BAB I Nstemi
BAB I Nstemi
BAB I Nstemi
Disusun oleh :
ANDI FERA AGENIA (1543700413)
Pada survei rumah tangga mengenai kesehatan yang telah dilakukan oleh
Badan Litbang Depkes RI, penyakit kardiovaskuler angka prevalensinya bergeser
dari urutan ke-9 pada tahun 1972, menjadi urutan ke-6 pada tahun 1980 dengan
5,9 kasus per 1000 penduduk. Secara spesifik prevalensi penyakit kardiovaskuler
khususnya infark miokard pada kelompok umur kurang dari 40 tahun sebesar
3,1% dan pada kelompok umur 40 s.d 49 tahun sebesar 19,9%. Sedangkan insiden
serupa yang terjadi di Jawa Tengah, kejadian infark miokard secara umum sebesar
1,03% dan gejala angina pektoris(nyeri ulu hati) sebesar 0,50%(berdasarkan
laporan kasus penyakit tidak menular Dinkes Propinsi Jawa Tengah tahun 2007)
(Supriyono,2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindrom Koroner Akut
SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun
begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit
tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45 tahun
untuk mendefenisikan pasien usia muda dengan penyakit jantung koroner
atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang rendah pada
usia muda (Wiliam, 2007).
2.2 Nstemi
A. Pengertian Nstemi
Berdasarkan spektrum SKA, NSTEMI didefinisikan sebagai
gambaran EKG depresi segmen ST atau inversi gelombang T prominen
dengan biomarker nekrosis yang positif ( mis, troponin) dengan tidak
dijumpainya elevasi segmen ST pada gambaran EKG dan sesuai dengan
gambaran klinis (rasa tidak nyaman pada dada atau sesuai dengan angina).
B. Patofisiologi
Ciri khas patofisiologi kondisi NSTEMI adalah akibat
ketidakseimbangan antara suplai dan demand oksigen miokard.
Mekanisme yang paling sering terlibat dalam ketidakseimbangan tersebut
disebabkan oleh menurunnya suplai oksigen ke miokard, melalui lima
mekanisme dibawah ini:
1 Yang paling sering disebabkan oleh menyempitnya arteri koroner
yang disebabkan oleh trombus yang terdapat pada plak ateroskelotik
yang terganggu dan biasanya nonoklusif. Mikroemboli dari agregat
trombosit dan komponen-komponen dari plak yang terganggu
tersebut diyakini bertanggung jawab terhadap keluarnya markers
miokard pada pasien-pasien NSTEMI. Trombus/plak oklusif juga
dapat menyebabkan sindroma ini namun dengan suplai darah dari
pembuluh darah kolateral. Patofisiologi molekuler dan seluler paling
sering yang menyebabkan plak aterosklerotik terganggu adalah
inflamasi arterial yang disebabkan oleh proses non infeksi (mis, lipid
teroksidasi), dapat pula oleh stimulus proses infeksi yang
menyebabkan ekspansi dan destabilisasi plak, ruptur atau erosi, dan
trombogenesis. Makrofag yang teraktivasi dan limfosit T yang
berada pada plak meningkatkan ekspresi enzim-enzim seperti
metalloproteinase yang menyebabkan penipisan dan disrupsi plak
yang dapat menyebabkan NSTEMI.
2 Penyebab lain yang juga sering adalah obstruksi dinamis, yang dapat
dipicu oleh spasme fokal terus menerus dari segmen arteri koroner
epicardial (Prinzmetals angina). Spasme lokal ini disebabkan oleh
hiperkontraktilitas otot polos vaskular dan atau disfungsi endotel.
Spasme pembuluh darah besar dapat terjadi pada puncak obstruksi
atau plak, yang mengakibatkan angina yang berasal dari campuran
kondisi tersebut atau NSTEMI/UA. Obstruksi koroner dinamik dapat
pula disebabkan oleh disfungsi mikrovaskular difus, sebagai contoh
akibat disfungsi endotel atau konstriksi abnormal dari pembuluh
darah kecil intramural.
3 Penyempitan pembuluh darah tanpa spasme atau trombus. Kondisi
ini terjadi pada pasien dengan atherosklerosis progresif atau akibat
restenosis setelah percutaneous coronary intervention (PCI).
4 Diseksi arteri koroner (dapat terjadi sebagai penyebab SKA pada
wanita-wanita peripartum).
5 UA sekunder, yang kondisi pencetus nya terdapat diluar arteri
koroner. Pasien dengan UA sekunder biasanya, namun tidak selalu,
memiliki penyempitan atherosklerotik koroner yang membatasi
perfusi miokard dan sering memiliki angina kronik stabil. UA
sekunder dapat dipresipitasi oleh kondisi-kondisi seperti peningkatan
kebutuhan oksigen miokard (demam, takikardia, tirotoksikosis),
penurunan aliran darah koroner (hipotensi) atau penurunan pasokan
oksigen miokard (anemia atau hipoksemia).
Tabel.1 Penyebab NSTEMI
C. Diagnosa Nstemi
Gejala utama dari NSTEMI adalah nyeri dada yang khas.
Diagnosis kerja NSTEMI dipikirkan dengan menyingkirkan diagnosis lain
berdasarkan EKG (tidak didapatinya ST elevasi persisten), selanjutnya
biomarker-biomarker seperti troponin akan membedakan NSTEMI dengan
UA, modalitas imaging digunakan untuk menyingkirkan diferensial
diagnosis
1. Anamnesa
Nyeri dada akut adalah salah satu alasan utama pasien-pasien
datang ke unit gawat darurat dan diketahui pasien selama ini sebagai
pertanda SKA, namun setelah evaluasi lebih lanjut hanya sekitar 15-
20% pasien dengan nyeri dada akut yang betul-betul mengalami SKA.
Sehingga perlu pula diketahui gejala-gejala lain yang sering dialami
namun kurang diwaspadai oleh pasien NSTEMI. Oleh karena itu
pendekatan yang tepat akan keluhan nyeri dada harus dilakukan.
Presentasi klinis dari NSTEMI meliputi berbagai gejala yang
cukup luas. Presentasi klinis yang selama ini umum diketahui antara
lain:
Nyeri angina yang berdurasi panjang (> 20 menit) saat
istirahat
Angina onset baru (kelas II atau III berdasarkan klasifikasi
Canadian Cardiovascular Society (CCS))
Destabilisasi baru dari yang sebelumnya angina stabil
dengan setidaknya memenuhi karakteristik angina kelas III
CCS (crescendo angina), atau
Angina post infark miokard
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada NSTEMI bisa saja normal. Setiap pasien
dengan SKA harus diukur tanda-tanda vital nya (tekanan darah
dikedua lengan jika disangkakan diseksi, frekuensi detak jantung, dan
suhu) dan selanjutnya harus menjalani pemeriksaan fisik jantung dan
dada yang lengkap. Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah untuk
menyingkirkan penyebab nyeri dada non kardiak dan kelainan jantung
non iskemik (emboli paru, diseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung
katup) atau kemungkinan penyebab diluar jantung seperti penyakit
paru akut (pneumothoraks, pneumonia, efusi pleura).
Pemeriksaan fisik seperti diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus
takikardia, suara jantung ketiga atau keempat, ronkhi basah basal, dan
hipotensi menunjukkan kemungkinan area iskemik yang luas dan
beresiko tinggi. Pemeriksaan fisik lain seperti pucat, banyak keringat
dan tremor dapat mengarahkan ke kondisi-kondisi pencetus seperti
anemia dan tirotoksikosis.
Perbedaan tekanan darah pada anggota gerak atas dan bawah, nadi
yang iregular, murmur jantung, friction rub, nyeri saat palpitasi dan
massa regio abdomen adalah pemeriksaan fisik yang mungkin didapati
pada kondisi selain NSTEMI.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG
EKG 12 lead saat istirahat merupakan alat diagnostik lini
pertama dalam penilaian pasien-pasien yang disangkakan
NSTEMI. EKG harus didapat dalam 10 menit setelah kontak
medis pertama dan secepatnya diinterpretasikan oleh dokter.
Karakteristik abnormalitas gambaran EKG yang ditemui pada
NSTEMI adalah depresi segmen ST atau elevasi transient dan atau
perubahan pada gelombang T (inversi gelombang T, gelombang T
yang datar, gelombang T pseudo-normal).
Jumlah lead yang menunjukkan depresi segmen ST dan
derajat depresi segmen ST mengindikasikan luas dan keparahan
iskemia dan berkorelasi dengan prognosis. Deviasi segmen ST
yang baru, bahkan hanya 0,05 mV merupakan hal yang penting
dan spesifik dalam hal iskemik dan prognosis. Depresi segmen ST
> 2 mm meningkatkan resiko mortalitas. Inversi gelombang T juga
sensitif untuk iskemik namun kurang spesifik, kecuali bila 0,3mV
baru dinyatakan bermakna.
Jika EKG inisial normal atau inkonklusif, perekaman EKG
ulangan sebaiknya dilakukan saat pasien mengalami gejala dan
gambaran EKG ini dibandingkan dengan gambaran EKG saat
pasien dalam kondisi asimtomatis. Perbandingan dengan EKG
sebelumnya akan sangat bernilai pada pasien-pasien dengan
kelainan jantung terdahulu, seperti hipertropi ventrikel kiri atau
infark miokard sebelumnya. Perekaman EKG sebaiknya diulangi
setidaknya pada 3 jam (6-9 jam) dan 24 jam setelah masuk ke
rumah sakit. Pada kondisi dimana terjadi nyeri dada berulang atau
muncul gejala-gejala lainnya, pemeriksaan EKG dapat diulangi
secepatnya.
Harus diingat bahwa gambaran EKG normal tidak
menyingkirkan kemungkinan NSTEMI. Terutama iskemik pada
daerah arteri sirkumfleks atau iskemik ventrikel kanan terisolasi
dapat luput dari gambaran EKG 12 lead, namun dapat terdeteksi
pada lead V7-V9 dan pada lead V3R dan V4R.
b. Biomarker
Kardiak troponin (TnT dan TnI) memegang peranan
penting dalam diagnosis dan stratifikasi resiko, dan dapat
membedakan NSTEMI dengan UA. Troponin lebih spesifik dan
sensitif dibandingkan enzim jantung tradisional lainnya seperti
creatine kinase (CK), isoenzim CK yaitu CKMB dan mioglobin.
Peningkatan troponin jantung menggambarkan kerusakan selular
miokard yang mungkin disebabkan oleh embolisasi distal oleh
trombus kaya platelet dari plak yang ruptur atau mengalami erosi.
Pada kondisi iskemik miokard (nyeri dada, perubahan EKG, atau
abnormalitas gerakan dinding jantung yang baru), peningkatan
troponin mengindikasikan adanya infark miokard.
Pada pasien-pasien dengan infark miokard, peningkatan
awal troponin muncul dalam 4 jam setelah onset gejala. Troponin
dapat tetap meningkat sampai dua minggu akibat proteolisis
aparatus kontraktil. Nilai cut off untuk infark miokard adalah kadar
troponin jantung melebihi persentil 99 dari nilai referensi normal
(batas atas nilai normal).
Kondisi-kondisi mengancam nyawa lainnya yang
menunjukkan gejala nyeri dada seperti aneurisma diseksi aorta
atau emboli pulmonal, dapat juga menyebabkan peningkatan
troponin dan harus selalu dipertimbangkan sebagai diferensial
diagnosis. Peningkatan troponin jantung juga dapat terjadi pada
injuri miokard yang tidak berhubungan dengan pembuluh koroner.
5. Terapi Konservatif
Pada strategi konservatif dapat dilakukan tindakan angiografi
elektif ataupun tidak sama sekali. Pasien yang memenuhi semua
kriteria dibawah ini dapat dikatakan memiliki resiko rendah dan tidak
rutin menjalani evaluasi early invasif, yaitu:
Tidak ada nyeri dada berulang
Tidak ada tanda-tanda gagal jantung
Tidak dijumpai abnormalitas pada EKG awal atau EKG
kedua (pada 6-9 jam)
Tidak dijumpai peningkatan kadar troponin (pada saat
datang maupun pada 6-9 jam)
Tidak dijumpai inducible iskemi
6. CABG
Jika angiogram menunjukkan gambaran ateromatos namun tidak
dijumpai lesi kritis pada koroner, pasien akan disarankan untuk
mendapat terapi medis. Pada pasien dengan kelainan pada single-
vessel, PCI dengan stenting pada culprit lesion adalah pilihan pertama.
Pada pasien dengan kelainan multi vessel, keputusan mengenai PCI
ataupun CABG harus dipertimbangkan berdasarkan individu pasien
masing-masing. Tindakan sekuensial, yang terdiri dari PCI pada
culprit lesion diikuti dengan tindakan CABG pada daerah non culprit
lesion yang terbukti iskemi dan atau berdasarkan penilaian fungsi,
kelihatannya dapat bermanfaat pada beberapa pasien.
CABG biasanya disarankan pada pasien dengan penyakit arteri
koroner yang kompleks yang tidak dapat dilakukan PCI, seperti
kelainan koroner left main dengan triple vessel,oklusi total dan
kelainan yang difus. Sangat penting pula untuk tetap
memperhitungkan resiko perdarahan, karena pasien-pasien ini sedang
dalam terapi antiplatelet yang agresif. Keuntungan CABG adalah yang
paling baik setelah beberapa hari stabilisasi dengan terapi medis dan
penghentian terapi antiplatelet.
Gambar.4 Penatalaksanaan NSTEMI Secara Skematis
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Identitas pasien
Nama Pasien : ny. ST
Umur : 64 tahun
Berat badan : 60 Kg
Jenis kelamin : perempuan
Tanggal masuk RS : 17 Oktober 2016
No. Pendaftaran : 1610171580
No. RM : 009483xxx
Pav/kamar : Intensive
Penjamin : BPJS non PBI
Nama dokter : dr. NK
B. Data subjektif pasien
Keluhan utama : nyeri dada menjalar ke punggung, pasien tidak BAB 4
hari
Riwayat penyakit : jantung
Riwayat pengobatan : ada (dilampirkan)
Riwayat alergi : tidak ada
Diagnosa : ACE NStemi, uap dan chet pain
C. Data Objektif Pasien
1. Pemeriksaan tanda-tanda vital di UGD dan kamar observasi UGD
RR 38 30 19 20 24 31 39 18 40
MCH/HER 26 34 pg 29
MCHC/KHER 32 36 g/dL 32
glukosa 79 mg/dL 83 mg/dL
Keterangan :
H = Hasil laboratorium < dari nilai normal
L = Hasil laboratorium > dari nilai normal
Implikasi Klinik :
Peningkatan leukosit = penanda terjadinya infeksi
Peningkatan ureum dan kreatinin = gangguan fungsi ginjal baik karena gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh
nefritis, penyumbatan saluran urin, penyakit otot atau dehidrasi akut (Kemenkes RI, 2011).
18 20 22 06 14 22 06 14 2 06 14
2
4 4 3 4 3 1 1 1 1 1 3
5. Telaah Obat
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
A. Pembahasan Kasus
Pada tanggal 17 Oktober 2016 ny. SR berumur 64 tahun dengan
berat badan 60 kg datang ke Rumah Sakit Islam jakarta dengan keluhan
utama nyeri dada menjalar ke punggung, pasien tidak BAB 4 hari, susah
tidur dan nafsu makan berkurang. Pasien memiliki riwayat penyakit
jantung dan didiagnosa ACE Nstemi, uap dan chest pain.
Hasil pemeriksaan laboratorium awal pasien menunjukan kadar
hemoglobinnya rendah yaitu 11,6 dan kadar troponin T pasien + 0,1. Dari
hasil pemeriksaan troponin dapat digambarkan adanya kerusakan seluler
miokard yang mungkin disebabkan oleh embolisasi distal oleh trombus
kaya platelet dari plak yang ruptur atau mengalami erosi.
Tekanan darah pasien pada tanggal 18 oktober 2016 sebesar 172/79
mmHg dengan nadi 42 bpm dan frekuensi pernafasan 30x/menit. Tanggal
19 october 2016 tanda-tanda vital pasien sudah normal, namun tanggal 20
october 2016 tekanan darah pasien mencapai 163/89 mmHg dan frekuensi
pernafasan pasien sangat rendah yaitu 19x/ menit. Pada tanggal 21 oktober
2016 tekanan darah pasien sangat tinggi yaitu 206/107 mmHg.
Hasil pemeriksaan EKG saat pasien berada di IGD,kamar
obersvasi UGD dan intensive pasien menunjukan Nstemi, dilihat dari
adanya depresi segmen ST berupa downsloping ST pada saat pasien
berada di ruang IGD dan di ruang intensive pada tanggal 21 oktober 2016
serta depresi segmen ST berupa upsloping ST pada tanggal 19 0ktober
2016.
Hasil radiologi thorax pasien memberikan kesan hipertensi heart
disease yaitu semua penyakit jantung seperti hipertrofi ventrikel kiri,
penyakit jantung koroner, aritmia, penyakit jantung kongestif yang
disebabkan oleh efek langsung atau tidak langsung dari peningkatan
tekanan darah.
Saat dirawat pasien mendapatkan obat ISDN 5 mg sebagai terapi
angina pektoris, clopidogrel 75 mg sebagai antitrombolitik, aspilet 80 mg
sebagai antiplatelet, valsartan sebagai terapi gagal jantung, atovar sebagai
antihiperlipidemia, nitrocaf retard 2,5 mg dan 5 mg sebagai terapi angina
pektoris, laxadin sebagai konstipasi, alprazolam 0,25 mg , arixtra sebagai
antikoagulan, ranitidin sebagai pengobatan tukak lambung dan tukak
duodenum, keterolac dan morfin 2,5 mg sebagai analgetik, NTG 2,5
mcg/mnt sebagai terapi angina tidak stabil, NTG 15 mcg/mnt sebagai
terapi iskemia miokard dan epineprin sebagai adrenalin.
Pasien belum mendapatkan pengobatan yang tepat, karena
penggunaan obat anti bipertensi untuk pasien Nstemi adalah obat golongan
ACE inhibitor atau CCB . Namun obat Golongan ARB dapat digunakan
apabila pasien intoleran dengan obat dengan golongan ACE inhibitor.
Dari hasil pemantauan obat ditemukan adanya DRP (Drug
Reaaleted Problem) yaitu, pertama dosis terlalu kecil dimana frekuensi
pemberian obat ranitidin yang diberikan ke pasien adalah 2 x 50 mg, dosis
lazim yang baik digunakan untuk pemberian ranitidin injeksi adalah 3 x 50
mg sedangkan dosis lazim yang baik digunakan untuk pemberian ranitidin
tablet adalah 2 x 150 mg. Pemberian NTG pada tanggal 17 october 2016 di
kamar observasi UGD terlalu kecil apabila digunakan sebagai angina tidak
stabil. Pemberian NTG yang baik adalah sebanyak 10 mcg/menit.
Kedua indikasi yang tidak ditangani, saat di didiagnosa tanggal 17
october 2016 pasien mengalami susah BAB 4 hari, namun pasien
mendapatkan laxadin pada tanggal 18 october 2016. Ketigaa gagal
menerima obat, dokter meresepkan alprazolam 0,25 mg dengan aturan
pakai 2 x 0,25 mg sebagai terapi pengobatan untuk pasien geriatrik dalam
keadaan lemah namun pasien hanya mendapatkan alprazolam 1 x 0,25mg.
Keempat yaitu interaksi obat dimana apabila aspirin dan clopidogrel
dibeikan bersamaan akan menyebabkan pendarahan sehingga
penggunaanya perlu diperhatikan. Penggunaan valsartan dan aspirin secara
bersamaan bisa meningkatkan potasium dan aspirin akan mengurangi efek
valsaran sehingga penggunaanya perlu diberikan jarak selama 1 jam dari
penggunaan aspirin.
Pada tanggal 21 oktober 2016 jam 16.30 WIB pasien diberikan
epineprin sebanyak 2 ampul sebagai adrenalin karena tanda-tanda vital
pasien melemah dan diberikan RJP namun pasien tidak tertolong.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Tanggal 17 Oktober 2016 ny. SR berumur 64 tahun dengan berat badan 60
kg datang ke Rumah Sakit Islam jakarta dengan keluhan utama nyeri dada
menjalar ke punggung, pasien tidak BAB 4 hari, susah tidur dan nafsu makan
berkurang. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan didiagnosa ACE
Nstemi, uap dan chest pain. Pasien belum mendapatkan pengobatan yang tepat
dan dari hasil pemantauan terapi obat terdapat DRP yaitu gagal menerima
obat,dosis terlalu kecil, indikasi yang tidak ditangani, dan interaksi obat. Pasien
meninggal pada tanggal 21 okober 2016.
B. Saran
1. Sebaiknya obat anti hipertensi yang digunakan untuk terapi hipertensi
adalah golongan ACE inhibitor atau CCB
2. Sebaiknya pemberian ranitidin dan NTG diberikan sesuai dengan dosis
lazim
3. Pemberian laxadin sebaiknya diberikan tanggal 17 oktober 2016
4. Alprazolam sebaiknya diberikan dengan aturan pqkai 2 x 0,25 mg
DAFTAR PUSTAKA