Militer

Abstak: Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui penerapan teori belajar behavioristik dalam pendidikan militer. Tulisan ini memakai pendekatan kualitatif yang bersumber pada studi kepustakaan. Data yang bersumber pada studi kepustakaan kemudian dipilah dan diolah dengan cara triangulasi dana dan heuristik. Hasil yang ingin dicapai dari tulisan ini ialah (1) fungsi dan manfaat teori belajar dan pembelajaran ditentukan pada penerapannya, dan (2) teori behavioristik dapat diterapkan dalam pendidikan militer.

Militer di Amerika Latin merupakan sesuatu hal yang penting dalam sistem pemerintahan dan pernah menjadi alat yang strategis untuk melanggengkan kekuasaan sebuah rezim. Militer pernah digunakan sebagai pelindung bagi pemimpin sebuah rezim otoritarian, juga dimanfaatkan untuk menjalankan kewenangan pemimpin otoritarian tersebut. Masa lalu Amerika Latin tidak bisa dilepaskan dari campur tangan militer dalam pusat kekuasaan, karena itu rezim-rezim modern di Amerika Latin saat ini mengalami resistensi transitoris dari pemerintahan militerisme menuju demokrasi representatif. Demokrasi representatif oleh sebagian Negara-negara di Amerika Latin dianggap sebagai sebuah rezim kebajikan tertinggi. Walaupun pada realitas yang ada sebuah pemerintah militerisme dan rezim-rezim otoritarian akan menghilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa masa lalu dan sejarah di Amerika Latin mengenai militer merupakan hal yang unik untuk dikaji, hal ini juga berkaitan dengan konteks perjuangan Amerika Latin untuk memperjuangkan sebuah rezim demokrasi. Perjuangan ini bahkan berjalan terus-menerus hingga sekarang. Bagi Amerika Latin demokrasi merupakan kebajikan tertinggi mengingat pernah ada warisan masa lalu militer pada rezim otoriter. Militer difungsikan untuk menyingkirkan institusi yang sebenarnya berada pada pusat kekuasaan dan kewenangan itu. Sistem pemerintahan politik yang didominasi militer disisi lain juga akan ikut menciptakan kespesifikan korporasi militer. Namun mengenai dominasi militer di pemerintahan atau politik itu tidak berarti bahwa kekuasaan militer tidak dapat dimusnahkan. Militer tidak mampu memaksakan bentuk pemerintahan yang mereka sukai dan memperpanjang masa kekuasaan mereka, karena pada akhirnya demokrasi di Amerika Latin dapat tercapai walau harus melalui proses transisi yang lama dan berat.

Tulisan ini mengulas sesosok nama, Jenderal Besar Abdul Haris (AH) Nasution. Figur yang berjalin dengan nama besar dalam sejarah Indonesia: Sukarno, Hatta, Sudirman dan Soeharto. Namun, Nasution ternyata bukan sekedar nama dalam sejarah Indonesia. Karena itu, tulisan ini akan terasa begitu singkat melukiskan sosok Nasution.

KEKAYAAN udara, air dan tanah adalah sebesar-besarnya untuk kedaulatan rakyat. Setidaknya hal ini menjadi spirit utama pengelolaan sumber daya alam yang tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kenyataannya, sumber daya alam tidak hanya dikuasai, melainkan juga sebesar-besarnya untuk para pemilik modal. Hal itu antara lain nampak dalam berbagai penguasaan sumber daya alam di berbagai tempat di Indonesia, tidak terkecuali di Sulawesi Tengah.

Ironisnya proses penguasaan sumber daya alam di berbagai tempat di Indonesia terkesan diawali oleh konflik komunal. Konflik Poso, misalnya. Kesan ini menimbulkan pertanyaan, apakah konflik berkaitan erat dengan penguasaan modal oleh investor.

Tulisan ini adalah sebuah upaya kecil untuk mengungkapkan bagaimana hubungan antara dampak kerusuhan Poso berupa eskalasi kehadiran aparat bersenjata TNI dan Polisi, khususnya Brigade Mobil (Brimob) di wilayah Morowali dan Banggai dengan masuknya investor. Selain itu tulisan ini mau melihat respons masyarakat setempat, khususnya petani dan nelayan, terhadap masuknya proyek-proyek raksasa yang sedang atau akan dibangun oleh para penanam modal itu.

Skripsi ini menjelaskan diplomasi Jepang dan AS dalam merespon peningkatan anggaran militer Tiongkok periode 2006-2010. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa kepentingan Jepang meningkatkan diplomasi dengan AS dalam merespon peningkatan anggaran militer Tiongkok periode 2006-2010. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis yang dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka. Kerangka pemikiran yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah konsep kepentingan nasional, diplomasi, balance of power, security dilemma, dan resolusi konflik. Konsep kepentingan nasional dan diplomasi digunakan untuk menganalisis kepentingan Jepang meningkatkan diplomasi dengan AS. Konsep balance of power dan security dilemma digunakan untuk menganalisa kondisi yang terjadi antara Tiongkok, Jepang dan AS. Sedangkan konsep resolusi konflik digunakan untuk menganalisa upaya yang dilakukan Jepang dan AS dalam mencegah terjadinya konflik dengan Tiongkok. Dari hasil analisa penulis menggunakan kerangka pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa peningkatan anggaran militer Tiongkok periode 2006- 2010 sangat mengancam Jepang dan AS, sehingga diplomasi Jepang dan AS pada periode tersebut bertujuan untuk mereduksi ancaman dari Tiongkok tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menemukan bahwa kepentingan Jepang meningkatkan diplomasi dengan AS, antara lain untuk membendung kebangkitan Tiongkok, melindungi kedaulatan negara, meningkatkan keamanan nasional, menjaga stabilitas keamanan regional, dan memperkuat kerja sama pertahanan dengan AS. Dalam sistem internasional yang anarki, peningkatan aliansi dengan negara kuat (superior) sangat dibutuhkan untuk mencegah ancaman eksternal. Peningkatan diplomasi dengan AS sangat dibutuhkan Jepang untuk meminimalisir ancaman dari Tiongkok. Selain itu, peningkatan aliansi dengan Jepang juga dibutuhkan AS untuk mempertahankan hegemoninya dan menjaga perdamaian di kawasan Asia Timur.

Apa benar Pak Prabowo itu pembunuh? Apa benar Pak Prabowo itu penculik?
Buat yang ingin mengerti sejarah, kita tidak boleh antipati terhadap figur seperti Pak Prabowo
Jika Prabowo benar bersalah, mengapa justru korban-korban penculikan seperti Pius L. Lanang dan Desmond J. Mahesa malah menjadi pengurus Partai Gerindra?
Apa dan bagaimana hubungan Pak Wiranto dengan Pak Prabowo dimasa silam?
Apa betul Pak Wiranto memiliki dendam dan menjadikan Pak Prabowo sebagai kambing hitam Kerusuhan Mei 1998?

Simak pembahasannya

Pengaruh militer dalam sistem politik sangatlah penting bagi suatu negara, seperti Indonesia dan Filipina. Militer dapat dikatakan memiliki peranan penting dalam politik karena militer menjadi satu-satunya media dalam menstabilisasi kehidupan politik di pemerintahan suatu negara. Indonesia dan Filipina memiliki suatu pengaruh militer dalam sistem politik yang mana keduanya memiliki persamaan dan perbedaan. Maka, penulis kemudian akan secara lebih lanjut menjelaskan perbandingan pengaruh militer dalam sistem politik Indonesia dan Filipina.

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup, oleh karena itu kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap waktu merupakan hak azasi yang harus dipenuhi. Sebagai kebutuhan dasar dan hak azasi manusia, pangan mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi suatu negara. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat terjadi jika ketahanan pangan terganggu yang pada akhirnya dapat membahayakan stabilitas nasional. Dalam hal ini, hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia lain. Ketahanan pangan menjadi syarat mutlak bagi suatu negara untuk melaksanakan pembangunan secara mantap.

Dalam penanganan aksi terorisme sering kali muncul perdebatan dimana peran militer diperlukan atau tidak diperlukan. Peran militer dipertentangkan karena terorisme dianggap lebih cocok jika ditangani dengan pendekatan hukum.

Di Indonesia terdapat satuan antiteror TNI yang dimiliki oleh masing-masing matra. Pembentukan satuan tersebut tentu memerlukan banyak biaya. Kemampuannya juga tidak perlu diragukan lagi. Namun sejak pasca reformasi dan terjadinya Bom Bali peran satuan antiteror TNI seolah diberangus. Polri memperbesar diri dengan Densus-88/AT Polri untuk menangani teror. Polri sudah merasa mampu untuk menangani aksi terorisme di Indonesia. Lalu untuk apa satuan antiteror TNI tersebut? Quo Vadis?

Kami memproduksi: Jual Tenda Pleton Jogja, Jual Tenda Pramuka Jogja, Harga Tenda Pramuka Jogja, Jual Tenda Pramuka Di Jogja, Jual Tenda Pleton Jogja Harga, Jual Tenda Pleton Jogja Murah, Jual Tenda Pleton Jogja Online, Jual Tenda Pleton Di Jogja, Jual Tenda Pleton Jogja Berkualitas, Jual Tenda Pleton Jogja Termurah


Tenda Pleton atau tenda regu merupakan jenis tenda standart militer/TNI. Jenis tenda ini banyak digunakan untuk keperluan barak tentara atau bahkan sering digunakan sebagai tenda pengungsian oleh BAZARNAS ataupun dinas kesehatan kemanusiaan akibat bencana alam seperti banjir, gunung meletus, kebakaran, gempa bumi, dan lain-lain. Tenda ini dapat menampung kapasitas banyak orang karena ukurannya yang besar. Tenda pleton juga menggunakan bahan material yang kuat sehingga sangat kokoh dan sangat efisien untuk segala medan sesuai kondisi dilapangan/dilokasi bencana alam ataupun lokasi pelatihan kegiatan militer TNI.
Kelebihan membeli ditempat kami:
1. Bahan menggunakan bahan terpal jip yang kualitasnya tidak mudah robek atau bisa memilih sesuai kebutuhan
2. Ukuran bisa disesuaikan dengan kebutuhan
3. Rangka menggunakan pipa besi yang tebal dengan ukuran sisi 1 dim, diagonal ¾, tiang kaki 1,5 dim
4. Sablon sesuai logo perusahaan
5. Harga TERMURAH

HUBUNGI KAMI:
Ibu LUSI
HP/WA: +62 85 234 791 637 (Tsel)
Office: Dusun Glintung RT 07 RW 05, Desa Kepatihan, Kec. Menganti, Kab. Gresik, Jawa Timur

This article seeks to explain the increasingly regressive (or illiberal) behaviour on the part of the Indonesian military. It focuses on the expansion of the Army's Territorial Command structure, the growing military intrusion into civilian polity and the stunted progress of military professionalism. It provides an organisational, rather than political, perspective. Conceptually, the article synthesises various approaches to comparative politics to explain why and how military personnel policies affect political behaviour. Empirically, using a series of original datasets of hundreds of officers, the article demonstrates how promotional logjams-too many officers but too few positions available-over the past decade help explain the regressive behaviours we recently witnessed. It is further argued that the lack of institutionalisation in personnel policies gave rise to and prolonged these logjams. This article draws attention to the importance of intra-organisational dynamics in understanding the state of civil-military relations in post-authoritarian Indonesia.