Teknik Pengukuran Budaya K3 Pada Perusahaan (Teori Dan Implementasi)
Teknik Pengukuran Budaya K3 Pada Perusahaan (Teori Dan Implementasi)
Teknik Pengukuran Budaya K3 Pada Perusahaan (Teori Dan Implementasi)
Oleh:
Rista Rusdianawati
NIM 130551818116
accident report tiap tahun, hal ini dikarenakan oleh kondisi yang tidak aman
(unsafe condition)
Kondisi ini sebenarnya dapat diatasi dengan beberapa hal, seperti pemberian APD
kepada pekerja, memasang papan peringatan, dan lain-lain. Penggunaan APD dan
alat lainnya tidak akan ada artinya jika tidak digunakan dengan benar dan
spesifikasi yang dipilih tidak tepat terhadap paparan di lapangan.
Di Indonesia telah ditetapkan beberapa peraturan keselamatan dan
kesehatan kerja, diantaranya UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
dan Peraturan Menteri No. PER-05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Peraturan-peraturan ini ditetapkan
dengan tujuan untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya kecelakaan kerja di
suatu perusahaan atau tempat kerja.
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebaiknya dimulai dari
tahap yang paling dasar, yaitu pembentukan budaya K3 (safety culture) di
lingkungan kerja. Penerapan budaya K3 merupakan konsep penting yang
berdampak positif bagi pekerja. Penerapan budaya K3 yang baik akan dapat
terlaksana bila memiliki performansi K3 (safety performance) yang baik, yaitu
telah mampu mengendalikan, memproteksi, mereduksi, mengeliminasi, atau
mengisolasi semua resiko dari potensi sumber bahaya. Cooper (2004) mengatakan
bahwa istilah budaya K3 mengacu kepada aspek perilaku (behavioral aspect)
yang merujuk pada norma kelompok, misalnya sikap dan tindakan apa yang
dilakukan secara berkelompok, serta aspek situasional (situational aspect) seperti
halnya apa yang dimiliki dan difasilitasi oleh organisasi.
Diperlukan peranan aktif dari berbagai pihak dalam suatu oraganisasi atau
perusahaan agar dapat melaksanakan budaya K3 yang baik, sehingga pada
gilirannya nanti akan menurunkan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja
(PAK). Dengan upaya pembentukan budaya K3 yang baik dan berkelanjutan, akan
menjadi keuntungan dan reputasi yang baik bagi suatu perusahaan atau organisasi.
Untuk mengetahui kondisi budaya K3, kesenjangan-kesenjangan di dalam
sistem, program, dan prosedur K3 yang sedang diterapkan, perlu dilakukan
pengukuran budaya K3. Mengukur budaya K3 suatu organisasi atau perusahaan
merupakan suatu keharusan bagi perusahaan yang selalu ingin mencapai kondisi
K3 perusahaan yang baik, minimal untuk mencapai kondisi yang disebut selalu
tumbuh kembang. Dengan demikian, diharapkan perusahaan dapat fokus
melakukan koreksi dengan tepat dan baik serta membuat rekomendasi
pelaksanaannya, sehingga akan meningkatkan kinerja dan reputasi perusahaan
atau organisasi tersebut.
PEMBAHASAN
Definisi Budaya K3
Dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 245/MEN/1990
tertanggal 12 Mei 1990, tertulis bahwa 1) Budaya K3 adalah perilaku
kinerja, pola asumsi yang mendasari persepsi, pikiran dan perasaan seseorang
yang
berkaitan dengan
mengembangkan
K3;
untuk
memberdayakan
merupakan
penjelmaan dari perilaku, sikap, dan nilai secara bersama untuk mencapai
derajat performansi sehat dan selamat, yang dipahami dan dijadikan prioritas
utama dalam suatu organisasi (Blair, 2003; Cooper, 2002; De Pasquale & Geller,
1999).
Hubungan Safety Culture dan Safety Climate
Budaya K3 (safety culture) yang meliputi persepsi, asumsi, nilai, norma
dan keyakinan para pekerja, dianggap lebih bersifat global dari pada iklim
K3 (safety climate). Diadopsi menurut Shadur dkk. (1999) budaya K3 bersifat
melekat kepada kelompok dalam suatu organisasi, dan lebih sulit diukur dari
pada iklim K3, yang merupakan indikator permukaan dari kultur yang lebih
kepastian
terhadap
sikap-sikap
yang berdasarkan
nilai-nilai
dalam
keselamatan
bersifat melekat
kepada
kelompok
dalam
suatu
organisasi, dan lebih sulit diukur dari pada iklim keselamatan, yang merupakan
indikator permukaan dari kultur yang lebih mudah dimengerti. Budaya K3 secara
tidak langsung dapat diketahui melalui iklim K3
dalam organisasi dengan cara mengukur sikap pekerja terhadap K3 dan
persepsi mereka tentang potensi sumber bahaya di tempat kerja (Flin et
al.,2000; Guldenmund,2000). Iklim K3 merupakan refleksi sesaat (snap shot)
dari budaya K3 (Geller,2000). Para profesionalis K3 menggunakan iklim K3
untuk mengetahui budaya K3 sesaat melalui sikap selama penerapan program
K3, karena biasanya sikap sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja
(Cheyne et al.,1998).
Selanjutnya iklim K3 dapat dianggap sebagai pengukur atau indikator
budaya K3 melalui sikap dan perilaku anggota organisasi dalam waktu
tertentu (Dedobbeleer & Beland,1991; Flin et al.,2000).
Pengukuran terhadap iklim K3 menggunakan instrument yang dapat
mencatat persepsi tentang isu-isu K3 dari individu sebagai sampel. Diadopsi
menurut Guldenmund (2000) dan Cooper (2000), pengukuran iklim K3 yang
biasa digunakan adalah dengan menggunakan angket melalui administrasi
pelaporan diri (self administered) dengan pendekatan survei.
Guldenmund (2000) mengusulkan bahwa budaya keselamatan terdiri dari
tiga tingkat, mirip dengan lapisan sebuah bawang (lihat Gambar 1). Inti
terdiri dari 'asumsi dasar, tetapi asumsi ini tidak spesifik untuk keselamatan,
tetapi lebih umum. Lapisan berikutnya diberi nama 'nilai-nilai yang dianut'
yang dalam prakteknya mengacu pada sikap anggota organisasi. Sikap-sikap
yang spesifik untuk keselamatan, sebagai lawan faktor organisasi umum. Ada
empat kelompok luas dari sikap, yaitu sikap terhadap perangkat keras
(misalnya: desain pabrik), sistem manajemen (misalnya: sistem keselamatan),
orang (misalnya: manajemen senior) dan perilaku (misalnya: mengambil resiko).
Lapisan luar terdiri dari artefak atau ekspresi
yang
keluar
dari
budaya
(person),
seperti
motivasi, harapan dan lain-lain. Aspek kedua berkaitan erat dengan perilaku
sehari-hari (behaviour), seperti misalnya: perilaku sehari-hari di perusahaan,
kebiasaan-kebiasaan dalam K3 dan sebagainya. Aspek ketiga berkaitan erat
dengan situasi lingkungan kerja (environment) seperti apa yang dimiliki
perusahaan/organisasi mengenai K3, contohnya Sistem Manajemen K3, SOP,
Komite K3, peralatan, lingkungan kerja, dan sebagainya.
Penilaian Safety Culture
Dalam konteks K3, istilah budaya hadir pada level yang lebih tinggi,
sebagian berhubungan dengan kebijakan dan tujuan (input). Sedangkan istilah
iklim perusahaan sering dipakai untuk menerangkan hasil (output) budaya
keselamatan yang lebih terukur (lihat Gambar 2 dan penjabaran lebih
lengkap Gambar 3). Pengukuran tentang iklim keselamatan sendiri sebenarnya
mengukur dimensi-dimensi budaya keselamatan dalam batas-batas tertentu.
Dari Coopers Reciprocal Safety Culture Model dari dimensi safety
climate dapat dijabarkan menjadi 11 dimensi, dimensi berikut ini menjadi
fokus utama untuk memastikan keselamatan iklim organisasi saat ini. Masingmasing telah terbukti secara jelas berkaitan dengan budaya keselamatan yang
efektif. Dimensi yang dimaksud tersebut diantaranya: 1) Komitmen manajemen,
2) Tindakan manajemen, 3) Komitmen pribadi terhadap keselamatan, 4) Akibat
orang
dan
komite
Gambar 3 Penjabaran Coopers Reciprocal Safety Culture Model Applied to Each Element
(Sumber: Cooper, 2001)
peralatan/mesin/perlengkapan/bahan/material
beserta
cara-cara
1)
Melacak
perkembangan
dari
pertemuan-pertemuan
K3,
pertanyaan
dari
angket.
Mereka
harus
memahami
dan
menjawab
pertanyaan
secara
harfiah,
akan
tetapi
mereka
dapat
wawancara yang dapat dilakukan, yaitu: 1) Wawancara informal;pertanyaanpertanyaan berkembang secara spontan dalam interaksi alamiah; 2) Wawancara
dengan pedoman umum;pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum dan terbuka
sudah disiapkan sebelum wawancara dilakukan; dan 3) Wawancara dengan
pedoman terstandar yang terbuka;pertanyaan sudah ditulis secara rinci,lengkap
dengan set pertanyaan dan penjabaran kalimatnya.
Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam wawancara diantaranya: a)
Sumber informasi atau informan yang akan di wawancara; b) Desain pertanyaan
yang akan diajukan harus mengarah pada tujuan wawancara untuk mendapatkan
informasi yang diinginkan; dan 3) Pencatatan informasi yang diperoleh selama
wawancara untuk mendapatkan poin-poin yang diinginkan.
Fokus Group Diskusi (FGD)
FGD adalah salah satu teknik dalam mengumpulkan data kualitatif,dimana
sekelompok orang berdiskusi dibawah arahan dari seorang moderator mengenai
suatu topik. Kelompok diskusi harus cukup kecil (6-12 orang) sehingga
memungkinkan setiap individu untuk berbicara. FGD bertujuan untuk
mengumpulkan data mengenai persepsi peserta terhadap topik yang dibahas,akan
tetapi tidak mencari konsensus dan tidak mengambil keputusan mengenai
tindakan apa yang harus dilakukan. FGD akan memberikan data yang mendalam
mengenai persepsi dan pandangan peserta. Oleh karena itu digunakan pertanyaan
terbuka
yang
memungkinkan
peserta
untuk memberikan
jawaban
dan
memperhatikan
secara
akurat,mencatat
Studi
kasus
dapat
dibedakan
dalam
beberapa
tiga
tipe
tentunya
adalah
dokumen
10
dan
catatan
resmi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan,seperti
laporan
kecelakaan,work
permit,work
11
12
Di tahapan paling bawah (patologis), bisa terlihat dari tidak ada atau
kurangnya kemauan organisasi untuk mengenali dan/atau menangani isu yang
menyebabkan buruknya kinerja K3. Di tahapan paling atas (generatif), praktek
kerja aman dipandang sebagai kebutuhan dan bagian yang diinginkan oleh
pekerjaan apapun.
Organisasi yang memiliki budaya patologis, meyakini bahwa pekerja umumnya yang ada di level rendah - menjadi penyebab kecelakaan. Mereka
menerapkan hanya yang diwajibkan undang-undang/peraturan, termasuk inspeksi
dan audit yang dipersyaratkan, untuk menghindari tuntutan hukuman. K3
dipandang sebagai hambatan dalam bekerja.
Organisasi di tahap budaya reaktif sudah memandang K3 sebagai sebuah
hal yang penting, namun masih mempercayai bahwa sebagian besar masalah ada
di tingkatan pekerja terendah. Kemampuan K3 perusahaan dan karyawan masih
minim dan hanya menginginkan program-program K3 yang sederhana.
13
dipergunakan
sebagai
target
scorecard
kinerja.
Perbaikan
berkelanjutan menjadi tujuan yang jelas bagi semua di organisasi yang proaktif.
Sementara itu, organsisasi yang berbudaya generatif merupakan organisasi
yang memiliki kemampuan tertinggi dalam memenuhi sendiri kebutuhan
organsisasinya, organisasi di tahap ini terus berusaha untuk mengerti lingkungan
pekerjaannya. Program-progam K3 yang dipilih dan dipergunakan merupakan
program yang disukai para pekerja, merasa nyaman dengannya. Program yang
sifatnya wajib bagi pekerja bisa memberikan hasil yang kontra produktif, karena
tidak memberikan kepercayaan yang penuh. Di tahap organisasi generatif, semua
pekerja merasa nyaman dan tidak ragu untuk menyoroti permasalahan yang nyata
atau bahkan isu yang mungkin menyebabkan masalah. Pekerja merasa
14
15
PENUTUP
Budaya keselamatan merupakan penjelmaan dari perilaku, sikap, dan
nilai secara bersama untuk mencapai derajat performansi sehat dan selamat,
yang dipahami dan dijadikan prioritas utama dalam suatu organisasi.
Terdapat tiga komponen utama budaya keselamatan yang dapat diukur,
baik dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Ketiga aspek/komponen
tersebut antara lain: 1) Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (Psychological
aspects, what people feel, what is believe); 2) Aspek perilaku K3 pekerja
(Behavioral aspects, what people do, what is done) ; dan 3) Aspek situasi atau
organisasi dalam kaitan dengan K3 (Situational aspects, what organizational
has, what is said).
Ada beberapa jenis metodologi yang digunakan dalam melakukan kajian
budaya keselamatan dalam suatu organisasi dengan tujuan yang berbeda-beda,
diantaranya: a) penyebaran angket, b) wawancara, c) Fokus Group Diskusi
(FGD), d) pengamatan/observasi, e) studi kasus, f) audit dokumen dan catatan,
dan g) KJ Analysis (Affinity Diagram).
16
17