Articles & News Stories">
Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Amiodarone PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 9

PENGARUH AMIODARONE PADA TIROID

Sunanto, dr. Stase Ilmu Penyakit Dalam Univ. Padjajaran

Amiodarone

banyak

dipakai

dalam

penatalaksanaan

aritmia

ventrikel,

takikardia

supraventrikular, dan fibrilasi atrial. Namun, amiodarone adalah obat kaya-iodium yang memiliki efek terhadap tiroid dan organ-organ lain yang dapat mengurangi manfaatnya terhadap jantung. Efek yang ditimbulkan terhadap tiroid berkisar dari kelainan pada uji fungsi tiroid hingga disfungsi klinis, baik tirotoksikosis maupun hipotiroidisme. Makalah ini bertujuan untuk mengulas patofisiologi perubahan pada fungsi tiroid akibat amiodarone dan aspek diagnostik dan terapi disfungsi tiroid akibat amiodarone.

Farmakologi Amiodarone
Amiodarone adalah derivat benzofuranik yang strukturnya mirip dengan T4 (Gambar 1). Ia mengandung 37% (berat) iodium. Dengan dosis rumatan yang berkisar dari 200 hingga 600 mg dan sekitar 10% dari molekulnya mengalami deiodinasi setiap harinya, maka sekitar 7 21 mg iodide dihasilkan setiap harinya. Jika kita menganggap kebutuhan sehari-hari akan iodide adalah 150 200 g, terapi amiodarone memberikan kelebihan 50- hingga 100- kali lipat kebutuhan iodide seharinya. Selain itu, amiodarone terdistribusi ke beberapa jaringan, termasuk jaringan lemak, hepar, paru, dan, sebagian kecil, ke ginjal, jantung, otot lurik, tiroid dan otak; yang dilepaskan dengan perlahan. Pada studi postmortem, konsentrasi amiodarone dan metabolitnya, desethylamiodarone (DEA), intratiroid adalah 14 mg/kg dan 64 mg/kg, masing-masingnya; dibandingkan dengan 316 mg/kg dan 76 mg/kg di dalam lemak serta 391 mg/kg dan 2354 mg/kg di dalam hepar. Paruh waktu
Gambar 1. Rumus kimiawi amiodarone, DEA, dan hormon tiroid.

pembersihannya adalah 52,6 23,7 hari untuk amiodarone dan 61,2 31,2 hari untuk DEA. Data tersebut menjelaskan alasan, setelah diberhentikan, amiodarone dan metabolitnya masih terkandung untuk jangka waktu yang panjang. Amiodarone dimetabolisasi melalui berbagai mekanisme, terutama dealkilasi, yang menghasilkan DEA. Sekitar 66 75% amiodarone dieliminasi melalui empedu dan feses.

Amiodarone dan Tiroid


A. Uji Fungsi Hipofisis-Tiroid selama Terapi Amiodarone Di jaringan perifer, terutama hepar, amiodarone menghambat kerja 5-deiodinase tipe 1 (5D), yang bekerja memecahkan satu atom iodide dari cincin luar T4 untuk menjadi T3 dan dari cincin luar rT3 untuk menjadi 3,3-diiodothyronine (T2). Hambatan pada kerja 5-D ini dapat bertahan hinga beberapa bulan setelah amiodarone dihentikan. Selain itu, amiodarone juga menghambat masuknya hormon tiroid ke jaringan perifer. Kedua mekanisme tersebut mengakibatkan meningkatnya kadar T4 dan menurunnya kadar T3 pada subyek eutiroid yang mendapat terapi jangka panjang amiodarone. Kadar T4 bisa berada pada batas atas nilai normal, atau bahkan meningkat bila pasien mendapat amiodarone dosis tinggi. Kadar T3 yang menurun dan rT3 yang meningkat, dapat ditemukan sejak 2 minggu setelah dimulainya terapi amiodarone. Namun, seringnya kadar T3 ditemukan masih dalam batas normal yang rendah. Amiodarone juga sering berkaitan dengan perubahan kadar TSH (Thyroid-Stimulating Hormone). Dengan dosis amiodarone 200 400 mg sehari, kadar TSH biasanya masih normal, namun dengan dosis yang lebih tinggi, peningkatan TSH dapat terlihat pada bulan-bulan awal terapi. Peningkatan ini biasanya akan kembali ke nilai normal. Perubahan TSH ini dipercaya sebagai akibat variasi dari kadar hormon tiroid, walaupun TSH mungkin secara langsung mempengaruhi sintesis TSH pada tingkat hipofisis.
Tabel 1. Nilai referensi fungsi tiroid pada subyek eutiroid tanpa amiodarone dan pasien eutiroid yang mendapat amiodarone jangka panjang. Diambil dari C.M. Newman et al. Heart 79;121-127, 1998.

Parameter Free T4 (pmol/L) Total T3 (nmol/L) Free T3 (pmol/L) TSH (mU/L)

Subyek tanpa amiodarone 11 - 20 1,3 3,0 3 5,6 0,35 4,3

Penderita eutiroid dengan amiodarone 12 24,7 1,0 2,3 2,5 5,1 0,35 4,3i

Variasi akibat perubahan pada uji fungsi tiroid tersebut menekankan perhatian bahwa uji fungsi pada pasien eutiroid yang mendapat amiodarone memiliki kisaran nilai yang berbeda dengan mereka yang tidak mendapat amiodarone (Tabel 1). B. Sitotoksitas terhadap Tiroid Selain efek di atas, amiodarone dan metabolitnya diketahui memiliki efek sitotoksik terhadap tiroid. Pada percobaan preparat segar tiroid manusia, terlihat sel yang diinkubasi dengan penambahan amiodarone menjadi lisis; linear dengan makin meningkatnya kadar amiodarone. Pada preparat tikus, pemberian amiodarone menyebabkan perubahan ultrastruktur berupa perubahan arsitektur tiroid, apoptosis, nekrosis, inclusion bodies, lipofuscinogenesis, inflitrasi makrofag, dan retikulum endoplasma yang dilatasi. Perubahan ini baru terlihat biasanya setelah terapi jangka panjang. Pada anjing, tidak terlihat perubahan subselular ketika diberikan injeksi amiodarone dosis tinggi tunggal. C. Efek terhadap Autoimunitas Tiroid Efek amiodarone pada automunitas ke tiroid masih menjadi perdebatan. Iodide diketahui menginduksi autoimunitas tiroid pada manusia; karena itu, kelebihan iodide yang dilepaskan dari amiodarone mungkin terlibat pada terjadinya fenomena autoimunitas. Pada sebuah studi prospektif 37 pasien yang secara acak mendapat plasebo atau amiodarone setelah infark miokard akut, muncul antibodi antithyroid peroxidase pada 6 dari 13 (55%) pasien yang mendapat amiodarone; tidak muncul pada kelompok plasebo. Namun, hasil seperti ini tidak dapat dikonfirmasi oleh beberapa studi lain. Kebanyakan darinya memberikan hasil yang tidak mendukung temuan di atas. Mungkin faktor kerentanan individual turut berperan pada hasil yang berbeda tersebut. Hal ini terutama dapat dikaitkan dengan amiodarone-induced hypothyroidism (AIH) di mana kebanyakan penderita ini memiliki autoantibodi tiroid sebelum pemberian amiodarone. D. Disfungsi Tiroid akibat Amiodarone Kebanyakan dari pasien yang mendapat amiodarone adalah eutiroid, namun beberapa mengalami disfungsi tiroid, i.e., tirotoksikosis dan hipotiroidisme. Amiodarone-induced thyrotoxicosis (AIT) kelihatannya lebih sering terjadi di area geografis dengan asupan iodium rendah, sementara AIH lebih sering di daerah yang cukup-iodium. Sebuah studi yang

membandingkan insiden disfungsi tiroid akibat amiodarone pada dua daerah yaitu Western Tuscany, Italy (asupan iodium rendah) dan Massachusetts, US (asupan iodium normal) memperlihatkan fenomena tersebut (Gambar 2).
25 Prevalensi (%) 20 15 10 5 0 10 2
Tuscany, Italia

22
Hiper Hipo

Worcester, US

Gambar 2. Prevalensi AIH dan AIT berbeda pada daerah Tuscany yang rendah asupan iodium dan di daerah Massachusetts yang asupan iodium cukup. Diadaptasi dari E. Martino et al. Ann Intern Med 101;28-34,1984.

Secara umum, dari berbagai laporan epidemiologis dapat disimpulkan insidens AIT berkisar dari 1% hingga 23% dan AIH berkisar 1% hingga 32%. Karena itu, tanpa melihat variasi geografis asupan iodium, kejadian disfungsi tiroid akibat amiodarone diperkirakan 2% hingga 24%, paling sering pada kisaran 14-18%. 1. Amiodarone-induced thyrotoxicosis. AIT sering terjadi mendadak dan eksplosif; dapat terjadi dini ataupun sesudah bertahun terapi dengan amiodarone. Rerata lamanya terapi amiodarone hingga sebelum terjadinya AIT adalah 3 tahun, dengan kemungkinan 2,5% setelah 18 bulan dan 33,5% setelah 48 bulan. AIT dapat muncul beberapa bulan setelah amiodarone dihentikan. Ini terjadi karena efek amiodarone yang dapat bertahan hingga waktu yang lama tersebut. Belum diketahui parameter yang dapat menjadi faktor risiko munculnya AIT pada penggunaan amiodarone. a. Patogenesis. Patogenesis AIT belum diketahui sepenuhnya. Kelainan ini dapat ditemukan pada kelenjar tiroid yang normal atau pada yang dengan kelainan sebelumnya. Sebuah studi pada daerah yang asupan iodiumnya moderat kurang, goiter difus ditemukan pada 29% AIT, nodular pada 38%, dan sisanya dengan tiroid yang terlihat normal. Terdapat dua bentuk AIT, yaitu Tipe 1 dan Tipe 2 (Tabel 2). AIT Tipe 1 biasanya terjadi pada kelenjar tiroid yang abnormal. AIT tipe 1 disebabkan sintesis hormon tiroid yang berlebihan akibat muatan iodium berlebihan (fenomena Jod Basedow) oleh amiodarone. Peningkatan fungsi tiroid pada tipe 1 diindikasi dari terjadinya hipervaskularisasi kelenjar.

Tabel 2. Klasifikasi AIT

AIT Tipe 2 terjadi pada pasien yang tanpa kelainan intrinsik tiroid. AIT Tipe 2 adalah kelainan tiroiditis destruktif yang menyebabkan pelepasan hormon tiroid yang sudah terbentuk dari sel folikel tiroid yang rusak. Proses destruksi-tiroid ini diindikasi dari adanya temuan kadar IL-6 yang meningkat dan temuan histopatologi yang menunjukkan kerusakan dan pecahnya folikuler. Fenomena ini menjelaskan sitotoksitas amiodarone terhadap tiroid.
Gambar 3. Pola sonografi Color flow Doppler pada pasien AIT, amiodarone eutiroid, penyakit Graves', tiroiditis subakut, dan kontrol. Pattern 0, absent

35 30

25 20 15 10 5 0

C ontrols G raves disease T ype I A IT T ype II A IT E uthyr A m iodarone S ubacute thyroiditis


0 I II III

C o lo r flo w D o p p le r p a tte r n

hypervascularity; pattern I, presence of parenchymal blood flow with patchy uneven distribution; pattern II, mild increase of color flow Doppler signal with patchy distribution; pattern III, markedly increased color flow Doppler signal with diffuse homogenous distribution. Reproduced from F. Bogazzi et al. Thyroid 7: 541545,1997.

patients number

Prevalensi kedua tipe ini belum diketahui. Klasifikasi keduanya juga tidak selalu mudah, bahkan sering ditemukan keadaan campuran dari keduanya. Namun, usaha membuat klasifikasi ini penting untuk tata laksana AIT. b. Manifestasi Klinis. Gejala klasik tirotoksikosis mungkin tidak muncul, karena kerja antiadrenergik amiodarone dan penghambatan konversi T4 menjadi T3. Goiter mungkin muncul, tetapi tak selalu, dengan atau tanpa nyeri. Oftalmopati jarang terjadi, kecuali

dengan kelainan dasar Graves. AIT terkadang dicurigai bila ada perburukan kelainan kardiak, dengan takiaritmia atau angina. Terjadi atau terjadi kembalinya takikardi atau atrial fibrilasi pada pasien yang mendapat amiodarone patut menjadi alasan untuk investigasi tiroid. c. Tatalaksana. Penatalaksanaan AIT masih merupakan tantangan. Untuk gambaran, berbagai laporan menyebutkan bermacam strategi tatalaksana, antara lain: pemberian TSH eksogen (misalnya dengan TSH rekombinan manusia), tiroidektomi dan plasmaferesis hormon tiroid. Identifikasi tipe AIT dapat menjadi dasar rasional untuk menentukan terapi yang sesuai. Pada AIT Tipe 1 tujuan terapi adalah mencegah organifikasi lebih lanjut iodium dan sintesis hormon tiroid. Untuk ini diperlukan dosis harian methimazole 40-60 mg atau propylthiouracil 600-800 mg; dosis yang lebih tinggi dari penggunaan biasanya karena tiroid yang kaya-iodium lebih resisten terhadap efikasi thionamide. Selain itu, kita juga harus mengurangi masuknya iodium ke tiroid dan mengurangi simpanan iodium intratiroid untuk meningkatkan efikasi thionamide. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian potassium perchlorate, obat yang menghambat ambilan iodium di tiroid. Strategi terapi dengan methimazole dan potassium perchlorate telah dilaporkan. Suatu studi pada 23 pasien AIT yang diberikan methimazole 40 mg harian, atau methimazole dan potassium perchlorate 1 g harian, atau tidak diterapi sama sekali. Hasilnya, hanya pada semua pasien yang mendapat terapi kombinasi mengalami perbaikan tirotoksikosis. Keterbatasan potassium perchlorate adalah toksisitasnya, terutama agranulositosis, anemia aplastik dan efek ke ginjal. Insidens agranulositosis dengan pemberian potassium perchlorate 1 g harian mencapai 16-18%. Karena itu hitung darah lengkap perlu dilakukan secara rutin, selain itu, tampaknya cukup aman untuk menghentikan potassium perchlorate setelah eutiroidism telah tercapai, biasanya setelah 6 minggu. Terapi potassium perchlorate yang terlalu pendek (8 hari) berkaitan dengan tinggi risiko rekurensi tirotoksikosis. Thionamide baik dengan atau tanpa potassium perchlorate bukan terapi yang cocok untuk AIT Tipe II. Steroid memberikan efek terapi yang bagus karena kemampuan stabilisasi membran dan anti inflamasinya. Dosis steroid yang dilaporkan masih bervariasi (15-80 mg prednisone atau 3-6 mg deksametason harian); begitu juga durasinya (7-12 minggu).

Isu yang harus diperhatikan tentunya adalah apakah terapi amiodarone perlu dihentikan. Amiodarone sudah jelas adalah obat yang sangat efektif untuk beberapa kelainan jantung, dan seringnya pasien yang mendapat obat ini resisten terhadap anti aritmia yang lain. Hal ini membuat penghentian amiodarone tidak dimungkinkan, terutama pada pasien dengan aritmia yang malignan. Selain itu, bahkan penghentian amiodarone tidak mencegah terjadinya disfungsi tiroid karena efeknya yang bertahan lama. Bahkan, penghentian amiodarone telah dilaporkan berkaitan dengan perburukan gejala tirotoksik dan keadaan jantung; hal ini mungkin karena amiodarone dan metabolinya secara paradoks memiliki efek menyerupai hipotiroid terhadap jantung. Namun sejauh ini masih sedikit laporan yang menyebutkan keberhasilan terapi AIT dengan obat antitiroid sementara amiodarone tetap diteruskan. Martino E et al cenderung untuk merekomendasi penghentian amiodarone terutama pada pasien dengan aritmia yang tidak malignan (Tabel 3). Untuk AIT yang tak dapat ditentukan tipenya (mixed), tripel obat thionamide, potassium perchlorate dan steroid adalah solusi yang praktis. Pada pasien dengan riwayat AIT yang kembali membutuhkan amiodarone setelah sebelumnya dihentikan, ablasi tiroid dengan radioiodium sebelum memulai lagi amiodarone patut dipertimbangkan.
Tabel 3. Strategi terapi AIT. Dikutip dari Marino E et al. Endocrine Reviews 22:240-254,1002.

2. Amiodarone-induced hypothyroidism. AIH terjadi lebih sering daripada AIT pada daerah cukup-iodium. Berbeda dengan AIT, AIH sedikit lebih sering pada perempuan, dan biasanya lebih tua. AIH terjadi lebih awal daripada AIT, baik pada pasien yang normal tiroid maupun yang dengan kelainan tiroid. Jenis kelamin perempuan dan adanya antibodi anti-thyroid peroxidase (TPO) memiliki risiko relatif 7,9 dan 7,3, masing-masing, untuk terjadi AIH; kombinasi keduanya membuat risiko menjadi 13,5. Karena itu, penyakit tiroiditis Hashimoto merupakan faktor risiko terjadinya hipotiroidisme pada pasien yang mendapat amiodarone.

a. Patogenesis. Mekanisme yang paling mungkin kelainan ini adalah bahwa kelenjar tiroid pasien ini, yang telah dirusak sebelumnya oleh tiroiditis Hashimoto, tidak dapat menghindari efek Wolff-Chaikoff setelah adanya beban iodium dari amiodarone. Efek Wolff-Chaikoff adalah suatu fenomena di mana iodide yang berlebihan secara sementara menghambat organifikasi iodide tiroid; sehingga mengganggu sintesis hormon tiroid. b. Manifestasi klinis. Gejala AIH menyerupai hipotiroidisme spontan, seperti kelelahan, tak tahan dingin, dan kulit kering. Koma miksedema pernah sekali dilaporkan. Pada pasien hipotiroidisme yang mendapat terapi rutin L-T4, mungkin akan ada kebutuhan untuk kenaikan dosis. Temuan laboratorium menunjukkan fT4 yang menurun dan meningkatnya TSH. c. Tata laksana. Tatalaksana AIH tidak sesulit AIT (Tabel 4). Amiodarone dapat diteruskan bila diperlukan, dengan ditambah pemberian L-T4. Kadar TSH adalah sangat penting untuk dimonitor. Jika penghentian amiodarone dimungkinkan, remisi spontan hipotiroidisme sering terjadi, terutama pada penderita dengan eutiroid. Beberapa ahli menghentikan amiodarone bila memungkinkan, kemudian mengfollow up setelah 3 bulan. Bila masih hipotiroid, diberikan thyroxine. Untuk mempercepat dari berhentinya amiodarone ke keadaan eutiroidisme, dapat diberikan potassium perchlorate (1 g per hari) dalam jangka pendek (10-30 hari). Rasional pemberian ini adalah bahwa potassium perchlorate menghambat ambilan iodide di tiroid, sehingga mencegah terjadinya kelebihan iodium intratiroid (dan selanjutnya mencegah efek Wolff-Chaikoff).
Tabel 4. Strategi tatalaksana AIH. Dikutip dari Marino E et al. Endocrine Reviews 22:240-254,1002.

Kepustakaan 1. Alyan O, Arda K, Ozdemir O, Acu B, Soylu M, Demirkan D. Differential diagnosis and clinical course of amiodarone-induced thyroid dysfunction. Med Sci Monit. 2003;9:PI117-122. 2. Beeren HC, Bakker O, Wiersinga WM. Structure-function relationship of the inhibition of the 3,5,3'-Triiodothyronine binding to the 1- and 1- thyroid hormone receptor by amiodarone analogs. Endocrinology. 1996;137:2807-2814. 3. Fuks AG, Vaisman M, Buescu A. Thyroid dysfunction and cardiological management in patients receiving amiodarone. Arquivos Brasileiros de Cardiologia. 2004;82:528-532. 4. Iervasi G, Clerico A, Bonini R, Manfredi C, Berti S, Ravani M, Palmieri C, Carpi A, Biagini A, Chopra IJ. Acute effects of amiodarone administration on thyroid function in patients with cardiac arrhythmia. J Clin Endocrinol Metab. 1997;82:275-280. 5. Martino E, Bartalena L, Bogazzi F, Braverman LE. The effects of amiodarone on the thyroid. Endocrine Reviews. 2001;22:240-254. 6. Ross IL, Marshall D, Okreglicki A, Isaacs S, Levitt NS. Amiodarone-induced thyroid dysfunction. S Afr Med J. 2005;95:180-183. 7. Shiga T, Wakaumi M, Matsuda N, Shoda M, Hagiwara N, Sato K, Kasanuki H. Amiodarone-induced thyroid dysfunction and ventricular tachyarrhythmias during long-term therapy in Japan. Jpn Circ J. 2001;65:958-960. 8. Thorne SA, Barnes I, Cullinan P, Somerville J. Amiodarone-associated thyroid dysfunction - risk factors in adults with congenital heart disease. Circulation. 1999;100:149-154.

1-8

Anda mungkin juga menyukai