Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Permenlhk No 32 Tahun 2016 TTG Pengendalin Kebakaran Hutan Dan Lahan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 69

MENTERILINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016
TENTANG
PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a.

bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah


Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan
atau Pencemaran Lingkungan Hidup, yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, perlu diatur
pedoman umum penanggulangan kebakaran hutan dan
atau lahan ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang
bertanggung

jawab

berkoordinasi dengan

di

bidang

Menteri lain

kehutanan

setelah

yang terkait dan

Instansi yang bertanggung jawab;


b.

bahwa berdasarkan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 25


Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009, telah
ditetapkan

Peraturan

Menteri

Kehutanan

Nomor

P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran


Hutan;

-2-

c.

bahwa

dalam

rangka

pelaksanaan

ketentuan

sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, serta


penyesuaian dengan dinamika kejadian kebakaran hutan
dan lahan, maka perlu

diatur pengendalian kebakaran

hutan dan lahan;


d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


pada huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan;

Mengingat

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
2. Undang-Undang

Nomor

41

Tahun

1999

tentang

Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia

Nomor

3888),

sebagaimana

telah

diubah

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang


Penetapan

Peraturan

Pemerintah

Pengganti

Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas


Undang-Undang

Nomor

41

Tahun

1999

tentang

Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor

68,

Tambahan

Lembaran

Negara

Republik

Indonesia Nomor 4725);


4. Undang-Undang
Perlindungan

Nomor

dan

32

Tahun

Pengelolaan

2009

Lingkungan

tentang
Hidup

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor


140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);

-3-

5. Undang-Undang
Pencegahan

Nomor

dan

18

Tahun

Pemberantasan

2013

Perusakan

tentang
Hutan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor


130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5432);
6. Undang-Undang
Pemerintahan

Nomor

23

Daerah

Tahun

(Lembaran

2014
Negara

tentang
Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 5887), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan

Daerah

(Lembaran

Negara

Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
7. Undang-Undang

Nomor

39

Tahun

2014

tentang

Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5613);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian

Kerusakan

dan

atau

Pencemaran

Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran


Hutan dan atau Lahan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4076);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan

Hutan

(Lembaran

Negara

Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 4453), sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5056);

-4-

10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata


Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan

Hutan

(Lembaran

Negara

Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 4696), sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4814);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang
Perlindungan

dan

Pengelolaan

Ekosistem

Gambut

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor


209, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5580);
12. Peraturan

Presiden

Organisasi

Nomor

Kementerian

Tahun

Negara

2015

tentang

(Lembaran

Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);


13. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian

Lingkungan

Hidup

dan

Kehutanan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor


17);
14. Keputusan Presiden Nomor 121 / P Tahun 2014 tentang
Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri
Kabinet Kerja 2014-2019, sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Presiden Nomor 80/P Tahun 2015;
15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MenLHK-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata

Kerja

Kementerian

Kehutanan

(Berita

Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 713).


16. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor

P.77/MenLHK-II/2015

tentang

Tata

Cara

Penanganan Areal Yang Terbakar Dalam Izin Usaha


Pemanfaatan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 86).

-5-

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

: PERATURAN

MENTERI

LINGKUNGAN

KEHUTANAN

TENTANG

PENGENDALIAN

HIDUP

DAN

KEBAKARAN

HUTAN DAN LAHAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Hutan

adalah

suatu

kesatuan

ekosistem

berupa

hamparan lahan berisi Sumberdaya alam hayati yang


didominasi

pepohonan

dalam

persekutuan

alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat


dipisahkan.
2. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan diluar
kawasan hutan yang peruntukannya untuk usaha dan
atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat.
3. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
4. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak atas tanah.
5. Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah.
6. Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
7. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan negara dengan
ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok untuk
mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari

-6-

Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat


menjamin

pemanfaatannya

bagi

kesejahteraan

masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan manusia.


8. Kawasan Suaka Alam yang selanjutnya disingkat KSA
adalah kawasan konservasi dengan ciri khas tertentu,
baik di darat maupun di perairan yang mempunyai
fungsi

pokok

keanekaragaman

sebagai

kawasan

tumbuhan

pengawetan

dan

satwa

serta

ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem


penyangga kehidupan.
9. Kawasan Pelestarian Alam selanjutnya disingkat KPA
adalah

kawasan

dengan

ciri

khas

tertentu,

baik

didaratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi


pokok

perlindungan

pengawetan

sistem

keanekaragaman

penyangga
jenis

kehidupan,

tumbuhan

dan

satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya


alam hayati dan ekosistemnya.
10. Cagar Alam selanjutnya disingkat CA adalah KSA yang
karena

keadaan

alamnya

mempunyai

kekhasan

tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem


tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami.
11. Suaka Margasatwa selanjutnya disingkat SM adalah KSA
yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman
dan/atau

keunikan

jenis

satwa

yang

untuk

kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan


terhadap habitatnya.
12. Taman Nasional selanjutnya disingkat TN adalah KPA
yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi.
13. Taman Wisata Alam selanjutnya disingkat TWA adalah
KPA dengan tujuan utamanya untuk dimanfaatkan bagi
kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.

-7-

14. Taman Hutan Raya selanjutnya disingkat TAHURA


adalah KPA untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau
satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau
bukan

asli,

yang

dimanfaatkan

bagi

kepentingan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang


budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
15. Taman Buru selanjutnya disingkat TB adalah kawasan
hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
16. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah.
17. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
18. Hutan Tanaman Industri yang selanjutnya disingkat HTI
adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang
dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi
dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi
kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.
19. Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR
adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang
dibangun

oleh

kelompok

masyarakat

untuk

meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi


dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin
kelestarian Sumberdaya hutan.
20. Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi yang selanjutnya
disingkat HTHR adalah hutan tanaman pada hutan
produksi yang dibangun melalui kegiatan merehabilitasi
lahan dan hutan pada kawasan hutan produksi untuk
memulihkan,

mempertahankan

dan

meningkatkan

fungsi lahan dan hutan dalam rangka mempertahankan


daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai
sistem penyangga kehidupan.

-8-

21. Areal

Tertentu adalah suatu areal tertentu dalam

kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung,


dan/atau kawasan hutan konservasi, dapat ditetapkan
sebagai

hutan

desa,

hutan

Kawasan

Hutan

Dengan

sehingga

keberadaannya

kemasyarakatan,

Tujuan
tidak

Khusus
lepas

atau

(KHDTK),

dari

prinsip

pengelolaan hutan lestari.


22. Hutan Desa adalah hutan negara yang belum dibebani
izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan
untuk kesejahteraan desa.
23. Hutan

Kemasyarakatan

pemanfaatan

adalah hutan negara yang

utamanya

ditujukan

untuk

memberdayakan masyarakat.
24. Unit Pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan
dan/atau

lahan

terkecil

sesuai

fungsi

pokok

dan

peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan


lestari.
25. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan
tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh
lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan
memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut,
dengan

bantuan

permodalan
kesejahteraan

ilmu

serta
bagi

pengetahuan

manajemen
pelaku

dan

untuk

usaha

teknologi,

mewujudkan

perkebunan

dan

masyarakat.
26. Pemegang Izin adalah badan usaha dan perorangan yang
diberikan izin di kawasan hutan atau lahan oleh pejabat
yang berwenang berdasarkan peraturan perundanganundangan.
27. Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya disingkat
KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi
pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara
efisien dan lestari, meliputi hutan produksi, lindung dan
konservasi.

-9-

28. Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan adalah meliputi


IUPHHK, IUPHHB dan IUPHHK Restorasi Ekosistem
dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi; dan Pemegang
IUPHHK dan IUPHHBK dalam HTI dan HTHR perorangan
atau Koperasi atau BUMS atau BUMN yang diberi izin
oleh pejabat yang berwenang yang terdiri dari izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan
kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah
ditentukan.
29. Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan yang selanjutnya
disingkat IUPK adalah izin usaha yang diberikan untuk
memanfaatkan kawasan pada hutan lindung dan/atau
hutan produksi.
30. Izin

Usaha

Pemanfaatan

Hasil

Hutan

Kayu

yang

selanjutnya disingkat IUPHHK dan/atau Izin Usaha


Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya
disebut IUPHHBK adalah izin usaha yang diberikan
untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau
bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi
melalui

kegiatan

pemanenan

atau

penebangan,

pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran.


31. Izin

Usaha

Pemanfaatan

Jasa

Lingkungan

yang

selanjutnya disingkat IUPJL adalah izin usaha yang


diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan pada
hutan lindung dan/atau hutan produksi.
32. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya
disingkat IPHHK adalah izin untuk mengambil hasil
hutan

berupa

kayu

pada

hutan

produksi

melalui

kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran


untuk jangka waktu dan volume tertentu.

- 10 -

33. Izin

Pemungutan

selanjutnya

Hasil

disingkat

Hutan

Bukan

Kayu

IPHHBK

adalah

izin

yang
untuk

mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan


lindung dan/atau hutan produksi antara lain berupa
rotan, madu, buah-buahan, getah getahan, tanaman
obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu.
34. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang selanjutnya
disingkat IPPKH adalah izin yang diberikan untuk
menggunakan

kawasan

hutan

pembangunan

di

kegiatan

luar

untuk

kepentingan

kehutanan

tanpa

mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan.


35. IUPHHK Restorasi Ekosistem adalah izin usaha yang
diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan
alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem
penting

sehingga

keterwakilannya

dapat

dipertahankan

melalui

kegiatan

fungsi

dan

pemeliharaan,

perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk


penanaman,
satwa,

pengayaan,

pelepasliaran

penjarangan,
flora

dan

penangkaran
fauna

untuk

mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta


unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu
kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai
keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
36. IUPHHK dan/atau IUPHHBK dalam Hutan Tanaman
adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan
hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam
hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan
penyiapan

lahan,

pembibitan,

penanaman,

pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.


37. Pelaku

Usaha

Perusahaan
perkebunan.

Perkebunan

Perkebunan

adalah

yang

Pekebun

mengelola

dan
usaha

- 11 -

38. Kebakaran Hutan dan Lahan yang selanjutnya disebut


Karhutla adalah suatu peristiwa terbakarnya hutan
dan/atau

lahan,

baik

secara

alami

maupun

oleh

perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan


lingkungan

yang

menimbukan

kerugian

ekologi,

ekonomi, sosial budaya dan politik.


39. Pencegahan Karhutla adalah semua usaha, tindakan
atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau
mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan
dan/atau lahan.
40. Pemadaman Karhutla adalah semua usaha, tindakan
atau kegiatan yang dilakukan untuk menghilangkan
atau mematikan api yang membakar hutan dan/atau
lahan.
41. Penanganan

Pasca

Karhutla

adalah

semua

usaha,

tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi,


monitoring

dan koordinasi dalam rangka menangani

hutan dan/atau lahan setelah terbakar.


42. Dukungan

Evakuasi

dan

Penyelamatan

adalah

dukungan upaya membawa dan menyelamatkan korban


manusia, tumbuhan, satwa dan aset publik sebelum
atau pada saat tejadi kebakaran hutan dan/atau lahan.
43. Dukungan

Manajemen

adalah

segala

kegiatan

administrasi, keuangan, dan kegiatan lainnya yang


bertujuan untuk mendukung pengendalian kebakaran
hutan dan lahan.
44. Kerusakan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan
Kebakaran Hutan dan/atau Lahan adalah pengaruh
perubahan

pada

lingkungan

hidup

yang

berupa

kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup


yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan
yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
45. Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan orang
yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.

- 12 -

46. Kerusakan

Lingkungan

Hidup

adalah

perubahan

langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik,


kimia,

dan/atau

hayati

lingkungan

hidup

yang

melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.


47. Dampak Lingkungan Hidup adalah pengaruh perubahan
pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu
usaha dan/atau kegiatan.
48. Pembukaan Lahan adalah upaya yang dilakukan dalam
rangka

penyiapan

dan

pembersihan

lahan

untuk

kegiatan budidaya maupun non budidaya.


49. Pembukaan

Lahan

Tanpa

Bakar

yang

selanjutnya

disingkat PLTB adalah suatu cara pembukaan lahan


pertanian tanpa melakukan pembakaran.
50. Peringkat Bahaya Kebakaran yang selanjutnya disebut
PBK

adalah

peringkat

yang

digunakan

untuk

mengetahui tingkat resiko terjadinya bahaya kebakaran


hutan

dan

lahan,

di

suatu

wilayah

dengan

memperhitungkan keadaan cuaca atau bahan bakaran


dan kondisi alam lainnya yang berpengaruh terhadap
perilaku api.
51. Titik Panas atau Hotspot adalah istilah untuk sebuah
pixel yang memiliki nilai temperatur di atas ambang
batas (threshold) tertentu dari hasil interpretasi citra
satelit, yang dapat digunakan sebagai indikasi kejadian
kebakaran hutan dan lahan.
52. Masyarakat adalah kesatuan sosial yang terdiri atas
warga negara Republik Indonesia yang tinggal dan
bermukim di dalam dan/atau di sekitar areal kerja
pemanfaatan

hutan

dan

usaha

perkebunan

yang

memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata


pencaharian yang bergantung pada potensi dan aktivitas
yang

dapat

berpengaruh

terhadap

keberlangsungan

usaha pemanfaatan hutan dan usaha perkebunan.

- 13 -

53. Manggala

Agni

adalah

organisasi

pengendalian

kebakaran hutan dan lahan pada tingkat Pemerintahan


Pusat yang mempunyai tugas dan fungsi pencegahan,
pemadaman, penanganan pasca kebakaran, dukungan
evakuasi dan penyelamatan, serta dukungan manajemen
yang dibentuk dan menjadi tanggung jawab Menteri.
54. Pusat

Daerah

Operasi

yang

selanjutnya

disebut

Pusdalops adalah organisasi pusat Manggala Agni yang


dipimpin oleh Direktur yang bertanggung jawab kepada
Direktur Jenderal.
55. Daerah Operasi yang selanjutnya disebut Daops adalah
organisasi pelaksana tugas teknis Manggala Agni di
lapangan

yang

dipimpin

oleh

Kelapa

Daops

yang

bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.


56. Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang
selanjutnya disebut Brigdalkarhutla adalah satuan kerja
yang

mempunyai

melaksanakan

tugas

kegiatan

dan

tanggung

pencegahan,

jawabuntuk
pemadaman,

penanganan pasca kebakaran, serta dukungan evakuasi


dan penyelamatan dalam pengendalian kebakaran hutan
dan lahan di lapangan.
57. Regu Inti Pengendali Kebakaran Hutan adalah regu yang
secara khusus melaksanakan pengendalian kebakaran
hutan di wilayah kerjanya.
58. Regu Pendukung Pengendali Kebakaran Hutan adalah
regu

yang

mendukung

regu

inti

yang

anggotanya

karyawan pemegang izin.


59. Regu Perbantuan Pengendali Kebakaran Hutan adalah
regu yang mendukung regu inti yang anggotanya dari
masyarakat desa binaan setempat.
60. Regu Manggala Agni adalah kelompok personil pelaksana
teknis Brigdalkarhutla Manggala Agni yang dilengkapi
peralatan

dan

sarana-prasarana

pengendalian

kebakaran hutan dan lahan di lapangan yang dipimpin


oleh Kepala Regu yang bertanggung jawab kepada Kepala
Daops.

- 14 -

61. Regu Dalkar adalah kelompok personil pelaksana teknis


Brigdalkar Unit Pengelolaan yang dilengkapi peralatan
dan sarana-prasarana pengendalian kebakaran hutan
dan lahan di lapangan yang dipimpin oleh Kepala Regu
yang

bertanggung

jawab

kepada

Pimpinan

Unit

Pengelolaan.
62. Masyarakat Peduli Api yang selanjutnya disingkat MPA
adalah masyarakat yang secara sukarela peduli terhadap
pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang telah
dilatih atau diberi pembekalan serta dapat diberdayakan
untuk membantu pengendalian kebakaran hutan dan
lahan.
63. Tim Pendamping Desa yang selanjutnya disingkat TPD
adalah sekelompok masyarakat yang terdiri atas unsurunsur penyuluh, Manggala Agni, MPA, aparat kantor
desa

dan

pendamping

desa

lainnya

yang

tinggal,

menetap atau sedang bertugas di wilayah desa dan telah


dilatih untuk memfasilitasi masyarakat dalam menyusun
rencana

dan

melaksanakan

rencana

pencegahan

kebakaran hutan dan lahan di tingkat desa.


64. Sarana Prasarana yang selanjutnya disingkat sarpras
adalah peralatan dan fasilitas yang digunakan untuk
mendukung pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
65. Sarpras Lainnya adalah sarpras untuk mendukung
kegiatan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan
dan lahan.
66. Patroli adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh
Manggala

Agni

dan

semua

pihak

dalam

rangka

pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan


lahan.
67. Mobilisasi adalah pengerahan Sumberdaya yang dimiliki
oleh

para

pihak

untuk

kebakaran hutan dan lahan.

melakukan

pemadaman

- 15 -

68. Koordinasi Kerja adalah rangkaian prosedur kerja dan


sistem kerja yang mengatur hubungan kerja, tugas
pokok dan fungsi antar Unit Kerja dalam rangka
mewujudkan koordinasi, sinkronisasi dan sinergitas
pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
69. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan

di

bidang

lingkungan

hidup

dan

kehutanan.
70. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang diserahi
tugas

dan

tanggung

jawab

dibidang

pengendalian

perubahan iklim.
71. Direktur adalah direktur yang diserahi tugas dan
tanggung jawab dibidang pengendalian kebakaran hutan
dan lahan.

Bagian Kedua
Umum
Pasal 2
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang disebut
dalkarhutla

meliputi

usaha/kegiatan/tindakan

pengorganisasian, pengelolaaan sumberdaya manusia dan


sarana prasarana serta operasional pencegahan, pemadaman,
penanganan

pasca

penyelamatan,

dan

kebakaran,

dukungan

dukungan

manajemen

evakuasi

dan

pengendalian

kebakaran hutan dan/atau lahan.


Pasal 3
Maksud disusunnya Peraturan Menteri ini adalah sebagai
norma, standar, kriteria dan pedoman atas perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan operasional, pengawasan dan
evaluasi

dalam

pelaksanaan

usaha/kegiatan/tindakan

dalkarhutla untuk para pihak terkait, sehingga terjaminnya


efektifitas dan efisiensi jangkauan pengendalian kebakaran
hutan dan lahan.

- 16 -

Pasal 4
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:
a. Organisasi Dalkarhutla;
b. Sumberdaya Manusia Dalkarhutla;
c. Sarana Prasarana Dalkarhutla;
d. Operasional Dalkarhutla;
e. Pengembangan Inovasi Dalkarhutla;
f. Pemberdayaan Masyarakat dan Kerjasama Kemitraan;
g. Pelaporan, Pengawasan dan Evaluasi;
h. Penghargaan dan Sanksi; dan
i. Pembiayaan.

BAB II
ORGANISASI DALKARHUTLA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Organisasi Dalkarhutla sebagaimana dimaksud dalam
Pasal

huruf

merupakan

organisasi

pelaksana

pengendalian kebakaran hutan dan lahan.


(2) Organisasi Dalkarhutla sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dibentuk berdasarkan:
a. Tingkat Pemerintahan;
b. Tingkat Pengelolaan.
Pasal 6
(1) Organisasi

Dalkarhutla

Tingkat

Pemerintahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)huruf a,


terdiri dari tingkat:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Provinsi;
c. Pemerintah Kabupaten/Kota.

- 17 -

(2) Organisasi

Dalkarhutla

Pemerintah

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a bertanggung jawab


terhadap upaya Dalkarhutla secara nasional.
(3) Organisasi Dalkarhutla Pemerintah Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b bertanggung jawab
terhadap upaya Dalkarhutla di wilayah administrasi
provinsi.
(4) Organisasi

Dalkarhutla

Pemerintah

Kabupaten/Kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bertanggung


jawab

terhadap

upaya

Dalkarhutla

di

wilayah

administrasi Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Organisasi Dalkarhutla Pemerintah
Pasal 7
Organisasi Dalkarhutla Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a,terdiri dari:
a. Organisasi Dalkarhutla yang berfungsi koordinatif; dan
b. Organisasi Dalkarhutla yang berfungsi operasional.
Pasal 8
(1) Organisasi

Dalkarhutla

Pemerintah

yang

berfungsi

koordinatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf


a, bersifat ad-hoc,dilaksanakan oleh Satuan Tugas yang
disebut

Satgas

Pengendali

Nasional

Penanganan

Kebakaran Hutan dan Lahan.


(2) Satgas

Pengendali

Nasional

Penanganan

Kebakaran

Hutan dan Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


ditetapkan oleh Menteri.
(3) Satgas

Pengendali

Nasional

Penanganan

Kebakaran

Hutan dan Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


diketuai oleh Menteri dan beranggotakan sekurangkurangnya

Kepala

Badan

Nasional

Penanggulangan

Bencana (BNPB), Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN,


Menteri Kesehatan, Panglima TNI, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Meteorologi,

- 18 -

Klimatologi

dan

Geofisika,

Kepala

Badan

Informasi

Geospasial, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa


Nasional

dan

atau

Kementerian/Lembaga

terkait

Dalkarhutla lainnya sesuai tingkat kepentingan dan


kewenangannya.
(4) Satgas

Pengendali

Nasional

Penanganan

Kebakaran

Hutan dan Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),


berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan,

dan

berfungsi

mengkoordinasikan

perencanaan, pengorganisasian, operasional, pengawasan


dan evaluasi dalam setiap usaha Dalkarhutla.
(5) Dalam

hal

menjalankan

fungsi

koordinatif

Satgas

Pengendali Nasional Penanganan Kebakaran Hutan dan


Lahan dapat membentuk kesekretariatan yang disebut
Posko Krisis Kebakaran Hutan dan Lahan Nasional.
Pasal 9
(1) Organisasi

Dalkarhutla

Pemerintah

yang

berfungsi

operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf


b, dilaksanakan oleh Brigdalkarhutla Pemerintah yang
disebut Manggala Agni.
(2) Manggala Agni sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terdiri atas:
a. Tingkat Pusat, yang disebut Manggala Agni Pusat;
b. Tingkat

Regional,

yang

disebut

Manggala

Agni

Regional; dan
c. Tingkat Daerah Operasi, yang disebut Daops Manggala
Agni.
Pasal 10
(1) Manggala Agni Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (2) huruf a, berkedudukan di Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
(2) Manggala Agni Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipimpin oleh Direktur dan bertanggung jawab kepada
Direktur Jenderal.

- 19 -

Pasal 11
Mangala Agni Regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2) huruf b, dipimpin oleh Kepala Brigdalkarhutla Unit
Pelaksana Teknis Pusat dan bertanggung jawab kepada
Direktur Jenderal.
Pasal 12
(1) Daops Manggala Agni sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) huruf c, sebagai pelaksana operasional
Dalkarhutla, dipimpin oleh Kepala Daops, di bawah
pembina teknis Manggala Agni Regional dan bertanggung
jawab kepada Manggala Agni Pusat.
(2) Wilayah kerja Daops Manggala Agni dapat lebih dari satu
Kabupaten/Kota.
(3) Wilayah

kerja

dimaksud

Daops

pada

Manggala

ayat

(2)

Agni

sebagaimana

ditetapkan

dengan

mempertimbangkan jangkauan pelayanan pengendalian


kebakaran hutan dan lahan.
(4) Berdasarkan liputan wilayah kerjanya, Daops Manggala
Agni dapat membangun lebih dari satu Pondok Kerja atau
Posko

Lapangan

sebagai

sarana

memperlancar

operasional di lapangan.
(5) Organisasi Daops Manggala Agni sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), terdiri dari dua atau lebih Regu Manggala
Agni,

yang

dipimpin

oleh

Kepala

Regu

dan

bertanggungjawab kepada Kepala Daops Manggala Agni.


(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Organisasi dan Wilayah
Kerja Daops Manggala Agni sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Ketiga
Organisasi Dalkarhutla Pemerintah Provinsi
Pasal 13
(1) Organisasi Dalkarhutla Pemerintah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, dapat dibentuk
atau

menunjuk

organisasi

yang

bertanggung

terhadap dalkarhutla pada tingkat provinsi.

jawab

- 20 -

(2) Organisasi Dalkarhutla Pemerintah Provinsi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1),terdiri dari:
a. Organisasi Dalkarhutla yang berfungsi koordinatif; dan
b. Organisasi Dalkarhutla yang berfungsi operasional.
Pasal 14
(1) Organisasi

Dalkarhutla

Pemerintah

Provinsi

yang

berfungsi koordinatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13 ayat (2) huruf a bersifat ad-hoc, yang disebut Satgas
Pengendali Provinsi Penanganan Kebakaran Hutan dan
Lahan.
(2) Satgas Pengendali Provinsi Penanganan Kebakaran Hutan
dan

Lahan

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(1),

ditetapkan oleh Gubernur.


(3) Satgas Pengendali Provinsi Penanganan Kebakaran Hutan
dan Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diketuai
oleh

Gubernur,

sekurang-kurangnya

beranggotakan

Sekretariat Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan


Daerah (BAPPEDA), Badan Penanggulangan Bencana
Daerah, Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), Dinas
Teknis

bidang

Kehutanan,

Perkebunan,

Pertanian

dan/atau Dinas Teknis terkait lainnya, Manggala Agni,


Pemerintah

Kabupaten/Kota

dibawahnya,

Pemerintah

Provinsi disekitarnya, Kepolisian Daerah, TNI setempat,


dan atau instansi terkait Dalkarhutla lainnya sesuai
tingkat kepentingan dan kewenangannya.
(4) Satgas Pengendali Provinsi Penanganan Kebakaran Hutan
dan

Lahan

sebagaimana

berkedudukan
bersangkutan,

di

Kantor

memiliki

dimaksud
Pemerintah
fungsi

pada

ayat

Provinsi

(3),
yang

mengkoordinasikan

perencanaan, pengorganisasian, operasional, pengawasan


dan evaluasi dalam setiap usaha Dalkarhutla.
(5) Satgas Pengendali Provinsi Penanganan Kebakaran Hutan
dan Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), aktif
berkoordinasi setiap saat dengan Satgas Pengendali
Nasional Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan.

- 21 -

(6) Satgas Pengendali Provinsi Penanganan Kebakaran Hutan


dan

Lahan

disebut

wajib

Posko

membentuk

Krisis

Kebakaran

kesekretariatan
Hutan

yang

dan

Lahan

Provinsi

yang

dimaksud

dalam

Provinsi.
Pasal 15
(1) Organisasi
berfungsi

Dalkahutla
operasional

Pemerintah
sebagaimana

Pasal 13 ayat (2) huruf b, dilaksanakan oleh Satuan Kerja


Dalkarhutla, dipimpin Kepala Satuan Kerja Dalkarhutla,
dan bertanggung jawab kepada Gubernur.
(2) Satuan Kerja Dalkarhutla sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur.
(3) Satuan Kerja Dalkarhutla sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), menjalankan perencanaan, pengorganisasian,
operasional, pengawasan dan evaluasi dalam setiap usaha
Dalkarhutla.
Bagian Keempat
Organisasi Dalkarhutla
Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 16
(1) Organisasi

Dalkahutla

Pemerintah

Kabupaten/Kota

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,


dibentuk Organisasi Dalkarhutla yang bersifat ad-hoc,
yang

disebut

Satgas

Pengendali

Kabupaten/Kota

Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan.


(2) Satgas

Pengendali

Kabupaten/Kota

Penanganan

Kebakaran Hutan dan Lahan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(3) Satgas

Pengendali

Kabupaten/Kota

Penanganan

Kebakaran Hutan dan Lahan sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) diketuai oleh Bupati/Walikota,sekurangkurangnya beranggotakan Sekretariat Daerah, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, Badan Lingkungan

- 22 -

Hidup Daerah (BLHD), Perkebunan, Pertanian dan/atau


Dinas Teknis terkait lainnya, Masyarakat Peduli Api (MPA)
setempat,

Manggala

Agni,

Kecamatan

dan

Desa

dibawahnya, Pemerintah Kabupaten/Kota disekitarnya,


Kepolisian setempat, TNI setempat, dan atau instansi
terkait dalkarhutla lainnya sesuai tingkat kepentingan
dan kewenangannya.
(4) Satgas

Pengendali

Kabupaten/Kota

Penanganan

Kebakaran Hutan dan Lahan sebagaimana dimaksud


pada ayat (3), berkedudukan di Kantor Pemerintah
Kabupaten/Kota bersangkutan, yang memiliki fungsi
mengkoordinasikan

perencanaan,

pengorganisasian,

operasional, pengawasan dan evaluasi dalam setiap usaha


Dalkarhutla di wilayahnya.
(5) Satgas

Pengendali

Kabupaten/Kota

Penanganan

Kebakaran Hutan dan Lahan sebagaimana dimaksud


pada

ayat

(4),

aktif

berkoordinasi

dengan

Satgas

Pengendali Provinsi Penanganan Kebakaran Hutan dan


Lahan.
(6) Satgas

Pengendali

Kebakaran

Hutan

Kabupaten/Kota
dan

Lahan

Penanganan

wajib

membentuk

Kesekretariatan, yang disebut Posko Krisis Kebakaran


Hutan dan LahanKabupaten/Kota.
Pasal 17
Hal-hal

yang

Kabupaten/Kota
masing-masing
Pemangkuan

bersifat

operasional,

membebankan
Kesatuan

Hutan,

pelaksanaannya

Pengelolaan

Perum

Pemerintah

Hutan,

Perhutani,

kepada
Kesatuan

Pemegang

Izin

Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan


Hutan, Pemegang Izin Hutan Kemasyarakatan, dan Pemegang
Izin Hutan Desa.

- 23 -

Bagian Kelima
Organisasi Dalkarhutla Tingkat Pengelolaan
Pasal 18
(1) Setiap Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan, Unit Pelaksana Teknis
Daerah Taman Hutan Raya, Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi,

Kesatuan

Pengelolaan

Kesatuan

Pengelolaan

Hutan

Hutan

Lindung,

Konservasi,

Kesatuan

Pemangkuan Hutan, Perum Perhutani, dan

Pemegang

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan wajib membentuk


Organisasi Brigdalkarhutla.
(2) Stuktur Organisasi Brigdalkarhutla KPH sebagimana
dimaksud pada pada ayat (1), sebagaimana Lampiran
Peraturan Menteri ini.
Pasal 19
Organisasi Brigdalkarhutla, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1), antara lain:
a. Brigdalkar UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan;
b. Brigdalkar UPTD Taman Hutan Raya;
c. Brigdalkar KPHP atau KPHL atau KPHK atau KPH Perum
Perhutani;
d. Brigdalkar IUPHHK atau IUPHHBK atau IUPHHK-RE
dalam hutan alam pada hutan produksi;
e. Brigdalkar IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI dan HTHR;
dan
f. Brigdalkar IPPKH pada hutan lindung dan hutan produksi
untuk kegiatan pertambangan.
Pasal 20
Setiap organisasi Brigdalkarhutla sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, sekurang-kurangnya mempunyai perangkat
organisasi dan tugas pokok meliputi:

- 24 -

a. Kepala

Brigade;

yang

dalam

pelaksanaannya

dapat

dirangkap oleh Kepala Unit Pengelolaan pada tingkat


lapangan atau pejabat yang ditunjuk, bertanggung jawab
kepada Kepala di tingkat pengelolaan, melaksanakan
tugas

di

bidang

perencanaan,

pengorganisasian,

operasional, pengawasan dan evaluasi dalam setiap usaha


Dalkarhutla di wilayah kerjanya;
b. Sekretaris Brigade; bertanggung jawab kepada Kepala
Brigade,

melaksanakan

tugas

di

bidang

dukungan

manajemen;
c. Koordinator Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan;
bertanggung jawab kepada Kepala Brigade, melaksanakan
tugas

perencanaan,

pengawasan

dan

masyarakat,

pengorganisasian,

evaluasi

di

penyadartahuan,

bidang

operasional,
pemberdayaan

pengurangan

resiko,

peningkatan kapasitas kelembagaan, pelaksanaan patroli,


dan peringatan dini;
d. Koordinator

Pemadaman

dan

Penanganan

Pasca

Kebakaran; bertanggung jawab kepada Kepala Brigade,


melaksanakan

tugas

perencanaan,

pengorganisasian,

operasional, pengawasan dan evaluasi di bidang deteksi


dini,

groundcek,

pemadaman

awal

dan

lanjutan,

inventarisasi dan monitoring areal bekas kebakaran,


koordinasi

penanganan

pasca

kebakaran,

dukungan

evakuasi dan penyelamatan; dan


e. Kepala Regu; bertanggung jawab kepada Kepala Brigade,
melaksanakan tugas operasional Dalkarhutla di lapangan.
Pasal 21
Setiap Brigdalkarhutla dapat diberi identitas organisasi dalam
bentuk antara lain nama, bendera, pataka, atau maskot,
yang ditetapkan oleh masing-masing unit pengelola.
Pasal 22
(1) Setiap:
a. Pemegang IUPK atau IUPJL atau IPHHBK pada hutan
lindung dan hutan produksi; dan pemegang IPHHK
dalam hutan alam pada hutan produksi dan HTR;

- 25 -

b. Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk


kegiatan non pertambangan;
c. Pengelola Hutan Kemasyarakatan;
d. Pengelola Hutan Desa;
e. Penanggung jawab Hutan Adat;
f. Pemilik Hutan Hak;
g. Pemegang KHDTK; dan
h. Kelompok tani sekitar hutan atau desa konservasi atau
kampung iklim atau desa wisata berbasis ekosistem
hutan;
wajib

memfasilitasi

organisasi

kelompok-kelompok

Masyarakat Peduli Api (MPA).


(2) Setiap organisasi dalam satu kelompok Masyarakat Peduli
Api (MPA) sekurang-kurangnya terdiri dari 2 (dua) regu,
masing-masing regu terdiri dari 15 (lima belas) anggota
masyarakat setempat dalam satu desa.
(3) Pembentukan

dan

pembinaan

kelompok-kelompok

Masyarakat Peduli Api (MPA) sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), dilakukan bersama dengan kesatuan
pengelolaan hutan dan/atau Manggala Agni terdekat.
Pasal 23
(1) Setiap organisasi kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA),
sekurang-kurangnya mempunyai perangkat organisasi
dan tugas, meliputi:
a. Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA); melaksanakan
tugas

perencanaan,

pengawasan

dan

pengorganisasian,
evaluasi

dalam

operasional,

setiap

usaha

Dalkarhutla di desanya;
b. Sekretaris merangkap Bendahara; melaksanakan tugas
untuk mengelola administrasi keuangan dan tugastugas kesekretariatan;
c. Kepala

Regu;

melaksanakan

tugas

operasional

dalkarhutla.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan
dan

pembinaan

Masyarakat

Peduli

Api

(MPA)

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan


Peraturan Direktur Jenderal.

- 26 -

Pasal 24
Setiap pemegang izin usaha non kehutanan di luar kawasan
hutan

antara

lain,

perkebunan,

pertambangan,

wajib

membentuk organisasi pengendalian kebakaran lahan sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Setiap perorangan dan atau kelompok pencinta alam, kader
konservasi, kelompok jasa pemanduan wisata di Taman
Nasional,

pemerhati

lingkungan,

duta

lingkungan,

dan

pekerja atau profesi lainnya dapat membangun kelompok


Masyarakat Peduli Api (MPA) sesuai dengan kebutuhannya.

BAB III
SUMBERDAYA MANUSIA DALKARHUTLA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 26
Dalam upaya meningkatkan kualitas pengendalian kebakaran
hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
b, perlu didukung oleh sumberdaya Dalkarhutla, meliputi:
a. pemenuhan sumberdaya manusia Dalkarhutla; dan
b. peningkatan kapasitas sumberdaya manusia Dalkarhutla.
Pasal 27
Pemenuhan sumberdaya manusia Dalkarhutla, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, ditujukan untuk:
a. meningkatkan daya jangkau Dalkarhutla sampai pada
tingkat lapangan; dan
b. memenuhi kewajiban selaku warga negara yang patuh.

- 27 -

Pasal 28
Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia Dalkarhutla,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, ditujukan
untuk:
a. meningkatkan efisiensi dan efektifitas Dalkarhutla; dan
b. memenuhi target komitmen nasional, regional maupun
internasional di bidang Dalkarhutla.
Bagian Kedua
Standar dan Kriteria
Paragraf 1
Sumberdaya Manusia Dalkarhutla Tingkat Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 29
(1) Setiap instansi:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Provinsi; dan
c. Pemerintah

Kabupaten/Kota

yang

menangani

Dalkarhutla;
wajib memenuhi sumberdaya manusia Dalkarhutla yang
berkualitas dan profesional sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pemenuhan sumberdaya manusia untuk setiap Satgas
Pengendali Dalkarhutla dan Posko Krisis Kebakaran
Hutandan Lahan yang dibentuk pada masing-masing
instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota,ditetapkan dengan keputusan pimpinan
tertinggi di instansi yang bersangkutan.
Pasal 30
Guna peningkatan kinerja Satgas Pengendali Dalkarhutla dan
Posko Krisis Kebakaran Hutan dan Lahan, Pemerintah dapat
melakukan pembinaan secara berjenjang.

- 28 -

Paragraf 2
Sumberdaya Manusia Dalkarhutla pada KPHP, KPHL, KPHK
dan KPH Perum Perhutani
Pasal 31
(1) Setiap KPHP atau KPHL atau KPHK atau KPH Perum
Perhutani

wajib

pengendalian

menyiapkan

kebakaran

Sumberdaya

hutan

dan

Manusia

lahan

dalam

Brigdalkarhutla.
(2) Sumberdaya

Manusia

Dalkarhutla

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dipersiapkan untuk mengisi:


a. Organisasi

Brigdalkarhutla

sebagaimana

dimaksud

dalam Pasal 20; dan


b. Regu Dalkarhutla.
(3) Regu Dalkarhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, terdiri atas:
a. Regu Inti Pengendali Kebakaran Hutan; dan
b. Regu Perbantuan Pengendali Kebakaran Hutan.
Pasal 32
(1) Regu Inti Pengendali Kebakaran Hutan pada Kesatuan
Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31ayat (3) huruf a, sekurang-kurangnya terdiri dari 1
(satu) orang kepala regu dan 14 (empat belas) orang
anggota regu.
(2) Kepala regu dan anggota regu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib mempunyai kompetensi di bidang
pengendalian
ditunjukkan

kebakaran
dengan

hutan

sertifikat

dan
dari

lahan,

yang

pejabat

yang

berwenang.
(3) Bagi

KPHP,

KPHL

dan

KPHK

sekurang-kurangnya

memiliki 1 (satu) regu inti pengendali kebakaran hutan


dan lahan.
(4) Bagi KPH Perum Perhutani sekurang-kurangnya memiliki
1 (satu) regu inti untuk setiap BKPH.

- 29 -

Pasal 33
(1) Regu Perbantuan Pengendali Kebakaran Hutan pada
Kesatuan Pengelolaan Hutan, sebagaimana dimaksud
dalam

Pasal

31

ayat

(3)

huruf

b,

beranggotakan

masyarakat dari desa binaan.


(2) Penetapan jumlah regu perbantuan, tugas dan fungsi
dalam dalkarhutla diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Pejabat KPHP atau KPHL atau KPHK atau KPH Perum
Perhutani.
Paragraf 3
Sumberdaya Manusia Dalkarhutla IUPHHK atau IUPHHBK
atau IUPHHK Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada
Hutan Produksi; IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau
HTHR; dan Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada
Hutan Lindung dan Hutan Produksi untuk Kegiatan
Pertambangan
Pasal 34
(1) Setiap:
a. Pemegang IUPHHK atau IUPHHBK atau IUPHHK
restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan
produksi;
b. Pemegang IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau
HTHR;
c. Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada
Hutan Lindung dan Hutan Produksi untuk Kegiatan
Pertambangan;
wajib menyiapkan Sumberdaya Manusia pengendalian
kebakaran hutan dalam Brigdalkarhutla.
(2) Sumberdaya

Manusia

Dalkarhutla

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dipersiapkan untuk mengisi:


a. Organisasi Brigdalkarhutla sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20;
b. Regu Dalkarhutla.

- 30 -

(3) Regu Dalkarhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


huruf b, terdiri atas:
a. Regu Inti Pengendali Kebakaran Hutan;
b. Regu Pendukung Pengendali Kebakaran Hutan;dan
c. Regu Perbantuan Pengendali Kebakaran Hutan.
Pasal 35
(1) Regu Inti Pengendali Kebakaran Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf a, sekurangkurangnya terdiri dari 1 (satu) orang kepala regu dan 14
(empat belas) orang anggota regu.
(2) Kepala regu inti dan anggota regu inti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), direkrut secara khusus dari
unsur masyarakat yang selanjutnya menjadi karyawan
dan atau langsung dari karyawan pemegang izin.
(3) Kepala regu dan anggota regu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib mempunyai kompetensi di bidang
pengendalian kebakaran hutan, yang ditunjukan dengan
bukti-bukti yang sah.
Pasal 36
Setiap unit manajemen atau distrik atau sektor di dalam:
a. IUPHHK atau IUPHHBK atau IUPHHK restorasi ekosistem
dalam hutan alam pada hutan produksi;
b. Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Hutan
Lindung

dan

Hutan

Produksi

untuk

Kegiatan

Pertambangan;
c. IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau HTHR;
wajib ditempatkan sekurang-kurangnya 1 (satu) Regu Inti
Pengendali Kebakaran Hutan.
Pasal 37
(1) Ketentuan

sebagaimana

dimaksud

dalam

Pasal

36

berlaku bagi setiap IUPHHK atau IUPHHBK atau IUPHHK


restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan
produksi dan Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi untuk

- 31 -

Kegiatan Pertambangan yang mempunyai luasan tidak


lebih dari 50.000 (lima puluh ribu) hektar.
(2) Dalam hal luasan setiap unit manajemen atau distrik
atau sektor lebih dari 50.000 (lima puluh ribu)

hektar

sampai dengan kurang atau sama dengan 100.000


(seratus

ribu)

hektar,

jumlah

Regu Inti Pengendali

Kebakaran Hutan sekurang-kurangnya 2 (dua) regu.


(3) Dalam hal luasan setiap unit manajemen atau distrik
atau sektor lebih dari 100.000 (seratus ribu) hektar,
jumlah Regu Inti Pengendali Kebakaran Hutan sekurangkurangnya 3 (tiga) regu.
Pasal 38
(1) Ketentuan

sebagaimana

dimaksud

dalam

Pasal

36

berlaku bagi setiap IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI


atau HTHR yang mempunyai luasan tidak lebih dari
20.000 (dua puluh ribu) hektar.
(2) Dalam hal luasan setiap unit manajemen atau distrik
atau sektor lebih dari 20.000 (dua puluh ribu)

hektar

sampai dengan kurang atau sama dengan 40.000 (empat


puluh

ribu)

hektar,

jumlah

Regu

Inti

Pengendali

Kebakaran Hutan sekurang-kurangnya 2 (dua) regu.


(3) Dalam hal luasan setiap unit manajemen atau distrik
atau sektor lebih dari 40.000 (empat puluh ribu) hektar
sampai dengan kurang atau sama dengan 60.000 (enam
puluh

ribu)

hektar,

jumlah

Regu

Inti

Pengendali

Kebakaran Hutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) regu.


(4) Dalam hal luasan setiap unit manajemen atau distrik
atau sektor lebih dari 60.000 (lima puluh ribu) hektar
sampai

dengan

kurang

atau

sama

dengan

80.000

(delapan puluh ribu) hektar, jumlah Regu Inti Pengendali


Kebakaran Hutan sekurang-kurangnya 4 (empat) regu.
(5) Dalam hal luasan setiap unit manajemen atau distrik
atau sektor lebih dari 80.000 (delapan puluh ribu) hektar
sampai dengan kurang atau sama dengan 100.000
(seratus

ribu)

hektar,

jumlah

Regu Inti Pengendali

Kebakaran Hutan sekurang-kurangnya 5 (lima) regu.

- 32 -

(6) Dalam hal luasan setiap unit manajemen atau distrik


atau sektor lebih dari 100.000 (seratus ribu) hektar,
jumlah Regu Inti Pengendali Kebakaran Hutan sekurangkurangnya 6 (enam) regu.
Pasal 39
Setiap karyawan pada:
a. IUPHHK atau IUPHHBK atau IUPHHK restorasi ekosistem
dalam hutan alam pada hutan produksi;
b. IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau HTHR;
c. Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Hutan
Lindung

dan

Hutan

Produksi

untuk

Kegiatan

Pertambangan;
wajib direkrut sebagai anggota Regu Pendukung Pengendali
Kebakaran Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (3) huruf b.
Pasal 40
Setiap anggota masyarakat binaan:
a. IUPHHK atau IUPHHBK atau IUPHHK restorasi ekosistem
dalam hutan alam pada hutan produksi;
b. IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau HTHR;
c. Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Hutan
Lindung

dan

Hutan

Produksi

untuk

Kegiatan

Pertambangan;
wajib direkrut sebagai anggota Regu Perbantuan Pengendali
Kebakaran Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (3) huruf c.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah Regu
Pendukung

Pengendali

Kebakaran

Hutan

dan

Regu

Perbantuan Pengendali Kebakaran Hutan, dan tugas pokok


dan fungsi dalam Dalkarhutla diatur dengan Keputusan
Kepala atau Pimpinan Pemegang Ijin.

- 33 -

Paragaraf 4
Sumberdaya Manusia Dalkarhutla IUPK atau IUPJL atau
IPHHBK pada Hutan Lindung atau Hutan Produksi;
Pemegang IPHHK dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi
atau HTR; Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada
Hutan Lindung atau Hutan Produksi untuk Kegiatan Non
Pertambangan; Pengelola Hutan Kemasyarakatan; Hutan
Desa; Penanggung jawab Hutan Adat; Pemilik Hutan Hak;
KHDTK, Pelaku Usaha Perkebunan atau Kelompok Unit Desa
Pasal 42
(1) Setiap:
a. Pemegang IUPK atau IUPJL atau IPHHBK pada hutan
lindung atau hutan produksi;
b. Pemegang IPHHK dalam hutan alam pada hutan
produksi atau HTR;
c. Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada
Hutan Lindung dan Hutan Produksi untuk Kegiatan
Non Pertambangan;
d. Pengelola Hutan Kemasyarakatan,
e. Pengelola Hutan Desa,
f.

Penanggung jawab Hutan Adat,

g. Pemilik Hutan Hak, dan


h. Pengelola KHDTK,
wajib menyiapkan sumberdaya manusia pengendalian
kebakaran hutan dan lahan dalam organisasi kelompokkelompok Masyarakat Peduli Api (MPA).
(2) Ketentuan

lebih

lanjut

mengenai

penetapan

jumlah

Masyarakat Peduli Api (MPA), tugas dan fungsi dalam


Dalkarhutla

diatur

dengan

Keputusan

Kepala

atau

Pimpinan masing-masing pemegang ijin atau pengelola


atau penanggung jawab.
Pasal 43
Pelaku usaha perkebunan atau kelompok unit desa wajib
menyiapkan sumberdaya manusia pengendalian kebakaran
lahan yang handal dalam organisasi yang dibentuk sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- 34 -

Bagian Ketiga
Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia Dalkarhutla
Pasal 44
(1) Peningkatan Kapasitas sumberdaya manusia Dalkarhutla
sebagaimana

dimaksud

dalam

Pasal

26

huruf

b,

ditujukan untuk setiap pelaksana teknis Dalkarhutla,


terutama anggota Brigdalkarhutla Manggala Agni, Satuan
Kerja Dalkarhutla Provinsi/Kabupaten/Kota, Brigdalkar
Unit Pengelolaan, dan Masyarakat.
(2) Peningkatan Kapasitas sumberdaya manusia Dalkarhutla
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. pembekalan (in-house training dan on-the job training);
c. bimbingan teknis;
d. pembinaan lainnya.
Pasal 45
(1) Pendikan

dan

Pelatihan

sebagaimana

dimaksud

dalamPasal 44 ayat (2) huruf a, meliputi bidang:


a. pemberdayaan masyarakat;
b. penyadartahuan atau kampanye pencegahan;
c. teknis pencegahan karhutla;
d. teknis pemadaman karhutla;
e. penanganan pasca kebakaran;
f. dukungan evakuasi dan penyelamatan;
g. dukungan manajemen; dan
h. manajemen dalkarhutla.

(2) Pendidikan dan Pelatihan sebagai dimaksud pada ayat


(1), mengacu pada ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Pembekalan

(in-house

training

dan

on-the

job

training)sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)


huruf b, berupa pelatihan singkat keterampilan di bidang
Dalkarhutla.

- 35 -

(4) Bimbingan Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44


ayat (2) huruf c, berupa peningkatan keterampilan
melalui bimbingan/pendampingan.
(5) Pembinaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (2) huruf d, berupa penyampaian materi khusus,
antara lain norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK),
protap, etos kerja, jiwa korsa, teknik-teknik Dalkarhutla
lainnya
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembekalan, bimbingan
teknis, dan pembinaan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) sampai dengan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal.

BAB IV
SARANA PRASARANA DALKARHUTLA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Dalam upaya meningkatkan kualitas pengendalian kebakaran
hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
c, perlu didukung oleh sarana dan prasarana (Sarpras)
Dalkarhutla, meliputi:
a. pemenuhan sarpras Dalkarhutla;
b. peningkatan kapasitas sarpras Dalkarhutla.
Pasal 47
Pemenuhan sarpras Dalkarhutla, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 huruf a, ditujukan untuk:
a. meningkatkan daya jangkau Dalkarhutla sampai pada
tingkat lapangan;
b. memenuhi kewajiban selaku warga negara yang patuh.

- 36 -

Pasal 48
Peningkatan

kapasitas

sarpras

Dalkarhutla

sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 46 huruf b, ditujukan untuk:


a. meningkatkan efisiensi dan efektifitas Dalkarhutla; dan
b. memenuhi target komitmen nasional, regional maupun
internasional di bidang Dalkarhutla.
Bagian Kedua
Standar dan Kriteria
Paragraf 1
Sarpras Dalkarhutla pada Pemerintah, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten
Pasal 49
Setiap:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Provinsi; dan
c. Pemerintah Kabupaten/Kota;
wajib menyiapkan sarpras Dalkarhutla untuk menunjang
pelaksanaan tugas Satgas Pengendali Penanganan Kebakaran
Hutan dan Lahan, dan Posko Krisis Penanganan Kebakaran
Hutan dan Lahan.
Pasal 50
(1) Sarpras Satgas
dalam

Pasal

49,

Dalkarhutla, sebagaimana dimaksud


dapat

menggunakan

sarpras

yang

melekat dengan struktur organisasi yang ada.


(2) Sarpras Posko Krisis Penanganan Kebakaran Hutan dan
Lahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, sekurangkurangnya terdiri dari:
a. ruang yang diperuntukkan secara khusus untuk posko
yang dilengkapi meja kursi;
b. laptop, komputer meja, printer, in focus, perangkat
monitor display, layar;
c. mesin faksimili;

- 37 -

d. jaringan internet;
e. sarana komunikasi;
f. papan tulis, ATK lainnya;
g. kendaraan operasional posko;
h. buku piket, blanko-blanko;
i. SOP operasional posko.
Paragraf 2
Sarpras Dalkarhutla pada KPHP, KPHL, KPHK, KPH Perum
Perhutani, IUPHHK atau UPHHBK atau IUPHHK restorasi
ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi,
IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau HTHR izin Pinjam
Pakai Kawasan Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan
Produksi untuk Kegiatan Pertambangan
Pasal 51
(1) Setiap:
a. KPHP;
b. KPHL;
c. KPHK;
d. KPH Perum Perhutani;
e. IUPHHK

atau

UPHHBK

atau

IUPHHK

Restorasi

Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi;


f.

IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau HTHR;

g. izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Hutan Lindung


dan Hutan Produksi untuk Kegiatan Pertambangan;
wajib menyiapkan sarpras untuk menunjang kegiatan
Brigdalkarhutla.
(2) Sarpras Dalkarhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sekurang-kurangnya terdiri dari:
a. sarpras pencegahan kebakaran hutan;
b. sarpras pemadaman kebakaran hutan;dan
c. sarpras lainnya.
Pasal 52
(1) Sarpras

pencegahan

kebakaran

hutan

sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a, antara lain:

- 38 -

a. penyadartahuan atau kampanye pencegahan;


b. keteknikan pencegahan;
c. sarana pengelolaan kanal pada gambut;
d. posko krisis penanganan kebakaran hutan dan lahan;
e. peringatan dini kebakaran hutan dan lahan; dan
f.

deteksi dini kebakaran hutan.

(2) Sarpras

penyadartahuan

atau

kampanye

pencegahan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari


alat peraga penyadartahuan atau kampanye dan sarpras
pendukung lainnya seperti perangkat komputer, televisi,
video player, screen, infokus, papan clip, poster, leaflet dan
booklet.
(3) Sarana keteknikan pencegahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b,

terdiri atas sekat bakar buatan,

jalur hijau/green belt dan embung/water point atau


kantong air
(4) Sarana pengelolaan kanal pada gambut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas peralatan
hidrologi sederhana, sekat kanal dan pintu air.
(5) Sarana posko krisis penanganan kebakaran hutan dan
lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
sekurang-kurangnya sama dengan sarpras posko krisis
penanganan kebakaran hutan dan lahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2).
(6) Sarana peringatan dini kebakaran hutan dan lahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, terdiri atas
peta rawan kebakaran atau peta sejenisnya, peta kerja,
database sumberdaya pengendalian kebakaran, perangkat
pendukung untuk mengetahui tingkat resiko terjadinya
bahaya, kebakaran, rambu-rambu larangan membakar,
papan informasi Peringkat Bahaya Kebakaran (PBK),
bendera PBK, alat bantu PBK Desa, dan peralatan
pengukur cuaca portabel atau menetap, dan sistem yang
dapat

mendukung

untuk

penyebar-luasan

kerawanan kebakaran hutan dan lahan.

informasi

- 39 -

(7) Sarana

deteksi

dini

kebakaran

hutan

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf f, meliputi menara pengawas


atau CCTV atau sensor panas sejenisnya, perangkat
pendukung untuk mengolah data informasi hotspot, global
positioning system, drone, ultra light trike atau pesawat
terbang sejenisnya, dan peralatan dan perlengkapan untuk
penyebar-luasan informasi hasil deteksi dini.
Pasal 53
Sarpras pemadaman kebakaran hutan pada unit pengelolaan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51ayat (2) huruf b,
meliputi:
a. perlengkapan pribadi;
b. perlengkapan regu;
c. peralatan regu;
d. kendaraan khusus pengendalian kebakaran hutan roda 4
(empat);
e. sarana pengolahan data dan komunikasi;dan
f. sarana transportasi.
Pasal 54
Perlengkapan pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
huruf a, sekurang-kurangnya terdiri atas: topi pengaman,
lampu kepala, kacamata pengaman, masker dan penutup
leher, sarung tangan, sabuk, peples, peluit, ransel, sepatu
pemadam, baju pemadam, kaos, kantong tidur, dan

ransel

standar, yang masing-masing perlengkapan sejumlah 15 (lima


belas) set.
Pasal 55
(1) Perlengkapan regu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 huruf b, terdiri atas 2 (dua) unit tenda,

1 (satu) set

peralatan standar perbengkelan, 2 (dua) unit peralatan


standard P3K, dan 1 (satu) unit peralatan penerangan, 1
(satu)

unit

perlengkapan
sederhana.

peralatan
standar

masak,
evakuasi

dan
dan

(satu)

unit

penyelamatan

- 40 -

(2) Spesifikasi perlengkapan regu sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), mengikuti spesifikasi umum yang berlaku
untuk kegiatan yang mengandung resiko kecelakaan kerja
tinggi.
Pasal 56
(1) Peralatan regu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
huruf c, terdiri atas:
a. peralatan tangan;dan
b. peralatan mekanis.
(2) Peralatan tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, paling sedikit mempunyai fungsi:
a. memotong antara lain kapak satu mata, kapak dua
mata, kapak dua fungsi, parang, pulaski;
b. menggali antara lain pacul, sekop, garu pacul;
c. menggaru antara lain garu biasa, garu tajam, garu
pacul;
d. memukul antara lain gepyok, flapper karet;
e. menyemprot antara lain pompa punggung, pacitan;
f. membakar antara lain obor tetes, fusee.
(3) Jenis dan jumlah peralatan tangan, dalam 1 (satu) regu
sekurang-kurangnya terdiri dari:
a. kapak dua fungsi sejumlah 4 (empat) unit;
b. gepyok sejumlah 8 (delapan) unit;
c. garu tajam sejumlah 6 (enam) unit;
d. garu pacul sejumlah 3 (tiga) unit;
e. sekop sejumlah 6 (enam) unit;
f. pompa punggung sejumlah 10 (sepuluh) unit;
g. obor sulut tetes sejumlah 1 (satu) unit;
h. kikir sejumlah 2 (dua) unit;
i. golok/parang sejumlah 10 (sepuluh) unit.
(4) Standarisasi untuk masing-masing jenis peralatan tangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- 41 -

Pasal 57
(1) Peralatan mekanis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (1) huruf b, dalam 1 (satu) regu sekurang-kurangnya
terdiri atas:
a. pompa bertekanan tinggi dan kelengkapannya meliputi
selang, nozzle, nozzle gambut, tangki air lipat, dan
b. chain saw .
(2) Jenis dan jumlah pompa bertekanan tinggi, dalam 1 (satu)
regu sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. Pompa induk berjumlah 1 (satu) unit;
b. Pompa jinjing berjumlah 3 (tiga) unit;
c. Pompa apung berjumlah 2 (dua) unit.
(3) Kelengkapan pompa, sekurang-kurangnya terdiri atas dan
berjumlah:
a. Nozzle 5 (lima) buah
b. Suntikan gambut 5 (lima) buah
c. Tanki air lipat berjumlah 5 (lima) unit
d. Selang berjumlah 50 buah
e. Perlengkapan lainnya menyesuaikan.
(4) Chain-saw

dalam

(satu)

regu

sekurang-kurangnya

berjumlah 1 (satu) unit.


Pasal 58
(1) Kendaraan khusus pemadam kebakaran hutan dan lahan
roda 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf d,
dalam 1 (satu) regu sekurang-kurangnya terdiri atas
mobil pemadam dan mobil tanki masing-masing berjumlah
1 (satu) unit dalam 1 (satu) regu.
(2) Standarisasi jenis mobil pemadam kebakaran hutan dan
lahan dan mobil tanki air sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 59
Jenis dan jumlah sarana pengolahan data dan komunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf e dalam 1 (satu)
regu, sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. GPS 1 unit;

- 42 -

b. radio genggam 4 buah;


c. radio mobil 1 unit;
d. megaphone 1 buah; dan
e. peralatan komunikasi tradisional seperti bendera dan
kentongan dengan jumlah mengikuti kebutuhan
Pasal 60
Jenis dan jumlah sarana transportasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 huruf f dalam 1 (satu) regu sekurangkurangnya terdiri atas:
a. kendaraan roda dua jenis lapangan, sejumlah 2 buah;
b. kendaraan roda empat 2 unit jenis lapangan meliputi dua
fungsi mobil logistik dan mobil pengangkut peralatan; dan
atau 1 unit speed; boat atau klotok atau jenis lainnya; dan
c. jenis sarana transportasi lain yang menyesuaikan wilayah
kerja.
Pasal 61
(1) Setiap unit pengelolaan hutan, dapat mencadangkan
sarpras pemadaman kebakaran hutan dan lahan untuk
Regu Pendukung Pengendali Kebakaran Hutan dan atau
Regu Perbantuan Pengendali Kebakaran Hutan.
(2) Jumlah dan jenis sarpras pemadaman kebakaran hutan
dan lahan untuk Regu Pendukung Pengendali Kebakaran
Hutan dan atau Regu Perbantuan Pengendali Kebakaran
Hutan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala atau
Pejabat masing-masing unit pengelolaan.
Pasal 62
(1) Sarpras lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) huruf c, untuk setiap:
a. KPHP;
b. KPHL;
c. KPHK;
d. KPH Perum Perhutani;
e. IUPHHK

atau

UPHHBK

atau

IUPHHK

Restorasi

Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi;

- 43 -

f. IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau HTHR;


g. izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Hutan Lindung
dan Hutan Produksi untuk Kegiatan Pertambangan;
terdiri

atas

ruangan

dokumen

kerja,

prosedur

gudang

operasional

peralatan,

internal,

bengkel

dan

peralatannya, garasi, tempat penyimpanan bahan bakar


dan tempat pembersihan alat,

barak personil, dapur,

ruang makan, dan lapangan berlatih.


(2) Sarpras lainnya berupa helikopter dan atau alat berat
lainnya,

atas

memenuhi

kepentingan

perlindungan

tanggungjawabnya,

asset

wajib

dan

menjadi

pertimbangan dalam pengadaannya oleh masing-masing


dan atau dalam bentuk kelompok atau group Unit
Pengelolaan.
Paragaraf 3
Sarpras Pengendalian Kebakaran Hutan pada Pemegang IUPK
atau IUPJL atau IPHHBK pada Hutan Lindung dan Hutan
Produksi; Pemegang IPHHK dalam Hutan Alam
pada Hutan Produksi atau HTR, Pemegang Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi
untuk Kegiatan Non Pertambangan, Pengelola Hutan
Kemasyarakatan dan Hutan Desa, Pemilik Hutan Hak, dan
Pelaku Usaha Perkebunan
Pasal 63
(1) Setiap:
a. Pemegang IUPK atau IUPJL atau IPHHBK pada hutan
lindung atau hutan produksi;
b. Pemegang IPHHK dalam hutan alam pada hutan
produksi atau HTR;
c. Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada
Hutan Lindung dan Hutan Produksi untuk Kegiatan
Non Pertambangan;
d. Pengelola Hutan Kemasyarakatan;
e. Pengelola Hutan Desa; dan
f. Pemilik Hutan Hak;

- 44 -

wajib menyiapkan sarpras pengendalian kebakaran hutan


dan lahan bagi organisasi kelompok MPA.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan
jenis sarpras Dalkarhutla diatur dengan Keputusan Kepala
atau

Pimpinan

masing-masing

pemegang

ijin

atau

pengelola atau penanggung jawab.


Pasal 64
Setiap pelaku usaha perkebunan wajib menyiapkan sarpras
untuk

pelaksanaan

tugas

pokok

dan

fungsi

organisasi

pengendalian kebakaran kebun dan lahan lainnya sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
KEGIATAN DALKARHUTLA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 65
Kegiatan Dalkarhutla, sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. perencanaan;
b. penyelenggaraan pencegahan;
c. penyelenggaraan penanggulangan;
d. penyelenggaraan penanganan pasca kebakaran;
e. koordinasi kerja;
f.

status kesiagaan.
Pasal 66

Setiap instansi dan atau unit pengelola hutan dan lahan:


a. Pemerintah;
b. Pemerintah Provinsi;
c. Pemerintah Kabupaten/Kota;
d. KPHP;
e. KPHL;
f. KPHK;
g. KPH Perum Perhutani;

- 45 -

h. Pemegang IUPHHK atau UPHHBK atau IUPHHK restorasi


ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi;
i. Pemegang IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau HTHR;
j. Pemegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Hutan
Lindung

dan

Hutan

Produksi

untuk

Kegiatan

Pertambangan;
k. Pemegang IUPK, IUPJL, IPHHBK pada hutan lindung dan
hutan produksi; dan pemegang IPHHK dalam hutan alam
pada hutan produksi dan HTR;
l. Pemegang

Izin

Pinjam

Pakai

Kawasan

Hutan

untuk

kegiatan non pertambangan;


m. Pengelola Hutan Kemasyarakatan;
n. Pengelola Hutan Desa;
o. Penanggung jawab Hutan Adat;
p. Pemilik Hutan Hak;
q. Pengelola KHDTK;
r. Pengelola perkebunan; dan
s. Kelompok tani sekitar hutan atau desa konservasi atau
kampung iklim atau desa wisata berbasis ekosistem hutan;
wajib melakukan perencanaan, dan menyelenggarakan upaya
pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca karhutla.
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 67
Perencanaan

Dalkarhutla,

sebagaimana

dimaksud

dalam

Pasal 65 huruf a, meliputi:


a. Penyadartahuan pencegahan karhutla;
b. keteknikan pencegahan, dan pengelolaan kanal pada
gambut;
c. peningkatan sistem kemitraan dan Masyarakat Peduli Api;
d. pengembangan sarana prasarana pengendalian karhutla;
e. peringatan dini;
f. patroli;
g. perencanaan strategi dan ketatausahaan Dalkarhutla;

- 46 -

h. monitoring dan evaluasi operasional pencegahan karhutla;


i. kesiapsiagaan;
j. deteksi dini;
k. pemadaman dan penanganan pasca karhutla;
l. monitoring dan evaluasi operasional pemadaman dan
penanganan pasca karhutla;
m. pelatihan/pembekalan/inhousetraining/penyegaran/bimtek
pengendalian kebakaran hutan dan lahan;
n. monitoring

dan

evaluasi

peningkatan

kapasitas

Sumberdaya Manusia; dan


o. pembentukan

dan

pembinaan

brigade

pengendalian

kebakaran hutan.
Pasal 68
(1) Perencanaan Dalkarhutla sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67 huruf a sampai dengan huruf o, menjadi dasar
dalam penyusunan dokumen perencanaan Dalkarhutla
oleh instansi dan unit pengelola hutan dan/atau lahan.
(2) Dokumen

perencanaan

Dalkarhutla,

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. Rencana

Kerja

Tahunan

atau

Rencana

Kerja

Operasional (RKO);
b. Standar Kegiatan dan Biaya (SKB) dan atau Standar
Biaya Keluaran (SBK);
c. Rencana Kerja dan Anggaran atau sejenisnya;
d. Rencana kontingensi;
e. dokumen perencanaan lain yang relevan.
(3) Ketentuan

lebih

lanjut

mengenai

penetapan

standar

kegiatan dan biaya Dalkarhutla diatur dengan Peraturan


Direktur Jenderal.
(4) Setiap pimpinan instansi dan unit pengelola hutan dan
lahan

wajib

menetapkan

dokumen

perencanaan

Dalkarhutla, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a


sampai dengan huruf e.

- 47 -

Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Pencegahan
Pasal 69
(1) Penyelenggaraan
pemberdayaan

pencegahan

karhutla

masyarakat,

mencakup

penyadartahuan,

pengurangan resiko karhutla, kesiapsiagaan, pelaksanaan


peringatan dini dan patroli pencegahan.
(2) Kegiatan pencegahan karhutla sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi:
a. penerapan

agroforestry,

agro

silvo

pastura,

silvo

pastura dan kegiatan sejenisnya;


b. sosialisasi dan/atau penyuluhan pencegahan karhutla
melalui berbagai ragam metode;
c. kampanye pencegahan kebakaran hutan dan lahan
dalam rangka penyadarantahuan pencegahan karhutla;
d. pembuatan bahan kampanye dan/atau alat peraga
pencegahan karhutla;
e. gerakan pencegahan karhutla;
f. pendampingan masyarakat peduli api;
g. praktek pembukaan lahan tanpa bakar;
h. pembuatan dan/atau pengelolaan sekat bakaran;
i. pembuatan kompos hasil limbah vegetasi;
j. pengelolaan bahan bakaran;
k. pembuatan sekat kanal, embung dan kantong air;
l. pemantapan organisasi dan prosedurnya;
m. simulasi mobilisasi berbagai tingkatan;
n. peningkatan koordinasi melalui rapat kerja, rapat
koordinasi, kunjungan kerja dan lain-lain;
o. peringatan dini dan aplikasi sistem peringkat bahaya
kebakaran atau sistem sejenisnya;
p. pembuatan, pemasangan dan sosialisasi rambu-rambu
dan papan peringatan pencegahan karhutla;
q. pembuatan, penyajian dan penyebar-luasan informasi
kerawanan karhutla melalui peta atau sejenisnya;
r. pembuatan, penyajian dan penyebar-luasan informasi

- 48 -

sumberdaya pengendalian karhutla nasional, provinsi,


kabupaten/kota, kecamatan dan desa; dan
s. patroli pencegahan dalkarhutla.
(3) Ketentuan

lebih

lanjut

mengenai

kegiatan

pencegahankarhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 70
Penyelenggaraan

pencegahan

karhutla,

sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 69, ditujukan untuk:


a. meningkatkan

pemberdayaan

masyarakat

dalam

pengelolaan hutan dan lahan;


b. mitigasi faktor penyebab kebakaran utamanya sumber api
dan bahan bakaran;
c. penyadartahuan perilaku setiap orang dan atau kelompok
korporasi;
d. mengurangi peluang atau niat sengaja maupun tidak
sengaja

setiap

orang

dan

atau

kelompok

korporasi

melakukan pembakaran vegetasi;


e. memberikan

informasi

sedini

mungkin

akan

potensi

karhutla.
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Penanggulangan
Pasal 71
(1) Penyelenggaraan penanggulangan karhutla, meliputi:
a. deteksi dini;
b. pemadaman awal;
c. koordinasi pemadaman;
d. mobilisasi pemadaman;
e. pemadaman lanjutan;
f. demobilisasi pemadaman;
g. evakuasi dan penyelamatan.

- 49 -

(2) Kegiatan penanggulangan karhutla meliputi:


a. penerapan deteksi dini melalui berbagai macam metode
pengamatan seperti deteksi melalui menara pengawas,
aplikasi berbagai jenis kamera/CCTV, penginderaan
jauh (potret udara atau citra satelit);
b. pengolahan data dan informasi hotspot;
c. penyebarluasan data dan informasi hotspot;
d. penetapan level kesiagaan;
e. penetapan Posko dalkarhutla;
f. pelaksanaan pengukuran api (size up);
g. pendirian posko lapangan;
h. pemadaman langsung;
i. pembuatan ilaran api;
j. pemadaman tidak langsung;
k. dukungan pemadaman udara;
l. penyapuan bara api atau mopping up;
m. keselamatan diri.
(3) Evakuasi dan penyelamatan sebagaimana dimaksud pada
ayat

(1)

huruf

g,

berupa

dukungan

evakuasi

dan

penyelamatan dilakukan terhadap:


a. korban manusia yang berasal dari penduduk sekitar
lokasi kebakaran atau personil Dalkarhutla
b. tumbuhan

langka

dan

satwa

liar

(TSL)

yang

memungkinkan untuk dievakuasi.


c. aset publik berupa fasilitas umum yang bersifat vital
dan berada di sekitar areal bencana.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penanggulangan
karhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 72
Penyelenggaraan penanggulangan karhutla, ditujukan untuk:
a. meningkatkan akurasi analisis data dan informasi terkait
penanggulangan karhutla dan pelayanannya kepada semua
pihak;

- 50 -

b. meningkatkan

gotong

rotong

dalam

penanggulangan

karhutla;
c. penanganan pemadaman secara awal bagi semua pihak;
d. mobilisasi pemadaman secara cepat; dan
e. pelayanan evakuasi dan penyelamat;
Bagian Kelima
Penyelenggaraan Penanganan Pasca Karhutla
Pasal 73
(1) Penyelenggaraan penanganan pasca karhutla, meliputi:
a. pengawasan areal bekas terbakar;
b. inventarisasi luas karhutla;
c. penaksiran kerugian; dan
d. koordinasi penanganan pasca karhutla.
(2) Kegiatan

penanganan

pasca

karhutla,

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), meliputi:


a. penaksiran luas;
b. analisa vegetasi bekas terbakar;
c. penaksiran kerugian;
d. rekomendasi

pelaksanaan

rehabilitasi

areal

bekas

terbakar
e. investigasi sebab-sebab kebakaran;
f. melakukan penandaan dengan garis Polisi dan/atau
garis PPNS Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
g. detasering terhadap areal pasca karhutla;
h. melakukan penyidikan; dan
i. monitoring dan menindaklanjuti segala hal terkait
pelaksanaan penanganan proses penegakan hukum
bidang karhutla.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penanganan
pasca karhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diatur lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

- 51 -

Pasal 74
Penyelenggaraan penanganan pasca karhutla,

ditujukan

untuk:
a. mendapatkan data dan informasi luas terbakar, vegetasi
terbakar, penyebab kebakaran hutan, fungsi hutan dan
atau lahan yang terbakar, dan jenis data dan informasi lain
yang terkait;
b. pengawasan areal bekas terbakar;
c. mendapatkan

efek

jera

bagi

setiap

orang

dan

atau

kelompok korporasi yang dengan sengaja atau lalai dalam


setiap kejadian karhutla.
Bagian Keenam
Koordinasi Kerja
Paragraf 1
Umum
Pasal 75
Setiap instansi dan atau pengelola hutan dan lahan:
a. Pemerintah
b. Pemerintah Provinsi;
c. Pemerintah Kabupaten/Kota;
d. KPHP;
e. KPHL;
f. KPHK;
g. KPH Perum Perhutani;
h. Pemegang IUPHHK atau UPHHBK atau IUPHHK restorasi
ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi;
i. Pemegang IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau HTHR;
j. Pemegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Hutan
Lindung

dan

Hutan

Produksi

untuk

Kegiatan

Pertambangan;
k. Pemegang IUPK, IUPJL, IPHHBK pada hutan lindung dan
hutan produksi; dan pemegang IPHHK dalam hutan alam
pada hutan produksi dan HTR;

- 52 -

l. Pemegang

Izin

Pinjam

Pakai

Kawasan

Hutan

untuk

kegiatan non pertambangan;


m. Pengelola Hutan Kemasyarakatan;
n. Pengelola Hutan Desa;
o. Penanggung jawab Hutan Adat;
p. Pemilik Hutan Hak;
q. Pengelola KHDTK;
r. Pengelola perkebunan; dan
s. Kelompok tani sekitar hutan atau desa konservasi atau
kampung iklim atau desa wisata berbasis ekosistem hutan;
wajib

melakukan

koordinasi

kerja

dalam

penyelenggaraan pencegahan, pemadaman

perencanaan,

dan penanganan

pasca karhutla.
Pasal 76
Penyelenggaraan koordinasi kerja, ditujukan untuk:
a. menyelaraskan,

mensinergikan,

mengintegrasikan
penyelenggaraan

seluruh

mensikronkan

rencana

pencegahan,

aksi

pemadaman

dan
dalam
dan

penanganan pasca karhutla;


b. memperlancar dan mendorong sifat gotong royong dalam
penyelenggaraan

pencegahan,

pemadaman

dan

penanganan pasca karhutla.


Paragraf 2
Penyelenggaraan Koordinasi Kerja
Pasal 77
Penyelenggaraan

koordinasi

kerja

dilaksanakan

melalui

mekanisme tata hubungan kerja:


a. Satgas Pengendalian Karhutla baik nasional, provinsi
maupun Kabupaten/Kota;
b. Posko Krisis Dalkarhutla baik nasional, provinsi maupun
Kabupaten/Kota; dan/atau

- 53 -

c. Organisasi Dalkarhutla untuk setiap unit pengelola hutan


dan/atau lahan.

Pasal 78
(1) Pada tingkat pusat, peningkatan koordinasi kerja dalam
rangka

penyelenggaraan

dan

penanganan

pencegahan,
pasca

mengoperasionalkan

Satgas

penanggulangan

kebakaran,
Pengendali

wajib
Nasional

Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan.


(2) Pada tingkat provinsi, peningkatan koordinasi kerja dalam
rangka

penyelenggaraan

dan

penanganan

pencegahan,
pasca

mengoperasionalkan

Satgas

penanggulangan

kebakaran,
Pengendali

wajib
Provinsi

Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan.


(3) Pada tingkat kabupaten/kota, peningkatan koordinasi
kerja

dalam

rangka

penyelenggaraan

pencegahan,

penanggulangan dan penanganan pasca kebakaran, wajib


mengoperasionalkan Satgas Pengendali Kabupaten/Kota
Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan.
(4) Pada tingkat unit pengelolan, peningkatan koordinasi
kerja

dalam

rangka

penyelenggaraan

pencegahan,

penanggulangan dan penanganan pasca kebakaran, wajib


mengoperasionalkan

Organisasi

Brigadlakrahutla

di

masing-masing unit pengelolaan.


Pasal 79
(1) Dalam

hal

terjadi

krisis

karhutla

di

wilayah

Kabupaten/Kota, aktifitas koordinasi wajib diintensifkan


frekuensinya melalui Posko Krisis Kebakaran Hutan dan
Lahan Kabupaten/Kota.
(2) Dalam hal terjadi krisis karhutla di wilayah provinsi,
aktifitas
melalui
Provinsi.

koordinasi
Posko

wajib

Krisis

diintensifkan

Kebakaran

Hutan

frekuensinya
dan

Lahan

- 54 -

(3) Dalam hal terjadi krisis karhutla nasional, aktifitas


koordinasi wajib diintensifkan frekuensinya melalui Posko
Krisis Kebakaran Hutan dan Lahan Nasional.
(4) Penetapan kondisi krisis karhutla pada level kabupaten,
provinsi atau nasional, ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 80
(1) Tata hubungan kerja antar tingkatan posko dilaksanakan
oleh sekretariat posko masing-masing.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata hubungan kerja
antar tingkatan posko, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 81
(1) Dalam hal kondisi tanggap darurat telah ditetapkan oleh
Instansi yang berwenang, secara otomatis pelaksanaan
Posko

Krisis

Kebakaran

Hutan

dan

Lahan

mengintegrasikan dengan Posko Tanggap Darurat yang


dibentuk selama masa tanggap darurat.
(2) Tingkatan posko dapat kembali secara otomatis ketika
masa tanggap darurat dinyatakan berakhir.
Bagian Ketujuh
Status Kesiagaan
Pasal 82
Status kesiagaan dan darurat meliputi:
a. Siaga 3 atau normal;
b. Siaga 2;
c. Siaga 1; dan
d. Tanggap

Darurat

Kabupaten/Kota,

Provinsi,

atau

Nasional.
Pasal 83
(1) Rekomendasi status kesiagaan tingkat Nasional ditetapkan
melalui mekanisme rapat koordinasi Satgas Dalkarhutla
Tingkat Nasional.

- 55 -

(2) Rekomendasi status kesiagaan tingkat Provinsi ditetapkan


melalui mekanisme rapat koordinasi Satgas Dalkarhutla
Tingkat Provinsi.
(3) Rekomendasi status kesiagaan tingkat Kabupaten/Kota
ditetapkan melalui mekanisme rapat koordinasi Satgas
Dalkarhutla Tingkat Kabupaten/Kota.
(4) Rekomendasi status kesiagaan tingkat Unit Pengelola
Hutan dan Kebun, ditetapkan melalui mekasime rapat
koordinasi Satgas Dalkarhutla Tingkat Brigdalkar Unit
Pengelola.
Pasal 84
(1) Status Kesiagaan Tingkat Nasional ditetapkan oleh Menteri
atas hasil rekomendasi, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 ayat (1).
(2) Status

Kesiagaan

Tingkat

Provinsi

ditetapkan

oleh

Gubernur atas hasil rekomendasi, sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 83 ayat (2).
(3) Penetapan Status Kesiagaan Tingkat Kabupaten/Kota
dilakukan oleh Bupati/Walikota atas hasil rekomendasi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3).
(4) Penetapan
dilakukan

Status
oleh

Kesiagaan
Kepala

Unit

Tingkat

Unit

Pengelola

Pengelola

atas

hasil

rekomendasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat


(4).
Pasal 85
Ketentuan

lebih

lanjut

mengenai

kriteria

teknis

status

kesiagaan dan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal


82, diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 86
(1) Dalam hal kondisi karhutla semakin mempunyai dampak
yang luas pada bidang sosial, budaya, ekonomi, status
kesiagaan dapat berubah menjadi tanggap darurat.

- 56 -

(2) Penetapan tanggap darurat mengikuti mekanisme yang


telah ada berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.

Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Penyelenggaraan Pencegahan,
Penanggulangan dan Penanganan Pasca Karhutla
Pasal 87
Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala/Pimpinan Unit
Pengelolaan

bertanggung

jawab

atas

penyelenggaraan

pencegahan, penanggulangan dan penanganan pasca karhutla


sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Pasal 88
Dalam hal Dalkarhutla:
a. Terjadi pada unit pengelolaan, Kepala Unit Pengelola
bertanggung

jawab

terhadap

penyelenggaraan

penanggulangan karhutla di wilayahnya.


b. Terjadi

sekurang-kurangnya

di

(dua)

Bupati/Walikota

bertanggung

mengkoordinasikan

penanggulangan

kecamatan,

jawab
karhutla

dan
di

wilayahnya.
c.

Terjadi sekurang-kurangnya di 2 (dua) kabupaten/kota,


Gubernur

bertanggung

jawab

dan

mengkoordinasikan

penanggulangan karhutla di wilayahnya.


d. Terjadi sekurang-kurangnya di 2 (dua) provinsi, Menteri
bertanggung

jawab

dan

mengkoordinasikan

penanggulangan karhutla secara nasional.


Pasal 89
Dalam kondisi status darurat dan atau atas permintaan
Gubernur, instansi yang diberikan kewenangan atas dasar
peraturan perundang-undangan dapat melakukan bantuan
penanggulangan melalui pengerahan TNI, POLRI, dan bantuan
pembuatan hujan buatan atau pemadaman dari udara.

- 57 -

Bagian Kesembilan
Dukungan Manajemen
Pasal 90
(1) Penyelenggaraan kegiatan Dalkarhutla wajib didukung
oleh sistem manajemen yang mampu menjamin ketertiban
dan keberlanjutan upaya dalkarhutla secara efektif dan
efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Dukungan manajemen, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. laporan akuntabilitas;
b. laporan tahunan;
c. pengelolaan barang milik pemerintah (BMN) dan atau
milik unti pengelola;
d. administrasi keuangan; dan
e. Perencanaan dan penganggaran.
BAB VI
PENGEMBANGAN INOVASI DALKARHUTLA
Pasal 91
Pengembangan
kegiatan

inovasi

pengkajian,

pendampingan

tentang

Dalkarhutla,
penelitian,
ilmu

dilakukan

melalui

pengembangan

pengetahuan

dan

dan

teknologi

terapan Dalkarhutla, yang meliputi bidang:


a. pencegahan karhutla;
b. penanggulangan karhutla;
c. penanganan pasca kebakaran;
d. dukungan evakuasi dan penyelamatan; dan
e. dukungan manajemen dalkarhutla.

Pasal 92
(1) Inovasi

bidang

pencegahan

karhutla,

sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 91 huruf a, antara lain:


a. pembukaan lahan tanpa bakar;
b. pembangunan sekat kanal pada lahan gambut;

- 58 -

c. gerakan nasional pencegahan;


d. pemetaan daerah rawan kebakaran;
e. sistem peringatan dini;
f. sistem deteksi dini;
g. pengurangan resiko bahaya karhutla; dan
h. pengelolaan bahan bakaran.
(2) Inovasi bidang penanggulangan karhutla sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 huruf b, antara lain:
a. perilaku api;
b. karakteristik bahan bakaran;
c. sistem deteksi dini;
d. teknik pemadaman api gambut;
e. integrasi pemadam darat dan udara;
f. teknologi modifikasi cuaca.
(3) Inovasi bidang penanganan pasca karhutla, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 huruf c, antara lain:
a. teknik pengukuran luas kebakaran;
b. teknik analisis dampak kebakaran;
c. teknik rehabilitasi areal bekas kebakaran;
d. teknik identifikasi dan investigasi kejadian kebakaran.
(4) Inovasi bidang dukungan evakuasi dan penyelamatan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf d, antara
lain:
a. teknik evakuasi dan penyelamatan korban manusia;
b. teknik evakuasi dan penyelamatan tumbuhan dan
satwa; atau
c. teknik evakuasi dan penyelamatan aset publik dan aset
vital nasional.
(5) Inovasi

bidang

dukungan

manajemen

Dalkarhutla,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf e, antara


lain:
a. sistem informasi manajemen dalkarhutla berbasis
teknologi informasi ;
b. sistem monitoring dan evaluasi dalkarhutla; atau
c. metode pendidikan dan pelatihan dalkarhutla.

- 59 -

Pasal 93
Pengembangan Inovasi dapat dilakukan secara mandiri oleh
organisasi pelaksana Dalkarhutla, masyarakat, maupun oleh
lembaga penelitian dan pengembangan bidang Dalkarhutla di
lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dan atau lembaga penelitian lainnya.
BAB VII
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KERJASAMA
KEMITRAAN
Bagian Kesatu
Pemberdayaan Masyarakat
Pasal 94
Dalam rangka optimalisasi kegiatan Dalkarhutla, Pemerintah,
Pemerintah Provinsi,
Pengelolaan

Pemerintah Kabupaten/Kota dan Unit

berkewajiban

menumbuhkembangkan

melakukan

peran

serta

pemberdayaan
masyarakat

dan

dalam

kegiatan perencanaan, penanggulangan dan atau penanganan


pasca kebakaran pada setiap wilayah kerja Dalkarhutla.
Pasal 95
Pemberdayaan

dan

penumbuhkembangan

peran

serta

masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94,dilakukan


dengan prinsip:
a. memperkuat kemampuan dan kemandirian dalam kegiatan
pengendalian kebakaran hutan;
b. penciptaan

suasana

berkembangnya

atau

potensi

iklim
dan

yang
daya

memungkinkan
yang

dimiliki

masyarakat;
c. memperkuat potensi dan daya yang dimiliki masyarakat;
d. melindungi kepentingan masyarakat melalui keberpihakan
kepada masyarakat guna mencegah persaingan yang tidak
sehat;

- 60 -

e. merupakan upaya penyadaran, penguatan kapasitas, dan


pemberian akses kepada sumberdaya; dan
f. mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan
lahan.
Pasal 96
(1) Pemberdayaan dan penumbuhkembangan peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, dapat
dilakukan melalui kegiatan:
a. pelatihan;
b. penguatan kelembagaan;
c. fasilitasi; dan
d. penyuluhan.
(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan melalui kegiatan antara lain:
a. pelatihan dasar dalkarhutla;
b. pelatihan pengurangan resiko bencana karhutla; atau
c. pelatihan terkait dengan pemantapan kampung iklim.

(3) Penguatan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) huruf b, dapat dilakukan pada tingkat desa, yang
meliputi tahapan:
a. pembuatan peraturan desa tentang dalkarhut sesuai
kondisi setempat;
b. pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA), yang
dimulai dari perencanaan, persyaratan, pembekalan,
hingga penetapan;
c. pengorganisasian masyarakat melalui kelompok tani;
d. dukungan

sarana

dan

prasarana,

yang

meliputi

perlengkapan dan peralatan administrasi dan teknis


Dalkarhutla;
e. pembentukan kampung iklim.
(4) Pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA) sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), mengacu pada Peraturan Direktur
Jenderal.
(5) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dilakukan melalui kegiatan antara lain:
a. pendampingan;

- 61 -

b. bimbingan teknis; atau


c. pembinaan.

(6) Penyuluhan sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,


dilakukan melalui kegiatan antara lain:
a. kampanye dalam rangka pencegahan karhutla, secara

langsung maupun melalui media cetak dan elektronik;


atau
b. tatap muka, dan anjangsana.

Bagian Kedua
Kerjasama Kemitraan
Pasal 97
Dalam rangka optimalisasi kegiatan Dalkarhutla, Pemerintah
Pemerintah Provinsi,

Pemerintah Kabupaten/Kota dan Unit

Pengelolaan dapat melakukan kerjasama kemitraan dengan


para pihak yang terkait/peduli terhadap Dalkarhutla.
Pasal 98
(1) Kerjasama kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
97,

dapat

dilakukan

antar

Organisasi

Pelaksana

Dalkarhutla maupun dengan instansi pemerintah, pihak


swasta, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor, dan
atau masyarakat melalui ikatan perjanjian.
(2) Ikatan

perjanjian

kerjasama

kemitraan

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), antara lain berupa:


a. pengembangan

kapasitas

Sumberdaya

Manusia

Dalkarhutla;
b. pengembangan inovasi Dalkarhutla;
c. pengembangan sarana dan prasarana Dalkarhutla;
d. pemberdayaan masyarakat; atau
e. pengembangan dukungan manajemen lainnya.

- 62 -

BAB VIII
PELAPORAN DAN PENGAWASAN
Pasal 99
(1) Dalam

upaya

pelaksanaan
dalkarhutla

menjaga

ketertiban

Dalkarhutla,

setiap

diwajibkan

dan

tingkat

melakukan

kepatuhan
organisasi

pelaporan

dan

pengawasan pelaksanaan kegiatan Dalkarhutla secara


berjenjang sesuai tingkatan kewenangannya.
(2) Pelaporan dan pengawasan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi:
a. keorganisasian;
b. sumberdaya manusia;
c. sarpras; atau
d. operasional.
Bagian Kesatu
Pelaporan
Pasal 100
(1) Pelaporan meliputi:
a. laporan insidentil; dan
b. laporan rutin.
(2) Laporan insidentil, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, berupa laporan kejadian kebakaran hutan, yang
sekurang-kurangnya memuat data dan informasi umum
serta kejadian kebakaran dan upaya penanggulangannya.
(3) Laporan rutin, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, berupa laporan bulanan dan laporan tahunan
pengendalian

kebakaran

sekurang-kurangnya

hutan

memuat

dan

data

lahan,
dan

yang

informasi

keorganisasian, sumberdaya manusia, sarana prasarana,


penyelenggaraan

pencegahan,

penanggulangan

dan

penanganan pasca karhutla, serta dukungan manajemen.


(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3)
dilakukan

dan

disampaikan

oleh

setiap

pelaksana dalkarhutla secara berjenjang.

organisasi

- 63 -

(5) Jenis dan format laporan serta tata cara pelaporan dan
monitoring evaluasi Dalkarhutla mengacu padaPeraturan
Direktur

Jenderal

tentang

Pedoman

Pelaporan

Dalkarhutla.
Pasal 101
(1) Dalam rangka peningkatan kinerja bidang Dalkarhutla
dapat dilakukan kegiatan penilaian evaluasi kinerja.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk pelaksanaan
evaluasi kinerja sebagimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 102
Pengawasan meliputi:
a. pengawasan rutin;
b. pengawasan khusus.
Pasal 103
(1) Pengawasan rutin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
102 huruf a, dilakukan oleh pejabat setingkat Eselon I
dalam

rangka

kewilayahan

untuk

terhadap

meningkatkan
aspek

pembinaan

koordinasi,

integrasi,

sinergisitas, dan sinkronisasi kegiatan di wilayah regional


tertentu

untuk

memastikan

keberhasilan

sasaran

kinerja.
(2) Ketentuan lebih lanjut menganai penetapan penanggung
jawab

pembina

dan

wilayah

regional

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan


Menteri.
Pasal 104
(1) Pengawasan khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
102 huruf b, dilakukan oleh Tim Terpadu dalam rangka
untuk mengawasai areal-areal tertentu yang menurut
Menteri perlu untuk diawasi secara khusus.

- 64 -

(2) Tim Terpadu, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


ditetapkan kemudian melalui Surat Perintah Tugas oleh
Pejabat setingkat Eselon I.
(3) Ketentuan

lebih

lanjut

mengenai

petunjuk

teknis

pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur


dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 105
(1) Dalam

hal

tertentu,

memerintahkan

Pejabat

Direktur
yang

Jenderal

dapat

berwenang

untuk

melakukan uji kepatuhan di bidang Dalkarhutla.


(2) Katagori kepatuhan mengikuti penilaian:
a. patuh, dengan selang nilai hasil uji 85 sampai dengan
100;
b. cukup patuh, dengan selang nilai uji 65 sampai
dengan kurang dari 85;
c. kurang patuh, dengan selang nilai uji 50 sampai
dengan kurang dari 65;
d. tidak patuh, dengan selang nilai kurang dari 50.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen uji kepatuhan
pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
(4) Hasil kepatuhan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam pembinaan,
pemberian

penghargaan

dan

sanksi

oleh

instansi

pembina.
Pasal 106
(1) Pengawasan terhadap Manggala Agni Pusat dan Daops
Manggala Agni dilakukan oleh Direktur Jenderal.
(2) Pengawasan terhadap Satuan Kerja Dalkarhut Provinsi
dilakukan

oleh

Gubernur

dan/atau

Eselon

yang

membidangi pengendalian kebakaran hutan dan lahan


tingkat provinsi.
(3) Pengawasan

terhadap

Satuan

Kabupaten/Kota

dilakukan

dan/atau

Eselon

yang

oleh

Kerja

Dalkarhut

Bupati/Walikota

membidangi

pengendalian

kebakaran hutan dan lahan tingkat Kabupaten/Kota.

- 65 -

(4) Pengawasan

terhadap

Satuan

Kerja

Dalkar

Unit

Pengelolaan dilakukan oleh:


a. Gubernur dan Eselon I yang menangani KPH terhadap
pelaksanaan Dalkarhutla pada Kesatuan Pengelolaan
Hutan atau Unit Pelaksana Teknis;
b. Gubernur dan Eselon I yang membidangi pengelolaan
hutan

produksi

lestari

terhadap

pelaksanaan

Dalkarhutla pada Izin Pemanfaatan Hutan;


c. Gubernur dan Eselon I yang membidangi Planologi
Kehutanan

dan

Tata

Lingkungan

terhadap

pelaksanaan Dalkarhutla pada Izin Pinjam Pakai


Kawasan Hutan;
d. Gubernur dan Eselon I sesuai dengan kewenangannya
terhadap pelaksanaan Dalkarhutla pada Izin Hutan
Kemasyarakatan, Izin Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan
Hak dan Kawasan Hutan untuk tujuan khusus;
e. Bupati/Walikota,

Eselon

yang

membidangi

perhutanan sosial, dan Eselon I yang membidangi


pertanian,

perkebunan,

perekonomian

dan

sosial

kemasyarakatan terhadap pelaksanaan dalkarhutla


pada lahan usaha pertanian masyarakat.
(5) Pengawasan

terhadap

satuan

tugas

dalkar

Unit

Pengelolaan Izin Usaha Non Kehutanan dilakukan sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IX
PENGHARGAAN DAN SANKSI
Bagian Kesatu
Penghargaan
Pasal 107
(1) Penghargaan
Pelaksana

Dalkarhutla

pemerintahan
melaksanakan
sumberdaya

diberikan
dan

kepada
pada

pada

kewajiban
manusia,

setiap

tingkatan

unit

Dalkatrhutla di wilayah kerjanya.

administrasi

pengelolaan

penyiapan

sarpras,

Organisasi

dan

yang

organisasi,
operasional

- 66 -

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian


penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Sanksi
Pasal 108
(1) Sanksi diberlakukan kepada setiap Organisasi Pelaksana
Dalkarhutla pada tingkatan administrasi pemerintahan
dan pada unit pengelolaan yang tidak melaksanakan
kewajiban penyiapan organisasi, sumberdaya manusia,
sarpras, dan operasional Dalkarhutla di wilayah kerjanya.
(2) Sanksi

sebagaimana

diberlakukan

sesuai

dimaksud
dengan

perundang-undangan

tentang

pada

ketentuan

ayat

(1)

peraturan

perlindungan

dan

pengelolaan lingkungan hidup dan/atau pencegahan dan


perberantasan

perusakan

hutan

dan/atau

izin

pemanfaatan hutan dan/atau izin pinjam pakai kawasan


dan/atau peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata carapengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
dalam Peraturan Menteri.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 109
(1) Biaya

untuk

melaksanakan

kegiatan

dalkarhutla

dibebankan pada Anggaran Pendapan dan Belanja Negara


(APBN),

Anggaran

Pendapatan

dan

Belanja

Daerah

(APBD), dan sumber dana lain yang tidak mengikat sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- 67 -

(2) Biaya Dalkarhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dapat berupa dana siap pakai (on-call budget), dana
tahunan (multi years budget), dan/atau dana bantuan
sosial.
(3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan wajib
mengalokasi dana dari APBN dan sumber dana lain
sesuai dengan peraturan perundangan untuk dalkarhutla
yang dilakukan oleh Manggala Agni.
(4) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang wilayah
administrasinya rawan karhutla wajib mengalokasikan
dana dari APBD dan sumber dana lain sesuai dengan
peraturan

perundangan

untuk

dalkarhutla

yang

dilakukan oleh Satuan Kerja Dalkarhutla Pemerintah


Daerah, pihak terkait dan masyarakat di wilayahnya.
(5) Unit Pengelolaan, kecuali pertanian masyarakat, wajib
mengalokasikan dana operasional tahunan untuk dalkar
hutan dan/atau lahan yang dilakukan oleh Satuan Kerja
Dalkar

Unit

Pengelolaannya,

pihak

terkait

dan

Dalkarhutla

diatur

oleh

masyarakat di wilayah kerjanya.


(6) Biaya

dan

pembiayaan

penanggung jawab organisasi pelaksana


masing-masing

sesuai

dengan

ketentuan

Dalkarhutla
peraturan

perundang-undangan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 110
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2009 tentang
Pengendalian Kebakaran Hutan, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

- 68 -

Pasal 111
Peraturan

Menteri

ini

mulai

berlaku

pada

tanggal

diundangkan.
Agar

setiap

orang

mengetahuinya,

memerintahkan

pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya


dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

WIDODO EKATJAJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 583


Salinan sesuai dengan aslinya

- 69 -

LAMPIRAN
NOMOR
TANGGAL
TENTANG

:
:
:
:

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

STRUKTUR ORGANISASI BRIGADE PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN KPH


KEPALA KPH
KEPALA BRIGDALKARHUTLA
TATA USAHA
SEKRETARIS BRIGADE

PEJABAT

PEJABAT

merangkap

merangkap

KOORDINATOR
PENCEGAHAH , PERINGATAN
DAN DETEKSI DINI KARHUT

KOORDINATOR
PENAGGULANGAN &
PENANGANAN PASCA KARHUT

Fungsi koordinasi
keteknikan pencegahan
pengelolaan kanal pada
gambut
penyuluhan
pemberdayaan masyarakat
pelaksanaan posko siaga
peringatan dan deteksi
dini karhut (datainformasi PBK dan hotspot)

Fungsi koordinasi:
pemadaman dini dan lanjutan
inventarisasi dan monitoring
areal bekas kebakaran
koordinasi penanganan pasca
dukungan evakuasi dan
penyelamatan

KEPALA REGU
PENGENDALIAN
KEBAKARAN HUTAN

KEPALA REGU
PENGENDALIAN
KEBAKARAN HUTAN

Fungsi operasional
pencegahan, pemadaman
dan penanganan pasca
karhut serta dukungan
evakuasi dan penyelamatan

Fungsi operasional
pencegahan, pemadaman
dan penanganan pasca
karhut serta dukungan
evakuasi dan penyelamatan

Fungsi perencanaan dan


evaluasi
Fungsi penyiapan dan
pemeliharaan sarpras
Fungsi penyiapan
logistik
Fungsi administrasi

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN


KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

SITI NURBAYA

Anda mungkin juga menyukai