Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Teknik Pengukuran Budaya K3 Pada Perusahaan (Teori Dan Implementasi)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

TEKNIK PENGUKURAN BUDAYA K3 PADA PERUSAHAAN

(TEORI DAN IMPLEMENTASI)

UJIAN AKHIR SEMESTER


Disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Aspek Hukum & Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
yang dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. H. Djoko Kustono, M.Pd

Oleh:
Rista Rusdianawati
NIM 130551818116

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEJURUAN
DESEMBER 2013
PENDAHULUAN
Setiap perusahaan mempunyai target zero accident, tetapi pada
kenyataannya masih sering terjadi accident disetiap tahunnya. Berdasarkan

accident report tiap tahun, hal ini dikarenakan oleh kondisi yang tidak aman
(unsafe condition)

maupun perilaku yang tidak aman (unsafe action).

Kondisi ini sebenarnya dapat diatasi dengan beberapa hal, seperti pemberian APD
kepada pekerja, memasang papan peringatan, dan lain-lain. Penggunaan APD dan
alat lainnya tidak akan ada artinya jika tidak digunakan dengan benar dan
spesifikasi yang dipilih tidak tepat terhadap paparan di lapangan.
Di Indonesia telah ditetapkan beberapa peraturan keselamatan dan
kesehatan kerja, diantaranya UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
dan Peraturan Menteri No. PER-05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Peraturan-peraturan ini ditetapkan
dengan tujuan untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya kecelakaan kerja di
suatu perusahaan atau tempat kerja.
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebaiknya dimulai dari
tahap yang paling dasar, yaitu pembentukan budaya K3 (safety culture) di
lingkungan kerja. Penerapan budaya K3 merupakan konsep penting yang
berdampak positif bagi pekerja. Penerapan budaya K3 yang baik akan dapat
terlaksana bila memiliki performansi K3 (safety performance) yang baik, yaitu
telah mampu mengendalikan, memproteksi, mereduksi, mengeliminasi, atau
mengisolasi semua resiko dari potensi sumber bahaya. Cooper (2004) mengatakan
bahwa istilah budaya K3 mengacu kepada aspek perilaku (behavioral aspect)
yang merujuk pada norma kelompok, misalnya sikap dan tindakan apa yang
dilakukan secara berkelompok, serta aspek situasional (situational aspect) seperti
halnya apa yang dimiliki dan difasilitasi oleh organisasi.
Diperlukan peranan aktif dari berbagai pihak dalam suatu oraganisasi atau
perusahaan agar dapat melaksanakan budaya K3 yang baik, sehingga pada
gilirannya nanti akan menurunkan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja
(PAK). Dengan upaya pembentukan budaya K3 yang baik dan berkelanjutan, akan
menjadi keuntungan dan reputasi yang baik bagi suatu perusahaan atau organisasi.
Untuk mengetahui kondisi budaya K3, kesenjangan-kesenjangan di dalam
sistem, program, dan prosedur K3 yang sedang diterapkan, perlu dilakukan
pengukuran budaya K3. Mengukur budaya K3 suatu organisasi atau perusahaan

merupakan suatu keharusan bagi perusahaan yang selalu ingin mencapai kondisi
K3 perusahaan yang baik, minimal untuk mencapai kondisi yang disebut selalu
tumbuh kembang. Dengan demikian, diharapkan perusahaan dapat fokus
melakukan koreksi dengan tepat dan baik serta membuat rekomendasi
pelaksanaannya, sehingga akan meningkatkan kinerja dan reputasi perusahaan
atau organisasi tersebut.
PEMBAHASAN
Definisi Budaya K3
Dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 245/MEN/1990
tertanggal 12 Mei 1990, tertulis bahwa 1) Budaya K3 adalah perilaku
kinerja, pola asumsi yang mendasari persepsi, pikiran dan perasaan seseorang
yang

berkaitan dengan

mengembangkan

K3;

2) Memberdayakan adalah upaya

untuk

kemandirian yang dilakukan dengan cara menumbuhkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam bertindak dan memahami suatu


permasalahan; dan 3) Pembudayaan adalah upaya/proses

memberdayakan

pekerja sehingga mereka mengetahui, memahami, bertindak sesuai norma dan


aturan serta menjadi panutan atau acuan bagi pekerja lainnya.
Menurut Blair (2003) dan Clarke (2000), konsep budaya keselamatan
merupakan bagian dari budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan
kombinasi dari perilaku, sikap, persepsi, dan keluarannya berupa performansi,
yang dapat menggerakan roda organisasi. Budaya keselamatan

merupakan

penjelmaan dari perilaku, sikap, dan nilai secara bersama untuk mencapai
derajat performansi sehat dan selamat, yang dipahami dan dijadikan prioritas
utama dalam suatu organisasi (Blair, 2003; Cooper, 2002; De Pasquale & Geller,
1999).
Hubungan Safety Culture dan Safety Climate
Budaya K3 (safety culture) yang meliputi persepsi, asumsi, nilai, norma
dan keyakinan para pekerja, dianggap lebih bersifat global dari pada iklim
K3 (safety climate). Diadopsi menurut Shadur dkk. (1999) budaya K3 bersifat
melekat kepada kelompok dalam suatu organisasi, dan lebih sulit diukur dari
pada iklim K3, yang merupakan indikator permukaan dari kultur yang lebih

mudah dimengerti. Guldenmund (2000) yang kemudian diadaptasi, menyatakan


bahwa iklim K3 cenderung berdasarkan sikap seseorang terhadap K3 dalam
suatu organisasi, sedangkan budaya K3 lebih menekankan kepada keyakinan
dan

kepastian

terhadap

sikap-sikap

yang berdasarkan

nilai-nilai

dalam

kelompok sosial. Budaya keselamatan (safety culture) yang meliputi persepsi,


asumsi, nilai, norma dan keyakinan pekerja, dianggap lebih bersifat global dari
pada iklim keselamatan (safety climate). Diadopsi menurut Shadur dkk. (1999)
budaya

keselamatan

bersifat melekat

kepada

kelompok

dalam

suatu

organisasi, dan lebih sulit diukur dari pada iklim keselamatan, yang merupakan
indikator permukaan dari kultur yang lebih mudah dimengerti. Budaya K3 secara
tidak langsung dapat diketahui melalui iklim K3
dalam organisasi dengan cara mengukur sikap pekerja terhadap K3 dan
persepsi mereka tentang potensi sumber bahaya di tempat kerja (Flin et
al.,2000; Guldenmund,2000). Iklim K3 merupakan refleksi sesaat (snap shot)
dari budaya K3 (Geller,2000). Para profesionalis K3 menggunakan iklim K3
untuk mengetahui budaya K3 sesaat melalui sikap selama penerapan program
K3, karena biasanya sikap sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja
(Cheyne et al.,1998).
Selanjutnya iklim K3 dapat dianggap sebagai pengukur atau indikator
budaya K3 melalui sikap dan perilaku anggota organisasi dalam waktu
tertentu (Dedobbeleer & Beland,1991; Flin et al.,2000).
Pengukuran terhadap iklim K3 menggunakan instrument yang dapat
mencatat persepsi tentang isu-isu K3 dari individu sebagai sampel. Diadopsi
menurut Guldenmund (2000) dan Cooper (2000), pengukuran iklim K3 yang
biasa digunakan adalah dengan menggunakan angket melalui administrasi
pelaporan diri (self administered) dengan pendekatan survei.
Guldenmund (2000) mengusulkan bahwa budaya keselamatan terdiri dari
tiga tingkat, mirip dengan lapisan sebuah bawang (lihat Gambar 1). Inti
terdiri dari 'asumsi dasar, tetapi asumsi ini tidak spesifik untuk keselamatan,
tetapi lebih umum. Lapisan berikutnya diberi nama 'nilai-nilai yang dianut'
yang dalam prakteknya mengacu pada sikap anggota organisasi. Sikap-sikap
yang spesifik untuk keselamatan, sebagai lawan faktor organisasi umum. Ada

empat kelompok luas dari sikap, yaitu sikap terhadap perangkat keras
(misalnya: desain pabrik), sistem manajemen (misalnya: sistem keselamatan),
orang (misalnya: manajemen senior) dan perilaku (misalnya: mengambil resiko).
Lapisan luar terdiri dari artefak atau ekspresi

yang

keluar

dari

budaya

keselamatan. Ini akan mencakup peralatan (misalnya: alat pelindung diri),


perilaku, (misalnya: menggunakan peralatan keselamatan yang sesuai atau
manajer melakukan wisata keselamatan), tanda-tanda fisik (misalnya: jumlah
posting hari sejak kecelakaan terakhir publik), dan kinerja keselamatan (jumlah
insiden).

Gambar 1 Model Safety Culture


(Sumber: PRISM FGI Safety Culture Application Guide)

Komponen Utama/Aspek Safety Culture


Terdapat tiga komponen utama budaya keselamatan yang dapat diukur,
baik dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Ketiga aspek/komponen
tersebut antara lain: 1) Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (Psychological
aspects, what people feel, what is believe); 2) Aspek perilaku K3 pekerja
(Behavioral aspects, what people do, what is done) ; dan 3) Aspek situasi atau
organisasi dalam kaitannya dengan K3 (Situational aspects, what organizational
has, what is said) (Cooper, 2000).

Gambar 2 Coopers Reciprocal Safety Culture Model Applied to Each Element


(Sumber: Cooper, 2001)

Aspek pertama, apa yang dirasakan seseorang sangat terkait dengan


aspek pribadi

(person),

seperti

misalnya: cara pikir, nilai, pengetahuan,

motivasi, harapan dan lain-lain. Aspek kedua berkaitan erat dengan perilaku
sehari-hari (behaviour), seperti misalnya: perilaku sehari-hari di perusahaan,
kebiasaan-kebiasaan dalam K3 dan sebagainya. Aspek ketiga berkaitan erat
dengan situasi lingkungan kerja (environment) seperti apa yang dimiliki
perusahaan/organisasi mengenai K3, contohnya Sistem Manajemen K3, SOP,
Komite K3, peralatan, lingkungan kerja, dan sebagainya.
Penilaian Safety Culture
Dalam konteks K3, istilah budaya hadir pada level yang lebih tinggi,
sebagian berhubungan dengan kebijakan dan tujuan (input). Sedangkan istilah
iklim perusahaan sering dipakai untuk menerangkan hasil (output) budaya
keselamatan yang lebih terukur (lihat Gambar 2 dan penjabaran lebih
lengkap Gambar 3). Pengukuran tentang iklim keselamatan sendiri sebenarnya
mengukur dimensi-dimensi budaya keselamatan dalam batas-batas tertentu.
Dari Coopers Reciprocal Safety Culture Model dari dimensi safety
climate dapat dijabarkan menjadi 11 dimensi, dimensi berikut ini menjadi
fokus utama untuk memastikan keselamatan iklim organisasi saat ini. Masingmasing telah terbukti secara jelas berkaitan dengan budaya keselamatan yang
efektif. Dimensi yang dimaksud tersebut diantaranya: 1) Komitmen manajemen,
2) Tindakan manajemen, 3) Komitmen pribadi terhadap keselamatan, 4) Akibat

dari kebutuhan kecepatan kerja, 5) Persepsi terhadap level resiko, 6) Keyakinan


tentang penyebab kecelakaan, 7) Pengaruh tekanan kerja, 8) Efektifitas
komunikasi kesalamatan di dalam organisasi, 9) Efektifitas prosedur darurat, 10)
Pentingnya pelatihan keselamatan, dan 11) Status

orang

dan

komite

keselamatan dalam suatu organisasi.

Gambar 3 Penjabaran Coopers Reciprocal Safety Culture Model Applied to Each Element
(Sumber: Cooper, 2001)

Pengukuran dan Pemantauan Budaya dan Kinerja K3 di Tempat Kerja


Perusahaan membangun metode sistematis untuk pengukuran dan
pemantauan kinerja K3 secara teratur sebagai satu kesatuan bagian dari
keseluruhan sistem manajemen perusahaan. Pemantauan melibatkan pengumpulan
informasi-informasi berkaitan dengan bahaya K3, berbagai macam pengukuran
dan penelitian berkaitan dengan resiko K3, jam lembur tenaga kerja serta
penggunaan

peralatan/mesin/perlengkapan/bahan/material

penggunaannya di tempat kerja.

beserta

cara-cara

Pengukuran kinerja K3 ini dapat berupa pengukuran kualitatif maupun


pengukuran kuantitatif kinerja K3 di tempat kerja.
Adapun tujuan dari pengukuran dan pemantauan Budaya dan Kinerja K3
diantaranya:

1)

Melacak

perkembangan

dari

pertemuan-pertemuan

K3,

pemenuhan Tujuan K3 dan peningkatan berkelanjutan; 2) Memantau pemenuhan


peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya berkaitan dengan
penerapan K3 di tempat kerja; 3) Memantau kejadian-kejadian kecelakaan kerja
dan penyakit akibat kerja (PAK); 4) Menyediakan data untuk evaluasi keefektivan
pengendalian operasi K3 atau untuk mengevaluasi perlunya modifikasi
pengendalian ataupun pengenalan pilihan pengendalian baru; 5) Menyediakan
data untuk mengukur kinerja K3 Perusahaan baik secara proaktif maupun secara
reaktif; 6) Menyediakan data untuk mengevaluasi penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan kerja Perusahaan; dan 7) Menyediakan data untuk
menilai kompetensi personil K3.
Perusahaan mendelegasikan tugas pemantauan dan pengukuran budaya
dan kinerja K3 kepada Ahli K3 Umum Perusahaan atau Sekretaris Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja termasuk anggota-anggota di bawah
kewenangan Ahli K3 Umum Perusahaan. Hasil dari pemantauan dan pengukuran
kinerja K3 dianalisa dan digunakan untuk mengidentifikasi tingkat keberhasilan
kinerja K3 ataupun kebutuhan perlunya tindakan perbaikan ataupun tindakantindakan peningkatan kinerja K3 lainnya.
Kajian (Survei) Budaya dan Kinerja K3
Ada beberapa jenis metodologi yang digunakan dalam melakukan kajian
budaya keselamatan dalam suatu organisasi dengan tujuan yang berbeda-beda.
Kajian budaya keselamatan dapat dilakukan untuk melihat pada tahap mana
budaya keselamatan suatu organisasi berada atau untuk melihat hubungan antara
tingkat kecelakaan dengan budaya keselamatan. Setiap organisasi selalu memiliki
ciri-ciri atau karakteristik sendiri-sendiri. Untuk melihat ciri dan karakteristik
tersebut dapat dilakukan dengan metode survei pada seluruh pegawai dan juga
pada organisasi. Data yang dinginkan dapat diperoleh melalui metode wawancara,
kuesioner, diskusi kelompok terfokus maupun dengan cara pengamatan. Tentunya

setiap metode yang ada mempunyai kelebihan dan keterbatasannya sendirisendiri.


Data yang diperoleh ada yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif dan
masing-masing membutuhkan cara analisis tersendiri untuk memperolah suatu
kesimpulan yang tepat.
Penyebaran Angket/Kuesioner
Metode yang paling sering digunakan dalam berbagai penelitian perilaku
dan budaya keselamatan adalah penyebaran angket secara langsung kepada para
pekerja untuk mendapat informasi dan data. Angket digunakan di dalam survei
atau sensus untuk memperoleh laporan fakta, sikap dan pernyataan subjektif
lainnya. Ada tiga perspektif teori yang harus diperhatikan dalam membuat angket
(Martin,2006):, yaitu: 1) Model Standar (The Model of the Standardized Survey
Interview), menurut teori ini angket harus terdiri dari pertanyaan standar dengan
tolok ukur yang sama sehingga jawaban atau respon dari responden dapat
dibandingkan satu sama lainnya; 2) Question Answering as a Sequence of
Cognitive Tasks, teori ini distimulasi oleh usaha untuk mengaplikasikan psikologi
konginitif. Responden harus melakukan serangkaian tugas pengamatan untuk
menjawab

pertanyaan

dari

angket.

Mereka

harus

memahami

dan

menginterpretasikan pertanyaan, menggali informasi dari ingatan, memadukan


informasi dan kemudian baru merespon pertanyaan; 3) Wawancara sebagai
percakapan (The Interview as Conversation), responden tidak harus mengartikan
dan

menjawab

pertanyaan

secara

harfiah,

akan

tetapi

mereka

dapat

menyimpulkan dan mengartikan pertanyaan tersebut sesuai dengan pemahaman


dan kondisi mereka. Pertanyan dibuat dalam bentuk naskah komunikasi yang
memungkinkan adanya interaksi antara penanya dan responden.
Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang dilakukan dengan
tujuan untuk mendapat informasi yang diinginkan dari informan. Biasanya
pertanyaan diarahkan pada pokok-pokok permasalahan atau isu-isu yang ingin di
eksplorasi yang tidak dapat diperoleh dengan metode lain. Ada beberapa jenis

wawancara yang dapat dilakukan, yaitu: 1) Wawancara informal;pertanyaanpertanyaan berkembang secara spontan dalam interaksi alamiah; 2) Wawancara
dengan pedoman umum;pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum dan terbuka
sudah disiapkan sebelum wawancara dilakukan; dan 3) Wawancara dengan
pedoman terstandar yang terbuka;pertanyaan sudah ditulis secara rinci,lengkap
dengan set pertanyaan dan penjabaran kalimatnya.
Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam wawancara diantaranya: a)
Sumber informasi atau informan yang akan di wawancara; b) Desain pertanyaan
yang akan diajukan harus mengarah pada tujuan wawancara untuk mendapatkan
informasi yang diinginkan; dan 3) Pencatatan informasi yang diperoleh selama
wawancara untuk mendapatkan poin-poin yang diinginkan.
Fokus Group Diskusi (FGD)
FGD adalah salah satu teknik dalam mengumpulkan data kualitatif,dimana
sekelompok orang berdiskusi dibawah arahan dari seorang moderator mengenai
suatu topik. Kelompok diskusi harus cukup kecil (6-12 orang) sehingga
memungkinkan setiap individu untuk berbicara. FGD bertujuan untuk
mengumpulkan data mengenai persepsi peserta terhadap topik yang dibahas,akan
tetapi tidak mencari konsensus dan tidak mengambil keputusan mengenai
tindakan apa yang harus dilakukan. FGD akan memberikan data yang mendalam
mengenai persepsi dan pandangan peserta. Oleh karena itu digunakan pertanyaan
terbuka

yang

memungkinkan

peserta

untuk memberikan

jawaban

dan

penjelasannya. Moderator hanya sebagai pengarah,pendengar,pengamat dan


menganalisa data dengan menggunakan proses induktif (Kresno et al.,2000).
Pengamatan (Observasi)
Observasi adalah kegiatan

memperhatikan

secara

akurat,mencatat

fenomena yang muncul,mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam


fenomena tersebut. Tujuan observasi adalah untuk mendeskripsikan setting yang
dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung dan makna kejadian yang diamati
tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi
berbagai catatan panjang lebar yang tidak relevan. Patton (1990) mengatakan data

hasil observasi menjadi data penting karena (Poerwandari,2005): a) Peneliti akan


mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks yang diamati; b)
Memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka,berorientasi pada penemuan
daripada pembuktian,dan mendekati masalah secara induktif; c) Memungkinkan
peneliti mengamati hal hal yang oleh partisipan sendiri kurang disadari; d)
Memungkinkan memperoleh data yang tidak diungkapkan oleh subyek yang
diteliti; e) Memungkinkan bergerak lebih jauh dari presepsi selektif yang
ditampilkan subyek; f) Memungkin peneliti merefleksikan dan bersikap
introspektif terhadap penelitian yang dilakukannya.
Studi Kasus
Studi kasus dapat membuat peneliti memahami secara utuh dan
terintegrasi mengenai interelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus yang
dipelajari.

Studi

kasus

dapat

dibedakan

dalam

beberapa

tiga

tipe

(Poerwandari,2005), yaitu: a) Studi kasus intrinsik:penelitian dilakukan karena


ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus. Penelitian dilakukan untuk
memahami secara utuh kasus tersebut,tanpa harus dimaksudkan untuk
menghasilkan konsep-konsep / teori ataupun tanpa upaya mengeralisasi; b) Studi
kasus instrumental:penelitian pada suatu kasus unik tertentu. Dilakukan untuk
memahami isu dengan lebih baik,juga untuk mengembangkan dan memperhalus
teori; c) Studi kasus kolektif:suatu studi kasus instrumental yang diperluas
sehingga mencakup beberapa kasus. Tujuannya adalah untuk mempelajari
fenomena/populasi/kondisi umum dengan lebih mendalam. Karena menyangkut
kasus majemuk dengan fokus baik di dalam tiap kasus maupun antar kasus,studi
kasus ini juga sering disebut studi kasus majemuk atau studi kasus komparatif.
Dalam studi kasus, pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai
cara seperti wawancara, audit dokumen, observasi dan lain sebagainya.
Audit Dokumen dan Catatan
Dokumen dan catatan sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai
sumber informasi atau data. Dokumen dan catatan yang digunakan dalam
penelitian

tentunya

adalah

dokumen

10

dan

catatan

resmi

yang

dapat

dipertanggungjawabkan,seperti

laporan

kecelakaan,work

permit,work

instruction,laporan hasil rapat dan sebagainya. Alasan penggunaan dokumen dan


catatan sebagai sumber data adalah sebagai berikut (Moleong, 2005): a)
Merupakan sumber yang stabil,kaya dan mendorong; b) Berguna sebagai bukti
untuk suatu pengujian; dan c) Mudah diperoleh.
KJ Analysis (Affinity Diagram)
Analisis KJ atau yang banyak dikenal dengan nama affinity diagram
adalah suatu teknik dalam menggali dan mengorganisasi informasi verbal kedalam
bentuk visual terstruktur. Metode ini dikembangkan oleh Jiro Kawakita pada
tahun 1960, dan banyak digunakan sebagai tools untuk perbaikan atau
peningkatan kinerja bisnis. Analisis KJ dimulai dengan suatu ide yang spesifik
yang dapat dikembangkan menjadi kategori yang lebih luas.
Analisis KJ dapat digunakan untuk beberapa hal, diantaranya: a)
Menentukan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap suatu masalah atau
kegagalan; dan b) Mengidentifikasi area-area yang dapat diperbaiki.
Analisis KJ merupakan suatu tools yang sangat bagus digunakan untuk
mengajak peserta diskusi untuk lebih kreatif dalam mencari solusi suatu
permasalahan. Metode ini sangat baik digunakan dalam suatu kelompok yang
memiliki latar belakang dan keahlian yang berbeda-beda, atau situasi yang cukup
rumit dan membingungkan dimana situasi yang dihadapi belum tergali atau
diketahui secara baik oleh peserta diskusi. Beberapa hal yang unik dari metode ini
yaitu: 1) Affinity silently, merupakan cara yang paling efektif dalam
menyampaikan ide dalam sebuah kelompok yaitu dengan menampilkan ide secara
tertulis tanpa bicara. Hal ini memiliki dua hal yang positip yaitu mendorong cara
berfikir yang tidak konvensional dan yang kedua mengurangi pertengkaran atau
pertentangan; 2) Go for gut reaction, yaitu mendorong anggota kelompok untuk
bereaksi cepat terhadap apa yang dilihat atau dipikirkan. Dan semua anggota
kelompok dapat menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya; dan 3) Handle
disagreement simply, adalah cara sederhana untuk menangani ketidaksepakatan
dalam cara pandang terhadap suatu ide. Jika seseorang atau anggota kelompok
tidak setuju terhadap suatu ide pada kategori tertentu,mereka tinggal

11

memindahkan ke dalam kategori yang lebih tepat hingga ditemukan


konsensus,jika tidak ditemukan konsensus maka dapat dibuat duplikat ide untuk
kedua kategori.
Metode ini dilakukan dengan cara brainstorming untuk mendapatkan ideide dari peserta diskusi sesuai dengan topik diskusi. Brainstorming dilakukan
bukan dengan menyampaikan pendapat secara verbal akan tetapi disampaikan
secara tertulis diatas sepotong kertas berupa kartu atau post-it note. Kemudian ideide atau pendapat tersebut ditempelkan pada papan tulis atau dinding dimana
memungkinkan untuk mengelompokkan ide-ide yang sama kedalam satu kategori.
Semua peserta kelompok diskusi diajak untuk membaca semua ide-ide yang
tertempel dan mengelompokkan secara bersama-sama untuk mendapatkan
konsensus serta memberi nama kategori-kategori tersebut. Melalui diskusi dengan
peserta kemudian dicari hubungan sebab dan akibat dari semua kategori yang ada.
Metode-metode tersebut diatas dapat digunakan secara sendiri-sendiri atau
gabungan beberapa metode, hal ini tentunya tergantung dari jenis dan kedalaman
informasi yang ingin diperoleh. Namun dalam banyak penelitian budaya dan
perilaku keselamatan, metode yang paling sering digunakan adalah metode
penyebaran angket. Beberapa penelitian lainnya menggabungkan penyebaran
angket dengan fokus grup diskusi dan audit dokumen dan catatan untuk
mendapatkan hasil yang lebih komprehensif.
Analisis Tingkat Budaya dan Kinerja K3
Sebagian besar kecelakaan berasal dari kesalahan (error) atau pelanggaran
(violation) pekerja. Langkah besar yang harus ditempuh adalah membangun
budaya K3 yang baik, sehingga mempengaruhi perilaku pekerja secara positif,
yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesalahan dan pelanggarannya.
International Association of Oil & Gas Producers (OGP) memberikan
klasifikasi tahapan budaya dan kinerja K3 perusahaan. Dengan mengetahui di
posisi mana perusahaan berada, maka akan diketahui apa saja yang diperlukan
untuk meningkatkan budaya K3 perusahaan.

12

Kelima tingkatan budaya dan kinerja K3 ini merupakan pengembangan 3


tingkatan budaya organisasi Westrum (1985), yaitu: patologis, reaktif, kalkulatif,
proaktif, generatif.

Gambar 4 Lima Tingkatan Budaya dan Kinerja K3

Di tahapan paling bawah (patologis), bisa terlihat dari tidak ada atau
kurangnya kemauan organisasi untuk mengenali dan/atau menangani isu yang
menyebabkan buruknya kinerja K3. Di tahapan paling atas (generatif), praktek
kerja aman dipandang sebagai kebutuhan dan bagian yang diinginkan oleh
pekerjaan apapun.
Organisasi yang memiliki budaya patologis, meyakini bahwa pekerja umumnya yang ada di level rendah - menjadi penyebab kecelakaan. Mereka
menerapkan hanya yang diwajibkan undang-undang/peraturan, termasuk inspeksi
dan audit yang dipersyaratkan, untuk menghindari tuntutan hukuman. K3
dipandang sebagai hambatan dalam bekerja.
Organisasi di tahap budaya reaktif sudah memandang K3 sebagai sebuah
hal yang penting, namun masih mempercayai bahwa sebagian besar masalah ada
di tingkatan pekerja terendah. Kemampuan K3 perusahaan dan karyawan masih
minim dan hanya menginginkan program-program K3 yang sederhana.

13

Contohnya, jika kelalaian untuk memakai sabuk pengaman ketika berkendara


diindentifikasi dalam investigasi kecelakaan, maka kampanye penggunaan sabuk
pengaman dipandang sudah cukup; perilaku tidak aman lain yang berkontribusi
dalam kecelakaan berkendara semisal memacu kendaraan melebihi batas
kecepatan, kemungkinan besar tidak di akan ditindaklanjuti.
Organisasi berbudaya kalkulatif meyakini bahwa sistem manajemen K3
memiliki pengaruh dalam mendongkrak kinerja. Perusahaan di tingkat ini telah
mempunyai banyak program dan pelatihan K3. Program-program yang ada lebih
ke arah pencapaian target angka scorecard, contohnya: pencapaian jumlah pekerja
yang dilatih ketimbang menilai kompetensi pekerja setelah pelatihan. Profesional
K3 perusahaan dilihat sebagai pemeran utama pelaksana program K3 dan
bertanggungjawab atas kinerja K3 perusahaan. Organisasi berbudaya kalkulatif
mempertimbangkan pelaksaaan program K3 berdasarkan kebutuhan untuk
memperbaiki isu kinerja, terutama terkait kecelakaan yang dihadapi, semisal
kampanye berkendara aman untuk menangani isu tingginya angka kecelakaan
berkendara.
Organisasi yang proaktif sudah memandang K3 sebagai nilai inti
(fundamental core), dan para pimpinan di setiap line secara tulus peduli kepada
kesehatan dan keselamatan semua pekerja dan kontraktornya. Organisasi proaktif
memahami bahwa penyebab utama kecelakaan terletak pada kegagalan
manajemen sistem. Data, termasuk informasi pendukung kejadian nyaris celaka
(nearmiss),

dipergunakan

sebagai

target

scorecard

kinerja.

Perbaikan

berkelanjutan menjadi tujuan yang jelas bagi semua di organisasi yang proaktif.
Sementara itu, organsisasi yang berbudaya generatif merupakan organisasi
yang memiliki kemampuan tertinggi dalam memenuhi sendiri kebutuhan
organsisasinya, organisasi di tahap ini terus berusaha untuk mengerti lingkungan
pekerjaannya. Program-progam K3 yang dipilih dan dipergunakan merupakan
program yang disukai para pekerja, merasa nyaman dengannya. Program yang
sifatnya wajib bagi pekerja bisa memberikan hasil yang kontra produktif, karena
tidak memberikan kepercayaan yang penuh. Di tahap organisasi generatif, semua
pekerja merasa nyaman dan tidak ragu untuk menyoroti permasalahan yang nyata
atau bahkan isu yang mungkin menyebabkan masalah. Pekerja merasa

14

diberdayakan untuk menyelesaikan permasalahan K3, dan para pimpinan


memberikan dukungan yang diperlukan.
Budaya K3 erat sekali kaitannya dengan kepercayaan, kredibilitas dan
perilaku para pimpinannya. Dan untuk mencapai budaya K3 perusahaan yang
mapan bukanlah sebuah akhir dari perjalanan, karena membangun budaya K3
merupakan usaha terus menerus perbaikan berkelanjutan.
Membuat Rekomendasi dan Teknik Implementasinya
Setelah dilakukan penentuan tingkatan kinerja dan budaya K3 pada suatu
perusahaan, langkah selanjutnya manajemen aktif untuk memonitor dan
mengevaluasi progresnya. Evaluasi dapat dilakukan dengan aktifnya manajemen
dalam memberikan arahan di safety komitee meeting, ikut serta inspeksi berkala
dan memonitor tindak lanjut hasil inspeksi, mengevaluasi sistem safety dalam
manajemen meeting dan memberikan rekomendasi. Tool-tool manajemen ini
digunakan agar implementasi K3 yang dilakukan menghasilkan kinerja sesuai
yang ditargetkan.
Komitmen K3 dalam menejemen bukan sekedar sebuah pernyataan tetapi
lebih kedepan adalah implementasi dari pernyataan melalui tindakan dan
keikutsertaan pada aktivitas K3 sebagai pendorong tumbuhnya budaya K3 yang
permanen.
Berikut ini adalah gambar model implementasi yang berkelanjutan untuk
membangun budaya dan kinerja K3.

15

Gambar 5 Model Implementasi Berkelanjutan Program Membangun Budaya dan Kinerja


K3

PENUTUP
Budaya keselamatan merupakan penjelmaan dari perilaku, sikap, dan
nilai secara bersama untuk mencapai derajat performansi sehat dan selamat,
yang dipahami dan dijadikan prioritas utama dalam suatu organisasi.
Terdapat tiga komponen utama budaya keselamatan yang dapat diukur,
baik dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Ketiga aspek/komponen
tersebut antara lain: 1) Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (Psychological
aspects, what people feel, what is believe); 2) Aspek perilaku K3 pekerja
(Behavioral aspects, what people do, what is done) ; dan 3) Aspek situasi atau
organisasi dalam kaitan dengan K3 (Situational aspects, what organizational
has, what is said).
Ada beberapa jenis metodologi yang digunakan dalam melakukan kajian
budaya keselamatan dalam suatu organisasi dengan tujuan yang berbeda-beda,
diantaranya: a) penyebaran angket, b) wawancara, c) Fokus Group Diskusi
(FGD), d) pengamatan/observasi, e) studi kasus, f) audit dokumen dan catatan,
dan g) KJ Analysis (Affinity Diagram).

16

International Association of Oil & Gas Producers (OGP) memberikan


klasifikasi tingkatan budaya dan kinerja K3 perusahaan. Lima tingkatan budaya
dan kinerja K3 tersebut diantaranya: patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif, dan
generatif.
Manajemen aktif untuk memonitor dan mengevaluasi progres kinerja K3
pada suatu perusahaan. Evaluasi dapat dilakukan dengan aktifnya manajemen
dalam memberikan arahan di safety commitee meeting, ikut serta inspeksi berkala
dan memonitor tindak lanjut hasil inspeksi, mengevaluasi sistem safety dalam
manajemen meeting dan memberikan rekomendasi.
DAFTAR PUSTAKA
International Association of Oil & Gas Producers. A guide to selecting
appropriate tools to improve HSE culture. March 2010. OGP Publication.
United Kingdom
Nielsen, Kent J. Improving Safety Culture through The Health and Safety
Organization: A Case Study. Journal
Ruoyu Jin and Qian Chen. Safety Culture: Effects of Environment, Behavior &
Person. Journal
Kurniasih, Dewi dan Rachmadita, Renanda N. Pengukuran Budaya K3 pada
Tingkat Non Manajerial dengan Menggunakan Coopers Reciprocal Safety
Culture Model di PT. X. Artikel
Suara Merdeka. Budaya K3 Diperlukan di Semua Dunia Kerja. 27 November
2013. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/03/24/150210

17

Anda mungkin juga menyukai