AGAMA DAN BUDAYA

Hubungan agama dan budaya selalu menjadi hal yang menarik untuk diteliti terutama ketika dalam masyarakat dimana agama khususnya Islam tumbuh dalam suatu lingkungan sosial budaya yang kompleks seperti yang terjadi pada masyarakat negeri Pelauw Kabupaten Maluku Tengah. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan dialektika agama dan budaya dalam pelaksanaan ritual hitirima pada masyarakat Negeri Pelauw. Bagaimana proses ritual dalam konteks relasi Islam dan budaya merupakan masalah utama dalam penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan melakukan observasi partisipatoris terhadap pelaksanaan ritual hitirima serta wawancara mendalam dengan tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat yang menjadi informan kunci dalam penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, (1) dalam konteks beragama, masyarakat Pelauw dapat menerima dan menempatkan tradisi lokal sebagai bagian dari kehidupan sosial bersama, (2) dilihat dari perlengkapan dan atribut yang dipakai peserta, jalannya ritual, serta doa-doa yang dibacakan, nampak adanya relasi kuat antara agama dan budaya dalam pelaksanaan ritual hitirima.

Perjumpaan agama dan budaya menjadi elemen penting dalam hidup beriman. Kerangka teori Richard Neibuhr membantu masyarakat Indonesia memahami keberagaman keyakinan sebagai kekayaan. Khususnya Umat Katolik dapat berjumpa dengan budaya setempat tanpa harus menghilangkannya.

Kerukunan antar umat beragama tertuang dalam kitab suci al Qur'an sangat relevan karena, Allah melindungi agama-agama. Ajaran normatif Islam adalah penerimaan tidak hanya terjadi pada perbedaan agama melainkan keragaman ras, gender, kewarganegaraan dan etnis. Al Qur'an mengajarkan persaudaraan universal dan penerimaan terhadap kemajemukan dalam masyarakat. Mempertemukan antara agama dan budaya, bukan berarti kehilangan ruang untuk mengkomunikasinya tetapi, menjadi keharusan agar persoalan keagamaan tidak terkungkung. Tiga persoalan yang akan dibahas adalah: pertama, Bagaimana bentuk-bentuk penerapan nilai-nilai etika yang terbingkai dalam kerukunan umat beragama di desa Besowo? Kedua, Bagaimana budaya Jawa yang dilakukan oleh masyarakat desa Besowo membentuk kerukunan umat beragama di desa Besowo? Ketiga, Bagaimana dialektika masyarakat desa Besowo tentang kerukunan umat beragama yang terbingkai dalam budaya yang berbasis etika? Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan ekplorasi mendalam tentang akar-akar kerukunan yang ada di desa Besowo dalam berinteraksi sosial dan pendekatan fenomenologi budaya. Kesimpulan hasil penelitian adalah pertama, bentuk-bentuk penerapan nilai-nilai etika yang terbingkai dalam kerukunan umat beragama di desa Besowo melalui prinsip guyup rukun yang dapat dijabarkan dalam beberapa bentuk kegiatan bersama. Kedua, budaya Jawa yang dilakukan oleh masyarakat desa Besowo adalah tradisi kebersamaan atau Guyub Rukun melalui Srawung, Silaturahmi, dan Anjang Sana dalam berbagai aktifitas sosial maupun agama. Ketiga, Dialektika masyarakat desa Besowo tentang kerukunan umat beragama yang terbingkai dalam budaya yang berbasis etika adalah menghasilkan nilai-nilai pondasi kerukunan masyarakat Besowo selain memiliki konsep guyub rukun juga memiliki sifat nerimo dan sifat sumarah yang keduanya diimplementasikan dalam kerjasama dengan antar umat beragama.

Tulisan ini mengajukan tesis bahwa GNPF-Ulama bukan menjadi kekuatan tunggal dalam mewakili aspirasi politik umat Muslim di Indonesia hari ini, sebagaimana unit analisis mainstream ketika mendiskusikan fenomena populisme Islam di Indonesia. Terdapat Nahdlatul Ulama (NU) yang memainkan peran penting dalam upaya menantang dan bahkan ingin merebut kembali wacana populisme Islam dari GNPF-Ulama. Upaya NU untuk meneguhkan diri sebagai kekuatan politik Islam tidak lepas dari kebangkitan gerakan Bela Islam yang telah mereduksi pengaruh NU sebagai organisasi Islam yang dominan di Indonesia. Seturut dengan hal tersebut, analisis wacana dalam rangka memobilisasi kesadaran umat Islam di Indonesia guna mendapatkan legitimasi penting untuk dikemukakan, baik sebagai kerangka teori maupun metodelogi, selain kajian tentang populisme dan populisme Islam. Di sisi lain, populisme berbasis identitas keagamaan Islam kerap dipahami sebagai salah satu model populisme yang berlawanan dengan kekuatan populisme berbasis nasionalisme. Padahal, upaya menyatukan ide nasionalisme dan Islam telah menjadi narasi agenda populisme bagi NU guna melawan narasi wacana GNPF-Ulama. Terlepas dari perbedaan ideologi keagamaan, perbincangan tentang populisme Islam di Indonesia tidak terlepas dari persoalan pertarungan wacana yang terjadi di dalam internal kekuatan kelompok Islam itu sendiri. Pada akhirnya, tulisan ini menawarkan sebuah pembacaan terhadap fenomena populisme di Indonesia dalam prespektif diskursif.

A. Pengantar Mayarakat Maumutin (nama sebuah desa di kecamatan Raihat-Kabupaten Belu-Provinsi Nusa Tenggara Timur) memiliki sarana pendidikan lokal yang masih dilestarikan hingga saat ini yakni knanuk (peribahasa). Banyak pengalaman sosial masyarakat Maumutin dikisahkan dalam bentuk knanuk yang menjadi sarana pembelajaran. Orang Maumutin dapat membahasakan pengajaran dengan cara yang amat puitis. Knanuk menjadi salah satu jenis sastra idaman warga masyarakat Maumutin karena selain puitis juga memiliki makna yang mendalam. Ada dua bentuk knanukyang biasa dipakai yakni bentuk konkret dan abstrak. Pada bentuk yang pertama (konkret) bahasa yang dipakai langsung menyebut persoalan yang dibahas sedangkan bentuk kedua (abstrak) menggunakan bahasa kiasan. bentuk konkret sering dipakai untuk mendidik anak-anak dalam keluarga sedangkan bentuk abstrak dipakai untuk mengisahkan nilai hidup kepada masyarakat luas. Knanuk banyak digunakan di kalangan orang tua karena merekalah yang menjadi tokoh bijak dalam tatanan masyarakat. Knanuk selain sebagai sarana pendidikan juga merupakan bentuk puisi yang mengisahkan tentang jasa seseorang, mengatakan kejahatan orang lain dan mengungkapkan maksud sindiran tertentu. Oleh karena itu knanuk dapat didengar dalam acara laku merin (nyanyian ketika berjaga jenasah di malam hari), tebe (tarian adat dengan formasi melingkar) dan ketika terjadi ukun dalam keluarga (orangtua memberi nasehat pada anak-anaknya). Kitab Amsal sebagai salah satu jenis sastra kebijaksanaan juga berisikan pepatah, peribahasa, perkataan berhikmat dan ejekan-ejekan1 yang lahir dari pengalaman sosial kemasyarakatan orang Ibrani. Para guru kebijkasanaan menggunakan kalimat-kalimat singkat bermakna untuk memberi pendidikan kepada orang muda (bdk. Ams 1:4). Para guru dengan amat puitis menggugah hati masyarakat saat itu dengan bahasa yang puitis dan menyentuh. Berangkat dari pengalaman manusiawi, para guru kebijksanaan mengarahkan masyarakat secara umum dan kaum muda khususnya untuk melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat. Gambaran tentang knanuk dan Amsal menampilkan adanya beberapa dugaan yakni pertama, Amsal atau perkataan bijak tidak hanya ada dalam tradisi Ibrani melainkan merupakan gaya sastra yang umum dipakai oleh berbagai bangsa dengan tingkat peradaban yang berbeda. Kedua, ada hubungan makna antara Amsal dan knanuk; artinya bahwa baik Amsal maupun 1 1 Dr. Wimvan der Weiden, Seni Hidup, Kanisius: Yogyakarta, 47