengacu pada sesuatu yang unik
dan khas karena tidak ada pribadi yang benar-benar sama. Setiap pribadi
mencerminkan keadaan atau halnya sendiri, demikian pula halnya dengan
ideologi bangsa (Bakry, 1994: 157). Meskipun nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan juga terdapat dalam ideologi bangsa-bangsa
lain, tetapi bagi bangsa Indonesia kelima sila tersebut mencerminkan kepribadian
bangsa karena diangkat dari nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia sendiri
dan dilaksanakan secara simultan. Di samping itu, proses akulturasi dan
inkulturasi ikut memengaruhi kepribadian bangsa Indonesia dengan berbagai
variasi yang sangat beragam. Kendatipun demikian, kepribadian bangsa
Indonesia sendiri sudah terbentuk sejak lama sehingga sejarah mencatat kejayaan
di zaman Majapahit, Sriwijaya, Mataram, dan lain-lain yang memperlihatkan
keunggulan peradaban di masa itu. Nilai-nilai- spiritual, sistem perekonomian,
politik, budaya merupakan contoh keunggulan yang berakar dari kepribadian
masyarakat Indonesia sendiri.
3. Pancasila sebagai Pandangan Hidup bangsa Indonesia
Pancasila dikatakan sebagai pandangan hidup bangsa, artinya nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diyakini
kebenarannya, kebaikannya, keindahanny,a dan kegunaannya oleh bangsa
Indonesia yang dijadikan sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa dan menimbulkan tekad yang kuat untuk mengamalkannya dalam
kehidupan nyata (Bakry, 1994: 158). Pancasila sebagai pandangan hidup berarti
nilai-nilai Pancasila melekat dalam kehidupan masyarakat dan dijadikan norma
dalam bersikap dan bertindak. Ketika Pancasila berfungsi sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia, maka seluruh nilai Pancasila dimanifestasi ke dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
4. Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa ; sebagaimana dikatakan von Savigny
bahwa setiap bangsa mempunyai jiwanya masing-masing, yang dinamakan
volkgeist (jiwa rakyat atau jiwa bangsa). Pancasila sebagai jiwa bangsa lahir
bersamaan dengan lahirnya bangsa Indonesia. Pancasila telah ada sejak dahulu
kala bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia (Bakry, 1994: 157).
5. Pancasila sebagai Perjanjian Luhur artinya nilai-nilai Pancasila sebagai
jiwa bangsa dan kepribadian bangsa disepakati oleh para pendiri negara (political
consensus) sebagai dasar negara Indonesia (Bakry, 1994: 161). Kesepakatan para
pendiri negara tentang Pancasila sebagai dasar negara merupakan bukti bahwa
pilihan yang diambil pada waktu itu merupakan sesuatu yang tepat.
C. Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila dalam Kajian Sejarah
Bangsa Indonesia
1. Sumber Historis Pancasila
Nilai-nilai Pancasila sudah ada dalam adat istiadat, kebudayaan, dan
agama yang berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman
kerajaan dahulu. Misalnya, sila Ketuhanan sudah ada pada zaman dahulu,
meskipun dalam praktik pemujaan yang beranekaragam, tetapi pengakuan
tentang adanya Tuhan sudah diakui. Dalam Encyclopedia of Philosophy
disebutkan beberapa unsur yang ada dalam agama, seperti kepercayaan kepada
kekuatan supranatural, perbedaan antara yang sakral dan yang profan, tindakan
ritual pada objek sakral, sembahyang atau doa sebagai bentuk komunikasi kepada
Tuhan, takjub sebagai perasaan khas keagamaan, tuntunan moral diyakini dari
Tuhan, konsep hidup di dunia dihubungkan dengan Tuhan, kelompok sosial
seagama dan seiman.
2. Sumber Sosiologis Pancasila
Nilai-nilai Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
keadilan) secara sosiologis telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu
hingga sekarang. Salah satu nilai yang dapat ditemukan dalam masyarakat
Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang adalah nilai gotong royong.
Misalnya dapat dilihat, bahwa kebiasaan bergotong royong, baik berupa saling
membantu antartetangga maupun bekerja sama untuk keperluan umum di desadesa. Kegiatan gotong royong itu dilakukan dengan semangat kekeluargaan
sebagai cerminan dari sila Keadilan Sosial.
3. Sumber Politis Pancasila
Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
Pancasila bersumber dan digali dari local wisdom, budaya, dan pengalaman
bangsa Indonesia, termasuk pengalaman dalam berhubungan dengan bangsabangsa lain. Nilai-nilai Pancasila, misalnya nilai kerakyatan dapat ditemukan
dalam suasana kehidupan pedesaan yang pola kehidupan bersama yang bersatu
dan demokratis yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan sebagaimana tercermin
dalam sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Semangat seperti ini diperlukan dalam
mengambil keputusan yang mencerminkan musyawarah.
D. Dinamika dan Tantangan Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia
1. Dinamika Pancasila dalam Sejarah Bangsa
Dinamika Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia memperlihatkan
adanya pasang surut dalam pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila.
Pancasila banyak disebut dan dikemukakan oleh Soekarno misalnya pada saat
pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1959 yang dikenal sebagai manifesto politik
dan sebagai pertanggung jawaban atas dekrit presiden 5 Juli 1959. Pada masa itu
Soekarno mengenalkan Pancasila sebagai landasan idiil dan pemerintahan yang
berdasar UUD 1945 sebagai landasan struktural dari tujuan revolusi Indonesia.
Tema revolusi nasional di dengungkan secara terus menerus antara lain dalam
pidato tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudulDjarek (Djalannya revolusi kita).
Pancasila menjadi bagian dari revolusi saat itu yang dikembangkan menjadi ideologi
Manipol USDEK.
Dalam implementasi Pancasila Soekarno melakukan pemahaman Pancasila dengan
paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, Presiden
menekankan pentingnya memegang teguh UUD 1945, sosialisme ala Indonesia,
demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Pancasila banyak
ditampilkan saat membahas kepribadian nasional. Dalam pandangan kebangsaan,
dikemukakan kritik-kritik terhadap liberalisme, sistem demokrasi barat dan gerakan
separatisme. Pancasila di pertentangkan dengan hal-hal tersebut.
Orde baru adalah masa pemerintahan presiden Soeharto antara tahun 1966-1998.
Pemerintahan orde baru ditandai pada saat jendral Soeharto diberi kewenangan
oleh Presiden Soekarno untuk mengendalikan keadaan, memulihkan keamanan dan
ketertiban dalam negara setelah terjadinya pemberotkan G 30 S/PKI. Kewenangan
itu didasarkan surat perintah 11 Maret 1966. Orde Baru lahir dalam konteks
penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, yang dianggap telah
mempratikkan kehidupan kenegaran yang tidak berdasar pada Pancasila dan UUD
1945, peranan presiden yang amat besar, serta Manipol-USDEK dan NASAKOM
telah menggeser kedudukan normatif Pancasila dan UUD 1945. Orde baru berusaha
mengembalikan tatanan kehidupan bernegara kepada pelaksanaan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen (Pranarka,1985). Pada zaman
pemerintahan presiden Soeharto, Pancasila dijadikan pembenaran kekuasaan
melalui penataran P- 4 sehingga pasca turunnya Soeharto ada kalangan yang
mengidentikkan Pancasila dengan P-4.
Era Reformasi tahun 1998, lahir dengan semangat menghapuskan pengalamanpengalaman buruk penyelenggaraan yang dilakukan oleh Orde Baru dan melakukan
reformasi atas penyelenggaraan pemerintahan. Tuntunan reformasi saat itu adalah:
1. Amandemen UUD 1945, 2. Penghapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI, 3. Penegakan
hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, 4. Otonomi daerah, 5. Kebebasan Pers,
dan 6. Mewujudkan kehidupan demokrasi. Ekses lain dari reformasi adalah
anggapan bahwa semua warisan Orde Baru dianggap menyimpang dan harus
dihapuskan, termasuk didalamnya Pancasila. Ideologi Pancasila yang dimunculkan
dengan naskah P4 dianggap alat legitimasi kekuasaan Orde Baru. Selama proses
reformasi ini Pancasila seakan terpinggirkan. Pancasila ibarat mengalami hibernasi
dan tidak ada pihak yang berusaha menggugahnya (Fuad Hassan, 2006:38).
Pada masa pemerintahan era reformasi, ada kecenderungan para penguasa tidak
respek terhadap Pancasila, seolah-olah Pancasila ditinggalkan.
2. Tantangan terhadap Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Salah satu tantangan terhadap Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara adalah meletakkan nilai-nilai Pancasila tidak dalam posisi sebenarnya
sehingga nilai-nilai Pancasila menyimpang dari kenyataan hidup berbangsa dan
bernegara. Salah satu contohnya, pengangkatan presiden seumur hidup oleh
MPRS dalam TAP No.III/MPRS/1960 Tentang Pengangkatan Soekarno sebagai
Presiden Seumur Hidup. Hal tersebut bertentangan dengan pasal 7 UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa, Presiden dan wakil presiden
memangku jabatan selama lima (5) tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali .
Pasal ini menunjukkan bahwa pengangkatan presiden seharusnya dilakukan
secara periodik danada batas waktu lima tahun.
E. Esensi dan Urgensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia untuk
Masa Depan
1. Esensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa
Pancasila pada hakikatnya merupakan Philosofische Grondslag dan
Weltanschauung. Pancasila dikatakan sebagai dasar filsafat negara (Philosofische
Grondslag) karena mengandung unsur-unsur sebagai berikut: alasan filosofis
berdirinya suatu negara; setiap produk hukum di Indonesia harus berdasarkan
nilai Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanschauung)
mengandung unsur-unsur sebagai berikut: nilai-nilai agama, budaya, dan adat
istiadat.
Wujud kebudayaan manusia yang bersifat konkret yaitu berupa aktivitas manusia
dalam masyarakat, saling berinteraksi, sehingga terwujudlah suatu sistem sosial.
Manusia adalah makhluk sosial selain sebagai individu, oleh karena itu ia senantiasa
membutuhkan orang lain dalam masyarakat. Sistem sosial ini tidak dapat dilepaskan
dengan tatanan nilai sebagai suatu dasar dan pedoman. Oleh karena itu pola-pola
aktivitas manusia ditentukan oleh tata nilai yang merupakan hasil budaya abstrak
manusia. Jikalau suatu tatanan sosial yang bersumber pada suatu sistem nilai dan
sistem nilai bersumber pada nilai-nilai agama, maka suatu keniscayaan bahwa
dalam suatu sistem masyarakat, suatu fenomena sosial budaya akan terkandung di
dalam nya suatu niali keagaamaan, nilai kemanusiaan dan nilai kebersamaan.
Jika kita pahami secara sistematik wujud sistem sosial kebudayaan dapat
dikelompokan menjadi tiga yaitu 1. Sistem nilai, 2. Sistem sosial dan 3. Wujud fisik
baik dalam kebudayaan maupun kehidupan masyarakat. Dalam hubungan ini
pancasila merupakan corevalues sistem sosial kebudayaan masyarakat Indonesia
yaitu merupakan suatu esensi nilai kehidupan sosial kebudayaan yang multikultural
secara kausalitas pancasila sebelum disahkan menjadi filsafat negara nilai-nilainya
telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat
istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai religius.
2. Urgensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa
Hasil Survei yang dilakukan KOMPAS yang dirilis pada 1 Juni 2008
menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang Pancasila merosot secara
tajam, yaitu 48,4% responden berusia 17 sampai 29 tahun tidak mampu
menyebutkan silai-sila Pancasila secara benar dan lengkap. 42,7% salah
menyebut silai-sila Pancasila, lebih parah lagi, 60% responden berusia 46 tahun
ke atas salah menyebutkan sila-sila Pancasila. Fenomena tersebut sangat
memprihatinkan karena menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Pancasila yang
ada dalam masyarakat tidak sebanding dengan semangat penerimaan masyarakat
terhadap Pancasila (Ali, 2009: 2).
Selain data tersebut, pentingnya Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia
dikarenakan hal-hal berikut: pengidentikan Pancasila dengan ideologi lain,
penyalahgunaan Pancasila sebagai alat justifikasi kekuasaan rezim tertentu,
melemahnya pemahaman dan pelaksanaan nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai ideologi kebangsaan adalah status ketika para pendiri bangsa
tengah mencari, memperjuangkan, dan berusaha merumuskan ideologi apa yang
kiranya tepat untuk Indonesia merdeka di kemudian hari. Proses-proses itu
berlangsung sejak sidang BPUPKI pertama, rapat-rapat setelah sidang BPUPKI
pertama, termasuk rapat panitia sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta,
sidang BPUPKI kedua sampai sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang
menetapkan Pembukaan dan UUD Negara Republik Indonesia.
Pancasila telah berproses dalam sejarah Indonesia sejak awal kemerdekaan bahkan
sampai saat ini. Dinamika yang terus berlangsung selama ini, juga telah menjadikan
Pancasila memiliki keragaman status sampai perbedaan pemahaman diantara
warga bangsa. Namun demikian, sampai saat ini pula Pancasila tetap diterima
sebagai konsensus bersama bangsa dalam posisinya sebagai dasar filsafat negara
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
BAB III
PANCASILA MENJADI DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Dalam proses terjadinya Pancasila di rumuskan oleh para pendiri negara Indonesia
dengan menggali nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia dan disintesiskan dengan
pemikiran-pemikiran besar dunia. Nilai-nilai terdapat dalam budaya bangsa
Indonesia, maka dipandang sangat pentinguntuk dijelaskan pengertian budaya.jika
dilihat dari wujud hasil kebudayaan manusia, maka dapat berupa suatu kompleks
gagasan , ide-ide dan pikiran manusia yang dalam hal ini bersifat abstrak. Hasil
kebudayaan manusia ini merupakan suatu nilai, yang hanya dapat dipahami,
dihayati dan dimengerti oleh manusia. Misalnya pengetahuan, ideologi, etika,
estetika, hasil pikiran manusia, norma, kaidah dan lain sebagainya. Dalam
hubungannya dengan nilai-nilai keagamaan, karena agama merupakan pandangan
hidup manusia dan merupakan suatu pedoman hidup amnusia. Dalam pengertian
inilah maka dalam pancasila selain terdapat nilai kemanusiaan juga terdapat nilai
keagamaan. Dengan memahami konsep, hakikat, dan pentingnya Pancasila sebagai
dasar negara, ideologi negara, atau dasar filsafat negara Republik Indonesia dalam
kehidupan bernegara. Dasar yang dimaksud adalah dasar filsafat negara yang
merupakan kedudukan pokok dan utama dari pada Pancasila. Hal tersebut penting
mengingat peraturan perundang-undangan yang mengatur organisasi negara,
mekanisme penyelenggaraan negara, hubungan warga negara dengan negara yang
semua itu harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Sebagaimana Anda ketahui bahwa Pancasila sebagai dasar negara yang
autentik termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Inti esensi nilai-nilai Pancasila
tersebut, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan
sosial. Bangsa Indonesia semestinya telah dapat mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat sebagaimana yang dicita-citakan, tetapi dalam kenyataannya belum
sesuai dengan harapan. Hal tersebut merupakan tantangan bagi generasi muda,
khususnya Anda sebagai kaum intelektual, untuk berpartisipasi, berjuang
mewujudkan tujuan negara berdasarkan Pancasila. Agar partisipasi Anda di masa
yang akan datang efektif, maka perlu perluasan dan pendalaman wawasan
akademik mengenai dasar negara melalui mata kuliah pendidikan Pancasila.
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat menguasai
kompetensi dasar sebagai berikut:
Berkomitmen menjalankan ajaran agama dalam konteks Indonesia yang berdasar
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
sadar dan berkomitmen melaksanakan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 dan ketentuan hukum di bawahnya, sebagai wujud
kecintaannya pada tanah air; mengembangkan karakter Pancasilais yang
teraktualisasi dalam sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah
lingkungan, gotong royong, cinta damai, responsif dan proaktif; bertanggung
jawab atas keputusan yang diambil berdasar pada prinsip musyawarah dan
mufakat; berkontribusi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berperan
serta dalam pergaulan dunia dengan menjungjung tinggi penegakan moral dan
hukum; mengidentifikasi dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan negara baik yang bersifat idealis maupun praktis-pragmatis dalam
perspektif Pancasila sebagai dasar negara; mengkritisi peraturan perundangundangan dan kebijakan negara, baik yang bersifat idealis maupun praktispragmatis
dalam perspektif Pancasila sebagai dasar negara.
A. Menelusuri Konsep Negara, Tujuan Negara dan Urgensi Dasar Negara
1. Menelusuri Konsep Negara
Apakah Anda pernah mendengar istilah Homo Faber (makhluk yang
menggunakan tekhnologi), Homo Socius (makhluk bermasyarakat), Homo
Economicus (makhluk ekonomi), dan istilah Zoon Politicon atau makhluk politik?
Istilah-istilah tersebut merupakan predikat yang melekat pada eksistensi manusia.
Selain itu, predikat-predikat tersebut mengisyaratkan bahwa interaksi
Antar manusia dapat dimotivasi oleh sudut pandang, kebutuhan, atau kepentingan
(interest) masing-masing. Akibatnya, pergaulan manusia dapat bersamaan
(sejalan), berbeda, atau bertentangan satu sama lain, bahkan meminjam istilah
Thomas Hobbes manusia yang satu dapat menjadi serigala bagi yang lain (homo
homini lupus). Oleh karena itu, agar tercipta kondisi yang harmonis dan tertib
dalam memenuhi kebutuhannya, dalam memperjuangkan kesejahteraannya,
manusia membutuhkan negara.
Menurut Diponolo (1975: 23-25) negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang
berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan tata tertib atas suatu umat
di suatu daerah tertentu. Lebih lanjut, Diponolo mengemukakan beberapa definisi
negara yang dalam hal ini penulis paparkan secara skematis berikut ini:
Sejalan dengan pengertian negara tersebut, Diponolo menyimpulkan 3 (tiga) unsur
yang menjadi syarat mutlak bagi adanya negara yaitu:
a. Unsur tempat, atau daerah, wilayah atau territoir
b. Unsur manusia, atau umat (baca: masyarakat), rakyat atau bangsa
c. Unsur organisasi, atau tata kerjasama, atau tata pemerintahan.
Ketiga unsur tersebut lazim dinyatakan sebagai unsur konstitutif. Selain unsur
konstitutif ada juga unsur lain, yaitu unsur deklaratif, dalam hal ini pengakuan
dari negara lain.
Berbicara tentang negara dari perspektif tata negara paling tidak dapat
dilihat dari 2 (dua) pendekatan yaitu:
a. Negara dalam keadaan diam, yang fokus pengkajiannya terutama kepada
bentuk dan struktur organisasi negara
Definisi Negara menurut para ahli.
1. Aristoteles: Negara (polis) ialah persekutuan daripada keluarga dan desa guna
memperoleh hidup yang sebaik-baiknya .
2. Jean Bodin: Negara itu adalah suatu persekutuan daripada keluarga-keluarga
dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang
berdaulat .
3. Hugo de Groot/Grotius: Negara merupakan suatu persekutuan yang sempurna
daripada orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum .
4. Bluntschli: mengartikan Negara sebagai diri rakyat yang disusun dalam suatu
organisasi politik di suatu daerah tertentu .
5. Hansen Kelsen: Negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan
tata-paksa .
6. Harrold Laski: Negara sebagai suatu organisasi paksaan (coercive instrument)
Woodrow Wilson: Negara merupakan rakyat yang terorganisasi untuk hukum
dalam wilayah tertentu (a people organized for law within a definite territory)
b. Negara dalam keadaan bergerak, yang fokus pengkajiannya terutama kepada
mekanisme penyelenggaraan lembaga-lembaga negara, baik di pusat maupun
di daerah. Pendekatan ini juga akan meliputi bentuk pemerintahan seperti apa
yang dianggap paling tepat untuk sebuah negara.
Bentuk negara, sistem pemerintahan, dan tujuan negara seperti apa yang
ingin diwujudkan, serta bagaimana jalan/cara mewujudkan tujuan negara tersebut,
akan ditentukan oleh dasar negara yang dianut oleh negara yang bersangkutan.
Dengan kata lain, dasar negara akan menentukan bentuk negara, bentuk dan
sistem pemerintahan, dan tujuan negara yang ingin dicapai, serta jalan apa yang
ditempuh untuk mewujudkan tujuan suatu negara.
Konsekuensi Pancasila sebagai dasar negara bagi negara Republik Indonesia,
antara lain: Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik
(Pasal 1 UUD Negara Republik Indonesia 1945). Pasal tersebut menjelaskan
hubungan Pancasila tepatnya sila ketiga dengan bentuk negara yang dianut oleh
Indonesia, yaitu sebagai negara kesatuan bukan sebagai negara serikat. Lebih
lanjut, pasal tersebut menegaskan bahwa Indonesia menganut bentuk negara
republik bukan despot (tuan rumah) atau absolutisme (pemerintahan yang
sewenang-wenang). Konsep negara republik sejalan dengan sila kedua dan
keempat Pancasila, yaitu negara hukum yang demokratis. Demikian pula dalam
Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945, kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar . Hal tersebut
menegaskan bahwa negara republik Indonesia menganut demokrasi konstitusional
bukan demokrasi rakyat seperti yang terdapat pada konsep negara-negara komunis.
Di sisi lain, pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945, ditegaskan
bahwa, negara Indonesia adalah negara hukum . Prinsip tersebut mencerminkan
bahwa negara Indonesia sejalan dengan sila kedua Pancasila. Hal tersebut
ditegaskan oleh Atmordjo (2009: 25) bahwa : konsep negara hukum Indonesia
merupakan perpaduan 3 (tiga) unsure, yaitu Pancasila, hukum nasional, dan tujuan
negara . Apabila dipelajari secara seksama uraian tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat satu prinsip penting yang dianut, yaitu Indonesia
mengadopsi konsep negara modern yang ideal sebagaimana dikemukakan oleh
Carl Schmidt, yaitu demokratischen Rechtsstaat (Wahjono dalam Oesman dan
Alfian, 1993: 100).
.
2. Menelusuri Konsep Tujuan Negara
Para ahli berpendapat bahwa amuba atau binatang bersel satu pun
hidupnya memiliki tujuan, apalagi manusia pasti memiliki tujuan hidup. Demikian
pula, suatu bangsa mendirikan negara, pasti ada tujuan untuk apa negara itu
didirikan. Secara teoretik, ada beberapa tujuan negara di antaranya dapat
digambarkan secara skematik sebagai berikut.
Skema di atas menggambarkan intisari 5 teori tujuan negara, yang
disarikan dari Diponolo (1975: 112-156), kemudian berikut ini disajikan uraian
Kekuatan dan Kekuasaan sebagai Tujuan Negara sebagai berikut.
1. Shan Yang (Pujangga Filsuf Cina, 4-3 SM)
Satu-satunya tujuan bagi raja ialah membuat negara kuat dan berkuasa.
Hal ini hanya mungkin dicapai dengan memiliki tentara yang besar dan kuat
2. Nicollo Machiavelli (1469-1527)
Raja harus tahu bahwa ia senantiasa dikelilingi oleh orang-orang yang
selalu mengintai kelemahan dan menunggu kesempatan menerkam atau merebut
kedudukannya, maka raja haruslah menyusun dan menambah kekuatan terus
menerus.
3. Fridriech Nietzsche ( 1844-1900)
Tujuan hidup umat manusia ialah penjelmaan tokoh pilihan dari mereka yang paling
sempurna atau maha manusia (ubermensch). Hidup itu adalah serba
perkembangan,serba memenangkan dan menaklukan, serba meningkat terus
ke atas.
Kepastian Hidup, Keamanan, dan Ketertiban sebagai Tujuan Negara
1. Dante Alleghieri (Filsuf Italia, abad 13-14M)
Manusia hanya dapat menjalankan kewajiban dengan baik serta
mencapai tujuan yang tinggi di dalam keadaan damai. Oleh karena itu,
perdamaian menjadi kepentingan setiap orang. Raja haruslah seorang
yang paling baik kemauannya dan paling besar kemampuannya karena
ia harus dapat mewujudkan keadilan di antara umat manusia
2. Thomas Hobbes (1588-1679)
Perdamaian adalah unsur yang menjadi hakikat tujuan negara. Demi
keamanan dan ketertiban, maka manusia melepaskan dan melebur
kemerdekaannya ke dalam kemerdekaan umum, yaitu negara.
3. Theodore Roosevelt (Presiden Amerika Serikat)
In case of a choise between order and justice I will be on the side of order
(apabila saya harus memilih antara ketertiban dan keadilan, maka saya
akan memilih ketertiban).
Kemerdekaan sebagai Tujuan Negara
1. Herbert Spencer (1820-1903)
Negara itu tak lain adalah alat bagi manusia untuk memperoleh lebih
banyak kemerdekaan daripada yang dimilikinya sebelum adanya negara. Jadi,
negara itu adalah alat untuk menegakkan kemerdekaan.
2. Immanuel Kant (1724-1804)
Kemerdekaan itu menjadi tujuan negara. Terjadinya negara itu adalah untuk
membangun dan menyelenggarakan hukum, sedangkan hukum adalah untuk
menjamin kemerdekaan manusia. Hukum dan kemerdekaan tidak dapat dipisahkan.
3. Hegel (Refleksi absolut, 1770-1831)
Negara adalah suatu kenyataan yang sempurna, yang merupakan keutuhan
daripada perwujudan kemerdekaan manusia. Hanya dengan negara dan dalam
negara manusia dapat benar-benar memperoleh kepribadian dan kemerdekaannya.
Keadilan sebagai Tujuan Negara
1. Aristoteles (384-322 SM)
Negara seharusnya menjamin kebaikan hidup para warga negaranya. Kebaikan
hidup inilah tujuan luhur negara. Hal ini hanya dapat dicapai dengan keadilan yang
harus menjadi dasarnya setiap pemerintahan. Keadilan ini harus dinyatakan dengan
undang-undang.
2. Thomas Aquinas (1225-1274)
Kekuasaan dan hukum negara itu hanya berlaku selama ia mewujudkan keadilan,
untuk kebaikan bersama umat manusia, seperti yang dikehendaki Tuhan.
3. Immanuel Kant (1724-1804)
Terjadinya negara itu dari kenyataan bahwa manusia demi kepentingan sendiri telah
membatasi dirinya dalam suatu kontrak sosial yang menumbuhkan hukum. Hukum
adalah hasil daripada akal manusia untuk mempertemukan dan menyelenggarakan
kepentingan bersama. Hukum keadilan semesta alam menghendaki agar manusia
berbuat terhadap orang lain seperti yang ia harap orang lain berbuat terhadap
dirinya.
Kesejahteraan dan Kebahagiaan sebagai Tujuan Negara
1. Mohammad Hatta (1902-1980)
Bohonglah segala politik jika tidak menuju kepada kemakmuran rakyat .
2. Immanuel Kant (1724-1804)
Tujuan politik ialah mengatur agar setiap orang dapat puas dengan keadaannya. Hal
ini menyangkut terpenuhinya kebutuhan yang bersifat bendawi dan terwujudnya
kebahagiaan yang bersifat kerohanian.
Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap orang mungkin sama, yaitu kesejahteraan dan
kebahagiaan, tetapi cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbedabeda bahkan terkadang saling bertentangan. Jalan yang ditempuh untuk
mewujudkan tujuan tersebut kalau disederhanakan dapat digolongkan ke dalam 2
aliran, yaitu :
a. Aliran liberal individualis
Aliran ini berpendapat bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan harus dicapai
dengan politik dan sistem ekonomi liberal melalui persaingan bebas.
b. Aliran kolektivis atau sosialis
Aliran ini berpandangan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia hanya
dapat diwujudkan melalui politik dan sistem ekonomi terpimpin/totaliter.
Tujuan negara Republik Indonesia apabila disederhanakan dapat dibagi 2
(dua), yaitu mewujudkan kesejahteraan umum dan menjamin keamanan seluruh
bangsa dan seluruh wilayah negara. Oleh karena itu, pendekatan dalam
mewujudkan tujuan negara tersebut dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan
yaitu:
a. Pendekatan kesejahteraan (prosperity approach)
b. Pendekatan keamanan (security approach)
3. Konsep dan Urgensi Dasar Negara
Secara etimologis, istilah dasar negara maknanya identik dengan istilah
grundnorm (norma dasar), rechtsidee (cita hukum), staatsidee (cita negara),
philosophische grondslag (dasar filsafat negara). Banyaknya istilah Dasar Negara
dalam kosa kata bahasa asing menunjukkan bahwa dasar negara bersifat universal,
dalam arti setiap negara memiliki dasar negara.
Secara terminologis atau secara istilah, dasar negara dapat diartikan
sebagai landasan dan sumber dalam membentuk dan menyelenggarakan negara.
Dasar negara juga dapat diartikan sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara. Secara teoretik, istilah dasar negara, mengacu kepada pendapat Hans
Kelsen, disebut a basic norm atau Grundnorm (Kelsen, 1970: 8). Norma dasar ini
merupakan norma tertinggi yang mendasari kesatuan-kesatuan sistem norma
dalam masyarakat yang teratur termasuk di dalamnya negara yang sifatnya tidak
berubah (Attamimi dalam Oesman dan Alfian, 1993: 74). Dengan demikian,
kedudukan dasar negara berbeda dengan kedudukan peraturan perundangundangan karena dasar negara merupakan sumber dari peraturan perundangundangan. Implikasi dari kedudukan dasar negara ini, maka dasar negara bersifat
permanen sementara peraturan perundang-undangan bersifat fleksibel dalam arti
dapat diubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Hans Nawiasky menjelaskan bahwa dalam suatu negara yang merupakan
kesatuan tatanan hukum, terdapat suatu kaidah tertinggi, yang kedudukannya lebih
tinggi daripada Undang-Undang Dasar. Kaidah tertinggi dalam tatanan kesatuan
hukum dalam negara disebut staatsfundamentalnorm, yang untuk Indonesia
berupa Pancasila (Riyanto dalam Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR
Periode 2009-2014, 2013: 93-94). Dalam pandangan yang lain, pengembangan
teori dasar negara dapat diambil dari pidato Mr. Soepomo. Dalam penjelasannya,
kata cita negara merupakan terjemahan dari kata Staatsidee yang terdapat
dalam kepustakaan Jerman dan Belanda. Kata asing itu menjadi terkenal setelah
beliau menyampaikan pidatonya dalam rapat pleno Badan Penyelidik Usahausaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 31 Mei 1945. Sebagai catatan,
Soepomo menerjemahkan Staatsidee dengan dasar pengertian negara atau
aliran pikiran negara . Memang, dalam bahasa asing sendiri kata itu tidak mudah
memperoleh uraian pengertiannya. J. Oppenheim (1849-1924), ahli hukum tata
negara dan hukum administrasi negara di Groningen Belanda, mengemukakan
dalam pidato pengukuhannya yang kedua (1893) sebagai guru besar
mengemukakan bahwa staatsidee dapat dilukiskan sebagai hakikat yang paling
dalam dari negara (de staats diapse wezen), sebagai kekuatan yang membentuk
negara-negara (de staten vermonde kracht) (Attamimi dalam Soeprapto, Bahar
dan Arianto, 1995: 121).
Dalam karyanya yang berjudul Nomoi (The Law), Plato (Yusuf, 2009)
berpendapat bahwa suatu negara sebaiknya berdasarkan atas hukum dalam segala
hal . Senada dengan Plato, Aristoteles memberikan pandangannya, bahwa suatu
negara yang baik adalah negara yang diperintahkan oleh konstitusi dan kedaulatan
hukum . Sebagai suatu ketentuan peraturan yang mengikat, norma hukum
memiliki sifat yang berjenjang atau bertingkat. Artinya, norma hukum akan
berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan bersumber lagi pada norma
hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma
dasar/norma yang tertinggi dalam suatu negara yang disebut dengan grundnorm.
Dengan demikian, dasar negara merupakan suatu norma dasar dalam
penyelenggaraan bernegara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum
sekaligus sebagai cita hukum (rechtsidee), baik tertulis maupun tidak tertulis
dalam suatu negara. Cita hukum ini akan mengarahkan hukum pada cita-cita
bersama dari masyarakatnya. Cita-cita ini mencerminkan kesamaan-kesamaan
kepentingan di antara sesama warga masyarakat (Yusuf, 2009).
Prinsip bahwa norma hukum itu bertingkat dan berjenjang,
termanifestasikan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang tercermin pada pasal 7 yang
menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan, yaitu sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
B. Kajian Pancasila sebagai Dasar Negara
Pancasila merupakan pandangan hidup dan kepribadian bangsa yang nilai-nilainya
bersifat nasional yang mendasari kebudayaan bangsa, maka nilai-nilai tersebut
merupakan perwujudan dari aspirasi (cita-cita hidup bangsa) (Muzayin, 1992: 16).
Dengan Pancasila, perpecahan bangsa Indonesia akan mudah dihindari
karena pandangan Pancasila bertumpu pada pola hidup yang berdasarkan
keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sehingga perbedaan apapun yang ada
dapat dibina menjadi suatu pola kehidupan yang dinamis, penuh dengan
keanekaragaman yang berada dalam satu keseragaman yang kokoh (Muzayin,
1992: 16).
Dengan peraturan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, maka perasaan
adil dan tidak adil dapat diminimalkan. Hal tersebut dikarenakan Pancasila
sebagai dasar negara menaungi dan memberikan gambaran yang jelas tentang
peraturan tersebut berlaku untuk semua tanpa ada perlakuan diskriminatif bagi
siapapun. Oleh karena itulah, Pancasila memberikan arah tentang hukum harus
menciptakan keadaan negara yang lebih baik dengan berlandaskan pada nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Dengan demikian, diharapkan warga negara dapat memahami dan
melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari kegiatankegiatan
sederhana yang menggambarkan hadirnya nilai-nilai Pancasila tersebut
dalam masyarakat. Misalnya saja, masyarakat selalu bahu-membahu dalam ikut
berpartisipasi membersihkan lingkungan, saling menolong, dan menjaga satu
sama lain. Hal tersebut mengindikasikan bahwa nilai-nilai Pancasila telah
terinternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Lalu, bagaimana dengan pemerintah? Sebagai penyelenggara negara,
mereka seharusnya lebih mengerti dan memahami dalam pengaktualisasian nilainilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan. Mereka harus menjadi panutan bagi
warga negara yang lain, agar masyarakat luas meyakini bahwa Pancasila itu hadir
dalam setiap hembusan nafas bangsa ini. Nilai-nilainya hadir bukan hanya bagi
mereka yang ada di pedesaan dengan keterbatasannya, melainkan juga orangorang
yang ada dalam pemerintahan yang notabene sebagai pemangku jabatan
yang berwenang merumuskan kebijakan atas nama bersama. Hal tersebut sejalan
dengan pokok pikiran keempat yang menuntut konsekuensi logis, yaitu UndangUndang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pokok pikiran ini juga
mengandung pengertian takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pokok pikiran
kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga mengandung maksud menjunjung
tinggi hak asasi manusia yang luhur dan berbudi pekerti kemanusiaan yang luhur.
Pokok pikiran keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 merupakan asas moral bangsa dan negara (Bakry, 2010).
C. Sumber Yuridis, Historis, Sosiologis, dan Politis tentang Pancasila sebagai
Dasar Negara
1. Sumber Yuridis Pancasila sebagai Dasar Negara
Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila merupakan dasar negara
Republik Indonesia sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang kelahirannya ditempa dalam
proses kebangsaan Indonesia. Melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai payung hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan
agar dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan dapat meredam
konflik yang tidak produktif (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR
periode 2009--2014, 2013: 89).
Peneguhan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana terdapat pada
pembukaan, juga dimuat dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998,
tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan ketetapan
tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Meskipun status ketetapan
MPR tersebut saat ini sudah masuk dalam kategori ketetapan MPR yang tidak
perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final),
telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan (Pimpinan MPR dan Tim Kerja
Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 90).
Selain itu, juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Perundang-undangan bahwa Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum negara, yaitu sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Pancasila ditempatkan
sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan
negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (Pimpinan MPR
dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 90--91).
2. Sumber Historis Pancasila sebagai Dasar Negara
Dalam sidang yang diselenggarakan untuk mempersiapkan Indonesia
merdeka, Radjiman meminta kepada anggotanya untuk menentukan dasar negara.
Sebelumnya, Muhammad Yamin dan Soepomo mengungkapkan pandangannya
mengenai dasar negara. Kemudian dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyebut
dasar negara dengan menggunakan bahasa Belanda, Philosophische grondslag
bagi Indonesia merdeka. Philosophische grondslag itulah fundamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di
atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka. Soekarno juga menyebut dasar
negara dengan istilah Weltanschauung atau pandangan dunia (Bahar, Kusuma
dan Hudawaty, 1995: 63, 69, 81; dan Kusuma, 2004: 117, 121, 128, 129). Dapat
diumpamakan, Pancasila merupakan dasar atau landasan tempat gedung Republik
Indonesia itu didirikan (Soepardo dkk, 1962: 47).
Selain pengertian yang diungkapkan oleh Soekarno, dasar negara dapat
disebut pula ideologi negara , seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta:
Pembukaan UUD, karena memuat di dalamnya Pancasila sebagai
ideologi negara, beserta dua pernyataan lainnya yang menjadi bimbingan
pula bagi politik negeri seterusnya, dianggap sendi daripada hukum tata
negara Indonesia. Undang-Undang ialah pelaksanaan daripada pokok itu
dengan Pancasila sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik
negara dan perundang-udangan negara, supaya terdapat Indonesia merdeka
seperti dicita-citakan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
(Hatta, 1977: 1; Lubis, 2006: 332).
Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische
Grondslag dari negara, ideologi negara, staatsidee. Dalam hal tersebut, Pancasila
digunakan sebagai dasar mengatur pemerintah negara. Atau dengan kata lain,
Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara
(Darmodiharjo, 1991: 19).
Dengan demikian, jelas kedudukan Pancasila itu sebagai dasar negara,
Pancasila sebagai dasar negara dibentuk setelah menyerap berbagai pandangan
yang berkembang secara demokratis dari para anggota BPUPKI dan PPKI sebagai
representasi bangsa Indonesia (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR
periode 2009--2014, 2013: 94). Pancasila dijadikan sebagai dasar negara, yaitu
sewaktu ditetapkannya Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia tahun 1945 pada 8 Agustus 1945. Pada mulanya, pembukaan
direncanakan pada tanggal 22 Juni 1945, yang terkenal dengan Jakarta-charter
(Piagam Jakarta), tetapi Pancasila telah lebih dahulu diusulkan sebagai dasar
filsafat negara Indonesia merdeka yang akan didirikan, yaitu pada 1 Juni 1945,
dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(Notonagoro, 1994: 24). Terkait dengan hal tersebut, Mahfud MD (2009: 14)
menyatakan bahwa berdasarkan penjelajahan historis diketahui bahwa Pancasila
yang berlaku sekarang merupakan hasil karya bersama dari berbagai aliran politik
yang ada di BPUPKI, yang kemudian disempurnakan dan disahkan oleh PPKI
pada saat negara didirikan. Lebih lanjut, Mahfud MD menyatakan bahwa ia bukan
hasil karya Moh. Yamin ataupun Soekarno saja, melainkan hasil karya bersama
sehingga tampil dalam bentuk, isi, dan filosofinya yang utuh seperti sekarang.
3. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Dasar Negara
Secara ringkas, Latif (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR
periode 2009--2014, 2013) menguraikan pokok-pokok moralitas dan haluan
kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila sebagai berikut.
Pertama, nilai-nilai ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan
spiritualitas (yang bersifat vertical transcendental) dianggap penting sebagai
fundamental etika kehidupan bernegara. Negara menurut Pancasila diharapkan
dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama
diharapkan dapat memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika
sosial. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan
multikeyakinan, negara Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama,
melindungi terhadap semua agama dan keyakinan serta dapat mengembangkan
politiknya yang dipandu oleh nilai-nilai agama.
Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum
tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial (bersifat horizontal) dianggap penting
sebagai fundamental etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia.
Prinsip kebangsaan yang luas mengarah pada persaudaraan dunia yang
dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.
Ketiga, nilai-nilai etis kemanusiaan harus mengakar kuat dalam
lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau
pergaulan dunia yang lebih jauh. Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan
yang kuat, bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam
kebaruan komunitas politik bersama, melainkan juga mampu memberi
kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi
dan kesejarahan masing-masing. Dalam khazanah Indonesia, hal tersebut
menyerupai perspektif etnosimbolis yang memadukan antara perspektif
modernis yang menekankan unsur-unsur kebaruan dalam kebangsaan dengan
perspektif primordialis dan perenialis yang melihat unsur lama dalam
kebangsaan.
Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita
kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam prinsip musyawarah-mufakat,
keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau kekuatan minoritas elit
politik dan pengusaha, tetapi dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang
memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa
pandang bulu.
Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan
serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh artinya sejauh dalam
mewujudkan keadilan sosial. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang
dikehendaki adalah keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu
dan peran manusia sebagai makhluk sosial, juga antara pemenuhan hak sipil,
politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pandangan tersebut berlandaskan pada pemikiran Bierens de Haan
(Soeprapto, Bahar dan Arianto, 1995: 124) yang menyatakan bahwa keadilan
sosial setidak-tidaknya memberikan pengaruh pada usaha menemukan cita negara
bagi bangsa Indonesia yang akan membentuk negara dengan struktur sosial asli
Indonesia. Namun, struktur sosial modern mengikuti perkembangan dan tuntunan
zaman sehingga dapatlah dimengerti apabila para penyusun Undang-Undang
Dasar 1945 berpendapat bahwa cita negara Indonesia (de Indonesische Staatsidee)
haruslah berasal dan diambil dari cita paguyuban masyarakat Indonesia sendiri.
4. Sumber Politis Pancasila sebagai Dasar Negara
Mungkin Anda pernah mengkaji ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) dan di
dalam Pasal 36A jo. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, terkandung makna bahwa
Pancasila menjelma menjadi asas dalam sistem demokrasi konstitusional.
Konsekuensinya, Pancasila menjadi landasan etik dalam kehidupan politik bangsa
Indonesia. Selain itu, bagi warga negara yang berkiprah dalam suprastruktur
politik (sektor pemerintah), yaitu lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, Pancasila merupakan norma
hukum dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik
yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Di sisi lain, bagi setiap warga negara
yang berkiprah dalam infrastruktur politik (sektor masyarakat), seperti organisasi
kemasyarakatan, partai politik, dan media massa, maka Pancasila menjadi kaidah
penuntun dalam setiap aktivitas sosial politiknya. Dengan demikian, sektor
masyarakat akan berfungsi memberikan masukan yang baik kepada sektor
pemerintah dalam sistem politik. Pada gilirannya, sektor pemerintah akan
menghasilkan output politik berupa kebijakan yang memihak kepentingan rakyat
dan diimplementasikan secara bertanggung jawab di bawah kontrol infrastruktur
politik. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud clean government dan good
governance demi terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan
masyarakat yang makmur dalam keadilan (meminjam istilah mantan Wapres
Umar Wirahadikusumah).
D. Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Dasar Negara
1. Argumen tentang Dinamika Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara lahir dan berkembang melalui suatu proses
yang cukup panjang. Pada mulanya, adat istiadat dan agama menjadi kekuatan
yang membentuk adanya pandangan hidup. Setelah Soekarno menggali kembali
nilai-nilai luhur budaya Indonesia, pada 1 Juni 1945 barulah Pancasila disuarakan
menjadi dasar negara yang diresmikan pada 18 Agustus 1945 dengan
dimasukkannya sila-sila Pancasila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan bersumberkan budaya, adat
istiadat, dan agama sebagai tonggaknya, nilai-nilai Pancasila diyakini
kebenarannya dan senantiasa melekat dalam kehidupan bangsa dan negara
Indonesia.
Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia yang ditandai dengan
dibacakannya teks proklamasi pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia sepakat
pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945. Namun, sejak November 1945 sampai menjelang
ditetapkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, pemerintah Indonesia
mempraktikkan sistem demokrasi liberal.
Setelah dilaksanakan Dekrit Presiden, Indonesia kembali diganggu dengan
munculnya paham lain. Pada saat itu, sistem demokrasi liberal ditinggalkan,
perdebatan tentang dasar negara di Konstituante berakhir dan kedudukan
Pancasila diperkuat, tetapi keadaan tersebut dimanfaatkan oleh mereka yang
menghendaki berkembangnya paham haluan kiri (komunis). Puncaknya adalah
peristiwa pemberontakan G30S PKI 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu
berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno yang digantikan oleh pemerintahan
Presiden Soeharto.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ditegaskan bahwa Pancasila
sebagai dasar negara akan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Menyusul
kemudian diterbitkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Namun, pemerintahan Presiden
Soeharto pun akhirnya dianggap menyimpang dari garis politik Pancasila dan
UUD 1945. Beliau dianggap cenderung melakukan praktik liberalisme-kapitalisme
dalam mengelola negara. Pada 1998 muncullah gerakan reformasi yang
mengakibatkan Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden.
Namun, sampai saat ini nampaknya reformasi belum membawa angin segar bagi
dihayati dan diamalkannya Pancasila secara konsekuen oleh seluruh elemen
bangsa. Hal ini dapat dilihat dari abainya para politisi terhadap fatsoen politik yang
berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan perilaku anarkis segelintir masyarakat yang
suka memaksakan kehendak kepada pihak lain.
Pada tahun 2004 sampai sekarang, berkembang gerakan para akademisi dan
pemerhati serta pencinta Pancasila yang kembali menyuarakan Pancasila sebagai
dasar negara melalui berbagai kegiatan seminar dan kongres. Hal tersebut
ditujukan untuk mengembalikan eksistensi Pancasila dan membudayakan nilai-nilai
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa serta menegaskan Pancasila
sebagai dasar negara guna menjadi sumber hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara.
2. Tantangan terhadap Pancasila
Pada era globalisasi dewasa ini, banyak hal yang akan merusak mental dan
nilai moral Pancasila yang menjadi kebanggaan bangsa dan negara Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia perlu waspada dan berupaya agar ketahanan mental
ideologi bangsa Indonesia tidak tergerus. Pancasila harus senantiasa menjadi
benteng moral dalam menjawab tantangan-tantangan terhadap unsur-unsur
kehidupan bernegara, yaitu sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama.
Tantangan yang muncul, antara lain berasal dari derasnya arus pahampaham
yang bersandar pada otoritas materi, seperti liberalisme, kapitalisme,
komunisme, sekularisme, pragmatisme, dan hedonisme, yang menggerus
kepribadian bangsa yang berkarakter nilai-nilai Pancasila. Hal ini pun dapat
dilihat dengan jelas, betapa paham-paham tersebut telah merasuk jauh dalam
kehidupan bangsa Indonesia sehingga melupakan kultur bangsa Indonesia yang
memiliki sifat religius, santun, dan gotong-royong.
Apabila ditarik benang merah terkait dengan tantangan yang melanda
bangsa Indonesia sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi sebagai
berikut.
a. Dilihat dari kehidupan masyarakat, terjadi kegamangan dalam kehidupan
bernegara dalam era reformasi ini karena perubahan sistem pemerintahan yang
begitu cepat termasuk digulirkannya otonomi daerah yang seluas-luasnya, di
satu pihak, dan di pihak lain, masyarakat merasa bebas tanpa tuntutan nilai
dan norma dalam kehidupan bernegara. Akibatnya, sering ditemukan perilaku
anarkisme yang dilakukan oleh elemen masyarakat terhadap fasilitas publik
dan aset milik masyarakat lainnya yang dipandang tidak cocok dengan paham
yang dianutnya. Masyarakat menjadi beringas karena code of conduct yang
bersumber pada nilai-nilai Pancasila mengalami degradasi. Selain itu, kondisi
euforia politik tersebut dapat memperlemah integrasi nasional.
b. Dalam bidang pemerintahan, banyak muncul di ranah publik aparatur
pemerintahan, baik sipil maupun militer yang kurang mencerminkan jiwa
kenegarawanan. Terdapat fenomena perilaku aparatur yang aji mumpung atau
mementingkan kepentingan kelompoknya saja. Hal tersebut perlu segera
dicegah dengan cara meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan
melakukan upaya secara masif serta sistematis dalam membudayakan nilainilai
Pancasila bagi para aparatur negara.
Tantangan terhadap Pancasila sebagaimana yang diuraikan di atas, hanya
merupakan sebagian kecil saja karena tantangan terhadap Pancasila itu seperti
fenomena gunung es, yang tidak terlihat lebih banyak dibandingkan yang muncul
di permukaan. Hal ini menggambarkan bahwa upaya menjawab tantangan tersebut
tidak mudah. Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat harus bahu-membahu
merespon secara serius dan bertanggung jawab guna memperkokoh nilai-nilai
Pancasila sebagai kaidah penuntun bagi setiap warga negara, baik bagi yang
berkiprah di sektor masyarakat maupun di pemerintahan. Dengan demikian,
integrasi nasional diharapkan semakin kokoh dan secara bertahap bangsa
Indonesia dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan negara yang menjadi idaman
seluruh lapisan masyarakat.
E. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara
1. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara
a. Esensi Pancasila sebagai Dasar Negara
Sebagaimana dipahami bahwa Pancasila secara legal formal telah diterima
dan ditetapkan menjadi dasar dan ideologi negara Indonesia sejak 18 agustus 1945.
Penerimaan Pancasila sebagai dasar negara merupakan milik bersama akan
memudahkan semua stakeholder bangsa dalam membangun negara berdasar
prinsip-prinsip konstitusional.
Mahfud M.D. (2009: 16--17) menegaskan bahwa penerimaan Pancasila
sebagai dasar negara membawa konsekuensi diterima dan berlakunya kaidahkaidah
penuntun dalam pembuatan kebijakan negara, terutama dalam politik
hukum nasional. Lebih lanjut, Mahfud M.D. menyatakan bahwa dari Pancasila
dasar negara itulah lahir sekurang-kurangnya 4 kaidah penuntun dalam pembuatan
politik hukum atau kebijakan negara lainnya, yaitu sebagai berikut.
1) Kebijakan umum dan politik hukum harus tetap menjaga integrasi atau
keutuhan bangsa, baik secara ideologi maupun secara teritori.
2) Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya
membangun demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (negara hukum)
sekaligus.
3) Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya
membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia bukanlah
penganut liberalisme, melainkan secara ideologis menganut prismatika antara
individualisme dan kolektivisme dengan titik berat pada kesejahteraan umum
dan keadilan sosial.
4) Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada prinsip
toleransi beragama yang berkeadaban. Indonesia bukan negara agama
sehingga tidak boleh melahirkan kebijakan atau politik hukum yang berdasar
atau didominasi oleh satu agama tertentu atas nama apapun, tetapi Indonesia
juga bukan negara sekuler yang hampa agama sehingga setiap kebijakan atau
politik hukumnya haruslah dijiwai oleh ajaran berbagai agama yang bertujuan
mulia bagi kemanusiaan.
Pancasila sebagai dasar negara menurut pasal 2 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan
Perundangundangan, merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Di sisi
lain, pada penjelasan pasal 2 tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila.
Pancasila adalah substansi esensial yang mendapatkan kedudukan formal
yuridis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republi Indonesia
Tahun 1945. Oleh karena itu, rumusan Pancasila sebagai dasar negara adalah
sebagaimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Perumusan Pancasila yang menyimpang dari pembukaan
secara jelas merupakan perubahan secara tidak sah atas Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Kaelan, 2000: 91--92).
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dapat dirinci sebagai berikut.
1) Pancasila sebagai dasar negara adalah sumber dari segala sumber tertib hukum
Indonesia. Dengan demikian, Pancasila merupakan asas kerohanian hukum
Indonesia yang dalam Pembukaan Undang-Undang Negara Republik
Indonesia dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok pikiran.
2) Meliputi suasana kebatinan (Geislichenhintergrund) dari UUD 1945
3) Mewujudkan cita-cita hukum bagi dasar negara (baik hukum dasar tertulis
maupun tidak tertulis)
4) Mengandung norma yang mengharuskan UUD mengandung isi yang
mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara (termasuk
penyelenggara partai dan golongan fungsional) memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur.
5) Merupakan sumber semangat abadi UUD 1945 bagi penyelenggaraan negara,
para pelaksana pemerintahan. Hal tersebut dapat dipahami karena semangat
tersebut adalah penting bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara karena
masyarakat senantiasa tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan
zaman dan dinamika masyarakat (Kaelan, 2000: 198--199)
Rumusan Pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat
Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila Pancasila
merupakan satu kesatuan yang integral, yang saling mengandaikan dan saling
mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi
diletakkan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi
paham perseorangan dan golongan, selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan
consensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pimpinan MPR
dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 88).
b. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara
Soekarno melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia secara
ringkas tetapi meyakinkan, Pancasila adalah Weltanschauung, satu dasar falsafah,
Pancasila adalah satu alat pemersatu bangsa yang juga pada hakikatnya satu alat
mempersatukan dalam perjuangan melenyapkan segala penyakit yang
telah dilawan berpuluh-puluh tahun, yaitu terutama imperialisme.
Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan
mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak
sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap
bangsa mempunyai cara perjuangan sendiri, mempunyai karakteristik
sendiri. Oleh karena itu, pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai
kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam
kenyataannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya
(Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 94--95).
Untuk memahami urgensi Pancasila sebagai dasar negara, dapat
menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu institusional (kelembagaan) dan human
resourses (personal/sumber daya manusia). Pendekatan institusional yaitu
membentuk dan menyelenggarakan negara yang bersumber pada nilai-nilai
Pancasila sehingga negara Indonesia memenuhi unsur-unsur sebagai negara
modern, yang menjamin terwujudnya tujuan negara atau terpenuhinya
kepentingan nasional (national interest), yang bermuara pada terwujudnya
masyarakat adil dan makmur. Sementara, human resourses terletak pada dua
aspek, yaitu orang-orang yang memegang jabatan dalam pemerintahan (aparatur
negara) yang melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen di
dalam pemenuhan tugas dan tanggung jawabnyasehingga, formulasi kebijakan
negara akan menghasilkan kebijakan yang mengejawantahkan kepentingan rakyat.
Demikian pula halnya pada tahap implementasi yang harus selalu memperhatikan
prinsip-prinsip good governance, antara lain transparan, akuntabel, dan fairness
sehingga akan terhindar dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme); dan warga
negara yang berkiprah dalam bidang bisnis, harus menjadikan Pancasila sebagai
sumber nilai-nilai etika bisnis yang menghindarkan warga negara melakukan free
fight liberalism, tidak terjadi monopoli dan monopsoni; serta warga negara yang
bergerak dalam bidang organisasi kemasyarakatan dan bidang politik
(infrastruktur politik). Dalam kehidupan kemasyarakatan, baik dalam bidang
sosial maupun bidang politik seyogyanya nilai-nilai Pancasila selalu dijadikan
kaidah penuntun. Dengan demikian, Pancasila akan menjadi fatsoen atau etika
politik yang mengarahkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
dalam suasana kehidupan yang harmonis.
Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari sumber hukum sudah
selayaknya menjadi ruh dari berbagai peraturan yang ada di Indonesia.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
ditegaskan dalam alinea keempat terdapat kata berdasarkan yang berarti,
Pancasila merupakan dasar negara kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa nilai-nilai Pancasila
harus menjadi landasan dan pedoman dalam membentuk dan menyelenggarakan
negara, termasuk menjadi sumber dan pedoman dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Hal ini berarti perilaku para penyelenggara negara dalam
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah negara, harus sesuai dengan perundangundangan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Apabila nilai-nilai Pancasila diamalkan secara konsisten, baik oleh
penyelenggara negara maupun seluruh warga negara, maka akan terwujud tata
kelola pemerintahan yang baik. Pada gilirannya, cita-cita dan tujuan negara dapat
diwujudkan secara bertahap dan berkesinambungan.
2. Hubungan Pancasila dengan Proklamasi Kemerdekaan RI
Pada hakikatnya, proklamasi 17 Agustus 1945 bukanlah merupakan tujuan
semata-mata, melainkan merupakan suatu sarana, isi, dan arti yang pada pokoknya
memuat dua hal sebagai berikut.
a. Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, baik pada dirinya sendiri maupun
terhadap dunia luar;
b. Tindakan-tindakan yang segera harus diselenggarakan berhubung dengan
pernyataan kemerdekaan itu (Kaelan, 1993: 62).
Setelah proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, kemudian keesokan
harinya, yaitu 18 Agustus 1945, disusun suatu naskah Undang-Undang Dasar
yang didalamnya memuat Pembukaan. Di dalam Pembukaan UUD 1945 tepatnya
pada alinea ke III terdapat pernyataan kemerdekaan yang dinyatakan oleh
Indonesia, maka dapat ditentukan letak dan sifat hubungan antara Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut.
a. Disebutkan kembali pernyataan kemerdekaan dalam bagian ketiga Pembukaan
menunjukkan bahwa antara Proklamasi dengan Pembukaan merupakan suatu
rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan
b. Ditetapkannya Pembukaan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama
ditetapkannya UUD, Presiden dan Wakil Presiden merupakan realisasi bagian
kedua Proklamasi.
c. Pembukaan hakikatnya merupakan pernyataan kemerdekaan yang lebih rinci
dari adanya cita-cita luhur yang menjadi semangat pendorong ditegakkannya
kemerdekaan, dalam bentuk negara Indonesia merdeka, berdaulat, bersatu,
adil, dan makmur dengan berdasarkan asas kerohanian Pancasila.
d. Dengan demikian, sifat hubungan antara Pembukaan dan Proklamasi, yaitu:
memberikan penjelasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi pada 17
Agustus 1945, memberikan penegasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi
17 Agustus 1945, dan memberikan pertanggungjawaban terhadap
dilaksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945 (Kaelan, 1993: 62--64).
1. Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945
Notonagoro (1982: 24--26) menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar
tidak merupakan peraturan hukum yang tertinggi. Di atasnya, masih ada dasardasar
pokok bagi Undang-Undang Dasar, yang dinamakan pokok kaidah negara
yang fundamental (staatsfundamentalnorm). Lebih lanjut, Notonagoro
menjelaskan bahwa secara ilmiah kaidah negara yang fundamental mengandung
beberapa unsur mutlak, yang dapat dilihat dari dua segi. Maka dapat disimpulkan
bahwa hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai
berikut.
1) Pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat unsur mutlak sebagai
staatsfundamentalnorm. Oleh karena itu, kedudukan Pembukaan merupakan
peraturan hukum yang tertinggi di atas Undang-Undang Dasar. Implikasinya,
semua peraturan perundang-undangan dimulai dari pasal-pasal dalam UUD
1945 sampai dengan Peraturan Daerah harus sesuai dengan Pembukaan UUD
1945.
2) Pancasila merupakan asas kerohanian dari Pembukaan UUD1945 sebagai
staatsfundamentalnorm. Secara ilmiah-akademis, Pembukaan UUD 1945
sebagai staatsfundamentalnorm mempunyai hakikat kedudukan yang tetap,
kuat, dan tak berubah bagi negara yang dibentuk, dengan perkataan lain, jalan
hukum tidak lagi dapat diubah (Notonagoro, 1982: 25).
Dalam kaitan itu, silakan disimak ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1)
sampai ayat (5) UUD 1945 pascaamandemen ke-4, dalam Pasal 37 tersebut hanya
memuat ketentuan perubahan pasal-pasal dalam UUD 1945, tidak memuat
ketentuan untuk mengubah Pembukaan UUD 1945. Hal ini dapat dipahami karena
wakil-wakil bangsa Indonesia yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan
Rakyat memahami kaidah ilmiah, terkait kedudukan Pembukaan UUD 1945 yang
sifatnya permanen sehingga mereka mengartikulasikan kehendak rakyat yang
tidak berkehendak mengubah Pembukaan UUD 1945.
2. Penjabaran Pancasila dalam Pasal-Pasal UUD NRI 1945
Anda tentu mengetahui bahwa setelah Amandemen atau Perubahan ke-4
(dalam 2002), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal (lihat Pasal II Aturan Tambahan UUD
1945). Hal ini berarti bahwa Penjelasan UUD 1945 sudah tidak lagi menjadi
bagian dari ketentuan dalam UUD 1945. Meskipun Penjelasan UUD 1945 sudah
bukan merupakan hukum positif, tetapi penjelasan yang bersifat normatif sudah
dimuat dalam pasal-pasal UUD 1945. Selain itu, dalam tataran tertentu penjelasan
UUD 1945 dapat menjadi inspirasi dalam kehidupan bernegara bagi warga negara.
Terkait dengan penjabaran Pancasila dalam pasal-pasal UUD 1945, silahkan Anda
simak bunyi penjelasan UUD 1945, sebagai berikut.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum
(rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis
(Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang
Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.
Pola pemikiran dalam pokok-pokok pikiran Penjelasan UUD 1945 tersebut,
merupakan penjelmaan dari Pembukaan UUD 1945, Pancasila merupakan asas
kerohanian dari Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm. Apabila
disederhanakan, maka pola pemikiran tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pancasila merupakan asas kerohanian dari Pembukaan UUD 1945 sebagai
staatsfundamentalnorm.
2. Pembukaan UUD 1945 dikristalisasikan dalam wujud Pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
3. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
terjelma dalam pasal-pasal UUD 1945.
Dalam kaitannya dengan penjabaran Pancasila dalam pasal-pasal UUD
1945, perlu Anda ingat kembali uraian terdahulu yang mengemukakan prinsip
bahwa Pancasila merupakan nilai dasar yang sifatnya permanen dalam arti secara
ilmiah-akademis, terutama menurut ilmu hukum, tidak dapat diubah karena
merupakan asas kerohanian atau nilai inti dari Pembukaan UUD 1945 sebagai
kaidah negara yang fundamental. Untuk mengimplementasikan nilai-nilai dasar
Pancasila dalam kehidupan praksis bernegara, diperlukan nilai-nilai instrumental
yang berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan nilai dasar. Adapun nilai
instrumental dari Pancasila sebagai nilai dasar adalah pasal-pasal dalam UUD
1945. Oleh karena itu, kedudukan pasal-pasal berbeda dengan kedudukan
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Implikasinya pasal-pasal dalam UUD 1945
tidak bersifat permanen, artinya dapat diubah berdasarkan ketentuan dalam Pasal
37 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD 1945.
Perlu juga Anda pahami bahwa setiap pasal dalam UUD 1945 tidak
sepenuhnya mengejawantahkan nilai dari suatu sila dalam Pancasila secara utuh.
Di sisi lain, suatu pasal dalam UUD 1945 dapat mencerminkan sebagian nilai
yang terkait dengan beberapa sila dalam Pancasila. Hal tersebut dapat dipahami
karena pasal-pasal UUD 1945 sebagai nilai instrumental dapat terkait dengan satu
bidang kehidupan atau terkait dengan beberapa bidang kehidupan bangsa secara
integral. Di sisi lain, nilai-nilai Pancasila antara nilai sila 1 dengan nilai sila
lainnya tidak terpisah-pisah, melainkan merupakan suatu kesatuan yang utuh dan
harmonis.
Penjabaran Nilai Dasar Pancasila dalam Pasal-Pasal UUD 1945
1. Nilai Sila 1 Pasal 28E ayat (1), Pasal 29, dan pasal lain
2. Nilai Sila 2 Pasal 1 ayat (3), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28F, 28J, dan pasal lain
3. Nilai Sila 3 Pasal 25A, Pasal 27 ayat (3), Pasal 30 ayat (1) sampai dengan ayat
(5), dan pasal lain
4. Nilai Sila 4 Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, Pasal
19, Pasal 22C, Pasal 22E, dan pasal lain
5. Nilai Sila 5 Pasal 23, Pasal 28H, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan
pasal lainnya.
3. Implementasi Pancasila dalam Perumusan Kebijakan
Berdasarkan uraian tersebut, diketahui bahwa konsep implementasi
Pancasila dalam perumusan kebijakan pada berbagai bidang kehidupan negara.
Sudah barang tentu konsep-konsep yang diuraikan berikut ini bukan merupakan
konsep yang mutlak, melainkan merupakan konsep dasar sebagai bahan diskusi.
a. Bidang Politik
Pasti Anda melihat sekumpulan orang atau beberapa orang yang berkumpul dan
membicarakan masalah yang dihadapi daerahnya dengan musyawarah. Seperti
itulah implementasi Pancasila dalam perumusan kebijakan politik terjadi di
lingkungan tempat tinggal. Mereka merumuskan kebijakan bukan dengan suara
terbanyak, melainkan saling memberi dan saling menerima argumen dari peserta
musyawarah. Dengan demikian, kepentingan masyarakat secara keseluruhan akan
lebih diutamakan dalam kebijakan yang dirumuskan.
Implementasi Pancasila dalam perumusan kebijakan pada bidang politik
dapat ditransformasikan melalui sistem politik yang bertumpu kepada asas
kedaulatan rakyat berdasarkan konstitusi, mengacu pada Pasal 1 ayat (2) UUD
1945. Implementasi asas kedaulatan rakyat dalam sistem politik Indonesia, baik
pada sektor suprastruktur maupun infrastruktur politik, dibatasi oleh konstitusi.
Hal inilah yang menjadi hakikat dari konstitusionalisme, yang menempatkan
wewenang semua komponen dalam sistem politik diatur dan dibatasi oleh UUD,
dengan maksud agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh siapapun.
Dengan demikian, pejabat publik akan terhindar dari perilaku sewenang-wenang
dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik, dan sektor
masyarakat pun akan terhindar dari perbuatan anarkis dalam memperjuangkan
haknya.
Beberapa konsep dasar implementasi nilai-nilai Pancasila dalam bidang
politik, dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Sektor Suprastruktur Politik
Adapun yang dimaksud suprastruktur politik adalah semua lembaga-lembaga
pemerintahan, seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga pemerintah
lainnya baik di pusat maupun di daerah. Semua lembaga pemerintah
menjalankan tugas dan fungsinya sesuai batas kewenangan yang ditentukan
dalam UUD dan peraturan perundang-undangan lainnya. Lembaga-lembaga
pemerintah tersebut berfungsi memformulasikan, mengimplementasikan, dan
mengevaluasi kebijakan publik dalam batas kewenangan masing-masing.
Kebijakan publik tersebut harus mengakomodasi input atau aspirasi
masyarakat (melalui infrastruktur politik) sesuai mekanisme atau prosedur
yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam
menentukan substansi, prosedur formulasi, dan implementasi kebijakan publik,
semua lembaga pemerintah harus bertumpu pada nilai-nilai Pancasila sebagai
dasar negara. Di samping substansi, kebijakan publik tersebut harus
merupakan terjemahan atau mengartikulasikan kepentingan masyarakat,
pemerintah juga harus melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi
hak asasi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.
2. Sektor Masyarakat
Pada uraian terdahulu, telah dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
infrastruktur politik, yaitu lembaga-lembaga sosial politik, seperti oganisasi
kemasyarakatan, partai politik, dan media massa. Dalam sistem politik,
infrastruktur politik tersebut berfungsi memberikan masukan kepada suprastruktur
politik dalam menghasilkan kebijakan publik yang menyangkut kepentingan
umum. Fungsi memberikan masukan tersebut mendorong infrastruktur berperan
sebagai interest group dan/atau pressure group. Dapat dibayangkan apabila dalam
proses tersebut tidak ada aturan main, maka akan timbul chaos atau kekacauan di
masyarakat. Dalam kondisi seperti itulah, diperlukan kaidah penuntun yang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila agar dalam proses tersebut tetap terjaga semangat
kekeluargaan dan kegotongroyongan. Nilai-nilai Pancasila akan menuntun
masyarakat ke pusat inti kesadaran akan pentingnya harmoni dalam kontinum
antara sadar terhadap hak asasinya di satu sisi dan kesadaran terhadap kewajiban
asasinya di sisi lain sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28 J ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945. Indikator bahwa seseorang bertindak dalam koridor nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar negara adalah sejauh perilakunya tidak bertentangan
dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Bidang Ekonomi
Bentuk badan usaha dalam sistem ekonomi nasional bukan hanya koperasi,
melainkan juga ada bentuk badan usaha milik perseorangan atau swasta, dan
badan usaha milik negara. Ketiga bentuk badan usaha tersebut diakui
keberadaannya bahkan menempati posisi yang sama pentingnya dalam
meningkatkan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun,
bentuk badan usaha koperasi terkesan mendapat perhatian yang lebih besar
berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Padahal, apabila dicermati ketentuan
dalam Pasal 27 ayat (2), maka terasa bahwa bentuk badan usaha milik swasta juga
menempati kedudukan yang strategis dalam meningkatkan ekonomi nasional dan
kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, apabila dicermati ketentuan dalam Pasal 33 ayat
(2) dan ayat (3) UUD 1945, maka Badan Usaha Milik Negara juga menempati
posisi yang strategis dalam meningkatkan ekonomi nasional dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Selain itu, mengacu kepada ketentuan dalam Pasal 34 ayat
(1), (2), (3), dan ayat (4) UUD 1945, negara Indonesia berkewajiban
mengembangkan sistem jaminan sosial, memberdayakan masyarakat yang lemah,
serta memelihara kelompok marginal, khususnya fakir miskin dan anak terlantar.
Mungkin dalam pemikiran Anda terbersit bahwa ketentuan dalam Pasal 27
ayat (2) terasa paradoks dengan ketentuan dalam Pasal 33 khususnya ayat (1), (2),
(3), dan ayat (4). Kedua prinsip dalam 2 Pasal tersebut ibarat kontinum dari kiri
(sosialisme) ke kanan (kapitalisme/liberalisme), yang di tengahnya ada titik
keseimbangan. Titik keseimbangan tersebut akan ditentukan oleh DPR bersama
Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Inti
dari ketentuan dalam Pasal tersebut adalah bahwa APBN sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Spirit yang terkandung dalam Pasal 33, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33
ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), serta Pasal 34 UUD 1945 adalah ekspresi dari jiwa
nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dalam bidang ekonomi. Keberadaan
ketiga bentuk badan usaha di samping usaha perseorangan, yaitu Badan Usaha
Milik Perseorangan/Swasta, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Negara merupakan
cerminan kepribadian manusia Indonesia yang terpancar terutama dari nilai sila
kelima yang lebih bertumpu pada sosialitas dan sila kedua yang lebih bertumpu
pada individualitas terkait sistem perekonomian nasional. Sudah barang tentu,
prinsip-prinsip nilai sila kelima dan sila kedua dalam sistem perekonomian
tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai sila lainnya dalam Pancasila.
Sebagai bahan pembanding atas uraian tersebut, berikut ini adalah
pandangan Mubyarto dalam Oesman dan Alfian (1993: 240--241) mengenai 5
prinsip pembangunan ekonomi yang mengacu kepada nilai Pancasila, yaitu
sebagai berikut.
1) Ketuhanan Yang Maha Esa, roda perekonomian digerakkan oleh
rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, ada kehendak kuat dari seluruh
masyarakat untuk mewujudkan pemerataan sosial (egalitarian), sesuai asas-asas
kemanusiaan;
3) Persatuan Indonesia, prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah penciptaan
perekonomian nasional yang tangguh. Hal ini berarti nasionalisme menjiwai
setiap kebijaksanaan ekonomi;
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, koperasi merupakan sokoguru perekonomian
dan merupakan bentuk saling konkrit dari usaha bersama;
5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, adanya imbangan yang
jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dan desentralisasi dalam
pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi untuk mencapai keadilan ekonomi dan
keadilan sosial.
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dalam bidang ekonomi
mengidealisasikan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, kebijakan ekonomi nasional harus bertumpu kepada asas-asas
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan peran perseorangan, perusahaan
swasta, badan usaha milik negara, dalam implementasi kebijakan ekonomi.
Selain itu, negara juga harus mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah termasuk fakir
miskin dan anak terlantar, sesuai dengan martabat kemanusiaan sebagaimana
diamanatkan Pasal 34 ayat (1) sampai dengan ayat (4) UUD 1945.
c. Bidang Sosial Budaya
Apakah Anda pernah mencoba menyapu halaman rumah dengan
Sejatinya, masyarakat Indonesia memiliki karakter hidup bergotong
royong sebagaimana disampaikan oleh Bung Karno dalam pidatonya 1 Juni 1945.
Namun akhir-akhir ini, semangat kegotongroyongan di kalangan masyarakat
menunjukkan gejala semakin luntur. Rasa persatuan dan kesatuan bangsa tergerus
oleh tantangan arus globalisasi yang bermuatan nilai individualistik dan
materialistik. Apabila hal ini tidak segera dicegah, bukan tidak mungkin jati diri
bangsa akan semakin terancam. Mengingat karakter masyarakat Indonesia yang
berbhinneka tunggal ika sebagaimana disebutkan dalam Pasal 36 A UUD 1945.
Hal tersebut mengisyaratkan kepada segenap komponen bangsa agar berpikir
konstruktif, yaitu memandang kebhinnekaan masyarakat sebagai kekuatan bukan
sebagai kelemahan, apalagi dianggap sebagai faktor disintegratif, tanpa
menghilangkan kewaspadaan upaya pecah belah dari pihak asing.
Strategi yang harus dilaksanakan pemerintah dalam memperkokoh
kesatuan dan persatuan melalui pembangunan sosial-budaya, ditentukan dalam
Pasal 31 ayat (5) dan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 31 ayat (5) UUD 1945, disebutkan bahwa Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia . Di sisi lain, menurut Pasal 32 ayat (1) UUD 1945, dinyatakan bahwa
Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya. Sejalan dengan hal itu, menurut Pasal 32 ayat (3) UUD
1945, ditentukan bahwa Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional.
Nilai-nilai instrumental Pancasila dalam memperkokoh keutuhan atau
integrasi nasional sebagaimana tersebut di atas, sejalan dengan pandangan ahli
sosiologi dan antropologi, yakni Selo Soemardjan dalam Oesman dan Alfian
(1993:172) bahwa kebudayaan suatu masyarakat dapat berkembang. Mungkin
perkembangannya berjalan lambat, seperti terjadi dalam masyarakat pedesaan
yang kurang sarana untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat lain.
Mungkin juga perkembangan tersebut berjalan cepat, bahkan sering terlampau
cepat, seperti yang terjadi pada masyarakat kota. Perkembangan budaya itu
terdorong oleh aspirasi masyarakat dengan bantuan teknologi. Hanya untuk
sebagian saja perkembangan kebudayaan itu dipengaruhi oleh negara. Dapat
dikatakan, bahwa terdapat hubungan yang saling memengaruhi antara masyarakat
dengan kebudayaannya pada satu pihak dan negara dengan sistem kenegaraannya
pada pihak lain. Apabila kebudayaan masyarakat dan sistem kenegaraan diwarnai
oleh jiwa yang sama, maka masyarakat dan negara itu dapat hidup dengan jaya
dan bahagia. Akan tetapi, apabila antara kedua unsur itu ada perbedaan, bahkan
mungkin bertentangan, kedua-duanya akan selalu menderita, frustrasi, dan rasa
tegang.
Dengan demikian, semua kebijakan sosial budaya yang harus dikembangkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia harus
menekankan rasa kebersamaan dan semangat kegotongroyongan karena gotong
royong merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang konstruktif sehingga budaya
tersebut harus dikembangkan dalam konteks kekinian.
d. Bidang Hankam
Anda sudah akrab dengan istilah bela negara, istilah pertahanan, dan
istilah keamanan negara. Ketiga istilah tersebut terkait dengan pembahasan
mengenai implementasi Pancasila dalam bidang pertahanan keamanan negara.
Anda juga sudah paham bahwa berbicara tentang hal tersebut, sudah barang tentu
harus terkait dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1), (2),
(3), (4), dan ayat (5) UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945, Setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara . Bagi Anda
sebagai warga negara yang baik, bela negara bukan hanya dilihat sebagai
kewajiban, melainkan juga merupakan kehormatan dari negara. Bela negara dapat
didefinisikan sebagai segala sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh
kecintaannya kepada tanah air dan bangsa, dalam menjaga kelangsungan hidup
bangsa dan negara berdasarkan Pancasila guna mewujudkan tujuan nasional.
Wujud keikutsertaan warga negara dalam bela negara dalam keadaan damai
banyak bentuknya, aplikasi jiwa pengabdian sesuai profesi pun termasuk bela
negara. Semua profesi merupakan medan juang bagi warga negara dalam bela
negara sepanjang dijiwai semangat pengabdian dengan dasar kecintaan kepada
tanah air dan bangsa. Hal ini berarti pahlawan tidak hanya dapat lahir melalui
perjuangan fisik dalam peperangan membela kehormatan bangsa dan negara,
tetapi juga pahlawan dapat lahir dari segala kegiatan profesional warga negara.
Misalnya, dalam bidang pendidikan dapat lahir pahlawan pendidikan, dalam
bidang olah raga dikenal istilah pahlawan olah raga, demikian pula dalam bidang
ekonomi, teknologi, kedokteran, pertanian, dan lain-lain dapat lahir pahlawanpahlawan nasional. Bela negara dalam konteks khusus perjuangan fisik, terkait
dengan istilah pertahanan dan keamanan. Upaya pembangunan pertahanan adalah
daya upaya bangsa dalam membangun dan menggunakan kekuatan nasional untuk
mengatasi ancaman dari luar negeri dan ancaman lainnya yang dapat mengganggu
integritas nasional. Adapun yang dimaksud dengan pembangunan bidang keamanan
adalah daya upaya bangsa dalam membangun dan menggunakan kekuatan
nasional untuk mengatasi ancaman dari dalam negeri serta ancaman terhadap
keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum.
Sebagaimana dikemukakan pada uraian di atas, bahwa implementasi nilainilai
Pancasila dalam bidang pertahanan dan keamanan, terkait dengan nilai-nilai
instrumental sebagaimana terkandung dalam Pasal 30 ayat (1), (2), (3), (4), dan
ayat (5) UUD 1945. Prinsip-prinsip yang merupakan nilai instrumental Pancasila
dalam bidang pertahanan dan keamanan sebagaimana terkandung dalam Pasal 30
UUD 1945 dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Kedudukan warga negara dalam pertahanan dan keamanan
Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945, Tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara .
2. Sistem pertahanan dan keamanan
Adapun sistem pertahanan dan keamanan yang dianut adalah sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang lazim disingkat Sishankamrata.
Dalam Sishankamrata, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan kekuatan utama, sedangkan
rakyat sebagai kekuatan pendukung.
3. Tugas pokok TNI
TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sebagai
alat negara dengan tugas pokok mempertahankan, melindungi, dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara.
4. Tugas pokok POLRI
POLRI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat masyarakat, mempunyai tugas pokok melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kelangsungan hidup bangsa dan
negara bukan hanya tanggung jawab TNI dan POLRI, melainkan juga merupakan
tanggung jawab seluruh warga negara, tidak terkecuali Anda. Bukankah Anda
sepakat bahwa asas politik negara Indonesia adalah kedaulatan rakyat yang dapat
dimaknai bahwa negara Indonesia milik seluruh warga negara, termasuk Anda.
Ibaratnya, negara Indonesia adalah rumah Anda, siapakah yang bertanggung
jawab menjaga keselamatan rumah dengan segala isinya, sudah barang tentu Anda
sepakat bahwa yang bertanggung jawab adalah seluruh pemilik rumah tersebut.
Berdasarkan analogi rumah tersebut, maka logis apabila seluruh warga negara
merasa bertanggung jawab dalam bidang pertahanan dan keamanan negara.
BAB IV
PANCASILA MENJADI IDEOLOGI NEGARA
Pada Bab IV ini Anda akan diajak menelusuri berbagai konsep tentang
ideologi negara. Hal ini sangat penting karena ideologi merupakan seperangkat
sistem yang diyakini setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Anda tentu mengetahui bahwa setiap sistem keyakinan
itu terbentuk melalui suatu proses yang panjang karena ideologi melibatkan
berbagai sumber seperti kebudayaan, agama, dan pemikiran para tokoh.
Ideologi yang bersumber dari kebudayaan, artinya berbagai komponen budaya
yang meliputi: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian
hidup, sistem teknolog dan peralatan, sebagaimana diungkapkan
Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (2004:
2.), memengaruhi dan berperan dalam membentuk ideologi suatu bangsa. Perlu
diketahui bahwa ketika suatu ideologi bertitik tolak dari komponen-komponen
budaya yang berasal dari sifat dasar bangsa itu sendiri, maka pelaku-pelaku
ideologi, yakni warga negara, lebih mudah melaksanakannya. Para pelaku
ideologi merasa sudah akrab, tidak asing lagi dengan nilai-nilai yang terdapat
dalam ideologi yangdiperkenalkan dan diajukan kepada mereka.
Perlu diketahui juga bahwa agama dapat menjadi sumber bagi suatu Ideologi.
Di saat ideologi bersumber dari agama, maka akan ditemukan suatu bentuk negara
teokrasi, yakni sistem pemerintahan negara yang berlandaskan pada nilai-nilai
agama tertentu. Apabila suatu negara bercorak teokrasi, maka pada umumnya
segala bentuk peraturan hukum yang berlaku di negara tersebut berasal dari
doktrin agama tertentu. Demikian pula halnya, dengan pemimpin negara teokrasi
pada umumnya adalah pemimpin agama. Dalam rumusan bahasa yang sederhana,
dapat diberikan rumusan tentang negara teokrasi sebagai berikut. NT = HA + PA
(Negara Teokrasi = Hukum Agama + Pemimpin Agama). Pada zaman dahulu,
banyak negara yang bercorak teokrasi, seperti kerajaan-kerajaan di Cina, Jepang,
bahkan Indonesia pada zaman kerajaan. Dewasa ini, bentuk negara teokrasi masih
menyisakan beberapa negara di antaranya ialah negara Vatikan.
Bagaimana pula halnya dengan ideologi yang bersumber dari pemikiran para tokoh?
Marxisme termasuk salah satu di antara aliran ideologi (mainstream) yang
berasal dari pemikiran tokoh atau filsuf Karl Marx. Pengaruh ideologi Marxisme
masih terasa sampai sekarang di beberapa negara, walaupun hanya menyisakan
segelintir negara, seperti Korea Utara, Kuba, Vietnam. Bahkan Cina pernah
berjaya menggunakan ideologi Marxis di zaman Mao Ze Dong, meskipun
sekarang bergeser menjadi semiliberal, demikian pula halnya dengan Rusia.
Dewasa ini, ideologi berkembang ke dalam bidang kehidupan yang lebih
luas, seperti ideologi pasar dan ideologi agama. Ideologi pasar berkembang dalam
kehidupan modernsehingga melahirkan sikap konsumtif; sedangkan ideologi
agama berkembang ke arah radikalisme agama.
Berkomitmen menjalankan ajaran agama dalam konteks Indonesia yang
berdasar pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
taat beragama dalam kehidupan individu, bermasyarakat, berbangsa,
bernegara dan dalam pengembangan keilmuan serta kehidupan akademik
dan profesinya; mengembangkan karakter Pancasilais yang teraktualisasi
dalam sikap jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah
lingkungan, gotong royong, cinta damai, responsif dan proaktif;
menganalisis ideologi besar dunia dan ideologi-ideologi baru yang muncul
dan menjelaskan Pancasila sebagai ideologi yang cocok untuk Indonesia;
menalar perbedaan pandangan tentang beragam ideologi dan membangun
pemahaman yang kuat tentang ideologi Pancasila.
A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara
1. Konsep Pancasila sebagai Ideologi Negara
Masih ingatkah Anda, apa yang dimaksud dengan ideologi? Mungkin
Anda pernah membaca atau mendengar pengertian ideologi. Istilah ideologi
berasal dari kata idea, yang artinya gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita;
dan logos yang berarti ilmu. Ideologi secara etimologis, artinya ilmu tentang
ide-ide (the science of ideas), atau ajaran tentang pengertian dasar (Kaelan,
2013: 60--61).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi didefinisikan sebagai
kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan
arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Ideologi juga diartikan sebagai cara
berpikir seseorang atau suatu golongan. Ideologi dapat diartikan paham, teori,
dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2008: 517). Dalam pengertian tersebut, Anda dapat menangkap
beberapa komponen penting dalam sebuah ideologi, yaitu sistem, arah, tujuan,
cara berpikir, program, sosial, dan politik.
Sejarah konsep ideologi dapat ditelusuri jauh sebelum istilah tersebut
digunakan Destutt de Tracy pada penghujung abad kedelapanbelas. Tracy
menyebut ideologi sebagai science of ideas, yaitu suatu program yang
diharapkan dapat membawa perubahan institusional bagi masyarakat Perancis.
Namun, Napoleon mengecam istilah ideologi yang dianggapnya suatu khayalan
belaka, yang tidak mempunyai arti praktis. Hal semacam itu hanya impian
belaka yang tidak akan ditemukan dalam kenyataan (Kaelan, 2003: 113). Jorge
Larrain menegaskan bahwa konsep ideologi erat hubungannya dengan
perjuangan pembebasan borjuis dari belenggu feodal dan mencerminkan sikap
pemikiran modern baru yang kritis. Niccolo Machiavelli (1460--1520)
merupakan pelopor yang membicarakan persoalan yang secara langsung
berkaitan dengan fenomena ideologi. Machiavelli mengamati praktik politik
para pangeran, dan mengamati pula tingkah laku manusia dalam politik,
meskipun ia tidak menggunakan istilah ideology sama sekali. Ada tiga aspek
dalam konsep ideologi yang dibahas Machiavelli, yaitu agama, kekuasaan, dan
dominasi. Machiavelli melihat bahwa orang-orang sezamannya lebih dahulu
memperoleh kebebasan, hal tersebut lantaran perbedaan yang terletak dalam
pendidikan yang didasarkan pada perbedaan konsepsi keagamaan. Larrain
menyitir pendapat Machiavelli sebagai berikut.
Agama kita lebih memuliakan orang-orang yang rendah hati dan tafakur
daripada orang-orang yang bekerja. Agamalah yang menetapkan kebaikan
tertinggi manusia dengan kerendahan hati, pengorbanan diri dan sikap
memandang rendah untuk hal-hal keduniawian. Pola hidup ini karenanya
tampak membuat dunia itu lemah, dan menyerahkan diri sebagai mangsa
bagi mereka yang jahat, yang menjalankannya dengan sukses dan aman,
karena mereka itu sadar bahwa orang-orang yang menjadikan surga
sebagai tujuan pada umumnya beranggapan bertahan itu lebih baik
daripada membalas dendam, terhadap perbuatan mereka yang tidak adil
(Larrain, 1996: 9).
Sikap semacam itulah yang menjadikan Machiavelli menghubungkan
antara ideologi dan pertimbangan mengenai penggunaan kekuatan dan tipu daya
untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan. Para penguasa
pangeran
harus belajar mempraktikkan tipuan, karena kekuatan fisik saja tidak
pernah mencukupi. Machiavelli menengarai bahwa hampir tidak ada orang
berbudi yang memperoleh kekuasaan besar hanya dengan menggunakan kekuatan
yang terbuka dan tidak berkedok , kekuasaan dapat dikerjakan dengan
baik, hanya dengan tipuan. Machiavelli melanjutkan analisisnya tentang
kekuasaan dengan mengatakan bahwa meskipun menjalankan kekuasaan
memerlukan kualifikasi yang baik, seperti menepati janji, belas kasihan, tulus
ikhlas. Penguasa tidak perlu memiliki semua persyaratan itu, tetapi dia harus
tampak secara meyakinkan memiliki kesemuanya itu (Larrain, 1996:
9).Ungkapan Machiavelli tersebut dikenal dengan istilah adagium, tujuan
menghalalkan segala macam cara .
Marx melanjutkan dan mengembangkan konsep ideologi Machiavelli yang
menonjolkan perbedaan antara penampilan dan realita dalam pengertian baru.
Ideologi bagi Marx, tidak timbul sebagai penemuan yang memutar balik realita,
dan juga tidak sebagai hasil dari realita yang secara objektif gelap (kabur) yang
menipu kesadaran pasif (Larrain, 1996: 43). Marx mengandaikan bahwa
kesadaran tidak menentukan realitas, tetapi realitas materiallah yang menentukan
kesadaran. Realitas material itu adalah cara-cara produksi barang dalam kegiatan
kerja (Hardiman, 2007: 241). Ideologi timbul dari cara kerja material yang
terbatas . Hal ini memunculkan hubungan yang saling bertentangan dengan
berbagai akibatnya. Marx mengajarkan bahwa tesis dari dialektika materialis
yang dikembangkannya adalah masyarakat agraris yang di dalamnya kaum
feodal pemilik tanah sebagai kelas penguasa dan petani penggarap sebagai kelas
yang tertindas. Antitesisnya adalah masyarakat kapitalis, di dalamnya modal
dikuasai oleh kaum borjuis penguasa, sedangkan pekerja atau proletar adalah
kelas yang tertindas. Sintesisnya adalah di dalam masyarakat komunis, tidak ada
lagi kelas penguasa (feodal/borjuis) dan yang dikuasai (proletar) (Larrain, 1996:
43).
Selanjutnya, Anda perlu mengenal beberapa tokoh atau pemikir Indonesia
yang mendefinisikan ideologi sebagai berikut.
a. Sastrapratedja (2001: 43): Ideologi adalah seperangkat gagasan/pemikiran yang
berorientasi pada tindakan dan diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur .
b. Soerjanto (1991: 47): Ideologi adalah hasil refleksi manusia berkat
kemampuannya menjaga jarak dengan dunia kehidupannya .
c. Mubyarto (1991: 239): Ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan, dan
simbol-simbol sekelompok masyarakat atau suatu bangsa yang menjadi pegangan
dan pedoman kerja (atau perjuangan) untuk mencapai tujuan masyarakat atau
bangsa itu .
Selanjutnya, untuk melengkapi definisi tersebut perlu Anda ketahui juga
beberapa teori ideologi yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh pemikir ideologi
sebagai berikut.
a. Martin Seliger: Ideologi sebagai sistem kepercayaan
Ideologi adalah sekumpulan kepercayaan dan penolakan yang
diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang bernilai yang dirancang untuk
melayani dasar-dasar permanen yang bersifat relatif bagi sekelompok
orang. Ideologi dipergunakan untuk membenarkan kepercayaan yang didasarkan
atas norma-norma moral dan sejumlah kecil pembuktian faktual dan koherensi
legitimasi yang rasional dari penerapan preskripsi teknik. Hal tersebut dimaksudkan
untuk menjamin atau memastikan tindakan yang disetujui bersama untuk
pemeliharaan, pembentukan kembali, destruksi atau rekonstruksi dari suatu tatanan
yang telah tersedia.
Martin Seliger, lebih lanjut menjelaskankan bahwa ideologi sebagai sistem
kepercayaan didasarkan pada dua hal, yaitu ideologi fundamental dan
ideologi operatif (Thompson, 1984: 79). Ideologi fundamental meletakkan
preskripsi moral pada posisi sentral yang didukung oleh beberapa unsur,
yang meliputi: deskripsi, analisis, preskripsi teknis, pelaksanaan, dan
penolakan. Ideologi operatif meletakkan preskripsi teknis pada posisi
sentral dengan unsur-unsur pendukung, meliputi: deskripsi, analisis,
preskripsi moral, pelaksanaan, dan penolakan. Adapun perbedaan di antara
kedua ideologi ini digambarkan sebagai berikut (Thompson, 1984: 80).
Kedua bentuk ideologi tersebut mengandung konsekuensi yang berbeda
dalam penerapannya.
b. Alvin Gouldner: Ideologi sebagai Proyek Nasional
Gouldner mengatakan bahwa ideologi merupakan sesuatu yang
muncul dari suatu cara baru dalam wacana politis. Wacana tersebut
melibatkan otoritas atau tradisi atau retorika emosi. Lebih lanjut, Gouldner
mengatakan bahwa ideologi harus dipisahkan dari kesadaran mitis dan religius,
sebab ideologi itu merupakan suatu tindakan yang didukung nilainilai
logis dan dibuktikan berdasarkan kepentingan sosial. Gouldner juga
mengatakan bahwa kemunculan ideologi itu tidak hanya dihubungkan
dengan revolusi komunikasi, tetapi juga dihubungkan dengan revolusi
industri yang pada gilirannya melahirkan kapitalisme (Thompson, 1984:
85--86).
c. Paul Hirst: Ideologi sebagai Relasi Sosial
Hirst meletakkan ideologi di dalam kalkulasi dan konteks politik. Hirst
menegaskan bahwa ideologi merupakan suatu sistem gagasan politis yang
dapat digunakan dalam perhitungan politis. Lebih lanjut, Hirst menegaskan
bahwa penggunaan istilah ideologi mengacu kepada kompleks nirkesatuan
(non-unitary) praktik sosial dan sistem perwakilan yang
mengandung konsekuensi dan arti politis (Thompson, 1984:94-95).
Untuk lebih memperdalam pemahaman, berikut ini beberapa corak
ideologi .
a. Seperangkat prinsip dasar sosial politik yang menjadi pegangan
kehidupan sosial politik yang diinkorporasikan dalam dokumen
resmi negara.
b. Suatu pandangan hidup yang merupakan cara menafsirkan realitas
serta mengutamakan nilai tertentu yang memengaruhi kehidupan
sosial, politik, budaya.
c. Suatu model atau paradigma tentang perubahan sosial yang tidak
dinyatakan sebagai ideologi, tetapi berfungsi sebagai ideologi,
misalnya ideologi pembangunan.
d. Berbagai aliran pemikiran yang menonjolkan nilai tertentu yang
menjadi pedoman gerakan suatu kelompok (Sastrapratedja, 2001: 45-46).
Beberapa fungsi ideologi sebagai berikut.
a. Struktur kognitif; keseluruhan pengetahuan yang dapat menjadi
landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia, serta kejadiankejadian
di lingkungan sekitarnya.
b. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna
serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
c. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang
untuk melangkah dan bertindak.
d. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya
e. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang
untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
f. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami,
menghayati serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi
dan norma-norma yang terkandung di dalamnya (Soerjanto, 1991: 48).
Untuk mengetahui posisi ideologi Pancasila di antara ideologi besar dunia, maka
Anda perlu mengenal beberapa jenis ideologi dunia sebagai berikut.
a. Marxisme-Leninisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif
evolusi sejarah yang didasarkan pada dua prinsip; pertama,penentu akhir dari
perubahan sosial adalah perubahan dari cara produksi; kedua, proses perubahan
sosial bersifat dialektis.
b. Liberalisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif kebebasan
individual, artinya lebih mengutamakan hak-hak individu.
c. Sosialisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif
kepentingan masyarakat, artinya negara wajib menyejahterakan
seluruh masyarakat atau yang dikenal dengan kosep welfare state.
d. Kapitalisme; suatu paham yang memberi kebebasan kepada setiap individu untuk
menguasai sistem pereknomian dengan kemampuan modal yang ia miliki
(Sastrapratedja, 2001: 50
69).
2. Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara
Setelah Anda menelusuri berbagai pengertian, unsur, dan jenis-jenis
ideologi, maka terlihat bahwa Pancasila sebagai ideologi negara menghadapi
berbagai bentuk tantangan. Salah satu tantangan yang paling dominan dewasa
ini adalah globalisasi. Globalisasi merupakan era salingketerhubungan antara
masyarakat suatu bangsa dan masyarakat bangsa yang lain sehingga
masyarakat dunia menjadi lebih terbuka. Dengan demikian, kebudayaan
global terbentuk dari pertemuan beragam kepentingan yang mendekatkan
masyarakat dunia. Sastrapratedja menengarai beberapa karakteristik
kebudayaan global sebagai berikut.
a.Berbagai bangsa dan kebudayaan menjadi lebih terbuka terhadap pengaruh
timbal balik.
b. Pengakuan akan identitas dan keanekaragaman masyarakat dalam
berbagai kelompok dengan pluralisme etnis dan religius.
c.Masyarakat yang memiliki ideologi dan sistem nilai yang berbeda
bekerjasama dan bersaing sehingga tidak ada satu pun ideologi yang
dominan.
d. Kebudayaan global merupakan sesuatu yang khas secara utuh, tetapi
tetap bersifat plural dan heterogen.
e.Nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), kebebasan, demokrasi menjadi nilainilai
yang dihayati bersama, tetapi dengan interpretasi yang berbedabeda
(Sastrapratedja, 2001: 26--27).
Berdasarkan karakteristik kebudayaan global tersebut, maka perlu
ditelusuri fase-fase perkembangan globalisasi sebagai bentuk tantangan terhadap
ideologi Pancasila. Adapun fase-fase perkembangan globalisasi itu adalah
sebagai berikut.
a. Fase embrio; berlangsung di Eropa dari abad ke-15 sampai abad ke-18
dengan munculnya komunitas nasional dan runtuhnya sistem transnasional
Abad Tengah.
b. Fase pertumbuhan yang meliputi abad ke-18 dengan ciri pergeseran
kepada gagasan negara kesatuan, kristalisasi konsep hubungan
internasional, standarisasi konsep kewarganegaraan.
c. Fase take off yang berlangsung dari 1870 sampai pertengahan 1920 yang
ditandai dengan diterimanya konsep baru tentang negara kebangsaan,
identitas dan kepribadian nasional, mulai masuknya negara-negara nonEropa ke dalam masyarakat internasional
d. Fase perjuangan hegemoni yang dimulai 1920 sampai dengan pertengahan
1960 yang ditandai dengan meningkatnya konflik internasional dan ideologis, seperti
kapitalisme, sosialisme, fasisme, dan nazisme, dan
jatuhnya bom atom yang menggugah pikiran tentang masa depan manusia
yang diikuti terbentuknya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
e. Fase ketidakpastian; berlangsung dari 1960--1990 ditandai dengan
munculnya gagasan dunia ketiga, proliferasi nuklir, konsepsi individu
menjadi lebih kompleks, hak-hak kewarganegaraan semakin tegas
dirumuskan, berkembangnya media global yang semakin canggih.
f. Fase kebudayaan global; fase ini ditandai oleh perubahan radikal di
Eropah Timur dan Uni Soviet (runtuhnya dominasi komunisme di
beberapa negara), berakhirnya perang dingin, dan melemahnya konfrontasi
ideologi (Sastrapratedja, 2001: 49
50).
B. Pancasila sebagai Ideologi Negara
1. Warga Negara Memahami dan Melaksanakan Pancasila sebagai Ideologi
Negara
Sebagai warga negara, Anda perlu memahami kedudukan Pancasila
sebagai ideologi negara karena ideologi Pancasila menghadapi tantangan dari
berbagai ideologi dunia dalam kebudayaan global. Pada bagian ini, perlu
diidentifikasikan unsur-unsur yang memengaruhi ideologi Pancasila sebagai
berikut:
a.Unsur ateisme yang terdapat dalam ideologi Marxisme atau komunisme
bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Unsur individualisme dalam liberalisme tidak sesuai dengan prinsip nilai
gotong royong dalam sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
c.Kapitalisme yang memberikan kebebasan individu untuk menguasai
sistem perekonomian negara tidak sesuai dengan prinsip ekonomi
kerakyatan.
Pancasila sebagai ideologi, selain menghadapi tantangan dari ideologiideologi
besar dunia juga menghadapi tantangan dari sikap dan perilaku kehidupan yang
menyimpang dari norma-norma masyarakat umum. Tantangan itu meliputi, antara
lain terorisme dan narkoba. Sebagaimana yang telah diinformasikan oleh berbagai
media masa bahwa terorisme dan narkoba merupakan ancaman terhadap
keberlangsungan hidup bangsa Indonesia dan ideologi negara. Beberapa unsur
ancaman yang ditimbulkan oleh aksi terorisme, antara lain:
a. Rasa takut dan cemas yang ditimbulkan oleh bom bunuh diri mengancam
keamanan negara dan masyarakat pada umumnya
b. Aksi terorisme dengan ideologinya menebarkan ancaman terhadap
kesatuan bangsa sehingga mengancam disintegrasi bangsa.
c. Aksi terorisme menyebabkan investor asing tidak berani menanamkan
modal di Indonesia dan wisatawan asing enggan berkunjung ke
Indonesiasehingga mengganggu pertumbuhan perekonomian negara.
Beberapa unsur ancaman yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkoba
meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Penyalahgunaan narkoba di kalangan generasi muda dapat merusak masa
depan mereka sehingga berimplikasi terhadap keberlangsungan hidup
bernegara di Indonesia.
b. Perdagangan dan peredaran narkoba di Indonesia dapat merusak reputasi
negara Indonesia sebagai negara yang berlandaskan pada nilai-nilai
Pancasila
c. Perdagangan narkoba sebagai barang terlarang merugikan sistem
perekonomian negara Indonesia karena peredaran illegal tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
2. Penyelenggara Negara Memahami dan Melaksanakan Pancasila sebagai
Ideologi Negara
Perlu diketahui bahwa selain warga negara, penyelenggara negara merupakan kunci
penting bagi sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa sehingga aparatur
negara juga harus memahami dan melaksanakan Pancasila sebagai ideologi negara
secara konsisten. Magnis Suseno menegaskan bahwa pelaksanakan ideologi
Pancasila bagi penyelenggara negara merupakan suatu orientasi kehidupan
konstitusional. Artinya, ideologi Pancasila dijabarkan ke dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Ada beberapa unsur penting dalam kedudukan Pancasila
sebagai orientasi kehidupan konstitusional.
a. Kesediaan untuk saling menghargai dalam kekhasan masing-masing,
artinya adanya kesepakatan untuk bersama-sama membangun negara
Indonesia, tanpa diskriminasi sehingga ideologi Pancasila menutup pintu
untuk semua ideologi eksklusif yang mau menyeragamkan masyarakat
menurut gagasannya sendiri. Oleh karena itu, pluralisme adalah nilai dasar
Pancasila untuk mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini berarti bahwa
Pancasila harus diletakkan sebagai ideologi yang terbuka.
b. Aktualisasi lima sila Pancasila, artinya sila-sila dilaksanakan dalam
kehidupan bernegara sebagai berikut:
(1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dirumuskan untuk menjamin tidak adanya
diskriminasi atas dasar agama sehingga negara harus menjamin kebebasan
beragama dan pluralisme ekspresi keagamaan.
(2) Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menjadi operasional dalam jaminan
pelaksanaan hak-hak asasi manusia karena hal itu merupakan tolok ukur
keberadaban serta solidaritas suatu bangsa terhadap setiap warga negara.
(3) Sila Persatuan Indonesia menegaskan bahwa rasa cinta pada bangsa
Indonesia tidak dilakukan dengan menutup diri dan menolak mereka
yang di luar Indonesia, tetapi dengan membangun hubungan timbal
balik atas dasar kesamaan kedudukan dan tekad untuk menjalin
kerjasama yang menjamin kesejahteraan dan martabat bangsa
Indonesia
(4) Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan berarti komitmen terhadap demokrasi
yang wajib disukseskan.
(5) Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia berarti
pengentasan kemiskinan dan diskriminasi terhadap minoritas dan
kelompok-kelompok lemah perlu dihapus dari bumi Indonesia
(Magnis Suseno, 2011: 118--121).
C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai
Ideologi Negara
1. Sumber historis Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pada bagian ini, akan ditelusuri kedudukan Pancasila sebagai ideologi oleh
para penyelenggara negara yang berkuasa sepanjang sejarah negara Indonesia:
a. Pancasila sebagai ideologi negara dalam masa pemerintahan presiden
Soekarno
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, Pancasila ditegaskan sebagai
pemersatu bangsa. Penegasan ini dikumandangkan oleh Soekarno dalam
berbagai pidato politiknya dalam kurun waktu 1945--1960. Namun seiring
dengan perjalanan waktu, pada kurun waktu 1960--1965, Soekarno lebih
mementingkan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme)
sebagai landasan politik bagi bangsa Indonesia.
b. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan presiden Soeharto
Pada masa pemerintahan presiden Soeharto, Pancasila dijadikan sebagai
asas tunggal bagi Organisasi Politik dan Organisasi Kemasyarakatan.
Periode ini diawali dengan keluarnya TAP MPR No.II/1978 tentang
pemasyarakatan nilai-nilai Pancasila. TAP MPR ini menjadi landasan bagi
dilaksanakannya penataran P-4 bagi semua lapisan masyarakat. Akibat
dari cara-cara rezim dalam memasyarakatkan Pancasila memberi kesan bahwa
tafsir ideologi Pancasila adalah produk rezim Orde Baru (mono tafsir ideologi) yang
berkuasa pada waktu itu.
c. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan presiden Habibie
Presiden Habibie menggantikan presiden Soeharto yang mundur pada 21
Mei 1998, atas desakan berbagai pihak Habibie menghapus penataran P-4.
Pada masa sekarang ini, resonansi Pancasila kurang bergema karena
pemerintahan Habibie lebih disibukkan masalah politis, baik dalam negeri
maupun luar negeri. Di samping itu, lembaga yang bertanggungjawab
terhadap sosialisasi nilai-nilai Pancasila dibubarkan berdasarkan Keppres
No. 27 tahun 1999 tentang pencabutan Keppres No. 10 tahun 1979 tentang
Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (BP-7). Sebenarnya, dalam Keppres tersebut
dinyatakan akan dibentuk lembaga serupa, tetapi lembaga khusus yang
mengkaji, mengembangkan, dan mengawal Pancasila hingga saat ini
belum ada.
d. Pancasila sebagai Ideologi dalam masa pemerintahan presiden Abdurrahman
Wahid.
Pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid muncul wacana
tentang penghapusan TAP NO.XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan PKI
dan penyebarluasan ajaran komunisme. Di masa ini, yang lebih dominan
adalah kebebasan berpendapat sehingga perhatian terhadap ideologi
Pancasila cenderung melemah.
e. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan presiden Megawati.
Pada masa ini, Pancasila sebagai ideologi semakin kehilangan
formalitasnya dengan disahkannya Undang-Undang SISDIKNAS No. 20
tahun 2003 yang tidak mencantumkan pendidikan Pancasila sebagai mata
pelajaran wajib dari tingkat Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi.
f. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY)
Pemerintahan SBY yang berlangsung dalam dua periode dapat dikatakan
juga tidak terlalu memperhatikan pentingnya Pancasila sebagai ideologi
negara. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya upaya untuk membentuk
suatu lembaga yang berwenang untuk menjaga dan mengawal Pancasila
sebagai dasar negara dan ideologi negara sebagaimana diamanatkan oleh
Keppres No. 27 tahun 1999. Suasana politik lebih banyak ditandai dengan
pertarungan politik untuk memperebutkan kekuasaan atau meraih suara
sebanyak-banyaknya dalam pemilu. Mendekati akhir masa jabatannya,
Presiden SBY menandatangani Undang-Undang RI No. 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi yang mencantumkan mata kuliah Pancasila
sebagai mata kuliah wajib pada pasal 35 ayat (3).
Habibie dalam pidato 1 Juni 2011, mengemukakan bahwa salah
satu faktor penyebab dilupakannya Pancasila di era reformasi ialah
sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan
kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat
generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya
sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang
baru, berimplikasi pada munculnya amnesia nasional' tentang pentingnya
kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu
menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga negara yang
plural.
2. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pada bagian ini, akan dilihat Pancasila sebagai ideologi negara berakar
dalam kehidupan masyarakat. Unsur-unsur sosiologis yang membentuk Pancasila
sebagai ideologi negara meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat ditemukan dalam kehidupan
beragama masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk kepercayaan dan
keyakinan terhadap adanya kekuatan gaib.
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dapat ditemukan dalam hal
saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain, tidak bersikap
sewenang-wenang.
c. Sila Persatuan Indonesia dapat ditemukan dalam bentuk solidaritas, rasa
setia kawan, rasa cinta tanah air yang berwujud pada mencintai produk
dalam negeri.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dapat ditemukan dalam bentuk menghargai
pendapat orang lain, semangat musyawarah dalam mengambil keputusan.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin dalam sikap
suka menolong, menjalankan gaya hidup sederhana, tidak menyolok atau
berlebihan.
3. Sumber Politis Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pada bagian ini, mahasiswa diajak untuk melihat Pancasila sebagai ideologi
negara dalam kehidupan politik di Indonesia. Unsur-unsur politis yang
membentuk Pancasila sebagai ideologi negara meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa diwujudkan dalam bentuk semangat
toleransi antarumat beragama.
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab diwujudkan penghargaan
terhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
c. Sila Persatuan Indonesia diwujudkan dalam mendahulukan kepentingan
bangsa dan negara daripada kepentingan kelompok atau golongan,
termasuk partai.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan diwujudkan dalam mendahulukan
pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah daripada voting.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia diwujudkan dalam
bentuk tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) untuk
memperkaya diri atau kelompok karena penyalahgunaan kekuasaan itulah
yang menjadi faktor pemicu terjadinya korupsi.
D. Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Ideologi Negara
1. Dinamika Pancasila sebagai Ideologi Negara
Dinamika Pancasila sebagai ideologi negara dalam sejarah bangsa
Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dalam pelaksanaan nilai-nilai
Pancasila. Pancasila sebagai ideologi negara dalam masa pemerintahan
presiden Soekarno; sebagaimana diketahui bahwa Soekarno termasuk salah
seorang perumus Pancasila, bahkan penggali dan memberi nama untuk dasar
negara. Dalam hal ini, Soekarno memahami kedudukan Pancasila sebagai
ideologi negara. Namun dalam perjalanan pemerintahannya, ideologi
Pancasila mengalami pasang surut karena dicampur dengan ideologi
komunisme dalam konsep Nasakom.
Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan presiden Soeharto
diletakkan pada kedudukan yang sangat kuat melalui TAP MPR No. II/1978
tentang pemasayarakatan P-4. Pada masa Soeharto ini pula, ideologi Pancasila
menjadi asas tunggal bagi semua organisasi politik (Orpol) dan organisasi
masyarakat (Ormas).
Pada masa era reformasi, Pancasila sebagai ideologi negara mengalami
pasang surut dengan ditandai beberapa hal, seperti: enggannya para
penyelenggara negara mewacanakan tentang Pancasila, bahkan berujung pada
hilangnya Pancasila dari kurikulum nasional, meskipun pada akhirnya timbul
kesadaran penyelenggara negara tentang pentingnya pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi.
2. Argumen tentang Tantangan terhadap Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pada bagian ini, akan ditemukan berbagai tantangan terhadap Pancasila
sebagai ideologi negara. Unsur-unsur yang memengaruhi tantangan terhadap
Pancasila sebagai ideologi negara meliputi faktor eksternal dan internal. Adapun
faktor eksternal meliputi hal-hal berikut.
a. Pertarungan ideologis antara negara-negara super power antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet antara 1945 sampai 1990 yang berakhir dengan
bubarnya negara Soviet sehingga Amerika menjadi satu-satunya negara
super power.
b. Menguatnya isu kebudayaan global yang ditandai dengan masuknya
berbagai ideologi asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena
keterbukaan informasi.
c. Meningkatnya kebutuhan dunia sebagai akibat pertambahan penduduk dan
kemajuan teknologi sehingga terjadi eksploitasi terhadap sumber daya
alam secara masif. Dampak konkritnya adalah kerusakan lingkungan,
seperti banjir, kebakaran hutan.
Adapun faktor internal meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Pergantian rezim yang berkuasa melahirkan kebijakan politik yang
berorientasi pada kepentingan kelompok atau partai sehingga ideologi
Pancasila sering terabaikan..
b. Penyalahgunaan kekuasaan (korupsi) mengakibatkan rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap rezim yang berkuasa sehingga
kepercayaan terhadap ideologi menurun drastis. Ketidakpercayaan
terhadap partai politik (parpol) juga berdampak terhadap ideologi negara.
E. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara
1. Hakikat Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pada hakikatnya antara dasar dan cita-cita itu sebenarnya dapat merupakan suatu
kesatuan. Dasar ditetapkan karena ada cita-cita yang mau dicapai. Sebaliknya, citacita di tetapkan berdasarkan atas suatu landasan , asas atau dasar yang telah
ditetapkan pula. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang ide-ide
pengertian dasar, gagasan dan cita-cita. Apabila di telusuri secara istilah ide
pertama kali di pakai dan dikmukakan oleh seorang Prancis, Destut de Tracy, pada
tahun 1796. Seperti hal nya Leibnitz, de Tracy mempunyai cita-cita untuk
membangun suatu sistem pengetahuan. Apabila Leibnitz menyebutkan impianimpiannya sebagai one great system of truth ,dimana tergabung segala cabang ilmu
dan segala kebenaran ilmu, maka de tracy menyebutkan ideologie yaitu science of
ideas suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional dan
masyarakat Prancis. Namun Napoleon mencemoohkannya sebagai suatu khayalan
belaka, yang mempunyai arti praktis. Hal semacam itu hanya impian belaka yang
tidak akan menemukan kenyataan (Pranarka, 1985).
Perhatian pada konsep ideologi menjadi berkembang lagi antara karena pengaruh
Karl Marx. Ideologi menjadi vokabular penting di dalam pemikiran politik maupun
ekonomi Karl Marx mengartikan ideologi sebagai pandangan hidup yang
dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu dalam
bidang politik atau sosial ekonomi. Dalam arti ini ideologi menjadi bagian dari apa
yang di sebutnya Uberbau atau suprasutruktur (bangunan atas) yang didirikan di
atas kekuatan yang memiliki faktor-faktor produksi yang menentukan coraknya dan
karena itu mencerminkan suatu pola ekonomi tertentu. Oelh karena itu kadar
kebenarannya relatif, dan semata-mata hanya untuk golongan tertentu. Dengan
demikian maka ideologi lalu merupakan keseluruhan ide yang relatif, karena itu
mencerminkan kekuatan lapisan tertentu.
Masalah ideologi negara dalam arti cita-cita negara atau cita-cita yang menjadi basis
bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang
bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian yang antara lain
memiliki ciri sebagai berikut.
a. Mempunyai derajad yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan
kenegaraan
b. Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan dunia,
pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, di
kembangkan, diamalkan, dilestarikan kepada generasi berikutnya, di
perjuangkan dan di pertahankan dengan kesediaan berkorban. (Notonagoro.
Pancasila Yuridis Kenegaraan, tanpa tahun hal 2,3).
Pada bagian ini, akan di pahami hakikat Pancasila sebagai ideologi negara
memiliki tiga dimensi sebagai berikut:
a. Dimensi realitas; mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam dirinya bersumber dari nilai-nilai real yang hidup dalam masyarakatnya. Hal
ini mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila bersumber dari nilai-nilai kehidupan
bangsa Indonesia sekaligus juga berarti bahwa nilai-nilai Pancasila harus dijabarkan
dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kaitannya dengan kehidupan
bermasyarakat maupun dalam segala aspek penyelenggaraan negara.
b. Dimensi idealitas; mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini berarti bahwa nilainilai dasar Pancasila mengandung adanya tujuan yang dicapai sehingga
menimbulkan harapan dan optimisme serta mampu menggugah motivasi untuk
mewujudkan cita-cita.
c. Dimensi fleksibilitas; mengandung relevansi atau kekuatan yang merangsang
masyarakat untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru tentang nilai-nilai
dasar yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Pancasila sebagai ideologi
bersifat terbuka karena bersifat demokratis dan mengandung dinamika internal yang
mengundang dan merangsang warga negara yang meyakininya untuk
mengembangkan pemikiran baru, tanpa khawatir kehilangan hakikat dirinya (Alfian,
1991: 192
195).
2. Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup namun bersifat
terbuka. Hal ini di maksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat
aktual,dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan
perkembangan jaman. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah
nilai-nilai dasar Pancasila namun mengeksplisitkan wawasannya secara konkrit,
sehingga memiliki tujuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah yang baru
dan aktual.sebagai suatu ideologi yang brsifat terbuka maka Pancasila memiliki
dimensi sebagai berikut :
a. Dimensi idealistis yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila
yang bersifat sistematis dan rasional yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung
dalam lima sila, maka dimensi idealistis Pancasila bersumber pada nilai-nilai
filosofis yaitu filsafat Pancasila. Oleh karena itu dalam setiap ideologi
bersumber pandangan hidup nilai-nilai filosofis (Pespowardoyo, 1991:50).
Kadar dan kualitas idealisme yang terkandung dalam ideologi Pancasila
mampu memberikan harapan, optisme serta mampu menggugah motivasi
yang dicita-citakan (Wibisono, 1989).
b. Dimensi normatif yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu
dijabarkan dalam suatu sitem norma, sebagai terkandung dalam pembukaan
UUD 1945 yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tertib hukum Indonesia.
Dalam pengertian ini maka pembukaan yang di dalamnya memuat Pancasila
dalam aline IV, berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm (pokok-pokok
kaidah negara yang fundamental), agar mampu dijabarkan ke dalam langkah
operasional perlu memiliki norma yang jelas (Pespowardoyo, 1991).
c. Dimensi realistis yaitu suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oelh karena itu Pancasila
harus dijabarkan dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kaitannya
bermasyarakat maupun dalam aspek penyellenggaran negara. Dengan
demikian Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat utopis yang hanya
bersifat realistis artinya mampu dijabarkan dalam kehidupan yang nyata
dalam berbagai bidang.pancasila bukan merupakan doktrin belaka, karena
doktrin hanya memiliki pada ideologi hanya bersifat normatif dan tertutup,
demikian pula ideologi Pancasila bukanlah merupakan ideologi pragmatis
yang hanya menekankan segi praktis dan realistis belaka tanpa idealisme
yang rasional. Maka ideologi Pancasila yang bersifat terbuka pada
hakikatnya, nilai-nilai dasar sila-sila Pancasila yang bersifat tetap adapun
penjabaran dan realisasinya senantiasa dieksplisitkan secara dinamis,
terbuka dan mengikuti perkembangan jaman. Ideologi Pancasila tidak
menutup diri dalm pergaulan budaya antar bangsa di dunia. Dalam sejarah
telah kita ketahui telah melakukan proses akulturasi, yaitu menerima
masuknya budaya asing yang sesuai kemudian di kembangkan dalam
kehidupan masyarakat sehingga merupakan local widsom bangsa Indonesia.
Misalnya masuknya budaya india dengan agama Hindu dan Budha, yang
pada gilirannya menghasilkan karya besar sebagi budaya bangsa seperti
candi Borobudur, Prambanan dan lainnya. Demikian juga pengaruh Islam,
dengan perkembangan nya berbagai budaya Islam, seperti tempat ibadah,
karya sastra dan lainnya, demikian pula dengan Kristen.
Pada bagian ini, mahasiswa perlu menyadari bahwa peran ideologi negara
itu bukan hanya terletak pada aspek legal formal, melainkan juga harus
hadir dalam kehidupan konkret masyarakat itu sendiri. Beberapa peran
konkret Pancasila sebagai ideologi meliputi hal-hal sebagai berikut.
a.Ideologi negara sebagai penuntun warga negara, artinya setiap perilaku
warga negara harus didasarkan pada preskripsi moral. Contohnya,
kasus narkoba yang merebak di kalangan generasi muda menunjukkan
bahwa preskripsi moral ideologis belum disadari kehadirannya. Oleh
karena itu, diperlukan norma-norma penuntun yang lebih jelas, baik
dalam bentuk persuasif, imbauan maupun penjabaran nilai-nilai
Pancasila ke dalam produk hukum yang memberikan rambu yang jelas
dan hukuman yang setimpal bagi pelanggarnya.
b. Ideologi negara sebagai penolakan terhadap nilai-nilai yang tidak sesuai dengan
sila-sila Pancasila. Contohnya, kasus terorisme yang terjadi dalam bentuk
pemaksaan kehendak melalui kekerasan. Hal ini bertentangan nilai toleransi
berkeyakinan, hak-hak asasi manusia, dan semangat persatuan. Gambar berikut ini
memperlihatkan bagaimana terorisme telah merusak nilai toleransi.
BAB V
PANCASILA MERUPAKAN SISTEM FILSAFAT
Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan bahan renungan yang
menggugah kesadaran para pendiri negara, termasuk Soekarno ketika menggagas
ide Philosophische Grondslag. Perenungan ini mengalir ke arah upaya untuk
menemukan nilai-nilai filosofis yang menjadi identitas bangsa Indonesia.
Perenungan yang berkembang dalam diskusi-diskusi sejak sidang BPUPKI
sampai ke pengesahan Pancasila oleh PPKI, termasuk salah satu momentum
untuk menemukan Pancasila sebagai sistem filsafat.
Kendatipun demikian, sistem filsafat itu sendiri merupakan suatu proses
yang berlangsung secara kontinu sehingga perenungan awal yang dicetuskan para
pendiri negara merupakan bahan baku yang dapat dan akan terus merangsang
pemikiran para pemikir berikutnya. Notonagoro, Soerjanto Poespowardoyo,
Sastrapratedja termasuk segelintir pemikir yang menaruh perhatian terhadap
Pancasila sebagai sistem filsafat. Oleh karena itu, akan dibahas
kedudukanPancasila sebagai sistem filsafat dengan berbagai pemikiran para
tokoh yang bertitik tolak dari teori-teori filsafat. Mengapa mahasiswa perlu
memahami Pancasila secara filosofis? Alasannya karena mata kuliah Pancasila
pada tingkat perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk berpikir secara terbuka,
kritis, sistematis, komprehensif, dan mendasar sebagaimana ciri-ciri pemikiran
filsafat.
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat menguasai
kompetensi sebagai berikut. Bersikap inklusif, toleran dan gotong royong dalam
keragaman agama dan budaya; mengembangkan karakter Pancasilais yang
teraktualisasi dalam sikap jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah
lingkungan, gotong royong, cinta damai, responsif dan proaktif; bertanggung
jawab atas keputusan yang diambil berdasar prinsip musyawarah; memahami dan
menganalisis hakikat sila-sila Pancasila, serta mengaktualisasikan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya sebagai paradigma berpikir, bersikap, dan berperilaku;
mengelola hasil kerja individu dan kelompok menjadi suatu gagasan tentang
Pancasila yang hidup dala tata kehidupan Indonesia.
A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat
a.Apa yang dimaksudkan dengan sistem filsafat
Apakah Anda sering mendengar istilah filsafat diucapkan seseorang,
atau mungkin Anda sendiri seringkali mengucapkannya? Namun, apakah Anda
mengerti dan faham apa yang dimaksudkan dengan filsafat itu? Untuk itu, coba
Anda renung dan pikirkan beberapa pernyataan yang memuat istilah filsafat
sebagai berikut.
(1). Sebagai seorang pedagang, filsafat saya adalah meraih keuntungan
sebanyak-banyaknya
(2). Saya sebagai seorang prajurit TNI, filsafat saya adalah
mempertahankan tanah air Indonesia ini dari serangan musuh sampai
titik darah terakhir .
(3). Pancasila merupakan dasar filsafat negara yang mewarnai seluruh
peraturan hukum yang berlaku .
(4). Sebagai seorang wakil rakyat, maka filsafat saya adalah bekerja untuk
membela kepentingan rakyat .
Berdasarkan keempat pernyataan di atas, maka Anda tentu dapat
membedakan bunyi pernyataan (1), (2), (4), dan pernyataan (3). Untuk dapat
memahami perbedaan keempat pernyataan tersebut, maka perlu menyimak
beberapa pengertian filsafat berdasarkan watak dan fungsinya sebagaimana yang
dikemukakan Titus, Smith & Nolan sebagai berikut.
(1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan
dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. (arti informal)
(2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi. (arti formal)
(3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. (arti
komprehensif).
(4) Filsafat adalah analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti
kata dan konsep. (arti analisis linguistik).
(5) Filsafat adalah sekumpulan problematik yang langsung mendapat
perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
(arti aktual-fundamental).
Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian filsafat dalam arti informal
itulah yang paling sering dikatakan masyarakat awam, sebagaimana pernyataan
pedagang dalam butir (1), pernyataan prajurit butir (2), dan pernyataan wakil
rakyat butir (4). Ketiga butir pernyataan tersebut termasuk dalam kategori
pengertian filsafat dalam arti informal, yakni kepercayaan atau keyakinan yang
diterima secara tidak kritis.
Adapun pernyataan butir (3) merupakan suatu bentuk pernyataan filsafat
yang mengacu pada arti komprehensif. Hal ini disebabkan oleh pernyataan
Pancasila merupakan dasar filsafat negara yang mewarnai seluruh peraturan
hukum yang berlaku mengacu pada arti komprehensif atau menyeluruh, yaitu
seluruh peraturan yang berlaku di Indonesia harus mendasarkan diri pada
Pancasila. Dengan demikian, Pancasila merupakan suatu sistem mendasar dan
fundamental karena mendasari seluruh kebijakan penyelenggaraan negara. Ketika
suatu sistem bersifat mendasar dan fundamental, maka sistem tersebut
dapat dinamakan sebagai sistem filsafat.
Pengertian filsafat butir (2) suatu proses kritik terhadap kepercayaan dan
sikap yang dijunjung tinggi, lebih mengacu pada arti refleksif, yaitu sikap
terbuka dan toleran dan mau melihat sesuatu dari segala sudut persoalan tanpa
prasangka (Titus, Smith & Nolan, 1984: 11--12). Dalam hal ini, filsafat dapat
menjadi sarana untuk berpikir lebih jauh dan mendalam daripada sekadar
mengandalkan atau percaya pada opini yang ada di masyarakat. Misalnya,
masyarakat awam beranggapan bahwa tenggelamnya seseorang yang sedang
mandi di pantai Parangtritis dipercaya sebagai ulah Nyi Roro Kidul yang
mengambilnya sebagai pasukan. Ungkapan semacam ini, dalam filsafat
dikategorikan sebagai mitos, sedangkan kelahiran filsafat sejak zaman Yunani
kuno justru sebagai reaksi terhadap mitos. Adagium pada zaman Yunani
berbunyi, Logos (akal) mengalahkan mitos (dongeng, legenda) yang bersifat
irrasional . Voltaire, salah seorang filsuf Perancis abad kedelapan belas pernah
melontarkan adagium yang berbunyi, Takhayul (mitos) membakar dunia,
filsafat memadamkannya (Magee, 2008:i).
Pengertian filsafat butir (4) sebagai analisa logis dari bahasa serta
penjelasan tentang arti kata dan konsep, lebih mengacu pada upaya untuk
melakukan klarifikasi, yaitu menjelaskan arti istilah dan pemakaian bahasa dalam
berbagai bidang kehidupan (Titus, Smith & Nolan, 1984: 13). Dalam hal ini,
filsafat dapat menjadi sarana berpikir kritis untuk memahami makna suatu
ungkapan.
Misalnya, pernyataan Voltaire yang berbunyi, Manusia mengorbankan
separuh hidupnya untuk mencari uang, sedangkan separuh waktu lainnya justru
manusia mengorbankan uang untuk meraih kembali kesehatan (Hardiman, 2000:
110). Hasil analisis atas pernyataan Voltaire itu menunjukkan bahwa suatu hal
yang dilakukan oleh kebanyakan manusia modern itu ternyata sia-sia. Hal ini
terjadi karena tujuannya hanya untuk menumpuk kekayaan dengan memforsir
tenaga dan pikiran. Tentu saja, hal ini sangat beresiko terhadap kesehatan.
Padahal biaya kesehatan itu mahal sehingga merampas kembali dan
menghilangkan hasil yang telah diperoleh.
Pengertian filsafat butir (5) sekumpulan problematik yang langsung
mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh para ahli filsafat,
lebih mengacu pada persoalan-persoalan yang mendalam dari eksistensi manusia
(Titus, Smith & Nolan, 1984: 13). Misalnya, apakah kebenaran itu? Apakah
keadilan itu? Persoalan-persoalan tersebut menyita sebagian besar waktu para
pemikir, termasuk pemikir bangsa Indonesia.
Mengapa Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat? Ada beberapa alasan
yang dapat ditunjukkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama; dalam
sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, Soekarno memberi judul pidatonya dengan nama
Philosofische Grondslag daripada Indonesia Merdeka. Adapun pidatonya
sebagai berikut.
Paduka Tuan Ketua yang mulia, saya mengerti apa yang Ketua kehendaki!
Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta Philosofische Grondslag, atau jika
kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua
yang mulia minta suatu Weltanschauung, di atas mana kita mendirikan
negara Indonesia itu . (Soekarno, 1985: 7).
Noor Bakry menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat
merupakan hasil perenungan yang mendalam dari para tokoh kenegaraan
Indonesia. Hasil perenungan itu semula dimaksudkan untuk merumuskan dasar
negara yang akan merdeka. Selain itu, hasil perenungan tersebut merupakan suatu
sistem filsafat karena telah memenuhi ciri-ciri berpikir kefilsafatan.
Beberapa ciri berpikir kefilsafatan meliputi: (1). sistem filsafat harus bersifat
koheren, artinya berhubungan satu sama lain secara runtut, tidak mengandung
pernyataan yang saling bertentangan di dalamnya. Pancasila sebagai sistem
filsafat, bagian-bagiannya tidak saling bertentangan, meskipun berbeda, bahkan
saling melengkapi, dan tiap bagian mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri;
(2). sistem filsafat harus bersifat menyeluruh, artinya mencakup segala hal dan
gejala yang terdapat dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai filsafat hidup
bangsa merupakan suatu pola yang dapat mewadahi semua kehidupan dan
dinamika masyarakat di Indonesia; (3). sistem filsafat harus bersifat mendasar,
artinya suatu bentuk perenungan mendalam yang sampai ke inti mutlak
permasalahan sehingga menemukan aspek yang sangat fundamental. Pancasila
sebagai sistem filsafat dirumuskan berdasarkan inti mutlak tata kehidupan
manusia menghadapi diri sendiri, sesama manusia, dan Tuhan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara; (4). sistem filsafat bersifat spekulatif, artinya buah
pikir hasil perenungan sebagai praanggapan yang menjadi titik awal yang
menjadi pola dasar berdasarkan penalaran logis, serta pangkal tolak pemikiran
tentang sesuatu. Pancasila sebagai dasar negara pada permulaannya merupakan
buah pikir dari tokoh-tokoh kenegaraan sebagai suatu pola dasar yang kemudian
dibuktikan kebenarannya melalui suatu diskusi dan dialog panjang dalam sidang
BPUPKI hingga pengesahan PPKI (Bakry, 1994: 13--15).
Sastrapratedja menegaskan bahwa fungsi utama Pancasila menjadi dasar
negara dan dapat disebut dasar filsafat adalah dasar filsafat hidup kenegaraan
atau ideologi negara. Pancasila adalah dasar politik yang mengatur dan
mengarahkan segala kegiatan yang berkaitan dengan hidup kenegaraan, seperti
perundang-undangan, pemerintahan, perekonomian nasional, hidup berbangsa,
hubungan warga negara dengan negara, dan hubungan antarsesama warga negara,
serta usaha-usaha untuk menciptakan kesejateraan bersama. Oleh karena itu,
Pancasila harus menjadi operasional dalam penentuan kebijakan-kebijakan dalam
bidang-bidang tersebut di atas dan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang
dihadapi bangsa dan negara (Sastrapratedja, 2001: 1).
Istilah Philosphische Grondslag danWeltanschauung merupakan dua
istilah yang sarat dengan nilai-nilai filosofis. Driyarkara membedakan antara
filsafat dan Weltanschauung. Filsafat lebih bersifat teoritis dan abstrak, yaitu cara
berpikir dan memandang realita dengan sedalam-dalamnya untuk memperoleh
kebenaran. Weltanschauung lebih mengacu pada pandangan hidup yang bersifat
praktis. Driyarkara menegaskan bahwa weltanschauung belum tentu didahului
oleh filsafat karena pada masyarakat primitif terdapat pandangan hidup
(Weltanschauung) yang tidak didahului rumusan filsafat. Filsafat berada dalam
lingkup ilmu, sedangkan weltanshauung berada di dalam lingkungan hidup
manusia, bahkan banyak pula bagian dari filsafat (seperti: sejarah filsafat, teoriteori
tentang alam) yang tidak langsung terkait dengan sikap hidup (Driyarkara, tt: 27).
Pancasila sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag) nilai-nilai
filosofis yang terkandung dalam sila-sila Pancasila mendasari seluruh
peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya, nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan harus mendasari seluruh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh: Undang-Undang No. 44
tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal 3 ayat (a) berbunyi, Mewujudkan dan
memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur,
menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati
harkat dan martabat kemanusiaan . Undang-undang tersebut memuat sila
pertama dan sila kedua yang mendasari semangat pelaksanaan untuk menolak
segala bentuk pornografi yang tidak sesuai dengan nlai-nilai agama dan martabat
kemanusiaan.
Kedua, Pancasila sebagai Weltanschauung, artinya nilai-nilai Pancasila itu
merupakan sesuatu yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat
Indonesia, yang kemudian disepakati sebagai dasar filsafat negara
(Philosophische Grondslag). Weltanschauung merupakan sebuah pandangan
dunia (world-view). Hal ini menyitir pengertian filsafat oleh J. A. Leighton
sebagaimana dikutip The Liang Gie, A complete philosophy includes a world view or
a reasoned conception of the whole cosmos, and a life-view or doctrine
of the values, meanings, and purposes of human life (The Liang Gie, 1977: 8).
Ajaran tentang nilai, makna, dan tujuan hidup manusia yang terpatri dalam
Weltanschauung itu menyebar dalam berbagai pemikiran dan kebudayaan bangsa
Indonesia.
2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Mengapa manusia memerlukan filsafat? Jawaban atas pertanyaan tersebut
dikemukakan Titus, Smith and Nolan sebagai berikut. Tidak hanya di zaman
Yunani yang telah melahirkan peradaban besar melalui pemikiran para filsuf, di
zaman modern sekarang ini pun, manusia memerlukan filsafat karena beberapa
alasan. Pertama, manusia telah memperoleh kekuatan baru yang besar dalam
sains dan teknologi, telah mengembangkan bermacam-macam teknik untuk
memperoleh ketenteraman (security) dan kenikmatan (comfort). Akan tetapi,
pada waktu yang sama manusia merasa tidak tenteram dan gelisah karena mereka
tidak tahu dengan pasti makna hidup mereka dan arah harus tempuh dalam
kehidupan mereka. Kedua, filsafat melalui kerjasama dengan disiplin ilmu lain
memainkan peran yang sangat penting untuk membimbing manusia kepada
keinginan-keinginan dan aspirasi mereka. (Titus, 1984: 24). Dengan demikian,
manusia dapat memahami pentingnya peran filsafat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Beberapa faedah filsafat yang perlu diketahui dan pahami adalah sebagai
berikut. Pertama, faedah terbesar dari filsafat adalah untuk menjajagi
kemungkinan adanya pemecahan-pemecahan terhadap problem kehidupan
manusia. Jika pemecahan itu sudah diidentifikasikan dan diselidiki, maka menjadi
mudahlah bagi manusia untuk mendapatkan pemecahan persoalan atau
untuk meneruskan mempertimbangkan jawaban-jawaban tersebut. Kedua,
filsafat adalah suatu bagian dari keyakinan-keyakinan yang menjadi dasar
perbuatan manusia. Ide-ide filsafat membentuk pengalaman-pengalaman manusia
pada waktu sekarang. Ketiga, filsafat adalah kemampuan untuk memperluas
bidang-bidang kesadaran manusia agar dapat menjadi lebih hidup, lebih dapat
membedakan, lebih kritis, dan lebih pandai (Titus, 1984: 26).
Urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat atau yang dinamakan filsafat
Pancasila, artinya refleksi filosofis mengenai Pancasila sebagai dasar negara.
Sastrapratedja menjelaskan makna filsafat Pancasila sebagai berikut. Pengolahan
filsofis Pancasila sebagai dasar negara ditujukan pada beberapa aspek. Pertama,
agar dapat diberikan pertanggungjawaban rasional dan mendasar mengenai silasila
dalam Pancasila sebagai prinsip-prinsip politik. Kedua, agar dapat dijabarkan
lebih lanjut sehingga menjadi operasional dalam bidang-bidang yang
menyangkut hidup bernegara. Ketiga, agar dapat membuka dialog dengan
berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat,
agar dapat menjadi kerangka evaluasi terhadap segala kegiatan yang bersangkut
paut dengan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, serta
memberikan perspektif pemecahan terhadap permasalahan nasional
(Sastrapratedja, 2001: 3). Pertanggungjawaban rasional, penjabaran operasional,
ruang dialog, dan kerangka evaluasi merupakan beberapa aspek yang diperlukan
bagi pengolahan filosofis Pancasila, meskipun masih ada beberapa aspek lagi
yang masih dapat dipertimbangkan.
B. Kajian Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus Subjectivus
Pancasila sebagai genetivus-objektivus, artinya nilai-nilai Pancasila
dijadikan sebagai objek yang dicari landasan filosofisnya berdasarkan sistemsistem
dan cabang-cabang filsafat yang berkembang di Barat. Misalnya,
Notonagoro menganalisis nilai-nilai Pancasila berdasarkan pendekatan
subtansialistik filsafat Aristoteles sebagaimana yang terdapat dalam karyanya
yang berjudul Pancasila Ilmiah Populer. Adapun Drijarkara menyoroti nilai-nilai
Pancasila dari pendekatan eksistensialisme religious sebagaimana yang
diungkapkannya dalam tulisan yang berjudul Pancasila dan Religi.
Pancasila sebagai genetivus-subjectivus, artinya nilai-nilai Pancasila
dipergunakan untuk mengkritisi berbagai aliran filsafat yang berkembang, baik
untuk menemukan hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila maupun untuk
melihat nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, nilainilai
Pancasila tidak hanya dipakai dasar bagi pembuatan peraturan perundangundangan, tetapi juga nilai-nilai Pancasila harus mampu menjadi orientasi
pelaksanaan sistem politik dan dasar bagi pembangunan nasional. Misalnya,
Sastrapratedja (2001: 2) mengatakan bahwa Pancasila adalah dasar politik, yaitu
prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
Adapun Soerjanto (1991:57-58) mengatakan bahwa fungsi Pancasila untuk
memberikan orientasi ke depan mengharuskan bangsa Indonesia selalu
menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapinya.
2. Landasan Ontologis Filsafat Pancasila
Pancasila sebagai Genetivus Subjectivus memerlukan landasan pijak
filosofis yang kuat yang mencakup tiga dimensi, yaitu landasan ontologis,
landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Pernahkah Anda mendengar
istilah ontologi ? Ontologi menurut Aritoteles merupakan cabang filsafat yang
membahas tentang hakikat segala yang ada secara umum sehingga dapat
dibedakan dengan disiplin ilmu-ilmu yang membahas sesuatu secara khusus.
Ontologi membahas tentang hakikat yang paling dalam dari sesuatu yang ada,
yaitu unsur yang paling umum dan bersifat abstrak, disebut juga dengan istilah
substansi. Inti persoalan ontologi adalah menganalisis tentang substansi (Taylor,
1955: 42). Substansi menurut Kamus Latin
Indonesia, berasal dari bahasa Latin
substare artinya serentak ada, bertahan, ada dalam kenyataan. Substantialitas
artinya sesuatu yang berdiri sendiri, hal berada, wujud, hal wujud (Verhoeven dan
Carvallo, 1969: 1256).
Ontologi menurut pandangan Bakker adalah ilmu yang paling universal
karena objeknya meliputi segala-galanya menurut segala bagiannya (ekstensif)
dan menurut segala aspeknya (intensif) (Bakker, 1992: 16). Lebih lanjut, Bakker
mengaitkan dimensi ontologi ke dalam Pancasila dalam uraian berikut. Manusia
adalah mahluk individu sekaligus sosial (monodualisme), yang secara universal
berlaku pula bagi substansi infrahuman, manusia, dan Tuhan. Kelima sila
Pancasila menurut Bakker menunjukkan dan mengandaikan kemandirian masingmasing, tetapi dengan menekankan kesatuannya yang mendasar dan keterikatan
dalam relasi-relasi. Dalam kebersamaan itu, sila-sila Pancasila merupakan suatu
hirarki teratur yang berhubungan satu sama lain, tanpa dikompromikankan
otonominya, khususnya pada Tuhan. Bakker menegaskan bahwa baik manusia
maupun substansi infrahuman bersama dengan otonominya ditandai oleh
ketergantungan pada Tuhan Sang Pencipta. Ia menyimpulkan bahwa segala jenis
dan taraf substansi berbeda secara esensial, tetapi tetap ada keserupaan mendasar
(Bakker, 1992: 38).
Stephen W. Littlejohn dan Karen A Foss dalam Theories of Human
Communication menegaskan bahwa ontologi merupakan sebuah filosofi yang
berhadapan dengan sifat mahluk hidup. Setidaknya, ada empat masalah mendasar
dalam asumsi ontologis ketika dikaitkan dengan masalah sosial, yaitu (1) pada
tingkatan apa manusia membuat pilihan-pilihan yang nyata?; (2) apakah perilaku
manusia sebaiknya dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat?; (3) Apakah
pengalaman manusia semata-mata individual atau sosial?; (4) pada tingkatan
apakah komunikasi sosial menjadi kontekstual? (Littlejohn and Foss, 2008: 26).
Penerapan keempat masalah ontologis tersebut ke dalam Pancasila sebagai sistem
filsafat menghasilkan hal-hal berikut. Pertama, ada tiga mainstream yang
berkembang sebagai pilihan nyata bangsa Indonesia atas kedudukan Pancasila
sebagai sistem filsafat, yaitu (1) determinisme yang menyatakan bahwa perilaku
manusia disebabkan oleh banyak kondisi sebelumnya sehingga manusia pada
dasarnya bersifat reaktif dan pasif. Pancasila sebagai sistem filsafat lahir sebagai
reaksi atas penjajahan yang melanggar Hak Asasi Manusia, sebagaimana amanat
yang tercantum dalam alinea I Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan . (2) pragmatisme yang menyatakan bahwa manusia
merencanakan perilakunya untuk mencapai tujuan masa depan sehingga manusia
merupakan mahluk yang aktif dan dapat mengambil keputusan yang
memengaruhi nasib mereka. Sifat aktif yang memunculkan semangat perjuangan
untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan termuat dalam alinea II
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi:
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan Negara Indonesia,
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur .
Adapun butir (3) aliran yang berdiri pada posisi tengah (kompromis) yang
menyatakan bahwa manusia yang membuat pilihan dalam jangkauan yang
terbatas atau bahwa perilaku telah ditentukan, sedangkan perilaku yang lain
dilakukan secara bebas. Ketergantungan di satu pihak dan kebebasan di pihak
lain tercermin dalam alinea III Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya . Ketergantungan dalam hal ini adalah atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sedangkan kebebasan bangsa Indonesia
mengacu pada keinginan luhur untuk bebas merdeka.
Persoalan kedua, terkait dengan apakah perilaku manusia sebaiknya
dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat? Dalam hal ini, keadaan
mencerminkan kedinamisan manusia, sedangkan sifat mengacu pada
karakteristik yang konsisten sepanjang waktu (Littlejohn and Foss, 2008: 26).
Keadaan dan sifat membentuk perilaku manusia sehingga penjajahan yang
dialami oleh bangsa Indonesia dalam kurun waktu yang cukup panjang itu
membentuk kedinamisan rakyat Indonesia untuk terus mengadakan perlawanan
yang tertuang dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari masa ke masa.
Sifat yang mengacu pada karakteristik bangsa Indonesia berupa solidaritas, rasa
kebersamaan, gotong rotong, bahu-membahu untuk mengatasi kesulitan demi
menyongsong masa depan yang lebih baik.
Persoalan ontologis ketiga yang dikemukakan Littlejohn and Fossterkait
dengan apakah pengalaman manusia semata-mata individual ataukah sosial?
Seiring dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia, harus diakui memang ada
individu-individu yang menonjol, seperti para pahlawan (Diponegoro, Imam
Bonjol, Pattimura, dan seterusnya), tokoh-tokoh pergerakan nasional (Soekarno,
M. Hatta, A.A Maramis, Agus Salim, dan seterusnya) yang mencatatkan namanamanya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Namun, harus pula
diakui bahwa para pahlawan dan tokoh-tokoh pergerakan nasional itu tidak
mungkin bergerak sendiri untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.
Peristiwa Sepuluh November di Surabaya ketika terjadi pertempuran antara para
pemuda, arek-arek Surabaya dan pihak sekutu membuktikan bahwa Bung Tomo
berhasil menggerakkan semangat rakyat melalui orasi dan pidato-pidatonya.
Dengan demikian, manusia sebagai mahluk individu baru mempunyai arti ketika
berelasi dengan manusia lain sehingga sekaligus menjadi mahluk sosial.
Landasan ontologis Pancasila artinya sebuah pemikiran filosofis atas
hakikat dan raison d etre sila-sila Pancasila sebagaidasar filosofis negara
Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman atas hakikat sila-sila Pancasila itu
diperlukan sebagai bentuk pengakuan atas modus eksistensi bangsa Indonesia.
Sastrapratedja (2010: 147--154) menjabarkan prinsip-prinsip dalam Pancasila
sebagai berikut. (1) Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pengakuan
atas kebebasan beragama, saling menghormati dan bersifat toleran, serta
menciptakan kondisi agar hak kebebasan beragama itu dapat dilaksanakan oleh
masing-masing pemeluk agama. (2). Prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab mengakui bahwa setiap orang memiliki martabat yang sama, setiap
orang harus diperlakukan adil sebagai manusia yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan Hak Asasi Manusia. (3). Prinsip Persatuan mengandung konsep
nasionalisme politik yang menyatakan bahwa perbedaan budaya, etnis, bahasa,
dan agama tidak menghambat atau mengurangi partsipasi perwujudannya sebagai
warga negara kebangsaan. Wacana tentang bangsa dan kebangsaan dengan
berbagai cara pada akhirnya bertujuan menciptakan identitas diri bangsa
Indonesia. (4). Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan mengandung makna bahwa sistem
demokrasi diusahakan ditempuh melalui proses musyawarah demi tercapainya
mufakat untuk menghindari dikotomi mayoritas dan minoritas. (5). Prinsip
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagaimana yang dikemukakan
Soekarno, yaitu didasarkan pada prinsip tidak adanya kemiskinan dalam negara
Indonesia merdeka, hidup dalam kesejahteraan (welfare state).
3. Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila
Pernahkah Anda mendengar istilah epistemologi ? Istilah tersebut terkait
dengan sarana dan sumber pengetahuan (knowledge). Epistemologi adalah
cabang filsafat pengetahuan yang membahas tentang sifat dasar pengetahuan,
kemungkinan, lingkup, dan dasar umum pengetahuan (Bahm, 1995: 5).
Epistemologi terkait dengan pengetahuan yang bersifat sui generis, berhubungan
dengan sesuatu yang paling sederhana dan paling mendasar (Hardono Hadi, 1994:
23). Littlejohn and Foss menyatakan bahwa epistemologi merupakan cabang
filosofi yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang-orang dapat
mengetahui tentang sesuatu atau apa-apa yang mereka ketahui. Mereka
mengemukakan beberapa persoalan paling umum dalam epistemologi sebagai
berikut. (1) pada tingkatan apa pengetahuan dapat muncul sebelum pengalaman?
(2) pada tingkatan apa pengetahuan dapat menjadi sesuatu yang pasti? (Littlejohn
and Foss, 2008: 24).
Problem pertama tentang cara mengetahui itu ada dua pendapat yang
berkembang dan saling berseberangan dalam wacana epistemologi, yaitu
rasionalisme dan empirisisme. Kaum rasionalis berpandangan bahwa akal
merupakan satu-satunya sarana dan sumber dalam memperoleh pengetahuan
sehingga pengetahuan bersifat a priori. Empirisisme berpandangan bahwa
pengalaman inderawi (empiris) merupakan sarana dan sumber pengetahuan
sehingga pengetahuan bersifat a posteriori. Pancasila sebagaimana yang sering
dikatakan Soekarno, merupakan pengetahuan yang sudah tertanam dalam
pengalaman kehidupan rakyat Indonesia sehingga Soekarno hanya menggali dari
bumi pertiwi Indonesia. Namun, pengetahuan dapat muncul sebelum pengalaman,
dalam kehidupan bangsa Indonesia, yakni ketika menetapkan Pancasila sebagai
dasar negara untuk mengatasi pluralitas etnis, religi, dan budaya. Pancasila
diyakini mampu mengatasi keberagaman tersebut sehingga hal tersebut
mencerminkan tingkatan pengetahuan yang dinamakan a priori.
Problem kedua tentang pada tingkatan apa pengetahuan dapat menjadi
sesuatu yang pasti berkembang menjadi dua pandangan, yaitu pengetahuan yang
mutlak dan pengetahuan yang relatif. Pancasila dapat dikatakan sebagai
pengetahuan yang mutlak karena sifat universal yang terkandung dalam hakikat
sila-silanya, yaitu tuhan, manusia, satu (solidaritas, nasionalisme), rakyat, dan
adil dapat berlaku di mana saja dan bagi siapa saja. Notonagoro menamakannya
dengan istilah Pancasila abstrak-umum universal. Pada posisi yang lain, sifat
relatif pengetahuan tentang Pancasila sebagai bentuk pengamalan dalam
kehidupan individu rakyat Indonesia memungkinkan pemahaman yang beragam,
meskipun roh atau semangat universalitasnya tetap ada. Notonagoro
menyebutnya dengan pelaksanaan Pancasila umum kolektif dan singular
konkrit.(Bakry, 1994:45).
Landasan epistemologis Pancasila artinya nilai-nilai Pancasila digali dari
pengalaman (empiris) bangsa Indonesia, kemudian disintesiskan menjadi sebuah
pandangan yang komprehensif tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Penjabaran sila-sila Pancasila secara epistemologis dapat diuraikan
sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa digali dari pengalaman
kehidupan beragama bangsa Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Sila
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab digali dari pengalaman atas kesadaran
masyarakat yang ditindas oleh penjajahan selama berabad-abad. Oleh karena itu,
dalam alinea pertama Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa penjajahan itu tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Sila Persatuan Indonesia digali dari
pengalaman atas kesadaran bahwa keterpecahbelahan yang dilakukan penjajah
kolonialisme Belanda melalui politik Devide et Impera menimbulkan konflik
antarmasyarakat Indonesia. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan digali dari budaya bangsa
Indonesia yang sudah mengenal secara turun temurun pengambilan keputusan
berdasarkan semangat musyawarah untuk mufakat. Misalnya, masyarakat
Minangkabau mengenal peribahasa yang berbunyi Bulek aie dek pambuluh,
bulek kato dek mufakat , bulat air di dalam bambu, bulat kata dalam
permufakatan. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia digali dari
prinsip-prinsip yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang tercermin
dalam sikap gotong royong.
4. Landasan Aksiologis Pancasila
Pernahkah Anda mendengar istilah aksiologi ? Kalau belum pernah,
maka satu hal yang perlu Anda ketahui bahwasanya istilah aksiologis terkait
dengan masalah nilai (value). The study of the theory of values is axiology (Gr.
Axios, of like value + logos, theory). Pure axiology is the study of values of all
types. (Hunnex, 1986: 22). Frondizi (2001:7) menegaskan bahwa nilai itu
merupakan kualitas yang tidak real karena nilai itu tidak ada untuk dirinya
sendiri, ia membutuhkan pengemban untuk berada.
Mari perhatikan beberapa contoh pernyataan sebagai berikut.
a. Berapa nilai pertandingan antara Persipura melawan Persib?
b. Berapa nilai sepeda motor Honda yang dipakainya itu?.
c. Berapa nilai IPK yang Anda peroleh semester ini?
d. Lukisan Afandi dikatakan bersifat ekspresionis karena di situlah letak nilai
keindahannya
Istilah nilai yang digunakan dalam pernyataan tersebut bukan mengacu
pada makna nilai (value) dalam arti filosofis, melainkan lebih mengacu pada arti
skor (a), harga (b), dan angka atau grade (c). Nilai (value) lebih mengacu pada
kualitas yang bersifat abstrak, yang melekat pada suatu objek, sebagaimana yang
tercermin pada contoh pernyataan butir (d).
Littlejohn and Foss mengatakan bahwa aksiologi merupakan cabang
filosofi yang berhubungan dengan penelitian tentang nilai-nilai. Salah satu
masalah penting dalam aksiologi yang ditengarai Littlejohn and Foss, yaitu:
dapatkah teori bebas dari nilai? (Littlejohn and Foss, 2008: 27--28). Problem
apakah teori atau ilmu itu dapat bebas dari nilai, memiliki pengikut yang kuat
dalam kubu positivisme. Pengikut positivis meyakini bahwa teori dan ilmu harus
bebas nilai untuk menjaga semangat objektivitas ilmiah. Namun, perlu disadari
bahwa tidak semua aspek kehidupan manusia dapat diukur secara ilmiah
menurut perspektif positivistik karena banyak aspek kehidupan manusia ini yang
mengandung muatan makna dan bernilai tinggi ketika dihadapkan pada masalahmasalah yang berdimensi spiritual, ideologis, dan kepercayaan lainnya. Pancasila
sebagai ideologi bangsa Indonesia mengandung berbagai dimensi kehidupan
manusia, seperti spiritualitas, kemanusiaan, solidaritas, musyawarah, dan
keadilan. Kelima sila tersebut mengandung dimensi nilai yang tidak terukur
sehingga ukuran ilmiah positivistik atas kelima sila tersebut sama halnya
dengan mematikan denyut nadi kehidupan atau memekanisasikan Pancasila.
Pancasila justru merupakan sumber nilai yang memberi aspirasi bagi rakyat
Indonesia untuk memahami hidup berbangsa dan bernegara secara utuh.
Pancasila sebagai sumber nilai bagi bangsa Indonesia seharusnya dikembangkan
tidak hanya dalam kehidupan bernegara, tetapi juga dalam bidang akademis
sehingga teori ilmiah yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia
berorientasi pada nilai-nlai Pancasila tersebut. Dunia akademis tidak berkembang
dalam ruang hampa nilai sebab semangat akademis harus berisikan nilai
spiritualitas untuk menggugah kesadaran tentang pentingnya keyakinan kepada
Sang Pencipta sebagai pendorong dan pembangkit motivasi kegiatan ilmiah.
Landasan aksiologis Pancasila artinya nilai atau kualitas yang terkandung
dalam sila-sila Pancasila. Sila pertama mengandung kualitas monoteis, spiritual,
kekudusan, dan sakral. Sila kemanusiaan mengandung nilai martabat, harga diri,
kebebasan, dan tanggung jawab. Sila persatuan mengandung nilai solidaritas dan
kesetiakawanan. Sila keempat mengandung nilai demokrasi, musyawarah,
mufakat, dan berjiwa besar. Sila keadilan mengandung nilai kepedulian dan
gotong royong.
C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai
Sistem Filsafat
1. Sumber Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada 12 Agustus 1928, Soekarno pernah menulis di Suluh Indonesia yang
menyebutkan bahwa nasionalisme adalah nasionalisme yang membuat manusia
menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat manusia hidup dalam roh (Yudi Latif,
2011: 68). Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri
dalam sejarah masyarakat Indonesia sebagai berikut. (Lihat Negara Paripurna,
Yudi Latif).
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh
agama-agama lokal, yaitu sekitar 14 abad pengaruh Hindu dan Buddha, 7
abad pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh Kristen. Tuhan telah
menyejarah dalam ruang publik Nusantara. Hal ini dapat dibuktikan
dengan masih berlangsungnya sistem penyembahan dari berbagai
kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua
sistem religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia,
agama memiliki peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi
sosial (Yudi-Latif, 2011: 57--59).
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari
perpaduan pengalaman bangsa Indonesia dalam menyejarah. Bangsa
Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai bangsa maritim telah menjelajah
keberbagai penjuru Nusantara, bahkan dunia. Hasil pengembaraan itu
membentuk karakter bangsa Indonesia yang kemudian oleh Soekarno
disebut dengan istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
Kemanjuran konsepsi internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan
yang adil dan beradab menemukan ruang pembuktiannya segera setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan rekam jejak perjalanan
bangsa Indonesia, tampak jelas bahwa sila kemanusiaan yang adil dan
beradab memiliki akar yang kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia.
Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki
wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada
penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial serta
pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana
kekeluargaan kebangsan Indonesia (Yudi-Latif, 2011: 201).
c. Sila Persatuan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman
serta kebaruan dan kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk
paripurna yang menakjubkan karena kemajemukan soasial, kultural, dan
teritorial dapat menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan
Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan
peradaban Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi.
Jika di tanah dan air yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa
Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya, maka tidak ada alasan
bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan
(Yudi-Latif, 2011:377).
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat memang merupakan fenomena baru di Indonesia, yang
muncul sebagai ikutan formasi negara republik Indonesia merdeka.
Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah
kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian,
nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam budaya
Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti
desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya.
Tan Malaka mengatakan bahwa paham kedaulatan rakyat sebenarnya telah
tumbuh di alam kebudayaan Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi oleh
ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Kemudian, Hatta
menambahkan ada dua anasir tradisi demokrasi di Nusantara, yaitu; hak
untuk mengadakan protes terhadap peraturan raja yang tidak adil dan hak
untuk menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak disenangi (Yudi-Latif,
2011: 387--388).
e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagian yang telah
berkobar ratusan tahun lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia.
Impian kebahagian itu terpahat dalam ungkapan Gemah ripah loh jinawi,
tata tentrem kerta raharja . Demi impian masyarakat yang adil dan
makmur itu, para pejuang bangsa telah mengorbankan dirinya untuk
mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia
dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran,
keadaan ini kemudian dirampas oleh kolonialisme (Yudi-Latif, 2011: 493-494).
2. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan
ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama, masyarakat awam yang memahami
Pancasila sebagai sistem filsafat yang sudah dikenal masyarakat Indonesia dalam
bentuk pandangan hidup, Way of life yang terdapat dalam agama, adat istiadat,
dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia. Kelompok kedua, masyarakat
ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dengan teoriteori
yang bersifat akademis.
Kelompok pertama memahami sumber sosiologis Pancasila sebagai
sistem filsafat dalam pandangan hidup atau kearifan lokal yang memperlihatkan
unsur-unsur filosofis Pancasila itu masih berbentuk pedoman hidup yang bersifat
praktis dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks agama, masyarakat
Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius karena perkembangan
kepercayaan yang ada di masyarakat sejak animisme, dinamisme, politeistis,
hingga monoteeis.
Pancasila sebagai sistem filsafat, menurut Notonagoro merupakan satu
kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya, sila-sila Pancasila
merupakan suatu kesatuan utuh yang yang saling terkait dan saling berhubungan
secara koheren. Notonagoro menggambarkan kesatuan dan hubungan sila-sila
Pancasila itu dalam bentuk kesatuan dan hubungan hierarkis piramidal dan
kesatuan hubungan yang saling mengisi atau saling mengkualifikasi.
Kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila yang hierarkis piramidal
digambarkan Notonagoro (1980: 110) dengan bentuk piramida yang bertingkat
lima, sila Ketuhanan Yang Maha Esa berada di puncak piramida dan sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai alas piramida. Rumusan
hierarkis piramidal itu dapat digambar sebagai berikut.
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai dan meliputi sila Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dijiwai dan diliputi oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, menjiwai dan meliputi sila Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
c. Sila Persatuan Indonesia dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menjiwai dan meliputi
sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, menjiwai dan meliputi, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dijiwai dan diliputi
oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan (Kaelan, 2003: 60-61).
Kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila yang saling mengkualifikasi atau mengisi
dapat digambar sebagai berikut:
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah KETUHANAN yang berKemanusiaan yang Adil dan Beradab, ber-Persatuan Indonesia, berKerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah KEMANUSIAAN yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
c. Sila Persatuan Indonesia adalah PERSATUAN yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, ber-Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan adalah KERAKYATAN yangber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah KEADILAN
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan (Kaelan,
2003: 61).
3. Sumber Politis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada awalnya, Pancasila merupakan konsensus politik yang kemudian
berkembang menjadi sistem filsafat. Sumber politis Pancasila sebagai sistem
filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama,
meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada sidang
BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 dan 1959,
tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis. Kelompok kedua,
mencakup berbagai argumen politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang
disuarakan kembali di era reformasi dalam pidato politik Habibie 1 Juni
2011.
Wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat mengemuka ketika
Soekarno melontarkan konsep Philosofische Grondslag, dasar filsafat negara.
Artinya, kedudukan Pancasila diletakkan sebagai dasar kerohanian bagi
penyelenggaran kehidupan bernegara di Indonesia. Soekarno dalam kuliah umum
di Istana Negara pada 22 Mei 1958 menegaskan tentang kedudukan Pancasila
sebagai Weltanschauung dapat mempersatukan bangsa Indonesia dan
menyelamatkan negara Indonesia dari disintegrasi bangsa (Soekarno, 2001: 65).
Pada kuliah umum di Istana Negara pada 26 Juni 1958, Soekarno membahas silasila Pancasila sebagai berikut. Sila I, pada garis besarnya manusia Indonesia itu
percaya kepada Tuhan, sebagaimana yang dikenal oleh penganut agama masingmasing.
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan konsep yang dapat diterima
semua golongan agama di Indonesia sehingga apabila elemen Ketuhanan ini
dibuang, berarti telah membuang sesuatu yang mempersatukan batin segenap
rakyat sebagai bangsa Indonesia. Kalau sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak
memasukkan, maka akan kehilangan salah satu leitstar yang utama dalam
kehidupan bangsa. Dengan demikian, elemen Ketuhanan ini perlu dimasukkan ke
dalam sila-sila Pancasila, karena menjadi bintang penuntun atau pedoman dalam
bertindak (Soekarno, 2001: 93).
Selanjutnya, Soekarno menjelaskan tentang Sila II yang merupakan upaya
untuk mencegah timbulnya semangat nasionalisme yang berlebihan sehingga
terjebak ke dalam chauvinisme atau rasialisme. Soekarno menegaskan bahwa
nasionalisme ala Hitler merupakan nasionalisme yang tidak berperikemanusiaan
karena didasarkan pada sikap chauvinistis (Soekarno, 2001: 142).
Soekarno memberikan kuliah umum tentang Sila III pada Juli 1958 di
Istana Negara. Soekarno bertitik tolak dari berbagai pengertian tentang bangsa
yang diambilnya dari berbagai pemikiran, seperti teori Ernest Renan yang
mengatakan bahwa bangsa itu sekumpulan manusia yang mempunyai keinginan
bersatu hidup bersama (Le desire d etre ensemble). Soekarno juga menyitir
pendapat Otto Bauer yang mengatakan bahwa bangsa adalah persatuan,
persamaan watak, yang dilahirkan karena persamaan nasib. Berdasarkan
beberapa pemikiran tersebut, Soekarno menyimpulkan bahwa bangsa itu hidup
dalam suatu kesatuan yang kuat dalam sebuah negara dengan tujuan untuk
mempersatukan (Soekarno, 2001: 114).
Sila IV, Soekarno memberikan kuliah umum tentang sila kerakyatan pada
3 September 1958 di Istana Negara. Soekarno mengatakan bahwa demokrasi
yang harus dijalankan adalah demokrasi Indonesia, yang membawa keperibadian
Indonesia sendiri. Demokrasi yang dimaksud bukanlah sekadar alat teknis,
melainkan suatu alam jiwa pemikiran dan perasaan bangsa Indonesia (Soekarno,
2001: 165).
Dalam kuliah umum seminar Pancasila di Yogyakarta 21 Februari 1959,
Soekarno menguraikan tetang arti sila V sebagai berikut. Keadilan sosial bagi
bangsa Indonesia merupakan suatu keharusan karena hal itu merupakan amanat
dari para leluhur bangsa Indonesia yang menderita pada masa penjajahan, dan
para pejuang yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan (Soekarno,
2011: 191), Kelompok kedua, diwakili Habibie dalam pidato 1 Juni 2011 yang
menyuarakan kembali pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia
setelah dilupakan dalam rentang waktu yang cukup panjang sekitar satu
dasawarsa pada eforia politik di awal reformasi. Pidato Habibie dapat diuraikan
sebagai berikut.
Pertama, pernyataan Habibie tentang kedudukan Pancasila
sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia dalam dinamika sejarah sistem politik
sejak Orde Lama hingga era reformasi. Habibie mengatakan sebagai berikut.
Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah
mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik,
sejak zaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde
Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap
zaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang
menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia
yang terus berkembang dan tidak pernah berhenti di satu titik terminal
sejarah (Habibie, 2011: 1).
Kedua, pernyataan Habibie tentang faktor-faktor perubahan yang
menimbulkan pergeseran nilai dalam kehidupan bangsa Indonesia sehingga
diperlukan reaktualisasi Pancasila. Habibie menyatakan hal itu sebagai berikut.
Beberapa perubahan yang kita alami antara lain:
(1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya;
(2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak
diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM);
(3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di
mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam
berbagai aspek kehidupan, tetapi juga yang rentan terhadap
"manipulasi" informasi dengan segala dampaknya. Ketiga perubahan
tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami
bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat
pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan
ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut,
diperlukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila agar dapat dijadikan
acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan
yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang
datang dari dalam maupun dari luar. (Habibie, 2011: 2).
Ketiga,penegasan Habibie tentang makna penting reaktualisasi Pancasila
diungkapkan sebagai berikut.
. reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham
kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas
sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini
berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan
ketidakpastian? (Habibie, 2011: 5).
Keempat, perlunya implementasi nilai-nilai Pancasila dalam seluruh aspek
kehidupan masyarakat Indonesia diungkapkan Habibie dalam pernyataan berikut:
Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh
lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di
kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara
serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang
terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan
bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak
kalah penting adalah peran para penyelenggara negara dan
pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten
menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam
berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang
dilaksanakan (Habibie, 2011: 6).
Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat berlaku juga atas
kesepakatan penggunaan simbol dalam kehidupan bernegara. Garuda Pancasila
merupakan salah satu simbol dalam kehidupan bernegara. Dalam pasal 35
Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi sebagai berikut. Bendera Negara
Indonesia ialah sang merah putih . Pasal 36, Bahasa Negara ialah bahasa
Indonesia . Pasal 36A, Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika . Pasal 36B, Lagu kebangsaan Indonesia ialah
Indonesia Raya . Bendera merah putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan
lagu Indonesia Raya, semuanya merupakan simbol dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia.
Tahukah Anda apa yang dimaksudkan dengan simbol itu? Simbol menurut
teori Semiotika Peirce adalah bentuk tanda yang didasarkan pada konvensi.
(Berger, 2010: 247). Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan
objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Simbol ditandai
dengan kesepakatan, seperti halnya bahasa, gerak isyarat, yang untuk
memahaminya harus dipelajari. Makna suatu simbol ditentukan oleh suatu
persetujuan atau kesepakatan bersama, atau sudah diterima oleh umum sebagai
suatu kebenaran. Contoh, lampu lalu lintas adalah simbol, yakni warna merah
artinya berhenti, hijau berarti jalan, warna kuning berarti pengguna jalan harus
berhati-hati. Simbol adalah sesuatu yang maknanya diterima sebagai suatu
kebenaran melalui konvensi atau aturan dalam kehidupan dan kebudayaan
masyarakat yang telah disepakati. Demikian pula halnya dengan Burung Garuda,
diterima sebagai simbol oleh bangsa Indonesia melalui proses panjang termasuk
dalam konvensi. Berikut adalah arti dalam lambang Garuda Pancasila tersebut :
a. Garuda Pancasila sendiri adalah Burung Garuda yang sudah dikenal
melalui mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan
Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan
sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah
bangsa yang besar dan negara yang kuat.
b. Warna keemasan pada Burung Garuda melambangkan keagungan dan
kejayaan.
c. Garuda memiliki paruh, sayap, cakar, dan ekor yang melambangkan
kekuatan dan tenaga pembangunan.
d. Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari jadi Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, di antaranya :
a). 17 helai bulu pada masing-masing sayap
b). 8 helai bulu pada ekor
c). 19 helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor
d). 45 helai bulu di leher
e. Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan dan
peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan,
pertahanan dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.
f. Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang
melukiskan garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yaitu negara tropis yang dilintasi garis khatulistiwa
membentang dari timur ke barat.
g. Warna dasar pada ruang persiai adalah warna bendera kebangsaaan negara
Indonesia "Merah-Putih", sedangkan pada bagian tengah berwarna dasar
hitam
h. Pada persiai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara
Pancasila. Pengaturan pada lambang persiai adalah sebagai berikut :
Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa; dilambangkan dengan cahaya di bagian
tengah persiai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar hitam.
Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; dilambangkan dengan tali rantai
bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai berlatar merah.
Sila ketiga: Persatuaan Indonesia; di lambangkan dengan pohon beringin di
bagian kiri atas persiai berlatar putih.
Sila keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan; dilambangkan dengan kepala banteng di bagian
kanan atas persiai berlatar merah.
Sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia; Dilambangkan
dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai berlatar putih.
Rancangan awal burung garuda dibuat oleh Sultan Hamid II. Sultan Hamid II lahir
dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak Sultan
Syarif Muhammad Alkadrie (lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli1913
meninggal di Jakarta, 30 Maret1978 pada umur 64 tahun).
1. Dinamika Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafat mengalami dinamika sebagai berikut.
Pada era pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal
dengan istilah Philosofische Grondslag . Gagasan tersebut merupakan
perenungan filosofis Soekarno atas rencananya berdirinya negara Indonesia
merdeka. Ide tersebut dimaksudkan sebagai dasar kerohanian bagi
penyelenggaraan kehidupan bernegara. Ide tersebut ternyata mendapat sambutan
yang positif dari berbagai kalangan, terutama dalam sidang BPUPKI pertama,
persisnya pada 1 Juni 1945. Namun, ide tentang Philosofische Grondslag belum
diuraikan secara rinci, lebih merupakan adagium politik untuk menarik perhatian
anggota sidang, dan bersifat teoritis. Pada masa itu, Soekarno lebih menekankan
bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi
budaya bangsa Indonesia.
Pada era Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat
berkembang ke arah yang lebih praktis (dalam hal ini istilah yang lebih tepat
adalah weltanschauung). Artinya, filsafat Pancasila tidak hanya bertujuan
mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan sebagai pedoman
hidup sehari-hari. Atas dasar inilah, Soeharto mengembangkan sistem filsafat
Pancasila menjadi penataran P-4.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat kurang terdengar
resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana
akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam
pidato 1 Juni 2011. Habibie menyatakan bahwa, Pancasila seolah-olah
tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak lagi relevan untuk
disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori
kolektif bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan
dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun
kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di
tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan
demokrasi dan kebebasan berpolitik (Habibie, 2011: 1-2).
2. Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat
muncul dalam bentuk-bentuk sebagai berikut.
Pertama, kapitalisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa kebebasan individual
pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam rangka meraih
keuntungan sebesar-besarnya merupakan upaya untuk menyejahterakan
masyarakat. Salah satu bentuk tantangan kapitalisme terhadap Pancasila
sebagai sistem filsafat ialah meletakkan kebebasan individual secara berlebihan
sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti monopoli, gaya
hidup konsumerisme, dan lain-lain.
Kedua, komunisme adalah sebuah paham yang muncul sebagai reaksi atas
perkembangan kapitalisme sebagai produk masyarakat liberal. Komunisme
merupakan aliran yang meyakini bahwa kepemilikan modal dikuasai oleh
negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Salah satu bentuk tantangan
komunisme terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah dominasi negara
yang berlebihan sehingga dapat menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan
bernegara.
E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Esensi (hakikat) Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Hakikat (esensi) Pancasila sebagai sistem filsafat terletak pada hal-hal
sebagai berikut.
Pertama; hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia
bahwa Tuhan sebagai prinsip utama dalam kehidupan semua makhluk. Artinya,
setiap mahluk hidup, termasuk warga negara harus memiliki kesadaran yang
otonom (kebebasan, kemandirian) di satu pihak, dan berkesadaran sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang akan dimintai pertanggungjawaban atas
semua tindakan yang dilakukan. Artinya, kebebasan selalu dihadapkan pada
tanggung jawab, dan tanggung jawab tertinggi adalah kepada Sang Pencipta.
Kedua; hakikat sila kemanusiaan adalah manusia monopluralis, yang terdiri
atas 3 monodualis, yaitu susunan kodrat (jiwa, raga), sifat kodrat (makhluk
individu, sosial), kedudukan kodrat (makhluk pribadi yang otonom dan makhluk
Tuhan) (Notonagoro).
Ketig, hakikat sila persatuan terkait dengan semangat kebangsaan. Rasa
kebangsaan terwujud dalam bentuk cinta tanah air, yang dibedakan ke dalam 3
jenis, yaitu tanah air real, tanah air formal, dan tanah air mental. Tanah air real
adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan, bersuka, dan berduka, yang
dialami secara fisik sehari-hari. Tanah air formal adalah negara bangsa yang
berundang-undang dasar, yang Anda, manusia Indonesia, menjadi salah seorang
warganya, yang membuat undang-undang, menggariskan hukum dan peraturan,
menata, mengatur, dan memberikan hak serta kewajiban, mengesahkan atau
membatalkan, memberikan perlindungan, dan menghukum, memberikan paspor
atau surat pengenal lainnya. Tanah air mental bukan bersifat territorial karena
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, melainkan imajinasi yang dibentuk dan
dibina oleh ideologi atau seperangkat gagasan vital (Daoed Joesoef, 1987: 18-20.
Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah. Artinya,
keputusan yang diambil lebih didasarkan atas semangat musyawarah untuk
mufakat, bukan membenarkan begitu saja pendapat mayoritas tanpa peduli
pendapat minoritas.
Kelima, hakikat sila keadilan terwujud dalam tiga aspek, yaitu keadilan
distributif, legal, dan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan bersifat
membagi dari negara kepada warga negara. Keadilan legal adalah kewajiban
warga negara terhadap negara atau dinamakan keadilan bertaat. Keadilan
komutatif adalah keadilan antara sesama warga negara (Notonagoro dalam Kaelan,
20013: 402).
2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai
sistem filsafat meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama, meletakkan Pancasila
sebagai sistem filsafat dapat memulihkan harga diri bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang merdeka dalam politik, yuridis, dan juga merdeka dalam
mengemukakan ide-ide pemikirannya untuk kemajuan bangsa, baik secara
materiil maupun spiritual. Kedua, Pancasila sebagai sistem filsafat membangun
alam pemikiran yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri
sehingga mampu dalam menghadapi berbagai ideologi dunia. Ketiga, Pancasila
sebagai sistem filsafat dapat menjadi dasar pijakan untuk menghadapi tantangan
globalisasi yang dapat melunturkan semangat kebangsaan dan melemahkan sendisendi perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak. Keempat,
Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi way of life sekaligus way of
thinking bangsa Indonesia untuk menjaga keseimbangan dan konsistensi antara
tindakan dan pemikiran. Bahaya yang ditimbulkan kehidupan modern dewasa ini
adalah ketidakseimbangan antara cara bertindak dan cara berpikir sehingga
menimbulkan kerusakan lingkungan dan mental dari suatu bangsa.
Orientasi, gagasan, nilai dan prinsip dasar guna memandu bagaimana
menyelenggarakan kehidupan bernegara untuk masa depan. Yudi Latief (2011)
menyebut Pancasila adalah warisan jenius bangsa Indonesia.
1. Pemikiran filosofis Pancasila dari Soekarno
Menurut Soekarna, muatan yang terkandung dalam masing-masing sila
Pancasila dapat dikemukakan secara sederhana sebagai berikut.
a. Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti bangsa Indonesia adalah bangsa yang
bertuhan tetapi hendaknya masing-masing orang Indonesia bertuhan
menurut Tuhannya sendiri.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti, Humanity atau persaudaraan
bangsa
c. Persatuan Indonesia berarti Nasionalisme
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berarti demokrasi
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti tidak ada kemiskinan
dalam Indonesia merdeka (M. Silalahi, 2001).
2. Pemikiran filosofis Pancasila dari Moh. Hatta
Moh Hatta menjelaskan isi masing-masing sila Pancasila pada subbahasan
sila satu-satunya. Pokok uraian tentang sial-sila Pancasila itu dijelaskan
sebagai berikut.
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin cita-cita
kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala hal yang baik bagi rakyat.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya hormat-menghormati agama
masing-masing, melainkan sebagai dasar yang memimpin ke jalan
kebenaran. Dengan dasar itu sebagai pegangan, pemerintah negara pada
hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan lurus untuk mencapai
kebahagiaan dan keselamatan rakyat. Pengakuan dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah kesediaan untuk berbuat dalam praktik hidup menurut sifatsifat yang di pujikan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dasar sila kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dari praktik
hidup daripada dasar ketuhanan ayng maha esa, yaitu dasar yang memimpin.
Dalam rangka pemikiran dasar kemanusiaan itu perlu diberi tempat yang
layak perihal hak dan kewajiaban asasi warga negara. Misalnya hak hidup,
hak keselamatan, hak kebebasan diri dan hak milik. Khusus tentang hak milik;
bangsa indonesia tidak dapat mengakui hak milik yang seolah olah tidak
dapat diganggu gugat, yang nyata bersifat individualistik. Dalam sistim
kekeluargaan dan kegotong royongan, individu memiliki lebih banyak
kewajiban terhadap masyarakat dari pada hak-haknya.
Sila perstuan indonesia didalamnya mengandung bahwa bngsa indonesia itu
satu, tidak dapat di pecah pecah. Persatuan bangsa di perkuat oleh lambng
negara, bhinneka tunggal ika,bersatu dalam berbagai ragam.dasar persatuan
menegaskan sifat kita adalah negara nasional.persatuan indonesia di
dalamnya mengandung cita cita persahabatan dan persaudaraan segala
bangsa. Persatuan indonesia lebih menyatakan tujuan, sedang dasarnya
adalah kebangsaan.
Kerakyatan yang dianut bangsa indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari
suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berhubungan
dengan sila kelima. Oleh karna itu,demokrasi indonesia bukanlah demokrasi
liberal dan juga bukan demokrasi totaliter. Asas kerakyatan menjamin setiap
warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan.
Sila keadilan sosial bagi masyarakat indonesia tidak hanya menjadi dasar
negara, tetapi sekaligus menjadi tujuan yang harus dilaksanakan. Keadilan
sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan indonesia yang
adil dan makmur. Langkah pertamanya adalah menetapkan bahwa
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan .
BAB VI
PANCASILA MENJADI SISTEM ETIKA
Pancasila sebagai sistem etika di samping merupakan way of life bangsa
Indonesia, juga merupakan struktur pemikiran yang disusun untuk memberikan
tuntunan atau panduan kepada setiap warga negara Indonesia dalam bersikap dan
bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika, dimaksudkan untuk
mengembangkan dimensi moralitas dalam diri setiap individu sehingga memiliki
kemampuan menampilkan sikap spiritualitas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Mahasiswa sebagai peserta didik termasuk anggota
masyarakat ilmiah-akademik yang memerlukan sistem etika yang orisinal dan
komprehensif agar dapat mewarnai setiap keputusan yang diambilnya dalam
profesi ilmiah. Sebab keputusan ilmiah yang diambil tanpa pertimbangan
moralitas, dapat menjadi bumerang bagi dunia ilmiah itu sendiri sehingga
menjadikan dunia ilmiah itu hampa nilai (value free).
Anda sebagai mahasiswa berkedudukan sebagai makhluk individu dan
sosial sehingga setiap keputusan yang diambil tidak hanya terkait dengan diri
sendiri, tetapi juga berimplikasi dalam kehidupan sosial dan lingkungan. Pancasila
sebagai sistem etika merupakan moral guidance yang dapat diaktualisasikan ke
dalam tindakan konkrit, yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Oleh karena
itu, sila-sila Pancasila perlu diaktualisasikan lebih lanjut ke dalam putusan
tindakan sehingga mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan
berwawasan moral-akademis. Dengan demikian, mahasiswa dapat
mengembangkan karakter yang Pancasilais melalui berbagai sikap yang positif,
seperti jujur, disiplin, tanggung jawab, mandiri, dan lainnya.
Mahasiswa sebagai insan akademis yang bermoral Pancasila juga harus
terlibat dan berkontribusi langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sebagai perwujudan sikap tanggung jawab warga negara. Tanggung jawab yang
penting berupa sikap menjunjung tinggi moralitas dan menghormati hukum yang
berlaku di Indonesia. Untuk itu, diperlukan penguasaan pengetahuan tentang
pengertian etika, aliran etika, dan pemahaman Pancasila sebagai sistem etika
sehingga mahasiswa memiliki keterampilan menganalisis persoalan-persoalan
korupsi dan dekadensi moral dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Taat beragama dalam kehidupan individu, bermasyarakat, berbangsa, bernegara,
dan dalam pengembangan keilmuan, serta kehidupan akademik dan profesinya;
mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam bentuk pribadi yang saleh secara
individual, sosial, dan alam; mengembangkan karakter Pancasilais yang
teraktualisasi dalam sikap jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah
lingkungan, gotong royong, cinta damai, responsif, dan proaktif; berkontribusi
aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berperan dalam pergaulan dunia
dengan menjunjung tinggi penegakan moral dan hukum; menguasai pengetahuan
tentang pengertian etika, aliran-aliran etika, etika Pancasila, dan Pancasila sebagai
solusi problem moralitas bangsa; terampil merumuskan solusi atas problem
moralitas bangsa dengan pendekatan Pancasila; melaksanakan projek belajar
implementasi Pancasila dalam kehidupan nyata.
A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika
a. Pengertian Etika
Pernahkah Anda mendengar istilah etika ? Kalaupun Anda pernah
mendengar istilah tersebut, tahukah Anda apa artinya? Istilah etika berasal dari
bahasa Yunani, Ethos yang artinya tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Secara
etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan
hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun
masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi
ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika sama maknanya dengan
moral. Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang membahas tentang kriteria baik
dan buruk (Bertens, 1997: 4--6). Etika pada umumnya dimengerti sebagai
pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk
dalam perilaku manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan
prinsip-prinsip yang mengaturnya itu kerapkali disebut moralitas atau etika
(Sastrapratedja, 2002: 81).
Etika selalu terkait dengan masalah nilai sehingga perbincangan tentang
etika, pada umumnya membicarakan tentang masalah nilai (baik atau buruk).
Apakah yang Anda ketahui tentang nilai? Frondizi menerangkan bahwa nilai
merupakan kualitas yang tidak real karena nilai itu tidak ada untuk dirinya
sendiri, nilai membutuhkan pengemban untuk berada (2001:7). Misalnya, nilai
kejujuran melekat pada sikap dan kepribadian seseorang. Istilah nilai
mengandung penggunaan yang kompleks dan bervariasi. Lacey menjelaskan
bahwa paling tidak ada enam pengertian nilai dalam penggunaan secara umum,
yaitu sebagai berikut.
1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau
pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang.
3. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas seseorang
sebagai pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan diri.
4. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang
baik di antara berbagai kemungkinan tindakan.
5. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika
bertingkah laku bagi dirinya dan orang lain.
6. Suatu objek nilai , suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang
sekaligus membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian
seseorang. Objek nilai mencakup karya seni, teori ilmiah, teknologi, objek
yang disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri.
(Lacey, 1999: 23).
Dengan demikian, nilai sebagaimana pengertian butir kelima (5), yaitu
sebagai standar fundamental yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam
bertindak, merupakan kriteria yang penting untuk mengukur karakter
seseorang. Nilai sebagai standar fundamental ini pula yang diterapkan
seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya dapat
dikategorikan etis atau tidak.
Namun, tahukah Anda bahwa dalam bahasa pergaulan orang acapkali
mencampuradukkan istilah etika dan etiket ? Padahal, keduanya
mengandung perbedaan makna yang hakiki. Etika berarti moral, sedangkan
etiket lebih mengacu pada pengertian sopan santun, adat istiadat. Jika dilihat
dari asal usul katanya, etika berasal dari kata ethos , sedangkan etiket berasal
dari kata etiquette . Keduanya memang mengatur perilaku manusia secara
normatif. tetapi Etika lebih mengacu ke filsafat moral yang merupakan kajian
kritis tentang baik dan buruk, sedangkan etiket mengacu kepada cara yang
tepat, yang diharapkan, serta ditentukan dalam suatu komunitas tertentu.
Contoh, mencuri termasuk pelanggaran moral, tidak penting apakah dia
mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri. Etiket, misalnya terkait dengan
tata cara berpeilaku dalam pergaulan, seperti makan dengan tangan kanan
dianggap lebih sopan atau beretiket (Bertens, 1997: 9).
b. Aliran-aliran Etika
Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi
etika keutamaan, teleologis, deontologis. Etika keutamaan atau etika kebajikan
adalah teori yang mempelajari keutamaan (virtue), artinya mempelajari
tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini
mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih menekankan
pada What should I be?, atau saya harus menjadi orang yang bagaimana? .
Beberapa watak yang terkandung dalam nilai keutamaan adalah baik hati,
ksatriya, belas kasih, terus terang, bersahabat, murah hati, bernalar, percaya
diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani, santun, jujur,
terampil, adil, setia, ugahari (bersahaja), disiplin, mandiri, bijaksana, peduli, dan
toleran (Mudhofir, 2009: 216--219). Orang yang memelihara metabolisme
tubuh untuk mendapatkan kesehatan yang prima juga dapat dikatakan sebagai
bentuk penguasaan diri dan disiplin.
Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari
tindakan moral menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan
dilawankan dengan kewajiban. Seseorang yang mungkin berniat sangat baik
atau mengikuti asas-asas moral yang tertinggi, akan tetapi hasil tindakan
moral itu berbahaya atau jelek, maka tindakan tersebut dinilai secara moral
sebagai tindakan yang tidak etis. Etika teleologis ini menganggap nilai moral
dari suatu tindakan dinilai berdasarkan pada efektivitas tindakan tersebut
dalam mencapai tujuannya. Etika teleologis ini juga menganggap bahwa di
dalamnya kebenaran dan kesalahan suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan
akhir yang diinginkan (Mudhofir, 2009: 214). Aliran-aliran etika teleologis,
meliputi eudaemonisme, hedonisme, utilitarianisme.
Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan kewajiban
moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan tujuan atau akibat.
Kewajiban moral bertalian dengan kewajiban yang seharusnya, kebenaran
moral atau kelayakan, kepatutan. Kewajiban moral mengandung kemestian
untuk melakukan tindakan. Pertimbangan tentang kewajiban moral lebih
diutamakan daripada pertimbangan tentang nilai moral. Konsep-konsep nilai
moral (yang baik) dapat didefinisikan berdasarkan pada kewajiban moral atau
kelayakan rasional yang tidak dapat diturunkan dalam arti tidak dapat
dianalisis (Mudhofir, 2009: 141).
Aliran Etika dan karakteristiknya
Aliran
Orientasi
Watak nilai
Keterangan
Etika
Keutamaan
Disiplin, kejujuran, belas
Moralitas yang
Keutamaan
atau kebajikan
kasih, murah hati, dan
didasarkan pada agama
seterusnya
kebanyakan menganut
etika keutamaan.
Teleologis
Konsekuensi
Kebenaran dan
Aliran etika yang
atau akibat
kesalahan
berorientasi pada
didasarkan pada
konsekuensi atau hasil
tujuan akhir
seperti: Eudaemonisme,
Hedonisme,
Utilitarianisme.
Deontologis
Kewajiban atau
Kelayakan,
Pandangan etika yang
keharusan
kepatutan,
mementingkan
kepantasan
kewajiban seperti halnya
pemikiran Immanuel
Kant yang terkenal
dengan sikap imperatif
kategoris, perbuatan baik
dilakukan tanpa pamrih.
c. Etika Pancasila
Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang
dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam
etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia
Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung
dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada
Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan
mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi,
yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antarsesama.
Sila persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein),
cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap
menghargai orang lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan
kehendak kepada orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau
peduli atas nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan orang lain.
Etika Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika
kebajikan, meskipun corak kedua mainstream yang lain, deontologis dan
teleologis termuat pula di dalamnya. Namun, etika keutamaan lebih dominan
karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu kebijaksanaan,
kesederhanaan, keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan artinya melaksanakan
suatu tindakan yang didorong oleh kehendak yang tertuju pada kebaikan serta
atas dasar kesatuan akal
rasa
kehendak yang berupa kepercayaan yang
tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan memelihara nilai-nilai hidup
kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius. Kesederhaaan artinya membatasi diri
dalam arti tidak melampaui batas dalam hal kenikmatan. Keteguhan artinya
membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam menghindari
penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib kepada diri sendiri
dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah
menjadi haknya (Mudhofir, 2009: 386).
2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem yang
dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut. Pertama, banyaknya kasus korupsi
yang melanda negara Indonesia sehingga dapat melemahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, masih terjadinya aksi terorisme
yang mengatasnamakan agama sehingga dapat merusak semangat toleransi
dalam kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantakkan semangat
persatuan atau mengancam disintegrasi bangsa. Ketiga, masih terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara, seperti:
kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, pada 2013
yang lalu. Keempat, kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin
masih menandai kehidupan masyarakat Indonesia. Kelima, ketidakadilan hukum
yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia, seperti putusan bebas
bersyarat atas pengedar narkoba asal Australia Schapell Corby. Kesemuanya itu
memperlihatkan pentingnya dan mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila
sebagai sistem etika karena dapat menjadi tuntunan atau sebagai Leading
Principle bagi warga negara untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila.
Etika Pancasila diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara sebab berisikan tuntunan nilai-nilai moral yang hidup. Namun,
diperlukan kajian kritis-rasional terhadap nilai-nilai moral yang hidup tersebut agar
tidak terjebak ke dalam pandangan yang bersifat mitos. Misalnya, korupsi
terjadi lantaran seorang pejabat diberi hadiah oleh seseorang yang memerlukan
bantuan atau jasa si pejabat agar urusannya lancar. Si pejabat menerima hadiah
tanpa memikirkan alasan orang tersebut memberikan hadiah. Demikian pula
halnya dengan masyarakat yang menerima sesuatu dalam konteks politik
sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk suap.
Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika
Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur
sistem penyelenggaraan negara. Anda dapat bayangkan apabila dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara tidak ada sistem etika yang menjadi
guidance atau tuntunan bagi para penyelenggara negara, niscaya negara akan
hancur. Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan
dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai
berikut. Pertama, korupsi akan bersimaharajalela karena para penyelenggara
negara tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para
penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak,
pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem etika
terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan buruk (bad). Archie Bahm
dalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan
dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk itu eksis dalam kehidupan
manusia, maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul.
Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai peluang untuk melakukan
tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi pada siapa saja. Oleh
karena itu, simpulan Archie Bahm, Maksimalkan kebaikan, minimalkan
keburukan (Bahm, 1998: 58).
Kedua, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat,
terutama generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup
bernegara. Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang
memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat
globalisasi sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu
terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila,
tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi
moral, antara lainpenyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya
rasa hormat kepada orang tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan
para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem
etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan
karakter di sekolah-sekolah.
Ketiga, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan
bernegara di Indonesia ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang
terhadap hak pihak lain. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di
berbagai media, seperti penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT),
penelantaran anak-anak yatim oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi,
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain-lain. Kesemuanya itu
menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila
sebagai sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, di samping
diperlukan sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula penjabaran
sistem etika ke dalam peraturan perundang-undangan tentang HAM (Lihat
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Keempat, kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai
aspek kehidupan manusia, seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib
generasi yang akan datang, global warming, perubahan cuaca, dan lain
sebagainya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap
nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum mendapat tempat yang tepat di
hati masyarakat. Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung memutuskan
tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang sendiri, keuntungan
sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Contoh yang paling jelas adalah pembakaran hutan di Riau sehingga
menimbulkan kabut asap. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika perlu
diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang menindak tegas para
pelaku pembakaran hutan, baik pribadi maupun perusahaan yang terlibat.
C. Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Sumber historis
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih
berbentuk sebagai Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya,
nilai-nilai Pancasila belum ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai
moral telah terdapat pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa
orde lama telah mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden
Soekarno disebut dengan istilah berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Pada zaman Orde Baru, Pancasila sebagai sistem etika
disosialisasikan melalui penataran P-4 dan diinstitusionalkan dalam wadah
BP-7. Ada banyak butir Pancasila yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila
sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-7. Untuk memudahkan
pemahaman tentang butir-butir sila Pancasila dapat dilihat pada tabel berikut
(Soeprapto, 1993: 53--55).
SILA PANCASILA
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
CARA PENGAMALAN
a. Manusia Indonesia percaya dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat menghormati dan bekerja
sama antarpara pemeluk agama dan
para penganut kepercayaan yang
berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan kepada orang lain
2. Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab
a. Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, dan persamaan
kewajiban asasi antarsesama manusia
sesuai dengan harkat dan martbatnya
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d. Tidak semena-mena terhadap orang
lain
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan
keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, dikembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerja
sama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
a. Menempatkan persatuan, kesatuan,
kepentingan, keselamatan bangsa dan
bernegara di atas kepentingan pribadi
atau golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan
bangsa dan negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia
dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan
dan kesatuan bangsa yang berbhineka
tunggal ika.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh
a. Sebagai warga negara dan warga
Hikmat Kebijaksanaan dalam
masyarakat mempunyai kedudukan, hak,
Permusyawaratan/Perwakilan
dan kewajiban yang sama dengan
mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada
orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat
diliputi oleh semangat kekeluargaan.
e. Dengan itikad yang baik dan rasa
tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil putusan
musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal
sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur.
g. Putusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai kebenaran dan
keadilan, dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan demi
kepentingan bersama.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia
a. Mengembangkan perbuatan yang
luhur yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
b. Bersikap adil.
c. Menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada
orang lain
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap
orang lain.
g. Tidak bersifat boros
h. Tidak bergaya hidup mewah
i. Tidak melakukan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum
j. Suka bekerja keras
k. Bersama-sama berusaha mewujudkan
kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam
hiruk-pikuk perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika
politik. Salah satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh
penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan
korupsi di berbagai kalangan penyelenggara negara.
2. Sumber Sosiologis
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam
kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang
Minangkabau dalam hal bermusyawarah memakai prinsip bulat air oleh
pembuluh, bulat kata oleh mufakat . Masih banyak lagi mutiara kearifan lokal
yang bertebaran di bumi Indonesia ini sehingga memerlukan penelitian yang
mendalam.
3. Sumber politis
Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma
dasar (Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan
perundanganundangan
di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum itu suatu
norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh
kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma,
akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya,
akan semakin konkrit norma tersebut (Kaelan, 2011: 487). Pancasila sebagai
sistem etika merupakan norma tertinggi (Grundnorm) yang sifatnya abstrak,
sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang ada di bawahnya
bersifat konkrit.
Etika politik mengatur masalah perilaku politikus, berhubungan juga
dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik,
ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik
itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan.
Dimensi sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang meliputi sistem dan
prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan yang
mendasari instituisi-institusi sosial. Dimensi aksi politik berkaitan dengan pelaku
pemegang peran sebagai pihak yang menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas
politik terdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan politik
dinamakan rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham
permasalahan (Haryatmoko, 2003: 25
28).
D. Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Sistem Etika
Beberapa argumen tentang dinamika Pancasila sebagai sistem etika dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, pada zaman Orde Lama, pemilu diselenggarakan dengan semangat
demokrasi yang diikuti banyak partai politik, tetapi dimenangkan empat partai
politik, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Muslimin Indonesia
(PARMUSI), Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti
sistem etika Pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak Orde Baru
bahwa pemilihan umum pada zaman Orde Lama dianggap terlalu liberal karena
pemerintahan Soekarno menganut sistem demokrasi terpimpin, yang cenderung
otoriter.
Kedua, pada zaman Orde Baru sistem etika Pancasila diletakkan dalam
bentuk penataran P-4. Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia
Indonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia yang berperilaku dan berakhlak
mulia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Manusia Indonesia seutuhnya dalam
pandangan Orde Baru, artinya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani
sekaligus makhluk jasmani, dan makhluk individu sekaligus makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki emosi yang memiliki pengertian,
kasih sayang, harga diri, pengakuan, dan tanggapan emosional dari manusia lain
dalam kebersamaan hidup. Manusia sebagai mahluk sosial, memiliki tuntutan
kebutuhan yang makin maju dan sejahtera. Tuntutan tersebut hanya dapat
terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain, baik langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itulah, sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan
sosial harus dikembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang (Martodihardjo,
1993: 171).
Manusia Indonesia seutuhnya (adalah makhluk mono-pluralis yang terdiri
atas susunan kodrat: jiwa dan raga; Kedudukan kodrat: makhluk Tuhan dan
makhluk berdiri sendiri; sifat kodrat: makhluk sosial dan mahluk individual.
Keenam unsur manusia tersebut saling melengkapi satu sama lain dan merupakan
satu kesatuan yang bulat. Manusia Indonesia menjadi pusat persoalan, pokok dan
pelaku utama dalam budaya Pancasila. (Notonagoro dalam Asdi, 2003: 17-18).
Ketiga, sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia
demokrasi. Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi
tanpa dilandasi sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan
kekuasaan, serta machiavelisme (menghalalkan segala cara untuk mencapi
tujuan). Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah Mada dalam sambutan
pembukaan Simposium Nasional Pengembangan Pancasila sebagai Paradigma
Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasional (2006: xiv) mengatakan sebagai
berikut.
Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan semakin hanyut
dalam arus konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan
karena bangsa Indonesia tidak mengembangkan blueprint yang berakar
pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa .
2. Argumen tentang Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika
Apakah Anda mengetahui bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai
sistem etika apa saja yang muncul dalam kehidupan bangsa Indonesia? Hal-hal
berikut ini dapat menggambarkan beberapa bentuk tantangan terhadap sistem
etika Pancasila.
Pertama, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde
Lama berupa sikap otoriter dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin
dalam penyelenggaraan negara yang menerapkan sistem demokrasi terpimpin.
Hal tersebut tidak sesuai dengan sistem etika Pancasila yang lebih menonjolkan
semangat musyawarah untuk mufakat.
Kedua, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Baru
terkait dengan masalah NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan
penyelenggaraan negara. Hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosial karena
nepotisme, kolusi, dan korupsi hanya menguntungkan segelintir orang atau
kelompok tertentu.
Ketiga, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada era Reformasi berupa
eforia kebebasan berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral.
Misalnya, munculnya anarkisme yang memaksakan kehendak dengan
mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi.
E. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai
berikut.
Pertama, hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia
bahwa Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap perilaku
warga negara harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma
agama. Setiap prinsip moral yang berlandaskan pada norma agama, maka prinsip
tersebut memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan oleh pengikutpengikutnya.
Kedua, hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu
tindakan manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang
dibedakan dengan actus homini, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan
kemanusiaan yang mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara dan
sikap yang adil dan beradab sehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan
antarmakhluk yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu
kebajikan dan kearifan
Ketiga, hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama
sebagai warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan
individu atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada semangat
kebersamaan, solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi
penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.
Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat.
Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.
Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan
perwudan dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata
(deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih
menonjolkan keutamaan (Virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan itu
sendiri.
2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai
sistem etika meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama, meletakkan sila-sila
Pancasila sebagai sistem etika berarti menempatkan Pancasila sebagai sumber
moral dan inspirasi bagi penentu sikap, tindakan, dan keputusan yang diambil
setiap warga negara. Kedua, Pancasila sebagai sistem etika memberi guidance
bagi setiap warga negara sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata
pergaulan baik lokal, nasional, regional, maupun internasional. Ketiga, Pancasila
sebagai sistem etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai kebijakan yang
dibuat oleh penyelenggara negara sehingga tidak keluar dari semangat negara
kebangsaan yang berjiwa Pancasilais. Keempat, Pancasila sebagai sistem etika
dapat menjadi filter untuk menyaring pluralitas nilai yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat sebagai dampak globalisasi yang memengaruhi pemikiran
warga negara.
BAB VII
PANCASILA MENJADI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dewasa ini
mencapai kemajuan pesat sehingga peradaban manusia mengalami perubahan
yang luar biasa. Pengembangan iptek tidak dapat terlepas dari situasi yang
melingkupinya, artinya iptek selalu berkembang dalam suatu ruang budaya.
Perkembangan iptek pada gilirannya bersentuhan dengan nilai-nilai budaya dan
agama sehingga di satu pihak dibutuhkan semangat objektivitas, di pihak lain
iptek perlu mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan agama dalam
pengembangannya agar tidak merugikan umat manusia. Kuntowijoyo dalam
konteks pengembangan ilmu menengarai bahwa kebanyakan orang sering
mencampuradukkan antara kebenaran dan kemajuan sehingga pandangan
seseorang tentang kebenaran terpengaruh oleh kemajuan yang dilihatnya.
Kuntowijoyo menegaskan bahwa kebenaran itu bersifat non-cumulative (tidak
bertambah) karena kebenaran itu tidak makin berkembang dari waktu ke waktu.
Adapun kemajuan itu bersifat cumulative (bertambah), artinya kemajuan itu selalu
berkembang dari waktu ke waktu. Agama, filsafat, dan kesenian termasuk dalam
kategori non-cumulative, sedangkan fisika, teknologi, kedokteran termasuk dalam
kategori cumulative (Kuntowijoyo, 2006: 4). Oleh karena itu, relasi iptek dan
budaya merupakan persoalan yang seringkali mengundang perdebatan.
Relasi antara iptek dan nilai budaya, serta agama dapat ditandai dengan
beberapa kemungkinan sebagai berikut. Pertama, iptek yang gayut dengan nilai
budaya dan agama sehingga pengembangan iptek harus senantiasa didasarkan
atas sikap human-religius. Kedua, iptek yang lepas sama sekali dari norma budaya
dan agama sehingga terjadi sekularisasi yang berakibat pada kemajuan iptek tanpa
dikawal dan diwarnai nilai human-religius. Hal ini terjadi karena sekelompok
ilmuwan yang meyakini bahwa iptek memiliki hukum-hukum sendiri yang lepas
dan tidak perlu diintervensi nilai-nilai dari luar. Ketiga, iptek yang menempatkan nilai
agama dan budaya sebagai mitra dialog di saat diperlukan. Dalam hal ini, ada
sebagian ilmuwan yang beranggapan bahwa iptek memang memiliki hukum
tersendiri (faktor internal), tetapi di pihak lain diperlukan faktor eksternal (budaya,
ideologi, dan agama) untuk bertukar pikiran, meskipun tidak dalam arti saling
bergantung secara ketat.
Relasi yang paling ideal antara iptek dan nilai budaya serta agama tentu
terletak pada fenomena pertama, meskipun hal tersebut belum dapat berlangsung
secara optimal, mengingat keragaman agama dan budaya di Indonesia itu sendiri.
Keragaman tersebut di satu pihak dapat menjadi kekayaan, tetapi di pihak lain
dapat memicu terjadinya konflik. Oleh karena itu, diperlukan sikap inklusif dan
toleran di masyarakat untuk mencegah timbulnya konflik.Untuk itu, komunikasi
yang terbuka dan egaliter diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Fenomena kedua yang menempatkan pengembangan iptek di luar
nilai budaya dan agama, jelas bercorak positivistis. Kelompok ilmuwan dalam
fenomena kedua ini menganggap intervensi faktor eksternal justru dapat
mengganggu objektivitas ilmiah. Fenomena ketiga yang menempatkan nilai
budaya dan agama sebagai mitra dialog merupakan sintesis yang lebih memadai
dan realistis untuk diterapkan dalam pengembangan iptek di Indonesia. Sebab
iptek yang berkembang di ruang hampa nilai, justru akan menjadi bumerang yang
membahayakan aspek kemanusiaan.
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya
dan agama dari bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia
mengakomodir seluruh aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, demikian pula halnya dalam aktivitas ilmiah. Oleh karena itu,
perumusan Pancasila sebagai paradigma ilmu bagi aktivitas ilmiah di Indonesia
merupakan sesuatu yang bersifat niscaya.S ebab pengembangan ilmu yang
terlepas dari nilai ideologi bangsa, justru dapat mengakibatkan sekularisme,
seperti yang terjadi pada zaman Renaissance di Eropa. Bangsa Indonesia memiliki
akar budaya dan religi yang kuat dan tumbuh sejak lama dalam kehidupan
masyarakat sehingga manakala pengembangan ilmu tidak berakar pada ideologi
bangsa, sama halnya dengan membiarkan ilmu berkembang tanpa arah dan
orientasi yang jelas.
Bertitik tolak dari asumsi di atas, maka das Sollen ideologi Pancasila
berperan sebagai leading principle dalam kehidupan ilmiah bangsa Indonesia.
Para Ilmuwan tetap berpeluang untuk mengembangkan profesionalitasnya tanpa
mengabaikan nilai ideologis yang bersumber dari masyarakat Indonesia sendiri.
Bersikap inklusif, toleran dan gotong royong dalam keragaman agama dan budaya;
bertanggung jawab atas keputusan yang diambil berdasar pada prinsip
musyawarah dan mufakat; merumuskan Pancasila sebagai karakter keilmuan
Indonesia; merumuskan konsep karakter keilmuan berdasar Pancasila;
menciptakan model pemimpin, warga negara dan ilmuwan yang Pancasilais.
A. Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
1. Konsep Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pengertian Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat
mengacu pada beberapa jenis pemahaman. Pertama, bahwa setiap ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dikembangkan di Indonesia haruslah
tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kedua,
bahwa setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilainilai
Pancasila sebagai faktor internal pengembangan iptek itu sendiri. Ketiga,
bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan
iptek di Indonesia, artinya mampu mengendalikan iptek agar tidak keluar dari
cara berpikir dan cara bertindak bangsa Indonesia. Keempat, bahwa setiap
pengembangan iptek harus berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia
sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah indegenisasi ilmu (mempribumian
ilmu).
Keempat pengertian Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu
sebagaimana dikemukakan di atas mengandung konsekuensi yang berbeda-beda.
Pengertian pertama bahwa iptek tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila mengandung asumsi bahwa iptek itu sendiri
berkembang secara otonom, kemudian dalam perjalanannya dilakukan adaptasi
dengan nilai-nilai Pancasila.
Pengertian kedua bahwa setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia
harus menyertakan nilai-nilai Pancasila sebagai faktor internal mengandaikan
bahwa sejak awal pengembangan iptek sudah harus melibatkan nilai-nilai
Pancasila. Namun, keterlibatan nilai-nilai Pancasila ada dalam posisi tarik ulur,
artinya ilmuwan dapat mempertimbangkan sebatas yang mereka anggap layak
untuk dilibatkan.
Pengertian ketiga bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu
normatif bagi pengembangan iptek mengasumsikan bahwa ada aturan main yang
harus disepakati oleh para ilmuwan sebelum ilmu itu dikembangkan. Namun,
tidak ada jaminan bahwa aturan main itu akan terus ditaati dalam perjalanan
pengembangan iptek itu sendiri. Sebab ketika iptek terus berkembang, aturan
main seharusnya terus mengawal dan membayangi agar tidak terjadi kesenjangan
antara pengembangan iptek dan aturan main.
Pengertian keempat yang menempatkan bahwa setiap pengembangan iptek
harus berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia sendiri sebagai proses
indegenisasi ilmu mengandaikan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai dasar
nilai pengembangan ilmu, tetapi sudah menjadi paradigma ilmu yang
berkembang di Indonesia. Untuk itu, diperlukan penjabaran yang lebih rinci dan
pembicaraan di kalangan intelektual Indonesia, sejauh mana nilai-nilai Pancasila
selalu menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan-keputusan ilmiah yang
diambil.
2. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Apakah Anda menyadari bahwa kehadiran ilmu pengetahuan dan
teknologi di sekitar kita ibarat pisau bermata dua, di satu sisi iptek memberikan
kemudahan untuk memecahkan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang
dihadapi, tetapi di pihak lain dapat membunuh, bahkan memusnahkan peradaban
umat manusia. Contoh yang pernah terjadi adalah ketika bom atom yang
dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia Kedua. Dampaknya
tidak hanya dirasakan warga Jepang pada waktu itu, tetapi menimbulkan
traumatik yang berkepanjangan pada generasi berikut, bahkan menyentuh nilai
kemanusiaan secara universal. Nilai kemanusiaan bukan milik individu atau
sekelompok orang atau bangsa semata, tetapi milik bersama umat manusia.
Pentingnya Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu dapat ditelusuri
ke dalam hal-hal sebagai berikut. Pertama, pluralitas nilai yang berkembang dalam
kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini seiring dengan kemajuan iptek
menimbulkan perubahan dalam cara pandang manusia tentang kehidupan. Hal ini
membutuhkan renungan dan refleksi yang mendalam agar bangsa Indonesia tidak
terjerumus ke dalam penentuan keputusan nilai yang tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa. Kedua, dampak negatif yang ditimbulkan kemajuan iptek
terhadap lingkungan hidup berada dalam titik nadir yang membahayakan
eksistensi hidup manusia di masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan
tuntunan moral bagi para ilmuwan dalam pengembangan iptek di Indonesia.
Ketiga, perkembangan iptek yang didominasi negara-negara Barat dengan politik
global ikut mengancam nilai-nilai khas dalam kehidupan bangsa Indonesia,
seperti spiritualitas, gotong royong, solidaritas, musyawarah, dan cita rasa
keadilan. Oleh karena itu, diperlukan orientasi yang jelas untuk menyaring dan
menangkal pengaruh nilai-nilai global yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
kepribadian bangsa Indonesia.
B. Diperlukannya Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pernahkah terpikir oleh Anda bahwa tidak ada satu pun bangsa di dunia ini
yang terlepas dari pengaruh pengembangan iptek, meskipun kadarnya tentu saja
berbeda-beda. Kalaupun ada segelintir masyarakat di daerah-daerah pedalaman
di Indonesia yang masih bertahan dengan cara hidup primitif, asli, belum
terkontaminasi oleh kemajuan iptek, maka hal itu sangat terbatas dan tinggal
menunggu waktunya saja. Hal ini berarti bahwa ancaman yang ditimbulkan oleh
pengembangan iptek yang terlepas dari nilai-nilai spiritualitas, kemanusiaan,
kebangsaan, musyawarah, dan keadilan merupakan gejala yang merambah ke
seluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, beberapa alasan Pancasila diperlukan sebagai dasar nilai
pengembangan iptek dalam kehidupan bangsa Indonesia meliputi hal-hal sebagai
berikut. Pertama, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh iptek, baik
dengan dalih percepatan pembangunan daerah tertinggal maupun upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu mendapat perhatian yang serius.
Penggalian tambang batubara, minyak, biji besi, emas, dan lainnya di Kalimantan,
Sumatera, Papua, dan lain-lain dengan menggunakan teknologi canggih
mempercepat kerusakan lingkungan. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut,
maka generasi yang akan datang, menerima resiko kehidupan yang rawan
bencana lantaran kerusakan lingkungan dapat memicu terjadinya bencana, seperti
longsor, banjir, pencemaran akibat limbah, dan seterusnya.
Kedua, penjabaran sila-sila Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
iptek dapat menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan iptek
yang berpengaruh pada cara berpikir dan bertindak masyarakat yang cenderung
pragmatis. Artinya, penggunaan benda-benda teknologi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia dewasa ini telah menggantikan peran nilai-nilai luhur yang
diyakini dapat menciptakan kepribadian manusia Indonesia yang memiliki sifat
sosial, humanis, dan religius. Selain itu, sifat tersebut kini sudah mulai tergerus
dan digantikan sifat individualistis, dehumanis, pragmatis, bahkan cenderung
sekuler.
Ketiga, nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi simbol kehidupan di
berbagai daerah mulai digantikan dengan gaya hidup global, seperti: sikap
bersahaja digantikan dengan gaya hidup bermewah-mewah, konsumerisme;
solidaritas sosial digantikan dengan semangat individualistis; musyawarah untuk
mufakat digantikan dengan voting, dan seterusnya.
C. Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Dasar Nilai
Pengembangan Ilmu di Indonesia
1. Sumber Historis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di
Indonesia
Sumber historis Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di
Indonesia dapat ditelusuri pada awalnya dalam dokumen negara, yaitu Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945
berbunyi:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
dan seterusnya .
Kata mencerdaskan kehidupan bangsa mengacu pada pengembangan
iptek melalui pendidikan. Amanat dalam Pembukaan UUD 1945 yang terkait
dengan mencerdaskan kehidupan bangsa itu haruslah berdasar pada nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa, dan seterusnya, yakni Pancasila. Proses
mencerrdaskan kehidupan bangsa yang terlepas dari nilai-nilai sipiritualitas,
kemanusiaan, solidaritas kebangsaan, musyawarah, dan keadilan merupakan
pencederaan terhadap amanat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang
merupakan dokumen sejarah bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu belum banyak dibicarakan
pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat
para pendiri negara yang juga termasuk cerdik cendekia atau intelektual bangsa
Indonesia pada masa itu mencurahkan tenaga dan pemikirannya untuk
membangun bangsa dan negara. Para intelektual merangkap sebagai pejuang
bangsa masih disibukkan pada upaya pembenahan dan penataan negara yang
baru saja terbebas dari penjajahan. Penjajahan tidak hanya menguras sumber
daya alam negara Indonesia, tetapi juga menjadikan bagian terbesar dari rakyat
Indonesia berada dalam kemiskinan dan kebodohan. Segelintir rakyat Indonesia
yang mengenyam pendidikan di masa penjajahan itulah yang menjadi pelopor
bagi kebangkitan bangsa sehingga ketika negara Indonesia merdeka
diproklamirkan, mereka merasa perlu mencantumkan aspek kesejahteraan dan
pendidikan ke dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang
berbunyi ..memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
melindungi segenap tanah tumpah darah Indonesia . Sila-sila Pancasila yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 jelas merupakan
bagian dari amanat para pendiri negara untuk mengangkat dan meningkatkan
kesejahteraan dan memajukan kesejahteraan bangsa dalam arti penguatan
perekonomian bangsa dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat
mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia agar setara dengan
bangsabangsa
lain di dunia.
Soekarno dalam rangkaian kuliah umum Pancasila Dasar Falsafah
Negara pada 26 Juni 1958 sampai dengan 1 Februari 1959 sebagaimana disitir
Sofian Effendi, Rektor UGM dalam Simposium dan Sarasehan Pancasila
sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, 14
15
Agustus 2006, selalu menyinggung perlunya setiap sila Pancasila dijadikan
blueprint bagi setiap pemikiran dan tindakan bangsa Indonesia karena kalau tidak
akan terjadi kemunduran dalam pencapaian keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia (Effendi, 2006: xiii). Pancasila sebagai blueprint dalam pernyataan
Soekarno kurang lebih mengandung pengertian yang sama dengan Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan iptek karena sila-sila Pancasila sebagai cetak
biru harus masuk ke dalam seluruh rencana pemikiran dan tindakan bangsa
Indonesia.
Sumber historis lainnya dapat ditelusuri dalam berbagai diskusi dan
seminar di kalangan intelektual di Indonesia, salah satunya adalah di perguruan
tinggi.
Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu baru mulai dirasakan
sebagai kebutuhan yang mendesak sekitar 1980-an, terutama di perguruan tinggi
yang mencetak kaum intelektual. Salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang
membicarakan hal tersebut adalah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada
15 Oktober 1987, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan seminar dengan
tema Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu bekerja sama dengan
Harian Kedaulatan Rakyat. Dalam sambutannya, Rektor Universitas Gadjah
Mada pada waktu itu, Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H. menegaskan
bahwa seminar dengan tema Pancasila sebagai orientasi Pengembangan Ilmu
merupakan hal baru, dan sejalan dengan Pasal 2 Statuta Universitas Gadjah Mada
yang disitirnya dalam dalam sambutan, berbunyi sebagai berikut.
Universitas Gadjah Mada adalah lembaga pendidikan tinggi nasional bagi
pembentukan dan pengembangan kepribadian serta kemampuan manusia
seutuhnya bagi pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bagi
pelestarian dan pengembangan secara ilmiah unsur-unsur dan seluruh
kebudayaan serta lingkungan hidup dan lingkungan alaminya, yang
diselenggarakan dalam rangka pembangunan bangsa dan negara sesuai
penjelmaan dan pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
demi tercapainya cita-cita proklamasi kemerdekaan seperti tercantum
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (Koesnadi, 1987: xi-xii).
Konsep Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pernah
dikemukakan oleh Prof Notonagoro, anggota senat Universitas Gadjah Mada
sebagaimana dikutip oleh Prof. Koesnadi Hardjasoemantri dalam sambutan
seminar tersebut, yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan pegangan dan
pedoman dalam usaha ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sebagai asas dan
pendirian hidup, sebagai suatu pangkal sudut pandangan dari subjek ilmu
pengetahuan dan juga menjadi objek ilmu pengetahuan atau hal yang diselidiki
(Koesnadi, 1987: xii). Penggunaan istilah asas dan pendirian hidup mengacu
pada sikap dan pedoman yang menjadi rambu normatif dalam tindakan dan
pengambilan keputusan ilmiah.
Daoed Joesoef dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Pancasila,
Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan menyatakan bahwa Pancasila adalah
gagasan vital yang berasal dari kebudayaan Indonesia, artinya nilai-nilai yang
benar-benar diramu dari sistem nilai bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu,
Pancasila memiliki metode tertentu dalam memandang, memegang kriteria
tertentu dalam menilai sehingga menuntunnya untuk membuat pertimbangan
(judgement) tertentu tentang gejala, ramalan, dan anjuran tertentu mengenai
langkah-langkah praktikal (Joesoef, 1987: 1, 15). Konsep Pancasila sebagai dasar
nilai pengembangan ilmu menurut cara pandang Daoed Joesoef adalah sebagai
tuntunan dan pertimbangan nilai dalam pengembangan iptek.
Prof. Dr. T Jacob melihat bahwa pada abad XVII terjadi perubahan besar
dalam cara berpikir manusia. Hal ini ditandai dengan terjadinya sekularisasi ilmu
pengetahuan sehingga terjadi pemisahan antara raga dan jiwa yang dipelajari
secara terpisah. Bagian raga diperlakukan sebagai materi dan diterangkan
sebagaimana halnya dengan gejala alam. Ilmu pengetahuan alam terpisah dari
ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Menjelang akhir abad XX, t kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat sehingga terjadi teknologisasi
kehidupan dan penghidupan. Teknologi berkembang sendiri dan makin terpisah,
serta jauh meninggalkan agama dan etika, hukum, ilmu pengetahuan sosial dan
humaniora (Jacob, 1987: 51-52). Prof. Dr. T. Jacob menegaskan bahwa Pancasila
seharsunya dapat membantu dan digunakan sebagai dasar etika ilmu pengetahuan
dan teknologi di Indonesia. Untuk itu, lima prinsip besar yang terkandung dalam
Pancasila cukup luas dan mendasar untuk mencakup segala persoalan etik dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu (1) Monoteisme; (2) Humanisme dan
solidaritas karya negara; (3). Nasionalisme dan solidaritas warga negara; (4).
Demokrasi dan perwakilan; (5). Keadilan sosial (Jacob, 1987: 59).
Penjabaran sila-sila Pancasila ke dalam sistem etika ilmiah dikemukakan
Jacob sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa melengkapi ilmu
pengetahuan dengan menciptakan perimbangan antara yang irasional dan
rasional, antara rasa dan akal. Sila pertama ini, menempatkan manusia dalam
alam semesta sebagai bagiannya, bukan sebagai pusat dan tuan, serta menuntut
tanggung jawab sosial dan intergenerasional dari ilmuwan dan teknologi. Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberi arah dan mengendalikan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu
untuk kemanusiaan. Sila Persatuan Indonesia melengkapi universalisme dan
internasionalisme dalam sila-sila yang lain sehingga supra sistem tidak
mengabaikan sistem dan subsistem di bawahnya. Aspek universal dan lokal harus
dapat hidup secara harmonis dengan tidak saling merugikan. Sila Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
mengimbangi autodinamika iptek, serta mencegah teknologi berevolusi sendiri
dengan leluasa. Percobaan, penerapan, dan penyebaran ilmu pengetahuan harus
mencerminkan semangat demokratis dan perwakilan rakyat harus dapat
memusyawarahkannya sejak dari kebijakan penelitian sampai ke penerapan massal
hasil-hasilnya. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menekankan
ketiga keadilan Aristoteles (distributif, legalis, dan komutatif) dalam pengembangan,
pengajaran, penerapan iptek.
Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara individu dan masyarakat.
Contoh penerapan Pancasila sebagai etika ilmiah, antara lain hormat terhadap
hayat (penerapan sila I); Persetujuan sukarela untuk eksperimen dengan
penerangan yang cukup dan benar tentang guna dan akibatnya (II & IV);
Tanggung jawab sosial ilmu pengetahuan dan teknologi harus lebih penting
daripada pemecahan persoalan ilmiah (sila II dan V); Pelestarian lingkungan
melewati generasi (sila I, II, V) (Jacob, 1987: 59--61). Sikap ilmiah yang
didasarkan pada moralitas Pancasila merupakan upaya pengendalian
pengembangan iptek, sekaligus sebagai faktor penyeimbang antara kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Koentowijoyo dalam artikelnya, Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan
Humaniora di Indonesia bertitik tolak dari kesadaran bahwa manusia hidup di
tengah-tengah tiga lingkungan, yaitu lingkungan material, lingkungan sosial, dan
lingkungan simbolik. Lingkungan material terkait dengan lingkungan buatan
manusia, seperti rumah, jembatan, peralatan, dan lain sebagainya. Lingkungan
sosial ialah organisasi sosial, stratifikasi, sosialisasi, gaya hidup, dan sebagainya.
Lingkungan simbolik ialah segala sesuatu yang meliputi makna dan komunikasi,
seperti bahasa, mite, nyanyian, seni, upacara, tingkah laku, konsep, dan lain
sebagainya (Koentowijoyo, 1987: 90). Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu dalam tafsir Koentowijoyo diletakkan sebagai kekuatan normatif humanisasi
yang melawan kekuatan kecenderungan naturalisasi manusia, mekanisasi manusia,
dan kesadaran teknik. Pancasila sebagai kerangka kesadaran normatif humanisasi
dapat merupakan dorongan ke arah dua hal penting: Pertama, universalisasi, yaitu
melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan dengan struktur, terutama penggunaan
simbol untuk kepentingan sebuah kelas sosial, baik yang datang dari kubu pasar
bebas maupun dari negara perencana. Kedua, transendentalisasi, yaitu
meningkatkan derajat kemerdekaan manusia, kebebasan spiritual untuk melawan
dehumanisasi dan subhumanisasi manusia yang datang dari teknologi dan ilmu
pengetahuan (Koentowijoyo, 1987: 101).
Simposium dan Sarasehan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu
Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa yang diselenggarakan Universitas
Gadjah Mada bekerja sama dengan KAGAMA, LIPI, dan LEMHANNAS
merupakan upaya untuk menempatkan kedudukan Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan iptek. Sofian Effendi, rektor UGM dalam sambutan Simposium
tersebut menegaskan bahwa dunia perguruan tinggi seharusnya menjadi
intellectual bastion (benteng pertahanan intelektual) dalam pengembangan
metaontologis tentang filsafat ilmu pengetahuan yang menurunkan ilmu
pengetahuan yang mendukung kepentingan nasional bangsa Indonesia (Sofian
Effendi, 2006: xliv). Beberapa tokoh intelektual yang berpartisipasi dalam simposium
dansarasehan tersebut, antara lain Prof. Dr. Muladi, Prof. Dr. M. Sastraparaedja,
dan Prof. Dr. Ir. Wahyudi Sediawan.
Prof. Dr. Muladi menegaskan bahwa kedudukan Pancasila sebagai
common denominator values, artinya nilai yang mempersatukan seluruh potensi
kemanusiaan melalui counter values and counter culture. Pancasila merupakan
refleksi penderitaan bangsa-bangsa di dunia secara riil sehingga mengandung
nilai-nilai agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai-nilai
universal HAM. Selanjutnya, Muladi mengaitkan Pancasila dan ilmu
pengetahuan dengan meletakkannya pada posisi in between, yaitu antara
operational science yang didasarkan pada regularity occurring phenomena
dengan non-origin science yang didasarkan atas non-repeatable events yang
biasa dikaitkan dengan alam semesta ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Muladi,
2006). Dengan demikian, pengembangan ilmu dan teknologi seharusnya
dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai common denominator values,
yakni nilai-nilai yang disepakati bersama-sama oleh bangsa Indonesia, sekaligus
sebagai kerangka acuan bersama.
Prof. Dr. M. Sastrapratedja dalam artikelnya yang berjudul, Pancasila
sebagai Orientasi Pembangunan Bangsa dan Pengembangan Etika Ilmu
Pengetahuan menegaskan ada dua peran Pancasila dalam pengembangan iptek,
yaitu pertama, Pancasila merupakan landasan dari kebijakan pengembangan ilmu
pengetahuan, yang kedua, Pancasila sebagai landasan dari etika ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal pertama yang terkait dengan kedudukan
Pancasila sebagai landasan kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan
mencakup lima hal sebagai berikut. Pertama, bahwa pengembangan ilmu
pengetahuan harus menghormati keyakinan religius masyarakat karena dapat saja
penemuan ilmu yang tidak sejalan dengan keyakinan religious, tetapi tidak harus
dipertentangkan karena keduanya mempunyai logika sendiri. Kedua, ilmu
pengetahuan ditujukan bagi pengembangan kemanusiaan dan dituntun oleh nilainilai
etis yang berdasarkan kemanusiaan. Ketiga, iptek merupakan unsur yang
menghomogenisasikan budaya sehingga merupakan unsur yang
mempersatukan dan memungkinkan komunikasi antarmasyarakat. Membangun
penguasaan iptek melalui sistem pendidikan merupakan sarana memperkokoh
kesatuan dan membangun identitas nasional. Keempat, prinsip demokrasi akan
menuntut bahwa penguasaan iptek harus merata ke semua masyarakat karena
pendidikan merupakan tuntutan seluruh masyarakat. Kelima, kesenjangan dalam
penguasaan iptek harus dipersempit terus menerus sehingga semakin merata,
sebagai konsekuensi prinsip keadilan sosial (Sastrapratedja, 2006: 52--53).
Hal kedua yang meletakkan Pancasila sebagai landasan etika
pengembangan iptek dapat dirinci sebagai berikut. (1) Pengembangan iptek
terlebih yang menyangkut manusia haruslah selalu menghormati martabat
manusia, misalnya dalam rekayasa genetik; (2) iptek haruslah meningkatkan
kualitas hidup manusia, baik sekarang maupun di masa depan; (3) pengembangan
iptek hendaknya membantu pemekaran komunitas manusia, baik lokal, nasional
maupun global (4) iptek harus terbuka untuk masyarakat; lebih-lebih yang
memiliki dampak langsung kepada kondisi hidup masyarakat; (5) iptek
hendaknya membantu penciptaan masyarakat yang semakin lebih adil
(Sastrapratedja, 2006: 53).
Salah satu disiplin ilmu yang acapkali menjadi sorotan karena
menyuarakan kepentingan pasar adalah bidang Ekonomi. Pertanyaan yang sering
muncul ke permukaan ialah apakah landasan nilai pengembangan ilmu ekonomi
di Indonesia? Persoalan ini tampaknya telah menggelitik salah seorang ekonom
kenamaan di Indonesia, yaitu Prof. Emil Salim. Pada 1965, Emil Salim
memperkenalkan untuk pertama kalinya istilah ekonomi Pancasila dan
memublikasikan dua karangan tentang ekonomi Pancasila, yaitu pertama dalam
bentuk monografi yang diterbitkan LEKNAS (Lembaga Ekonomi dan
Kemasyarakatan Nasional); yang kedua dalam satu bab khusus buku yang
diterbitkan LEKNAS untuk peserta Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional).
Istilah ekonomi Pancasila dari Emil Salim, kemudian berkembang dalam
seminar-seminar tentang ekonomi Pancasila yang diselenggarakan sekitar dan
1981.Tokoh atau ekonom yang serius mengembangkan ekonomi Pancasila ini
adalah Prof. Mubyarto. Perbedaan di antara kedua tokoh tersebut, ialah Emil
Salim mencoba memberi pendasaran terhadap jalan ekonomi yang akan diambil
pemerintahan Orde Baru, tetapi Emil Salim tidak pernah menolak kehadiran
ekonomi neo-klasik, sebab ia berpandangan bahwa ilmu ekonomi itu bersifat
universal. Kalupun terdapat ketidaksesuaian antara teori ekonomi dan praktik,
maka kekeliruannya terletak pada praktik. Oleh karena itu, Emil Salim tidak
menyusun teori baru karena memang ilmu ekonomi (neo klasik) tidak keliru,
hanya penerapannya yang mungkin keliru. Berbeda halnya dengan Mubyarto
yang dalam pidato Pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi pada 1979 di
Universitas Gadjah Mada dengan tegas mengemukakan bahwa ilmu ekonomi
mainstream (neo klasik) tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia.
Mubyarto menegaskan bahwa teori ekonomi neo-klasik tidak mampu
mendistribusikan kue ekonomi secara merata, dan tidak mendukung terhadap
gagasan keadilan sosial (Tarli Nugroho, tt: 4--5). Landasan nilai yang mencuat
dalam pemikiran Mubyarto tentang ekonomi Pancasila, terutama terletak pada
kata kunci keadilan sosial, sebab yang dapat merasakan ketimpangan tersebut
adalah masyarakat luas. Kesenjangan antara kelompok elit (the have) dan kelompok
masyarakat awam, wong alit (The have not) tercermin dalam kehidupan masyarakat.
Mubyarto menjelaskan ada lima ciri ekonomi Pancasila, yaitu (1) roda
perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral; (2)
kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah kemerataan sosial
(egalitarianism); (3) prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan
perekonomian nasional yang tangguh yang berarti nasionalisme menjiwai tiap
kebijakan ekonomi; (4) koperasi merupakan saka guru perekonomian dan
merupakan bentuk paling konkret dari usaha bersama; (5) adanya imbangan yang
jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dan desentralisasi dalam
pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan sosial (Nugroho, tt: 9).
Berdasarkan pada uraian tersebut diketahui bahwa meletakkan nilai Pancasila
sebagai pengembangan ilmu ekonomi merupakan sebuah cara untuk memberi
landasan moral terhadap sistem ekonomi yang diterapkan dalam kehidupan
bernegara sebagaimana terlihat pada butir (1), di samping itu, keadilan sosial
dalam butir (2) dan (5) merupakan hakikat dari ekonomi Pancasila yang
didukung dengan semangat nasionalisme, seperti tertuang dalam butir (3), maka
pilihan untuk menggerakkan perekonomian bangsa melalui koperasi butir (4)
merupakan sebuah pilihan yang tepat bagi penyelenggara negara Indonesia.
2. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan
Ilmu di Indonesia
Sumber sosiologis Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dapat
ditemukan pada sikap masyarakat yang sangat memperhatikan dimensi
ketuhanan dan kemanusiaan sehingga manakala iptek tidak sejalan dengan nilai
ketuhanan dan kemanusiaan, biasanya terjadi penolakan. Contohnya, penolakan
masyarakat atas rencana pembangunan pusat pembangkit listrik tenaga nuklir di
semenanjung Muria beberapa tahun yang lalu. Penolakan masyarakat terhadap
PLTN di semenanjung Muria didasarkan pada kekhawatiran atas kemungkinan
kebocoran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Chernobyl Rusia beberapa tahun
yang lalu. Trauma nuklir berkaitan dengan keselamatan reaktor nuklir dan
keluaran limbah radioaktif yang termasuk ke dalam kategori limbah beracun.
Kedua isu tersebut memicu dampak sosial sebagai akibat pembangunan PLTN,
bukan hanya bersifat standar seperti terciptanya kesempatan kerja, kesempatan
berusaha, tiumbulnya gangguan kenyaman karena kemacetan lalu lintas, bising,
getaran, debu, melainkan juga dampak yang bersifat khusus, seperti rasa cemas,
khawatir dan takut yang besarnya tidak mudah dikuantifikasi. Dalam terminologi
dampak sosial, hal yang demikian itu dinamakan perceived impact, dampak yang
dipersepsikan (Sumber: Suara Merdeka, 8 Desember 2006).
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat peka terhadap isu-isu ketuhanan
dan kemanusiaan yang ada di balik pembangunan pusat tenaga nuklir tersebut.
Isu ketuhanan dikaitkan dengan dikesampingkannya martabat manusia sebagai
hamba Tuhan Yang Maha Esa dalam pembangunan iptek. Artinya, pembangunan
fasilitas teknologi acapkali tidak melibatkan peran serta masyarakat sekitar,
padahal apabila terjadi dampak negatif berupa kerusakan fasilitas teknologi,
maka masyarakat yang akan terkena langsung akibatnya. Masyarakat sudah
menyadari perannya sebagai mahluk hidup yang dikaruniai akal dan
pertimbangan moral sehingga kepekaan nurani menjadi sarana untuk bersikap
resisten terhadap kemungkinan buruk yang terjadi di balik pengembangan iptek.
Masyarakat terlebih peka terhadap isu kemanusiaan di balik pembangunan dan
pengembangan iptek karena dampak negatif pengembangan iptek, seperti limbah
industri yang merusak lingkungan, secara langsung mengusik kenyamanan hidup
masyarakat.
3. Sumber Politis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
di Indonesia
Sumber politis Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di
Indonesia dapat dirunut ke dalam berbagai kebijakan yang dilakukan oleh para
penyelenggara negara. Dokumen pada masa Orde Lama yang meletakkan
Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan atau orientasi ilmu, antara lain dapat
dilihat dari pidato Soekarno ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa di
UGM pada 19 September 1951, mengungkapkan hal sebagai berikut.
Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia
dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidup manusia, atau
praktiknya bangsa, atau praktiknya hidup dunia kemanusiaan. Memang
sejak muda, saya ingin mengabdi kepada praktik hidup manusia,
bangsa, dan dunia kemanusiaan itu. Itulah sebabnya saya selalu
mencoba menghubungkan ilmu dengan amal, menghubungkan
pengetahuan dengan perbuatan sehingga pengetahuan ialah untuk
perbuatan, dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. Ilmu dan amal
harus wahyu-mewahyui satu sama lain. Buatlah ilmu berdwitunggal
dengan amal. Malahan, angkatlah derajat kemahasiswaanmu itu
kepada derajat mahasiswa patriot yang sekarang mencari ilmu, untuk
kemudian beramal terus menerus di wajah ibu pertiwi (Ketut, 2011).
Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pada
zaman Orde Lama belum secara eksplisit dikemukakan, tetapi oleh Soekarno
dikaitkan langsung dengan dimensi kemanusiaan dan hubungan antara ilmu dan
amal. Selanjutnya, pidato Soekarno pada Akademi Pembangunan Nasional di
Yogyakarta, 18 Maret 1962, mengatakan hal sebagai berikut.
Ilmu pengetahuan itu adalah malahan suatu syarat mutlak pula, tetapi
kataku tadi, lebih daripada itu, dus lebih mutlak daripada itu adalah suatu
hal lain, satu dasar. Dan yang dimaksud dengan perkataan dasar, yaitu
karakter. Karakter adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan.Ilmu
pengetahuan tetap adalah suatu syarat mutlak. Tanpa karakter yang gilang
gemilang, orang tidak dapat membantu kepada pembangunan nasional,
oleh karena itu pembangunan nasional itu sebenranya adalah suatu hal
yang berlangit sangat tinggi, dan berakar amat dalam sekali. Berakar amat
dalam sekali, oleh karena akarnya itu harus sampai kepada inti-inti
daripada segenap cita-cita dan perasaan-perasaan dan gandrungangandrungan
rakyat (Soekarno, 1962).
Pidato Soekarno di atas juga tidak mengaitkan dengan Pancasila, tetapi
lebih mengaitkan dengan karakter, yakni kepercayaan yang sesuai dengan nilainilai
Pancasila.
Pada zaman Orde Baru, presiden Soeharto menyinggung masalah Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu ketika memberikan sambutan pada Kongres
Pengetahuan Nasional IV, 18 September 1986 di Jakarta sebagai berikut.
Ilmu pengetahuan dan teknologi harus diabdikan kepada manusia dan
kemanusiaan, harus dapat memberi jalan bagi peningkatan martabat
manusia dan kemanusiaan. Dalam ruang lingkup nasional, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang ingin kita kuasai dan perlu kita
kembangkan haruslah ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa memberi
dukungan kepada kemajuan pembangunan nasional kita. Betapapun
besarnya kemampuan ilmiah dan teknologi kita dan betapapun suatu karya
ilmiah kita mendapat tempat terhormat pada tingkat dunia, tetapi apabila
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak dapat membantu
memecahkan masalah-masalah pembangunan kita, maka jelas hal itu
merupakan kepincangan, bahkan suatu kekurangan dalam
penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi (Soeharto, 1986: 4).
Demikian pula halnya dengan zaman Orde Baru, meskipun Pancasila
diterapkan sebagai satu-satunya asas organisasi politik dan kemasyarakatan, tetapi
penegasan tentang Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di
Indonesia belum diungkapkan secara tegas. Penekanannya hanya pada iptek
harus diabdikan kepada manusia dan kemanusiaan sehingga dapat memberi
jalan bagi peningkatan martabat manusia dan kemanusiaan.
Pada era Reformasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
sambutan pada acara silaturrahim dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(AIPI) dan masyarakat ilmiah, 20 Januari 2010 di Serpong. SBY menegaskan
sebagai berikut.
Setiap negara mempunyai sistem inovasi nasional dengan corak yang
berbeda dan khas, yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masingmasing.
Saya berpendapat, di Indonesia, kita juga harus mengembangkan
sistem inovasi nasional, yang didasarkan pada suatu kemitraan antara
pemerintah, komunitas ilmuwan dan swasta, dan dengan berkolaborasi
dengan dunia internasional. Oleh karena itu, berkaitan dengan pandangan
ini dalam waktu dekat saya akan membentuk komite inovasi nasional,
yang langsung bertanggungjawab kepada presiden, untuk ikut memastikan
bahwa sistem inovasi nasional dapat berkembang dan berjalan dengan baik.
Semua ini penting kalau kita sungguh ingin Indonesia menjadi knowledge
society.strategi yang kita tempuh untuk menjadi negara maju, developed
country, adalah dengan memadukan pendekatan sumber daya alam, iptek,
dan budaya atau knowledge based, Resource based and culture based
development (Yudhoyono, 2010).
Habibie dalam pidato 1 Juni 2011 menegaskan bahwa penjabaran
Pancasila sebagai dasar nilai dalam berbagai kebijakan penyelenggaraan negara
merupakan suatu upaya untuk mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan
(Habibie, 2011: 6).
Berdasarkan pemaparan isi pidato para penyelenggara negara tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa sumber politis dari Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan iptek lebih bersifat apologis karena hanya memberikan dorongan
kepada kaum intelektual untuk menjabarkan nilai-nilai Pancasila lebih lanjut.
D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan
Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
1. Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu
Pancasila sebagai pengembangan ilmu belum dibicarakan secara eksplisit
oleh para penyelenggara negara sejak Orde Lama sampai era Reformasi. Para
penyelenggara negara pada umumnya hanya menyinggung masalah pentingnya
keterkaitan antara pengembangan ilmu dan dimensi kemanusiaan (humanism).
Kajian tentang Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu baru mendapat
perhatian yang lebih khusus dan eksplisit oleh kaum intelektual di beberapa
perguruan tinggi, khususnya Universitas Gadjah Mada yang menyelenggarakan
Seminar Nasional tentang Pancasila sebagai pengembangan ilmu, 1987 dan
Simposium dan Sarasehan Nasional tentang Pancasila sebagai Paradigma Ilmu
Pengetahuan dan Pembangunan Nasioanl, 2006. Namun pada kurun waktu
akhirakhir ini, belum ada lagi suatu upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
Pancasila dalam kaitan dengan pengembangan Iptek di Indonesia.
2. Tantangan Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Ada beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai dasar
pengembangan iptek di Indonesia:
a. Kapitalisme yang sebagai menguasai perekonomian dunia, termasuk
Indonesia. Akibatnya, ruang bagi penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai
dasar pengembangan ilmu menjadi terbatas. Upaya bagi pengembangan
sitem ekonomi Pancasila yang pernah dirintis Prof. Mubyarto pada 1980an belum menemukan wujud nyata yang dapat diandalkan untuk
menangkal dan menyaingi sistem ekonomi yang berorientasi pada
pemilik modal besar.
b. Globalisasi yang menyebabkan lemahnya daya saing bangsa Indonesia
dalam pengembangan iptek sehingga Indonesia lebih berkedudukan sebagai
konsumen daripada produsen dibandingkan dengan negara-negara lain.
c. Konsumerisme menyebabkan negara Indonesia menjadi pasar bagi produk
teknologi negara lain yang lebih maju ipteknya. Pancasila sebagai pengembangan
ilmu baru pada taraf wacana yang belum berada pada tingkat aplikasi kebijakan
negara.
d. Pragmatisme yang berorientasi pada tiga ciri, yaitu; workability (keberhasilan),
satisfaction (kepuasan), dan result (hasil) (Titus, dkk., 1984) mewarnani perilaku
kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.
E. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
untuk Masa Depan
1. Esensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Hakikat Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dikemukakan
Prof. Wahyudi Sediawan dalam Simposium dan sarasehan Pancasila sebagai
Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa sebagai berikut.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kesadaran bahwa
manusia hidup di dunia ibarat sedang menempuh ujian dan hasil ujian akan
menentukan kehidupannya yang abadi di akhirat nanti. Salah satu ujiannya
adalah manusia diperintahkan melakukan perbuatan untuk kebaikan, bukan untuk
membuat kerusakan di bumi. Tuntunan sikap pada kode etik ilmiah dan
keinsinyuran. seperti menjunjung tinggi keselamatan, kesehatan, dan
kesejahteraan masyarakat; berperilaku terhormat, bertanggung jawab, etis dan
taat aturan untuk meningkatkan kehormatan, reputasi dan kemanfaatan
professional, dan lain-lain, adalah suatu manifestasi perbuatan untuk kebaikan
tersebut. Ilmuwan yang mengamalkan kompetensi teknik yang dimiliki dengan
baik sesuai dengan tuntunan sikap tersebut berarti menyukuri anugrah Tuhan
(Wahyudi, 2006: 61--62).
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberikan arahan,
baik bersifat universal maupun khas terhadap ilmuwan dan ahli teknik di
Indonesia. Asas kemanusiaan atau humanisme menghendaki agar perlakuan
terhadap manusia harus sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu
memiliki keinginan, seperti kecukupan materi, bersosialisasi, eksistensinya
dihargai, mengeluarkan pendapat, berperan nyata dalam lingkungannya, bekerja
sesuai kemampuannya yang tertinggi (Wahyudi, 2006: 65). Hakikat kodrat
manusia yang bersifat mono-pluralis, sebagaimana dikemukakan Notonagoro,
yaitu terdiri atas jiwa dan raga (susunan kodrat), mahluk individu dan sosial (sifat
kodrat), dan mahluk Tuhan dan otonom (kedudukan kodrat) memerlukan
keseimbangan agar dapat menyempurnakan kualitas kemanusiaannya.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia memberikan landasan esensial bagi
kelangsungan Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu,
ilmuwan dan ahli teknik Indonesia perlu menjunjung tinggi asas Persatuan
Indonesia ini dalam tugas-tugas profesionalnya. Kerja sama yang sinergis
antarindividu dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing akan
menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi daripada penjumlahan
produktivitas individunya (Wahyudi, 2006: 66). Suatu pekerjaan atau tugas yang
dikerjakan bersama dengan semangat nasionalisme yang tinggi dapat
menghasilkan produktivitas yang lebih optimal.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan memberikan arahan asa kerakyatan, yang
mengandung arti bahwa pembentukan negara republik Indonesia ini adalah oleh
dan untuk semua rakyat Indonesia. Setiap warga negara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama terhadap negara. Demikian pula halnya dengan ilmuwan
dan ahli teknik wajib memberikan kontribusi sebasar-besarnya sesuai
kemampuan untuk kemajuan negara. Sila keempat ini juga memberi arahan
dalam manajemen keputusan, baik pada tingkat nasional, regional maupun
lingkup yang lebih sempit (Wahtudi, 2006: 68). Manajemen keputusan yang
dilandasi semangat musyawarah akan mendatangkan hasil yang lebih baik karena
dapat melibatkan semua pihak dengan penuh kerelaan.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia memberikan
arahan agar selalu diusahakan tidak terjadinya jurang (gap) kesejahteraan di
antara bangsa Indonesia. Ilmuwan dan ahli teknik yang mengelola industri perlu
selalu mengembangkan sistem yang memajukan perusahaan, sekaligus menjamin
kesejahteraan karyawan (Wahyudi, 2006: 69). Selama ini, pengelolaan industri
lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dalam arti keuntungan perusahaan
sehingga cenderung mengabaikan kesejahteraan karyawan dan kelestarian
lingkungan. Situasi timpang ini disebabkan oleh pola kerja yang hanya
mementingkan kemajuan perusahaan. Pada akhirnya, pola tersebut dapat menjadi
pemicu aksi protes yang justru merugikan pihak perusahaan itu sendiri.
2. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pentingnya Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu, meliputi halhal
sebagai berikut.
a. Perkembangan ilmu dan teknologi di Indonesia dewasa ini tidak berakar
pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga ilmu
pengetahuan yang dikembangkan di Indonesia sepenuhnya berorientasi
pada Barat (Western oriented)
b. Perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia lebih berorientasi pada
kebutuhan pasar sehingga prodi-prodi yang laku keras di perguruan
tinggi Indonesia adalah prodi-prodi yang terserap oleh pasar (dunia industri).
c. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia belum
melibatkan masyarakat luas sehingga hanya menyejahterakan kelompok
elite yang mengembangkan ilmu (scientist oriented).
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan. 1979. Pengembangan Pancasila Di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Idayu.
Admoredjo, Sudjito bin. 2009. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila .
Makalah dalam Kongres Pancasila di UGM Yogyakarta, 30 --31 Mei s.d. 1
Juni 2009.
Aiken, H. D.. 2009. Abad Ideologi, Yogyakarta: Penerbit Relief.
Ali, As ad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta:
Pustaka LP3ES.
Asdi, Endang Daruni. 2003. Manusia Seutuhnya Dalam Moral Pancasila.
Jogjakarta: Pustaka Raja.
Bahar, Saafroedin, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.). 1995,
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945
--22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Bahm, Archie. 1984. Axiology: The Science of Values. New Mexico: Albuquerque.
_________.. 1995. Epistemology; Theory of Knowledge. New Mexico:
Albuquerque.
Bakker, Anton. 1992. Ontologi: Metafisika Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan Pancasila. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Branson, M. S. 1998. The Role of Civic Education, A Fortcoming education
policy Task Force Position. Paper from the Communitarian Network.
Darmodiharjo, Darjidkk. 1991. Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis,
Historis dan Yuridis Konstitusional. Surabaya: Usaha Nasional.
Darmodihardjo, D. 1978. Orientasi Singkat Pancasila. Jakarta: PT. Gita Karya.
Delors, J. et al. 1996. Learning the Treasure Within, Education for the 21th
Century. New York: UNESCO.
Diponolo.G.S. 1975. Ilmu Negara Jilid 1. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. 2013. Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Jakarta: Departeman
Pendidikan Nasional Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Driyarkara. tt. Pancasila dan Religi.Tanpa kota dan penerbit.
Federick, W. H., dan Soeri Soeroto (Eds). 2005. Pemahaman Sejarah Indonesia:
Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Frondizi, Risieri.. 2001. What is Value?. Terjemahan Cuk Ananta Wijaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hatta, Mohammad. 1977. Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press.
Todung Mulya Lubis. tt. Pancasila, Globalisasi, dan Hak Asasi Manusia dalam:
Restorasi Pancasila. Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas.
Penyunting, Irfan Nasution dan Ronny Agustinus. Jakarta: Perhimpunan
Pendidikan Demokrasi.
Hunnex, Milton D. 1986. Chronological and Thematic Charts of Philosophies
and Philosophers. Michigan: Chandler Publishing Company.
Hidayat, Arief. 2012. Dengan Judul Negara Hukum Pancasila : Suatu Model
Ideal Penyelenggaraan Negara Hukum. Artikel ini disampaikan pada
Kongres Pancasila IV di UGM Yogyakarta tanggal 31 Mei -- 1 Juni 2012.
Ismaun. 1981. Tinjauan Pancasila Dasar Filasafat Negara Republik Negara
Indonesia. Bandung: Carya Remadja.
Ismaun. 1978. Pancasila: Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia: dalam
Rangka Cita-cita dan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan. Bandung: Carya
Remadja.
Ismaun. 1975. Problematika Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia. CV.
Yulianti. Bandung
Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis,
Yuridis, dan Aktualisasinya. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Kaelan. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
Kelsen, Hans. 1970. The Pure Theory of Law, Translation from the Second
(Revised and Enlarged). German: University of California.
Kenneth R. Hall. 1989. Dalam Suwarno. Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia
Dahulu dan Sekarang. Penerbit UAJ. Yogyakarta.
Kusuma, A.B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, , Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lacey Hugh. 1999 Is Science Value Free? London: Routledge.
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
____________2013. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR Republik Indonesia.
Littlejohn, Stephen W., Foss, Karen A. 2008. Theories of Human Communication.
Penerjemah: Mohammad Yusuf Hamdan. (TeoriKomunikasi). Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika.
Magee, Bryan. 2008. The Story of Philosophy. Penerjemah: Marcus Widodo,
Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius.
Mahfud, M D. 2009. Pancasila Hasil Karya dan Milik Bersama , Makalah pada
Kongres Pancasila di UGM tanggal 30 Mei 2009.
Magnis-Suseno, Franz. 2011. Nilai-nilai Pancasila sebagai Orientasi
Pembudayaan Kehidupan Berkonstitusi dalam Implementasi Nilai-nilai
Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia, Kerjasama
Mahkamah Konstitusi RI dengan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
2--3 Mei 2013.
Martodihardjo, Susanto, dkk. 1993, Bahan Penataran Pedoaman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila. Jakarta: BP-7 Pusat.
Muzayin. 1992. Ideologi Pancasila (Bimbingan ke Arah Penghayatan dan
Pengamalan bagi Remaja). Jakarta: Golden Terayon Press.
Notonagoro.1994. Pancasila Secara ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara.
Nugroho, Tarli. tt. Ekonomi Pancasila: Refleksi Setelah Tiga Dekade. Tanpa kota
dan penerbit.
Oetojo Oesman dan Alfian (Eds). 1991. Pancasila Sebagai Ideologi dalam
Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
Jakarta: BP-7 Pusat,.
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation-State: the Rise of Regional
Economies. New York: Simon and Schuster Inc.
____________. 2002. Hancurnya Negara-Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan
dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia tak Berbatas. Yogyakarta: Qalam.
Pabottinggi, Mochtar, 2006, Pancasila sebagai Modal Rasionalitas Politik ,
dalam Simposium dan Sarasehan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu
Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, 14--15 Agustus 2006, Kerjasama
Universitas Gadjah Mada, KAGAMA, LIPI, dan LEMHANNAS.
Yogyakarta.
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009--2014.(2013).
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI.
Prawirohardjo, Soeroso, dkk. 1987. Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan
Ilmu.Yogyakarta: Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat.
Ristek (Ed.). 2009, Sains dan Teknologi: Berbagi Ide untuk Menjawab Tantangan
dan Kebutuhan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Riyanto, Astim. 2009. Makalah Pendidikan Pancasila di Perguruan
Tinggi :Tinjauan Yuridis yang dipresentasikan dalam Workshop
Pengkajian Penerapan Mata Kuliah Pendidikan Pancasila di Perguruan
Tinggi bertempat di Hotel Ambhara Jakarta.
Sastrapratedja, M. 2001 Pancasila sebagai Visi dan Referensi Kritik Sosial.
Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma.
Soeharto. 1986. Sambutan pada Pembukaan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional
IV, 8 September 1986. Jakarta.
Soepardo, dkk. 1962. Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia. Jakarta: Dinas
Penerbitan Balai Pustaka.
Soeprapto, Bahar, S dan Arianto, L. 1995. Cita Negara Persatuan Indonesia.
Jakarta: BP-7 Pusat.
Suweca, I Ketut. 2011 Apa Kata Bung Karno tentang Buku, Ilmu, dan Amal?
(Edukasi.kompasiana.com/2011/10/04/apa-kata-bung-karno-tentangbukuilmu-dan-amal-398633.html).
Taylor, A. E. 1955 Aristotle New York: Dover Publications, Inc.
The Liang Gie. 1977. Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat.
Yogyakarta: Karya Kencana.
Thomson, J. B. 1984 Studies in the Theory of Ideology Los Angeles: University of
California Press.
Tim MKWU Pancasila. 2014. Buku Ajar Pendidikan Pancasila. Jakarta: Dirjen Dikti.
Kemdikbud RI. Tersedia di kuliahdaring.dikti.go.id.
Titus, Smith, and Nolan. 1984. Living Issues in Philosophy. Alih bahasa: H.M.
Rasjidi (Persoalan-Persoalan Filsafat). Jakarta: BulanBintang.
Toyibin Aziz. M. 1997. Pendidikan Pancasila. Rineka Cipta. Jakarta.
Winarno. 2016. Paradigma Baru Pendidikan Pancasila.Jakarta: Bumi Aksara.
Winataputra, Udin S. 2008. Multikulturalisme Bhinneka Tunggal Ika dalam Perspektif
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana pembangunan karakter bangsa
Indonesia. Jurna Acta Civicus, Vol. 2 No 1 Januari, Oktober 2008
Winataputra, Udin S. 2014. Diskursus Aktual tentang Pendidikan Kewarganegaraan
dalam Konteks Kurikulum 2013. Jurnal PPKn Vol 2 No 1, Oktober 2008
Yamin Muhamad. 1982. Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Yamin Muhamad. 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang dasar 1945. Indonesia.
Vol. II dan III. Siguntang. Jakarta.
Yusuf, Slamet Effendi. 2009. Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Pancasila .
Makalah dalam Kongres Pancasila di UGM Yogyakarta, 30--31 Mei s.d. 1
Juni 2009.