Presentations">
Indigenous Games For Children SD
Indigenous Games For Children SD
Indigenous Games For Children SD
Oleh:
Nency Hardini (11144600138)
A4-11
oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau beregu, dimana dalam Randai
ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun
Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Randai ini bertujuan untuk menghibur
masyarakat yang biasanya diadakan pada saat pesta rakyat atau pada hari raya Idul
Fitri.
Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kaba atau cerita
rakyat melalui gurindam atau syair yang didendangkan dan galombang (tari) yang
bersumber
dari
gerakan-gerakan
silat
Minangkabau.
Namun
dalam
seorang ditengah sebagai pembagi bola. Baik menerima maupun memberi bola
harus melalui tendangan.
Pertandingan dibagi dalam dua tahap, yaitu babak penyisihan disebut
derap dan babak final disebut boko. Penilaian dilakukan terhadap teknik serta
gaya dalam menendang bola yang disebut renten. Lamanya permainan derap 15
menit sedangkan boko 30 menit. Dapat diperpanjang jika dianggap perlu oleh
wasit.
Pada zaman dahulu permainan sepak rago dilakukan oleh para pemuda di
kampung-kampung pada sore hari untuk mengisi waktu luang dan sebagai sarana
hiburan. Tidak ada penilaian yang baku pada permainan ini, karena permainan ini
tidak dipertandingkan. Yang ada hanya penilaian pada kemahiran pemain dalam
memainkan bola supaya tidak jatuh ke tanah. Permainan ini sekarang masih dapat
dijumpai di daerah pinggiran kota Padang dan juga daerah-daerah lain
di Sumatera Barat, akan tetapi di wilayah perkotaan sudah mulai ditinggalkan oleh
masyarakat. Akhir-akhir ini, permainan sepak rago sudah mulai diperlombakan
dan sudah banyak grup-grup sepak raga yang mulai bermunculan.
Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh melalui permainan sepak rago
ini selain olahraga, yaitu:
a. Melalui permainan ini seseorang bisa mengenali dirinya sendiri dan
potensi yang ia miliki.
b. Seseorang bisa menyadari bahwa dia tidak hidup sendiri di dalam
masyarakat.
c. Dalam hidup bermasyarakat seseorang harus dapat bekerjasama dengan
orang lain.
d. Jika ada permasalahan, hendaknya dimusyawarahkan apa solusinya yang
terbaik untuk bersama.
Sepak rago mirip dengan olahraga sepak takraw yang menggunakan bola
rotan, perbedaannya pada sepak rago tidak menggunakan net.
Permainan ini sekarang masih dapat dijumpai di daerah pinggiran kota
Padang dan juga daerah-daerah lain di Sumatera Barat, akan tetapi di wilayah
perkotaan sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Akhir-akhir ini, permainan
sepak raga sudah mulai diperlombakan dan sudah banyak grup-grup sepak raga
yang mulai bermunculan.
5. Tarian Rakyat
Tarian tradisional yang bersifat klasik di Minangkabau umumnya memiliki
gerakan aktif dinamis, namun tetap berada dalam alur dan tatanan yang khas.
Kekhasan ini terletak pada prinsip tari Minangkabau yang belajar kepada alam.
Oleh karena itu, dinamisme gerakan tari-tari tradisi Minangkabau selalu
merupakan perlambang dari unsur alam. Pengaruh agama Islam, keunikan adat
matrilineal, dan kebiasan merantau masyarakat juga memberi pengaruh besar
dalam jiwa sebuah tari.
Secara garis besar ada tiga macam tarian rakyat Minangkabau, yaitu:
a. Tarian pencak, yaitu tarian yang gerakan dan prinsipnya menyerupai
kegembiraan dan perintang waktu. Contoh : tari piriang, tari galuak, tari
kabau jalang.
c. Tarian kaba, yaitu tarian yang mengangkat tema cerita (kaba). Contoh : tari
pengikut Husein yang mencari jari-jari dan serpihan tubuh Husein yang dicincang
musuh. Hari ke sembilan, mereka mengarak sorban Husein yang ditemukan.
Acara puncak arak-arakan tabuik berlangsung pada hari ke sepuluh.
8. Bise Biseang
Permainan Tradisional yang Mengundang Tawa ini berasal dari Suku
Bugis, yang bernama Bise biseang. Permainan ini juga adalah permainan tim.
Setiap tim terdiri dari dua orang. Alat permainannya adalah sarung. Ya, sarung
yang merupakan pakaian/kain tradisional yang sangat familiar bagi masyarakat
Indonesia khususnya bagi suku Bugis. Permainan ini bisa dimainkan dimana saja
di dalam ruangan atau tempat terbuka namun dengan lantai yang tidak
bertanah/berpasir, karena dapat membuat kotor atau merobek sarung dan membuat
sakit pantat.
Cara memainkannya adalah dua orang dalam satu sarung duduk berhadaphadapan sambil menjalinkan kaki dengan kaki dan tangan dengan tangan.
Selanjutnya sesuai aba-aba masing-masing tim berlomba untuk menuju garis
finish yang ditentukan dengan cara bergeser secara bergantian. Meskipun
permainan ini sangat sederhana namun cukup menguras tenaga karena harus
menggeser atau mengangkat pantat untuk bergerak secepatnya mencapai garis
finis. Bila tidak hati-hati maka pemain akan jatuh bergulingan atau bahkan dapat
merobek sarung. Mereka yang menonton pertandingan ini dipastikan akan tertawa
tergelak-gelak karena selalu ada saja kejadian-kejadian lucu seperti pemain yang
terguling atau saat finis para pemain menepuk-nepuk pantatnya karena merasa
pegal. Bila khawatir permainan ini akan merobek sarung, maka bisa juga
memainkannya tanpa menggunakan sarung dengan teknik dan cara yang sama
namun akan berkurang kelucuannya karena tingkat kesulitannya sudah berkurang.
mengambil
kaleng
yang
sudah
dilempar
dan
kemudian
a. bila kucing yang berhasil: ini adalah tanda kepada rekan-rekan tikus
lainnya, bahwa seekor tikus telah tertangkap.
b. dan apabila tikus yang berhasil: maka kaleng ini akan dilempar kembali
oleh tikus berkaitan sejauh mungkin, untuk kemudian ia kembali sembunyi
lebih aman.
Demikianlah permainan ini terus berulang, hingga mereka lelah. Tanda
permainan selesai adalah mengguncang kaleng sebanyak tiga kali dan diulang
hingga tujuh atau sepuluh kali dengan keras, agar rekan-rekan tikus yang
sembunyi dapat mendengarnya dan kembali ke pusat permainan.
10. Pacu jawi
Pacu jawi atau dapat disebut balapan sapi dalam bahasa Indonesia adalah
sebuah atraksi permainan tradisional yang dilombakan di kabupaten Tanah Datar,
provinsi Sumatera Barat, Indonesia.
Setiap tahun, lomba balap sapi ini diselenggarakan secara bergiliran
selama empat minggu di empat kecamatan di kabupaten Tanah Datar, yaitu
kecamatan Pariangan, kecamatan Rambatan, kecamatan Lima Kaum, dan
kecamatan Sungai Tarab.
Pacu jawi telah ada sejak ratusan tahun lalu, yang pada awalnya
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh petani sehabis musim panen untuk
mengisi waktu luang sekaligus menjadi sarana hiburan bagi masyarakat setempat.
Berbeda dengan karapan sapi di pulau Madura yang diselenggarakan di
lintasan yang kering, pacu jawi di kabupaten Tanah Datar diselenggarakan di
sawah-sawah milik masyarakat setempat sehabis panen dan dalam kondisi
berlumpur. Uniknya, sepasang sapi hanya berlari sendiri tanpa lawan, bukan
dengan pasangan lawan sebagaimana layaknya perlombaan. Dimana, penilaiannya
adalah lurus atau tidak lurusnya sepasang sapi dalam berlari, disamping penilaian
waktu tempuh lintasan.
Selain itu, kegiatan ini juga dipadukan dengan tradisi masyarakat
setempat, seperti penampilan tarian dan permainan alat musik tradisional.
Permainan
Seorang joki mengendarai sepasang sapi (atau jawi dalam bahasa Minang)
yang diapit oleh peralatan pembajak sawah sambil memegang tali dan menggigit
ekor kedua sapi. Dimana seorang joki akan dibekali alat bajak pacu yang terbuat
dari bambu sebagai alat berpijak sewaktu perlombaan dimulai. Alat tersebut
merupakan salah satu peralatan yang digunakan oleh petani untuk membajak
sawah. Kedua ekor sapi harus digigit ketika akan membuat lari sapi lebih cepat,
semakin kuat ekor kedua sapi itu digigit, semakin cepat pula sapi itu berlari.
Pemenang pacu jawi adalah yang sepasang sapinya dapat berlari paling
lurus tanpa sedikitpun berbelok hingga ke garis akhir atau garis finish. Biasanya
dalam satu perlombaan akan terlihat banyak sapi yang berbelok, bahkan adapula
yang berpindah ke sawah lain.
B.
oleh anak-anak untuk mengisi waktu libur atau hanya sekadar menghilangkan rasa
penat. Bebentengan, di beberapa daerah sering kali dikenal sebagai rerebonan di
daerah Jawa Barat, sedangkan di daerah lain juga dikenal dengan nama prisprisan,
omer, jek-jekan. Bebentengan sendiri berasal dari kata benteng atau pertahanan.
Kata bebentengan adalah Dwipurwa (pengulangan suku kata pertama) dengan
memakai akhiran an yang artinya menyerupai atau berbuat seperti atau bukan
sebenarnya. Permainan bebentengan mempunyai relevansi dengan kehidupan
masyarakat Indonesia pada zaman penjajahan Belanda dahulu. Pertahanan
Indonesia terhadap Belanda menggunakan benteng yang akhirnya benteng
tersebut dianalogikan terhadap kehidupan anak-anak lalu lahirlah istilah
bebentengan untuk sebutan permainan tradisional ini.
Bebentengan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dahulu. Jika
bebentengan pada zaman itu sebagai strategi pertahanan Indonesia terhadap
gempuran penjajah Belanda, maka pada zaman sekarang bebentengan sebagai
permainan yang maksud permainannya tak jauh beda dengan zaman dahulu, yaitu
mempertahankan pertahanan dari serangan musuh.
Persiapan
Awal mula permainan ini ialah anak-anak yang akan ikut bermain
berkumpul di lapangan atau tanah kosong yang cukup luas, kira-kira seluas
lapangan bulu tangkis. Kemudian anak-anak yang akan ikut bermain dibagi
menjadi dua kelompok yang sama rata, bila kelompok pertama berjumlah empat
orang maka kelompok kedua juga berjumlah empat orang. Biasanya pembagian
kelompoknya dibagi dengan cara suit atau pun hom pim pah.
Peralatan
Pada permainan bebentengan ini para pemain tidak memerlukan alat-alat
khusus, cukup lahan kosong untuk menjadi pijakan dan batas antara kedua kubu
kelompok masing-masing. Kedua kelompok membuat markas bebentengannya
saling berjauhan, biasanya di sudut lapangan. Misalnya kelompok pertama di
sudut barat maka kelompok yang kedua di sudut timur.
Peraturan
Setiap personil pada kedua kubu harus menyentuh benteng. Hal ini
menandakan bahwa status personil tersebut adalah baru. Kalau dia agak lama
tidak menyentuh benteng, maka status personil tersebut akan disebut lamo.
Personil yang berstatus lamo, dapat dikejar, diburu, dan ditawan oleh personil dari
benteng lawan yang berstatus baru. Jika seorang lamo sedang berada atau berlari
di luar benteng dapat menjadi tawanan lawan jika disentuh oleh personil dari
benteng lawan yang berstatus baru.
Personil yang menjadi tawanan akan berdiri bergandengan di dekat
benteng lawan yang menawannya. Para tawanan tidak dapat lagi bebas memburu
atau menyerang sampai mereka dapat dibebaskan. Para tawanan dapat dibebaskan
oleh teman dari bentengnya dengan cara menyentuh teman-temannya yang
menjadi tawanan tersebut.
Permainan
Awal mula permainan ini dimulai dengan majunya atau menyerangnya dari
salah satu personil tiap kubu salah satu benteng untuk menantang musuh
permainannya. Personil dari lawan mainnya kemudian balik menyerang dan
mengejar musuhnya. Dari sana para pemain yang maju saling mengejar dan
menghindar satu sama lainnya. Jika seorang lamo yang maju kemudian ditangkap
atau disentuh oleh lawan mainnya maka dia menjadi tawanan musuhnya.
Seorang lamo berusaha mengejar dan menghindar dari lawan mainnya
supaya tak jadi tawanan musuhnya dan para personil yang berada pada markas
10
11
cukup sulit dilakukan oleh orang awam atau bagi orang yang masih pemula untuk
memainkannya. Permainan ini membutuhkan keseimbangan raga kita dalam
memainkannya. Kenapa bisa begitu, karena si pemain harus berusaha
menyeimbangkan berat dan tinggi tubuhnya dalam pijakan dua buah batang
bambu yang menopang kedua kakinya untuk berjalan.
Pemain
Permainan egrang dapat dikategorikan sebagai permainan anak-anak. Pada
umumnya permainan ini dilakukan dilakukan oleh anak laki-laki yang berusia 713 tahun.
Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan egrang ini tidak membutuhkan tempat (lapangan) yang khusus.
Egrang dapat dimainkan di mana saja, asalkan di atas tanah. Jadi, dapat di tepi
pantai, di tanah lapang atau di jalan. Peralatan yang digunakan adalah dua batang
bambu bata (volo vatu) yang relatif lurus dan sudah tua dengan panjang masingmasing antara 1,5-3 meter. Cara membuatnya adalah sebagai berikut. Mula-mula
bambu dipotong menjadi dua bagian yang panjangnya masing-masing sekitar 23 meter. Setelah itu, dipotong lagi bambu yang lain menjadi dua bagian dengan
ukuran masing-masing sekitar 20-30 cm untuk dijadikan pijakan kaki.
Selanjutnya, salah satu ruas bambu yang berukuran panjang dilubangi untuk
memasukkan bambu yang berukuran pendek. Setelah bambu untuk pijakan kaki
terpasang, maka bambu tersebut siap untuk digunakan.
Aturan Permainan
Aturan permainan egrang dapat dibagi menjadi dua, yaitu perlombaan lari
dan pertandingan untuk saling menjatuhkan dengan cara saling memukulkan kakikaki bambu. Perlombaan adu kecepatan biasanya dilakukan oleh anak-anak yang
berusia antara 7-11 tahun dengan jumlah 2-5 orang. Sedangkan, permainan untuk
saling menjatuhkan lawan biasanya dilakukan oleh anak-anak yang berusia antara
11-13 tahun dengan menggunakan sistem kompetisi.
Jalannya Permainan
Apabila permainan hanya berupa adu kecepatan (lomba lari), maka diawali
dengan berdirinya 3-4 pemain di garis start sambil menaiki bambu masingmasing. Bagi anak-anak yang kurang tinggi atau baru belajar bermain egrang,
12
mereka dapat menaikinya dari tempat yang agak tinggi atau menggunakan tangga
dan baru berjalan ke arah garis start. Apabila telah siap, orang lain yang tidak ikut
bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan. Mendengar
aba-aba itu, para pemain akan berlari menuju garis finish. Pemain yang lebih
dahulu mencapai garis finish dinyatakan sebagai pemenangnya. Sedangkan,
apabila permainan bertujuan untuk mengadu bambu masing-masing pemain, maka
diawali
dengan
pemilihan
dua
orang
pemain
yang
dilakukan
secara
musyawarah/mufakat.
Setelah itu, mereka akan berdiri berhadapan. Apabila telah siap, peserta
lain yang belum mendapat giliran bermain akan memberikan aba-aba untuk segera
memulai permainan. Mendengar aba-aba itu, kedua pemain akan mulai
mengadukan bambu-bambu yang mereka naiki. Pemain yang dapat menjatuhkan
lawan dari bambu yang dinaikinya dinyatakan sebagai pemenangnya. Permainan
ini cukup populer, apalagi ketika banyak diadakan pelbagai pagelaran perlombaan
17 Agustus-an tiap tahun di berbagai daerah di Indonesia.
Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam permainan egrang adalah kerja keras,
keuletan, dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain
yang berusaha agar dapat mengalahkan lawannya. Nilai keuletan tercermin dari
proses pembuatan alat yang digunakan untuk berjalan yang memerlukan keuletan
dan ketekunan agar seimbang dan mudah digunakan untuk berjalan. Dan, nilai
sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat
curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan
dengan lapang dada.
3. Congklak
13
Gambar: Congklak
Congklak adalah suatu permainan tradisional yang dikenal dengan
berbagai macam nama di seluruh Indonesia. Biasanya dalam permainan, sejenis
cangkang kerang digunakan sebagai biji congklak dan jika tidak ada, kadangkala
digunakan juga biji-bijian dari tumbuh-tumbuhan dan batu-batu kecil.
Di Jawa, permainan ini lebih dikenal dengan nama congklak, dakon,
dhakon atau dhakonan. Di beberapa daerah di Sumatera yang berkebudayaan
Melayu, permainan ini dikenal dengan nama congkak. Di Lampung permainan ini
lebih dikenal dengan nama dentuman lamban, sedangkan di Sulawesi permainan
ini lebih dikenal dengan beberapa nama: Mokaotan, Maggaleceng, Aggalacang
dan Nogarata.
Permainan ini di Malaysia juga dikenal dengan nama congkak, sedangkan
dalam bahasa Inggris permainan ini disebut Mancala.
Permainan congklak dilakukan oleh dua orang. Dalam permainan mereka
menggunakan papan yang dinamakan papan congklak dan 98 (14 x 7) buah biji
yang dinamakan biji congklak atau buah congklak. Umumnya papan congklak
terbuat dari kayu dan plastik, sedangkan bijinya terbuat dari cangkang kerang,
biji-bijian, batu-batuan, kelereng atau plastik. Pada papan congklak terdapat 16
buah lobang yang terdiri atas 14 lobang kecil yang saling berhadapan dan 2
lobang besar di kedua sisinya. Setiap 7 lobang kecil di sisi pemain dan lobang
besar di sisi kananya dianggap sebagai milik sang pemain.
Pada awal permainan setiap lobang kecil diisi dengan tujuh buah biji. Dua
orang pemain yang berhadapan, salah seorang yang memulai dapat memilih
lobang yang akan diambil dan meletakkan satu ke lobang di sebelah kanannya dan
seterusnya. Bila biji habis di lobang kecil yang berisi biji lainnya, ia dapat
mengambil biji-biji tersebut dan melanjutkan mengisi, bila habis di lobang besar
miliknya maka ia dapat melanjutkan dengan memilih lobang kecil di sisinya. Bila
habis di lubang kecil di sisinya maka ia berhenti dan mengambil seluruh biji di
sisi yang berhadapan. Tetapi bila berhenti di lobang kosong di sisi lawan maka ia
berhenti dan tidak mendapatkan apa-apa.
14
Permainan dianggap selesai bila sudah tidak ada biji lagi yang dapat
dimabil (seluruh biji ada di lobang besar kedua pemain). Pemenangnya adalah
yang mendapatkan biji terbanyak.
4. Galah Asin (Gobak Sodor)
15
karena setiap orang harus selalu berjaga dan berlari secepat mungkin jika
diperlukan untuk meraih kemenangan.
Kalau di makassar nama nya main asing. seorang pemain bertindak
sebagai peluncur (kapten). permainan ini seru melatih ketangkasan, strategi,
kecepatan, dan kecerdikan.
5. Hompimpa
16
6. Karapan Sapi
17
tradisi karapan sapi. Karapan sapi segera menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya
khususnya setelah menjelang musim panen habis. Karapan Sapi didahului dengan
mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi
musik saronen.
Pelaksanaan Kerapan Sapi
Pelaksanaan Karapan Sapi dibagi dalam empat babak, yaitu : babak
pertama, seluruh sapi diadu kecepatannya dalam dua pasang untuk memisahkan
kelompok menang dan kelompok kalah. Pada babak ini semua sapi yang menang
maupun yang kalah dapat bertanding lagi sesuai dengan kelompoknya.
Babak kedua atau babak pemilihan kembali, pasangan sapi pada kelompok
menang akan dipertandingkan kembali, demikian sama halnya dengan sapi-sapi di
kelompok kalah, dan pada babak ini semua pasangan dari kelompok menang dan
kalah tidak boleh bertanding kembali kecuali beberapa pasang sapi yang
memempati kemenangan urutan teratas di masing-masing kelompok.
Babak ketiga atau semifinal, pada babak ini masing sapi yang menang
pada masing-masing kelompok diadu kembali untuk menentukan tiga pasang sapi
pemenang dan tiga sapi dari kelompok kalah. Pada babak keempat atau babak
final, diadakan untuk menentukan juara I, II, dan III dari kelompok kalah.
Kritik
Karapan sapi dikritik berbagai pihak seperti Majelis Ulama Indonesia dan
pemerintah daerah di Madura karena tradisi kekerasan rekeng yang dilakukan
pemilik sapi. MUI Pamekasan sudah memfatwakan haram mengenai tradisi
rekeng karena dinilai menyakiti sapi, dan Gubernur Jawa Timur melalui Instruksi
Gubernur sudah menyatakan pelarangan tradisi rekeng. Namun tradisi ini masih
berlanjut di kalangan pelaku karapan sapi.
7. Ongklak-angklok
Ongklak-angklok adalah suatu permainan anak-anak (remaja) di Kota
Ponorogo pada umumnya, tepatnya di Desa Sukosari Babadan, yaitu bermain
memukul/ melempar batu yang sudah dijajar (seperti permainan bowling), dan
kemudian di lempar dengan batu juga, tetapi dengan memakai kaki, yaitu batu
dijepit di antara telapak dan kaki (bagian punggung kaki) dengan jarak sekitar 5
meter dari batu yang sudah disusun. Biasanya permainan ini dilakukan dengan 6
18
orang atau sedikitnya 4 orang dan dijadikan 2 team. Team ini, satu team setelah
melakukan hum pim pa/ ping ut, maka yang kalah akan menata batunya di tempat
yang sudah di sepakati, kemudian team yang menang ping sut akan mendapat
giliran memukul pertama, sampai semua anggota team mendapat giliran
memukul.
Setelah di pukul atau dilempar, pelempar batu yang bisa melemparkan
batu paling jauh, nilainya paling tinggi, dan yang paling dekat jika masih disekitar
susunan akan mendapat hukuman, yaitu dihitung dengan merenggangkan ibu jari
dan kelingking, dan jika batu pelempar ada yang mendekat dengan batu yang
dilempar dengan cara diukur dengan tangan juga, maka dia dihukum, yaitu tidak
boleh main atau melempar sampai anggota teamnya bisa membebaskan batu
mereka dari tempelan/ berdekatan dengan batu musuh.
Jika anggota team sudah tidak bisa melanjutkan pelemparan karena
mendapat hukuman, yaitu batunya berdekatan/ menempel dengan batu musuh,
maka permainan dilanjutkan oleh team yang kalah hom pim pa dan akan
diperkenankan untuk gantian melempar.
8. Engklek/ Sunda manda
Permainan anak anak tradisional ini sangat populer di hampir seluruh
wilayah Indonesia dengan sebutan yang berbeda beda ada, engklek, sudah
mandah, ingkling, jlong jling, lempeng atau dampu. Permainan ini biasanya di
mainkan oleh anak perempuan, namun banyak juga anak anak laki laki yang
menyukai permainan ini.
Cara bermain permainan ini adalah, menggunakan satu kaki untuk
melompat di setiap petak petak yang telah di gambar sebelumnya di tanah atau
ubin.
Untuk bermain setiap anak menggunakan gacuk yang berupa pecahan
genting atau semacamnya untuk di lempar ke petak, petak yang ada gacuknya
tidak boleh di injak / dilompati oleh setiap pemain, jadi para pemain harus
melompati petak selanjutnya dengan satu kaki mengelilingi petak petak yang
ada.
19
20
Pada saat awal permainan ketinggan tali sebatas lutut, kemudian pinggang,
pada saat sebatas ini, pelompat tidak boleh menyentuh tali, jika menyentuh harus
gantian jaga. Selanjutnya sebatas dada, kuping, kepala, sejengkal dari kepala. 2
jengkal dari kepala dan sehasta di atas kepala, semua dilakukan boleh mengenai
tali, dan harus bisa melompati tali, jika tidak bisa / terjerat tali gantian jaga tali.
Ada dua macam permainan menggunakan tali ini, yang satunya adalah tali
di pegang kanan kiri kemudian pemegang tali memutar tali searah jarum jam
bersamaan dengan pemegang tali di ujung lainnya, sedang anak lain yang tidak
jaga melompat dari hitungan satu sampai seterusnya sesuai aturan permainan yang
dibuat. Aturan permainannya pun hampir sama, jika salah satu yang tidak bisa
melompat / terjerat tali, maka ganti sebagai penjaga tali.
Permainan ini juga menjaga kondisi fisik , juga melatih ketangkasan kaki
untuk melompat.
21
DAFTAR PUSTAKA
22
23